MAKALAH HUKUM PERSAINGAN USAHA tiongkok

MAKALAH HUKUM PERSAINGAN USAHA
PERBANDINGAN KPPU TIONGKOK DENGAN KPPU JEPANG

Kelompok 29
Bagas Hutomo

1206264341

Harsja Azhuri K.

1206265331

Levy M. Muhammad

1406610774

Michael Endha

1206265294

Muhammad Aditya


1206265533

Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Depok
2015

A. PENDAHULUAN
Kemajuan suatu negara tidak lepas dari perekonomian suatu Negara
yang berkembang dengan cepat dan efisien. Perekonomian yang berkembang
dan maju dapat dilihat dari persaingan yang berlangsung di antara para pelaku
usaha. Ketika terdapat persaingan diantara pelaku usaha dalam suatu Negara,
dapat dipastikan Negara tersebut maju dengan pesat karena pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi disebabkan oleh pemanfaatan teknologi dan
peningkatan produktivitas yang didorong oleh pasar yang kompetitif.
Teori ekonomi pasar bebas yang diperkenalkan Adam Smith dikenal
sebagai persaingan sempurna. Dalam pasar sempurna, terdapat banyak
perusahaan yang beroperasi untuk menjual barang dengan karakteristik yang
serupa. Kemampuan mereka untuk mengatur harga pasar ditentukan oleh

mekanisme penawaran (supply) dan permintaan (demand) sendiri yang bisa
dicapai oleh pasar (price equilibrium), maksudnya ketika pelaku usaha
menaikkan harga, maka kemungkinan mereka akan kehilangan sejumlah
pembeli yang mencari perusahaan atau penjual yang menjual dengan harga
murah.1
Salah satu esensi penting bagi terselenggaranya pasar sempurna adalah
persaingan antar pelaku usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen.
Dalam hal ini, persaingan usaha merupakan sebuah proses di mana pelaku
usaha dipaksa menjadi perusahaan yang mampu meningkatkan efisensinya
dalam menawarkan pilihan-pilihan produk yang berkualitas dan tentu dengan
harga yang lebih rendah. Untuk merebut pasar, maka para pelaku usaha
berlomba-lomba untuk menawarkan produk dan jasa yang menarik, baik dari
segi harga, kualitas, dan pelayanan.2
Pada era globalisasi perekonomian dunia saat ini, mendorong
masuknya barang dan/atau jasa dari berbagai Negara yang turut serta
meramaikan pasar di dalam Negeri yang potensial untuk menciptakan iklim
1

D. Carlton dan J. Perloff, Modern Industrian Organization, (New York: Addison-Wesley Longman, Inc,
1999), hlm. 68.

2
Andi Fahmi Lubis, et. al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Jakarta: ROV Creative
Media, 2009), hlm. 2.

pasar persaingan yang tidak sempurna. Pada awal masa globalisasi ekonomi
itu

terjadi,

pasar

didominasi

oleh

monopoli

dan

oligopoli,


yang

mengakibatkan matinya proses mekanisme pasar serta merugikan konsumen
karena pasar hanya dikuasai oleh beberapa pelaku usaha. Persaingan antar
pelaku usaha yang tidak sempurna seringkali merugikan konsumen dan juga
Negara karena sektor-sektor ekonomi bergabung menjadi satu dengan produk
barang dan/atau jasa yang saling tidak berhubungan dan bermacam-macam
yang dapat mematikan pasar. Oleh karena itu, pengaturan hukum mengenai
persaingan usaha tidak sehat diperlukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Globalisasi membuat transaksi ekonomi menjadi bersifat transnasional
sehingga pemberdayaan sumber daya tidak terbatas hanya di dalam negeri.
Negara tidak dilarang untuk menerapkan kebijakan industri guna melindungi
kepentingan

sektoral

dan

strategis


nasionalnya

sepanjang

memang

dialokasikan untuk meningkatkan daya saing dan mensejahterakan rakyatnya.
Dengan berlakunya pasar bebas (free trade) pada masa globalisasi
menjadikan setiap Negara untuk memiliki aturan hukum mengenai persaingan
ini, terkhususkan bagi Tiongkok dengan The Anti-monopoly Law (AML) yang
mulai diterapkan sejak 1 Agustus 2008 dan Jepang dengan undang-undang
antitrust Law yang kurang lebih sama dengan Tiongkok. Kedua Negara ini
merupakan subyek utama yang kewenangan lembaga pengawas persaingan
usahanya akan diperbandingkan di Bab Pembahasan.

