Multikulturalisme implementasi pendidikan Di Eropa

Multikulturalisme di Eropa
Dalam Rangka memenuhi Tugas
dari mata kuliah HI Eropa

DISUSUN OLEH :
Fikri Ardiyansyah

1242500922

Zikra Ali Anwari

1242500336

Rudolof Denis T Rene’l

1242500138

Nabila

1242500724


Alfianto

1142500501

Hervillo Glen

1142500840

Hilastu Firadus

1142500295

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
2015

Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang multikulturalisme di Eropa sangatlah terkait
dengan ekspansi Islam ke Eropa dan penguasaan terhadap gereja-gereja

di Eropa memunculkan berbagai pengalaman, yang tidak kesemua
negaranya merasakan adanya mutual cooperation, tetapi justru yang
membekas hingga saat ini adalah sejarah penuh konflik dan perang.
Ingatan sejarah yang penuh kesuraman itu masih harus ditambahkan
dengan masa lalu yang penuh polemik antara Kristen dan Islam bahkan
hingga saat ini menyisakan usaha saling meneguhkan truth claim
diantara kedua belah pihak.
Faktanya dalam konteks pre-konsepsi dari kehadiran Islam di
negara Eropa pada sepertiga akhir abad XX.Masyarakat Muslim yang
datang ke Eropa di era Modern pada umumnya adalah para veteran
tentara

pada

PD

II,

pengungsi


(Al

Jazair,

Maroko,

Tunisia

di

Perancis).Kemudian, atas kebutuhan modernisasi industri di Eropa,
datanglah para imigran pekerja (Pakistan dan India di Inggris, dan di
Eropa Barat, Maroko, Indonesia dan Turki di Belanda).Kedatangan kedua
kelompok awal ini masih dipandang sebelah mata oleh umumnya negara
Eropa. Dan ini berbekas pada kebijakan masing-masing negara terhadap
kaum imigran.
Melalui ulasan sejarah tersebut, seorang ahli berpendapat yang
mengatakan bahwa kedatangan Islam di Eropa tidak terlepas dari
kebijakan dan persepsi masing-masing negara terhadap imigran, memori
historis, serta yang lebih dalam membekas adalah praktik kolonialisme

yang mencakup hampir seluruh Negara berpenduduk Muslim.Lebih
lengkap

ia

mengatakan:

“Each

Europe

nation

has

a

particular

relationship with its immigrant, which has been influenced by its colonial

legacy, its historical memory, and its traditional perception of its former
subject people. Each nation is in the process of developing policies and
models for the treatment of its newest citizens, who put the nation’s
self-perception of liberal traditions and religious tolerances to the test.
Kedatangan Islam sejak 1970-an di Eropa Barat adalah sebuah
ancaman. Sementara, bagi yang lain, gelombang kedatangan imigran
Muslim berarti mulainya perubahan demografi. Sebagai bagian dari
konsekuensinya adalah sebuah tantangan kultural secara besar-besaran.
Baru pada kedatangan gelombang ketiga, yakni kaum imigran yang

mayoritas adalah pelajar, persepsi sinical itu sedikit-demi sedikit mulai
terhapus.Hubungan yang mulai melunak dan cair ini terjadi karena
semakin banyaknya turunan generasi kedua dan ketiga dari imigran
Muslim yang menganggap Eropa bukan lagi tempat tinggal sementara,
melainkan tanah kelahiran mereka. Pada satu sisi situasi ini memiliki
konsekuensi yang cukup baik bagi relasi negara-imigran. Tetapi pada sisi
lainnya, juga menyisakan problem psikologis bagi umat Islam, terutama
karena adanya asumsi “bahwa menjadi bagian dari warga Eropa, itu
berarti menjadi semakin sedikit religius”. Seorang ahli berpendapat
bahwa: “In western nations with a tradition of European immigration, the

suitability of Muslims for citizenship was questioned in a variety of ways
and eventually somewhat resolved. This has not necessarily lessened
the prejudice against their presence.”
Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya multikulturalisme yang
ada di eropa sangatlah dipengaruhi oleh sejarah kemunculan islam di
tambahlah lagi pada abad ke 20 dimana banyak veteran perang yang
berasal dari timur tengah yang mengungsi ke wilayah eropa sehingga
banyak percampuran budaya yang ada disana. Semula masyarakat
muslim yang ada di eropa sulit untuk memahami budaya yang ada di
eropa namun dengan berkembangnya waktu masyarakat muslim yang
ada di eropa mulai bisa memahami tentang kebudayaan eropa
dikarenakan sudah melalui proses regenerasi dari waktu ke waktu
sehingga

budaya

eropa

semakin


lama

semakin

di

terima

oleh

masyarakat muslim yang ada di eropa.
Walaupun masyarakat muslim yang ada di eropa sudah mulai
memahami

tentang

kebudayaan

yang


ada

di

eropa

namun

permasalahan itu muncul kembali di prancis dimana terdapat larangan
berjilbab

bagi

wanita

yang

berkerja

di


perusahaan

sehingga

menimbulkan protes dikalangan masyarakat muslim khususnya wanita
yang berada di Prancis. Selain itu, permasalahan multikulturalisme yang
ada di Jerman yang berpengaruh di negaranya.
Selain jerman dan Prancis, Rusia pun mengalami hal yang sama
yaitu permasalahan multikulturalisme di negaranya disana banyak sekali
nilai – nilai yang ada di Rusia yang tidak sesuai dengan etnis Tatar yang
tinggal dinegara tersebut dikarenakan etnis tersebut beragama muslim.
Sehingga menimbulkan gap Antara pemerintah Rusia dengan etnis tatar
yang

beragama

muslim

serta


kebijakan

yang

dikeluarkan

oleh

pemerintah Rusia juga sangat menyudutkan etnis tatar yang ada disana

sehingga di Rusia sering terjadi permasalahan internal yaitu masalah
multikulturalisme yang ada di negaranya. Ditambah dengang adanya
kebijakan Rusifikasi yang ada di Rusia yang membuat etnis minoritas
yang ada disana tersudutkan.

Pembahasan
Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang dimana
multikulturalisme yang ada di Eropa berasal dari perkembangan
munculnya islam disana dikarenakan pada abad ke 20 banyak imigran

yang datang dari timur tengah untuk bekerja dikarenakan pada saat itu
eropa

membutuhkan

tenaga

kerja

yang

cukup

banyak

sehingga

mendatangkan pekerja dari luar eropa yaitu timur tengah. Semenjak hal
tersebut, banyak warga negara dari timur tengah yang menetap di eropa
sehingga melahirkan keturunan yang berakibat timbul pergesekan
kebudayaan antara warga eropa yang asli dengan warga negara eropa
yang merupakan keturunan dari etnis – etnis lain diluar dari bangsa
eropa sehingga memunculkan multikulturalisme di eropa. Terdapat
beberapa negara yang berkaitan dengan multikulturalisme di eropa
antara lain : Rusia, Jerman dan Prancis dimana ketiga negara tersebut
memiliki permasalahan multikulturalisme di negaranya masing – masing.
1

Rusia merupakan negara yang berada di wilayah eropa timur
dimana di negaranya memiliki keberagaman etnis yang ada di disana
antara lain : Rusia 77,7%, Tatar 3,7%, Ukraina 1,4%, Bashkir 1,1%,
Chuvash 1%, Chechnya 1%, lainnya 10,2%, tidak ditentukan 3,9%. Perlu
diketahui bahwa etnis yang ada di suatu Negara sangatlah berpengaruh
terhadap agama yang ada disana. Di rusia sendiri agama yang ada di
Antara lain : Rusia Ortodoks 15-20%, Muslim 10-15%, Kristen lainnya 2%.
Perkembangan muslim di Rusia dibawa oleh etnis Tatar dan Bashkir
dimana kedua etnis tersebut merupakan etnis muslim dan biasanya
etnis muslim yang ada di rusia tinggal di Republik Bashkortostan
merupakan salah satu negara federal dari Rusia yang populasinya
1

