JURNAL HI Vol. I No. 1 Juli 2013.pdf

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

Diterbitkan oleh:

BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

JURNAL HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

Penasehat : Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Penanggung Jawab

: Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin

Pemimpin Redaksi

: Maskun

Dewan Redaksi

: Abdul Maasba Magassing

Aidir Amin Daud Alma Manuputty Hamid Awaluddin Juajir Sumardi

Judhariksawan Laode Abd. Gani Laode Muh. Syarif

Marcel Hendarapati Muh. Ashri

Redaktur Pelaksana : Iin Karita Sakharina Sekretaris Redaktur : Birkah Latif

Kadarudin

Mitra Bestari

: Aktieva Tri Tjitrawati (UNAIR Surabaya)

Devy Sondakh (UNSRAT Manado) Hikmahanto Juwana (UI Jakarta)

I Made Arsana (UGM Yogyakarta)

Desain Grafis & Layout : Ahsan Yunus Distribusi & Pemasaran : Ali Samad

Salma Laitupa Riyad Febrian Anwar Alfaris Malaki

Alamat Redaksi

: Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, 90245, Makassar.

Tel/Fax

: +62-411587219

E-mail : jurnalhukuminternasional.fhuh@gmail.com Website : http://hukuminternasionalfhuh.wordpress.com

JURNAL HUKUM INTERNASIONAL

Jurnal ilmiah yang diterbitkan secara berkala oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terbit tiap bulan Maret, Juli, dan Nopember.

DAFTAR ISI

Jurnal Hukum Internasional Volume I, Nomor 1 Juli 2013 ISSN: 2338-3577

Hikmahanto Juwana

KONVENSI PEKERJA MIGRAN: PERLUKAH INDONESIA MERATIFIKASI?................................................................

1-5

Dede Agus

KEDUDUKAN KONVENSI ILO SEBAGAI SUMBER HUKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN INDONESIA...............................

7-17

Widati Wulandari

“PUBLIC EMERGENCY” SEBAGAI ALASAN MENGEYAMPINGKAN KEWAJIBAN NEGARA DI BAWAH ICCPR: REAKSI TERHADAP TERORISME..............................................................................

19-41

Erni Dwita Silambi

PRITA MULYASARI VS RUMAH SAKIT OMNI INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL...................

43-58

Devyta

CULTURAL CLAIMS AND CULTURAL PROPERTY DISPUTES AS A CHALLENGE FOR INTERNATIONAL LAW......................................................

59-68

Rafika Nur

PENGATURAN SELF DETERMINATION DALAM HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KEMERDEKAAN NEGARA KOSOVO)........................

69-90

Andri G. Wibisana

EQUITY AND THE GLOBAL POLICY ON CLIMATE CHANGE: A LAW AND ECONOMIC PERSPECTIVE...................................................................

91-108

Muhammad Luthfiy Lukman

ANALISIS HUKUM TERHADAP KASUS EMBARGO PRODUK TUNA SIRIP KUNING................................................................................... 109-119

PERSYARATAN PENULISAN

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

EDITORIAL

Pembaca yang budiman, Segala puji dan ungkapan rasa kesyukuran tertuju kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas penerbitan Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Volume I Nomor 1 Juli 2013, merupakan langkah monumental yang digagas oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk melahirkan suatu jurnal ilmiah yang sekaligus dimaksudkan untuk mengisi kekosongan ruang ekspresi ilmiah khususnya isu-isu yang berhubungan dengan hukum internasional.

Volume I Nomor 1 Juli 2013 menghadirkan beberapa penulis yang memiliki kepakaran di bidang masing-masing. Professor Hikmahanto Juwana dan Dede Agus menulis tentang Konvensi Buruh Migran, khususnya bagaimana posisi Indonesia. Widati Wulandari selanjutnya menguraikan isu hukum kejahatan internasional di area terorisme dan Erni Dwita Silambi menguraikan isu hukum tentang hak pasien untuk mendapatkan informasi. Kedua isu dimaksud memiliki concern yang sama penting di bidang hukum internasional.

Devyta mengangkat tema sentral mengenai penyelesaian sengketa dan Rafika Nur mengangkat tema tentang pengaturan self determination. Kedua topik yang

digagas sangat menarik, apalagi kedua topik tersebut dilengkapi dengan uraian kasus. Andri G. Wibisana dan Muhammad Luthfiy Lukman mendiskusikan hukum ekonomi internasional dengan perspektif yang berbeda. Andri memfokuskan

perubahan iklim sebagai objek kajian dalam hubungannya dengan hukum ekonomi. Sementara Muhammad Luthfiy Lukman mengkaji kasus produk Tuna Sirip Kuning dalam hukum ekonomi internasional.

Semoga berbagai isu hukum internasional yang tersaji dalam volume pertama ini, akan memberikan sebuah bentuk pencerahan baru yang bermanfaat bagi semua kalangan yang intens dan fokus mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan hukum internasional.

