Teori Belajar Sosial dan kognitif (1)

A. Teori Belajar Sosial (Albert Bandura)
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning
adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan
teori-teori belajar lainnya. Albert Bandura lahir tanggal 4 Desember 1925 di
Mundare Alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal
dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri.
Ekperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang
menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa
disekitarnya.
Teori pembelajaran sosial ini adalah perkembangan utama dari tradisi
teori pembelajaran prilaku (Behaviorisme). Berbeda dengan penganut
Behaviorisme, Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks
interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan
pengaruh lingkungan.

Kondisi lingkungan sekitar individu sangat

berpengaruh pada pola belajar sosial ini. Misalnya seorang yang hidup dan
lingkungannya

dibesarkan


dilingkungan

judi,

maka

dia

cenderung

menyenangi judi, atau sekitarnya menganggap bahwa judi itu tidak jelek.
Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari
individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan
(imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan
punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial
mana yang perlu dilakukan.
Bandura sebagai seorang behavioris moderat penemu teori social
learning/ observational learning, setiap proses belajar terjadi dalam urutan

tahapan peristiwa (4 unsur utama) dan berakhir dengan penampilan atau
kinerja (performance) tertentu sebagai hasil/ perolehan belajar seorang
siswa. yang meliputi:
Ø Fase Perhatian (attentian)

1

Memberikan perhatian pada orang yang ditiru. Sebagai pengamat
orang tidak dapat belajar melalui observasi kecuali kaku ia
memperhatikan kegiatan-kegiatan yang diperagakan oleh model itu
sendiri dan benar-benar memahaminya. Mencakup peristiwa peniruan
(adanya

kejelasan,

keterlibatan

perasaan,

tingkat


kerumitan,

kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamatan (kemampuan
indera, minat, persepsi, penguatan sebelumnya).
Ø Fase Pengingat (retention)
Seorang pengamat harus dapat mengingat apa yang yang telah
dilihatnya. Dia harus mengubah informasi yang diamatinya menjadi
bentuk gambaran mental, atau mengubah simbol-simbol verbal, dan
kemudian menyimpan dalam ingatannya. Mencakup kode pengkodean
simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan simbol, pengulangan
motorik.
Ø Reproduksi motorik (reproduction)
Yaitu proses peniruan adalah mengubah ide gambaran, atau ingatan
menjadi tindakan. Mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru,
keakuratan umpan balik.
Ø Peneguhan/Motivasi (reinforcement/motivation)
Mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Prinsip-prinsip yang Mendasari Teori Belajar Sosial
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang

dikemukakan oleh Bandura, yaitu:
1)

Prinsip faktor-faktor yang saling menentukan
Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya
adalah suatu sistem (sistem diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna
bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara bersama-sama saling
2

bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya.
Berikut ini dijelaskan interaksi berbagai faktor pembentuk sistem diri (self
sistem) pada sebuah bagan (Gambar 2.2).

Keterangan :
P = Singkatan dari Personal atau kepribadian seseorang
B = Singkatan dari Berhavior atau perilaku seseorang
E = Singakatan dari Environment atau lingkungan luar

Sistem yang saling terkait seperti yang ditampilkan dalam bagan di atas

menggambarkan ketiga faktor yaitu: faktor kepribadian (Personal), faktor
perilaku (Behavior), dan faktor lingkungan (Environment). Sepasang anak
panah yang berlawanan arah pada setiap faktor tersebut menunjukkan
bahwa setiap faktor tersebut dapat mempengaruhi atau dapat bersifat
sebagai penentu terhadap faktor-faktor lainnnya secara timbal balik.