D. Gorenburg, Soviet Nationalities and Assimilation: Forthcoming in Reb
ounding Identities: The Politics of
Identity in Russia and Ukraine (Cambridge University Press), edited by Bl
air Ruble, Nancy Popson and Dominique Arel, Harvard University, hal. 1

diperkirakan mencapai 4.1 juta orang dan didominasi oleh etnis Russia
36.1%, etnis Bashkir 29.5% serta etnis Tatar 25.4%. Agama Islam di
wilayah Bashkortostan dianut oleh sekitar 40% dari populasi yang
berasal dari etnis Bashkir dan Tatar lalu penganut Kristen Ortodoks.2
Etnis Tatar berasal dengan konfederasi Tatar yang berada di
gurun Gobi sebelah timur laut di abad ke-5. Setelah penaklukan pada
abad 9 oleh suku Khitans, Suku ini bermigrasi ke selatan. Pada abad ke13, mereka ditundukkan oleh Kekaisaran Mongol di bawah Jenghis Khan.
Di bawah kepemimpinan cucunya Batu Khan, mereka pindah ke arah
barat, membentuk bagian dari Angkatan Emas yang mendominasi
wilayah padang rumput Eurasia selama abad 14 dan 15. Etnis tatar
menaklukkan Rus di tahun 1200 dan memerintah sampai Ivan III, duke
besar Moskow, mengalahkan mereka di tahun 1462. Ivan menjadi
penguasa tunggal atas Rusia tengah. Ia memulai dinasti pertama dalam
kekaisaran Rusia. Pada tahun 1613, aristokrasi Rusia memilih Michael
Romanov sebagai tsar (atau kaisar). Ini adalah permulaan dinasti kedua
yang berlangsung selama tiga ratus tahun. Di bawah Romanov,
Kekaisaran Rusia ukurannya menjadi lebih dari tiga kali lipat, meluas ke
selatan, timur, dan barat. Para tsar terkesan dengan negara-negara kaya
dan canggih dari Eropa Barat. Mereka mencoba untuk meniru Barat. Tapi
masuknya Rusia ke dalam era industri modern terhalang oleh sistem
tenaga kerja abad pertengahan. Petani Rusia, yang disebut serf (petani
pengolah tanah, atau disebut juga budak tanah), tetap terikat dalam
keadaan penghambaan kepada pemilik tanah.3
Dinasti Romanov tetap berkuasa sampai tahun 1917. Di tahun itu,
kekaisaran tersapu oleh revolusi rakyat yang membentuk Uni Republik
Sosialis Soviet, lebih dikenal sebagai Uni Soviet, atau U.S.S.R. Rusia,
yang terbesar dari republik, membentuk inti dari Uni Soviet, memiliki
sekitar setengah penduduknya. Kaum Komunis memerintah negara itu
sampai serikat itu runtuh pada tahun 1991. Sejak saat itu, Rusia telah
berjuang untuk mengatasi efek dari sistem komunis yang gagal. Negara
ini berusaha membangun pemerintahan demokratis dan ekonomi
kapitalis.
2

European Parliament, ‘Violations of Human Rights and Democracy in the
Republic of Mari El in Russian
Federation’ (online), 12 Mei 2005, http://www.europarl.europa.eu/sides/g
etDoc.do?pubRef=//EP//TEXT+CRE+20050512+ITEM‐
025+DOC+XML+V0//EN, diakses pada 6 Juni 2015
3
The Economist, ‘The Dying Fish Swims in The Water’, 20 Desember 2005
, , diakses pada 6 Juni 2015

Selain etnis Tatar dan Bashkir adapula etnis Chech yang
marupakan mayoritas beragama Islam dan tinggal di daerah Kaukasus
Utara

yang

termasuk

wilayah Rusia. Chechenia

dan

Ingushetia

adalah wilayah administratif Rusia yang terpisah sampai 1934, lalu
bergabung dengan pemerintah Soviet dalam wilayah Otonomi Republik
Chechnya-Ingush. Pada 1989 populasi gabungan antara ChechnyaIngush diperkirakan sebesar 1.194.317 jiwa, terdiri dari 237.438 dari
Ingushetia dan 956.879 dari Chechnya. Angka ini termasuk masyarakat
Chechnya-Ingushetia yang

ada

di

Yordania,

Turki,

dan

Suriah

dalam pertengahan abad kesembilan belas yang melarikan diri saat
perang dengan Rusia di Kaukasus.4
Bahasa yang digunakan etnis Chechnya dan Ingushetia berbeda
satu sama lain meski di daerah mereka kedua bahasa tersebut tetap
digunakan. Invasi di Kaukasus menyebabkan adanya dominasi Rusia dan
perginya

orang-orang Chechnya

dan

Ingushetia

selatan

ke

Turki,

Yordania, dan Suriah. Selama delapan belas dan kesembilan belas abad,
Chechnya dan Ingushetia dikonversi dari agama animisme tradisional
mereka

menjadi

kemungkinan

Islam, yang

politik. Hal

ini

dianggap

langkah

yang

dimotivasi

diyakini

bahwa

ada

kelompok

membuat konversi untuk menyesuaikan diri untuk mempertahankan
Kaukasus dari Rusia. Saat ini Islam adalah agama mayoritas penduduk
dan telah menjadi kunci elemen dalam identitas etnis mereka.
Selama bergabung dengan Uni Soviet, etnis Chechnya banyak
mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu perjuangan
etnis Chechnya sebenarnya sudah dimulai sejak masih berada dalam
naungah

Uni

Soviet hingga menjadi

Rusia

seperti sekarang ini.

Perjuangan etnis Chechnya ini terbagi dalam enam periode yaitu 5 :


Periode Pertama
Periode ini terjadi pada sekitar abad 16 dan17. Pada saat itu

Moskow bermaksud untuk meluaskan pengaruhnya di bidang politik dan
ekonomi. Penduduk dan pemimpin Chechnya rupanya tertarik dengan
pendekatan Moskow tersebut dan mulai mengakui dengan sukarela
kekuasaan Moskow atas wilayah mereka.
4

The Baltic Times, ‘Europarliament hits Russia where it hurts’, 18 Mei 200
5,
, diak
ses pada 6 Juni 2015
5
Finno Ugric People, ‘Mari El: Needing an Orange Revolution against Mosc
ow’s meddling in their internal
affairs’, , diakses pada 6 Juni 2015



Periode Kedua
Masa ini terjadi pada abad 18, yaitu adanya ekspansi militer

pertama Rusia ke wilayah utara pegunungan Kaukasus. Pada masa itu
bangsa Chechnya mulai membangkitkan perlawanan bersenjata untuk
memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan mereka. Gerakan anti
kolonial dari Chechnya biasanya dilakukan oleh orang dari golongan
bawah yang merasakan adanya ketidakadilan dalam pemerintahan.


Periode Ketiga
Hubungan antara bangsa Rusia dan Chechnya semakin buruk

pada abad 19. Saat itu pasukan perlawanan Chechnya dinilai berhasil
menyatukan

sebagian

besar

bangsa

Chechnya

dalam

kesatuan.

