357483352 1 Tugas MAKALAH TEORI Pengembangan Wilayah

TUGAS
EKONOMI REGIONAL
MAKALAH

TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH

Oleh:
Mahyi Saputra
NPM : 1609200010033
Dosen Pembimbing Mata Kuliah:
Dr. Teuku Zulham, SE., M.Si

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2017

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1


Latar Belakang Penulisan...............................................................................1

1.2

Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................................2

BAB II. TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH...............................................3
2.1

Teori Lokasi optimum dan Aglomerasi Industri.............................................3
Tetapi teori Weber ini memiliki kelemahan-kelemahan yang dikemukakan
secara umum:..................................................................................................5

2.2

Teori Kerucut Permintaan...............................................................................6

2.3


Teori Sewa Tanah..........................................................................................11

2.4

Teori Kutub Pertumbuhan.............................................................................14

2.5

Teori Daerah Wilayah Inti.............................................................................17

2.6

Teori Tempat Sentral.....................................................................................21

2.7

Model dan Teori Hoover...............................................................................25

2.8


Teori Masukan Transpor...............................................................................27

2.9

Teori Dampak Tetesan Ke Bawah dan Polarisasi Serta Dampak Penyebaran dan

Pengurasan.............................................................................................................29
2.10 Teori Kutub Pembangunan Yang Terlokalisasi.............................................32
2.11 Teori Simpul Jasa Distribusi Mengunakan Pendekatan Arus Barang...........34
2.12 Teori Simpul Jasa Distribusi Menggunakan Pendekatan Orientasi Pedagang38
BAB III. PENUTUP...............................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA…………..………………………………………………41

BAB I
PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang Penulisan
Wilayah adalah unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana


komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi
seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen
biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk
kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia
dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit
geografis tertentu.
Pengembangan

wilayah

merupakan

strategi

memanfaatkan

dan

mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang

dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari
kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa
sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan
faktor eksternal dapat berupa peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan
interaksinya dengan wilayah lain.
Pada

umumnya

pengembangan

wilayah

mengacu

pada

perubahan


produktivitas wilayah, yang diukur dengan peningkatan populasi penduduk,
kesempatan kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah industri pengolahan. Selain
definisi ekonomi, pengembangan wilayah mengacu pada pengembangan sosial,
berupa aktivitas kesehatan, pendidikan, kualitas lingkungan, kesejahteraan dan
lainnya. Pengembangan wilayah lebih menekankan pada adanya perbaikan wilayah
secara bertahap dari kondisi yang kurang berkembang menjadi berkembang, dalam
hal ini pengembangan wilayah tidak berkaitan dengan eksploitasi wilayah.
1

Dalam mata kuliah Ekonomi Regional kita perlu memahami tentang teoriteori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai teori-teori yang berkenaan dengan
pengembangan wilayah, oleh karena itu penulis coba untuk me-review beberapa teori
tentang pengembangan wilayah.
I.2

Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang

diberikan untuk mata kuliah Ekonomi Regional mengenai Teori Pengembangan
Wilayah. Manfaat dari penulisan makalah ini adalah penulis dapat lebih memahami
secara mendalam mengenai Teori Pengembangan Wilayah.


2

BAB II
TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH
II.1

Teori Lokasi optimum dan Aglomerasi Industri
Alfred Weber pada tahun 1909 melakukan analisis tentang lokasi kegiatan

industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip
minimalisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada
total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus
minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum
adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu
biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi.
Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku, Weber
menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh
lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke

lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan
biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri
dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa
lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).
Dalam teorinya Alfred Weber menekankan pentingnya biaya transport sebagai
faktor pertimbangan lokasi. Dimana teori Weber sebenarnya menentukan dua
kekuatan lokasional primer, yaitu orientasi transport dan orientasi tenaga kerja. Pada
dasarnya pengusaha itu mempunyai kebebasan untuk menempatkan industri atau
pabriknya.
Biaya transport dianggap sebagai suatu variabel penting dalam penentuan
lokasi industri. Adapun asumsi sederhana yang ditetapkan yaitu tingkat biaya
transport adalah flat berdasarkan pada berat muatan dan fasilitas transportasi tersedia
ke segala jurusan. Tetapi asumsi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan karena pada
3

umumnya biaya transport untuk hasil akhir seringkali lebih tinggi daripada untuk
bahan baku dan fasilitas transport hanya terbatas pada sejumlah rute.
Dalam mengembangkan teorinya, Weber mengitroproduksikan beberapa
konsep pokok, yakni indeks material (material index) adalah perbandingan berat
bahan baku dan berat hasil akhir. Berat lokasional (locational weight) adalah berat

total dari semua barang (meliputi hasil akhir, bahan baku, bahan bakar, dsb.) yang
harus diangkut ke dan dari tempat produksi untuk setiap satuan keluaran. Industriindustri

dengan berat lokasional tinggi akan tertarik pada sumber bahan baku,

sedangkan industri-industri dengan berat lokasional rendah cenderung mendekati
pasar. Dan isodapan kritis (critical isodapanes) adalah jika selisih antara tambahan
biaya transport sama dengan keuntungan-keuntungan biaya non transport yang dapat
diperoleh pada suatu tempat alternatif.
Kedua konsep berat lokasional dan isodapan kritis dapat pula digunakan untuk
menjelaskan teori Weber tentang aglomerasi industri. Dimana secara teoretik
dijelaskan, tempat optimal (optimal site) adalah tempat dimana biaya-biaya transpor
bagi kombinasi keluaran total adalah yang paling rendah. Dalam praktek, hal ini
berarti bahwa yang terbesar di antara ketiga perusahaan tersebut akan menarik
perusahaan-perusahaan yang lebih kecil ke suatu lokasi di dalam segmen yang lebih
dekat kepada titik biaya transport minimumnya perusahaan terbesar tersebut. Karena
perubahan posisi lokasi yang harus dilakukan oleh perusahaan terbesar adalah lebih
kecil kemungkinannya daripada yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
kecil lainnya, maka deviasi total dari titik-titik biaya transport minimum dapat
dikatakan kecil saja kemungkinannya.