B. PEMBAHASAN
Salah satu esensi penting dari terselenggaranya pasar bebas seperti
yang telah disebutkan di atas adalah persaingan para pelaku usaha dalam


memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam persaingan usaha merupakan sebuah
proses dimana para pelaku usaha dipaksa untuk menjadi perusahaan yang
efisien dalam menawarkan pilihan-pilihan produk dan jasa dengan harga yang
lebih rendah. Untuk merebut hati konsumen, para pelaku usaha berusaha
untuk menawarkan produk yang menarik dari segi harga, kualitas dan
pelayanan. 3
Fungsi penegakan hukum bertujuan untuk menghilangkan berbagai
hambatan persaingan berupa perilaku bisnis yang tidak sehat. Sementara
proses pemberian saran pertimbangan kepada pemerintah akan mendorong
proses reformasi regulasi menuju tercapainya kebijakan persaingan yang
efektif di seluruh sektor ekonomi. Selama ini, baik dalam proses penegakan
hukum maupun dalam analisis kebijakan Pemerintah, seringkali ditemui
bahwa kebijakan menjadi sumber dari lahirnya berbagai praktek persaingan
usaha tidak sehat di beberapa sektor.
Pada dasarnya dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang wajar, akan
tetapi langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan tersebut harus
tetap dalam koridor yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Persaingan yang sehat hanya dan jika terjadi perilaku usaha
yang sehat yang nantinya akan menghasilkan berbagai produk barang dan jasa

dengan ragam pilihan serta harga yang sangat kompetitif.
Untuk menjaga persaingan yang sempurna ini maka baik Negara maju
seperti Tiongkok dan Jepang membentuk undang-undang anti monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat (antitrust laws). Antitrust laws awalnya berasal
dari aturan hukum yang ditujukan untuk mencegah pengelompokanpengelompokan industri-industri yang membentuk “trust” (sejenis kartel atau
penggabungan)

untuk

memonopoli

komoditi-komoditi

strategis

dan

menyingkirkan para pesaing lain yang tidak tergabung dalam trust tersebut.4

3


Ditha Wiradhiputra, Hukum Persaingan Usaha: Suatu Pengantar, Bahan Ajar Hukum Persaingan
Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008.
4
Andi Fahmi Lubis, et. A1., Opcit, hlm. 4.

Kebijakan mengenai hukum antitrust tersebut bukanlah hal yang baru
diakui oleh Negara-negara di dunia. Amerika Serikat sudah melarang praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sejak 1890 dengan adanya
Sherman Act.5 Lain halnya dengan Jepang, Negara ini memiliki antitrust law
yang diberi nama dengan The Antimonopoly Law (AML) yang mulai
diberlakukan sejak tahun 1947 setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.
Antitrust law-nya pun diadopsi dari model antitrust law Amerika Serikat.
Dengan berlakunya undang-undang tersebut, beberapa industri raksasa di
Jepang terpaksa direkstrukturisasi dengan memecah diri menjadi perusahaan
yang lebih kecil.
Dampak dari diberlakukannya undang-undang anti monopoli di
Jepang tersebut terlihat signifikan. Suatu aturan dapat diberlakukan dengan
baik bila ada organ penegak hukum. Suatu aturan hukum yang baik secara
formil tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung organ penegak

hukumnya. Penegakan pesaingan usaha ini dilakukan dengan membentuk
komisi sebagai pengawasan terhadap berjalannya pasar agar berjalan agar
berjalan dengan sempurna. Peranan komisi persaingan usaha di tiap-tiap
Negara dalam penyelesaian perkara persaingan usaha adalah berbeda tetapi
pada dasarnya adalah untuk memberikan penilaian apakah terjadi perjanjianperjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha yang dilarang. Jika komisi ini
menilai telah terjadi perjanjian-perjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha
yang dilarang, maka komisi ini dapat menggunakan wewenang dan fungsinya
untuk menghentikan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang
dilarang.
Adapun penegakan persaingan usaha di Tiongkok dibebankan kepada
AMEA (Anti Monopoly Enforcement Agency) yang didesain oleh State
Council dari Tiongkok. Di sisi lain, Jepang meresmikan JFTC (Japan Fair
Trade Commission) di tahun yang sama dengan dimulainya penerapan
Undang-Undang antitrust-nya yakni pada tahun 1947. JFTC merupakan
5

Ernest Gellhorn dan William E. Kovacic, Antitrust Law and Economic, (United States of America: West
Publishing Co., 1994), hlm. 1.

komisi bentukan Jepang untuk mengawasi persaingan usaha yang dibentuk

meniru FTC di Amerika Serikat.6

B.1.

