1. Pengertian Dasar Hukum Sejarah Perkem

PENGERTIAN,
DASAR HUKUM,
SEJARAH RINGKAS,
&
PEMBAHARUAN HUKUM
KEPAILITAN

By: Nuzul Rahmayani, SH. MH

Pengantar


Dalam hukum perjanjian, setidaknya terdapat 2
pihak yang terikat: KREDITUR & DEBITUR



Dalam praktek hukum, seringkali DEBITUR lalai
memenuhi kewajibannya. Hal ini bisa disebabkan
oleh:
1. Keadaan yang memaksa (overmach)

2. Ingkar Janji (wanprestasi)



Dalam dunia perniagaan, apabila debitur
tidak mampu ataupun tidak mau
membayar hutangnya kepada kreditur,
maka telah disiapkan suatu “pintu
darurat” untuk menyelesaikan
persoalan tersebut: melalui “LEMBAGA
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
PEMBAYARAN”

Pasal 1131 & 1132 KUH Perdata


Pasal 1131 KUH Perdata:





Semua benda bergerak dan benda tidak bergerak dari
seorang debitur, baik yang sekarang ada, maupun yang
akan diperolehnya (yang masih akan ada), menjadi
tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya”

Pasal 1132 KUH Perdata:


Benda-benda itu dimaksudkan sebagai jaminan bagi
para krediturnya bersama-sama, dan hasil penjualan
atas benda-benda itu akan dibagi di antara mereka
secara seimbang, menurut imbangan/perbandingan
tagihan-tagihan mereka, kecuali bilamana di antara
mereka atau para kreditur terdapat alasan-alasan
pendahuluan yang sah.

!!!




BAYANGKAN….
Jika semua proses pembagian harta
debitur diserahkan sepenuhnya kepada
para pihak, maka tentu akan membuka
kemungkinan terjadinya KONFLIK dan
KETIDAKADILAN di antara para pihak,
seperti:





Debitur yang tidak beritikad baik
Menyembunyikan harta benda
Menganakemaskan salah satu kreditur
Ada kreditur yang tidak mendapatkan haknya.

!!!



Untuk mencegah kemungkinan tersebut,
maka lembaga kepailitan mempunyai
fungsi yang sangat penting, yaitu akan
diadakan suatu penyitaan umum
(eksekusi massal) terhadap harta
kekayaan debitur, yang selanjutnya
akan dibagi kepada para kreditur
secara seimbang dan adil di bawah
pengawasan petugas yang berwenang
untuk itu.

PENGERTIAN
HUKUM KEPAILITAN

ISTILAH


Istilah “Pailit” dalam berbagai bahasa:
 Bahasa


Perancis : “faillite” (pemogokan atau kemacetan
dalam melakukan pembayaran)
 Bahasa Belanda : “failliet”
 Bahasa Inggris : “to fail” - “bankrupt”
 Bahasa Latin : “fallire”




Secara umum, “pailit” diartikan sebagai:
keadaan debitur yang berhenti membayar
hutang-hutangnya (insolvable)
Sedangkan “kepailitan” secara umum diartikan:
segala sesuatu yang menyangkut tentang
peristiwa pailit itu sendiri

PENGERTIAN



Pasal 1 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang:
“Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas”

DASAR HUKUM
KEPAILITAN

DASAR HUKUM













KUH Perdata, khususnya Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Dasar Hukum Khusus adalah “Faillissementsverordening, Stb.
1905
No. 217 jo. Stb.1906 No. 348” yang kemudian diubah
menjadi UU No. 4 Tahun 1998, dan kembali disempurnakan
dengan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
UU terkait PT, Hak Tanggungan, Fidusia, Hipotik, Pasar Modal,
Perbankan, BUMN, dll
KUHP
UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 14 Tahun 1945 tentang Mahkamah Agung
UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum
UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dll


TUJUAN UU KEPAILITAN


Memberikan forum kolektif untuk memilah milih hak-hak
dari berbagai penagih terhadap aset debitur yang tidak
mencukupi untuk membayar utang.



Menjamin pembagian yang sama dan seimbang terhadap
harta debitur sesuai dengan asas “pari passu”



Mencegah agar debitur tidak melakukan tindakan yang
merugikan para kreditur




Melindungi kreditur konkuren untuk memperoleh hak
mereka



Memberikan kesempatan pada debitur dan para
krediturnya untuk melakukan restrukturisasi utang debitur.



Memberikan perlindungan pada debitur yang beritikad

FUNGSI UU KEPAILITAN












Mengatur tingkat prioritas dan urutan masing-masing piutang
kreditur
Mengatur tata cara agar sorang debitur dapat dinyatakan pailit
Mengatur bagaimana tata cara menentukan kebenaran adanya
piutang kreditur
Mengatur sahnya piutang atau tagihan kreditur
Mengatur tatacara pencocokan (verifikasi) dari tagihan kreditur
Mengatur bagaimana tatacara membagi penjualan harta
kekayaan debitur sesuai prioritas dan urutan masing-masing
kreditur.
Mengatur tatacara perdamaian yang ditempuh oleh debitur
dengan para kreditur sebelum dan sesudah pernyataan pailit.

