Krisis ekonomi global krisis asia

NAMA

: NIDYA ARUM C

NIM

: 7311410046

TUGAS

: MAN. KEU INTERNASIOAL

KRISIS EKONOMI ASIA 1997
Krisis finansial Asia adalah krisis finansial yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan
memengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia,
sebagian Macan Asia Timur. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah negara yang paling
parah terkena dampak krisis ini. Hong Kong, Malaysia dan Filipina juga terpengaruh. Daratan
Tiongkok, Taiwan dan Singapura hampir tidak terpengaruh. Jepang tidak terpengaruh banyak
tapi mengalami kesulitan ekonomi jangka panjang.
Sampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang.
Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea


Selatan

memiliki

"current

account

deficit"

dan

perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke
keterbukaan yang berlebihan dari risiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan
perusahaan.
Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai
faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia
lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting,
mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya

pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di
Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan memengaruhi mata uang, pasar bursa dan
harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor
Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya,
menimbulkan efek bola salju.
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan
peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan

krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan
dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock risiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke
kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis
dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar
finansial yang menuju ke "mental herd" di antara investor yang memperbesar risiko yang relatif
kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi
perilaku tertarik di psikologi pasar.
KONSEKUENSI
Krisis Asia berpengaruh ke mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa
negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh
besar oleh krisis ini.

Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan
mundurnya Suharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan antiBarat, dengan George Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam.
Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya
beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang
superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRC.
Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis
Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.
Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan,
dinamismenya; dia memengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang,
terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik lagi dengan
betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh.
Keingintahuan ini telah menimbulkan ledakan di pelajaran tentang ekonomi finansial dan "litani"
penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakan IMF dalam krisis,
termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz.

Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka
pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa
percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di
bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta

persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah
(atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat
tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta
Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis
berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi
masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari
penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank,
1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis.
Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari
keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat
meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang
memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik
dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan
sistem perdagangan terbuka. Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah
menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka
panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik
meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada
tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak
cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri,

tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia
dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi
ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi
sebaliknya

kinerja

ekspor

yang

selama

ini

menjadi

andalan

ekonomi


nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara
lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.

Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan
ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi
bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga
keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan”
yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds
1999).

Ini

adalah

akibat

dari

sistem


yang

sering

disebut

sebagai

“crony

capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh
Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan
aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous
circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar,
tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut
memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut
rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor
swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus
dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank

1998).
2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam
sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah
hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak
mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir
tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya
dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada
pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak
sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan
modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai
terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam
kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu
tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Hill (1999)
menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik

politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak
pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi,
investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan

kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan
ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang
melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom
persepsi

negatif

tersebut

tidak

terlalu

menghambat

ekonomi

Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul
menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini
pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat,

adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang
ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi
pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak
kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis
ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Faktor ini
merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas
sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan
secara mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis
ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya
pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin
dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih
tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_finansial_Asia_1997
http://putracenter.net/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakahakan-terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/