RESESI KRISIS EKONOMI GLOBAL menurut

RESESI KRISIS EKONOMI GLOBAL, INFLASI DAN PENGARUH TERHADAP
PETANI SAWIT
Krisis Ekonomi Politik Indonesia Ditinjau Dari Sistem Perkebunan Skala Besar

Disajikan oleh Badan Persiapan Pembentukan Nasional
Serikat Petani Kelapa Sawit (BPPN- SPKS)

Krisis Ekonomi Politik Dilihat Dari Angka Inflasi
Rakyat Indonesia hingga hari ini selalu saja mendapat terpaan
badai
penderitaan.
Ditengah
semakin
tingginya
angka
penggaguran,PHK masal dikalangan kelas buruh, pengusuran besarbesaran
kaum pedagang
kecil perkotaan
atas nama keindahan
kota, kemiskinan dipedesaan karena semakin hilangnya alat
produksi dan ketersediaan alam yang semakin hari semakin

menyempit. Hal tersebut sudah lama diderita rakyat Indonesia
tanpa pernah berhenti, serangan
sebelumnya adalah kenaikan
harga-harga kebutuhan rakyat yang ditandai dengan kenaikan BBM
dunia yang mempengaruhi dan memaksa pemerintah Indonesia harus
merupah APBN –P yang berimpilkasai terhadap kenaikan harga BBM
dalam negeri yang memicu semua harga kebutuhan pokok rakyat
turut meningkat. Pukulan yang terbaru adalah krisis ekonomi
global yang ditandai dengan krisis ekonomi di Amerika yang
merupakan sentrum perekomomian dunia mengahantam semua sendi
ekonomi dunia dan mendorong terjadinya inflasi di berbagai
belahan dunia termasuk Indonesia juga tidak terlepas dari
terpaan badai ini.
Apabila dilihat indikator permukaan makro ekonomi sebelum krisis
global terjadi, laporan BPS menyatakan bahwa angka inflasi
bulan september berada pada kisaran 0,51 persen, sedangkan Untuk
laju inflasi tahun kalender dari Januari-September 2008 sebesar
10,47%, sementara year on year sebesar 12,14 persen. Angka ini
merupakan laju inflasi paling tinggi pada 3 tahun terakhir. Hal
tersebut dipicu karena kenaikan harga-harga bahan pokok termasuk

sewa perumahan.
BPS mencatatkan beberapa komoditas yang
mengalami kenaikkan harga antara lain adalah: bahan bakar rumah
tangga, ikan segar, daging ayam ras, daging sapi, telur ayam
ras, ikan diawetkan, tempe, beras, nasi dengan lauk dan banyak
lagi termasuk minyak goreng.
Kondisi ini mengisyaratkan target pencapaian inflasi yang
disepakti oleh pemerintah dan BI yaitu target inflasi pada tahun
2008 sebesar 5 persen dengan deviasi satu persen dengan cacatan
bahwa potensi inflasi sangat tinggi sehingga bersama DPR mereka
menyepakati angka 6,4 persen sebagai angka inflasinya sangat
sulit dicapai.
1 | P a g e  
 

Inflasi merupakan potret peristiwa moneter yang menggambarkan
kenaikan harga barang, Dimana dalam hukum ekonomi tergambar
posisi suplay dan demand (persedian dan penawaran) yang selalu
terjadi dalam sistem pasar. Inflasi dapat diakibatkan oleh dua
hal yaitu tarikan permintaan atau desakan biaya produksi.

Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi
akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi
perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap
barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap
faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor
produksi
itu
kemudian
menyebabkan
harga
faktor
produksi
meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam
permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam
situasi full employment. Yang kedua adalah Inflasi desakan biaya
(cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi
(input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang
dihasilkan ikut naik.
Kenaikan inflasi ini semakin menjelaskan ketimpangan ekonomi
nasional yang gagal mengurus penataan produksi nasional untuk

memenuhi
kebutuhan
pokok
nasional
dan
semakin
tingginya
ketergantungan pada barang komoditas impor, khususnya komoditas
pangan internasional, disisi lain strategi eksport yang dianut
pemerintah tanpa berusaha memenuhi industri dan kebutuhan dalam
negeri menyebabkan penderitaan rakyat semakin nyata.
Seharusnya
Inflasi
harus
menjadi
perhatian
utama
karena
merupakan potret yang terjadi ditengah masyarakat. Semakin
tinggi