Selamat membaca.

Redaksi

Konvensi Pekerja Migran

KONVENSI PEKERJA MIGRAN: PERLUKAH INDONESIA MERATIFIKASI?

Hikmahanto Juwana *

Universitas Indonesia, Jakarta E-mail: hikmahanto@yahoo.com

Abstract: An immigrant worker is a worker who has different nationality with countries she/he works. Some international treaties have regulated the rights of the workers but it is not specifically.

Abstrak: Pekerja migran adalah pekerja yang memiliki kewarganegaran yang berbeda dengan negara dimana ia bekerja. Beberapa perjanjian internasional telah mengatur hak-hak pekerja migran, namun berbagai perjanjian internasional tersebut hanya memuat ketentuan yang sangat minim dan tidak secara khusus.

I. PENDAHULUAN

Pekerja migran adalah pekerja yang memiliki kewarganegaran yang berbeda dengan negara dimana ia bekerja. Di Indonesia pekerja migran lebih akrab disebut sebagai ‘Tenaga Kerja Indonesia (TKI)’ dan ‘Tenaga Kerja Wanita (TKW)’. Keberadaan pekerja migran merupakan suatu kenyataan. Ada dua alasan. Pertama sejak manusia mengenal apa yang disebut sebagai negara dimana terdapat kedaulatan. Kedua selama terjadi jurang ekonomi antara satu negara dengan negara lain, serta adanya kekurangan dan kelebihan (supply and demand) tenaga kerja antar negara.

Beberapa perjanjian internasional telah mengatur hak-hak pekerja migran namun berbagai perjanjian internasional tersebut hanya memuat ketentuan yang sangat minim dan tidak secara khusus. Pada bulan Desember tahun 1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) berhasil mengadopsi sebuah teks perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi hak-hak para pekerja migran (migrant workers) beserta keluarganya. Perjanjian internasional ini dikenal dengan nama The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (selanjutnya disebut

“Konvensi Pekerja Migran”). 1 Sejak 1 Juli 2003 Konvensi telah berlaku (enter into force) setelah Guatemala mendopsitkan dokumen ratifikasi yang ke-20.

Tulisan ini hendak menggambarkan poin-poin penting dari Konvensi. Disamping itu akan juga dianalisa urgensi bagi Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ini.

* Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum UI. Meraih gelar Sarjana Hukum 1987 pada Universitas Indonesia, Magister Hukum (LL.M) 1992 pada Keio University, Jepang, dan Ph.D 1997 pada University of

Nottingham, Inggris. 1 General Assembly Resolution 45/158 tertanggal 18 Desember 1990.

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

II. PEMBAHASAN

1. Tujuan Konvensi Pekerja migran bukanlah mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan tinggi sehingga mereka ini sangat rentan (vulnerable) untuk dilanggar hak asasi manusia (HAM)- nya, bahkan diperlakukan tidak lebih dari budak belian (slaves). Banyak dari pekerja migran yang tidak dapat mempertahankan haknya karena ketidakmampuan berbahasa negara setempat, ketakutan karena status ilegal, bahkan tidak mengetahui sistem hukum ataupun adat istiadat yang berlaku.

Pelanggaran atas hak-hak pekerja migran dilakukan semenjak pekerja migran masih di negara asal hingga negara tujuan dan kembali ke negara asalnya. Pihak yang melakukan pelanggaran dapat dilakukan oleh perusahaan ataupun orang-orang yang merekrut, oknum aparat baik di negara asal maupun tujuan, dan para majikan ataupun pemberi kerja.

Perlindungan yang minim terhadap para pekerja migran, terasa lebih minim bagi keluarga pekerja migran. Para keluarga yang mengikuti pekerja migran boleh dikatakan tidak mendapatkan perlindungan. Salah satu upaya untuk memberi perlindungan atas hak-hak para pekerja migran dan keluarganya adalah melalui hukum. Pemerintah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan agar hak-hak pekerja migran dan keluarganya dihormati oleh semua pihak, termasuk negara itu sendiri. Bila ada pelanggaran, aparatur negara mempunyai legitimasi untuk menindak para pelaku. Dalam konteks ini penegakan hukum mempunyai peran yang sangat vital.

Memang tidak semua negara sama dalam memperhatikan perlindungan bagi pekerja migran dan para keluarganya. Ada negara-negara yang memberi perlindungan seadanya, tetapi ada pula negara-negara yang sangat tinggi memberi perlindungan. Penyebab tidak samanya perlidungan yang diberikan adalah kedaulatan hukum, disamping kondisi antar negara yang berbeda dan, tidak kalah penting, kemauan pemerintah (political will). Kemauan pemerintah penting karena ada pemerintah dari negara tertentu yang tidak terlalu peduli, bahkan cenderung merasa diuntungkan bila perlindungan terhadap pekerja migran dan keluarganya dilakukan sangat minimal.