Dalam teori ini Weber berusaha untuk menetapkan lokasi yang optimal dalam
arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal, meskipun dalam hal ini
pengaruh permintaan tidak diperlihatkan. Lokasi dengan biaya minimal tersebut
mungkin berorientasi pada tersedianya tenaga kerja atau transportasi ataupun
ditentukan oleh keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan oleh aglomerasi.
4

Dan menjelaskan terjadinya evolusi ekonomi tata ruang dalam arti strata yang
sukses seperti pembangunan industri (pusat-pusat kegiatan ekonomi), terjadinya
urbanisasi dan struktur masyarakat kota dianggap mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi dari strata pertanian.
Tetapi teori Weber ini memiliki kelemahan-kelemahan yang dikemukakan
secara umum:
1. keuntungan-keuntungan

aglomerasi

(agglomeration

economies)


yang

diketengahkan itu tidaklah merupakan suatu daftar yang lengkap dan
menyeluruh, karena tidak mencakup bunga modal, asuransi, dan pajak.
2. analisis Weber tidak mudah dioperasionalisasikan karena fungsi aglomerasi
adalah merupakan suatu konstruk teoretik yang sukar dikuantifikasikan,
seperti halnya keuntungan-keuntungan eksternal adalah sukar diukur.
3. menurut pendapatnya, penghematan biaya aglomerasi yang terbesar adalah
dalam industri-industri yang nilai tambahnya tinggi, semakin bertambahnya
kepadatan penduduk dan semakin berkurangnya tarif angkutan, kedua-duanya
menambah kecenderungan aglomerasi dapat dipadukan ke dalam proses
perkembangan ekonomi yang akan berakibat bahwa perubahan lokasional
akan dicerminkan oleh semakin bertambahnya aglomerasi, tetapi hal ini
adalah kurang relevan.
Komentar : Dari teori lokasi weber yang berorientasi pada suatu industri yang
mana dengan biaya minimum (biaya transpor dan upah tenaga
kerja) dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal. Penempatan
suatu industri harus memikirkan tentang lingkungan seperti halnya
pembangunan industri pengalengan ikan yang sudah tentu harus
dekat dengan bahan baku dimana industri yang dibangun harus
dekat dengan dermaga/pelabuhan perikanan yang mana bahan baku
yang masuk dari hasil melaut nelayan dapat langsung di beli oleh
pihak pabrik. Dari segi lingkungan harus diperhatikan pembuangan
limbahnya.

Harus

dapat
5

dipikirkan

tentang

kemungkinan

pencemaran yang terjadi dari limbah yang dihasilkan dari proses
pengalengan ikan, dimana limbah yang ada harus diproses lebih
lanjut sebelum dilakukan pembuangan limbah.
Diperlukan juga suatu perangkat hukum yang mengatur tentang
seberapa besar upah yang harus dibayarkan agar terciptanya
kelangsungan kehidupan industri dimana para pekerja dapat
bekerja sesuai dengan upah yang dibayarkan oleh pihak pabrik.
Dalam hal ini semacam pengaturan tentang upah minimum regional
(UMR) yang harus di terima oleh para pekerja pabrik.
Faktor

keamanan

juga

menjadi

hal

yang

penting

agar

keberlangsungan dari indudtri dapat terjamin sehingga produksi
dapat terus dilakukan.
II.2

Teori Kerucut Permintaan
August Losch (1954) merupakan orang pertama yang mengembangkan teori

lokasi dengan segi permintaan sebagai variabel utama dengan memperhitungkan baik
harga produk dan berapa biaya untuk memproduksinya. Losch mengungkapkan
bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat
digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli
karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch
cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.
Teori lokasi dari Losch ini berbeda dengan teori Weber dimana Losch lebih melihat
persoalan dari sisi permintaan (pasar) sedangkan Weber lebih mengarah kearah sisi
penawaran (produksi). Teori ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi industri
sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar lokasi. Losch berpendapat bahwa
dalam lokasi industri yang tampak tak teratur dapat diketemukan pola keberaturan.
August Losch telah mengetengahkan suatu model keseimbangan regional
spasial. Ia termasuk yang pertama menguraikan prinsip-prinsip dasar analisis spasial
dan menginterprestasikan ekonomi spasial dalam pasar persaingan monopolistik.
6

Dimana dalam teori ini ditunjukkan perbedaan-perbedaan antara model Losch dengan
model Von Thunen yang meskipun begitu baik Losch maupun Von Thunen dalam
teorinya menjelaskan tentang interdenpendasi antara kota dengan daerah-daerah
belakangannya, dimana terdapat arus memusat ke kota-kota dan arus menyebar ke
daerah-daerah belakang. Kemudian teori Losch ini merupakan perluasan dari teori
tempat sentral yang diformulasikan oleh Christaller.
Dalam mengembangkan modelnya Losch menggunakan beberapa asumsi,
yaitu:
1. Tidak terdapat variasi dalam biaya dan tidak ada perbedaan-perbedaan spasial
dalam sumberdaya, termasuk tenaga kerja dan modal di seluruh wilayah
(wilayah dianggap homogen) sehingga perusahaan dapat ditempatkan di mana
saja.
2. Penduduk tersebar merata, kepadatan dianggap seragam, cita rasa konstan,
dan perbedaan pendapatan diabaikan, sehingga dapat dijelaskan bahwa
permintaan mempunyai korelasi negatif terhadap jarak secara langsung, hal ini
berarti semakin jauh jaraknya dari lokasi pabrik, maka jumlah permintaan
menjadi semakin berkurang.
3. Untuk suatu industri baru atau sebuah perusahaan yang ditempatkan di daerah
non industri tidak menimbulkan kesulitan, akan tetapi hal ini tidak relevan
bagi perusahaan yang menempatkan lokasinya di daerah industri yang sudah
sangat maju, dimana lokasi dan kegiatan perusahaan yang sudah ada sangat
berpengaruh.
Penentuan wilayah pasar dan kerucut permintaan dijelaskan jika cara hidup
petani adalah sama, maka kurva permintaan seorang petani dianggap dapat mewakili
untuk semua petani. Menurut Losch terdapat tiga jenis wilayah ekonomi, yaitu
wilayah pasar sederhana, jaringan wilayah pasar dan sistem wilayah pasar. Wilayah
pasar individual tersebut nampaknya sangat sederhana dan sangat tergantung pada
perdagangan, sedangkan sistem wilayah pasar sangat kompleks, walaupun merupakan
bentuk ideal yang menekankan pada swasembada, akan tetapi sulit dijumpai dalam
7