laju
inflasi,
maka
semakin
rendah
kesejahteraan
masyarakat karena nilai setiap sen uang yang dipegang orang
terus menurun. Akibatnya daya beli melorot. Jadi, jika ekonomi
dunia meradang, orang miskin Indonesia pun bisa jadi semakin
miskin.
Krisis Global Dan Pengaruh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Beberapa faktor kenaikan harga-harga kebutuhan pokok memang
tidak bisa dipisahkan dengan faktor resesi ekonomi dunia yang
kian memburuk seiring dengan krisis umum imprealisme1: kelesuan
ekonomi Amerika Serikat yang dipicu oleh krisis kredit perumahan
(subprime mortgage); krisis finansial, krisis energi [minyak,
gas, batubara], ditandai dengan kenaikan harga minyak di pasaran
internasional yang telah menembus 117 US $/barel, namun
terkoreksi pada angka 82 US $ / barel pada bulan oktober 2008
akibat permintaan terhadap minyak dunia menurun impas dari

krisis yang terjadi di Amerika. Walaupun demikian harga minyak
                                                            
1

 Imprealisme merupakan tahapan tertinggi kapitalisme monopoli di dunia 

2 | P a g e  
 

dunia yang sempat melambung memaksa berbagai sektor produksi
ekonomi menaikkan ongkos produksinya dan tidak ikut terkoreksi
hingga hari ini. Sedangkan disisi lain imbas dari pemanasan
global telah menyerang lingkungan hidup bumi manusia, dengan
cuaca buruk, gelombang badai, banjir, longsor, telah memukul
hampir
semua
produksi
pertanian
dan
kelancaran

sistem
transportasi dunia.
Segala sesuatu ada saling hubunganya, krisis ekonomi Amerika
kemudian menjadi krisis global yang berpengaruh pada sektor ril
ditingkat lokal. Karena centrum kekuatan akumulasi modal
kapitalis berada di negara ini, AS merupakan pasar eksport
terbesar didunia termasuk pasar ekport Indonesia. Coba tengok
angka-angka ekspor nonmigas Indonesia ke AS selama ini yang
tercatat di Badan Pusat Statistik dan diolah kembali oleh
Departemen Perdagangan. Sekilas terlihat betapa produk Indonesia
sangat bergantung pada pasar Amerika karena ekspor Indonesia ke
negara itu menduduki peringkat kedua terbesar setelah Jepang.
Ekspor nonmigas Indonesia ke AS meningkat dari 7,17 miliar
dollar AS pada 2002 menjadi 10,68 miliar dollar AS pada 2006
atau meningkat 11,74 persen. Selama Januari-Agustus 2007, ekspor
ke AS sudah mencapai US$ 7,48 miliar AS atau meningkat 5,14
persen dari periode yang sama 2006.
Itu artinya, peran ekspor ke AS terhadap total ekspor nonmigas
Indonesia mencapai 12,45 persen, setingkat dibawah ekspor ke
Jepang yang mencapai 15,36 persen.

Akibat
orientasi eksport
produk
yang terlalu bertumpu pada
pasar Amerika mengakibatkan hantaman telak bagi Indonesia karena
daya beli komsumsi Amerika akan merosot akibat krisis finasial
yang menerpanya.
Bagi Indonesia, krisis ini akan memiliki
dampak
yang
saling
terkait
diberbagai
sektor.
Pada
akhirnya,semua ini akan memperlambat pertumbuhan.
Adapun dampak-dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia
meliputi:
Pertama, krisis global akan menyebabkan terganggunya
stabilitas makro nasional.

Ini berkaitan erat dengan inflasi
yang merayap terus naik, juga factor peningkatan suku bungga
yang mengakibtakan mengikisnya pendapatan riil rumah tangga
akibat besarnya biaya yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya
bunga.
Kedua, dampak krisis global akan menohok secara langsung dan
tidak langsung industri nasional. Bagi perusahaan yang bergerak
disektor industri, kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya
produksi langsung berupa biaya penggunaan BBM. Selain itu,akan
meningkatkan biaya harga komponen (raw materials) impor maupun
3 | P a g e  
 

lokal. Kenaikan ini juga otomatis
transportasi dalam jalur distribusi.

akan

meningkatkan


ongkos

Ketiga, peningkatan inflasi dan harga barang industri, serta
kenaikan harga BBM akan menggerus pendapatan riil rumah tangga.
Hal ini pada gilirannya akan dimanifestasikan dalam bentuk
penurunan tingkat konsumsi dan investasi domestik, yang akan
semakin menambah tekanan ke bawah pada tingkat pertumbuhan.
Hantaman Krisis Global