Padahal bila dilihat dari kebutuhan dari para pekerja migran dan keluarganya terlepas dari asal negara, mereka sangat memerlukan perlindungan atas hak-haknya. Perlindungan tidak hanya dibutuhkan di negara tujuan para pekerja migran, tetapi juga di negara asalnya. Disinilah pentingnya hukum yang dapat memberi perlindungan secara lintas batas (crossborder) bagi pekerja migran dan keluarganya.

Perlindungan hukum yang bersifat lintas batas dapat dilakukan melalui perjanjian internasional. Perjanjian internasional untuk keperluan ini dapat dilakukan secara bilateral ataupun multilateral. Konvensi Pekerja Migran merupakan bentuk perlindungan hukum berupa perjanjian internasional yang diupayakan secara multilateral.

Konsekuensi dari sebuah negara yang telah ikut dalam Konvensi Pekerja Migran adalah kewajiban untuk mentransformasikan ketentuan yang ada dalam Konvensi ke dalam hukum

Konvensi Pekerja Migran

nasionalnya. Disamping itu, negara harus tunduk dan mengikuti mekanisme yang diatur dalam Konvensi yang menembus sekat-sekat kedaulatan negara. Dalam keadaan normal mekanisme ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Namun karena negara secara sukarela turut serta dalam Konvensi berarti negara tersebut telah melepaskan sebagian dari kedaulatannya sepanjang yang terkait dengan kewajiban dan mekanisme yang diatur dalam Konvensi.

2. Substansi Konvensi Konvensi Pekerja Migran terdiri dari preambul dan 93 pasal (articles) yang terbagi dalam 9 bagian (parts). Bagian pertama berisi tentang ruang lingkup dan berbagai definisi. Dalam Konvensi ditentukan bahwa ruang lingkup keberlakuan dari Konvensi ini adalah untuk semua pekerja migran dan keluarganya tanpa dilakukan pembedaan, seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, latar belakang politik atau pendapat, kewarganegaraan, etnis atau asal kelahiran, usia atau status lainnya.

Dalam bagian ini juga ditentukan bahwa Konvensi berlaku untuk keseluruhan proses migrasi dari pekerja migran dan keluarganya yang terdiri dari persiapan untuk migrasi, keberangkatan, transit dan keseluruhan masa tinggal di negara dimana ia bekerja dan juga negara dimana ia kembali ke negara asalnya atau negara ia berdiam (habitual residence).

Dalam Konvensi didefinisikan beberapa klasifikasi pekerja, yaitu, migrant worker, frontier worker, seasonal worker, seafarer, worker on offshore installation, project-tied

worker, specified employment worker, dan self employed worker. Definisi dari pekerja migran adalah orang yang akan, sedang atau telah malakukan aktifitas yang dibayar (remunerated

activity) di negara dimana orang tersebut bukan warga negaranya. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Konvensi dinyatakan tidak berlaku bagi para pekerja tertentu, misalnya mereka yang bekerja untuk organisasi internasional atau mereka yang dikirim oleh negara asalnya untuk menjalankan fungsi tertentu yang diatur dalam hukum internasional umum ataupun perjanjian internasional khusus.

Konvensi juga mengatur definisi-definisi lain seperti members of the family, State of origin, State of employment dan State of transit. Terkait dengan istilah migrant workers and

members of the family disebutkan bahwa mereka ini bisa legal (documented or in a regular situation) dan ilegal (non-documented or in an irregular situation).

Bagian kedua mengatur tentang prinsip non-diskriminasi yang harus diterapkan oleh negara peserta (state parties) bagi perlindungan pekerja migran dan keluarganya. Bagian ketiga memuat ketentuan tentang HAM bagi para pekerja migran dan keluarganya. Ketentuan ini berisi tentang HAM yang harus didapat bagi para pekerja migran dan keluarganya. Misalnya saja hak para pekerja migran dan keluarganya untuk meninggalkan negara asalnya. Para pekerja juga berhak untuk masuk kembali ke negara asalnya. Hak hidup dari para pekerja migran juga wajib untuk dilindungi berdasarkan hukum.

Para pekerja migran juga memiliki kebebasan untuk berpendapat, beragama dan berkeyakinan. Para pekerja migran dan keluarganya bila diperiksa maka pemeriksaan harus

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian keempat mengatur tentang hak-hak tambahan para pekerja migran dan keluarganya yang berstatus legal (documented or in a regular situation).

Bagian kelima memuat ketentuan tentang katagori khusus (particular categories) dari pekerja migran dan keluarganya. Bagian keenam menentukan upaya-upaya yang harus dilakukan oleh negara peserta untuk memajukan kondisi-kondisi kuat, adil dan manusiawi yang terkait dengan migrasi internasional dari para pekerja dan keluarganya. Bagian ketujuh mengatur tentang pemantaun dalam penerapan Konvesi di negara-negara peserta. Bagian kedelapan berisi ketentuan umum (general provisions), diantaranya pengakuan negara untuk menentukan kriteria pekerja migran dan keluarganya yang diperbolehkan masuk. Dalam bagian ini juga diatur keberadaan dari Konvensi dikaitkan dengan ketentuan dalam Piagam PBB dan perjanjian-perjanjian internasional yang diikuti oleh negara peserta.

