Media Massa Masyarakat Sipil dan Pemilu



Media Massa, Masyarakat Sipil dan Pemilu 2014
(Analisis Relasi Media dan Masyarakat Sipil
Untuk Pemilu Bersih 2014 di Yogyakarta)
Catatan: Dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Komunikasi
Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI)
di Lombok, 18-20 November 2014.
Dimuat dalam prosiding konferensi ber iSBN: 978-602-34699-8-9

Masduki
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
E-mail: masduki@hotmail.com

Abstrak
Pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan presiden 2014 dinilai berbagai pihak sebagai
peristiwa politik paling menarik dan bergairah sepanjang sejarah politik Indonesia pasca
reformasi tahun 1998. Partisipasi publik baik dalam skala pasif maupun aktif sangat tinggi,
termasuk masyarakat sipil, elemen kelompok penekan yang pada Pemilu periode sebelumnya
cenderung apatis. Paper ini memaparkan bagaimana relasi komunitas media dan masyarakat sipil

di Yogyakarta dalam kerangka promosi gagasan, pemantauan dan evaluasi gerakan sosial untuk
mendorong pelaksanaan Pemilu yang bersih dan berintegritas.
Dengan mengambil studi kasus Koalisi Pemilih Kritis (KPK), organisasi perkumpulan
yang menghimpun sedikitnya 20 NGO dari beragam latarbelakang di Yogyakarta, paper ini akan
menguraikan bagaimana pilihan isu, strategi publikasi dan model kolaborasi media massa dengan
KPK dalam mengkomunikasikan temuan tracking record calon anggota legislatif, sikap kritis
terhadap pelaksanaan Pemilu 2014 secara umum. KPK menjadi model integrasi NGO beragam
sektor isu, mulai NGO yang fokus kepada pemantau media, isu gender, anggaran publik, hingga
lingkungan dan gerakan anti korupsi. Dengan merujuk pada konsep-konsep media relations dan
komunikasi strategis di sektor publik, paper ini menguji relevansi pilihan kolaborasi yang telah
dilakukan dan menawarkan rekomendasi strategis bagi kolaborasi media dan masyarakat sipil di
masa depan di Yogyakarta dan untuk skala nasional.
Kata kunci: Media Relations, KPK, NGO, Yogyakarta

1




Pengantar

Arsitektur media massa sebagai pilar keempat demokrasi sepanjang pelaksanaan Pemilu
legislatif (Pileg) dan Pilpres tahun 2014 menampilkan dua wajah kontradiktif. Secara nasional,
televisi dan media cetak yang terafiliasi kepada konglomerat-cum-politisi tak ubahnya sebagai
agen propaganda partisan melalui berita insinuatif, serangkaian siaran talkshow dan iklan politik
pencitraan yang tidak berimbang antar-kandidat. Laporan penelitian Masyarakat Peduli Media
Yogyakarta bekerjasama dengan Dewan Pers tahun 2014 menyebutkan, independensi media
menjadi barang langka pada Pemilu 2014 karena dua alasan. Pertama, media massa dipandang
sebagai pembentuk citra dan opini publik, termasuk memengaruhi pendapat masyarakat dalam
menentukan pilihan partai, calon legislatif dan calon presiden. Kedua, sejumlah pemilik media di
Indonesia adalah petinggi partai politik dan mencalonkan diri sebagai presiden sehingga mereka
terbukti memanfaatkan medianya untuk politik praktis 2014 (MPM, 2014).
Di tingkat lokal, terdapat fenomena lain: kolaborasi intensif antara newsroom dan jurnalis
media massa lokal, terutama media cetak dengan aktifis sosial berlandaskan kesamaan kesadaran
(common awareness) perlunya praktek Pemilu bersih. Fenomena ini antara lain muncul di kota
Yogyakarta melalui terbentuknya Koalisi Pemilih Kritis (KPK) yang lahir atas prakarsa 20 lebih
organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi profesi jurnalis: Aliansi Jurnalis Independen.
Tulisan pendek ini mencoba menguraikan model kolaborasi tersebut dengan memeriksa praktek
media relations yang dilakukan KPK. Tulisan ini masih bersifat observasi awal, yang diharapkan
memicu riset lebih jauh tentang relasi media dan gerakan sosial pasca reformasi 1998, dan atau
secara khusus bagaimana pola media relations dan komunikasi strategis di sektor sosial sebagai

salah satu domain studi Komunikasi yang kian populer di Indonesia.
Mengambil momentum tahun politik 2014 atau pelaksanaan Pileg dan Pilpres sepanjang
Februari sampai Agustus 2014, tulisan ini menguraikan dimensi teoritik dan empirik bagaimana
media massa memberi ruang dan masyarakat sipil memanfaatkannya untuk promosi gagasan,
pemantauan dan evaluasi gerakan mendorong pelaksanaan Pemilu yang bersih dan berintegritas
di satu sisi dan melakukan abstraksi-analisa atas relasi media dengan aktifis sosial dalam konteks
advokasi kebijakan publik. Data-data awal dalam tulisan ini berangkat dari pengalaman langsung
penulis selaku koordinator Koalisi Pemilih Kritis (KPK), kemudian dilengkapi hasil pembacaan
atas dokumen pernyataan sikap, rilis media dan kliping berita KPK. Tulisan ini tidak berpretensi
menempatkan praktek relasi KPK-media sebagai model terbaik. Peristiwa tersebut hanya sebagai
pintu masuk untuk merefleksikan dinamika praktek hubungan media yang dilakukan para aktifis
sosial, terutama ketika mengadvokasi hak-hak politik.