Kelompok perlawanan Chechnya ini sempat berunding dengan pihak
Rusia untuk membahas perdamaian namun gagal. Tahun 1828 pun
terjadi perang Kaukasia. Perlawanan kelompok Chechnya ini mulai
dipengaruhi oleh semangat jihad.


Periode Keempat
Periode keempat dimulai pada akhir abad ke-19. Saat itu secara

konstitusional Chechnya merupakan bagian dari Rusia dan tetap
mengalami perlakuan yang tidak adil. Pemerintah Rusia kemudian mulai
berpikir bahwa kekerasan tidak akan berhasil mengatasi masalah
separatisme sehingga yang diperlukan adalah sosialisasi kebudayaan
Rusia di Chechnya dengan mendirikan sekolah Rusia yang secara tidak
langsung membuat orang-orang Chechnya untuk lebih memfokuskan diri
pada perekonomian daripada perang. Masa ini juga dikenal sebagai
masa

damai

yang

karena

kondisi

pemerintahan

yang

mulai

melonggarkan peraturan pendudukan etnis yang menandakan gerakan
liberalisasi

sistem

sosial.

Para

pemuka

Chechnya

pun

mencoba

berkompromi dengan membiarkan pembangunan berjalan terus dan
mengikutsertakan pejuangnya untuk membantu Rusia dalam perang,
walau perlakuan diskriminatif terhadap etnis mereka terus terjadi.


Periode Kelima
Pada periode ini

rakyat Chechnya terbagi menjadi tiga kubu

yaitu:
a.

Kubu Nasionalis yang ingin Chechnya bergabung dalam Uni Soviet
(Komunis).

b.

Kubu Nasionalis Demokrat yang ingin bergabungnya orang-orang
gunung dan tetangga Barat mereka bersama bangsa Chechnya untuk
membentuk negara.

c.

Kubu Nasionalis radikal yang merupakan kelompok Islam dan ingin
Chechnya bergabung dengan Turki.
Bentuk perjuangan rakyat Chechnya mulai beragam seperti
dengan usaha membentuk sebuah negara teokratik merdeka juga
pembentukan sebuah negara yang lebih sekuler (Republik Mountaineers
pada tahun 1918). Walau kedua ide itu gagal, namun pihak Chechnya
lain akhirnya memutuskan umtuk mengabdikan diri pada Uni Soviet
yang menjanjikan kebebasan, persamaan, tanah, dan kekuasaan bagi
mereka namun pada kenyataannya, janji Uni Soviet tidak pernah
terwujud.
Etnis Chechnya-Ingushetia akhirnya angkat senjata lagi pada
masa rezim Joseph Stalin. Kekacauan dan kerusuhan semakin berubah
menjadi perang gerilya. Pada masa Stalin terjadi praktik genosida dan
pengusiran kepada beberapa petinggi Chechnya. Setelah masa Stalin,
muncul pemikiran untuk membangkitkan lagi Republik Mandiri Sosialis
Soviet Chechnya-Ingush, sebagai salah satu negara satelit Uni Soviet.
Pejuang-pejuang lama yang dulu dibuang kembali lagi namun Republik
Mandiri Sosialis Soviet Chechnya-Ingushetia tidak pernah diwujudkan
juga.
Pada tahun 1960-an, muncul keberanian dari sebagian warga
Chechnya untuk mengirim surat kepada Central Committee Partai
Komunis di Moskow yang mengkritik sikap pemerintah daerah mereka
terhadap

kehidupan

bermasyarakat

dan

berbudaya

mereka.

Tapi

pemerintah Uni Soviet tidak memberi respon positif. Pemerintah Uni
Soviet malah melancarkan aksi etnosida untuk mematikan unsur dasar
kehidupan

suku

bangsa

Chechnya-Ingushetia,

serta

menimbulkan

trauma bagi mereka.
Chechnya-Ingushetia yang merasa diperlakukan tidak baik oleh Uni
Soviet kemudian membentuk gerakan pemberontakan yang semakin
memuncak

pada

masa

disintegrasi

Uni

Soviet

tahun

1991

dan

etnonasonalisme Chechnya-Ingushetia baru pun muncul.


Periode Keenam
Pada masa perestroika Gorbachev, Uni Soviet yang hancur

memancing

perang

kemerdekaan

baru

bagi

bangsa

Chechnya-

Ingushetia. Dipimpin oleh Jenderal Dzhokhar Dudayev, ibukota Grozny
direbut pada tahun 1991. Proklamasi mereka diumumkan, namun tetap
tidak diakui presiden Rusia terpilih, Boris Yeltsin. Dudayev yang
meninggal akibat serangan roket tahun 1995, digantikan oleh Aslan

Mashkadov yang terpilih pada 1997. Pada awal tahun 1999, ia
menjadikan Syariah Islam sebagai

hukum negara, yang memicu

perpecahan di dalam gerakan perlawanan Chechnya sendiri.
Bentuk pergerakan Chechnya rupanya dilakukan dengan aksi
kekerasan seperti bom bunuh diri di kota-kota besar Rusia sehingga
banyak pihak yang menganggap mereka sebagai gerakan terorisme.
Pada masa Vladimir Putin berkuasa, Rusia menerapkan tindakan keras
terhadap etnis Chechnya-Ingushetia, seperti dengan memerintahkan
perang dan pembumi hangusan daerah pertikaian, sehingga banyak
rakyat sipil yang terbunuh dan mengungsi.Kemudian pada Maret tahun
2003 telah disetujui untuk mengadakan referendum untuk menentukan
nasib Chechnya sebagai negara bagian yang merdeka dan akan
bergabung ke dalam Federasi Rusia. Referendum tersebut akhirnya
menyetujui dibuatnya konstitusi baru bagi rakyat Chechnya.
Bulan Oktober pada tahun 2003 Ahmad Kadirov terpilih menjadi
presiden Chechnya namun ia juga terbunuh. Terbunuhnya Presiden
Chechnya ini kembali membawa suasana buruk antara ChechnyaIngushetia dengan Rusia, ditandai merebaknya aksi teror di Rusia.
Pemerintah Rusia pun melakukan tindakan tegas terhadap teroris
Chechnya-Ingushetia dan hal ini justru mengakibatkan banyak korban
sipil yang membuat Rusia menerima banyak kritikan.
Melihat hal tersebut, rusia mempunyai kebijakan rusifikasi meRusia-kan segala sesuatu hasil peradaban manusia ke dalam bentuk
yang diterima oleh bangsa Rusia, melalui asimilasi budaya dan prosesproses kebudayaan lainnya Kebijakan Rusifikasi telah ada bahkan pada
zaman

kekaisaran

Rusia

demi

pembentukan

nasionalisme

serta

membentuk karakter orang-orang Rusia sebagai sebuah bangsa. Salah
satu kebijakan Rusifikasi ini ialah penyeragaman bahasa yang digunakan
di Rusia, yakni bahasa Rusia Asimilasi kebudayaan etnis mayoritas
(yakni etnis Rus’) terhadap kebudayaan etnis-etnis minoritas menjadi
cara yang paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan Rusia di
daerah-daerah seperti Siberia, Asia Tengah, dan Kaukasus pada masa
Kekaisaran. Bahasa sebagai salah satu unsur budaya menjadi kunci
untuk keberhasilan strategi asimilasi ini. Pada masa Uni Soviet, kebijakan
Rusifikasi ini tetap menjadi alat untuk menciptakan budaya nasional
yang seragam.6
6

RIA Novosti, “Infographics: Russian Census 2010 Final Result”,
, diakses pad
a 6 Juni 2015

Kebijakan

Rusifikasi

tidak

semata-mata

digunakan

untuk

menunjukkan keunggulan budaya Rus’ dibanding budaya lain; kebijakan
ini digunakan sebagai alat politik untuk menjaga daerah kekuasaan
Kekaisaran Rusia dari ancaman atau pengaruh bangsa lain. Karenanya,
Rusifikasi bahasa tidak hanya sebagai sebuah politik bahasa yang telah
berkembang dari zaman Kekaisaran, namun juga sebagai sebuah politik
identitas yang menyatukan seluruh rakyat Rusia di bawah kekaisaran
yang sama dan Tuhan yang sama dengan slogan ‘otokrasi, orthodoksi,
dan nasionalisme. Bahasa merupakan sebuah komponen kunci dari
pembentukan identitas etnis, sehingga penggunaan bahasa yang
seragam mengindikasikan adanya asimilasi budaya dan identitas pada
minoritas-minoritas

di

Rusia.