Bagian kesembilan megatur tentang hal-hal yang umum ada dalam suatu perjanjian internasional. Hal-hal ini diantaranya Sekretaris Jenderal PBB sebagai depositary dari

Konvensi untuk menerima dokumen ratifikasi atau aksesi, Konvensi baru mengikat negara apabila telah diratifikasi, Konvensi baru berlaku setelah diratifikasi oleh minimal 20 negara.

3. Posisi Indonesia: Tidak Perlu Meratifikasi, Cukup Mengadopsi Pada saat ini Indonesia telah menandatangani Konvensi Pekerja Migran. Menjadi pertanyaan besar, apakah Indonesia perlu segera meratifikasi? Jawaban atas pertanyaan ini perlu mendapat pembahasan yang mendalam.

Pertama harus dipahami bahwa Indonesia adalah negara yang masuk dalam katagori State of origin karena memiliki banyak pekerja migran. Pekerja migran asal Indonesia dapat dikelompokkan dalam pekerja migran legal dan ilegal. Sebagai State of origin, bila Indonesia

meratifikasi Konvensi berarti Indonesia harus mentransformasikan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Konvensi. Harus diingat bahwa Konvensi tidak hanya mengatur negara

yang masuk dalam katagori State of employment, tetapi juga State of origin. Pertanyaannya apakah Indonesia telah dapat menjalankan isi Konvensi? Pertanyaan ini penting mengingat banyak sekali kewajiban yang ada dalam Konvensi yang mungkin tidak dapat dijalankan (unable to be implemented) oleh pemerintah maupun berbagai komponen bangsa. Disini yang menjadi test case bukanlah pemerintah berkeinginan untuk menjalankan atau tidak (uwilling to implement). Pada masa Indonesia yang lebih demokratis sudah tidak ada lagi isu pemerintah berkeinginan atau tidak berkeinginan untuk menjalankan. Isu utama adalah apakah komponen bangsa, terutama pemerintah dapat menjalankan atau tidak.

Alasan untuk tidak dapat dijalankan lebih karena apa yang diatur dalam Konvensi merupakan hal-hal yang sangat ideal. Bahkan dapat dikatakan ketentuan-ketentuan yang ada kebanyakan implementable di Negara Maju, tetapi unimplementable di Negara Berkembang.

Dari berbagai media massa telah banyak berita-berita yang menyebutkan ketidak- mampuan pemerintah dalam melindungi pekerja migran dan keluarganya. Mulai dari tidak dapat diberantasnya pihak-pihak yang merekrut pekerja migran secara ilegal, bahkan terlibat

Konvensi Pekerja Migran

dalam human trafficking hingga ketidak-berhasilan dalam meniadakan praktek-praktek pemerasan atas pekerja migran dan keluarganya sekembali mereka ke Indonesia.

Bila berbagai hal ini masih berlangsung dan Indonesia telah meratifikasi maka akan sangat menyulitkan bagi Indonesia. Sulit karena dalam Konvensi diatur mengenai pemantauan

penerapan Konvensi. Berdasarkan pasal 73 dan 74 Konvensi, sebuah Komite yang dibentuk berdasarkan Konvensi ini akan melakukan pemantauan melalui Sekretaris Jenderal PBB.

Kedua, perlu diperhatikan apakah negara-negara yang menjadi tujuan pekerja migran Indonesia (State of employment), seperti Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, Saudi Arabia

dan Amerika Serikat telah meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh penulis tidak satupun negara yang menjadi tujuan pekerja migran Indonesia telah meratifikasi.

Ini berarti Konvensi tidak banyak berarti bagi para pekerja migran Indonesia yang memerlukan perlindungan di State of employment . Bila hanya Indonesia saja yang meratifikasi sementara negara-negara tujuan para pekerja migran Indonesia tidak meratifikasi maka

Konvensi tidak akan mempunyai arti apapun. Para pekerja migran asal Indonesia akan terus mengalami pelanggaran atas hak-haknya di State of employment.

Melihat dua alasan mendasar diatas dapat dijawab pertanyaan yang diajukan bahwa Indonesia belum perlu meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Saat ini yang perlu dilakukan ada dua hal. Pertama mengadopsi berbagai ketentuan yang terdapat dalam Konvensi ke

dalam hukum domestik Indonesia. Selanjutnya perlu diupayakan agar penegakan hukum atas ketentuan yang telah diterjemahkan dilakukan secara konsisten dan tegas sehingga dapat melindungi para pekerja migran dan keluarganya yang akan berangkat maupun kembali.

Kedua adalah mempersuasi negara-negara tujuan migran Indonesia untuk melakukan ratifikasi atas Konvensi, paling tidak mendapatkan komitmen dengan menandatangani Konvensi ini.