Hukum Persaingan Usaha dan Lembaga Pengawas di Jepang

Begitu pula dengan undang-undang anti monopoli yang berada di
Jepang, berbeda dengan di Amerika Serikat. Pada dasarnya antitrust law
(AML) di Jepang adalah hukum administrasi yang ditegakkan oleh personel
pemerintah melalui konsultasi pribadi dengan para pihak. Pada awal
berlakunya Undang-Undang Anti Monopoli Jepang, undang-undang ini
diberlakukan secara ketat, namun dalam perjalanannya, pemberlakuannya
tidak seketat pada awalnya.
Penegakan AML oleh JFTC memburuk di bawah bayang-bayang
kebijakan

industri

yang


diumumkan

oleh

Kementrian

Perdagangan

Internasional dan Industri (MITI). Namun demikian, dimulai pada tahun 1970,
AML mulai menunjukkan kebangkitan, dan pada tahun 1977, Jepang
diperkuat dengan ketentuan baru (terutama sebagai ukuran untuk memerangi
inflasi yang terjadi akibat krisis minyak di Timur Tengah). Terpenting adalah
pengenalan biaya untuk memberantas kartel ilegal. Pungutan biaya benarbenar memainkan peran yang efektif guna mengefektifkan pembuatan
larangan terhadap kartel oleh JFTC. Sebelum tahun 1977, JFTC tidak bisa
memberikan sanksi untuk kartel, namun tekanan eksternal (terutama Amerika
Serikat) mempengaruhi Jepang untuk memperkuat AML dan JFTC.
AML dibentuk untuk memberikan batasan pada tiga jenis perilaku,
yaitu:
(1) Monopoli;
(2) Kartel;
(3) Praktek bisnis yang tidak adil.
Selain ketiga kategori di atas, AML juga mencakup ketentuan yang mengatur
tentang merger dan akuisisi. Dua undang-undang khusus diberlakukan untuk
6

Mashahiro Murakami, The Japanese Antimonopoly Act 2003, hlm. 64.

melengkapi AML, yaitu the Law to Regulate Unreasonable Premium and
Unreasonable Representation and the Law to Prevent Unreasonable Delay in
Payment of Subcintractors and Related Matters. Ini adalah kerangka
peraturan yang masih berlaku sampai saat ini. 7
Biaya tambahan 2% untuk melawan perusahaan yang berpartisipasi
dalam kartel dirumuskan dalam amandemen tahun 1977. Pada tahun 1992,
amandemen meningkatkan biaya tambahan sampai 6%. Amandemen tahun
2005, meningkat mnejadi 10% dan tahun 2010, dinaikkan menjadi 15% untuk
kelompok kartel dan pelangaran berulang. Amandemen 2005 juga
memperkenalkan program kelonggaran dan ini membuat penegakan hukum di
JFTC lebih efektif dalam menangani kartel internasional.8
Kenaikan harga yang tajam pada awal 1960-an, menyebabkan AML
dianggap sebagai suatu terobosan baru untuk memerangi harga tinggi yang
dapat dikatakan penyebabnya oleh kartel, jual-rugi dan predatory pricing
yang disebabkan oleh struktur oligopolistik dalam perekonomian. Penegakan
yang signifikan oleh AML di tahun 1960 diperjelas dengan peningkatan
jumlah kasus yang ditangani oleh JFTC mengenai penetapan harga kartel
antara perusahaan dan asosiasi perdagangan.9
Selain itu, peristiwa penting di tahun 1960 adalah liberalisasi
perdagangan asing dan transaksi saham. Sampai pertengahan tahun 1960,
perdagangan luar negeri dan investasi yang diatur secara ketat melalui kuota
impor dan pembatasan pada pengenalan modal asing ke Jepang. Akibatnya,
ada ruang yang relatif kecil untuk persaingan bebas sebagai perkembangan
liberalisasi. Peran AML meningkat di berbagai bidang seperti lisensi paten
internasional. Sebagai respon terhadap situasi baru, JFTC mengumumkan
pedoman baru uang mengatur bagaimana komisi perdagangan akan
7

Mitsuo Matsushita, Reforming the Enforcement of Japanese Antimonopoly Law, Loyola University
Chicago Law Journal, hlm. 523, www.luc.edu, diakses 3 Juli 2015.
8
Ibid, hlm. 524.
9
Mitsuo Matsushita, the Antimonopoly Law of Japan, hlm. 153, , diakses 3 Juli 2015.