Media dan Masyarakat Sipil
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan terminologi masyarakat sipil (civil society) atau
tidak semata-mata NGO (lembaga swadaya masyarakat). Merujuk pemikiran Gramsci seperti
dikutip Nandyatama, istilah masyarakat sipil lebih luas daripada NGO, meskipun demikian
eksistensi masyarakat sipil sangat dekat dan bahkan berpusat pada dunia NGO. Jika Gerard
Clarke mengkonseptualisasikan NGO sebagai: “a private, non-profit, professional organisations
with a distinctive legal character, concerned with public welfare goals,” maka masyarakat sipil

menurut Gramsci adalah: “a set of institutions through which society organised and represented
itself autonomously from the state,” (Nandyatama, 2014).
2




Masyarakat sipil lebih luas pemaknaannya ketimbang NGO. Masyarakat sipil menjadi
agen perubahan dan promotor kondisi sosial baru yang egaliter. Masyarakat sipil adalah aktor
independen tak terbatas pada lembaga, tetapi termasuk keluarga, individu dan dipersepsi sebagai
‘sektor ketiga’ yang terpisah atau beroposisi atas dunia bisnis dan politik pemerintahan. Model
civil society memerlukan kondisi adanya organisasi sosial politik dan kelompok kepentingan
yang memiliki tingkat kemandirian tinggi. Diantara organisasi sosial dan politik yang memiliki
tingkat kemandirian tinggi tersebut adalah NGO dan media massa.
Dalam tulisan berjudul reviewing NGO’s media strategies, possibilities for NGO-media
colaboration, peneliti Universitas Kathmandu Kumar Sharma menguraikan fenomena menarik
Asia terkait meningkatnya jumlah platform media yang dioperasikan oleh NGO sebagai media
internal di satu sisi dan maraknya menggunaan media tradisional serta media sosial di kalangan
para aktifis dalam diplomasi agenda publik di forum internasional. Migrasi penggunaan media
tradisional ke media sosial sangat tinggi di kota besar di Asia, akan tetapi mayoritas kalangan

aktifis masih meyakini kekuatan media tradisional seperti media cetak, radio dan televisi untuk
komunikasi advokasi (Sharma, 2010). Kebutuhan akan media yang kemudian bergeser menjadi
ketergantungan di kalangan aktifis NGO sangat tinggi. Muncul istilah tidak ada publikasi media,
tidak terjadi sebuah gerakan sosial. Aktifis bertindak seperti ‘politisi publik’.
Secara historis, kolaborasi antara kelompok masyarakat sipil dengan media menjadikan
keduanya sebagai salah satu aktor penting penguatan hak-hak sipil di negara-negara Asia,
termasuk Indonesia. Pasca reformasi politik 1998, kekuatan media industrial dan media-media
sosial telah berjalan seimbang, bersamaan dengan kekuatan gerakan sosial dalam skala isu yang
beragam. Di Jakarta, NGO seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Kontras, Walhi, Cetro,
Perludem dan Formappi menjadi langganan media untuk diberitakan dan para aktifis di NGO
tersebut rajin dan telah terbiasa memproduksi wacana serta isu publik yang layak diberitakan di
media massa nasional dan bahkan media internasional. Mereka menjadi PR bagi lembaganya dan
PR bagi isu-isu publik yang krusial, misalnya anti-korupsi.
Dalam pengantar buku Media Relations Handbook for NGO, Milica Pesic dari Media
Diversity Institute menulis: we are truly living in an information age, with newspapers,
television, radio and the internet offering opportunities to learn about the issues of the day and
to connect with fellow citizens, both in our own communities and around the world. Media’s role
in educating the population has never been more important in helping us to fully understand the
many sectors that make up society, including government and non governmental organizations
alike. Meric menggarisbawahi dua pera berbeda tapi saling melengkapi antara media dan aktifis

NGO: It is the media’s responsibility to provide us with the facts that permit the public to make
responsible decisions. But, equally important, it is the responsibility of governmental agencies
and NGOs to keep the media properly informed. These are new responsibilities for both, and
ones that do not necessarily come naturally (Silver, 2003).
Dalam 15 tahun terakhir pasca reformasi, terdapat simbiosa mutualisme yang penting
antara institusi media, jurnalis dan praktisi kehumasan didunia bisnis dan sosial yang bermuara
tidak hanya pada penguatan citra dan reputasi sebuah institusi korporat dan publik, tetapi
penguatan inisiatif bahkan tekanan atas perubahan kebijakan publik dalam konteks upaya upaya
membangun dan memperkuat demokratisasi lokal. Meskipun belum ada riset terlengkap yang
menguji dampak semakin meruyaknya media komersial dan media sosial dengan meningkatnya
aktifitas dan reputasi lembaga sosial sebagai agen demokrasi, namun relasi antara media dengan
aktifis NGO cenderung semakin kuat. Kesamaan cara pandang atas kondisi Negara di kalangan
3




jurnalis dan aktifis sosial menjadi salah satu faktor penting, disamping adanya ikatan batin selaku
sama-sama korban rezim Orde Baru. Di era Orde Baru (1966-1998), baik media massa maupun
aktifis pergerakan sama-sama mengalamai tekanan kebebasan.