Pada

tahun

1970an

dan

1980an,

pemerintah Soviet berperan dalam program Rusifikasi yang bertujuan
untuk menghancurkan kebudayaan dan bahasa minoritas di Uni Soviet,
dengan mengganti kedua hal tersebut dengan budaya dan bahasa
Rusia.7
Adanya kebijakan Rusifikasi ini bermula sebelum Uni soviet
dimana Wilayah kekuasaan Rusia kontemporer yang sangat luas
dahulunya merupakan sebuah wilayah multietnik yang dihuni oleh
banyak bangsa; Slavik Timur, Baltik, Turki, dan FinnoUgrik. Sejarah Rusia
dimulai dari kedatangan bangsa Varangia pada tahun 862 untuk melerai
bangsa Finno-Ugrik dan Slavik Timur yang sering bertikai di wilayah
Novgorod.Kedua bangsa ini sepakat untuk menjadikan Rurik dari bangsa
Varangia untuk menjadi pangeran yang memimpin dan menegakkan
hukum yang adil di antara mereka. Peradaban yang dibawa bangsa
Varangia ini dinamakan dengan Kievan Rus' akhirnya menjadi sebutan
untuk bangsa Varangia dan bangsa-bangsa lainnya yang bersatu di
bawah Kepangeranan. Secara etimologi, Rus' merupakan nama dalam
bahasa Finno-Ugrik untuk menyebut orang Swedia.8
Pada perkembangannya, wilayah Kievan Rus’ menjadi wilayah
kepangeranan yang beragama dan menganut hukum Kristen Orthodoks
serta

menggunakan

abjad

Kirillik.

Karena

beberapa

sebab,

kepangeranan ini harus pindah ke Moskow. Sejak pemerintahan Tsar Ivan
7

O. Shevel, Russian nation‐building from Yeltsin to Medvedev: Ethnic, civ
ic, or purposefully
ambiguous?,Washington DC, Annual Meeting of the American Political Sci
ence Association, 2010, hal. 5‐6
8
R.G. Suny dan T. Martin, A State of Nations: Empire and Nation Making i
n The Age of Lenin and Stalin, New
York, Oxford University Press, 2001, hal. 35

IV, Kekaisaran Rusia telah menaklukan daerah-daerah berpenduduk nonSlav.

Untuk

memperkuat

kekuasaan

di

daerah-daerah

taklukan,

Kekaisaran Rusia tidak jarang mendeportasi warga asli daerah tersebut
dan membawa etnis Rus’

untuk menempati

kota tersebut.Untuk

melegitimasi kekuasaan dan juga meredam pemberontakan etnis
minoritas, Kekaisaran Rusia menggunakan kebijakan Rusifikasi. Ketika
Aleksander III memerintah, kebijakan Rusifikasi ini meliputi tiga poin;
otokrasi/monarki,

Orthodoksi,

dan

ke-Rusia-an.28

Kebijakan

ini

diteruskan oleh penerus tahta berikutnya yakni Nikolas II.
Selanjutnya kebijakan Rusifikasi Rusia yang ada pada era
sebelum Uni Soviet dilanjutkan ke zaman Uni Soviet pada tahun 1917,
wilayah Kekaisaran Rusia mengalami revolusi besar yang kemudian
melengserkan tahta Nikolas II. Revolusi ini terjadi karena kaum borjuis di
Kekaisaran Rusia tidak mampu melaksanakan berbagai tanggung jawab
mereka

dan

pemerintah

provinsial

tidak

sanggup

menyelesaikan

Masalah Nasional sebagaimana yang dituntut oleh masyarakat Rusia
pada revolusi tahun 1905. Masalah Nasional adalah masalah yang terkait
dengan pembentukan negara dan wilayah, penindasan etnis minoritas,
perang sipil, penetapan konstitusi, dan penetapan berbagai kebijakan
lainnya. Dalam upayanya menyelesaikan Masalah Nasional, Lenin
bertekad kuat untuk menyatukan semua etnis di Uni Soviet di bawah
satu

bendera

kelas

pekerja.

Bolshevik

juga

menentang

diskriminasi terhadap penggunaan bahasa-bahasa minoritas.

keras

9

Oleh karenanya, pemerintah Uni Soviet mengeluarkan kebijakan
untuk

menyatukan

identitas

dari

etnis-etnis

yang

berbeda

dan

membuatnya menjadi satu masyarakat yang sama. Kebijakan tersebut
bernama korenizatsiya, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
indigenization. Keinginan Bolshevik untuk membuat sebuah federasi
yang berslogan national

in form but socialist in content, yang

menghasilkan pelembagaan etnisitas yang ada di Uni Soviet melalui
pembentukan dan pembagian republik-republik dan daerah-daerah etnis
serta identifikasi paspor pun terlaksana. Daerah otonomi ini akan
mendorong penggunaan bahasa lokal di institusi pendidikan yang ada.
Lenin berpendapat bahwa sebelum dilakukan asimilasi yang lebih masif,
kelompok-kelompok minoritas wajib diberi hak-hak minoritas. 10
9

Encyclopaedia Britannica, “Rurik Dynasty”, , diakses pada 6 Juni 2014
10
The Online Etymology Dictionary, “Russia”, http://www.etymonline.co
m/index.php?term=russia, diakses 6 Juni 2015

Daerah otonomi tingkat pertama yakni SSR (Soviet Socialist
Republics).

Republik

otonomi

ini

memiliki

hak

untuk

melakukan

pemisahan diri atau secession. Daerah otonomi tingkat kedua yakni
Autonomous Soviet Socialist Republics (ASSR). Berbeda dengan SSR,
ASSR tidak memiliki hak apapun untuk memisahkan diri dari Uni Soviet.
ASSR membawahi dan mengendalikan dua daerah otonomi di tingkatan
berikutnya, yakni autonomous oblast’/AO (autonomous region) dan
okrug (distrik). Kelompok-kelompok etnis yang dinilai belum memiliki
kesadaran nasional yang memadai akan mendapatkan daerah otonomi
dengan hirarki yang lebih rendah, yakni oblast’ dan okrug yang tidak
memiliki konstitusi dan tidak memiliki hak untuk menentukan nasib
perekonomian dan perpolitikan.
Di antara kebijakan korenizatsiya terdapat politik bahasa, salah
satu contohnya adalah pengadopsian abjad Kirilik untuk bahasa-bahasa
etnis minoritas yang tidak memiliki bahasa tertulis. Ini adalah pertama
kalinya

kelompok-kelompok

minoritas

di

wilayah

Rusia

memiliki

kesadaran nasional Pada tahun 1921, Lenin melancarkan kampanye antiagama di Uni Soviet, sebagaimana ajaran komunisme yang ia pahami.
Kampanye anti-agama ini tentu saja berpengaruh besar bagi seluruh
penduduk Uni Soviet, terlepas dari apapun agama yang mereka anut.
Kampanye ini berakibat penutupan seluruh tempat peribadatan di Uni
Soviet dan pelarangan pelaksanaan ritual keagamaan. Pada tahun 1924,
Stalin menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat selepas kematian Lenin.
Kebijakan korenizatsiya dihentikan olehnya pada pertengahan 1930an.11
Setelahnya, kebijakan Rusifikasi dimunculkan kembali oleh Stalin
setelah ia diangkat menjadi penguasa di Uni Soviet

