BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri pangan - Identifikasi Zat Pemutih Klorin Pada Ikan Asin Yang Beredar Di Pasar Durian Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri pangan

  Di tahun 1993, WHO melaporkan bahwa sekitar 70% kasus diare yang terjadi di Negara berkembang disebabkan oleh makanan yang telah tercemar.

  Pencemaran ini sebagian besar berasal dari industri boga dan rumah makan. Berdasarkan hasil survei di Amerika Serikat, 20% kasus terjadi di rumah makan, dan 3% ditemukan di industri pangan. Sementara di Eropa, sumber kontaminasi terbesar justru berasal dari rumah (46%), restoran/hotel (15%), jamuan makan (8%), fasilitas kesehatan dan kantin (masing-masing (6%), dan sekolah (5%) (Arisman, 2009).

  Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sebuah lembaga

  pengawasan penyakit menular di Amerika Serikat, pada tahun 1994 melaporkan 14 faktor yang dapat menyebabkan keracunan makanan. Faktor-faktor tersebut adalah (1) pendinginan yang tidak kuat (63%); (2) makanan terlampau cepat disajikan (29%); (3) kondisi tempat mempertahankan panas yang tidak baik (27%); (4) higiene yang buruk pada pengonsumsi makanan, atau telah terinfeksi (26%); (5) pemanasan ulang yang tidak kuat (25%); (6) alat pembersih yang tidak baik (9%); (7) mengkonsumsi makanan yang basi (7%); (8) kontaminasi silang (6%); (9) memasak atau memanaskan makanan secara berulang-ulang (5%); (10) wajan berlapis bahan kimia berbahaya (4%); (11) bahan mentah tercemar (2%); (12) penggunaan zat aditif secara berlebihan (2%); (13) tidak sengaja menggunakan zat aditif kimia (1%); (14) sumber bahan makanan yang memang tidak aman (1%) (Arisman, 2009).

  Pangan yang dikonsumsi manusia sehari-hari pada umumnya memerlukan pengolahan. Pada pengolahan seringkali ditambahkan bahan tambahan pangan yang dimaksudkan untuk mempertahankan mutu, lebih menarik dengan rasa enak, rupa, dan konsistensinya yang baik, mencegah rusaknya pangan, dan untuk meningkatkan atau memperbaiki penampakan agar pangan tersebut lebih disukai konsumen (Cahyadi, 2009).

  Pada dasarnya, racun ini mampu merusak semua organ tubuh manusia, tetapi yang paling sering terganggu adalah saluran cerna dan sistem saraf.

  Gangguan saluran cerna bermanifestasi sebagai sakit perut, rasa mual, muntah, dan terkadang disertai diare. Sementara itu, gangguan sistem saraf timbul sebagai rasa lemah, gatal, kesemutan (parestesi), dan kelumpuhan (paralisis) otot pernafasan. Gejala yang timbul dapat ringan, tetapi tidak jarang parah. Keracunan ringan biasanya lenyap dengan sendirinya dalam beberapa jam, sekalipun tidak diobati. Sementara itu, keracunan berat baru akan mereda setelah beberapa hari, minggu, atau bulan. Keadaan yang terakhir ini bahkan sering kali meninggalkan gejala sisa, seperti kanker, kebutaan congenital (pada bayi dengan ibu yang menelan zat toksik sewaktu hamil), arthritis reaktif, dan meningitis (Arisman, 2009).

  Industrialisasi dan urbanisasi telah terbukti mengubah gaya hidup masyarakat. Kaum ibu yang bekerja di luar rumah karena tekanan ekonomi atau sekedar mengikuti tren, biasanya tidak mampu lagi menyiapkan makanan untuk keluarga. Tanggung jawab untuk menyiapkan makanan ini tidak jarang dialihkan pada orang lain (bahkan orang yang tinggalnya berdekatan), sayangnya orang tersebut biasanya tidak begitu paham cara mengolah makanan dengan benar (Arisman, 2009).

  Ikan asin yang di putihkan dengan pemutih klorin berpotensi mengundang sejumlah masalah kesehatan. Meski klorin mampu membunuh sebagian besar bakteri merugikan, namun penggunaannya harus benar-benar mengacu pada kaidah yang berlaku. Hasil riset menerangkan bahwa klorin berpotensi menyebabkan masalah kesehatan seperti penyakit jantung, anemia, tekanan darah tinggi, dan kanker (Wahyu, 2005).