Hingga tahun 2014, belum ada data yang akurat berapa jumlah NGO berskala nasional di
Indonesia. Development Cooperation Review tahun 1981 pernah merilis sedikitnya 8.000 NGO
di seluruh dunia yang terlibat dalam gerakan pembangunan dan pembebasan masyarakat dengan
total biaya yang disumbang mencapai 3,3 milyar rupiah. Jumlah diatas diperkirakan melonjak
menyusul banyaknya Negara yang mendeklarasikan demokrasi sebagai pilihan sistem politik
yang kemudian mengakibatkan terbukanya pendirian organisasi non pemerintah tanpa tekanan
politik otoriter. Di Indonesia, termasuk di Yogyakarta, jumlah NGO yang beroperasi pasca 1998
meningkat dengan pilihan isu populis, ditengah makin menipisnya skema bantuan donor asing
terhadap kerja kerja advokasi perubahan sistem politik (Fakih, 2010).
Trend model kerja NGO yang karitatif, bantuan langsung program ke warga miskin dan
terpinggirkan mulai bergeser ke pola program kerja berkelanjutan berupa penguatan kapasitas
institusi masyarakat sipil dan regulasi publik. Menurut Mansoer Fakih, ketegorisasi NGO di
Indonesia pernah dilakukan oleh Philip Eldridge (1988) ke dalam dua arus besar. Pertama, model
NGO pembangunanisme, memusatkan perhatian pada pembangunan masyarakat konvensional
seperti irigasi, pusat ekonomi dan kesehatan. Kedua, model NGO mobilisasi yang memusatkan
kepada literasi, edukasi, aksi advokasi rakyat miskin yang tertinggal dengan isu beragam, sejak
gender, demokrasi hingga penguatan media. Lebih jauh Mansoer mencoba mengkategorisasikan
NGO ke dalam tiga kelompok. Pertama, NGO model konformisme: mengurangi penderitaan.
Kedua, NGO model reformasi untuk membuat struktur baru, mengubah nilai-nilai. Ketiga, NGO
transformasi: menentang eksploitasi, kontra diskursus (Fakih, 2010).

Baik pada kategori yang dibuat Eldridge maupun kategori dari Mansoer Fakih diatas,
posisi media massa sangat penting bagi institusi NGO dalam melakukan diseminasi eksistensi
dan gerakan sosialnya. Bahkan dalam model NGO transformasi-advokasi seperti yang marak
dalam 10 tahun terakhir ini, kerjasama media massa telah menjadi pilar utama sukses gerakan
NGO. Sebagai ilustrasi, hampir semua struktur organisasi di NGO memiliki divisi atau bagian
hubungan media dan jaringan, atau divisi pengembangan isu, publikasi dan kerjasama dengan
media. Bagi sebuah NGO, pemberitaan media yang berkesinambungan akan membentuk
kredibilitas lembaga itu sendiri dan sekaligus mempercepat diseminasi gagasan program yang
dampaknya tidak bersifat karitatif tetapi embedded ke benak publik.
Di Negara yang masih tahap transisional menuju demokrasi paripurna seperti Indonesia,
sesungguhnya ada kesamaan peran, misi, kebutuhan antara NGO dengan media massa dan
jurnalis, lebih dari sekedar relasi kebutuhan praktis pemberitaan. Sehingga sangat menarik untuk
mengidentifikasi bagaimana relasi sosial kultural dan struktural yang terjalin antara keduanya,
dengan mengambil setting momentum sosial politik tertentu seperti Pemilu. Dinamika relasi ini
akan sangat mempengaruhi model interaksi, cara pandang terhadap gagasan, dan pengelolaan isu
bersama dalam kapasitas masing masing diantara media dan masyarakat sipil. Mari kita mulai
dengan mengemukakan definisi dan posisi keduanya di benak publik.
Secara tradisional, NGO atau lembaga swadaya masyarakat diartikan sebagai organisasi
yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan
pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan memperoleh keuntungan dari kegiatannya.

