SELOKO SEBAGAI SASTRA ADAT JAMBI

  

BERSELOKO SEBAGAI SEBUAH STRATEGI PEMBERDAYAAN

BAHASA LOKAL DEMI PELESTARIAN BUDAYA BANGSA

Yusra D.

  Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi

  

yusradewi12@yahoo.com

Abstract

  

Seloko is a spoken Jambi Malay literature, in the form of expression that utilizes local language as a form of

speech. Local languages used are Malay Jambi. Seloko used as communication in the traditional procession

in Jambi. One of the traditional procession which uses seloko is customary marriage. Almost all areas

in Jambi using this Seloko as part of the traditional procession of marriage, including in, Jambi. Seloko

use in this traditional procession guided by a sense of love of local culture that uses the local language as

a medium for berseloko is a culture that is still retained by the people of Jambi. In addition, this seloko

contains values that describe the behavior of politeness, said, and the conversation of a person in public

life. Politeness was reflected in all stages of mating, ranging from stage engaged, delivery hand over and

the hand over stage stretching between the bride in a community setting. A form of politeness was like

politeness to give and answer greetings, mutual respect, honesty, sacrifice, hospitality, consensus, harmony,

obedient to the tradition, keeping promises, and mutual forgiveness. A form of politeness is once again an

attempt to strengthen the identity of the user community in particular and this Seloko Indonesia nation in

general. That is, the use of this seloko indicates that society is still very strong Jambi maintain regional

language as a medium of local cultural conservationist.

  Keywords: seloko, the local language, culture

Abstrak

  

Seloko merupakan sastra Melayu Jambi yang dituturkan secara lisan, berupa ungkapan yang memanfaatkan

bahasa daerah sebagai wujud tuturan.. Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Melayu Jambi. Seloko

digunakan sebagai komunikasi dalam prosesi adat di Jambi. Satu di antara prosesi adat yang menggunakan

seloko adalah adat perkawinan. Hampir semua daerah di Jambi menggunakan seloko ini sebagai bagian dari

prosesi adat perkawinan. Penggunaan seloko dalam prosesi adat ini dilandasi oleh rasa kecintaan terhadap

budaya lokal yang menggunakan bahasa lokal sebagai mediumnya karena berseloko merupakan sebuah

budaya yang masih dipertahankan oleh masyarakat Jambi. Selain itu, seloko ini mengandung nilai-nilai

kesantunan yang menggambarkan tindak tanduk, ucap, dan cakapan seseorang dalam kehidupan masyarakat.

  

Kesantunan itu tergambar dalam semua tahapan prosesi perkawinan, mulai dari tahap bertunangan, hantaran

serah, dan tahap ulur antar serah terima pengantin dalam tatanan masyarakat. Wujud kesantunan itu seperti

kesantunan memberi dan menjawab salam, saling menghormati, kejujuran, pengorbanan, keramahan,

musyawarah, kerukunan, patuh pada adat, menepati janji, dan saling memaafkan. Wujud kesantunan ini

sekaligus merupakan upaya untuk memperkuat jati diri masyarakat pemakai seloko ini secara khusus dan

bangsa Indonesia secara umum. Maksudnya, penggunaan seloko ini menggambarkan bahwa masyarakat

Jambi masih sangat kuat mempertahankan bahasa daerahnya sebagai media pelestari budaya lokal. Kata kunci: seloko, bahasa lokal, budaya PENDAHULUAN

  Seloko merupakan suatu bentuk sastra lisan yang berkembang di Provinsi Jambi. Sebagai sebuah bentuk sastra yang berkembang di suatu komunitas tertentu, seloko termasuk sastra daerah. Ciri kedaerahannya terutama sekali terlihat dari bahasa yang digunakan sebagai mediumnya, yakni bahasa Melayu Jambi.

  Hampir semua kabupaten yang ada di Provinsi Jambi menggunakan seloko sebagai sarana komunikasi dalam berbagai upacara adat. Di setiap kabupaten ini banyak pula upacara adat yang menggunakan seloko, di antaranya adalah seloko adat perkawinan. Penggunaannya dilandasi oleh isi seloko yang ternyata berisikan nasehat, petuah-petuah, serta ajaran adat. Selain itu, karena

  

seloko ini menggunakan bahasa daerah maka dengan berseloko ini sekaligus sebagai strategi memberdayakan bahasa lokal.