  Perubahan gaya hidup (termasuk status sosial) berarti pula bahwa orang yang memilih hidup sendiri dan memilih makanan siap sajipun semakin banyak.

  Sebagian besar dari mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk menyiapkan makanan sendiri, oleh sebab itu kebiasaan makanan di luar rumah kini semakin banyak menjadi bagian dari gaya hidup. Sama seperti keracunan yang disebabkan oleh penyebab lain, keracunan karena hewan laut baru akan terjadi bila orang menyantap hewan yang mengandung racun, tak peduli apakah racun tersebut terdapat secara alami, terbentuk oleh kegiatan jasad renik tertentu, atau akumulasi dari zat pencemar disekitarnya (air laut). Centers For Disease Control and

  

Prevention melaporkan berbagai faktor yang berpengaruh dalam keracunan hewan

  laut. Faktor-faktor tersebut adalah (1) suhu pengolahan yang tidak tepat, (2) tidak memasak sempurna, (3) peralatan masak yang tercemar, (4) sumber yang tidak terjamin, (5) hygiene yang buruk (Arisman, 2009).

  Masalah global yang berkaitan dengan keracunan tersebut adalah di daerah pekerja medis yang kerap tidak mengenali kasus keracunan makanan dan tidak mengetahui pentingnya pelaporan, serta gambaran epidemologi yang sama akibat pelaporan sebelumnya yang tidak lengkap (under reporting) (Arisman, 2009).

  Di tempat penangkapan ikan, bahkan di Negara sekelas AS pun sekitar 20% ikan yang disantap berasal dari hasil tangkapan di luar kendali pejabat kesehatan masyarakat. Zat beracun ditubuh ikan terakumulasi di dalam jaringan/organ tertentu. Berdasarkan jaringan atau organ yang mengandung racun, ikan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu : jenis ichtyosarcotoxic (racun terkonsentrasi di dalam otot, kulit, hati, usus, dan jaringan lain termasuk zat lendir pada tubuh ikan, kecuali gonad), ichtyootoxic (racun terkumpul di gonad: ovarium, testis, dan ovum) dan ichtyohemotoxic (racun terkandung di dalam darah) (Arisman, 2009).

  Meski larangan penggunaan beberapa BTP tertentu sudah jelas, penyalahgunaan BTP tersebut tetap saja ada. Bukan hanya pedagang kecil atau industri rumah tangga yang menyalahgunakan BTP berbahaya. Para pedagang besar pun banyak yang dengan sengaja memakai BTP berbahaya karena alasan biaya. Pemerintah melalui badan POM (BPOM) kerap melakukan pemeriksaan secara acak di lapangan terhadap produk pangan industri rumah tangga karena produk seperti ini tidak terdaftar di BPOM sebelum diedarkan seperti halnya produk industri berskala besar (Wahyu, 2005).

  Waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu internal ikan setelah ditangkap sangat bergantung pada metode penangkapan, ukuran, serta teknik pendinginan. Keterlambatan dalam pemindahan ikan dari jaring long-line (metode penangkapan) dapat memendekkan waktu yang tersisa untuk segera didinginkan, selain membiarkan daging ikan memanas. Begitu membeku sebisa mungkin diusahakan agar ikan bersuhu dingin dipertahankan tetap beku (atau mendekati titik beku) hingga siap disantap. Ikan pembentuk scombrotoxin yang tak beku mempunyai batas waktu penyimpanan yang aman (safe shelf-life: hitungan hari sebelum terbentuk histamin) 5-7 hari jika produk disimpan pada temperatur 4,4 C. keterpaparan di atas suhu ini memendekkan batas aman yang diperkirakan. Atas dasar tersebut, ikan yang belum pernah didinginkan stelah dijaring (atau dipancing dengan metode long line) jangan diletakkan pada lingkungan bersuhu di atas 4,4 C selama 4 jam (Arisman, 2009).