III. PENUTUP

Penandatanganan Indonesia atas Konvensi Pekerja Migran untuk saat ini harus dianggap cukup. Paling tidak pemerintah mempunyai ikatan moral, bukan ikatan hukum untuk menerapkan kewajiban-kewajiban dalam Konvensi ke dalam hukum nasional. Pemerintah harus terus mengupayakan agar perlindungan terhadap pekerja migran dapat dilakukan. Disamping itu, pemerintah harus mengupayakan agar negara-negara penerima pekerja migran asal Indonesia (State of employment ) meratifikasi Konvensi Pekerja Migran sehingga para pekerja mendapat perlindungan.

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

Konvensi ILO

KEDUDUKAN KONVENSI ILO SEBAGAI SUMBER HUKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN INDONESIA

Dede Agus * Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten

E-mail: agusdede92@yahoo.co.id

Abstract: The International Labour Organization (ILO) serves as the maker of international labour standards in the forms of conventions and recommendations. The member states of ILO must ratify ILO Conventions and the ILO Conventions are sources of labour law/ employment law in Indonesia.

Abstrak: Organisasi Buruh Internasional menetapkan standar buruh internasional dalam bentuk konvensi-konvensi dan rekomendadi- rekomendasi. Negara-negara anggota ILO harus meratifikasi Konvensi ILOdan Konvensi tersebut merupakan sumber hukum perburuhan di Indonesia.

I. PENDAHULUAN

Hukum perburuhan/ketenagakerjaan merupakan spesies dari genus hukum umumnya, dimana hukum perburuhan menurut Iman Soepomo memiliki tujuan pokok pelaksanaan keadilan sosial dalam bidang perburuhan dan pelaksanaannya diselenggarakan dengan jalan

melindungi buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan. 1 Begitu pula menurut Senjun H. Manulang, yaitu untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat perjanjian atau menciptakan peraturan- peraturan yang bersifat memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap

tenaga kerja. 2 Dalam rangka mewujudkan tujuan pokok hukum perburuhan tersebut, maka perlindungannya tidak hanya ditingkat nasional suatu negara, tetapi juga bersifat internasional (sedunia). Hal ini karena hukum perburuhan memiliki nilai-nilai universalitas yang tinggi

* Penulis adalah pengajar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan

S-2 Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. 1 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 9. 2 Senjun H.Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,

2001), hlm. 2.

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

sehingga perlu kesamaan pengaturan yang bersifat internasional pula, yaitu hukum perburuhan internasional. Berkaitan dengan ini Iman Soepomo mengatakan bahwa berlainan dengan hukum privat internasional yang menerapkan hukum apakah atau hukum manakah yang berlaku bila terjadi hubungan hukum antara warga negara sesuatu negara dengan warga negara dari negara lain, hukum perburuhan internasional menghendaki adanya satu hukum mengenai perburuhan yang sama atau sederajat yang berlaku di tiap negara, sehingga terdapat

kesatuan hukum dalam soal perburuhan di seluruh dunia. 3

Dalam rangka mewujudkan hukum perburuhan internasional maka didirikan ILO (International Labour Organization) pada tanggal 11 April 1919 berdasarkan Konferensi Perdamaian Versailles. Tujuan berdirinya ILO adalah menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat di seluruh dunia, khususnya kaum pekerja/buruh. Hal ini sesuai dengan Konstitusi ILO (Deklarasi Philadelphia) yang menyebutkan bahwa : (a) pekerja/buruh bukan barang dagangan; (b) kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat; (c) semua manusia berhak mengenyam kehidupan yang layak, bagi spiritual maupun material dalam suasana kebebasan; (d) wakil-wakil pekerja, pengusaha, dan pemerintah memiliki status yang sama

untuk mengambil keputusan dalam meningkatkan kemakmuran. 4

ILO menjalankan fungsi sebagai pembuat standar perburuhan internasional, dan juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Hal ini merupakan tanggung jawab yang diberikan oleh komunitas internasional kepada ILO yang dibentuk untuk tujuan ini. Standar perburuhan internasional tersebut berupa konvensi (convention) dan rekomendasi (recommandation) yang menetapkan standar minimum. Konvensi-konvensi

ILO merupakan traktat internasional yang perlu diratifikasi oleh seluruh negara anggota ILO, sedangkan Rekomendasi ILO adalah instrumen ketenagakerjaan yang bersifat tidak mengikat

secara hukum, yang menetapkan pedoman sebagai informasi kebijakan nasional, tidak memerlukan ratifikasi. 5 Kewajiban anggota terhadap Konvensi ILO ini ditegaskan dalam

Pasal 19 ayat (5) huruf a dan huruf b Konstitusi ILO, yaitu : (a) The convention will be communicated to all members for ratification;