Dalam konsep civil society, ciri NGO adalah mandiri dan tidak menggantungkan diri pada
bantuan pemerintah, dipandang dapat memainkan peran penting dalam proses memperkuat
4




gerakan demokrasi melalui pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui berbagai aktifitas
promosi gagasan, pendampingan hingga advokasi (Praja, 2009).
Masyarakat sipil hadir sebagai reaksi dan solusi atas melemahnya kontrol institusi negara,
termasuk parlemen, dalam menjalankan fungsi pengawasan rezim politik. Sehingga awalnya
NGO lahir untuk melakukan gerakan sosial politik penguatan basis demokratisasi, keterbukaan,
tuntutan pers yang bebas, kebebasan berorganisasi, advokasi anti korupsi dan sebagainya. Pada
masa Orde Baru, NGO menjadi kelompok kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah.
Peneliti sosial Meuthia Ganie-Rochman menyebut pola hubungan dan model aktifitas NGO
sebagai pola hubungan konfliktual dengan pemerintah (Rochman, 2002). Belakangan, relasi
konfliktual juga ditunjukkan NGO dengan kelompok bisnis kapitalistik.
Sementara itu media massa dan jurnalis berperan penting dalam proses konstruksi sosial
atas gagasan yang dikemukakan NGO dan masyarakat sipil secara umum kepada publik. Fungsi
media massa bisa beragam. Pertama, memberikan informasi: menyediakan informasi aktual dan

tajam terjadinya arus penentangan atas kebijakan Negara yang eksploitatif. Kedua, membangun
korelasi: menjelaskan, menafsirkan, membentuk kesepakatan antara NGM dan konstituennya.
Ketiga, merintis kesinambungan: melestarikan nilai-nilai kritis. Keempat, memberikan selingan
hiburan atau oase survivalitas hidup kepada masyarakat dalam formula yang tetap mencerdaskan.
Kelima, menggerakkan kepedulian kolektif, turut melakukan mobilisasi dan kampanye sosial.
Keenam, melakukan kontrol sosial, membuka praktek kecurangan.
Apabila program kerja NGO dipengaruhi oleh komitmen personal dan kompetensi para
aktifisnya, maka isi media juga sangat dipengaruhi oleh standar profesi dan pemahaman atas
etika dan peran profesional jurnalis. Lambeth (1986) seperti dikutip MCQuail pernah membuat
bangunan kriteria tentang sebuah profesi. Pertama, ia adalah pekerjaan yang bersifat fulltime.
Kedua, para praktisinya memiliki komitmen mencapai hasil dari profesi itu. Jurnalis tidak hanya
berkomitmen pada jurnalisme sebagai kerja fisik, komitmen untuk perubahan sosial justru lebih
memicu banyak orang terjun menjadi jurnalis. Ketiga, memasuki dan mengikuti suatu profesi
dibentuk oleh suatu organisasi yang mempunyai standar profesional. Umumnya organisasi
jurnalis memiliki standar profesional. Keempat, profesi itu diikuti oleh suatu pendidikan formal,
memiliki bentuk keilmuan yang spesialis. Kebanyakan media hari ini telah memiliki standar
pelatihan untuk melahirkan jurnalis yang profesional. Kelima, identik dengan aktifis sosial, para
junalis memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada level terendah dalam fungsi penyajian
informasi, jurnalisme merupakan profesi pelayan publik (McQuail, 1994).
Sebagaimana masyarakat sipil, aktifitas jurnalistik amat tergantung kondisi lingkungan

media dan negara. Semakin demokratis suatu negara, semakin progresif jurnalistiknya. Semakin
sehat manajemen institusi media, semakin tinggi kualitas jurnalistiknya. Studi yang dilakukan
John C. Merril di bukunya Global Journalism (2008) menemukan jawaban mengapa jurnalistik
di kawasan Asia belum semaju di Eropa dan Amerika Serikat karena, media secara umum masih
dikontrol ketat pemerintah, media swasta beroperasi secara nasional dan dikawal ketat oleh
ideologi politik pro-pemerintah (Merril, 1983). Jurnalistik dan jurnalis di Indonesia hingga tahun
1998 masih bekerja untuk kepentingan menjaga status quo.

Media Relations Masyarakat Sipil
Studi media relations atau hubungan media di Indonesia tergolong unik. Disiplin kajian
ini melintasi dua konsentrasi atau bidang besar dalam studi komunikasi, yaitu media studies dan
5