2.2 Pengolahan ikan

  Para nelayan dan petani harus menjual ikan dan sayuran dalam beberapa jam sebelum membusuk, kita harus memasaknya secepat mungkin. Tidak ada ikan asin di pasar, juga tidak daging impor atau ikan kaleng di supermarket. Pengawet makanan merupakan berkah bagi dunia industri makanan dan minuman. Pengawet berfungsi menghambat pertumbuhan mikroba agar makanan dan minuman bertahan lama. Secara garis besar zat kimia pengawet terbagi atas zat organik dan anorganik. Asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat (cuka) dan epoksida termasuk zat organik dan lebih sering digunakan untuk pengawet karena mudah dibuat. Zat pengawet anorganik adalah sulfit, nitrat, dan nitrit (Wahyu, 2005).

  Proses pengawetan makanan memiliki berbagai macam cara yaitu:

  Toksikologi makanan adalah ilmu yang mempelajari sifat, sumber, dan pembentukan zat beracun di dalam makanan, mencakup mekanisme, manifestasi daya rusak, dan batas aman bagi zat toksik (racun) tersebut. Suatu zat (substansi) dianggap beracun jika zat tersebut memiliki kemampuan merusak sel atau jaringan melalui mekanisme, selain trauma fisik. Toksikologi makanan memang menjadi sebagian kajian dalam ilmu gizi. Sementara itu keracunan makanan sendiri berarti penyakit yang terjadi setelah menyantap makanan mengandung racun yang dapat berasal dari jamur, kerang, pestisida, susu, bahan beracun yang terbentuk akibat pembusukan makanan, dan bakteri (Arisman, 2009).

  • Pendinginan Memperlambat pertumbuhan mikroba yang ada di dalam makanan.
  • Pembekuan Udara yang beku mampu untuk mereduksi air yang terdapat dalam makanan.
  • Pengeringan Mereduksi air sekaligus mencegah pertumbuhan mikrobial dalam makanan.
  • Vakum Tingkat oksigen yang rendah dapat mencegah dan memperlambat mikroba yang tumbuh karena adanya oksigen.
  • Pengepakan dengan karbondioksida yang telah dimodifikasi

  Mencegah perkembangan mikroorganisme yang disebabkan oleh karbondioksida.

  • Tambahan Asam (Acid)

  Mereduksi nilai pH (derajat keasaman) dan sekaligus mencegah penambahan asam lain.

  • Fermentasi Laktat (Lactic)

  Mereduksi nilai pH dan sekaligus mencegah penambahan asam yang lain dan mencegah asam asetat.

  • Proses penggulaan

  Memasak dengan konsentrasi gula yang tinggi untuk menekan mikrobial yang masih hidup.

  • Proses Etanol Proses memasak makanan dengan menggunakan etanol yang biasa dikombinasikan dengan gula untuk mematikan mikrobial yang masih hidup.
  • Emulsifikasi Pemisahan dan membatasi nutrisi dengan air (Wahyu, 2005).

  Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 722 tahun 1988 telah menetapkan 26 bahan tambahan pangan (BTP) kategori pengawet yang aman dikonsumsi. Pada lampiran II peraturan tersebut juga ditetapkan BTP yang dilarang digunakan, dan beberapa pengawet masuk kedalamnya misalnya, asam borat dan formalin (Wahyu, 2005).

  Sesuai dengan kemajuan teknologi pangan, penggunaan bahan tambahan semakin lama semakin meningkat. Untuk melindungi konsumen terhadap penggunaan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, penggunaan bahan tambahan perlu diatur, baik jenis maupun jumlahnya yang digunakan pada pengolahan pangan. Hanya bahan yang telah diuji keamanannya yang diizinkan untuk digunakan, dan mutunya harus memenuhi standar yang ditetapkan. Selanjutnya jumlahnya harus sesuai dengan cara produksi yang baik (CPMB: cara pengolahan makanan yang baik) atau sesuai dengan maksud penggunaannya.

  Untuk bahan-bahan tertentu, penggunaannya tidak boleh melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan (Cahyadi, 2009).

2.3 Klorin

  Pemutih merupakan bahan tambahan pangan yang seringkali digunakan pada ikan asin dan produk olahan lainnya, dengan maksud karakteristik warna putih yang merupakan ciri khas ikan asin yang bermutu baik, begitu halnya dimaksudkan untuk memperbaiki mutu selama proses pengolahannya. Pemutih pada tepung juga banyak digunakan untuk mengelabui para konsumen. Warna tepung gandum yang masih baru biasanya kekuning-kuningan dapat berubah menjadi warna kuning kecoklatan. Perubahan tersebut sering menimbulkan sifat organoleptik warna dan penampakan yang tidak diinginkan, baik selama proses penyimpanan maupun selama proses pembuatan produk pangan sehingga mengurangi mutu produk tersebut (Cahyadi, 2009).