Bagi Rakyat Khususnya Petani Sawit

Pemerintah Indonesia hari ini tidak mampu mengurus semua
persoalan rakyat, karena watak rezim hari ini yang mengabdikan
dirinya untuk kepentingan pemodal. Ini ditandai dengan berbagai
kebijakan yang sangat pro modal. Sejak tahun 2000 sektor
industri minyak
sawit sangat diminati oleh pasar dunia karena
kebutahan komsusmsi bahan pangan dan kosmetik selain itu
alternative pengunaan bahan bakar nabati (biofuel) mendorong
naiknya harga CPO dunia sehingga dianggap sanggat menguntungkan

bagi devisa Negara melaui eksport CPO yang sangat mengiurkan,
Devisa dari industri minyak sawit pada tahun 2006 menurut komisi
minyak sawit Indonesia berada pada urutan nomor 2 pada eksport
non migas sektor pertanian dengan nilai
ekspor komoditas
perkebunan 2007 mencapai US$ 12,3 miliar (Rp 115,6 triliun) atau
naik 21,5 persen dibandingkan 2006 yang mencapai US$ 10,11
miliar (Rp 95 miliar). Angka ekspor itu telah melampaui target
sejak Oktober 2007 yang mencapai US$ 11,25 miliar (Rp 105,7
triliun).
Melihat
peluang
tersebut
kemudian
pemerintah
menargetkan
pembukaan perkebunan sawit hingga 20 juta ha yang tersebar
hampir disetiap propinsi di Indonesia. Pada tahun 2007 kebun
yang sudah dibuka adalah 7,4 juta ha dan produksi CPO yang
dihasilkan mencapai 17,5 juta ton menghantarkan Indonesia
sebagai produsen terbesar minyak sawit mengalahkan Malaysia.
Ambisi tersebut harus dibayar dengan terjadinya konflik dimanamana akibat keserakahan antar pemodal dan birokrasi dalam
mencari keuntungan, konflik sosial
terutama konflik tanah
meningkat berbanding lurus dengan jumlah luasan pembukaan
perkebunan. Lokasi ijin yang diberikan tidak memperhatikan daya
dukung ekologi sehingga terjadinya konversi hutan besar-besaran,
asap dan banjir sudah merupakan bencana yang sering ditemui
hampir disetiap tahun. Pada Tahun 2003 sampai 2004 saja luas
lahan pertanian menyusut 703.869 hektar dari 8.400.030 hektar
menjadi
7.696.161
hektar,
mengakibatkan
kerawanan
pangan
dibeberapa daerah ditengarai pembukaan perkebunan sawit juga
ikut andil dalam hal ini.

4 | P a g e  
 

Disisi lain memang keuntungan dapat diperoleh karena semakin
meningkatnya harga TBS (Fresh Fruit Brunch) ditingkat petani
sawit disebabkan permintaan pasar yang besar. Sejak tahun 2000
sampai tahun 2007
harga TBS melonjak tajam dari harga Rp 400600/ kg mencapai hingga angka Rp 2000/ kg.
Petani sawit ikut
merasakan nikmatnya harga ini dan mendorong mereka untuk
terlibat dalam perkebunan sawit, bahkan mereka berani untuk
mengkonversikan kebun karet dan lahan pangan untuk dijadikan
kebun sawit dengan dibantu oleh pemerintah melalui kredit
perbankan yang sesunguhnya “keblinger” karena topangan mikro
ekonomi yang lemah.
Misalnya saja petani tidak diberikan
penyuluhan
soal
keahlian
budidaya
tanaman
sawit
untuk
meningkatkan produktivitasnya sehingga mereka cenderung menambah
ekspansi lahan, justru sarana produksi terpangkas dengan
meningkatnya harga pupuk dan pestisida yang sangat sulit
didapatkan oleh petani, sementara untuk angkutan mereka berharap
pada angkutan perusahaan padahal TBS harus diangkut sampai ke
pabrik milik perusahaan 1 kali 24 jam, selebihnya harga akan
menurun
karena
rendeman
minyak
sawitnya
akan
berkurang.
Akibatnya petani sawit harus bergantung kepada perusahaan dan
dijerat utang ditengah inflasi yang semakin meninggi. Hantaman
telak terjadi ketika krisis yang terjadi di Amerika mempengaruhi
seluruh perekonomian dunia yang mengakibatkan resesi dan pasti
akan menghantam pasar eksport yang berbasikan komoditas dimana
konsumen akan melakukan penundaan pembelian atau terpuruk karena
daya belinya menurun akibat biaya produksi yang meninggi
dikarenakan angka inflasi yang besar.
Korban yang paling dirugikan dalam hal ini tentunya adalah
petani sawit itu sendiri, padahal klaim pemerintah dari total
luasan kebun sawit 2,6 juta merupakan kebun rakyat yang
mempekerjakan 4,5 juta KK petani sawit di sektor ini.
Setelah
mereka bisa sedikit menikmati manisnya minyak sawit, hari ini
mereka terpuruk pada level yang terendah dengan harga TBS untuk
petani plasma dibawah Rp. 1060 / kg (kalbar) di Rp. 700 (kaltim)
Rp.800 (Jambi)
itu tergantung umur tanam sawitnya, sementara
bagi petani swadaya yang tidak bisa dilindungi oleh aksi
tengkulak sangat parah dimana harga TBS hanya berkisar pada
harga Rp 400-600 / kg
bahkan salah satu Kabupaten di Propinsi
jambi TBS hanya dihargai Rp. 80/kg. Sangat ironis dalam kondisi
ini mereka tetap harus menanggung biaya kredit diperbankan
(plasma), sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak ada
lagi tanah untuk menghasilkan akibat sudah dikonversi menjadi
sawit sehingga harus membeli. Bagaimana mereka bisa bertahan di
tengah inflasi yang sangat tingg hari ini ?? akibatnya dijambi
dilaporkan ada petani yang bunuh diri akibat tidak mampu menahan
beban hidup, dilaporkan juga di kabupaten merangin banyak yang
5 | P a g e  
 