public relations. Pengkajian terhadap konsep dan praktek hubungan media, tidak bisa dipisahkan
dari konteks sosiologis dan ekonomis dari media massa yang tumbuh pada suatu lingkungan
publik dan korporasi di satu sisi dengan meningkatnya profesionalisme dan kompetisi dalam
kinerja kemuhasam, baik kehumasan korporat maupun publik. Kesalahan dalam memahami dan
menerapkan performa hubungan media yang sebetulnya harus menyehatkan publik kerapkali
masih terjadi di kalangan akademisi dan praktisi jurnalistik serta kehumasan, yang dilandasi
kecurigaan, hasrat dominasi diantara keduanya atas yang lain. Di sektor organisasi dan gerakan
sosial, aktifis demokrasi yang menjalankan relasi media bisa dikategorikan sebagai humas/PR,
meski mereka tidak secara terbuka mengakuinya.
Media relations (MR) dipahami sebagai aktifitas seorang PR dalam berhubungan dengan
media komunikasi untuk melakukan publisitas atau merespon kepentingan media terhadap
organisasi. Artinya, media relations berkaitan dengan komunikasi, promosi, pemberian informasi
dan respon balik. Inti MR adalah aktifitas untuk publisitas. Media relations lebih luas daripada
press relations. Press relations istilah lama yang merujuk kepada relasi public relations (PR)
dengan media cetak saja, sedangkan media relations meliputi media cetak, elektronik, internet
dan hubungan interpersonal yang menopangnya. Arus komunikasi dalam media relations adalah
(1) organisasi, (2) media massa, (3) publik dan kembali lagi ke organisasi. Ketua PRSA Frank
Wylie tahun 1997 pernah mengemukakan bahwa waktu kerja profesional public relations pemula
dalam satu hari rata-rata (50 %) dipergunakan untuk urusan teknis media relations dan 50 %
untuk menganalisis dan menilai citra organisasi.
Posisi dan urgensi aktifitas media relations sangat terikat dengan tahapan hidup sebuah
organisasi sosial dan komersial. Pada tahap pendirian atau kelahiran, media relations officer
(MRO), siapapun yang menempati posisi ini, bekerja keras untuk mengelola publisitas yang bisa
memperkenalkan organisasi dan positioning atas isu publik. Pada tahap pertumbuhan, MR lebih
menekankan publisitas untuk menempatkan posisi strategis organisasi di benak publik dan mitra
kerja masyarakat sipil nasional hingga internasional. Pada tahap pengembangan, MRO lebih
menekankan kepada publisitas kerjasama antarlembaga dan inovasi aktifitas baru. Pada tahap
krisis hingga pembubaran, MRO lebih menekankan kepada publisitas berkait masih adanya
rencana ke depan, integrasi isu kepada publik/organisasi yang lebih permanen. Dalam organisasi
masyarakat sipil, pentahapan publisitas diatas juga dilakukan sejak pendirian, sosialisasi
lembaga/koalisi, pengarusutamaan isu, aksi dan pelibatan publik. Pada semua tahap ini, media
massa dilibatkan secara sadar melalui langkah-langkah media relations.
Pada prinsipnya, media relations meliputi aspek aspek bagaimana seseorang atau institusi
memahami dan melayani media, membangun reputasi/citra positif, menyediakan fasilitas untuk
publikasi, bekerjasama dalam penyediaan materi informasi krusial, membangun hubungan
personal yang kuat (Jefkins, 1998). Aktifitas MR sangat luas, meliputi media briefing, gathering
dan embargo. Bentuk kegiatan yang populer antara lain: Pertama, konferensi pers, suatu kegiatan
rutin mengundang jurnalis untuk berdialog, materi telah disiapkan secara dini oleh pengundang.
Target kegiatan ini adalah pemuatan berita dengan sudut pandang pihak pengundang. Kedua,
press briefing/jumpa pers. Lebih dari sekedar konferensi pers, kegiatan ini membuka ruang
dialog saling bertukar pikiran untuk menghasilkan output topik berita yang tidak hanya berada
pada sudut kepentingan pengundang tetapi sudutpandang publik.
Ketiga, undangan kepada jurnalis untuk meliput bahkan terlibat dalam kegiatan khusus
yang dirancang sebagai suatu bahan publikasi media seperti demonstrasi, termasuk menggelar
pelatihan dan kompetisi penulisan atas isu sosial tertentu untuk jurnalis. Keempat, wawancara.
6




Peristiwa tanya jawab yang dirancang khusus oleh MRO atau diminta jurnalis untuk keperluan
memperdalam isu tertentu. Kelima, kunjungan ke redaksi, kegiatan mendatangi kantor redaksi
media untuk menjalin hubungan kerjasama, mengetahui seluk-berluk kerja media. Pada tahap
berikutnya, kerjasama yang terjalin antara media dan NGO diwujudkan melalui penerbitan rubrik
khusus konsultasi, artikel bersama atau iklan layanan masyarakat.
Secara ringkas, dari sisi pandang kerja-kerja media, relasi media dan masyarakat sipil
di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
Model

Sifat Pers

Diseminator

Pasif

Agregator

Pasif

Fasilitator

Aktif

Kolaborator

Aktif

Bentuk

Output

Peliputan
kegiatan
insidental aktifis
Wawancara
khusus
kepada aktifis
Rubrik
khusus
lembaga aktifis
Turutserta
dalam
gerakan aktifis

Berita singkat
Berita mendalam
Analisis dan berita
bersambung
Investigasi dan aksi

Koalisi Pemilih Kritis dan Media
Koalisi Pemilih Kritis (KPK) terbentuk pada tanggal 18 Maret 2014 atas dasar kebutuhan
untuk menyatukan kekuatan bersama dari sejumlah NGO dari beragam sektor untuk merespon
pelaksanaan Pemilu 2014. Inspirasi KPK identik dengan gerakan serupa pada Pemilu 2009 yang
kemudian dikenal dengan gerakan anti-politisi busuk. Semangat serupa ini diwujudkan dengan
formula baru yang lebih moderat dengan mengusung jargon: Pemilu bersih, dengan makna
mendorong pelaksanaan pemilihan tanpa politik uang, mengajak pemilih untuk kritis terhadap
calon legislatif yang terindikasi melakukan tindak korupsi, kriminalitas dan KDRT. Penggunaan
istilah KPK disepakati bukan untuk memanfaatkan popularitas KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), akan tetapi untuk mempermudah resepsi lembaga ini pada benak publik dan menjadi
daya tarik khusus/gimmick dalam aksi-aksinya.
Adapun 20 NGO yang tergabung menjadi anggota KPK (belakangan bertambah menjadi
21) meliputi banyak sektor kepedulian dan secara rinci diuraikan sebagai berikut:
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Nama
FORUM LSM DIY
LBH Yogyakarta
Rifka Annisa
Indonesia Court Monitoring
Rumah Perubahan Lembaga
Penyiaran Publik (LPP)
SIGAB
IDEA
Walhi Yogyakarta