  Sebagai bagian dari kebudayaan, seloko disampaikan oleh ninik mamak, tuo tangganai, atau orang yang mengerti adat di suatu daerah. Tidak sembarangan orang dapat berseloko. Tidak sembarang tempat dan cara pula seloko ini digunakan. Ada aturan-aturan tertentu yang mengikatnya meskipun berseloko merupakan sebuah tradisi yang sudah turun temurun. Syam (2001:9) mengatakan “Seloko adalah sastra adat Jambi yang berisikan petuah untuk keselamatan dan kebaikan kehidupan bagi masyarakat”.

  Seloko merupakan sastra adat Jambi yang berisi berbagai kias-kias dan perumpamaan

  yang menunjukkan bagaimana baik buruknya suatu permasalahan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah yang dikemas halus, yang mengandung nilai-nilai luhur, yang memberikan arahan bagi keselamatan dalam menempuh kehidupan. Menurut Lembaga Adat Bungo (2004)

  

seloko menggunakan sapaan-sapaan yang halus yang tanpa terasa akan menyentuh sanubari dan

  menyadarkan seseorang akan kebenaran yang disampaikan oleh pakarnya melalui bahasa sastra adat.

  Karim (2007:1) mengatakan “Sastra daerah Jambi adalah semua karya satra, baik lisan maupun tulisan yang digunakan, diselamatkan, disimpan, dan dipelihara oleh masyarakat Jambi yang mendukungnya. Sastra adat Jambi itu mencerminkan kreativitas mental masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, baik yang berupa prosa, seperti mite, legenda, dongeng dan cerpen maupun puisi, seperti pantun, syair, seloko, pepatah, petitih dan kreynok atau tauh”. Syam dkk. (2001:1) menjelaskan tentang sastra adat Jambi sebagai berikut.

  Sastra adat Jambi sebagai bagian dari sastra Melayu, yang dikomunikasikan dalam kesempatan-kesempatan atau acara-acara tertentu, mengandung nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut memberikan arahan bagi keselamatan manusia dalam menempuh kehidupannya. Sastra adat Jambi disampaikan dengan sapaan-sapaan halus yang tanpa terasa akan menyentuh dan menyadarkan sesorang karena disampaikan dengan bahasa sastra adat.

  Syam (2001:9) menambahkan “Seloko adalah sastra adat Jambi yang berisikan petuah untuk keselamatan dan kebaikan kehidupan bagi masyarakat”. Apabila kita bandingkan dengan istilah yang ada dalam bahasa Indonesia, seloko berarti pepatah atau dengan kata lain bisa juga disebut sebagai petuah adat. Jadi, seloko sebagai sastra adat Jambi merupakan ungkapan tradisional yang mengandung ajaran dan petuah adat untuk keselamatan dan kebaikan masyarakat pemakainya.

  Seloko sebagai sastra adat tentu harus disikapi sebagai sebuah elemen perekat dalam

  sendi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, adat harus menjadi bagian yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Lembaga Adat Provinsi Jambi (2003:1) mengatakan: Adat yang merupakan pola perilaku suatu komunitas sosial akan sangat tergantung kelestariannya oleh komunitas itu sendiri, kalau tidak dijaga atau oleh sebab lain maka keberadaannya akan semakin menipis. Adat Jambi adalah merupakan pola tingkah laku masyarakat adat Jambi yang mempunyai landasan kuat dan kokoh yaitu titian teras

  bertanggobatu, cermin nan tidak kabur, lantak nan tidak goyah, dak lapuk dek hujan dak lekang dipanas, kato seiyo. Adapun yang dimaksud titian teras bertanggo batuitu adalah

  dasar hukum yang tidak dapat diganggu gugat yaitu hukum syara’ yang berasal dari Al- Qur’an dan Hadist Nabi, karena itu dikatakan Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah.