kenyataannya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak komoditas diproduksikan dan
diperdagangkan mencapai diluar lingkup sistem, maka terjadilah wilayah-wilayah
suatu Negara.
Antara wilayah sederhana dan sistem regional lengkap terdapat jaringan
trayek transport menghubungkan kota-kota dalam pengertian pusat sentral. Walaupun
jaringan dan daerah-daerah produksi dan konsumsi sudah nyata, akan tetapi perlu
dibedakan dengan sistem wilayah. Sistem wilayah merupakan kesatuan dari banyak
wilayah, merupakan suatu organisme dari pada sebagai suatu organ.
Teori Losch mempunyai beberapa keterbatasan yaitu:
1. Sebagian besar keterbatasan berkaitan erat dengan asumsi-asumsinya yang
sangat sederhana. Dapat dimengerti bahwa tanpa asumsi yang seragam,
misalnya distribusi penduduk merata secara spasial dan biaya yang sama di
seluruh lokasi, maka analisis akan sangat sulit dilakukan. Tetapi asumsiasumsi tersebut menimbulkan ketidakonsistenan, misalnya antara distribusi
penduduk yang seragam dan pola konsetrasi hirarki kegiatan-kegiatan
ekonomi. Konsetrasi terjadi di sekeliling pusat atau sebagai konsekuensi dari
bertumpangannya jaringan wilayah-wilayah pasar. Konsentrasi tersebut akan
menyebabkan ekspansi penduduk pada pusat-pusat dan pengelompokanpengelompokan pembeli dapat membentuk wilayah-wilayah pasar secara
tidak beraturan.
2. Analisis Losch meremehkan penghematan-penghematan aglomerasi pada
produksi industri khususnya dalam suatu industri tunggal dan tidak
menjelaskan secara komprehensif mengenai kehadiran titik-titik nodal dalam
ekonomi tata ruang.
Sumbangan pemikiran teori Losch dalam pengembangan wilayah dapat
disebutkan yaitu wilayah-wilayah yang membentuk sistem jaringan wilayah pasar
diasosiasikan sebagai wilayah ekonomi, pusat-pusat wilayah pasar yang mempunyai
kedudukan sebagai unit-unit produksi dapat diinterpretasikan sebagai pusat-pusat
8

urban, dan hubungan antar pusat-pusat wilayah pasar dikaitkan dengan perumusan
tentang hirarki dan hubungan fungsional antar pusat-pusat urban.
Adapun perbedaan model yang dikemukakan oleh Losch dan Von Thunen.
Losch menekankan pada kegiatan-kegiatan sekunder yaitu lokasi produksi industri
dimana wilayah produksi industri berbentuk titik-titik (punctiform) dan lokasi terbaik
untuk konsumsi barang-barang industri adalah di kota-kota. Sedangkan Von Thunen
menitikberatkan sektor pertanian yaitu lokasi produksi pertanian dimana wilayah
produksi pertanian merupakan daerah luas (areal) dan lokasi terbaik untuk konsumsi
bahan pangan diperlihatkan oleh distribusi penduduk yang merata. Perbedaan lain
antara industri dan pertanian dapat ditunjukkan, yaitu industri menjual barang-barang
hasilnya kepada langganan-langganan di sekitarnya, sebaliknya hasil-hasil pertanian
dijual kepada para pembeli di kota-kota.
Teori

Losch merupakan perluasan dari teori

tempat

sentral yang

diformulasikan oleh Christaller. Asumsi-asumsi yang digunakan Losch hampir sama
dengan asumsi yang digunakan Christaller yaitu:
1. wilayah model merupakan dataran yang homogen.
2. penduduk dan tenaga belinya tersebar merata di seluruh wilayah.
3. tidak adanya keuntungan-keuntungan eksternal.
Meskipun begitu, tetap keduanya mempunyai perbedaan, baik dalam lingkup
dan cara pandang yang dikembangkan dalam masing-masing modelnya.
1. Christaller mengembangkan modelnya dari atas atau skala besar (nasional)
yaitu setiap wilayah perdagangan yang efisien berbentuk segi enam
(heksagonal) memiliki pusat: besar kecilnya pusat-pusat tersebut adalah
sebanding dengan besar-kecilnya masing-masing wilayah heksagonal.
Sedangkan Losch mengembangkan modelnya mulai dari bawah yaitu wilayah
spasial yang tersempit ruang lingkupnya. Mula-mula wilayah perdangan
berbentuk wilayah pasar sederhana, kemudian berkembang menjadi suatu
jaringan wilayah pasar, dan akhirnya membentuk sistem wilayah pasar.
9

2. Barang-barang yang digunakan dalam model Losch termasuk dalam golongan
barang-barang yang dapat diangkut (transportable commodities), sedangkan
model Christaller menekankan pada jasa-jasa yang tidak mobil (immobile
service).
3. Model Christaller menganalisis susunan spasial baik dari segi mikro maupun
dari segi makro. Analisis dari segi mikro adalah mengenai distribusi produksi
barang-barang secara individual, dan analisis dari segi makro menyangkut
distribusi spasial dan distribusi aglomerasi. Sedangkan model Losch tidak
menganalisis susunan spasial secara makro atau agregatif. Karya Losch bukan
merupakan susunan spasial yang overall, tetapi lebih merupakan model lokasi
spesialisasi spasial dan perdagangan barang-barang individual daripada
sebagai model susunan spasial secara kebulatan.
Inti teori yang dikemukakan Christaller, pusat-pusat yang lebih tinggi
ordernya melayani pusat-pusat yang lebih rendah ordernya. Sedangkan inti teori yang
dikemukakan Losch, pusat-pusat yang lebih kecil melayani pusat yang lebih besar.
Bilamana Losch dikaitkan dengan Weber, maka dapat dikemukakan tanggapan
bahwa keduanya mempunyai nama yang sangat menonjol dalam sejarah analisis
lokasi. Meskipun keduanya menekankan pada kegiatan sekunder, Weber memberikan
tekanan pada faktor-faktor biaya dan kemungkinan aglomerasi. Sedangkan analisis
Losch didasarkan pada asumsi biaya seragam, maka faktor-faktor permintaan
(analisis wilayah pasar) menentukan lokasi dan distribusi produsen (yang berbentuk
titik-titik pusat wilayah).
Komentar : Berbeda dengan Weber dimana Losch lebih terpusat pada
permintaan dibandingkan dengan Weber yang lebih memikirkan
tentang produksi. Losch lebih mementingkan bagaimana suatu
industri itu dapat menguasai pasar dengan melihat berapa besar
permintaan yang dilakukan dibandingkan dengan Weber yang
mengkondisikan suatu industri dibangun dengan minimalisasi biaya
untuk memperbesar keuntungan produksi. Berhubungan dengan
10

kawasan dimana teori Losch lebih dari pada mengelompokkan
industri-industri kecil untuk mendukung industri-industri besar.
II.3