Stalin memiliki

pandangan berbeda dengan Lenin tentang Masalah Nasional. Stalin
menginginkan sebuah negara dengan satu bahasa dan budaya yang
sama; yakni bahasa Rusia dan budaya Rus’ Di tahun 1938, semua
kelompok minoritas diharuskan menggunakan abjad Kirillik. Selain itu,
kosakata bahasa Rusia juga dimasukkan ke berbagai bahasa minoritas,
seperti kosakata dalam bidang kimia, teknologi, dll. Semua bahasa di Uni
Soviet harus menggunakan abjad Kirillik; ahli linguistik Uni Soviet
dikerahkan

untuk

meRusia-sisasikan

bahasa-bahasa

minoritas

dan

menghapus kosakata-kosakata serapan (loanwords) dari bahasa-bahasa
minoritas di dalam tata bahasa Rusia.
11

The Free Encyclopedia by Farlex, “Russian Empire”,
http://encyclopedia.thefreedictionary.com/Russian+Empire, diakses pada
6 Juni 2015

Gorbachev mulai memimpin Uni Soviet pada tahun 1985 dan
mengeluarkan kebijakan bernama Glasnost’ i Prestroika (Keterbukaan
dan Restrukturisasi). Glasnost’ menjamin kebebasan berpendapat dan
keterbukaan, disisi lain juga menjamin kebebasan akan penindasan bagi
kelompok-kelompok
pemahaman

minoritas.

publik

Media

tentang

tumbuh

kebebasan

lebih

leluasa

berpendapat

dan

semakin

meningkat. Kebijakan milik Gorbachev ini menghancurkan kebijakankebijakan yang digagas oleh pendahulunya dan menyebabkan rezim Uni
Soviet runtuh pada tahun 1991 karena banyaknya intervensi militer di
berbagai tempat yang menurunkan tingkat legitimasi Uni Soviet.
Setelah

jatuhnya

rezim

Uni

Soviet

pada

tahun

1991

mengakibatkan munculnya 15 negara baru pada perpolitikan dunia,
yang mana kesemuanya gencar mengkampanyekan identitas nasional
mereka sebagai bentuk perayaan kemerdekaan mereka dari Uni Soviet.
Biarpun demikian, pada Federasi Rusia, identitas nasional masih
merupakan sebuah masalah yang belum juga dapat diselesaikan.
Presiden

pertama

Federasi

Rusia,

Boris

Yeltsin,

tidak

pernah

mengartikulasikan dengan jelas konsep identitas nasional Rusia. 11 Juni
1992, Yeltsin meniadakan kampanye anti-agama di Federasi Rusia
dengan membuka kembali tempat tempat peribadatan secara resmi.
Pembagian wilayah otonomi di Federasi Rusia masih merupakan
peninggalan pembagian wilayah otonomi dari masa Uni Soviet. Di sisi
lain, Yeltsin juga masih belum bisa mengurai masalah wilayah otonomi
etnis di Federasi Rusia, karena walaupun Uni Soviet telah runtuh, sistem
hirarkis wilayah otonomi masih bertahan. Pada tahun 1996 Federasi
Rusia mengeluarkan Konsep Kebijakan Kebangsaan Negara. Walaupun
menjamin hak-hak minoritas, konsep ini menekankan pentingnya peran
etnis Rus dalam memersatukan semua penduduk di wilayah Rusia
Vladimir Putin kemudian maju menggantikan Yeltsin pada tahun 2000,
dan berusaha untuk membenahi tatanan Federasi Rusia dari masalahmasalah yang tidak sanggup dibenahi oleh Yeltsin, seperti privatisasi
skala besar, kriminalitas dan badan hukum yang tidak berfungsi, serta
kemiskinan. Putin menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan
penguatan

kekuasaan

negara

yang

melibatkan

proses-proses

homogenisasi yang bersifat sentrisme dan seragam. Kebijakan etnis
yang diberlakukan oleh Putin hampir mirip dengan kebijakan Rusifikasi
yang dulu pernah diberlakukan pada masa Kekaisaran Rusia dan pada
masa Uni Soviet pasca-Lenin. Kebijakan ini disebut oleh Federica Prina

sebagai kebijakan homogenisasi yang amat menekankan karakter
identitas Rusia (russkiy).
Pada tahun 2000, Putin membenahi tatanan wilayah otonomi
warisan Uni Soviet yang pada politik kontemporer Rusia dinamai sebagai
subjek-subjek federal (federal subjects). Federasi Rusia terdiri dari 85
subjek federal; 46 oblast’(propinsi), 22 republik, 9 krai (sudut/ujung), 4
avtonomniy okrug (distrik otonomi), 3 kota federal, dan 1 avtonomniy
oblast’ (propinsi otonomi).

Tiga kota federal dalam Federasi yakni

Moskow, St. Petersburg, dan Sevastopol (setelah Krimea resmi menjadi
bagian dari Federasi). Pada tahun 1996-7 (era Yeltsin), subjek federal ini
berjumlah sebanyak 89. Vladimir Putin menggagas sebuah pemikiran
untuk merger atau menggabungkan beberapa subjek federal menjadi
satu. Mengingat subjek-subjek federal di Federasi Rusia dibentuk
berdasarkan kelompok-kelompok etnis yang ada, hal ini membuat
banyak

kelompok-kelompok etnis di Federasi Rusia yang kurang

menyetujui tindakan ini. Penggabungan ini diatur oleh Hukum Federal
no. 6-FKZ pada 17 Desember 2001 yang bertujuan untuk menyamakan
level pembangunan sosial

dan ekonomi dan untuk mengoptimalkan

manajemen, infrastruktur, dan sumber daya regional. Pemerintah Rusia
bersikeras bahwa penggabungan ini tidak akan menyulitkan kelompok
minoritas dalam pembentukan administrasif yang baru.

12

Lima penggabungan dilakukan pada tahun 2005-2008, dan
dilakukan sesuai hukum yang ada. Penggabungan subjek-subjek federal
akan terus dilakukan, dan proses penggabungan ini mendapatkan
banyak sekali dukungan dari berbagai pihak, seperti dari The Russian
Academy of Sciences dan pemimpin partai Demokrasi Liberal, Aleksei
Mitrofanov, yang mengajukan proposal untuk penggabungan yang lebih
masif sehingga proses sentralisasi dapat tercapai kurang dari 50 tahun.
Proses penggabungan subjek federal ini merisaukan banyak sekali
kelompok-kelompok minoritas mengingat penggabungan subjek ini sama
artinya dengan penggabungan banyak kelompok etnis di satu wilayah
dibawah hukum subjek federal yang sama; hal ini berpotensi untuk
memicu lebih banyak konflik etnis daripada yang terjadi pada masa Uni
Soviet. Seorang sejarawan Mari, Ksenofont Sanukov, menyatakan bahwa
12

J. OLoughin, Geopolitical Fantasies and Ordinary Russians: Perception
and Reality in the PostYeltsin Era,
University of Colorado, Colorado, 2000, hal. 8, N. Riasanovsky, Russian Id
entities: a historical survey, Oxford
University Press, United States, 2005, hal. 135

penggabungan subjek-subjek federal ini mengakibatkan pembubaran
pengakuan hak-hak kelompok minoritas dan wilayah-wilayah titular yang
ada. Penggabungan ini juga merupakan cara Federasi Rusia untuk
memperluas
mengingat

kekuasaan
kekuasaan

pusat.
pusat

Menurutnya,
menginginkan

hal

ini

tidak

bagus

homogenisasi.

