Perlindungan Hukum Bagi Whistleblower Da

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang
Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) dan

sekaligus sebagai permasalahan yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia.
Dikatakan merupakan permasalahan yang diahadapi oleh semua negara karena
korupsi memiliki dampak negatif yang multi dimensional, yaitu menghancurkan
berbagai sisi kehidupan dari sebuah negara seperti dalam sektor ekonomi, ekonomi
sebuah negara akan hancur karena korupsi, karena uang yang semula ditujukan untuk
kesejahteraan rakyat justru menjadi milik seseorang atau kelompok tertentu.
Dibutuhkan upaya yang sangat luar biasa untuk memberantas kejahatan ini.
Banyak permasalahan yang dihadapi oleh berbagai negara. Hal ini karena korupsi
pada umumnya dilakukan oleh seseorang yang notabene adalah pejabat negara atau
pemegang kekusaan, dan bahkan tidak menutup kemungkinan korupsi ini dilakukan
secara bersamaan dan terorganisir (organized crime). Akibatnya adalah sukarnya
pemberantasan dan pembuktian terhadap tindak pidana korupsi.

Berbagai negara telah bekerjasama untuk memberantas kejahatan ini dan
menganggap tindak pidana korupsi sebagai musuh umat manusia (hostis humanis
generis), diantaranya adalah mengadakan konvensi yaitu dalam UNCAC (United
Nation Convention Against Corruption) atau Konvensi PBB tentang korupsi.
Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi tersebut dan mengesahkannya menjadi
Undang-undang nomor 7 tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi. Selain itu
terdapat instrumen hukum lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu
undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi dari segi regulasi saja ternyata tidak
cukup, dibutuhkan pemberantasan yang lebih kuat dari segi penegakan hukum.

2

Penegakan hukum harus dilaksanakan oleh berbagai pihak, bukan hanya aparat
penegak hukum, tapi juga masyarakat umum. Dalam hal ini masyarakat juga berperan
penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mereka bisa berperan secara
langsung dengan cara melaporkan tindak pidana korupsi kepada aparat penegak
hukum, baik yang diketahui secara langsung maupun yang tidak langsung. Upaya ini
sangat membantu kinerja aparat penegak hukum kita. Namun disisi lain masyarakat

terkesan pasif dan enggan melaporkan, hal ini disebabkan perlindungan hukum
terhadap whistleblower (pelapor) yang masih sangat kurang di Indonesia, baik dari
sisi regulasi maupun dari penegakan hukum.
1.2.

Perumusan masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap whistleblower di berbagai
negara?
2. Bagaimana

upaya

dan

peluang

perlindungan

hukum


terhadap

whistleblower dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?
1.3.

Uraian singkat gagasan
Whistleblower merupakan salah satu upaya yang efektif untuk memberantas

tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan whistleblower memiliki kaitan erat dengan
tindak pidana yang dilakukan baik oleh perorangan atau kelompok. Sering terjadinya
kriminalisasi terhadap whistleblower menyebabkan menurunnya partisipasi dalam
penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ditinjau dari peraturan yang ada di
Indonesia,

banyak

whistleblower.

peraturan


yang kurang

memadai

tentang perlindungan

3

1.4.

Tujuan
1. Mendeskripsikan perlindungan hukum terhadap whistleblower di berbagai
negara.
2. Menganalisis

upaya

dan

peluang


perlindungan

hukum

terhadap

whistleblower dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia
1.5.

Manfaat
a. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
terhadap pemmberian perlindungan hukum terhadap whistleblower dalam
tindak pidana korupsi.
b. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian
dalam rangka pemmberian perllindungan hukum terhadap whistlebower
yang dalam tindak pidana korupsi.


1.6.

Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitis. Metode deskriptif

adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu
kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diteliti1. Dengan menggunakan jenis penelitian ini
penulis ingin memberi gambaran secara sistematis dan menyeluruh tentang
pemberian perlindungan hukum kepada whistleblower dalam tindak pidana korupsi.

1

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal.10

4

BAB II

TELAAH PUSTAKA
2.1.