mengawasi ketentuan secara ketat dalam kontrak internasional antara
perusahaan Jepang dengan asing.10
Hukum monopoli Jepang berubah secara mendasar pada tahun 2005.
Pada tahun tersebut, proses penegakan AML diubah. Suatu prosedur
diperkenalkan JFTC untuk mengeluarkan perintah untuk menghentikan dan
berhenti

kepada

dugaan

pelanggar,

mengharuskan

mereka

untuk

menghentikan perilaku tersebut setelah penyelidikan. Perubahan ini juga
membebankan biaya tambahan administratif kepada dugaan pelanggar dimana
biaya tersebut harus dikenakan.11
Berdasarkan prosedur ini, JFTC berinisiatif melakukan penyelidikan
dan menyimpulkan suatu pelanggaran apabila terbukti, yang kemudian
memberitahukan kepada pihak yang melakukan pelanggaran. JFTC juga
berwenang untuk mengambil tindakan yang merugikan.12
Dalam rangka mempertahankan persaingan yang adil dan bebas dalam
pasar, JFTC memberlakukan AML. JFTC berupaya untuk memulihkan
ketertiban dengan memberikan perintah ketika praktek ilegal telah terdeteksi,
kartel, dan sebagainya. JFTC diberikan wewenang oleh undang-undang secara
langsung. Berdasarkan pasal 49 dari AML, memungkinkan dari JFTC untuk
memberikan keluhan atas sesuatu yang diduga melanggar undang-undang,
melakukan gelar pendapat, serta menghentikan tindakan lainnya yang
diperlukan untuk melenyapkan pelanggaran-pelanggaran yang ada di dunia
persaingan usaha.
JFTC merupakan lembaga penegakan AML. JFTC terdiri dari seorang
ketua komisi, empat komisaris dan sekertariat. Secara keseluruhan, JFTC
memperkerjakan lebih dari 500 pengacara dan pegawain lainnya. Ketua
dinominasikan oleh Perdana Menteri, sesuai dengan persetujuan dari kedua
10

Ibid.
Mitsuo Matsushita, loc.cit, hlm. 526, diakses 3 Juli 2015.
12
Ibid.
11

Majelis the National Diet, kesesuaian calon juga harus diverifikasi oleh
Kaisar. Komisaris adalah yang ditunjuk oleh Perdana Menteri dengan
persetujuan the National Diet. JFTC memiliki kekuasaan administratif, quasi
administratif, dan quasi yudisial. Lingkup administrasi meliputi kekuatan
lisensi (misalnya, kekuatan untuk membenarkan kartel dengan kompetisi
adil), keharusan untuk menerima dan memeriksa pemberitahuan (seperti
pemberitahuan pembentukan asosiasi perdagangan dan penandatangan
kontrak), hak prerogratif untuk berkonsultasi dengan kementrian lainnya dan
memberikan nasihat kepada industri, juga memiliki kewenangan untuk
melakukan penelitian ekonomi. 13
Kekuasaan quasi legislatif, diantaranya adalah kekuasaan untuk
mengawasi dan menjelaskan tentang praktek persaingan usaha tidak sehat.
Kekuasaan quasi yudisial termasuk kekuasaan untuk melakukan investigasi,
untuk mengadakan dengar pendapat administrative dan untuk membuat
kesahan atas perilaku.14
Ketika JFTC menganggap bahwa adanya pelanggaran, JFTC dapat
memilih untuk mengeluarkan pernyataan kepada pihak yang melakukan
pelanggaran

dan

merekomendasikan

bahwa

pihak

tersebut

harus

menghentikannya. Jika pihak tersebut menerima rekonmendasi, JFTC tidak
perlu melanjutkan proses dengan mengeluarkan keputusan resmi. Apabila
seperti ini keputusan JFTC disebut dengan rekomendasi.
Apabila sidang administrasi digelar, Responden dapat mengusulkan
kepada JFTC bahwa ia akan menerima tuduhan fakta dah hukum sebagaimana
tercantum dalam pengaduan kepada JFTC dan JFTC dapat mengambil
tindakan yang diperlukan guna menghentikan perilaku tersebut dan
memulihkan iklim persaingan. Keputusan JFTC dapat diajukan banding ke
13

Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia,
(Malang: Banyumedia Publishing, 2006), hlm. 160.
14
Ibid.