  Seloko adat sebagai sebuah elemen perekat dalam sendi kehidupan masyarakat yang memungkinkan masyarakat tumbuh dan berkembang secara serasi dalam suasana kekeluargaan yang aman dan damai maka bahasa daerah atau bahasa lokal menjadi pilihan utama untuk digunakan. Seloko adat yang menggunakan bahasa lokal ini pula yang pada akhirnya menjadi potensi budaya yang sangat tinggi nilainya. Hal ini dimungkinkan oleh karena keberadaan adat banyak mengandung filsafah yang dengan indah dan bermakna luas dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dan sekaligus sebagai jawaban terhadap masalah yang timbul di tengah masyarakat kita, sebagai penuntun kehidupan dalam mencapai masyarakat adil dan makmur, bahagia lahir batin di dunia dan akhirat.

  Hubungan yang erat antara seloko dengan adat telah membentuk jalinan yang erat antara adat, agama, aturan pemerintahan, dan budaya. Segala undang-undang hukum adat akan dapat berjalan dengan lancar di tengah kehidupan masyarakat, demikian pula antara pimpinan adat, ulama, dan pemerintahan tidak terlepas dari bahasa lokal berupa seloko yang digunakan. Interaksi sesama masyarakat menjadi lebih sangat akrab, baik antara pemimpin dengan masyarakatnya maupun antara sesama masyarakat. Mereka selalu berpedoman pada pepatah petitih dan seloko adat yang berlaku di daerah setempat.

  Moeliono (1991:6) menyatakan “adat adalah aturan atau peraturan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala”. Adat istiadat memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia karena memiliki sistem dan tata nilai yang dianut dan dihayati masyarakat. Adat bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang aman, damai, dan patuh pada ketentuan adat. Untuk mengungkapkan ini, sebuah seloko adat yang relevan adalah:

  Ke darat memikat burung Jangan ditebang kayu berduri Adat seumpamo setangkai payung Untuk memayung anak negeri Seloko ini meskipun hanya menggunakan satu kosa kata lokal yaitu kata seumpamo

  yang berarti seumpama tetap saja memberikan ciri khas jati diri masyarakat pemakainya. Hal ini terutama sekali dengan penjelasan pada larik ketiga seloko ini yang menjelaskan bahwa adat bertujuan memberikan perlindungan kepada masyarakat agar tidak menyimpangdari ketentuan adat, memberikan perlindungan bagi masyarakat dari masalah-masalah yang datang.

  

BERSELOKO SEBAGAI STRATEGI PEMBERDAYAAN BAHASA LOKAL DAN

PELESTARI BUDAYA BANGSA

  Cukup banyak kegiatan adat yang menggunakan seloko sebagai bagian dari upacara adat Melayu Jambi. Beberapa upacara adat yang menggunakan seloko itu di antaranya adalah upacara pemberian gelar (pengangkatan penghulu), upacara pernikahan, upacara kelahiran anak, dan upacara turun ke sawah. Di setiap daerah, kata-kata dalam seloko yang digunakan sangat variatif. Perbincangan saat ini tidak berniat mengurraikan perbedaan itu tetapi fokus pada permasalahan berseloko sebagai strategi pemberdayaan bahasa lokal dan pelestari budaya bangsa.

  Patut dipahami apa yang dikemukakan oleh Bustamam (1995:18) “seloko adat merupakan salah satu warisan kekayaan seni dan budaya”. Sebagai warisan kebudayaan dan seni, berseloko telah mencerminkan kesadaran masyarakat Melayu Jambi untuk mempertahankan kebudayaan. Hal ini satu di antaranya terlihat dalam rangkaian upacara adat perkawinan. Menurut Lembaga Adat Provinsi Jambi (2003:9):

  Upacara pernikahan merupakan peristiwa yang sangat penting bagi seorang anak manusia. Upacara yang suci ini akan menentukan masa depan suatu keluarga baru dalam pergaulan antar warga dan antar keluarga, serta akan merubah struktur warga masyarakat lingkungannya atas kehadiran keluarga baru ini. Untuk itu perlu diawali dengan kehati- hatian dan perhatian yang penuh dari orang tua agar pergaulan putra putrinya yang sudah akil baligh dan sudah siap untuk menjelang hidup berumah tangga. Pergaulan muda- muda yang yang sudah siap berumah tangga ini agar tetap dalam tatanan adat istiadat yang berlaku. Ketika kedua calon pengantin sudah siap untuk membina rumah tangga, dimulailah upacara adat yang senantiasa mempergunakan kata-kata adat dalam kata berjawab gayung

  

bersambut yang dilakukan kedua belah pihak nenek-mamak yang terlibat dalam upacara tersebut.