Proses

penggabungan ini juga meniadakan atribut-atribut identitas etnis yang
berpotensi

untuk

menimbulkan

ketidakpuasan

diantara

etnis-etnis

minoritas yang ada.13
Pemerintah Rusia gencar mempromosikan nilai-nilai non-etnis
agar semua suku bangsa di Rusia bersatu demi menghindari faktorfaktor potensial pemicu ketidakstabilan federasi.Putin, selaku kepala
negara, mengeluarkan banyak hukum dan peraturan-peraturan baru
tentang kelompok-kelompok minoritas di Rusia. Proses pembuatan
kebijakan-kebijakan ini tentu saja tidak melibatkan kelompok minoritas
manapun. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Federasi Rusia
bersifat homogen, dalam artian bersifat seragam kepada semua
kelompok etnis di Federasi Rusia.Keputusan-keputusan ini diambil tanpa
adanya

pertimbangan

dari

kelompok-kelompok

minoritas

dalam

kaitannya untuk menekankan identitas ke-Rusia-an. Homogenisasi ini
bertujuan untuk mengurangi banyaknya permintaan/atau klaim dari
kelompok-kelompok minoritas yang ada, mengingat Federasi Rusia
memiliki banyak kelompok etnis minoritas.
Pada tahun 2002, muncul amandemen dari Duma yang
mengatur tentang penggunaan bahasa-bahasa di Federasi Rusia, baik
tertulis maupun bahasa lisan. Amandemen ini sebenarnya merupakan
adopsi dari amandemen tahun 1991 Hukum Federal Tentang Bahasa dan
Bangsa-Bangsa Federasi Rusia setelah organisasi-organisasi etnis Tatar
menginginkan Latinisasi (Latinization) abjad mereka. Amandemen ini
mengatur tentang pemberlakuan aksara wajib untuk menulis, yakni
aksara Kirillik. Pasal 3(6) dari amandemen tersebut menyatakan bahwa
abjad yang digunakan pada penulisan bahasa Rusia dan bahasa-bahasa
milik republik etnis di Federasi Rusia haruslah menggunakan abjad
Kirillik. Pada November 2004, Pengadilan Konstitusi Rusia dituntut oleh
Parlemen Tatarstan karena Amandemen 2002 dinilai sebagai bentuk
pencegahan bagi kelompok-kelompok etnis nonRus' untuk memilih
bentuk
13

penulisan

bahasa

ibunya.

Hal

ini

juga

berdampak

pada

In Defence of Marxim, ‘Lenin on The National Question’, , diakses pada 6 Juni
2015

kelompok-kelompok Finno-Ugrik yang juga menggunakan abjad Latin,
terutama orang-orang Karelia. Bahasa Karelia tidak dapat dijadikan
sebagai bahasa resmi Republik Karelia selama bahasa Karelia masih
menggunakan abjad Latin. Pakar bahasa Karelia menyebutkan bahwa
Republik Karelia membutuhkan bahasa resmi untuk Republik Karelia, dan
bahasa tersebut tetap harus menggunakan abjad Latin. Bahasa Karelia
yang digunakan di Republik Karelia masih memiliki status legal yang
lebih rendah (dibanding dengan bahasa-bahasa resmi di berbagai
republik etnis lainnya) pada tahun 2011 karena penulisannya yang
menggunakan abjad Latin. Semua republik milik kelompok-kelompok
etnis Finno-Ugrik memiliki bahasa resmi masing-masing kecuali Republik
Karelia.

14

Tidak

hanya

dalam

masalah

penggunaan

abjad,

kebijakan

homogenisasi ini juga masuk ke ranah pendidikan sebagaimana yang
diatur oleh Hukum Federal no. 309 tahun 2007 yang mengatur tentang
pengajaran bahasa dan budaya minoritas serta bahasa yang digunakan
dalam ujian. Hukum Federal ini, sering disebut juga sebagai ‘One
Education’, keluar tanpa ada diskusi yang melibatkan kelompokkelompok minoritas. Pada tahun 2009, muncul lagi dekrit pendidikan
yang lebih baru yang tidak membolehkan penggunaan bahasa minoritas
pada ujian masuk sekolah menengah yang diselenggarakan oleh
republik; bahasa yang digunakan haruslah bahasa Rusia dan harus
menggunakan abjad Kirillik. Beberapa taman kanak-kanak di Republik
Karelia ditutup oleh pihak berwenang Rusia karena beroperasi secara
ekslusif dengan menggunakan bahasa Karelia (yang mendapatkan
dukungan metode pembelajaran dari Finlandia). Pada bulan Mei 2009,
Moskow membentuk komisi yang mencegah pemalsuan sejarah dengan
nama Commission against the Falsification of History. Komisi ini dibuat
untuk

mencegah

tertulisnya

pemalsuan

sejarah

atau

terjadinya

penulisan sejarah yang tidak diakui sebagai bagian dari sejarah Rusia
yang dinyatakan asli pada buku-buku cetak murid di sekolah. Komisi ini
bertindak dengan cara menerbitkan persetujuan untuk semua buku
cetak yang dipakai di sekolah demi menghindari pemalsuan kejadiankejadian sejarah Rusia.15
14

E. Giuliano, ‘Secessionism From The Bottom Up: Democratization, Natio
nalism, and Local Accountability in
The Russian Transition’, World Politics, no. 58, 2012, hal. 277‐309
15
J. Smith, The Education of National Minorities: The Early Soviet Experi
ence, University College of London,
School of Slavonic and East European Studies, 1997, hal. 1

Negara yang mengalami permasalahan Multikulturalisme selain
Rusia adalah Jerman dimana Secara historis, karakteristik masyarakat
Jerman

merupakan masyarakat multikultural.

Hal ini ditandai

oleh

banyaknya imigran yang datang ke Jerman sejak dimulainya perekrutan
tenaga kerja musiman
Imigran tersebut

dengan berbagai negara di tahun 1950-an.

tidak dapat dipungkiri telah membawakan akibat-

akibat tertentu bagi kondisi ekonomi, social, budaya dan politik Jerman.
namun tidak kurang, kaum imigran tersebut telah berkontribusi besar
dalam pembangunan Negara bangsa Jerman yang hinggah kini diakui
sebagai salah satu Negara maju dan demokrtis. Namun hal ini sangat
bertolak belakang dengan wacana tersebut, pada hakikatnya Jerman
tidak pernah mengakui para imigran tersebut, bahkan imigran generasi
kedua dan ketiga yang lahir dan menetap di Jerman pasca reunifikasi
tidak

pernah

diniatkan oleh pemerintah untuk mengintegrasikan

16

mereka .
Masalah multikultural di Jerman ini jelas muncul akibat dari
banyaknya

imigran

yang berbondong-bondong datang ke Jerman.