Korupsi

2.1.2. Pengertian tindak pidana korupsi
Korupsi berasal dari kata ‘’corruptio’’ atau ‘’corruptus’’ yang memiliki arti
kerusakan atau kebobrokan2. Secara harfiah korupsi berarti kebusukan, keburukan.
Korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri
sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung
melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut normanorma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam
bisnis tindakan tersebut adalah tercela.

2.1.3. Unsur-unsur tindak pidana korupsi
Tindak pidana korupsi atau yang disebut sebagai perbuatan untuk
memperkaya diri sendiri atau suatu golongan merupakan sebuah tindakan yang sangat
merugikan orang lain, bangsa dan negara. Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi
apabila diliat pada pasal 2 ayat (1) undang-undang no.31 tahun 1999 yang
menyatakan bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun3. Pasal 2
ayat (2) UU Tipikor menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan
2

Margaretha Yesicha, Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tipikor,
(Yogyakarta:2014), Jurnal Universitas Atma Jaya, hal 7.
3

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

5

‘’keadaan tertentu’’ adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana
tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan-keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas, penanggulangan krisis moneter, dan penanggulangan tindak
pidana korupsi. Unsur tindak pidana korupsi antara lain4:
1.


Setiap orang adalah orang atau perseorangan atau termasuk korporasi.
Dimana korporasi tersebut artinya adalah kumpulan orang yang
terorganisir.

2.

Melawan hukum, yang dimaksud melawan hukum adalah suatu tindakan
dimana tindakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundanganundangan yang berlaku. Hal ini merupakan implikasi dari pasal 1 ayat
(1) Kitab undang-undang hukum pidana.

3.

Tindakan, yang dimaksud tindakan dalam uu tipikor adalah suatu
perbuatan yang dimana dilakukan oleh diri sendiri atau suatu korporasi.
Tindakan disinilah yang sangat jelas merupakan negara.

2.2. Whistleblower
2.2.1. Tinjauan umum whistleblower
Sejarah dari whistleblower pertama kali muncul di Inggris, yaitu ketika

praktek petugas Inggris yang akan meniup peluit ketika merekka melihat kejahatan,
peluit juga akan memberitahu aparat penegak huku lainnya dan masyarakat umum
dari bahaya5. Sehingga kemudian whistleblower dikonotasikan sebagai ‘’peniup
peluit’’. Apabila diposisikan di Indonesia, bisa dianalogikan sebagai ‘’pemukul
kentongan’’, dimana pemukulan kentongan aparat pengamanan tradisional (patroli
keliling) memberikan tanda pemberitahuan bahwa telah terjadi suatu peristiwa baik
4

Brian Siahaan , Kajian Yuridis Tentang Saksi Pengungkap Fakta, (Medan:2015), Jurnal Lex Crimen, hal
1.
5
Moch Reza Aditya, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Para Pelaku Whistleblower Pada Tindak
Pidana Korupsi,Surabaya, Skripsi Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

6

berrupa kejahatan maupun bencana. Oleh karena itu berdasarkan kedua konotasi
tersebut dapat dikatakan bahwa whistleblower identik dengan pengungkap fakta atau
pembocor sebuah rahasia.
Dalam penafsirannya whistleblower diartikan dalam berbagai pengertian.

Mulyana Wirakusumah menyebutkan whistleblower sebenarnya bukan hanya dikenal
dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi juga dalam lingkungan lain, seperti
perusahaan sebagai upaya mewujudkan good corporate governance. Para
whistleblower bukan sekedar tukang mengadu, akan tetapi saksi suatu kejahatan.
Floriano C.Roa menyebutkan bahwa, ‘’ A whistleblower is someone in an
organization who witnesses behavior by members that is either contrary to the
mission of the organization, or threatening to the public interest, and who decidesto
speak out publicity about it’’. Yang diartikan ‘’peniup peluit adalah seseorang dalam
suatu organisasi yang menyaksikan perilaku anggota organisasi yang dapat
bertentangan dengan tujuan organisasi atau perilakunya merupakan ancaman terhadap
kepentingan umum dan peniup peluit memutuskan untuk menyampaikan hal-hal
tersebut.
Sementara itu Imam Thurmudhi berpendapat bahwa seseorang dapat
dikatakan sebagai whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri,
mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran,
sehingga dengan iktikad baik mengungkapkan kepada public atau melaporkan kepada
pejabat yang berwenang6. Namun penilaian iktikad baik yang dimaksudkan memiliki
nilai yang sangat subjektif, bisa saja niat atau kepentingan tertentu yang mendasari
pengungkapan fakta yang dilakukan oleh whistleblower , dengan perhitungan untung
dan rugi dari pengungkapan tersebut bisa saja seseorang terdorong untuk menjadi
whistleblower.