Teori Sewa Tanah
Teori von Thunen menerangkan berbagai jenis kegiatan pertanian dalam arti

luas yang berkembang disekeliling daerah perkotaan yang merupakan pasar komoditi
pertanian tersebut. Ide pokok dari teori Von Thunen adalah :
1. Petani yang berada di lokasi jauh dari pusat pasar atau kota, harus menempuh
jarak yang cukup jauh untuk menjual hasil panennya. Hal ini menunjukkan
betapa mahalnya kota sebagai pusat pasar.
2. Harga sewa lahan pertanian akan berbeda-beda nilainya tergantung pada tata
guna lahannya. Lahan yang berada di dekat pusat pasar atau kota akan lebih
mahal dibanding lahan yang jauh dari pusat pasar karena jarak yang makin
jauh dari pusat pasar akan meningkatkan biaya transportasi.
Teori von Thunen menjadi acuan penting dalam pengembangan wilayah terutama
dalam menentukan berbagai kegiatan perekonomian. Berdasarkan teori ini dapat
ditentukan berbagai zona kawasan termasuk kawasan pertanian.
Johann Heinrich Von Thunen menguraikan teori sewa lahan diferensial dalam
bukunya yang berjudul Der Isolelerte Staat, in Beziehung auf Landwirtschaft und
Nationalokonomie. Dimana pembahasan Von Thunen adalah mengenai lokasi dan
spesialisasi pertanian. Dalam teorinya ia memperhatikan jarak tempuh antara daerah
produksi dan pasar, ia menggambarkan bahwa jenis penggunaan tanah yang ada di
suatu daerah dipengaruhi perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas ke pasar
terdekat.
Von Thunen mengeluarkan asumsinya mengenai tanah pertanian, asumsiasumsi tersebut yaitu:
1. Wilayah model yang terisolasikan (isolated state) adalah bebas dari pengaruh
pasar kota-kota lain.
11

2. Wilayah model membentuk tipe pemukiman perkampungan di mana
kebanyakan keluarga petani hidup pada tempat-tempat yang terpusat dan
bukan tersebar di seluruh wilayah.
3. Wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam atau uniform
(produktivitas tanah secara fisik adalah sama).
4. Wilayah model memiliki fasilitas transportasi tradisional yang relatif seragam.
5. Faktor-faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah konstan,
maka dapat dianalisis bahwa sewa lahan merupakan hasil persaingan antara
berbagai jenis penggunaan lahan.
Dari asumsi diatas memaksa petani untuk menyewa lahan dekat dengan pusat
pasar atau kota. Dengan begitu akan diperoleh keuntungan yang maksimal dari hasil
pertanian. Tetapi mereka juga harus rela mengeluarkan banyak uang, karena semakin
dekat dengan pusat pasar harga sewa lahan akan semakin mahal. Sehingga makin
tinggi kemampuan petani untuk menyewa lahan maka ia akan mendapatkan lokasi
yang semakin dekat dengan pusat pasar.
Menurut Von Thunen, produsen-produsen tersebar di daerah luas, sedangkan
pembeli-pembeli terkonsentrasi pada titik sentral (buyers concentrated, sellers
dispersed). Titik sentral pada umumnya merupakan kota (pusat pasar), dan tidak
terdapat perbedaan lokasi di antara para pembeli di dalam kota. Semua pembeli
membayar suatu harga tertentu, tetapi unit penghasilan bersih di antara para produsen
berbeda-beda, tergantung pada jaraknya dari pusat konsumsi. Jika terdapat kenaikan
biaya transport, maka harga barang akan naik, dan sebaliknya penurunan biaya
transport akan menurunkan harga pasar dan memperbesar penjualan. Manfaat dari
penjualan yang bertambah tersebut akan dinikmati oleh para penjual yang jaraknya
lebih jauh, yang berarti lebih banyak penjual yang melayani suatu pasar, maka
akibatnya permintaan meningkat pula. Model Von Thunen ini termasuk dalam
kategori satu unit pasar dan banyak unit produksi.
Jadi, inti dari teori Von Thunen adalah bahwa sewa lahan akan memiliki harga
yang berbeda, tergantung dengan tata guna lahannya. Lahan yang berada di pusat
12

kota akan memiliki harga sewa lahan yang jauh lebih tinggi dan biaya transportasi
pun semakin murah dibandingkan dengan sewa lahan di daerah pedalaman atau
pinggiran kota. Karena makin jauh jarak yang akan ditempuh, maka makin mahal
biaya transportasi yang akan dikeluarkan.
Model ini dapat dikatakan masih sangat sederhana, tetapi sumbangan
pemikirannya terhadap ilmu pengembangan wilayah adalah cukup penting sampai
sekarang yaitu mengenai penentuan kawasan (zoning) menurut berbagai jenis
kegiatan usaha (pertanian).
Komentar : Teori lokasi Von Thunen hanya mengatur tentang sewa tanah yang
bisa dikerjakan atau tidak bisa dikerjakan tergantung dari seberapa
besar biaya sewa tanahnya yang berkaitan dengan seberapa jauh
jarak tanah yang diusahakan terhadap penghantaran akhir hasil
pertanian. Teori ini mungkin sangat sederhana namun teori ini
merupakan cikal bakal dari teori pengembangan wilayah berupa tata
ruang penggunaan tanah (land use planning). Dengan adanya
pembangunan kota baru maka pemerintah sejak awal dapat
menentukan suatu kawasan dengan menggunakan teori Von Thunen
dengan kelengkapan data berupa potensi masing-masing wilayah
yang berdekatan dengan kota baru yang akan dibangun.
II.4