SEJARAH RINGKAS
HUKUM KEPAILITAN


Hukum Kepailitan di Inggris





Hukum Kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi.
Kemudian, diadopsi oleh Inggris, dengan
mengundangkannya pada masa Raja Henry VIII
dalam “Act Agains Such Persons As Do Make
Bankrupt”, dimana UU ini menempatkan
kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitur nakal
yang ngemplang untuk membayar hutang sambil
menyembunyikan asetnya.
Peraturan kepailitan di Inggris pada masa awal,
banyak yang mengatur tentang larangan
pengalihan aset dengan tidak beritikad baik.

Hukum Kepailitan di USA


Dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan
kongres memiliki kekuasaan untuk membentuk suatu aturan
yang seragam tentang kebangkrutan, yaitu sejak diadakannya
Constitutional Convention di Philadelphia tahun 1787.



James Medison (founding father USA) dalam Federalist
Papers, mendiskusikan tentang Bankruptcy Clause sebagai
berikut:
“Kewenangan untuk menciptakan sebuah aturan yang uniform
mengenai kebangkrutan adalah sangat erat hubungannya
dengan aturan mengenai perekonomian, dan akan mampu
mencegah terjadinya begitu banyak penipuan, dimana para
pihak atau harta kekayaannya dapat dibohongi atau
dipindahkan ke negara bagian yang lain secara tidak patut”



Kemudian, Kongres di Amerika Serikat mengundangkan UU
pertama tentang kebangkrutan pada tahun 1800



Selanjutnya UU tersebut diubah atau diganti, antara lain,

Hukum Kepailitan di Indonesia













Belanda telah memiliki Wetboek Van Koophandel (WvK) sejak 1
Oktober 1838.
Berdasarkan asas konkordansi, hukum dagang Belanda
diberlakukan pula di Indonesia sebagai negara jajahannya mulai 1
Mei 1848.
WvK inilah yang dikenal sebagai KUHD di Indonesia.
Di dalam KUHD, kepailitan diatur dalam buku ke-III yang berjudul
Van De Voorzieningen In Gevel Van Onvermogen Van Kooplieden
(tentang peraturan ketidakmampuan pedagang)
Tahun 1893, di Belanda terjadi perubahan dalam WvK, yaitu
dihapuskannya buku ke-III WvK tersebut.
Dengan perubahan tersebut, maka berpengaruh pula pada sistem
hukum di Indonesia.
Sehingga sebagai gantinya dibuatlah Peraturan Kepailitan
(Faillissement Verordening), Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No.
348, yang mulai berlaku 1 Mei 1906.

Reformasi Hukum Kepailitan di
Indonesia




Perkembangan hukum kepailitan di Indonesia tidak terlepas dari
kondisi perekonomian nasional, khususnya yang terjadi pada
pertengahan 1997.
Lembaga Konsultan Econit Advisory Group , menyatakan bahwa:







Tahun 1997 merupakan “Tahun Ketidakpastian” (A year of Uncertainty)
Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A year of Correction)

Terjadi depresiasi secara drastis rupiah terhadap mata uang asing,
dari Rp.2.300/US Dolar menjadi Rp. 5000/US Dolar pada akhir
1997, dan sempat menyentuh Rp.16.000/US Dolar pada
pertengahan 1998. Inflasi meningkat dari di bawah 10% menjadi
sekitar 70%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang awalnya
berkisar 6-7% berkontraksi menjadi minus (-) 13-14%.
Akibatnya, banyak perusahaan yang kesulitan untuk membayar
hutangnya kepada kreditor, bahkan banyak yang mengalami
kebangkrutan (pailit).

>>>










Maka, dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundangundangan yang mengatur masalah hutang piutang ini secara cepat,
efektif, efisien, dan adil.
UU kepailitan yang berlaku saat itu (Faillisement Verordening Stb. 217
jo. Stb. 1906 No. 348) yang merupakan hukum warisan pemerintahan
Belanda, dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan pada saat krisis
ekonomi tersebut.
Maka, dilakukanlah revisi terhadap hukum kepailitan untuk
mengantisipasi banyaknya perusahaan yang mengalami kebangkrutan.
Melalui Perpu No.1 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UU
No. 4 Tahun 1998 pemerintah telah melakukan perubahan,
penambahan, dan penyempurnaan terhadap Faillisement Verordening
Stb. 217 jo. Stb. 1906 No. 348 .
Akhirnya, UU No. 4 tahun 1998 disempurnakan lagi dengan
disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yang mulai berlaku 18 Oktober 2004.