6

Imam Turmudhi, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Tesis, Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

7

Mardjono Reksodipuro menyebut whistleblower sebagai pembocor rahasia
atau pengadu7. Adapun yang dimaksud pembocor rahasia atau pengadu tersebut
adalah seseorang yang membocorkan informasi yang sebenarnya bersifat rahasiadi
kalangan dimana informasi itu bermacam-macam. Di Indonesia, informasi yang
diharapkan dibocorkan adalah informasi tentang kegiatan-kegiatan yang tidak sah,
melawan hukum ataupun bertentangan dengan moral yang baik. Si pembocor sendiri
adalah orang dalam di organisasi tersebut, dia dapat terlibat ataupun tidak terlibat
dalam kegiatan yang dibocorkan. Karena dia adalah orang dalam maka dia
menempuh resiko dengan perbuatannya.
Quentin Dempster8, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan whistleblower
adalalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan
sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta
di lapangan, atau polisi lalu lintas yang hendak melakukan tilang kpada seseorang di
jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam
peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul,
membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran,
pada intinya Quentin Dempster menyebut whistleblower sebagai orang yang
mengungkapkan fakta kepada public mengenai sebuah skandal, malpraktik, atau
korupsi.
Bertolak belakang dari pendapat para ahli tentang pengertian whistleblower,
dalam

perkembangannya

whistleblower

dijelaskan

mengenai

pengertian

whistleblower di beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di Dalam
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) dijelaskan

No. 4 Tahun 2011 yang

dimaksud dengan whistleblower adalah pelapor tindak pidana. Sedangkan dalam
undang-undang No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan
bahwa pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan
7

Mardjono Reksodipuro, Pembocor Rahasia/Whistleblower Dalam Menanggulangi Kejahatan Di
Indonesia, Wacana Goverminyboard, Jakarta, hal 13.
8
Quentin Dempster, 2006, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), Elsam, Jakarta, hal 1.

8

kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah
terjadi9.

2.2.2. Peran whistleblower di Indonesia
Tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukkan skala yang sangat tinggi.
hal ini berimplikasi terhadap pengungkapan kasus-kasus korupsi untuk keluar dari
cara-cara konvensional. Adapun salah satu cara untuk mengungkap tindak pidana
korupsi tersebut yaitu dengan adanya whistleblower. Hal ini akan memudahkan
kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan diperlukan
dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, asal
bukan suatu isu bagi pengungkapan korupsi maupun mafia peradilan. Yang dikatakan
whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam rumor.
Penyidik atau penuntut umum jika ada laporan seorang whistleblower harus hati-hati
dalam menerimanya, tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu diterima, melainkan
harus diuji terlebih dahulu.
Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana
korupsi, karena whistleblower itu merupakan orang dalam sebuah institusi dimana
diduga sebuah praktek korupsi terjadi. Sebagai orang dalam maka whistleblower
memahami kronologi perkara korupsi.