Teori Kutub Pertumbuhan
Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari

karya ahli-ahli teori ekonomi regional Prancis yang dipelopori oleh François Perroux.
Perroux (1955) telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan (pole de
croissance/ pole de development/ growth pole).
Francois Perroux menurut pendapatnya, pertumbuhan ataupun pembangunan
tidak di lakukan di seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau
lokasi tertentu. Tata ruang di identifikasikanya sebagai arena atau medan kekuatan
yang di dalamnya terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub mempunyai
13

kekuatan pancaran pengembangan keluar dari kekuatan tarikan kedalam. Teori ini
menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaanperusahaan dan industri-industri serta saling ketergantungannya, dan bukan mengenai
pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara inter, tetapi
pada

dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang

ekonomi secara abstrak.
Istilah kutub (pole) dan polarisasi menurut ahli-ahli Prancis, suatu kutub
berarti

suatu

pengelompokkan

atau

konsentrasi

unsur-unsur

berarti

suatu

pengelompokan atau konsentrasi unsur-unsur abstrak, tetapi juga dalam pengertian
tata ruang geografis, dengan demikian suatu kutub kurang lebih menyerupai suatu
puncak kepadatan pada suatu dataran. Istilah polarisasi digunakan untuk menjelaskan
proses terbentuknya, perkembangannya, dan kemundurannya. Di lain pihak , menurut
ahli-ahli Inggris polarisasi di artikan sebagai keadaan di mana terdapat dua kutub saja
(yaitu kutub utara dan kutub selatan), sedangkan menurut pengertian para ahli-ahli
Prancis mungkin saja terdapat lebih dari dua kutub dalam waktu yang bersamaan.
Perroux menekankan pada dinamisme industri-industri dan aglomerasi
industri-industri di bagian-bagian tata ruang gografis. Secara esensial teori kutub
pertumbuhan di kategorisasikan sebagai teori dinamis. Proses pertumbuhan di
gambarkan sebagai keadaan yang tidak seimbang karena adanya kesuksesan atau
keberhasilan kutub-kutub dinamis. Inti pokok dari pertumbuhan wilayah terletak pada
inovasi-inovasi yang terjadi pada perusahaan-perusahaan atau industri-industri
berskala besar dan terdapatnya ketergantungan antar perusahaan atau industri.
Dalam kerangka dasar pemikiran Perroux , suatu tempat merupakan suatu
kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kecil yang memainkan
peranan sebagain pendorong yang dinamik kerena industri tersebut mempunyai
kemampuan untuk melakukan inovasi.
Istilah industri pendorong dan industri kunci agar digunakan secara tepat.
Industri pendorong adalah yang mempunyai pengaruh penting terhadap kegiatankegiatan pada industri-indusri lainnya, baik sebagai pensuplai atau langganan untuk
14

barang-barang atau jasa-jasa, sedangkan industri kunci adalah industri yang
menentukan peningkatan aktivitas maksimum. Industri pendorong mempunyai
kemampuan

menciptakan

dorongan

pertumbuhan

yang

kuat

dan

mampu

menggerakkannya kepada industri-industri lain yang berbeda dalam lingkungannya.
Jadi faktor utama dalam ekspansi regional adalah interaksi antar industri-industri
kunci yang merupakan pusat nadi dari kutub pertumbuhan. Kutub pertumbuhan
bukan hanya merupakan lokalisasi dari industri kunci semata-mata, tetapi kutub
pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang luas di daerah sekitarnya, oleh
karena itu dampak polarisasi pada umumnya lebih menonjol dibandingkan dengan
keterhubungan antar industri.
Konsep kutub pertumbuhan merupakan suatu konsep yang sangat menarik
bagi para perencanaan wilayah. Persoalan utama yang dihadapi dalam penerapan
konsep tersebut adalah pemilihan industri kunci atau industri yang menonjol (leading
industry) sebagai penggerak dinamika pertumbuhan. Suatu kompleks industri yang
harus diperhatikan yaitu mengidentifikasikan ketergantungan di antara kegiatankegiatan ekonomi dan persoalan proses pemindahan pertumbuhan, serta dimensi
lokasional dan geografis dari kegiatan-kegiatan tersebut.
Penafsiran secara fungsional menggambarkan kutub pertumbuhan itu sebagai
suatu kelompok perusahaan, cabang industri, atau unsur-unsur dinamik yang
meningkatkan kehidupan ekonomi. Dalam hal ini tidak terikat pada daerah geografis,
yang penting adalah adanya permulaan dari serangkaian perkembangan dengan
dampak pertumbuhan sesungguhnya, lebih banyak merupakan daya tarik, yang
mengundang berbagai kegiatan tertarik menempatkan usahanya di suatu tempat tanpa
adanya interaksi atau keterkaitan antara usaha-usaha tersebut. Hal ini tidak berarti
bahwa kutub pertumbuhan secara fungsional tidak mempunyai pengaruh atau akibat
terhadap perkembangan geografis. Perroux sesungguhnya belum memberikan
perhatian yang mendasar mengenai dimensi tata ruang, ia lebih menekankan
penelaahan tentang gejala aglomerasi pertumbuhan secara teritorial.
Tiga ciri penting dari konsep kutub pertumbuhan dapat dikemukakan, yaitu:
15

1. terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan
ekonomi.
2. terdapat pengaruh multiplier.
3. terdapat konsentrasi geografis.
Teori tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan sama-sama menekankan
pentingnya peranan pusat nodal, tetapi keduanya berbeda dalam cara pandangnya.
Menurut Christaller yang menopang pertumbuhan sesuatu tempat sentral adalah
wilayah pelayanannya, sedangkan menurut Perroux yang menopang pertumbuhan
wilayah pengaruh adalah kutub pertumbuhan. Perbedaan lainnya, teori tempat sentral
menggunakan metode deduktif dan mendasarkan teori keseimbangan statik dari
perusahaan-perusahaan, sedangkan teori kutub pertumbuhan menggunakan metode
induktif dan merupakan suatu analisis yang dinamik berdasarkan pada industriindustri secara makro agregat.
Teori tempat sentral hanya menjelaskan mengenai pengelompokkan pada tata
ruang geografis, sedangkan teori Perroux lebih berkenaan dengan pembahasan
mengenai perubahan-perubahan struktural pada tata ruang industri daripada
menganalisis pengelompokkan pada tata ruang geografis dan aspek-aspek
pembangunan
Namun teori kutub pertumbuhan Perroux ini menuai beberapa kritikan,
diantaranya:
1. kenyataan menunjukkan bahwa besarnya suatu industri secara tersendiri tidak
cukup menjamin keberhasilan pertumbuhan ekonomi.
2. peranan industri pendorong seringkali ditafsirkan terlalu berlebihan.
3. teori kutub pertumbuhan tidak memberikan penjelasan yang memuaskan
mengenai proses aglomerasi.
Komentar : Teori kutub pertumbuhan menitik beratkan pada dua industri yang
mendukung terbentuknya suatu kutub pertumbuhan dimana kedua
industri ini mampu unutk melakukan inovasi. Industri yang
dimaksud adalah industri kunci dan industri pendorong, jadi teori
16

kutub pertumbuhan tidak membicarakan pembangunan di seluruh
lapisan tata ruang.
II.5