Pengadilan Tinggi Tokyo dan Mahkamah Agung. Namun, pihak yang
menerima keputusan rekomendasi atau putusan tersebut, tidak dapat
membahas gugatan tersebut berdasarkan kesepakatan antara responden dan
JFTC.15
Meskipun eksistensi JFTC pada dasarnya adalah sebagai sebuah organ
administratif yang independen, namun masih terbuka celah bagi campur
tangan pihak luar yang dapat mempengaruhi independensi JFTC. Celah-celah
campur tangan pihak lainnya misalnya disebabkan karena aktivitas JFTC
diawasi oleh Parlemen, lagipula penunjukan ketua komisi harus dilakukan
melalui persetujuan Parlemen. Di samping itu, setiap tahun JFTC wajib
menyampaikan laporan aktivitas penegakan AML kepada Parlemen.
Sementara itu kewenangan rekrutmen ketua dan anggota komisi JFTC
mengusulkan perangkat aturan-aturan terkait, serta mengusulkan anggaran,
berada di tangan Perdana Menteri. Celah-celah ini yang masih memungkinkan
intervensi yang bisa mempengaruhi kinerja JFTC sebagai sebuah lembaga
yang independen.16
Pada tahun 2010, rancangan undang-undang untuk merevisi AML
mengusulkan untuk merevisi prosedur internal JFTC, yaitu meniadakan postorder sidang dan sistem pemeriksaan yang terjadi di JFTC, dan memberikan
yurisdiksi eksklusif kepada Pengadilan Distrik Tokyo, untuk memeriksa
banding atas perintah JFTC. Secara khusus, JFTC dapat dikatakan sebagai
quasi yudisial, sebagian karena JFTC melakukan tindakan pemeriksaan.
Penghapusan tindak pemeriksaan, tidak akan mengubah status JFTC sebagai
komisi administrasi independen.
Berdasarkan Pasal 56 AML, dalam hal penyusunan petugas pemeriksa
dan penyidik terpisah, dan petugas pemeriksa juga diperbantukan dari luar
(misalnya hakim) untuk menjamin ketidakberpihakan. Penyelidikan yang
15
16

Pasal 80 AML.
Johnny Ibrahim, Opcit.

dilakukan JFTC dan prosedur pemeriksaannya biasa setidaknya memakan
waktu dua tahun, faktanya bahwa sangat mahal bagi perusahaan untuk melalui
penyelidikan dan pemeriksaan, dan kemudian mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Tokyo untuk membatalkan keputusan JFTC. Juga
transparasi kemungkinan akan ditingkatkan bila banding dari perintah JFTC
dipindahkan ke Pengadilan Negeri.17
Berikut dibawah ini adalah penjelasan dari prosedur dalam
penyelesaian perkara JFTC dalam bentuk istilah, antara lain:
1) A clue for starting investigation: Apabila JFTC mendeteksi
tersangka melalui penyelidikan mantan pegawainya, informasi
yang diberikan oleh masyarakat dan Leniency Program18, ini
akan memperlancar penyelidikan.19
2) Administrative investigation: Inspeksi di tempat dilakukan
terhadap pengusaha yang diduga melakukan tindakan ilegal
dalam rangka untuk menyelidiki buku akuntansi dan dokumen
terkait, dan mengikutsertakan pihak tertentu untuk melakukan
pemeriksaan secara rinci apabila diperlukan.20
3) Compulsory investigation for criminal cases: Sesuai dengan
surat perintah yang diterbitkan oleh hakim, kunjungan dan
pencarian terhadap pengusaha bersangkutan dilakukan untuk
penyitaan benda-benda yang diperlukan. Jika tuduhan pidana
beralasan sebagai hasil dari investigasi, tuduhan diajukan
kepada jaksa penuntut umum.21
4) Advance notification: Apabila tindakan ilegal diakui sebagai
hasil dari penyelidikan, JFTC memutuskan dalam perintah
17

Mitsuo Matsushita, loc.cit, hlm. 530, diakses 3 Juli 2015.
Keistimewaan bagi para pelaku usaha yang terindikasi melakukan kartel atau praktek lainnya.
Syaratnya, pelaku usaha tersebut harus bersedia membuka data dan informasi kepada KPPU
mengenai kartel atau praktek lainnya yang dilakukan.
19
International Affairs Divison JFTC, For Fair and Free Market Competition, hlm. 20, www.jftc.go.jp,
diakses 4 Juli 2015.
20
Ibid.
21
Ibid.
18