3

Sebagai contoh, Seorang anak bernama Andi adalah pribadi yang
memiliki harapan-harapan dan nilai-nilai di samping gaya pribadi atau
kepribadian tertentu, suka tantangan-tantangan intelektual atau berinteraksi
dengan orang disekitarnya (P/Personal). Sebagai konsekuensinya Andi
melanjutkan pendidikan di sebuah universitas. Karena Andi suka dengan
perkuliahan di universitas tersebut, maka Andi menunjukkan prilaku
(B/Behavior) yang positif dan penuh semangat dalam mempelajari dan
mempraktekkan berbagai mata kuliah yang ia ambil. Rekan-rekan yang ada di
tempat kerja Andi dan kelompok tutorial, juga keluarga serta orang-orang di
sekitar Andi yang mengetahui kepribadian Andi (P/Personal) akan bereaksi
dengan reaksi-reaksi tertentu (E/Environment), misalnya keramahan serta
kekaguman akan kemampuan Andi membagi waktu antara kerja, rumah

tangga, kuliah, dan bermasyarakat. Mereka juga bereaksi (E/Environment)
terhadap perilaku Andi (B/Behavior). Jika Andi melakukan suatu perbuatan
aneh atau yang tidak disangka-sangka (B/Behavior), maka mereka akan
bereaksi terhadap perbuatan Andi itu. Reaksi mereka itu (E/Environment),
secara timbal balik mempengaruhi prilaku Andi (B/Behavior), disamping
berdampak pada kepribadian Andi (P/Personal). Jika mereka berhenti
bersikap ramah terhadap andi (E/Environment), misalnya karena Andi terlalu
sibuk belajar dan bekerja sehingga ia melupakan keluarga atau temantemannya, Andi mungkin akan menjadi murung (P/Personal), karena
keluarga atau teman/tetangganya mulai acuh karena tidak diperhatikan. Jadi,
diri Andi adalah suatu sistem dan faktor-faktor di dalam atau di luar dirinya
(pribadi, prilaku, lingkungan), berdampak satu terhadap lainnya.
2)

Kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/lambang
Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis
melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap
gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya,
karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa

4


sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan
dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara
simbolis dalam pikiran. Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan
dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu
secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik
terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau
gambaran kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang
mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku tertentu.
3)

Kemampuan berpikir ke depan
Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah
dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat
dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga
bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan
tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke
depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.


4)

Kemampuan untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain
Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara
memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari
perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang
lain.

5)

Kemampuan mengatur diri sendiri
Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya
memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri.
Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana
bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah
dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini
tidak dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi
5

berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja

orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung jawab
utama tetap berada pada diri sendiri.
6)

Kemampuan untuk berefleksi
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering
melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri
mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan
menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri.
Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian
terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri
mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses.
Konsep-Konsep Penting dalam Kepribadian menurut Bandura

1)

Sistem Diri (Self System)
Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008:276) mengajukan
sebuah konsep yang memiliki peran penting dalam kepribadian, yang ia sebut
dengan self-system, satu set proses kognitif yang individu gunakan untuk

mempersepsi, mengevaluasi, dan meregulasi prilakunya sendiri agar sesuai
dengan lingkungannya dan efektif dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Oleh karena itu, individu tidak hanya dipengaruhi oleh proses reinforcement
eksternal yang disediakan lingkungan, tetapi juga oleh ekspektasi,
reinforcement, pikiran, rencana, tujuan atau proses internal dari diri. Aspek
kognitif yang aktif dalam diri individu sangat penting dalam pembelajaran.
Selain berespon terhadap reinforcement langsung dengan mengubah prilaku
di masa depan, orang dapat berpikir dan mengantisipasi pengaruh dari
lingkungan. Individu dapat mengantisipasi konsekuensi yang mungkin akan
timbul dari perilakunya sehingga mereka memilih tindakan berdasarkan
respon yang dihadapkan dari lingkungan dan masyarakat.

6

Walaupun teori pembelajaran klasik mengasumsikan bahwa prilaku
seseorang berubah sepanjang waktu karena pengaruh langsung dari
reinforcement dan hukuman melalui hubungan stimulus-respons, teori
Bandura menyatakan bahwa pengaruh reinforcement sebelumnya akan
terinternalisasikan dan perilaku berubah karena berubahnya pengetahuan
dan


ekspektasi

seseorang

(Friedman

dan

Schustack,

2008:276).