masuk rumah sakit jiwa akibat stres dan kebanyakan berasal dari
petani kelapa sawit.
Ketidakmampuan Rezim Dalam Mengurus Kekayaan Alam Dan Ekonomi
Rakyat
Fenomena tersebut sesungguhnya bisa diantisipasi apabila kemauan
dan dedikasi yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat ada pada
nurani pimpinan negeri ini. Platform ekonomi yang tidak
bergantung pada eksport
dan diarahkan untuk pemenuhan dalam
negeri seharusnya menjadi tumpuan utama. Waktu krisis finansial
terjadi di Amerika pada juli 2007 mulai menandakan terjadinya
krisis global, pemerintah Indonesia sesumbar bahwa fundamentalis
ekonomi makro Indonesai masih kuat. Bank Indonesia justru
mengatakan bahwa perlambatan perekonomian global yang ada di AS
dan Eropa tidak serta merta akan menurunkan ekspor barang
Indonesia.
Kenyataan
berbalik
menjungkirbalikan
semuanya,
gejolak ekonomi global berdampak langsung kepada perekonomian di
Indonesia karena jika ekonomi AS melemah, kinerja ekspor
nasional akan terganggu, karena jika
permintaan luar negeri
berkurang, industri akan melakukan penyesuaian antara lain
mengurangi produksi. Jika produksi di kurangi, tenaga kerja pun
otomatis akan dikurangi dan akibatnya penganguran akan meningkat
dan angka kemiskinan melonjak karena kehilangan sumber produksi.
Artinya, jika AS sakit, Indonesia terkena langsung getahnya,
rakyatlah yang menderita termasuk petani sawit dalam sektor
industri minyak sawit yang bergantung pada eksport.
Selain itu pasar finasial (saham) juga sangat terpengaruh oleh
krisis keuangan Amerika, sebab perputaran uang dipasar finansial
–baik saham maupun valas masih didominasai oleh aliran dana dari
luar negeri, termasuk beberapa perusahaan industri minyak sawit
yang masuk dalam pasar saham ini. Pasar finansial merupakan
dimana uang panas “hot maney” bercokol. Artinya uang dalam pasar
finansial bisa tiba-tiba pergi dan bisa berdampak pada nilai
tukar Rupiah. Bulan oktober 2008 nilai tukar Rupiah bahkan
anjlok hingga angka Rp 11.700 terhadap mata uang dolar Amerika.
Hal tersebut terjadi karena pasokan dollar dalam negeri menurun
akibat meningkatnya permintaan terhadap dollar. Hal ini wajar
karena kepercayaan terhadap mata uang dollar Amerika lebih besar
dari pada mata uang Rupiah sehingga orang lebih cenderung
menukar mata uang dollar dalam pasar finansial. Kondisi ini
sangat ironis dengan pernyataan pemerintah bahwa kekuatan
perekonomian Indonesia masih kuat tapi justru masyarakat tidak
percaya terhadap Rupiah bahkan lebih percaya mata uang
dollar
Amerika yang lagi mengalami krisis. Apa yang sebenarnya terjadi
? Tidak lain tidak bukan karena uang tidak pernah mengenal
nasionalisme, dimana menguntungkan disitu dia akan bertengger.
6 | P a g e  
 