  Bahasa yang digunakan dalam upacara adat ini adalah bahasa Melayu Jambi sebagai bahasa lokal. Beberapa tuturan yang lazim dipergunakan dalam setiap tahapan perkawinan itu adalah sebagai berikut.

  Prosesi Ketika Kata Berjawab di Halaman Yang datang : Assalamualaikum Wr. Wb. Yang menunggu : Mu’alaikum Salam Wr. Wb.

Yang datang : Datuk-datuk, nenek-mamak, Tuo-tuo Tengganai, Alim Ulama, Cerdik

Pandai, yang gedang bergelar, yang kecik benamo kok gedang idak diimbau gelarnyo, nan kecik

idak pulo disebut namonyo.

Ibu-ibu nan berderu gelang di tangan nan bersentok cincin di jari, bekain ujung serong, yang

bersanggul lipat pandan.

Manolah kami sebanyak iko, kami susun jari nan sepuluh kami tundukkan kepalo yang satu.

Ampun-ampun kepado yang tuo-tuo, minta ma’af kepada yang banyak.

  Terjemahan lepasnya:

  Datuk-datuk, ninik-mamak, Tua-tu Tengganai, Alim Ulama, Cerdik Pandai, yang besar bergelar, yang kecil bernama, kalau besar tidak dipanggil gelarnya, yang kecil tidak pula disebut namanya. Ibu-ibu yang berbunyi gelang di tangan yang bersusun cincin di jari, berkain ujung serong, yang bersanggul lipat pandan. Manalah kami sebanyak ini, kami susun jari yang sepuluh kami tundukkan kepala yang satu. Ampun-ampun kepada yang tua-tua, minta ma’af kepada yang banyak.

  Kutipan seloko di atas memperlihatkan budaya setempat yang masih kuat dalam menghormati siapa pun, mulai dari yang tua, yang dituakan, yang kecil, dan siapapun yang terlibat dan hadir dalam situasi adat itu disapa dan dihormati sesuai dengan posisinya. Permintaan maaf pun disampaikan kepada yang tua-tua dan semuanya dengan kerendahan hati pertanda penghormatan. Ini adalah sebuah kebudayaan masa lalu yang sudah temurun dan masih sangat dipegang kuat dan dijalankan oleh masyarakatnya sebagai pertanda bahwa kebudayaan masa lalu adalah sebuah peradaban yang masih tetap harus dilestarikan meskipun zaman sudah modern. Kosa kata daerah atau lokal tetap dipertahankan meskipun sebenarnya jika digunakan bahasa Indonesia masyarakatnya sudah mengerti tetapi penggunaan bahasa daerah dengan kekhasan kata sapaan seperti Datuk-datuk, Nenek-Mamak, Tuo-Tengganai harus tetap digunakan karena memiliki rasa bahasa yangkhusus bagi masyarakat pemakainya.

  Tuturan lain dalam Kato Berjawabdi Halaman Ini (kata berjawab di halaman ini), yang juga dapat menggambarkan kuatnya masyarakat dalam melestarikan bahasa lokalnya adalah sebagai berikut.

  Yang datang:

Barangkali kami iko kok berjalan lah sampai ke batas, belayar lah sampai pulo ke pulau, la boleh

kami ko berkato sepatah berunding agak sebaris, sebab bak pantun anak mudo:

  Jauh-jauh kapal melintang Tampak bendera luan kemudi

  Dari jauh kami ko datang Ado niat dalam hati

  Terjemahan bebasnya:

  Yang datang:

  Barangkali kami ini kalau berjalan sudah sampai ke batas, belayar sudah sampai pula ke pulau, sudah boleh kami ini berkata sepatah berunding agak sebaris, sebab seperti pantun anak muda:

  Jauh-jauh kapal melintang Tampak bendera patah kemudi Dari jauh kami ini datang Ada niat dalam hati

  Seloko di atas selain menggambarkan penggunaan bahasa daerah sebagai komunikasi untuk menyampaikan maksud penuturnya sekaligus menggambarkan tentang budaya kesantunan penuturnya ketika akan menyempaikan niat hati. Mereka tidak langsung menyampaikannya tetapi bertanya terlebih dahulu apakah diperbolehkan menyampaikan niat hatinya itu. Jadi, seloko ini sekaligus menggambarakan penerapan budaya sopan santun dalam masyarakat pemakainya.