2.2.3. Kedudukan whistleblower dalam sistem peradilan pidana

9

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

9

Para whistleblower sangat rentan akan intimidasi dan ancaman bahkan
cenderung menjadi sasaran kriminalisasi sebagai pelaku kejahatan yang dikualifikasi
sebagai tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan,
sehinggaakhirnya mereka dituntut dan dihukum, padahal mereka ini adalah kunci dari
pemberantasan korupsi. Hal ini adalah wajar karena eksistensi whistleblower kurang
mendapatkan perlindungan dalam sistem peradilan pidana.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban merupakan salah satu diantara beberapa peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang whistleblower belum memadai terkait dengan perlindungan hukum
kepada whistleblower. Jika dari segi normative atau segi peraturan sudah tidak
memadai, maka sudah dapat dipastikan bahwa pengaplikasiannya juga tidak akan
berjalan dengan baik.
Dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
hukum acara pidana juga dijelaskan beberapa istilah yang memiliki kaitan dengan
whistleblower yaitu ‘pelapor’ (pasal 108 KUHAP), ‘pengadu’ (pasal 72 KUHAP),
‘saksi korban’(pasal 100 KUHAP). Menurut perspektif sistem peradilan pidana
Indonesia, keberadaan para whistleblower tidak mendapatkan jaminan hukum

10

BAB III
ANALISIS DAN SINTESIS

3.1.

Perlindungan hukum whistleblower di berbagai negara

3.1.2. Amerika Serikat
Di Amerika Serikat terdapat sebuah undang-undang yaitu whistleblower
protection art tahun 1989 atau sering disebut WPA. Undang-undang ini melarang
pembalasan terhadap pegawai federal yang mengungkap terjadinya pelanggaran
hukum, pemborosan anggaran, penyalahgunaan kekuasaan, dan keselamatan publik.
Berdasarkan UU tersebut pengungkapan dapat dilakukan terhadap pihak
manapun. Proses pengungkapan akan dilindungi. Terhadap whistleblower yang
dikenai sanksi atau tindakan kepegawaian tertentu sebagai akibat dari tindakannya,
dapat mengadukan kepada Merit System(Peradilan Tata Usaha Negara).
UU perlindungan whistleblower juga mengatur dan memberikan hak kepada
whistleblower untuk mendapatkan pemulihan, termasuk pembayaran kembali, ganti
rugi. Lembaga yang bertugas untuk melaksanakan perlindungan hukum terhadap
whistleblower adalah Kantor Penasihat Khusus (Office of the Special Counsel)10.

3.1.3. Australia
Australia baru memiliki undang-undang yang mengatur tentang whistleblower pada
tahun 2004 yaitu tentang Workplace Relations Amendment Act 2004. Mekanisme
pengungkapan di Australia di serahkan kepada Ombudsman, Police Complaints
Authority and the Anti Corruption Branches.
10

Buku Whistleblower, 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, hal 44.

11

Perlindungan hukum yang didapatkan whistleblower antara lain adalah11 :
1. Tidak dapat dituntut secara perdata, pidana, dan administratif karena
melakukan pengungkapan.
2. Merugikan atau mencoba atau bersekutu untuk merugikan whistleblower
dinyatakan sebagai suatu balas dendam dan melanggar hukum menurut
hukum pidana, dan perdata.
3. Pekerja yang melapor diberi hak tambahan untuk memohon kepada
Komisioner urusan layanan public agar kerjanya dipindah dengan tujuan
menghindari balas dendam.

3.2.

Perlindungan hukum whistleblower di Indonesia

3.2.1. Instrumen perlindungan whistleblower
a. UNCAC (United Nation Convention Against Corruption)
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan instrument
hukum internasional tentang perlindungan hukum terhadap whistleblower,
terutama yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi. Hal ini
tercantum dalam Article 37 section 3 tentang Cooperation with law
enforcement authorities yang menjelaskan ‘’Each State Party Shall
consider providing for the possibility, in accordancewith fundamental
principles of the domestic aw, of granting immunity form prosecution to a
personwho provides substansial cooperation in the investigation of an
offence established in accordance with this convention’’. (setiap negara
peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari
11

Ibid, hal 63.