(b) Each of the members undertakes that it will, within the period of one year at most from the closing of the session of the conference, or if it is impossible owing to exceptional

circumstances to do so within the period of one year, then at the earlies ion. Indonesia sebagai anggota ILO sejak tahun 1950, telah meratifikasi seluruh konvensi

utama ILO, dan sampai tahun 2008 telah meratifikasi 18 buah Konvensi ILO. Konvensi- konvensi ILO ini kedudukannya dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia adalah

sebagai sumber hukum. Hal ini terbukti banyak para pakar hukum perburuhan/ketenagakerjaan dalam literaturnya mencantumkan Konvensi-konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya : Pertama, Zainal Asikin dkk menyebutkan bahwa sumber hukum perburuhan meliputi: undang-undang, peraturan lain (peraturan pemerintah,

3 Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 205. 4 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2003), hlm. 143. 5 Ibid, hlm. 147.

Konvensi ILO

keputusan presiden, peraturan dan keputusan instansi lain), kebiasaan, putusan (P4D/P4P), perjanjian (perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, dan peraturan perusahaan), dan traktat

(Konvensi ILO bidang ketenagakerjaan). 6 Kedua, Iman Sjahputra Tunggal, menyebutkan bahwa sumber hukum meliputi : peraturan perundang-undangan, adat/kebiasaan, perjanjian- perjanjian internasional (konvensi-konvensi ILO, traktat-traktat dan lain-lain), peraturan- peraturan (peraturan kerja, tata tertib kerja dan lainnya yang sejenis), perjanjian-perjanjian

kerja, dan perjanjian perburuhan. 7 Ketiga, Hari Supriyanto, menyebutkan bahwa sumber hukum meliputi: undang-undang, peraturan lain yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang, kebiasaan, putusan P4D/P4P dan putusan peradilan umum, perjanjian- perjanjian (perjanjian perburuhan, perjanjian kerja atau peraturan perusahaan), perjanjian internasional mengenai persoalan perburuhan baik yang bersifat bilateral dan multilateral

maupun berbagai Konvensi ILO (International Labour Organization). 8

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka pembahasan dari kedudukan Konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia, dapat dirumuskan dengan permasalahan hukum bagaimanakah penerapan Konvensi-konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan di Indonesia agar memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap buruh/pekerja dan pengusaha?

II. PEMBAHASAN

1. Konvensi ILO sebagai Sumber Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan Sumber hukum mengandung makna tempat diketemukan, asal mula atau menggali hukumnya. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa pada hakikatnya yang dimaksudkan dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Tempat hakim dapat mencari atau menemukan hukumnya yang dapat digunakan sebagai dasar

putusannya. 9 Dengan demikian sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan adalah tempat menemukan atau menggali hukum perburuhan/ketenagakerjaan. Menurut Iman Soepomo sumber hukum perburuhan adalah segala sesuatu di mana kita dapat menemukan ketentuan-

ketentuan atau aturan-aturan mengenai soal-soal perburuhan. 10 Begitu pula menurut Zainal Asikin dkk, sumber hukum perburuhan yang dimaksudkan adalah tempat diketemukannya aturan-aturan mengenai masalah perburuhan. 11 Para ahli hukum berbeda pendapat dalam membagi sumber hukum, dan Algra dalam Sudikno Mertokusomo membagi sumber hukum menjadi sumber hukum materil dan formal. Sumber hukum materil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil, dan sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari

6 Zainal Asikin et al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2006), hlm.37.

7 Iman Sjahputra Tunggal, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Harvarindo, 2009), hlm. 22.

8 Hari Supriyanto, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik : Studi Hukum Perburuhan di

Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2004), hlm. 20-22. 9 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm.82.

10 Iman Soepomo, Op.cit, hlm.26. 11 Zainal Asikin et.al, Op.cit, hlm. 37.

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum, berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. 12 Sumber hukum materil hukum perburuhan/ketenagakerjaan adalah Pancasila 13 , sedangkan sumber hukum formal hukum perburuhan/ketenagakerjaan para ahli berbeda pendapat tentang jenis-jenis sumber hukum formal perburuhan, namun mereka tetap mencantumkan traktat sebagai sumber hukum perburuhan.

Traktat adalah perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih. Traktat yang diadakan antara dua negara disebut traktat bilateral dan traktat yang diadakan antara lebih dari dua negara disebut traktat multilateral. Traktat (treaty) memiliki istilah lain, seperti : konvensi (convention), protocol, perjanjian (agreement), persetujuan (arrangement), proces- verbal, statuta (statute), deklarasi (declaration), modus vivendi, pertukaran nota (exchange of notes atau exchange of letter), final act, dan general act. Perbedaan istilah menunjukkan suatu

perbedaan dalam prosedur atau formalitasnya. 14 Lebih lanjut J.G. Starke mengatakan bahwa Konvensi merupakan istilah yang biasanya dipakai bagi instrumen resmi yang berkarakter multilateral. Istilah konvensi juga mencakup instrumen-instrumen yang dibuat oleh organ- organ lembaga-lembaga internasional, misalnya oleh Konferensi Buruh Internasional (ILC)