Disisi lain akibat melemahnya Rupiah, nilai kredit perbankan
menjadi lebih tinggi dan berpengaruh langsung pada keuangan
perusahaan dalam membayar kredit apalagi perusahaan yang
bersandar pada bahan baku import yang harus dibeli dengan mata
uang dollar. Akibatnya sector industri dalam negeri mengalami
pukulan dan akan meningkatkan pengangguran karena biaya produksi
meningkat dan akhirnya berujung pada kemiskinan, lagi-lagi
rakyat yang menderita.
Ketika krisis semakin jauh mempengaruhi ekonomi Indonesia
pemerintah kemudian panik dan membuat kebijakan yang tergesagesa tanpa antispasi sejak awal. Pemerintah SBY –JK kemudian
membuat 10 langkah yang harus ditempuh untuk menghadapi krisis
keuangan Amerika Serikat agar tidak memberikan pengaruh buruk
terhadap perekonomian Indonesia yang terkesan euphoria ditengah
inflasi yang sudah meninggi dan tingkat kepercayaan masyarakat
yang lemah terhadap pemerintah dan nilai tukar Rupiah yang sudah
mencapai
angka
Rp.11.000.
Indonesia
kemudian
ikut-ikutan
mengikuti paket kebijakan “bail out”
Amerika yang sempat di
tolak oleh DPR nya Amerika namun kemudian disetujui oleh kongres
Amerika yang memuat tiga hal yaitu : pengucuran dan sebesar US
$ 700 miliar untuk membeli utang kredit perumahan yang terkena
masalah, menaikan jaminan simpanan di Bank sebesar US $ 100.000
menjadi US $ 250.000./orang dan membolehkan lembaga penjamin
simpanan untuk meminjam dana talangan sebasar apapun kepada
Negara. Perpu nomor 4 tahun 2008 diterbitkan pemerintah untuk
menjamin kesulitan likuiditas dan persoalan perbankan dalam
menghadapi krisis juga dadakan diterbitkan. Perusahan milik
Pemerintah
kemudian
diperintahkan
untuk
membeli
kembali
(buyback) saham-saham BUMN yang diparkir diluar negeri untuk
menjaga krisis jatuhnya Rupiah, sangat ironis dengan gembargembor
privatisasi
BUMN
yang
sebelumnya
digaungkan
oleh
pemerintah. Selain itu juga BI menaikan jaminan tabungan hingga
mencapai 2 miliar rupiah tentunya bagi pemodal dan orang kaya,
sementara petani sawit harus berusaha menacari penghasilan
tambahan untuk melunasi cicilan kredit diperbankan.
Lagi –lagi rakyat miskin dikorbankan untuk menjaga stabilitas
pertumbuhan ekonomi. Kenyataan dilapangan ditingkat rakyat kecil
sama sekali tidak tersentuh dengan paket kebijakan ini malah
memberi intensif bagi orang kaya situan kapitalis yang akan
semakin menghisap darah buruh dan tani di negeri ini, termasuk
petani sawit.