12

penuntutan bagi orang-orang yang memberikan kerja sama substansial
dalam penyelidikan atau penuntutan). Indonesia termasuk salah satu
negara yang meratifikasi konvensi ini menjadi undang-undang nomor 7
tahun 2006 tentang pengesahan konvensi PBB anti korupsi.
b. SEMA No. 4 Tahun 2011
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) ini mengatur tentang
perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan pelaku yang
bekerjasama (justice collaborator). Dalam SEMA ini dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan
melaporkan tindak pidana tertentu dan merupakan bagian dari pelaku
kejahatan yang telah dilaporkannya. Dari definisi ini pula dapat
disimpulkan syarat untuk menjadi seorang whistleblower. Selain itu
dijelaskan juga perlakuan berbeda terhadap whistleblower, yaitu apabila
pelapor dilaporkan oleh terlapor, maka penanganan perkara atas tindak
pidana pelapor didahulukan daripada laporan yang diajukan kembali oleh
terlapor.
c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
Undang-undang ini merupakan perubahan atas undang-undang nomor
13 tahun 2006 yang mana didalamnya mengatur mengenai pelapor. Yang
dimaksud pelapor yaitu dalam pasal 1 angka 4 ‘’Pelapor adalah orang
yang memberikan laporan,informasi, atau keterangan kepada penegak
hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi’’.
Pelapor dalam undang-undang ini tidak dapat dituntut baik secara pidana
maupun secara perdata atass keterangan yang akan, sedang, atau telah
disampaikannya.

13

d. Peraturan bersama Kemenkumham, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK
Tentang perlindungan bagi saksi pelapor, pelapor, dan pelaku yang
bekerjasama.
Peraturan bersama ini mengatur tentang pelapor, yang dimaksud
dengan pelapor adalah orang yang mengetahui dan memberikan laporan
serta infformasi tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak
pidana tertentu kepada penegak hukum dan bukan merupakan bagian dari
pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
3.2.2. Analisis dan hambatan perlindungan whistleblower
Whistleblower memiliki peran yang sangat signifikan dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi, terlebih apabila sebuah tindak pidana korupsi dilakukan secara
terorganisir. Di Indonesia sendiri sangat kontradiktif, karena angka korupsi sangat
tinggi dan peran whistleblower kurang begitu menonjol. Padahal hal ini merupakan
sebuah sarana bagi masyarakat untuk meningkatkan partisipasi publik dan
transparansi. Fenomena ini merupakan implikasi dari kurangnya perlindungan hukum
terhadap whistleblower. Bahwasanya dari beberapa peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang whistleblower belum ada yang secara spesifik memberikan
perlindungan hukum terhadap whistleblower. Kekurangan tersebut tercermin dari
beberapa peraturan perundang-undang yang telah disebutkan di sub-bab sebelumnya,
diantaranya:
a. SEMA No.4 Tahun 2011
Peraturan perundangan ini merupakan titik awal diaturnya perlindungan
terhadap whistleblower di Indonesia. Karena undang-undang perlindungan
saksi dan korban tidak dapat menjangkau perlindungan hukum
whistleblower. Namun, dalam SEMA ini perlindungan hanya terbatas
pada saat tahap persidangan saja, sedangkan kita tahu bahwasanya tahapan

14

peradilan pidana dimulai dari tahap penyidikan dan penuntutan sebelum
masuk ke dalam persidangan.
b. Peraturan bersama Kemenkumham, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK
Tentang perlindungan bagi saksi pelapor, pelapor, dan pelaku yang
bekerjasama.
Peraturan bersama ini bertujuan untuk menyamakan persepsi antar
lembaga penegak hukum. Satu hal utama yang menjadi sorotan adalah
whistleblower dapat dituntut oleh terlapor atas laporan yang diajukannya.
Ini sangatlah tidak adil, mengingat whistleblower merupakan sebuah kunci
dalam penberantasan tindak pidana korupsi.
c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
Undang-undang ini diibaratkan sebuah perisai baja yang telah rapuh.
Diibaratkan seperti itu karena undang-undang ini diharapkan mampu
memberikan perubahan atas perlindungan whistleblower di Indonesia.
Terdapat banyak kelemahan dalam undang-undang ini, diantaranya
adalah:
1. Tidak adanya perlindungan terhadap pemecatan, dan rotasi jabatan.
Whistleblower dalam sebuah tindak pidana korupsi dapat berupa
seseorang yang bekerja di sebuah instansi pemerintahan maupun
dalam lingkup BUMN. Mereka menjadi whistleblower atas laporan
dugaan praktek korupsi di lingkungan tempat mereka bekerja,
seringkali tindak pidana korupsi terjadi secara terorganisir dalam
sebuah instansi pemerintahan dan BUMN. Biasanya pelaku korupsi
merupakan orang yang memiliki jabatan tinggi, sehingga dapat
menggunakan kekuasaannya untuk mencegah pengungkapan korupsi
yang dilakukannya. Apabila yang menjadi whistleblower merupakan