  Klorin tidak terdapat bebas di alam tetapi terdapat dalam senyawa- senyawa terutama terdapat dalam logam Natrium dan Magnesium yang terdapat pada Natrium Chloride (NaCl). Klorin merupakan hasil tambahan yang terbuat dari Sodium Hidroxide dengan jalan mengelektrolisasikan Sodium Chloride.

  Klorin adalah unsure yang sangat aktif hampir dengan setiap unsure dapat langsung bersenyawa dan reaksinya besar sekali. Klorin merupakan bahan penting dalam industry tetapi harus diperhatikan pula bahaya-bahayanya, karena klorin bersifat racun/toksik terutama bila terhisap pernafasan. Klorin yang mudah di kenal karena baunya yang khas, bersifat merangsang (iritasi) terhadap selaput lendir tenggorokan, tali suara, dan paru-paru penghisapan klorin dalam konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan gelembung-gelembung air pada paru- paru (Pulmonary Edema) (Cahyadi, 2009).

  Klorin merupakan bahan yang penting dalam industri tetapi harus diperhatikan bahaya-bahayanya karena bersifat racun terutama terhisap melalui pernafasan. Namun walaupun begitu gasnya mudah untuk di kenali karena baunya sangat khas dan bersifat merangsang, pengaruh rangsangan dari gas ini terutama menyerang saluran pernafasan sebelah atas dan tali suara yang mengakibatkan suara menjadi parah bahkan suara menjadi hilang (Cahyadi, 2009).

  Banyak sekali kondisi atau faktor yang memengaruhi insiden keracunan makanan. Faktor-faktor tersebut adalah industrialisasi, urbanisasi, perubahan gaya hidup, populasi yang padat, perdagangan bebas, higiene lingkungan yang buruk, kemiskinan dan ketiadaan fasilitas menyiapkan makanan. Selain itu keracunan makanan hanya berkaitan dengan makanan secara alami telah mengandung racun atau telah tercemar oleh jasad renik penghasil racun (Arisman, 2009).

  Penderita bahkan akan mengalami rasa sakit dan panas pada bagian tenggorokan, hal ini di sebabkan pengaruh rangsangan terhadap selaput lendir yang dapat menimbulkan batuk kering yang terasa pedih dan panas, saat menarik nafas terasa sakit dan sukar untuk bernafas, waktu bernafas terdengar suara desing seperti penderita asma (Cahyadi, 2009).

  Gangguan pada saluran pernafasan yaitu menimbulkan iritasi pada membrane mukosa dan sering bermanifestasi sebagai beberapa keluhan saluran nafas. Keluhan terdiri dari rhinorrhoe, batuk berat, nafas pendek, sesak nafas, sakit dada, dada terasa terhimpit, rasa tercekik, rasa terbakar pada tenggorokan dan daerah subternal. Dengan konsentrasi yang lebih tinggi timbul sputum berbusa, gelisah, gangguan pernafasan yang berat, cyanosis sentra suara kasar dengan demam ringan (Cahyadi, 2009).

  Beberapa gas yang dapat digunakan untuk mengoksidasi menunjukkan kemampuan memucatkan yang berbeda-beda dan secara umum dapat memperbaiki mutu yang diperlukan. Perlakuan dengan klorin dioksida sedikit memperbaiki warna. Gas klorin kadang-kadang diberi tambahan sedikit nitrosil klorida, digunakan untuk memucatkan dan memperbaiki sifat bahan yang dipakai. Asam hidroklorida yang terbentuk dari reaksi oksida klorin, menyebabkan sedikit penurunan pH yang memperbaiki mutu. Nitrogen petroksida (N

  2 O 4 ) dan oksida nitrogen lainnya tidak begitu baik untuk pemucatan (Cahyadi, 2009).

  Klorin dioksida juga dapat mengoksidasi asam lemak esensial karena oksidasi sangat kecil, bahan-bahan pemucat yang diizinkan adalah bahan-bahan yang memiliki kerusakan kecil. Bahan anorganik yang dapat digunakan dalam perbaikan kondisi proses pembuatan adalah NH