Akar Persoalannya Adalah Sistem Perkebunan Skala Besar

7 | P a g e  
 

Sistem perkebunan skala besar hari ini tidak terlepas dari
sejarah kolonialisme di Nusantara ditandai dengan komersialisasi
komoditas yang laku dipasaran dunia, sistem ini masih mewarisi
sistem politik usang yang mengandalkan monopoli atas tanah (
sitem ekonomi politik feudal) dengan menjadikan
pemilik
perkebunan sebagai tuan tanah yang memonopoli penguasaan tanah
yang
sangat
luas,
serta
mengendalikan
kekuasaan
Politik
diwilayah tersebut. Pemenuhan kebutuhan sangat berorientasi
pasar dengan upaya pemenuhan komsumsi negara-negara barat
sementara kebutuhan ditingkat rakyat bukan menjadi tujuan utama
pembangunan perkebunan sawit.
Dalam relasi produksinya perkebunan besar menggunakan sistem
kapitalisme dengan mempekerjakan buruh yang dibayar dengan uang.
Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa majikan didalam
pemilik perusahaan perkebunan merupakan tuan tanah ”tipe baru”
baik yang dijalankan oleh perusahaan swasta maupun perusahaan
negara. Istilah tuan tanah ”tipe baru” digunakan karena
perusahaan perkebunan menguasai tanah yang sangat luas, dia
tidak bekerja ditanah tersebut secara langsung dan hasilnya
sangat berlebih yang diambil dari penindasan dan penghisapan
terhadap kaum buruh dan petani berupa nilai lebih dengan
mengambil waktu dan hasil kerja kaum buruh, serta produk lebih
dengan mengambil hasil produksi yang dari petani kelapa sawit
(Monopoli proses budidaya dan monopoli hasil produksinya). Jadi,
tuan tanah ”tipe baru” dalam relasi produksi didalam sistem
perkebunan skala besar merupakan pihak yang paling diuntungkan
oleh sistem ini dan petani sawit hanya menjadi objek hisapan
untuk pemenuhan kebutuhan TBS.
Struktur sosial yang ada di perkebunan sawit yaitu terdiri dari
1).Tuan tanah tipe baru atau perusahaan yang memonopoli tanah
2). petani sawit ( plasma yang di bagi dalam 3 kategori yaitu
buruh tani, petani plasma, dan petani bertanah / non sawit, 3)
dan buruh industri merupakan sistem sosial yang ada di
perkebunan
sawit
hari
ini.
Apabila
dilihat
dari
sudut
kepentingannya jelas yang paling berkepentingan adalah pihak
perusahaan
perkebunan
karena
mereka
yang
paling
banyak
mendapatkan keuntungan dari sistem tersebut. Disusul oleh elit –
elit yang menjadi parasit yang diuntungkan oleh sistem tersebut.
Sedangkan buruh kebun / tani, petani plasma, buruh industri
perkebunan merupakan pihak yang hadir dipaksa oleh sistem
tersebut dan keadaan saat ini sudah menjadi bagian yang
terlanjur berada dalam lingkaran sistem perkebunan skala besar
dan masyarakat lain terutama petani non plasma / non sawit
merupakan pihak yang tidak terlalu berkepentingan terhadap
sistem tersebut karena tidak memiliki relasi langsung terhadap
sistem perkebunan tersebut, namun demikian sebagai bagian
8 | P a g e  
 

kolektif kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada
umumnya memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk
perluasan
perkebunan
ataupun
dihambatnya
proses
produksi
(budidaya).
Harga TBS yang anjlok hari ini tidak terlepas pada penerapan
sistem ekonomi politik perkebunan skala besar yang masih dijaga
oleh pemodal dan birokrasi yang mengabdikan diri kepada kaum
imprealisme yang mencirikan beberapa hal yang di praktekan dalam
sistem perkebunan skala besar ini diantaranya:
Pertama mengandalkan kosentrasi produksi dan monopoli dalam hal
ini areal perkebunan sawit dikonsentrasikan dalam satuan wilayah
yang sangat besar dan hanya dimonopili oleh pemain besar (
Wilmar, Sinarmas, Golden Hope, Asian Agri, Astra Agro ) meraka
kemudian membentuk holding-holding pada perusahan induk dan
melakukan merger dengan berbagai jalan, yaitu: menjadi anggota
dalam cabang industri yang sama, hanya terlibat dalam berbagai
pemrosesan bahan mentah, produsen untuk bahan mentah dan
perantara bagi produk tertentu misalnya dengan nestle, catburry,
Cargill yang merupakan produsen bahan makanan yang berasal dari
CPO, terlibat dalam berbagai lini produksi namun berada dibawah
satu korporasi, misalnya saja Sinarmas yang juga melakukan
produksi diluar dari bisnis minyak sawit, Astra Agro yang
mempunyai bisnis otomotif yang sangat terkenal.
Kedua adalah capital finance (uang) dimana bank kemudian merubah
fungsinya dari hanya sekedar mediator dalam penjualan kemudian
mulai masuk pada kegiatan produksi dimana uang didistribusikan
oleh bank melaui pinjaman untuk kegiatan produksi sehingga
fungsinya menjadi aktif bahkan sinarmas memiliki bank sendiri
untuk mengakumulasi keuntungannya. Yang paling gress adalah
ternyata FED (Bank Central Amerika) adalah perusahaan milik
swasta yang terdiri dari beberapa bank sentral termasuk lehman
brother yang bangkrut akibat kredit perumahan yang macet
(subprime mortgage) dan juga oleh milik 300 orang pribadi yang
sangat powerfull yang bisa seenaknya bisa mencetak US Dollar
tanpa jaminan emas murni satu gram pun2. Selain itu IMF melaui
cabang bisnisnya IFC (International Finance Corporation) juga
menyalurkan kredit kepada kelompok wilmar group dalam melakukan
investasi di sector industri sawit ini.
Ketiga adalah eksport capital, dimana eksport capital berkembag
dari hasil akumulasi capital. Agar tidak terjadi krisis overproduksi karena surplus kapital, maka mereka mengeksportnya ke
                                                            
2

 Tulisan Thomas D. Schauf, CPA (a national speaker to Certified Public Accountants and business leaders) berjudul  
"the Federal Reserve is Privately Owned" (Wisdom And Freedom produced by World Newsstand Copyright 
1999.) 