dan Majelis Oganisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). 15

Traktat 16 dalam istilah konvensi (convention) bidang ketenagakerjaan yang banyak dijumpai adalah Konvensi-konvensi ILO yang ditetapkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). ILO menjalankan fungsi sebagai pembuat standar perburuhan internasional, dan juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Hal ini merupakan tanggung jawab yang diberikan oleh komunitas internasional kepada ILO yang dibentuk untuk tujuan ini. Standar perburuhan internasional tersebut berupa konvensi (convention) dan rekomendasi (recommandation) yang menetapkan standar

minimum. Konvensi ILO agar dapat mengikat harus diratifikasi terlebih dahulu oleh negara- negara anggota ILO dan merupakan sumber hukum perburuhan. 17 Begitu pula Iman Sjahputra Tunggal, Konvensi ILO merupakan sumber hukum perburuhan yang harus diratifikasi agar mengikat negara anggota. 18 Dengan demikian Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi merupakan sumber hukum perburuhan, karena kita dapat menemukan hukumnya dari Konvensi-konvensi ILO tersebut. Sesuai pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa pada

hakikatnya yang dimaksudkan dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Tempat hakim dapat mencari atau menemukan hukumnya yang

12 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 63. 13 Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 26.

14 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm.586.

15 Ibid. 16 Suatu traktat mengikat negara-negara nasional peserta traktat berdasarkan pada dua asas, yaitu : (a) Asas pacta sunt servanda, berarti bahwa setiap perjanjian mengikat atau setiap perjanjian harus ditaati oleh mereka yang membuatnya, (b) Asas primat hukum internasional, berarti bahwa hukum internasional lebih tinggi derajatnya dari hukum nasional, yaitu hukum publik internasional.

17 Zainal Asikin et.al, Op.cit, hlm. 37. 18 Iman Sjahputra Tunggal, Op.cit, hlm. 24.

Konvensi ILO

dapat digunakan sebagai dasar putusannya. 19

2. Kekuatan Mengikat Konvensi ILO sebagai Sumber Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan Di atas telah dikatakan bahwa Konvensi ILO merupakan sumber hukum perburuhan yang harus diratifikasi agar mengikat negara anggota. Sehubungan dengan Indonesia sebagai anggota ILO sejak tahun 1950, maka Indonesia merupakan negara Asia pertama dan kelima di dunia yang telah meratifikasi seluruh konvensi utama ILO. Indonesia meratifikasi Konvensi ILO dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda, dengan demikian meliputi Konvensi ILO yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda dan selanjutnya dinyatakan berlaku di Indonesia

dan Konvensi ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sendiri, jumlahnya sampai tahun 2008 Indonesia telah meratifikasi 18 (delapan belas) buah Konvensi ILO. Adapun Konvensi ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia beserta peraturan perundang- undangan nasional yang meratifikasinya adalah sebagai berikut :

1. Konvensi ILO Nomor 81 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan (diratifikasi dengan Undang-udang No. 21 Tahun 2003).

2. Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998).

3. Konvensi ILO Nomor 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama (diratifikasi dengan Undang-undang No. 18 Tahun 1956).

4. Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (diratifikasi dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1999).

5. Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan (diratifikasi dengan Undang-undang No. 21 Tahun 1999).

6. Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum Untuk dibolehkan Bekerja (diratifikasi dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1999).

7. Konvensi ILO No.182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk- bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (diratifikasi dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2000).

8. Konvensi ILO No.100 tentang Kesamaan Pengupahan (diratifikasi dengan Undang- undang No. 80/1957).

9. Konvensi ILO No.144 tentang Konsultasi Tripartit Untuk Meningkatkan Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1990).

10. Konvensi ILO Nomor 106 tentang Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor- kantor (diratifikasi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1961).

11. Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa atau Wajib Kerja (diratifikasi dengan Stbl. 261, 1933).

12. Konvensi ILO No.19 tentang Perlakuan Yang Sama Bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam Hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (diratifikasi dengan Stbl. 53, 1929).

19 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 82.

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

13. Konvensi ILO No. 27 tentang Pemberian Tanda Berat pada Pengepakan Barang-barang Besar yang Diangkut dengan Kapal (diratifikasi dengan Stbl.117, 1933).

14. Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja Wanita pada Segala Macam Tambang (diratifikasi dengan Stbl. 219, 1937).

15. Konvensi ILO Nomor 120 tentang Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-kantor (diratifikasi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1969).

16. Konvensi ILO Nomor 68 tentang Sertifikasi Bagi Juru Masak di Kapal (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1992).