  Prosesi Ketika Serah Terima Ulur Antaradat di Balairung Sari

  Dalam prosesi ini, pihak yang datang setelah saling mengucapkan dan membalas salam secara Islam memulai percakapan mereka berupa seloko berikut.

  Yang datang:

Datuk-datuk, Nenek-Mamak, Tuo-Tengganai, Alim-Ulama, Cerdik-Pandai, hadirin hadirot yang

kami muliakan.

  

Pada hari nan sehari iko harinyo elok ketiko nyo jugo jugo baik. Kok tegak kito lah bersinggung

bau, kok duduk kito lah berimpit lutut. Sebagaimano bunyi pantun kami di halaman tadi, memang

kedatangan kami iko gedang nian hajat ke dengan maksud. Namun datuk-datuk bak mano kato-

kato adat kalu betanyo lepas litak kok berunding tentu lepas makan. Untuk itu kami ko tadi ado

membawak sirih nan sekapur, rokok nan sebatang, sebagaimano bunyi pantun seloko: Gemutup bunyinyo gendang

  Gendang anak ilir ke Jambi Sirih kelukup pinangnyo mumbang Itulah yang ado pado kami

  Hendak duo pantun seiring

  Sirih kuningdalam nampan Jerami lah sesap Sesaplah menjadi rimbo gano Sirih kamiko mintak dimakan Rokok mintak diisap Awal sembah permulaan kato

  Terjemahan bebasnya:

  Yang datang:

  Datuk-datuk, Nenek-Mamak, Tua-Tengganai, Alim-Ulama, Cerdik-Pandai, hadirin hadirat yang kami muliakan.

  Pada hari yang sehari ini, harinya bagus, waktunya juga baik. Kalau berdiri kita telah bersinggung bahu, kalau duduk kita telah berimpit lutut. Sebagaimana bunyi pantun kami di halaman tadi, memang kedatangan kami ini besar benar hajat dan tujuannya. Namun datuk-datuk, seperti kata-kata adat kalau bertanya setelah lelah kalau berunding tentu setelah makan. Untuk itu kami ini tadi ada membawa sirih yang sekapur, rokok yang sebatang, sebagaimana bunyi pantun seloko:

  Gemutup bunyinya gendang Gendang anak ilir ke Jambi Sirih kelukup pinangnya mumbang Itulah yang ada pada kami

  Agar dua pantun seiring

  Sirih kuning dalam nampan Jerami telah sesap Sesaplah menjadi rimba gana Sirih kamiini mintak dimakan Rokok mintak diisap Awal sembah permulaan kata

  Dalam seloko di atas digambarkan adanya budaya memulai suatu pekerjaan dengan memakan sirih yang dibawa oleh tamu sebagai wujud penghormatan kepada yang dikunjungi. Hal ini berlaku terutama sekali dalam upacara adat. Untuk mempersilahkan memakan sirih dan rokok yang dibawa juga digunakan seloko adat yang menggunakan bahasa daerah sebagai wujud kecintaan terhadap bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi adat. Dengan pemilihan bahasa daerah ini, bagi masyarakat pemakainya terasa lebih santun, akrab, dan ramah.

  Cara berseloko yang digunakan oleh masyarakat Melayu Jambi dalam seloko adat perkawinan di atas sekaligus menggambarakan betapa pentingnya cara berkomunikasi. Ini sejalan dengan pendapat Alisyahbana (1980:30) yang menyatakan “Arti sebuah kalimat atau sebuah kata itu bukan saja ditentukan oleh artinya yang sebenarnya, tetapi juga oleh cara pengucapannya. Malahan sering cara pengucapannnya itulah yang memberi arti, yaitu menyatakan gerak jiwa yang mengucapkannya”

  Yang menunggu: Assalamualaikum Wr. Wb.