Secara historis, Jerman merupakan Negara multikultural di mana Jerman
memulai perekrutan tenaga kerja musiman dari berbagai Negara pada
tahun 1950-an. Pada awalnya hal ini tidak menjadi masalah, namun
masalah mulai muncul ketika para tenaga kerja musiman yang pada
awalnya diprediksi hanya menetap sementara di Jerman menjadi
penduduk tetap

yang

tinggal

di

Negara

tersebut

selama

satu

generasi. Bangsa Jerman tentu tidak menginginkan hal ini karena
mereka sadar bahwa kedatangan imigran yang terus-menerus akan
menjadi

ancaman

tersendiri

bagi

bangsa

asli

Jerman.

Pada

pertengahan 1980-an, pemerintah Jerman mulai mencari cara untuk
mengatasi permasalahan ini. Kemudian muncullah kebijakan konsep
multikulturalisme.
Para imigran dari Negara lain boleh tinggal di Jerman dan
mempertahankan

kebudayaan,

bahasa

dan

pola

hidup beragama,

namun mereka harus tetap menghargai kebudayaan dan bahasa asli
bangsa Jerman serta menyatakan

kesetiaan

terhadap

Jerman.

Kebijakan ini tentu saja diharapakan dapat menyatukan kebudayaan
dari dua Negara berbeda dan kehidupan bermasyarakat lintas ras
dan agama bisa berjalan dengan baik dan hidup berdampingan dengan
16

ANTONIUS, DARMAWAN (2012) KEGAGALAN KEBIJAKAN
MULTIKULTURALISME DI JERMAN. Other thesis, UPN "Veteran" Yogyakarta

sendirinya. Secara tidak langsung, kebijakan ini membeli “kesetiaan”
para imigran kepada Jerman, mereka dituntut untuk tidak lagi setia
terhadap Negara asalnya, melainkan dituntut untuk setia terhadap
Negara baru mereka. Hal ini
kebijakan ini
beradaptasi
kehidupan

sulit
dan

diterima

kemudian

masalah karena

oleh para imigran. Mereka

mengimplementasikan

sehari-hari.

menjadi

Ditambah

lagi

kebijakan
Jerman

sulit

untuk

tersebut

dalam

belum

mengetahui

bagaimana langkah pasti yang harus diambil agar kebijakan ini berjalan
sesuai

harapan.

Jerman

tidak

tahu

bagaimana

caranya

untuk

menyatukan beberapa kebudayaan berebeda, agama, ras, dan pola
hidup antara masyarakat lokal dan masyarakat imigran agar nilai-nilai
kebudayaan dari masing-masing Negara tidak luntur.
Menurut Parekh model multikulturalisme yang ada di Jerman ini
adalah model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif
etnik

yang kuat yang landasannya

adalah hubungan darah dan

kekerabatan dengan founders (Para pendiri Negara). Bahasa yang
digunakan sehari-hari

juga

menjadi

salah

satu

identitas

nasional

secara etnik. Model ini dianggap sebagai model tertutup. Orang luar
yang tidak memiliki hubungan darah dengan para pendiri bangsa akan
tersingkir menjadi orang luar dan dianggap sebagai orang asing. Hal ini
membuat kebijakan yang ingin dijalankan oleh Jerman sangat sulit
untuk diimplementasikan. Kebijakan multikulturalisme sangat bertolak
belakang

dengan

sejarah

dan budaya bangsa Jerman sendiri. Pada

faktanya, kebijakan ini membuat penduduk asli dan penduduk imigran
tidak dapat bersatu.
Berangkat dari hal ini munculah
perbedaan

di

diskriminatif

berbagai

permasalahan

dan

antara

kedua pihak. Seperti halnya kasus perlakuan

terhadap

kaum Muslim. Seorang dokter gigi tidak mau

memperkerjakan calon asistennya hanya karena sang calon asisten
menggunakan

jilbab

dan

tidak

secara kualifikasi, kemampuan

mau

melepaskannya.

calon asisten dokter gigi

Meskipun
tersebut

cukup memenuhi kriteria standar yang ditetapkan oleh ikatan dokter
Jerman. Dalam pengadilan, tindakan sang dokter gigi ini sangat tidak
bisa dibenarkan dan termasuk dalam golongan tindakan diskriminatif.
Namun
meminta
Agama

Kepala
untuk

Kantor
tidak

Federasi

Khusus

menyangkutpautkan

masalah Diskriminasi
masalah

ini

dengan

karena menurutnya memang tidak ada hubungannya dengan

kasus ini. Berbagai kasus lain namun serupa juga sering terjadi di
Jerman. Hal ini merupakan akibat dari meningkatnya muslim di sana
dan dengan kenyataan bahwa muslim di Jerman dianggap sebagai
kaum

yang sering

menimbulkan masalah

sosial hingga kriminal

sehingga menumbuhkan 6 perasaan islamofobia, serba curiga, dan
berpikir

negatif

terhadap

Islam 17.

Ditambah

lagi

dengan tragedi

menara kembar WTC yang terjadi pada 11 September 2001 yang
membuat

masyarakat barat semakin menganggap bahwa Islam

merupakan Agama teroris. Hal ini kemudian menyebabkan keraguan
warga Jerman untuk tinggal dan hidup berdampingan dengan damai
bersama para imigran ini

dan

semakin

meningkatkan

masalah

kesenjangan. Mereka menganggap imigran muslim ini hanya akan
meningkatkan tingkat kriminalitas

atau kekerasan

serta

membuat

kehidupan menjadi tidak nyaman dan aman.
Kecendrungan-kecendrungan

menolak

multikulturalisme

di

Jerman sangat tampak juga sepanjang periode 2000-an, dimana wacana
tentang terorisme dan islam menjadi

fokus perhatian politisi dan

masyarakat. Hinggah tahun 2010, Kanselir Angela Markel menegaskan
jika multikulturalisme di Jerman telah gagal. Merkel menyebutkan dalam
pertemuan dengan para kader muda partai Uni Demokrat Kristen (CDU)
di Potsdam itu, Merkel juga mengatakan, para pendatang, yang sebagian
besar berasal dari Turki atau negara-negara Arab dan beragama Islam,
harus memulai proses integrasi dengan masyarakat asli Jerman,
menguasai bahasa Jerman, dan menjunjung tinggi budaya masyarakat
setempat

18

. Kebijakan yang telah dibuat oleh negara Jerman terhadap

imigran pekerja sudah sesuai. Akan tetapi, dalam menjalankannya
belum bisa berjalan dengan maksimal, masih terjadi problema. Sehingga
pemerintah Jermah membuat kebijakan multicultural di negaranya,Ada 4
kebijakan multikultural di Jerman, yaitu:


Kebijakan

Separatisme.

Kebijakan

ini

berlaku

bagi

golongan-golongan minoritas yang sudah berabad-abad
tinggal di Jerman. Mereka dilindungi oleh UU khusu s dan
17

Hileud, (2008 , 24 Agustus), “Pemimpin Koalisi Jerman Tutup Pintu
Untuk Imigran Muslim,” http://hileud.com/pemimpin-koalisi-jermantutup-pintu-untuk-imigran-muslim.html,diakses pada tanggal 7 Juni 2015
18

Bbc, (2010 , 06 April), “Multikultural Jerman Dianggap Gagal,”
http://www.bbc.co.uk- Multikultural Jerman dianggap gagal,diakses pada
tanggal 7 Juni 2015

dapat

menyelenggarakan

pendidikannya

menurut

kebudayaan golongan minoritas ini. Contohnya: imigran
Turki dapat membangun sekolah khusus untuk orang

orang Turki.
Kebijakan asimilasi. Kebijakan ini bertujuan agar anakanak dari orang asing tersebut dapat menyesuaikan diri



atau berasimilasi dengan masyarakat Jerman.
Kebijakan kerja sama. Kebijakan ini mengakui adanya
golongan-golongan

minoritas

kebudayaan-kebudayaan

yang

tertentu.