15

bawahan atau pegawai biasa yang melaporkan perbuatan atasan, hal
ini riskan karena pegawai tersebut dapat dirotasi bahkan dipecat. selain
itu dijelaskan bagaimana upaya LPSK apabila hal tersebut terjadi,
apakah

dapat

mengembalikan

pekerjaan

atau

posisi

seorang

whistleblower seperti sebelumnya.
2. Whistleblower dapat dituntut kembali.
Dalam pasal 10 ayat (1) dijelaskan:
‘’saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut
secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau
laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali
kesaksian atau laporan tersebut diberikan dengan iktikad baik’’.
Sedangkan dalam pasal 10 ayat (2) berbunyi:
‘’dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi
pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan,
sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda
hingga kasus yang ia laporkan diputus oleh pengadilan dan
memperoleh kekuatan hukum tetap’’.
Dalam pasal 32 A ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban
dijelaskan;
‘’dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh saksi
pelaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, tidak
menyebabkan batalnya perlindungan bagi saksi pelaku tersebut’’.
Terkait dengan pasal 10 ayat (1) dan 10 ayat (2), hal ini sangat
kontradiktif karena salah satu pasal menyatakan bahwa pelapor tidak
dapat dituntut secara perdata maupun pidana, namun di pasal lainnya
dapat dikenakan tuntutan hukum dan ditunda dulu perkaranya.

16

Kemudian adalah terkait dengan pasal 32 ayat (2) yaitu tentang
perlindungan terhadap justice collaborator/pelaku yang bekerjasama.
Justice collaborator mendapatkan perlindungan apabila keterangan
yang diberikan tidak terbukti dalam persidangan, namun untuk
whistleblower tidak mendapatkan perlindungan apabila laporannya
tidak terbukti. Selain itu, apabila pelapor dituntut secara pidana dan
ternyata tuntutannya tebukti tidak diatur mengenai perlindungan dan
keringanan pidana yang akan diterima.
3. Penanganan khusus yang kurang
Whistleblower dan justice collaborator mendapatkan perlakuan yang
berbeda, justice collaborator mendapatkan penanganan khusus serta
mendapatkan penghargaan , sedangkan whistleblower tidak mendapat
penanganan secara khusus dan penghargaan atas keberanian yang
diungkapkannya,

ini

sangat

bertentangan

dengan

semangat

whistleblower.
4. Kesaksian whistleblower
Status dan posisi whistleblower merupakan keadaan yang rawan,
bahkan

ketika

whistleblower

memberika

keterangan

selama

persidangan berlangsung. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan
bahwa dalam memberikan kesaksian, whistleblower tidak harus hadir
dalam persidangan, dan bertemu dengan terdakwa.

5. Identitas whistleblower
Dalam undang-undang ini dijelaskan mengenai pemberian identitas
baru untuk whistleblower. Namun kekurangannya adalah tidak