Teori Daerah Wilayah Inti
John Friedman menganalisis aspek-aspek tata ruang lokasi serta persoalan-

persoalan kebijaksanaan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang
lingkup yang general.
Disekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran atau periphery regions.
Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut pedalaman atau daerah-daerah sekitarnya.
Pengembangan dipandang sebagai proses inovasi diskontinu tetapi kumulatif yang
berasal pada sejumlah kecil pusat-pusat perubahan yang terletak pada titik interaksi
yang mempunyai potensi interaksi tinggi. Pembangunan inovatif cenderung menyebar
kebawah dan keluar dari pusat pusat tersebut ke daerah yang mempunyai potensi
interaksi yang lebih rendah.
Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis, atau
megalopolis, dikategorisasikan sebagai daerah-daerah inti dan daerah-daerah yang
relatif statis sisanya merupakan, subsistem-subsistem dan kemajuan pembangunannya
ditentukan oleh lembaga-lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah
pinggiran berada dalam suatu hubungan yang ketergantungan yang subtansial. Daerah
inti dan wilayah pinggiran bersama-sama membentuk sistem spasial yang lengkap.
Pada umumnya daerah-daerah inti melaksanakan fungsi pelayanan terhadap
daerah-daerah disekitarnya. Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsi yang
khusus, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri, ibu kota pemerintah
dan sebagainya.
Sehubungan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasial,
Friedmann mengemukakan 5 buah preposisi utama yaitu sebagai berikut:
1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantugan daerah-daerah
disekitarnya melalui suplai, pasar dan daerah administrasi.
17

2. Daerah inti meneruskan sebagai sistematis dorongan-dorongan inovasi ke
daerah-daerah disekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya.
3. Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung
mempunyai pengaruh positif dalam proses pembangunan sistem spasial, akan
tetapi mungkin pula mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran
pembangunan inti kepada daerah-daaerah disekitarnya tidak berhasil
ditingkatkan, sehingga keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah
disekitarnya terhadap daerah inti menjadi berkurang.
4. Dalam sistem spasial, hirarki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar pada
kedudukam

fungsionalnya

masing-masing

meliputi

karakteristik-

karakteristiknya secara terperinci dan prestasinya.
5. Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan keseluruh daerah sistem spasial
dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.
Meskipun hubungan daerah inti-daerah pinggiran sebagai kerangka dasar
kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan regional dianggap kasar dan sederhana,
akan tetapi dapat digunakan untuk menjelaskan keterhubungan dan ketergantungan
antara pusat dan daerah-daerah sekitarnya. Kemudian Friedmann bersama Alonso
mengembangkan klasifikasi daerah inti dan daerah-daerah pinggiran menjadi daerah
metropolitan (Metropolitan Region), poros pembangunan (Deveplopment Accses),
darerah perbatasan (Frontier Region) dan daerah tertekan (Depressed Region).
Secara esensial hubungan antara daerah metropolitan dengan daerah-daerah
perbatasan tidak berbeda dengan hubungan antara daerah inti dengan daerah-daerah
pinggiran. Poros pembangunan merupakan perluasan dari daerah metropolitan dan
sebagai bentuk embrio untuk berkembang menjadi megapolis. Wilayah perbatasan
termasuk dalam kategori daerah pinggiran dan didalamnya terdapat pusat-pusat kecil
yang mempunyai potensi berkembang menjadi pusat-pusat yang lebih besar pada
masa depan.
Dari klasifikasi diatas dapat diperoleh pelajaran yang bermanfaat, yakni suatu
kebijaksanaan nasional pengembangan wilayah harus menyadari bahwa masalah18

masalah dan metoda pembangunan adalah berbeda-beda untuk setiap wilayah, selain
daripada itu perubahan-perubahan ekonomi dan pembangunan pada umumnya yang
terjadi diseluruh jenis wilayah yang mempunyai ketergantungan satu sama lainnya.
Friedmann memberikan perhatian penting pada daerah inti sebagai pusat
pelayanan dan pusat pengembangan.Teori-teori tersebut tidak membahas masalah
pemilihan lokasi optimum industri dan tidak pula menentukan jenis investasi apa
yang sebaiknya di tetapkan pusat-pusat urban, oleh karena itu mereka diklasifikasikan
sebagai tanpa tata ruang. Walaupun demikian disadari bahwa pusat-pusat urban
walaupun demikian bahwa pusat-pusat urban mempunyai peranan yang dominan
yaitu memberikan pancaran pengembangan ke wilayah-wilayah disekitarnya: daerah
inti mempunyai daya pengikat yang kuat untuk mewujudkan integrasi spasial sistem
sosial, ekonomi suatu bangsa.
Dampak negatif yaitu munculnya susunan-susunan ketergantungan dualistik
menimbulkan

akibat-akibat

yang

mendalam

bagi

pembangunan

nasional.

Memperlihatkan kelemahan-kelemahan diatas maka Friedmann menganjurkan
pembentukan agropolis-agropolis atau kota-kota diladang. Hal ini tidak mendorong
perpindahan penduduk desa ke kota-kota besar tetapi mendorong mereka untuk tetap
tinggal ditempat mereka semula. Dengan pembangunan agropolitan bistricts,
pertentangan abadi antara kota di desa dapat diredakan terutama di negara-negara
berkembang.
Menurut Friedmann, kunci bagi pembangunan kawasan agropolitan yang
berhasil ialah memperlakukan tiap-tiap kawasan sebagai satuan tunggal dan
terintegrasi: kawasan agropolitan merupakan suatu konsep yang tepat untuk membuat
suatu kebijaksanaan pembangunan tata ruang melalui desentralisasi perencanaan dan
pengambilan keputusan.
Friedmann telah mengembangkan teori kutub pertumbuhan dalam sistem
pembangunan