Pendekatannya memberikan peranan penting pada apa yang disebutnya
dengan “human agency”. Kapasitas seseorang untuk mengontrol perilakunya,
dan juga mengontrol proses berpikir internal dan motivasinya. Pengetahuan
bahwa prilaku tertentu (oleh orang lain atau diri sendiri), pada situasi
tertentu, mendapatkan reinforcement di masa lalu membuat individu
berharap bahwa perilaku yang sama akan mendapatkan reinforcement pada
situasi yang sama (atau serupa) di masa depan. Maka pendekatan ini
menggunakan kekuatan pendekatan pembelajaran dan kognitif terhadap
kepribadian.
2)

Efikasi Diri (Self Efficacy)
Menurut Friedman dan Schustack, (2008:283) self-efficacy adalah
ekspektasi keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh seseorang mampu
melakukan satu perilaku dalam suatu situasi tertenu. Self-efficacy yang positif
adalah keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang dimaksud. Tanpa
Self-efficacy (keyakinan tertentu yang sangat situasional), orang bahkan
enggan mencoba melakukan suatu perilaku. Menurut Bandura (dalam
Friedman dan Schustack, 2008:283) menyatakan self-efficacy menentukan
apakah kita akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa kita dapat
bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana
kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi
perilaku kita di masa depan.
Jika seseorang tidak yakin dapat memproduksi hasil yang mereka
inginkan, mereka akan memiliki sedikit motivasi untuk bertindak. Sebagai

7

contoh, dalam satu penelitian, para lulusan bisnis diminta menemukan dan
menggunakan aturan manajerial untuk menstimulasi suatu organisasi.
Sebagian partisipan diberi tahu bahwa keterampilan yang dibutuhkan
bersifat bawaan jika Anda tidak memiliki keterampilan, Anda tidak bisa
berhasil. Partisipan ini menurunkan ekspektasi hasil yang akan mereka raih
dan tidak menunjukkan performa yang baik. Partisipan lain diberi tahu
keterampilan yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan latihan; para
partisipan ini membuat target yang menantang dan mengembangkan strategi
organisasi yang sukses.
Menurut Friedman dan Schustack (2008:283) menyatakan,
keyakinan tentang self-efficacy adalah hasil dari 4 jenis informasi, yaitu: (1)
pengalaman kita dalam melakukan perilaku yang diharapkan atau perilaku
yang serupa (kesuksesan dan kegagalan di masa lalu); (2) melihat orang lain
melakukan perilaku tersebut atau perilaku yang kurang lebih sama (vicarious
experience); (3) persuasi verbal (bujukan orang lain yang bertujuan untuk
menyemangati atau menjatuhkan performa); dan (4) apa perasaan kita
tentang perilaku yang dimaksud (reaksi emosional).
Bandura juga telah mempraktekkan konstruk self-efficacy dalam bidang
kesehatan. Self-efficacy terkait dengan aspek fisiologis kesehatan. Orang yang
tidak memiliki self-efficacy mengalami stress yang berdampak pada
kesehatan dan sistem imunnya. Self-efficacy juga terkait dengan potensi
individu untuk berperilaku sehat, orang yang tidak yakin bahwa mereka
dapat melakukan suatu perilaku yang dapat menunjang kesehatan akan
cenderung enggan mencoba.
3)

Regulasi Diri (Self Regulation)
Menurut Friedman dan Schustack (2008:284) menyatakan, regulasi
diri adalah proses dimana seseorang dapat mengatur pencapaian dan aksi
mereka sendiri, menentukan target untuk diri mereka, mengevaluasi

8

kesuksesan

mereka

saat

mencapai

target

tersebut,

dan

memberi

penghargaan pada diri mereka sendiri karena telah mencapai tujuan
tersebut. Konsep self-efficacy adalah elemen penting dari proses ini, yang
mempengaruhi pilihan target dan tingkat pencapaian yang diharapkan. Yang
juga penting adalah skema yang individu miliki, yang mendasari bagaimana
orang memahami dan berperilaku dalam lingkungannya. Konstruk regulasi
diri menitikberatkan pada kontrol internal (interpersonal) perilaku kita.
Proses regulasi diri memiliki relevansi yang luas terhadap banyak bidang,
terutama bidang kesehatan dan pendidikan, yang merupakan bidang di mana
pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana orang melatih kontrol
perilaku mereka sendiri akan berdampak pada meningkatnya keberhasilan
masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan.