17

diaturnya

perlindungan

atas

identitas

baru

tersebut,

yang

dikhawatirkan akan dikenakan perbuatan pemalsuan.
6. Mekanisme pelaporan (whistleblowing system)
Tidak diatur mengenai bagaimana mekanisme pelaporan terhadap
tindak pidana korupsi sepertimana terdapat pada UU KPK dalam pasal
16 sama `pasal 17. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan besar
bagaimana mekanismenya.
7. Sifat penting laporan
Untuk dapat menjadi whistleblower diperlukan beberapa kriteria, salah
satunya adalah pentingnya laporan. Tidak dijelaskan bagaimana
parameter pentingnya laporan tersebut, ini akan menimbulkan
kontradiksi, apabila keterangan atau laporan tersebut dianggap tidak
penting, maka tidak mendapatkan perlindungan hukum.
8. Kelembagaan
Bahwasanya

yang memiliki wewenang untuk pelaporan dan

perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi adalah
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan Komisi Pemberantasan
Korupsi. Apabila 2 lembaga yang berwenang untuk perlindungan
whistleblower dapat menyebabkan sengketa kewenangan antar
lembaga, mengingat Korupsi merupakan bidang dari KPK, dan LPSK
dalam UU perlindungan saksi dan korban merupakan pasal baru.
3.2.3. Alternatif pemecahan masalah whistleblower di Indonesia
Dari hasil analisis yang telah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya, dapatlah diambil
sebuah jalan tengah, yang mana dapat memperkuat perlindungan whistleblower baik
secara teortis. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antaranya:

18

1. Kebijakan legislatif
Melakukan perubahan terhadap undang-undang nomor 31 tahun 2014
tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya mengenai pengaturan
whistleblower. Jika undang-undang ini dirubah dan disempurnakan, maka
dalam praktek penegakan hukum juga akan menimbulkan keteraturan.
2. Kebijakan kelembagaan
Mengingat esensi dari whistleblower berbeda dengan saksi biasa, karena
itu diperlukan lembaga yang secara khusus/independen untuk menangani
whistleblower. Selain itu fungsi whistleblowing system dapat diletakkan
dalam sebuah lembaga integral yang menangani perlindungan , hal ini
guna menyiasati agar tidak terjadi sengketa kewenangan antara LPSK,
KPK, dan PPATK.
3. Kebijakan infrastruktur.
Selain dua kebijakan diatas, yang dapat dilakukan adalah pembangunan
secara infrastruktur, masalahnya perlindungan whistleblower

dalam

pengadilan masih kurang, karena tidak tersedianya ruang transit bagi
saksi. Melainkan hanya dipersilahkan duduk di luar area persidangan.

19

BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1. Simpulan
Whistleblower memiliki arti sebagai peniup peluit, hal ini merupakan sebuah
konotasi bahwasanya whistleblower merupakan seseorang pengungkap fakta, atau
sering disebut masyarakat umum dengan kata pelapor. Whistleblower dapat menjadi
langkah strategi dalam pmberantasan tipikor, namun yang terjadi di Indonesia adalah
kurangnya perlindungan hukum terhadap whistleblower menyebabkan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengungkapan tipikor.
Ditinjau dari beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
whistleblower,

semuanya

tidak

cukup

memberikan

perlindungan

kepada

whistleblower. Terdapat berbagai kelemahan-kelemahan. Alternatif yang dapat
dilakukan adalah dengan cara :
a. Kebijakan legislatif
b. Kebijakan kelembagaan
c. Kebijakan infrastruktur

4.2. Rekomendasi
Bagi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, salah satunya adalah dengan menjadi
whistleblower/saksi pelapor.

20

DAFTAR PUSTAKA
Yesica, Margaretha. 2014. Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman
Alternatif Dalam Tipikor. Yogyakarta.Jurnal.Universitas Atma Jaya.
Siahaan, Brian. 2015. Kajian Yuridis Tentang Saksi Pengungkap Fakta. Medan.Jurnal
Lex Crimen.
Mardjono Reksodipuro.Pembocor Rahasia/Whistleblower Dalam Menanggulangi
Kejahatan Di Indonesia. Wacana Goverminyboard.Jakarta,
Dempster, Q. 2006. Whistleblower (Para Pengungkap Fakta). Jakarta:Elsam.
Turmudhi, Imam. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus
Korupsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Tesis. Universitas Indonesia.
Buku Whistleblower. 2011. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.Jakarta,
Undang- undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
SEMA No 14 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Whistleblower dan Justice
Collaborator.