Fokus
Keistimewaan DIY
Hukum
Perempuan
Anti Korupsi
Penyiaran Publik
Difable Society
Kebijakan Anggaran
Lingkungan Hidup
7





9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Yayasan SATUNAMA
PUKAT UGM
PUSHAM UII
Masyarakat Transparansi Bantul
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
LABH
Aliansi Jurnalis Independen
NARASITA
LSKP
Masyarakat Peduli Media
LBH Pers
PR2Media
IRE

Kewirausahaan
Anti Korupsi
HAM
Anti Korupsi
Perempuan
Buruh
Jurnalis
Perempuan
Kebijakan Publik
Media
Jurnalis
Media
Pemberdayaan Masyarakat

Mengapa penulis memilih KPK? Meskipun bukan model kolaborasi yang pertama dan
terbaik, tetapi KPK menjadi menarik dicermati karena organ yang bersifat adhoc ini merupakan
kumpulan dari 20 organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta. Gerakan KPK mewakili inisiatif
kecil membangun kolaborasi untuk merangkul media secara kolektif bukan hanya media tertentu.
Para pegiatnya berangkat dari pengalaman dan pemahaman yang sama bahwa media penting dan
relasi yang terbangun antara media dengan pegiat KPK serta pola gerakan yang dipilih relatif
sama dengan ketika relasi itu terjalin hanya antara satu media dengan NGO. Isu yang diusung
bersifat krusial, yaitu pemantauan Pemilu 2014. Dalam relasinya dengan media massa, KPK
menyajikan empat tahapan isu pokok: pendirian lembaga, tracking caleg, kampanye Pemilu
bersih dan tindaklanjut aksi pasca Pemilu. Berikut rinciannya:
No
1

2

3

Isu utama

Tujuan

Pendirian
KPK Publikasi
partisipasi
sebagai koalisi antar publik terhadap Pemilu
NGO peduli Pemilu
Ajakan untuk bersikap
kritis dan melaporkan
pelanggaran
Tracking profil caleg Upaya
memberikan
dari sisi tertib berkas informasi faktual dan
administrasi,
berbasis data akademik,
kompetensi, proporsi sekaligus penyeimbang
keg/terwakilan
informasi insinuatif oleh
perempuan, indikasi Parpol dan Caleg di
pidana korupsi dll
media massa
Kampanye
pelaksanaan
Pemilu
bersih tanpa politik
uang, jelang 9 April

Bentuk early warning
sistem terhadap pemilih
dan caleg agar bersikap
hati
hati,
sekaligus
pelemngkap himbauan

Aktifitas

Output

Press rilis, Press
conference
di
kantor WALHI
DIY, Wawancara
khusus
Press
rilis
laporan panjang,
Press conference
di kantor LSM
Perempuan
Narasita,
Wawancara
khusus
Aksi publik di
pusat
kota
Yogya, Spanduk,
Press rilis

Berita di media
cetak dan online
lokal
dan
nasional
Berita di media
cetak, TV dan
online
lokal,
termasuk
talkshow
di
TVRI

Berita di media
cetak dan online
lokal

8




4

serupa oleh Bawaslu
Monitoring
Press
release
hasil Press
rilis, Berita di media
pelaksanaan Pileg dan monitoring
KPK Wawancara
cetak, TV dan
tindaklanjutnya
terhadap Pileg
khusus
online lokal
Rekomendasi
fokus
kebijakan untuk KPUD,
Bawaslu, dll