  

Datuk-datuk, Nenek-Mamak dari pihak yang datang yang kami hormati, kok nan gedangnyo

begala kok kecik benamo, nan gedang idak kami imbau gelarnyo nan kecik idak pulo kami sebut

namonyo, hadirin semuonyo yang kami hormati. Kami segalo yang menunggu iko, ibaray bekapak

bukan pulak hendak betimbal, kok begantang hendak samo penuh, beruji hendak samo merah.

Yang mano apo yang Datuk katokan tadi, memang itulah kato yang sebenar kato, bagi kami nan

menunggu sesuai dengan pantun anak mudo yang berbunyi: Gemutup bunyinyo gendang Gendang anak Rajo Jambi Sirih kelukup pinangnyo mumbang Itulah makanan kami Hendak duo pantun seiring Sirih kuning dalam nampan Jerami lah sesap Sesap lah menjadi rimbo gano Sirih kami ko mimtak dimakan Rokok mintak diisap Awal sembah permulaan kato Kemudian langsung tempat sirih diserahkan pula kepada yang datang.

  Terjemahan bebasnya: Asalamualaikum Wr. Wb.

  

Datuk-datuk, Nenek-Mamak dari pihak yang datang yang kami hormati, kalau yang besarnya

  

bergelar, kalau keclk bernama, yang besar tidak kami panggil gelarnya yang kecil tidak pula

kami sebut namanya, hadirin semuanya yang kami hormati. Kami semua yang menunggu ini,

ibarat berkapak bukan pula hendak berkelahi, kalau berbagi dengan menggunakan alat yang

disebut gantang hendak sama penuh, bersuji (memakan sirih) ingin sama merah. Yang mana

apa yang Datuk katakan tadi, memang itulah kata yang sebenar kata, bagi kami yang menunggu

sesuai dengan pantun anak muda yang berbunyi: Gemutup bunyinya gendang Gendang anak Raja Jambi Sirih kelukup pinangnya mumbang Itulah makanan kami Agar dua pantun seiring Sirih kuning dalam nampan Jerami telah jadi semak belukar Semak belukar telah menjadi hutan belantara Sirih kami ini mimtak dimakan Rokok mintak diisap Awal sembah permulaan kata

  Dalam seloko di atas juga digambarkan adanya budaya memulai suatu pekerjaan dengan memakan sirih yang sebagai wujud penghormatan antara tamu dengan tuan rumah. Tamu datang berkunjung tidak sembarang datang tetapi membawa sesuatu sebagai pengikat hati, yakni berupa sirih. Tuan rumah, sebagai wujud penghargaannya, memakan sirih yang dibawa tamu sebagai bukti budaya saling percaya bahwa yang disuguhkan atau yang dibawa tamu itu adalah sesuatu yang baik sesuai dengan niat baik kedatangannya. Selain itu, dalam seloko ini tergambar keramahan yang menyuguhkan sirih. Ini merupakan budaya bangsa yang harus dipertahankan. Tujuannya adalah agar tercipta kehidupan yang harmonis. Hal ini berlaku terutama sekali dalam upacara adat. Untuk mempersilahkan memakan sirih dan rokok yang dibawa juga digunakan seloko adat yang menggunakan bahasa daerah sebagai wujud kecintaan terhadap bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi adat. Dengan pemilihan bahasa daerah ini, bagi masyarakat pemakainya terasa lebih santun, akrab, dan ramah yang sekaligus sebagai strategi pelestarian bahasa daerah sekaligus budaya daerah.

  Sangat banyak lagi rangkaian seloko yang digunakan dalam acara adat ini. Semuanya menggambarkan pelestarian budaya yang ada di daerah ini. Budaya yang dominan ditampilkan dalam berseloko ini terutama sekali adalah budaya menghormati yang lebih tua, yang memanggu adat dan secara strata adat termasuk orang yang dihormati, disegani, didahulukan setingkat dalam dalam menetapkan kebijakan, tempat bertanya jika ada yang tidak dipahami, dan tempat mengadu jika ada masalah, yang kecil, dan semua yang hadir dalam acara.