untuk menghentikan dan berhenti, dan perintah pembayaran
biaya tambahan, yang dianggap wajar dan memberikan
pemberitahuan terlebih dahulu terhadap para pengusaha dalam
isi perintah tersebut.
5) Opportunity to present views and to submit evidence: Pelaku
usaha dapat menyampaikan pandangan mereka mengenai isi
perintah dalam pemberitahuan sebelumnya. Untuk menjamin
ukuran keputusan administratif yang adil, mereka tidak bisa
hanya menyampaikan pandangan mereka, tetapi harus turut
mengajukan bukti.22
6) Cease and desist orders: Perintah untuk menghentikan dan
berhenti merupakan ukuran administrasi yang ditujukan untuk
mendorong penghapusan tindakan illegal. Dalam kasus kartel,
pelaku usaha yang terlibat diperintahkan untuk mencabut
kenaikan harga, dan sebagainya.23
7) Surcharge payment orders: Perintah pembayaran biaya
tambahan adalah tindakan administratif yang diberlakukan
pada kasus-kasus seperti kartel, praktik curang dan monopoli
swasta. Pembayaran biaya tambahan dihitung sesuai dengan
formula tertentu dan dibuat untuk kas Negara.24
8) Hearing procedures and decision: Apabila permintaan untuk
prosedur

pemeriksaan

dibuat,

penetapan

fakta-fakta

pelanggaran dan tinjauan yang berlaku dilakukan. Setelah
prosedur pemeriksaan, keputusan dibuat berdasarkan faktafakta pelanggaran.25
9) Lawsuit: Apabila pelaku usaha tidak puas dengan keputusan,
mereka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
Tokyo untuk meminta pencabutan, atas ketiadaan

22

Ibid.
Ibid.
24
Ibid.
25
Ibid.
23

bukti

substansial pada keputusan atau dalam kasus pelanggaran
Konstitusi, pengadilan mencabut keputusan tersebut.26
B.2.

Hukum Persaingan Usaha dan Lembaga Pengawas di Tiongkok
Hukum persaingan usaha di Tiongkok diatur didalam Anti Monopoly Law

yang baru berlaku pada tanggal 1 Agustus 2008 yang berlaku di seluruh Tiongkok
kecuali di Hong Kong dan Makau. Dasar didalam Hukum persaingan usaha di
Tiongkok ini mencakup tiga hal pelarangan terhadap persaingan usaha, antara lain:



Kesepakatan sistem monopoli antar pelaku usaha (Bab II dan III dari AML)
Penggabungan perusahaan (merger) yang berdampak pada persaingan usaha



tidak sehat (Bab IV dari AML)
Penyalahgunaan posisi dominan didalam persaingan usaha (Bab V dari AML)

Didalam AML sendiri diatur mengenai lembaga yang melaksanakan peraturan
didalam hukum persaingan usaha di Tiongkok, antara lain27:


Komite Anti Monopoli yang berada dibawah Dewan Negara, yang
bertanggungjawab didalam pengembangan kebijakan persaingan usaha,
melakukan investigasi terhadap pasar, memberikan pengarahan dan



koordinasi atas perihal administratif didalam persaingan usaha.
The Anti-Monopoly Enforcement Authority (AMEA), yang bertanggungjawab
didalam penegakan atas AML

Berikut merupakan bagan dari AMEA yang terdiri dari beberapa lembaga, sebagai
berikut

National Development
and Reform
Commission (NDRC)
26
27

Anti Monopoly Enforcement
Agency (AMEA)

State Administration
for Industry and
Commerce (SAIC)

Ibid.
Slaughter dan May, Competition Law in China, (2015), hal 1

Ministry of Commerce
(MOFCOM)

Setiap lembaga yang berada dibawah AMEA ini memiliki lembaga dibawahnya yang
berada di tingkat daerah dan bertanggungjawab terhadap lembaga yang berada di
tingkat pusat. Ketiga lembaga tersebut memiliki kewenangannya masing-masing dan
dapat menangani kasus yang sama secara bersama-sama.
Komite Anti Monopoli bertugas melakukan koordinasi atas penegakan peraturan
didalam hukum persaingan usaha di Tiongkok. Selain itu komite ini juga melakukan
kebijakan atas hukum persaingan usaha dan melakukan investigasi didalam pasar.
Komisi ini memiliki komposisi sebanyak sembilan belas anggota, yang biasanya
tingkat kementerian atau direktorat dari berbagai macam kementerian. Sedangkan
Ministry of Commerce atau MOFCOM bertanggungjawab kepada AMEA serta
memiliki kerjasama dengan Biro Anti Monopoli dan memiliki tugas untuk penegakan
regulasi merger perusahaan di Tiongkok. Komposisi MOFCOM sendiri terdiri dari
tiga puluh orang anggota. Sedangkan National Development and Reform Commission
atau NDRC sendiri memiliki tanggungjawab terhadap AMEA, juga bekerjasama
dengan Biro Anti Monopoli dan Pengawasan Harga serta biro-biro yang ada di
tingkat provinsi.
NDRC sendiri bertugas untuk menegakkan peraturan dan larangan didalam
abuse of administration power didalam hal-hal yang menyangkut penentuan harga
pasar.