Publikasi pendirian KPK telah dimuat di beberapa media lokal dan nasional. Antara lain
harian Tribun Jogja dengan narasi deskriptif sebagai berikut: Lembaga pro-demokrasi dan pro
pemberantasan korupsi serta penegakan HAM di Yogyakarta, me-launching Posko Koalisi
Pemilih Kritis (KPK) untuk Pemilu 2014. Menurut Koordinator KPK Masduki, tujuan dari posko
tersebut pemilih kritis menuju demokrasi substantif untuk Pemilu yang lebih berkualitas.
Tribun Jogja mempertegas tujuan makro dan teknis pendirian KPK dalam narasi: "Posko
didirikan sebagai upaya untuk turut terlibat aktif dalam pergerakan demokrasi substantif di
Pemilu 2014," kata Masduki dalam rilis yang disampaikan kepada Tribun Jogja, Selasa
(18/3/2013). Bagi KPK tidak cukup kesuksesan Pemilu 2014 hanya dalam aras demokrasi
prosedural (berlangsungnya tahapan-tahapan Pemilu sesuai yang dijadwalkan KPU) saja tapi
juga memastikan Pemilu 2014 arena politik menuju demokrasi subtantif.
"Demokrasi yang substansif termasuk dalam penegakan HAM dan keadilan serta
pemberantasan korupsi," tambahnya. Untuk menuju demokrasi substantif, kebutuhan adanya
pemilih kritis dalam Pemilu 2014 menjadi agenda strategis demi pesta demokrasi yang lebih
berkualitas di tengah hingar bingarnya situasi kampanye para peserta ajang demokrasi lima
tahunan itu. Posko KPK yang beranggotakan 20 lembaga prodemokrasi dan pro pemberantasan
korupsi serta penegakan HAM di Yogyakarta membuka sekretariat di kantor Walhi Yogyakarta
Jl Nyi Pembayun 14 A Kotagede Yogyakarta (Tribun Jogja, 2014).
Pendirian KPK juga diberitakan harian Kompas dengan narasi deskriptif antara lain
sebagai berikut: …di Yogyakarta, 20 lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam
Koalisi Pemilih Kritis untuk Pemilihan Umum 2014 membuka posko Koalisi Pemilih Kritis.
Mereka hendak mengawal Pemilu 2014 sebagai arena politik menuju demokrasi substantif dan
bukan sekadar prosedural rutin setiap lima tahun. ”Kebutuhan pemilih kritis ini menjadi agenda
strategis di tengah ingar-bingar situasi kampanye,” kata Masduki, Koordinator Koalisi Pemilih
Kritis untuk Pemilu 2014. Menjelang pencoblosan, koalisi ini akan membuat penelusuran rekam
jejak calon anggota legislatif, baik dari sisi administratif maupun substantif. ”Publikasi
penelusuran rekam jejak para caleg ini akan kami umumkan pekan depan,” katanya.
Pada tahapan publikasi hasil penelusuran profil calon anggota legislatif provinsi DIY,
dokumen riset KPK dimuat hampir semua media cetak lokal di Yogyakarta. Antara lain Koran
Tempo dengan narasi deskriptif berikut: Hampir 30 persen calon anggota Dewan Perwakilan
Rakyat RI asal daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan orang yang berada di
ambang batas usia produktif. “Mengetahui umur ini penting untuk melihat produktivitas,” kata
Juru Bicara Koalisi Masduki dalam jumpa pers hasil penelusuran profil administratif calon DPR
RI dan Dewan Perwakilan Daerah DIY, Kamis 27 Maret 2014.
Koran Tempo memberikan tekanan sudut pandang pada kerja keras KPK dalam mengurai
profil usia, pendidikan dan kompetensi Caleg, seperti ada dalam narasi berita berikut ini: Koalisi
merujuk pada batas usia produktif hingga 64 tahun. Dengan asumsi calon tersebut akan menjabat
9




selama lima tahun jika terpilih, maka ambang batas itu berada di usia 59 tahun. Meski demikian,
koalisi menyebutkan ada juga sejumlah caleg yang melampaui ambang batas usi produktif.
Adapun untuk calon anggota DPD dari DIY (13 orang), empat di antaranya disebut sudah
berusia tak produktif. Koalisi tak membeberkan nama-nama mereka.
Selain merilis jumlah calon berusia produktif, koalisi yang terbentuk 18 Maret lalu itu
sekaligus mengungkap tingkat pendidikan para calon. Jumlah calon DPR RI asal DIY
berpendidikan sarjana mencapai rata-rata 75 persen dan DPD mencapai 76 persen. Adapun
sisanya, baik DPR RI dan DPD, merupakan lulusan SMA dan Diploma. Menurut dia, latar
pendidikan menjadi tolok ukur pada kompetensi, skill, dan kemampuan seorang legislator.
Seorang calon legislator, ia melanjutkan, setidaknya harus berpendidikan sarjana. “Ini terkait
dengan standar intelektualitas,” katanya (Koran Tempo, 2014).
Melalui artikel pendek ini, penting dikemukakan bahwa belum semua media berkenan
meliput aktifitas KPK dan keadaan ini membangun keyakinan awal bahwa belum semua jurnalis
memiliki semangat serupa dan masih terdapat resistensi dari kalangan jurnalis terhadap sikap dan
gerakan aktifis. Pada momen pendirian KPK, posisi media dan jurnalis bersifat pasif, hanya
meliput dan memuat berita. Ini berbeda pada momentum publikasi hasil tracking, dimana jurnalis
turut memberi pilihan sudut pandang publik terhadap KPK dalam membuat publikasi. Fenomena
ini kiranya menarik diteliti lebih lanjut. Jika dicermati, hanya sekitar 30 persen dari total media
yang beroperasi di Yogyakarta meliput dan berkolaborasi membuat berita berkelanjutan atas
aktifitas KPK. Mayoritas media yang meliput bersifat terbitan harian. Adapun data media massa
selengkapnya di Yogyakarta tahun 2013 adalah:
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nama
Bernas Jogja
Harian Jogja
Jogja Raya
Kedaulatan Rakyat
Koran Merapi
Radar Yogya
Tribun Jogja
Minggu Pagi
Basis
Djaka Lodang
KABARE
PRABA
Pusara
Rohani
SINUS
Suara Aisyiyah
Suara Muhammadiyah
Utusan

