pro kontra legalisasi aborsi doc

Pro-Kontra Legalisasi Aborsi
Oleh Wahyu Tanoto

Pasca ditanda tangani Peraturan Pemerintah N0.61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Juli lalu, tampaknya wacana ini sedikit
banyak menimbulkan diskursus di tengah masyarakat; baik secara sosiologis, filosofis maupun
secara religiusitas. Salah satu perdebatan yang agak kencang kalau diperhatikan adalah
mengenai pasal yang melegalkan aborsi bagi korban perkosaan.
Setiap bayi berhak hidup
Ada sebagian kalangan yang merasa bahwa peraturan pemerintah ini akan menghilangkan hak
hidup janin yang masih berada dalam kandungan. Bagi pendukung pendapat ini beralasan
bahwa hamil-nya seorang perempuan tidak dapat dijadikan alasan utama untuk melakukan
aborsi. Alasannya adalah karena, apresiasi terhadap eksistensi individu menjadi argumentasi
mutlak. Memang benar, setiap janin yang dikandung oleh perempuan berhak untuk hidup.
Menurut hemat saya persoalan aborsi bagi korban perkosaan haruslah dilihat secara
menyeluruh, tidaklah bijak kalau kita hanya melihat tindakan aborsinya saja. Kenapa demikian?
Saya tidak bisa membayangkan apabila ada korban perkosaan harus menjadi korban kedua
kalinya karena harus mengandung janin yang “tidak diinginkan”. Bayangkanlah seandainya kita
berada posisi tersebut.
Pada dasarnya setiap orang memang dilarang melakukan aborsi, demikian yang disebut dalam
Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, larangan

tersebut dikecualikan berdasarkan (Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan) karena: a.

indikasi

kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu
dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang
tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan. Dan yang lebih penting lagi dalam PP tersebut telah diatur mengenai tindakan aborsi

akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung
sejak hari pertama haid terakhir, kata pasal 31 ayat (2).
Oleh karenanya tindakan aborsi bagi korban perkosaan tidaklah semudah yang kita bayangkan,
karena sendainya ada korban perkosaan yang berniat melakukan aborsi maka harus melalui
berbagai macam tahapan. Salah satu tahapan yang harus dilalui adalah melakukan konseling
secara mendalam. Selain itu harus ada pertimbangan medis yang sangat kuat, jadi tidak bisa
sembarangan. Sedangkan penentuan adanya indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim
kelayakan aborsi, paling sedikit dari 2 orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang
memiliki kompetensi dan kewenangan, begitu setidaknya bunyi kalimat dalam pasal 33 ayat
(1,2) PP tersebut.

Rawan diselewengkan
Menurut hemat saya setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan, tua-muda, kaya-miskin,
sipil-non sipil selalu memiliki peluang yang sama untuk melakukan penyelewengan. Namun,
dalam konteks perbincangan mengenai aborsi bagi korban perkosaan ada baiknya kita mencoba
belajar untuk berperspektif korban, yang mengajarkan kepada kita seolah-olah mengalami
menjadi korban. Lebih dari itu sesungguhnya memupuk rasa empati terhadap korban perkosaan
atau setidak-tidaknya kita bersedia belajar memahami apa yang di alami oleh korban. Menurut
saya ini lebih bijak daripada kita “menghujat” dan mensalahkan korban.
Dalam tinjauan kacamata sosiologis, kita selalu memiliki dua buah opsi; pro-life atau pro-choice
yang memberikan kebebasan bagi seseorang untuk menentukan pilihan hidupnya. Boleh jadi
benar adanya bahwa pelarangan aborsi dapat dilihat sebagai perlindungan kepada janin, yaitu
terhadap bayi yang belum dilahirkan. Namun, disisi lain kita harus perhatikan dan berpikir kritis
apabila hukum itu untuk melindungi seluruh rakyat, bukankah aturan legalisasi aborsi bagi
korban perkosaan cenderung kurang ramah dan relative tidak mengindahkan hak-hak
perempuan? Lebih-lebih bagi anak yang dilahirkan tanpa adanya ikatan pernikahan.

Akhirnya, biar bagaimanapun juga peraturan pemerintah ini telah terbit sebagai salah satu
jawaban tentang persoalan aborsi bagi korban kekerasan. Sesungguhnya ada pekerjaan rumah
lain yang telah menunggu dan tentu saja lebih berat, yaitu bagaimana dengan persoalan
pengamatan dan pengawasan di lapangan untuk memastikan tidak adanya penyelewengan

legalisasi aborsi bagi korban perkosaan. Wtnt*

Nama

: Wahyu Tanoto

Pekerjaan

: Pekerja Sosial Mitra Wacana WRC Yogyakarta

Hp

: 087739031501