NDRC

sendiri

beranggotakan

dua

puluh

orang.

Sementara

State

Administration for Industry and Commerce atau SAIC bertanggungjawab kepada
AMEA dan bekerjasama dengan Biro Anti Monopoli dan Biro Persaingan Usaha
Tidak Sehat serta biro-biro tingkat provinsi. SAIC bertugas untuk menegakkan
peraturan dan larangan didalam abuse of administration power pada hal-hal yang
berkaitan dengan non-harga didalam pasar. SAIC sendiri beranggotakan kurang lebih
sepuluh orang28.

28

Norton Rose, Group, Antimonopoly Law in China, (Norton Rose Group, 2012), hal 9

C. KESIMPULAN
Setelah menyimak berbagai penjelasan mengenai perbandingan kasar
antara AMEA di Tiongkok dan JFTC di Jepang, berikut di bawah ini dapat
dipaparkan beberapa kesimpulan terkait, antara lain:
1. Diperlukannya komisi persaingan usaha adalah

ditujukan untuk

meningkatkan interaksi dengan para pihak dalam proses anti persaingan
usaha dan untuk memperkuat mekanisme untuk melindungi hak-hak
prosedural para pihak tersebut. Langkah-langkah ini akan meningkatkan
transparansi dan keadilan dari proses kompetisi. Mereka memberikan
gambaran yang jelas apa yang diharapkan dari berbagai tahap
penyelidikan antitrust dan meningkatan kemampuan untuk merinteraksi
dalam bentuk pelayanan komisi. Apabila ada pihak yang memiliki
sengketa mengenai hak-hak prosedural, mereka dapat menyerahkannya
kepada petugas pemeriksaan kompetisi, yang memiliki peran yang
ditingkatkan selama proses keseluruhan antitrust.
2. Kedua antitrust Law di kedua Negara sudah membuktikan bahwa
meskipun Tiongkok baru memberlakukannya sejak 2008, namun itu tidak
menutup kemungkinan bahwa tegaknya kepastian hukum dalam proses
penanganan atas perkara persaingan usaha akan selalu menjadi tujuan
utama dibentuknya antitrust ini.
3. Adapun persamaan wewenang dan tugas yang diberikan oleh AML di
kedua Negara baik AMEA maupun JFTC adalah sebagai berikut:
 Menerima dan meneliti laporan dari perusahaan-perusahaan yg


berkenaan dengan AML;
Melakukan survei umum mengenai aktivitas usaha, kondisi



ekonomi dan kondisi monopolistik;
Melakukan fungsi konsultatif dengan perusahaan-perusahaan dan
asosiasi dagang;



Membicarakan persoalan-persoalan persaingan usaha dengan

organisasi internasional dan otoritas hukum persaingan negara lain.
4. Adapun JFTC dan AMEA dalam bertindak berdasarkan rambu-rambu
sebagai berikut:
 Diskriminasi yg tidak wajar (unreasionalble discrimination),
memboikot, menolak menjual pada satu perusahaan, diskriminasi


harga;
Transaksi dengan harga yg tidak wajar (transaction with




unreasionable pricing);
Bujukan dan pemaksaan yg tidak wajar terhadap pelanggan;
Pembatasan yg tidak wajar. Misalnya pengaturan harga (resale
price maintanance), perjanjian dagang secara eklusif (exclusive
dealing), pembatasan

wilayah

(territorial restriction), dan



pembatasan pelanggan (custumer restriction);
Penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position in the



transaction);
Campur tangan yg tidak wajar dalam masalah internal pihak
pesaing (unreaseonable interfence in internal matters of
competition).

Brief Case of Tingkok and Japan Antitrust Law
Source:

http://www.usito.org/news/guangdong-court-releases-redacted-huawei-v-idc-decision
http://en.anjielaw.com/downloadRepository/084d342a-0bc7-4592-a79652e9b9f140ce.pdf
http://www.beijingeastip.com/en/NewsShow.aspx?p=2&id=98419a90-eb86-428b80bf-8ba919b00a8a&nid=aa6bbcea-e78e-41af-a23e-652f65022ed8
Standard Essential Patent Royalty Fee Case
Appellate Case on Standard Essential Patent Royalty Fee
Huawei Technologies Co., Ltd. v. InterDigital (IDC)
Guangdong High Court Civil Judgment
(2013) Yue Gao Fa Min San Zhong Zi No. 305
Beijing EAST IP Law Firm presented
English Translation for Reference Merely