9 | P a g e  
 

luar negeri. Alasan utamanya adalah untuk memproteksi dan
menambah pendapatan mereka dan rata-rata keuntungan. Sasaran
dari eksport kapital adalah negara-negara yang terjajah dan
setengah jajahan termasuk Indonesia, ini adalah praktek baru
dari kolonialisme atau disebut juga dengan neo-kolonialisme.
Ekspor capital di negara terjajah dan setengah-jajahan diarahkan
pada pembangunan berbagai macam cabang industri yang melayani
kepentingan negara-negara imperialis (industri ini utamanya
dalah industri manufaktur, pengepakan ekspor bahan mentah dan
pertanian, atau industri sekunder yang menyediakan barang
konsumsi). Misalnya saja Bank Dunia (Wold Bank) memberikan
pinjaman kepada pemerintah Indonesia Setelah investasi terhadap
sektor kayu, tambang kini investasi utang yang merupakan
rekayasa
lembaga
keuangan
international
bergerak
ke
isu
perkebunan dalam kerangka Program Revitalisasi Perkebunan yang
dicanangkan tahun 2007
dengan komoditas utama adalah sawit
(unggulan),
kemudian
karet
dan
kakao.
Untuk
memperoleh
keuntungan tentunya mereka akan mendikte pemerintah melaui
politik dan ekonomi negara penerima kredit untuk menerbitkan
undang-undang yang berpihak pada kepentingan modal semisal, UU
Perkebunan tahun 2003, UUPMA tahun 2007, kepmentan no. 21 Tahun
2007 dan inpres tentang biofuel.
Pertanyaan selanjutnya mengapa eksport CPO Indonesia terganggu
yang mangakibatkan turunya harga TBS bagi petani sawit, padahal
sesunguhnya negara tujuan eksport
CPO Indonesia ke negara
India, Belanda dan China ? jawabanya karena akumulasi capital
berasal dari Negara imprealis pimpinan Amerika, sehingga gejolak
yang terjadi di Amerika langsung menghantam telak pasar eksport
diseluruh dunia termasuk Indonesia yang mengorbankan petani
sawit.
Darimana Memulai Melakukan Pembaharuan Sistem Perkebunan Skala
Besar Kelapa Sawit ?
Pertanyaan klise bagi yang sedang berjuang untuk mewujudkan
keadilan, kesejahteraan dan demokrasi termasuk berjuang untuk
Pembaharuan Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit. Dan,
jawaban yang harus dibuat tidak sebatas sederet pengertian
teoritik namun yang terpenting mampu menjadi pisau tajam yang
dapat membabat ilalang dalam membuka jalan perintisan. Sebab,
pertanyaan yang diajukan diatas mengajak kita untuk memahami
posisi, kedudukan dan tahap kerja yang sedang kita lakukan.
Dengan mengerti akan letak proses kerja kita maka setapak
langkah yang akan kita lakukan
menjadi sangat bermakna bagi
langkah – langkah kedepan yang masih terbentang panjang
menantang, penuh liku dan ranjau.