B. Teori Belajar Sosial (Vygotsky)
Vygotsky merupakan salah seorang tokoh konstruktivisme, beliau
adalah seorang sarjana Hukum, tamat dari Universitas Moskow pada
tahun 1917.
Teori pembelajaran sosial Vygotsky, menekankan pada aspek sosial
dalam pembelajaran. bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak
bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugastugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka yang disebut Zone

9

of Proximal Development, yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit di
atas daerah tingkat perkembangan seseorang saat ini.
Vygotsky juga menekankan pada pengaruh budaya. Inti teori
Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pembelajaran
Teori Konstruktivisme ini didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan
manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi
makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan
dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang,
kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain
merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan
pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan
kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor,
1993).
Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu
dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut
beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan
orang

lain

merupakan

faktor

terpenting

yang

dapat

memicu

perkembangan kognitif seseorang.
Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara
efisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anakanak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive),
dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.
Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini, banyak pemerhati

10

pendidikan yang mengembangkan model pembelajaran kooperatif, model
pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok, dan model
pembelajaran problem solving.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat
prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
(1)

pembelajaran

sosial

(social

leaning).

Pendekatan

pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif.
Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama
dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap;
(2) ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat
mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa
bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri,
tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang
dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si
anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih
tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si
anak.
(3) Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses
yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan
intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa,
atau teman yang lebih pandai;
(4)

Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky

menekankan pada scaffolding.Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit,
dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam
memecahkan masalah siswa.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
11

lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif
manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam
konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat
siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugastugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas
itu berada dalam zona of proximal development mereka.
Tingkat perkembangan yang dimaksud terdiri atas empat tahap yaitu sebagai
berikut:
Pertama, more dependence to others stage, yakni tahapan di mana
kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain seperti teman-teman
sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari sinilah
muncul

model

pembelajaran

kooperatif

atau

kolaboratif

dalam

mengembangkan kognisi anak secara konstruktif.
Kedua, less dependence external assistence stage, di mana kinerja
anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi
lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.
Ketiga, Internalization and automatization stage, di mana kinerja anak
sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kasadaran akan pentingnya
pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan
yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak pada tahap ini
belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas
diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.
Keempat, De-automatization stage, di mana kinerja anak mampu
mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara
berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada tahap ini, keluarlah apa yang
disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya.
Dengan demikian dalam proses untuk mencapai pemahaman pada
mulanya anak diberikan bantuan/bimbingan untuk mencapai perkembangan
yang optimal, setelah itu secara bertahap bantuan itu dikurangi sampai

12

akhirnya tidak diberikan sama sekali, sehingga anak secara independen dapat
memahami apa yang mereka pelajari.
Konsep penting dalam teori vygotsky :
1. Zona of Proximal Development (ZPD) Pembelajar sebagai mediator
memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya
membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Dalam interaksi sosial dikelas, ketika terjadi saling tukar pendapat
antar siswa dalam memecahkan suatu masalah, siswa yang lebih
pandai memberi bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan
berupa petunjuk bagaimana cara memecahkan masalah tersebut,
maka terjadi scaffolding, siswa yang mengalami kesulitan tersebut
terbantu oleh teman yang lebih pandai. Ketika guru membantu
secukupnya kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya,
maka terjadi scaffolding.
Konsep ZPD Vigotsky berdasar pada ide bahwa perkembangan
pengetahuan siswa ditentukan oleh keduanya yaitu apa yang dapat
dilakukan oleh siswa sendiri dan apa yang dilakukan oleh siswa ketika
mendapat bantuan orang yang lebih dewasa atau teman sebaya yang
berkompeten.
2. Scaffolding adalah memberikan dukungan dan bantuan kepada seorang
anak yang sedang pada awal belajar, kemudian sedikit demi sedikit
mengurangi dukungan atau bantuan tesebut setelah anak mampu
memecahkan problem dari tugas yang dihadapinya (Baharuddin dan
Wahyuni, 2010). Scaffolding merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh
seorang ahli psikologi perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner,
yakni suatu proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anakanak melalui zona perkembangan proksimalnya

13

Dialog adalah alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anakanak kaya konsep tetapi tidak sistematis, acak, dan spontan. Dalam dialog,
konsep-konsep tersebut dapat dipertemukan dengan bimbingan yang
sistematis, logis, dan rasional.

14