[CASE BRIEF]
Huawei Technology Co., Ltd (“Huawei”) has negotiated with InterDigital (IDC) for
many times on standard essential patent royalty or royalty rate. During negotiations,
IDC filed a lawsuit to an American court and requested the International Trade
Commission of the United States to start 377 investigations and issue a complete
injunction on imports, and cease and desist orders on relevant goods of Huawei.
Then, Huawei filed a lawsuit to Shenzhen Immediate Court in Guangdong Province
and requested IDC to follow the standard essential patent royalty rate according to the
principle of Fair, Reasonable and Non-discriminatory (“FRAND”). The first instance
of Shenzhen Immediate Court held that, according to the FRAND principle, the
standard essential patent royalty rate should be 0.019%. IDC refused to accept the

judgment and appealed to Guangdong High Court. The second instance of
Guangdong High Court held that whether understand it literally or according to the
intellectual property policies of European Telecommunications Standards Institute
and US Telecommunications Industry Association and relevant regulations under
Chinese laws, the FRAND obligation should be understood as “fair, reasonable and
nondiscriminatory” license duty. The standard essential patent owner shall not
directly decline license to standard users in good faith who are willing to pay
reasonable fee, which not only guarantee sufficient returns of the patentee, but also
prevent the standard essential patent owner from charging high royalty rate or adding
unreasonable additional requirements. The core of FRAND duty lies in determination
of reasonable and non-discriminatory license fee or royalty rate. Both Huawei and
IDC are members of European Telecommunications Standards Institute and IDC has
the obligation to license the standard essential patent to Huawei. The two parties shall
negotiate on royalty or royalty rate according to FRAND principle and shall request
the court’s ruling if the negotiation fails. The People’s Court must consider the
essential patent’s characteristics, the profits obtained from patent enforcement and
similar patents, and their percentage in sale profits or sale revenue of relevant good of
the licensee, the fact that patent royalty shall be less than certain percentage in goods
profits, the difference among each company on patent license and Huawei needs to
pay extra fee if enforcing other standard essential patents of IDC outside China, and
reasonably determine this case’s royalty.

Guangdong Court Releases Redacted Huawei v. IDC Decision
Earlier this month, the Guangdong Provincial High Court published a
redacted version of its decision in the Huawei v. IDC intellectual property
case. This marks a positive step that could facilitate greater transparency in a
wide range of IP cases. It also offers a rare, clear window into Chinese
intellectual property jurisprudence and the future intersection of standardsessential patents (SEPs) and anti-monopoly law in China.

According to the redacted decision published by the Guangdong High
Court, the key questions that the court considered were the definition of the
relevant market, the findings of market dominance and the question of
whether IDC abused its dominant market position. In addition, the court
explored whether IDC was tying the licensing of its SEPs to its non-SEP
technologies, and offered insight into the reasoning behind Huawei's RMB 20
million damages estimate.
Last week, Xinhua News reported that Guangdong Province is in the
process of creating a Special Intellectual Property Court. According to the
article, the number of IP cases heard in Guangdong's nine largest cities
increased from 2,352 in 2010 to 9,440 in 2013. The Chinese Supreme Court
and the Guangdong Provincial High Court are currently selecting cities to
become "trial locations" for the new IP courts.
The redacted Huawei v. IDC decision can be viewed in Chinese on the
Guangdong High Court official website. In addition, USITO has published a
report on the Huawei v. IDC case which includes background and key
takeaways from the newly published decision.

http://www.reuters.com/article/2010/07/12/bhpbilliton-idUSSGE66B0IH20100712
UPDATE 1-Japan to extend review of BHP-Rio Tinto deal – Nikkei
Japanese regulators may move forward with its antitrust review of BHP Billiton
(BHP.AX) (BLT.L) and Rio Tinto Group's (RIO.AX) (RIO.L) plan to integrate their
Australian iron ore operations, the Nikkei business daily reported.

The Japan Fair Trade Commission will seek additional information from the two
Anglo-Australian miners on Friday, when the initial 30-day review ends, and decide
on it within 90 days, the daily said.

Steelmakers in Japan have argued that the integration could lead to higher prices and
hamper fair competition as the two firms supply about 60 percent of the iron ore that
Japan consumes, the Nikkei said.
The two companies, along with Brazil's Vale SA, control 70 percent of the world's
iron ore market, the daily said.
Antitrust authorities in Australia, the European Union, China, South Korea and
elsewhere are reviewing the integration which BHP and Rio Tinto announced in
December, the newspaper said. (Reporting by Megha Mandavia in Bangalore; Editing
by Don Sebastian)