yang

diselenggarakan

berdasarkan

atas

desentralisasi

terkonsentrasikan (Concentrated Decentralization) atau sistem dekonsentrasi.
19

yang

Ciri-ciri kawasan agropolitan seperti yang dianjurkan Friedmann mirip dengan
kota-kota (ibu kota-ibu kota kabupaten yang berpenduduk 50.000 orang kebawah.
Kebijaksanaan perspektif yang dianjurkan oleh Hirschman dan Friedmann adalah:
1. menganjurkan pembentukan lebih banyak titik-titik pertumbuhan
2. merangkai pusat-pusat agropolitan menjadi suatu jaringan pusat yang serasi
secara regional.
Komentar : Teori wilayah inti merupakan teori yang tidak memperhatikan tata
ruang hanya perlu penentuan wilayah inti dan wilayah pinggiran.
Wilayah inti ditentukan dengan kelengkapan sarana dan prasarana
yang ada yang biasanya merupakan suatu kota, baik kota besar
maupun kota kecil yang memiliki daerah-daerah pinggiran yang
mana daerah pinggiran ini memiliki ketergantuangan yang kuat
terhadap kota (wilayah inti) sebagai pusat penjualan hasil produksi
dari daerah pinggiran (pheryperi regions). Namun daerah pinggiran
juga dapat menjadi wilayah inti kecil apabila segala sarana dan
prasarana penunjang untuk wilayah inti telah perpenuhi (pemekaran
kota). Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya arus
urbanisasi yang menyebabkan daerah pinggiran kekurangan sumber
daya manusia untuk melakukan kegiatan pertanian yang memang
biasanya terletak di wilayah pinggiran. Namun dengan adanya
peningkatan

teknologi

pada

wilayah

pinggiran

contohnya

peningkatan teknologi di bidang pertanian dengan penggunaan
traktor dan combine maka penggunaan sumber daya manusia telah
berkurang secara drastis dimana dengan penggunaan teknologi tidak
dibutuhkan tenaga manusia dalam jumlah besar hanya kemampuan
untuk mengoperasionalkan mesin-mesin pertanian yang ada.

20

II.6

Teori Tempat Sentral
Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah

kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Teori Christaller dikenal dengan
dengan teori model tempat sentral (central place model theory). Christaller
mengemukakan bahwa tanah yang positif adalah tanah yang mendukung pusat kota.
Pusat kota tersebut ada karena untuk berbagai jasa penting harus disediakan
tanah/lingkungan sekitar. Secara ideal maka kota merupakan pusat daerah yang
produktif. Dengan demikian apa yang disebut tempat sentral adalah pusat kota.
Berdasarkan prinsip aglomerasi, ekonomi kota besar menjadi pusat daerahnya sendiri
dan pusat kegiatan kota yang lebih kecil. Artinya, kota kecil bergantung pada
tersedianya dan adanya kegiatan yang ada pada kota besar. Oleh karena itu, apabila
orang yang berada di luar kota besar ingin membeli sesuatu dapat membeli di toko
sekitar tempat tinggalnya. Dalam hubungan antara kota dengan rumah tinggal,
Christaller mengatakan bahwa rumah tangga memaksimalkan kegunaan atau
kepuasan dalam rangka pemilihan tempat tinggal atau pemukiman.
Walter Christaller mengintroduksikan teori tempat sentral (central place).
Modelnya dinyatakan sebagai suatu sistem geometrik yang dikenal dengan nama
“Sistem K=3”, dimana K ditetapkan secara arbiter sebagai huruf indeks yang
digunakan untuk notasi pola pemukiman. Asumsi-asumsi yang digunakan Christaller
sebagai berikut:
1. Wilayah model merupakan dataran tanpa roman, tidak memiliki raut tanda
khusus baik alamiah maupun buatan manusia.
2. Perpindahan dapat dilakukan ke segala jurusan, suatu situasi yang dilukiskan
sebagai permukaan isotropik.
3. Penduduk serta daya belinya tersebar merata di seluruh wilayah.
4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak
Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, Christaller mengembangkan pemikirannya
menyusun suatu model wilayah perdagangan yang efisien yang berbentuk segi enam
(heksagonal) yang meliputi seluruh dataran tanpa tumpang tindih menyerupai sarang
21

lebah atau honeycombs dan tiap wilayah perdagangan heksagonal memiliki pusat.
Besar kecilnya pusat-pusat tersebut adalah sebanding dengan besar-kecilnya masingmasing heksagonal.
Secara horizontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia
yang terorganisasikan dalam tata ruang geografis dan tempat-tempat sentral (pusatpusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah
pelayanan yang lebih luas. Tempat-tempat sentral kecil dan wilayah-wilayah
komplementernya tercakup dalam wilayah-wilayah perdagangan dari pusat-pusat
yang lebih besar.
Secara vertical, model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih
tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah, dan kebutuhan akan
bahan-bahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusatpusat yang lebih rendah ordenya.
Prinsip pemasaran dengan susunan piramida pada model tempat sentral dapat
menjamin minimisasi biaya-biaya transport. Namun, teori ini tetap memiliki
kelemahan-kelemahan, diantaranya model tersebut tidak menunjukkan adanya
spesialisasi atau pembagian kerja di antara pusat-pusat tersebut. Selain daripada itu
menurut Christaller, seluruh wilayah dapat dilayani, sedangkan dalam kenyataannya
sebagian dari wilayah-wilayah yang dimaksud tidak seluruhnya dapat terlayani
karena terbatasnya fasilitas transportasi dan hambatan-hambatan geografis. Teori
tempat sentral dapat dikatakan kaku dan terlalu sederhana (oversimplification).
Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur hirarkis pusatpusat kota dan wilayah-wilayah nodal (pusat-pusat perkotaan), akan tetapi tidak
menjelaskan bagaimana pola geografis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana
pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dengan
perkataan lain tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan.
Disamping kelemahan yang dimiliki teori tempat sentral, Richardson
mengemukakan beberapa keterbatasan yang dimiliki teori ini yaitu
22