10 | P a g e  
 

Berlandaskan pada kondisi kongkrit struktur sosial diwilayah
sekitar Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit maka kita dapat
menentukan dimana titik memulai kerja pembaharuan sistem
tersebut kedalam sistem yang adil, sejahtera dan demokratis.
Dengan meletakkan dan mendudukkan elemen yang paling dirugikan
(baca: korban) oleh sistem sebagai aktor pembaharuannya. Karena,
korban merupakan elemen yang memiliki segi hari depan setelah
sistem tersebut diperbaharui, dimana cita – citanya kedepan
korban menjadi aktor yang akan memegang peranan pokok dalam
sistem perkebunan yakni berkedudukan sama dengan Perusahaan
Perkebunan
atau
bahkan
berkedudukan
lebih
tinggi
dari
perusahaan.
Dengan
demikian,
berdasarkan
susunan
struktur
sosoial didalam wilayah perkebunan maka Buruh Tani / Kebun,
Petani Plasma, Buruh Industri Perkebunan merupakan pihak yang
paling dirugikan (korban) oleh Sistem Perkebunan Besar Kelapa
Sawit. Sedangkan Petani Non Plasma / Non Sawit keadaannya tidak
stabil dengan adanya sistem tersebut, dimana elemen ini
merupakan elemen yang terancam oleh Sistem Perkebunan Skala
Besar Kelapa Sawit karena Sistem tersebut dengan watak dasarnya
monopoli
akan
melakukan
perluasan
secara
terus
menurus.
Sedangkan, Elite Birokrasi, Elite Politik, Preman maupun Tokoh –
Tokoh Informal (tokoh yang sudah dibeli) merupakan pihak yang
harus diwaspadai, sebab elemen tersebut merupakan elemen parasit
yang diuntungkan oleh Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa
Sawit. Dan, Perusahaan Perkebuan (Tuan Tanah ”Tipe Baru”)
merupakan pihak yang mengambil keuntungan paling besar didalam
Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit dengan merampas dan
mengancam tanah – tanah petani, menindas dan menghisap buruh,
serta merusak tatanan sosial dan kebudayaan masyarakat.
Dengan demikian, langkah yang seharusnya kita lakukan menjadikan
Buruh Tani / Kebun, Petani Plasma dan Buruh Industri Perkebunan
sebagai kekuatan pokok dalam mewujudkan Pembaharuan Sistem
Perkebunan Skala Besar. Walaupun kelihatan ada pertentangan
antara Buruh Tani / Kebun disatu sisi dan disisi lain Petani
Plasma, disisi lain juga ada buruh industri perkebunan namun
sesungguhnya pertentangan tersebut bukan pertentangan yang pokok
maupun pertentangan yang mendasar serta tidak memiliki sifat –
sifat pertentangan yang bisa saling meniadakan kalau penanganan
terhadap pertentangan tersebut dengan tepat. Namun jika didalam
menangani pertentangan tidak tepat maka bisa dimanfaatkan oleh
pihak
yang
justru
menjadi
lawan
utama
yakni
Perusahaan
Perkebunan beserta antek – anteknya seperti kejadian yang kita
rasakan saat ini, dimana buruh kebun dan buruh industri
perkebunan digunakan oleh perusahaan untuk berhadapan dengan
Petani Plasma. Bahwa dengan pendekatan sama – sama korban akan
mampu menyatukan
Buruh Tani / Kebun, Petani Plasma dan
Buruh
11 | P a g e  
 

Industri Perkebunan kedalam satu barisan yang kokoh dan kuat.
Kemudian,
dengan
menitik
tekankan
perjuangan
berdasarkan
kepentingan dasar ketiga elemen tersebut akan menjadi lem
perekatnya, dimana kepentingan dasar Buruh Tani / Kebun, Petani
Plasma
adalah
kepastian
atas
tanah,
kemerdekaan
dalam
berbudidaya dan jaminan kelayakan hasil produksinya sedangkan
kepentingan
Buruh
Industri
Perkebunan
berupa
terjaminnya
keamanan atas pekerjaannya. Maka, dengan membangun kesepemahaman
dan membuat kesepakatan bersama dari tiga elemen tersebut
menjadi keniscayaan yang tidak bisa dipungkuri untuk bergerak
bersama
dalam
satu
barisan
perjuangan
dalam
mewujudkan
Pembaharuan Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit.
Jadi, agar bisa terwujud kesatuan (aliansi) dasar antara Buruh
Tani / Kebun, Petani Plasma dan Buruh Industri Perkebunan maka
terlebih dahulu harus disiapkan syarat – syaratnya yakni
terbangunnya organisasi tani (Buruh Tani / Kebun, Petani Plasma)
dan organisasi buruh (Buruh Industri Perkebunan). Dengan
terbangunnya
organisasi
buruh
dan
organisasi
tani
maka
kesepemahaman, kesepakatan dan gerak langkah perjuangannya akan
dilakukan secara bersama – sama dengan organisasinya. Sebab,
tanpa terbangunnya organisasi massa demokratik akan semakin jauh
menyatukan kekuatan korban kedalam barisan perjuangan bersama.
Dan, Masing – masing individu didalam elemen akan terpecah
kepentingannya sehingga mudah sekalai di cerai beraikan kedalam
kepentingan subyektif yang akan merugikan perjuangan dalam
melakukan Pembaharuan Sistem Perkebunan Skala Besar Kelapa
Sawit. Maka menyiapkan syarat tersebut dibutuhkan kesanggupan
dan kapasitas dari orang – orang yang konsern terhadap masalah
tersebut. Serta, faktor internal dari setiap elemen tersebut
(kontak maupun basis massanya) menjadi potensi dasar untuk
membangun organisasinya. Melihat hal ini berdasarkan kesanggupan
dan kemampuan (pengetahuan dan pengalaman historisnya) serta
praktek kerja selama ini menempatkan Petani Plasma sebagai
prioritas kerja dalam menyiapkan syarat – syarat tersebut,
sembari juga mulai membangun secara terbatas organisasi buruh.

###

12 | P a g e