  Budaya lain yang tergambar dalam berseloko ini adalah budaya kesantunan. Ini ditemukan dalam pola komunikasi yang selalu mendahulukan yang lebih tua, memulai pekerjaan atau untuk melakukan apapun dengan bertanya terlebih dahulu kepada yang tua apakah sudah waktunya untuk dikerjakan, bahkan sampai kepada hal yang sederhana seperti ketika akan berbicara, ditanyakan dulu apakan si pembicara pertama telah selesai beribicara. Setelah dijawab selesai, barulah pembicara berikutnya berbicara.

  Penyampaian seloko yang mengunakan bahasa daerah menjadi strategi pemberdayaan bahasa daerah. Sangat janggal terdengar apabila seloko ini disampaikan dalam bahasa Indonesia. Suasana sakral adat dan budaya lokal menjadi hilang. Oleh sebab itulah, ketika berseloko, tidak ada pilihan lain, bahasa daerahlah yang digunakan. Hal ini tentu sangat menguntungkan untuk pelestarian bahasa daerah tersebut. Generasi mudanya mau tidak mau harus tetap belajar dan memahami bahasa daerahnya meskipun mereka merantau ke tempat lain. Ketika mereka pulang ke kampung halamannya, apalagi ketika mengikuti acara adat, mereka mau tidak mau harus mengerti dan bisa berbahasa daerahnya. Dengan ini pula, kesadaran akan pentingnya mengenal bahasa daerah dan kebudayaan daerah diharapkan tetap menjadi bagian dari pemikiran generasi muda daerah yang bersangkutan.

  PENUTUP

  Setiap daerah pastilah memiliki kekhasan budaya dan bahasa. Inilah kekayaan alam Indonesia yang menjadi satu dalam kebhinnekaan. Kekhasan itu merupakan cerminan sikap dan kepribadian masyarakat pemiliknya. Kekhasan itu harus tetap dipertahankan agar jati diri masyarakatnya tetap terpelihara.

  Berseloko sebagai bagian dari rangkaian adat yang ada di Provinsi Jambi masih berlangsung sampai sekarang. Selain sebagai bagian dari rangkaian adat di Provinsi ini, berseloko merupakan suatu tradisi lisan msyarakat Melayu Jambi. Media komunikasi yang digunakan adalah bahasa Melayu Jambi.

  Seloko memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan itu terutama tergambar pada larik-lariknya

  yang tidak semuanya dapat dikelompokkan sebagai pantun karena memang tidak memiliki ciri pantun yakni bersajak ab – ab. Inilah sebabnya seloko tidak dapat disamakan dengan pantun meskipun dalam berseloko diselipkan pupla pantun adat. Seloko dan pantun merupakan dua tradisi lisan Melayu yang memiliki perbedaan, terutama pada pola persajakan. Kalau pantun bersajak ab

  • – ab, seloko lebih bebas dalam persajakan. Tidak ada pola khusus persajakannya.

  Apabila dicari perbedaan lainnya untuk memperjelas perbincangan ini, pantun dapat digunakan di berbagai situasi sementara seloko khusus digunakan dalam acara adat. Kekhasan inilah yang menyebabkan seloko merupakan sastra adat yang mengandung nilai-nilai budaya. Dengan demikian, berseloko merupakan strategi untuk memberdayakan bahasa lokal dalam rangka pelestarian budaya.

  

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana. S.T. 1980. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

  Bustamam, 1995. Wujud Arti dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi

  Masyarakat Pendukungnya: Sumbangan Kebudayaan Daerah terhadap Kebudayaan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

  Ibrahim, Ramli. 1985. Adat Istiadat dan Hukum Adat Jambi. Karim, Maizar. 2007. Sastra Melayu Jambi. Diktat Kuliah. FKIP Universitas Jambi. Lembaga Adat Bungo. 2004. Pedoman Adat Bungo. Kabupaten Bungo. Lembaga Adat Provinsi Jambi. 2003. Pokok-pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Jilid IV.

  Tata Upaca Adat Jambi. Jambi: Lembaga Adat Provinsi Jambi.

  Moeliono, M. Anton. (Ed.) 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Syam, H. K. Dkk. 2001. Pokok-pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Jilid III. Sastra Adat Jambi. Jambi: Lembaga Adat Jambi.