Jenis
Koran
Koran
Koran
Koran
Koran
Koran
Koran
SKM
Majalah
Majalah
Majalah
Majalah
Majalah
Majalah
Majalah
Majalah
Majalah
Majalah

Alamat
Jl. IKIP PGRI Sonosewu
Jl. AM Sangaji
Jl. Affandi/Gejayan
Jl. P. Mangkubumi
Jl. P. Mangkubumi
Jl. Ring Road Utara CC
Jl. Jenderal Sudirman
Jl. P. Mangkubumi
Jl. Pringgokusuman
Jl. Patehan Tengah
Jl. Pacar Baciro
Jl. Bintaran Kidul
Jl. Tamansiswa
Jl. Pringgokusuman
Jl. Tamansiswa
Jl. Kauman
Jl. KH Ahmad Dahlan
Jl. Pringgokusuman
Sumber: SPS (2013)

10




Penutup
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka tulisan ini akan ditutup dengan beberapa catatan
dan rekomendasi kolaborasi yang dilakukan NGO dan media ke depan.
1. Pertama, kerja-kerja advokasi isu publik terutama pelaksanaan pemantauan Pemilu 2014
yang dilakukan masyarakat sipil yang tergabung dalam organisasi KPK di Yogyakarta
belum menerapkan prinsip dan model aktifitas media relations secara penuh sehingga
promosi dan penyebarluasan gagasan serta hasil kerja monitoring masih terbatas pada
media cetak dan online yang beredar di ruang publik perkotaan.
2. Mayoritas kegiatan media relations berupa konferensi pers dan siaran pers menunjukkan
kerja-kerja media relations dan kolaborasi antara media dan masyarakat sipil yang masih
cenderung instan, opinion based dan tidak menjamin integrasi isu yang dapat secara
permanen dikelola komunitas NGO dan redaksi media.
3. Sebagai NGO yang menempatkan diri pada ranah advokasi, transformasi masyarakat,
KPK belum konsisten mengelola isu di media untuk advokasi yang berkesinambungan
dan berbasis agenda publik. Model publikasi dan pilihan isu KPK masih berbasis isu
sektoral dan tentative. Idealnya, peran NGO di tahap pemberitaan adalah pemantik bagi
jurnalis untuk melakukan pendalaman isu publik.
Rekomendasi yang dapat dijukan untuk memperkokoh relasi media dengan NGO ke
depan dalam advokasi isu-isu politik adalah penerapan kolaborasi yang paripurna antara media
dan aktifis sosial. Aktifitas upgrading pengetahuan dan analisis sosial, ideologisasi isu-isu publik
secara komprehensif melalui pelatihan terstruktur perlu digagas oleh aktifis sosial untuk jurnalis
disamping kunjungan media dan pertemuan periodik antara kedua belah pihak. Kesamaan misi,
idealisme dan adanya isu publik bersama yang disepakati dapat menjadi modal sosial kolaborasi
struktural (kelembagaan) antara media-masyarakat sipil yang makin paripurna. Di masa depan,
diharapkan semakin banyak aktifis di ranah masyarakat sipil yang tertarik menjadi jurnalis dan
sebaliknya: jurnalis yang mengokohkan diri sebagai aktifis.

Daftar Pustaka
1. Fakih, Mansour (2010), Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Pergolakan
Ideologi LSM di Indonesia, Yogyakarta: INSIST Press
2. Jefkin, Frank (1998), Public Relations, USA: Prentice Hall
3. Masyarakat Peduli Media (2014), Laporan Riset Pemilu 2014 dan Konglomerasi Media
Nasional, Yogyakarta: Masyarakat Peduli Media
4. McQuail (2004), Mass Communication Theories, An Introduction, London: Sage
Publications
5. Merril, John C. (2008), Global Journalism, Fifth Edition, USA: Missouri University
6. Nandyatama, Randy Wirasta (2014), The Politics of Non-Government Organizations’s
Involvement in ASEAN, an Indonesian Perspective, Yogyakarta: Faculty of Social and
Political Studies, Gadjah Mada University Asean Studies Center
7. Praja, Ageng, Nata (2009), Distorsi Peran LSM dalam Konteks Civil Society di
Kabupaten Grobogan, Semarang: Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro
11




8. Rochman, Meuthia-Ganie, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (ed.), (2002),
Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi,
Jakarta: Penerbit LP3ES
9. Sharma, Sundar Kumar (2010), Reviewing NGO’s Media Strategies, Possibilities for
NGO-Media Collaboration, International NGO Journal May 2010
10. Serikat Perusahaan Pers (2013), Media Directory 2012/2013, Jakarta: SPS-Infomedia
11. Silver, Sarah (2003), A Media Relations Handbook for NGO, New York: Independent
Journalism Foundation
12. Tribun Jogja, Rabu 29 Maret 2014
13. Koran Tempo, Jumat 28 Maret 2014

12


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24