Mereka

mempunyai
dihormati

sepanjang tidak mengganggu ketenteraman kehidupan
masyarakat umum. Terkenal pendidikan yang disebut


intercultural education.
Kebijakan Uni Eropa. Dengan lahirnya Uni Eropa munculah
pendidikan yang menjembatani perbedaan-perbedaan di
dalam masyarakat Eropa. Pendidikan multikultural di
Jerman belum begitu berkembang dan pada saat ini masih
menghadapi berbagai kendala. Ada kekhawatiran akan
munculnya kembali nasionalisme sempit dan rasisme.

Berangkat dari kebijakan yang telah dibuat oleh Jerman mampu
mengantarkan Jerman ke pintu gerbang keberhasilan untuk membangun
multikulturalisme di negara yang dahulu pernah dianggap gagal. Jerman
pada saat ini mampu untuk menerima bebrbagai imigran yang menetap
di negaranya. Penduduk imigran muslim mulai mendapatkan tempat di
Jerman dengan memberikan kebebasan untuk umat muslim khusunya
wanita untuk mengenakan Jilbab. Namun hal ini tidak berlangsung
lama,bebrapa waktu lalu tahun 2014 kelompok sayap kanan Neo Nazi
anti salafisme menggelar aksi demo di koln dengan menuntut Jerman
hanya untuk bangsa Jerman dan mereka menganggap budaya muslim
tidak termasuk ke dalam budaya Jerman. Selain itu, mereka juga
membakar salah satu masjid di Jerman dan

hal ini mengancam 57%

warga muslim yang berada di Jerman.
Pemerintah Jerman segera melakukan sebuah konferensi press
besar di daerah München waktu setempat dihadiri 55 perwakilan DPR
Jerman, Jurnalis-jurnalis Eropa dan juga Gül Presiden Turki. Dalam
konferensi pers ini Gül menyita perhatian publik dengan tuntunannya
kepada negara Federal Jerman untuk mentransparasi proses hukum
untuk

kelompok

sayap

kanan

Neo

Nazi.

Neo

Nazi

atau

NSU

Nationalsozialistischen Untergrundes yang banyak menyerang umat
muslim di Eropa khususnya Jerman merupakan kaum radikal yang
bertindak sangat rasis terhadap umat muslim dan Islam tentunya 19.
Selain itu Merkel,kanselir Jerman Merkel mengingatkan bahwa neo-Nazi
merupakan

bagian

memperingatkan

lembaran

aksi

hitam

rasialisme

dan

sejarah

Jerman.

diskriminasi

di

Ia

pun

negara

ini.

Menyinggung pembunuhan 10 orang oleh neo-Nazi, Merkel menyebut
insiden ini didalangi sayap kanan dan memalukan Jerman.
Ia pun menuntut upaya koordinasi dan gerakan baru guna
mencegah terbentuknya Partai Neo-Nazi Demokrat Nasional. Terkait hal
ini, Aiman Mazyek, ketua Islamic Center Jerman mengatakan, "Eskalasi
kekerasan

dan

tindakan

amoral

neo-Nazi

rasis

di

Jerman

telah

mengancam keamanan dan jiwa umat Islam. Dan pemerintah serta
aparat keamanan tidak serius menangani masalah ini." Menurutnya,
pejabat terkait di berbagai wilayah Jerman menutup mata mereka
terhadap aksi kejahatan neo-Nazi, oleh karena itu masyarakat muslim
Jerman sangat khawatir dengan keamanan mereka. 20 Hal ini yang masih
menjadi polemik di Jerman dalam menangani multikulturalisme di
negaranya.
Selain Negara Rusia dan Jerman terdapat pula Prancis yang
menghadapi permasalahan Multikulturalisme dimana Sejarah munculnya
multikulturalisme di Perancis bisa diawali oleh masa-masa kolonialisme
yang dianut oleh negara tersebut. Negara jajahan Perancis sebagian
besar merupakan negara-negara dari

Afrika seperti Maroko, Aljazair,

Sengal dan masih banyak lagi. Masyarakat dari negara-negra jajahan
itulah yang membantu Perancis dalam berperang melawan Jerman
beserta Aliansinya dalam perang dunia ke-2. Pasca perang dunia ke-2,
Rupanya

Perancis

membutuhkan

banyak

pekerja

kasar

untuk

membangun negerinya yang porak poranda, sehingga semakin banyak
imigran yang datang ke negeri itu untuk bekerja dan kemudian bekerja
dan menetap disana. Hal inilah yang melatarbelakangi multikulturalisme
di Perancis.

19

Dw, (2012 , 06 Mei), “Radikalisme Neo Nazi Di Jerman,”www.dw.de
/radikalisme neo Nazi- di Jerman,diakses pada tanggal 7 Juni 2015
20

Indonesia Irib, (2009 , 03 Maret), “Multikultural Jerman Dianggap
Gagal,”http://indonesian.irib.ir/editorial/fokus/item/58210Rasisme_Neo_Nazi_Ancam_Jerman,diakses pada tanggal 7 Juni 2015

Terkait dengan isu multikulturalisme yang ada di negara Perancis,
kami akan menyampaikan informasi contoh kasus berupa imigran yang
ada di sana. Imigran Prancis banyak berasal dari negara-negara Arab
atau Afrika bagian utara. Atas dasar sejarah itulah makanya para
imigran ini semakin hari semakin banyak jumlahnya. Mengingat para
imigran tersebut berasal dari wilayah Afrika Utara seperi Aljazair maupun
Maroko yang notabennya beragama muslim, maka saat mereka datang
ke Prancis untuk bekerja, terjadilah proses multikulturalisme dengan
percampuran budaya Eropa dengan budaya Arab. Seiring berjalannya
waktu, para imigran ini semakin bertambah sehingga menjadi isu yang
cukup krusial bagi Prancis sendiri karena tidak hanya memasuki urusan
politik saja namun juga sudah memasuki ranah ekonomi, sosial dan
budaya. Hal inilah yang menjadi perhatian pemerintah dalam menangani
permasalahan imigran di Prancis.
Kesenjangan sosial antara imigran dengan masyarakat asli
Prancis sering kali terlihat dari kehidupan yang mereka jalani di sana.
Banyak

sekali

aksi-aksi

diskriminatif

yang

dialamatkan

kepada

masyarakat muslim di sana dalam melakukan kegiatan sehari-harinya.
Bahkan hal ini sudah masuk dalam urusan pemerintah agar tidak timbul
gesekan masyarakat. Mengingat di tubuh pemerintahan sendiri ada blokblok yang berlainan paham akan kehadiran imigran. Berkaitan dengan
berkembangnya islam di Prancis yang sangat pesat dan mereka hidup
secara damai dengan sesama umat Islam, namun lain halnya kehidupan
di luar komunitas muslim di sana. Seperti yang sudah kami jelaskan tadi,
bahwa timbulnya gesekan tersebut akibat adanya proses integrasi yang
terjadi. Masalah yang dialami masyarakat muslim Prancis berawal dari
peristiwa 11 September 2001 sebagai tragedi paling dahsyat dan
menggemparkan dunia.
Berkaitan dengan berkembangnya islam di Prancis yang sangat
pesat dan mereka hidup secara damai dengan sesama umat Islam,
namun lain h