  4 Cl, (NH 4 )

  2 SO 4 , CaSO 4 ,

  (NH

  4 )

  3 PO 4 , dan CaHPO 4 . Bahan-bahan itu ditambahkan untuk menyediakan

  nitrogen dan membantu mengendalikan pH. Garam fosfat dapat memperbaiki mutu terutama sebagai pendapar sehinnga pH sedikit lebih rendah daripada pH normal. Penambahan garam fosfat penting jika air yang digunakan bersifat alkalis (Cahyadi, 2009).

  Efek yang dikehendaki dari zat dapat ditentukan, baik dengan toksikologi maupun epidemiologi. Perbedaannya, dalam toksikologi, efek itu ditentukan dengan menyuntikkan atau memberi makan hewan dengan zat yang efeknya akan diteliti dan kesehatan hewannya kemudian diamati. Sebaliknya, dalam epidemiologi terlebih dahulu dilakukan penelitian mengenai sejarah kesehatan sekelompok orang. Selanjutnya, dilakukan usaha untuk mengaitkan perbedaan jumlah antara kasus akibat paparan zat tertentu. Data toksikologi suatu zat paling mudah ditentukan dengan menentukan toksisitas akutnya, yang ditandai dengan kenaikan gejala penyakit secara tiba-tiba, termasuk dalam kasus ekstrim kematian setelah diberikan zat dalam jumlah tertentu (Ismunandar, 2007).

  Informasi toksisitas akut bermanfaat dalam kasus kecelakaan akibat terkena zat tertentu. Namun, yang ingin diketahui lebih banyak dan lebih besar adalah toksisitas kronis (paparan dalam jangka panjang). Hal ini karena dalam banyak kasus, biasanya paparan zat berbahaya ini pada manusia berlangsung secara kontinu dalam jangka waktu yang cukup panjang, baik dari udara yang terhirup, air yang diminum, maupun makanan yang dimakan. Suatu senyawa tertentu dapat mngakibatkan efek akut ataupun kronis pada organisme yang sama, walaupun melalui mekanisme fisiologis yang berbeda, sebagai contoh, senyawa organoklorida dapat memberikn efek akut, yakni iritasi kulit yang kemudian dapat menjadi chloracne. Namun, senyawa ini sekaligus dapat mengakibatkan penyakit kulit kronis secara berangsur dapat berujung pada kanker (Cahyadi, 2009).

  Untuk ikan yang tidak mengandung metilmerkurium jelas sangat baik untuk gizi. Untuk itu di berikan anjuran batas-batas konsumsi ikan pada berbagai konsentrasi metilmerkurium yang dikandungnya. Untuk ikan dengan kadar metilmerkurium di atas 1,9 ppm memang berbahaya bila dikonsumsi (Ismunandar, 2007).

  Setiap tahun jumlah besar klorin diproduksi dari garam yang digunakan

dalam memurnikan pasokan air minum kota dan menjernihkan air. Klorin adalah

oksidator kuat, dan fungsinya dalam pemurnian air untuk membunuh bakteri. Hal

ini dilakukan dengan mengoksidasi bakteri dan menyebabkan kematian mereka..

  

Pemutih klorin biasa seperti Clorox terdiri dari larutan encer natrium hipoklorit,

NaClO. Ion hipoklorit adalah agen oksidasi yang kuat dan melakukan tindakan

pemutihan dengan merusak pewarna dan bahan berwarna lainnya. Dalam industri

kertas dan pengolahan kapas, fungsi pemutihan ini telah dicapai dengan

menggunakan klorin secara langsung. Saat ini, industri bergerak dari masalah

lingkungan. Dikhawatirkan bahwa produk dari klorin dengan zat organik

mungkin beracun, dan pada kenyataannya, banyak insektisida terkenal adalah

klorin yang mengandung senyawa. Klorin yang mengandung senyawa organik

meniru perilaku hormon estrogen. "Klorin" pemutih, NaClO (aq), menghancurkan

pewarna dengan mengoksidasi mereka untuk produk berwarna (Brady, 2000).