1. teori sentral tidak memberikan penjelasan secara lengkap mengenai
pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasikan

berdasarkan

pembangunan daerah pertanian yang tersusun secara hirarkis dan berpenduduk
secara merata.
2. analisis tempat sentral menekankan pada peranan sektor perdagangan dan
kegiatan-kegiatan jasa daripada kegiatan-kegiatan manufaktur.
3. pertumbuhan kota meningkat terus dan setelah sampai pada suatu tingkat
tertentu diperlukan tambahan sumberdaya-sumberdaya yang berasal dari luar
wilayah nodal. Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan
timbulnya

kecenderungan

yang

kuat

dalam

masyarakat

mengenai

pengelompokkan perusahaan-perusahaan karena pertimbangan keuntungankeuntungan aglomerasi dan ketergantungan lokasi.
Meskipun model tempat sentral mempunyai keterbatasan-keterbatasan, namun
sesungguhnya teori tempat sentral mengandung paling sedikit tiga konsep
fundamental, yaitu proses penyebaran pertumbuhan mengikuti pola ambang
(treshhold) (jumlah penduduk) dan pola lingkup (range) (sistem lokasi): kedua faktor
tersebut menentukan hirarki (hierarchy) tempat sentral.
Teori tempat sentral untuk sebagian bersifat positif karena berusaha
menjelaskan pola aktual arus palayanan jasa, dan untuk sebagian lagi bersifat
normatif karena berusaha menentukan pola optimal distribusi tempat-tempat sentral.
Keduanya mempunyai kontribusi pada pemahaman interrelasi spasial dan mengenai
kota-kota sebagai sistem di dalam sistem perkotaan. Dalam hubungannya dengan
pertumbuhan kota, teori tempat sentral menyatakan bahwa fungsi-fungsi pokok pusat
kota adalah sebagai pusat pelayanan bagi wilayah komplementernya (wilayah
belakangnya), yaitu mensuplai barang-barang dan jasa-jasa sentral seperti jasa-jasa
perdagangan, perbankan, professional, pendidikan, hiburan dan kebudayaan, dan jasajasa pemerintah kota.

23

Inti pokok teori tempat sentral adalah menjelaskan model hirarki perkotaan
(urban hierarchy) yaitu pertumbuhan hirarki kota dan ketergantungan antara pusatpusat kota dan wilayah-wilayah di sekitarnya.
Komentar : Dapat dikatakan bahwa teori Tempat Sentral sama dengan teori
Kutub Pertumbuhan dimana ada wilayah yang menjadi pusat dan
ada wilayah yang mendukung wilayah pusat. Pada teori tempat
sentral wilayah kota merupakan sentral bagi wilayah/daerah
belakangnya. Dari teori ini yang penulis pahami bahwa kota
merupakan sentral yang berarti bahwa segala kebutuhan yang
diwujudkan dalam bentuk barang dan jasa semuanya berasal dari
kota

meski

segala

bahan

mentah

berasal

dari

daerah

belakang/hinterland. Hal ini menyebabkan kesemrawutan dimana
kota sebagai sentral tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai
pusat perdagangan namun juga berfungsi sebagai pusat industri.
Untuk industri ringan sampai dengan sedang mungkin saja bisa
dilakukan di wilayah kota meski tidak menutup kemungkinan
terjadinya gangguan pencemaran lingkungan. Namun untuk industri
berat hal ini menurut penulis tidak mungkin dilakukan mengingat
bahan baku yang harus didatangkan dari daerah belakang.
II.7

Model dan Teori Hoover
E.M Hover dalam teorinya menekankan pentingnya peranan biaya transport

dalam pemilihan lokasi industri. Hoover membedakan biaya transport yaitu biaya
transport bahan baku yang selanjutnya disebut procurement cost dan biaya transport
produk akhir yang disebut sebagai distribution cost. Jumlah procurement cost
ditambah distribution cost sama dengan total transfer cost. Disamping itu Hoover
juga mengintroduksikan modelnya tentang korelasi tingkat biaya transport dan jarak
yang ditempuh menurut beberapa moda (sarana) transport yaitu truk kereta api dan
24

kapal laut. Seperti pada gambar Tingkat biaya transport menurut beberapa moda
transport dibawah ini:
Truk
Tingkat
Kereta api

Biaya
Transport
Kapal laut

Jarak
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa tingkat biaya transpor untuk sarana
truk (angkutan jalan raya) menunjukan bahwa untuk jarak pendek, tingkat biaya
transpornya adalah terendah tetapi untuk jarak jauh adalah, tertinggi dibandingkan
dengan kedua jenis sarana transport lainnya yaitu kereta api dan kapal laut sedangkan
tingkat biaya transport untuk kapal laut menunjukan yang tertinggi untuk jarak dekat
tetapi terendah untuk jarak jauh di bandingkan sarana transport truk dan kereta api.
Mengenai pemilihan lokasi industri, Hoover membedakan antara transportasi
bahan baku dan produk akhir yang dilakukan oleh:
1. satu jenis sarana angkutan
2. yang dilakukan oleh lebih dari satu jenis sarana angkutan.
Menurut istilah Poernomosidi Hadjisarosa yang mengintroduksikan teori
simpul jasa distribusi, pemilihan lokasi menguntungkan dititik pindah muat ataupun
mendekati pasar (konsumen) akan mendorong kelompok industri dan berbagai
kegiatan usaha di daerah-daerah perkotaan atau pusat-pusat jasa distribusi atau
simpul-simpul jasa distribusi akan menikmati berbagai kemudahan yang diartikan
25

sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan untuk melakukan kegiatan
usaha. Menurut istilah Weber, semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat,
berarti semakin kuat daya tariknya mengundang berbagai kegiatan industri untuk
datang ke tempat tersebut, atau terjadi kecenderungan aglomerasi.
Aglomerasi menimbulkan keuntungan berupa penghematan (kehematan)
aglomerasi dengan terjadinya aglomerasi dan penghematan lokasional karena
berkelompoknya industri yang sejenis pada suatu lokasi tunggal tertentu. Jika
kegiatan-kegiatan industri dan sektor-sektor lain secara agregatif diperkaitkan dengan
pengembangan penduduk di perkotaan, akan menimbulkan keuntungan urbanisasi.
Gejala aglomerasi lokasional kemudian diperluas oleh Hoover terutama dikaitkan
dengan

keuntungan-keuntungan

urbanisasi

(urbanization

economies)

yang

ditimbulkan aglomerasi yang dibedakan dengan keuntungan lokalisasi (localization
economies).
Komentar : Teori ini juga berkenaan dengan penempatan industri yang dilihat
dari biaya transportasi (lebih menekannkan pada biaya transportasi)
baik biaya transportasi dalam hal pengangkutan bahan baku
maupun biaya transportasi dalam hal pendistribusian produk akhir.
Pemberlakuan biaya transportasi ini juga dengan melihat dan
menentukan moda transportasi apa yang digunakan, truk, kereta api
dan kapal laut.
II.8

Teori Masukan Transpor
Walter Isard dalam teori lokasi membahas aspek-aspek orientasi transport.

Isard memformulasikan pemikirannya dalam sebuah model lokasi optimum. Isard
menyadari bahwa biaya transport merupakan determinan utama untuk menentukan
lokasi suatu industri, akan tetapi bukan satu-satunya. Ia membahas gejala aglomerasi
terutama di kota-kota besar, telah mengetengahkan p