17. Konvensi ILO Nomor 88 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 2002).

18. Konvensi ILO Nomor 185 tentang Perubahan Dokumen Identitas Pelaut (diratifikasi dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2008). Dengan Indonesia meratifikasi 18 (delapan belas) buah Konvensi ILO, maka akibat

hukumnya negara Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ILO tersebut. Khusus Konvensi Dasar ILO, negara-negara anggota ILO (termasuk Indonesia) memiliki kewajiban untuk menghargai, memajukan dan menjalankan prinsip- prinsip yang terkandung dalam Konvensi-konvensi ILO yang inti (Konvensi Dasar ILO) tanpa

memandang apakah mereka telah meratifikasinya atau belum. Hal ini berdasarkan Deklarasi ILO Mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, yang telah diterima

dan disetujui oleh Konferensi Perburuhan Internasional (Internatonal Labour Conference) dalam sidangnya ke-86 bulan Juni 1998.

Adapun Konvensi-konvensi ILO inti atau Konvensi Dasar ILO (Core Convention) yang merupakan standar inti perburuhan/ketenagakerjaan adalah: 20 Konvensi ILO 29 (Pekerja Paksa dan Perbudakan), Konvensi ILO 87 (Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi), Konvensi ILO 98 (Hak Berorganisasi dan Mengadakan Perundingan Bersama), Konvensi ILO 100 (Persamaan Upah bagi Buruh Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama), Konvensi ILO 111 (Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan), Konvensi ILO 138 (Batas Usia Minimum), Konvensi ILO 105 (Penghapusan Kerja Paksa), Konvensi ILO 182 konvensi tersebut terkandung prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja, yang akan menjadi dasar untuk mewujudkan perlindungan bagi buruh. ILO sebagai organ/badan khusus dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mengurusi masalah perburuhan/ketenagakerjaan melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari Konstitusi ILO dan Pasal 23 ayat (4) Piagam Hak Asasi PBB dalam bentuk Konvensi-konvensi ILO yang dikenal dengan Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja (1998) yang di dalamnya mencakup : Prinsip kebebasan berserikat dan perlindungan hak melakukan perundingan bersama, Prinsip penghapusan segala bentuk kerja paksa atau wajib kerja, Prinsip penghapusan segala bentuk diskriminasi tenaga kerja, Prinsip larangan

20 “Deklarasi ILO Mengenai Prinsip-prinsip: Instrumen Baru Untuk Memasyarakatkan Hak-hak Mendasar”, Lampiran III Ikhtisar Standar-standar Dasar Perburuhan, Pedoman Pendidikan Pekerja, Organisasi

Perburuhan Internasional, Kantor di Jakarta, 2001. http://www.ilo.org/jakarta.

Konvensi ILO

untuk mempekerjakan pekerja anak. 21 Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia secara hukum mengikat

negara Indonesia, namun belum mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia). Ratifikasi menurut Sudarsono adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen khususnya

pengesahan undang-undang, pejanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional. 22 Untuk memiliki kekuatan mengikat bagi buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional terlebih dahulu. Hal ini

sebagaimana dikatakan oleh Iman soepomo bahwa pengesahan (ratifikasi) oleh negara- negara anggota ILO hanyalah bahwa negara itu wajib melaporkan kepada Kantor ILO

tentang apa yang diusahakan mengenai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam konvensi itu. Jadi, ratifikasi belum berarti ketentuan-ketentuan dalam konvensi mengikat rakyat negara itu atau mengikat negara itu terhadap rakyatnya. Untuk mengikat, isi konvensi tersebut harus

ditetapkan lagi dalam undang-undang nasional. 23 Begitu pula menurut Abdul Khakim bahwa Konvensi ILO adalah perjanjian internasional yang dibuat untuk diratifikasi oleh negara-

negara anggota untuk menjadi hukum positif. Jadi, makna ratifikasi di sini adalah menjadikan hukum internasional sebagai hukum nasional, sehingga setiap negara yang sudah meratifikasi

suatu konvensi harus mempersiapkan perangkat hukum sesuai dengan ketentuan konvensi. 24 Dengan demikian untuk mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus membuat peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan nasional yang ketentuan-ketentuannya harus disesuaikan atau diharmonisasikan dengan ketentuan- ketentuan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO dalam peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan tersebut. Seperti halnya sekarang telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya: Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang- undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor

2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tersebut tentunya harus menyesuaikan atau mengharmonisasikan ketentuan-ketentuannya dengan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO, dan peraturan perundang-undangan nasional inilah yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia).

Kekuatan mengikat Konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia dalam hukum internasional terkait dengan doktrin inkorporasi dan doktrin

21 Pada bulan Juni 1998 Konferensi Perburuhan Internasional (Internasional Labour Conference) menyetujui Deklarasi ILO mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, yang meliputi : (1)

kebebasan untuk berserikat dan pengakuan atas hak untuk melakukan perundingan bersama; (2) penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib; (3) larangan untuk mempekerjakan pekerja anak; (4) penghapusan segala bentuk diskriminasi tenaga kerja. Lihat http://www.ilo.org/jakarta.

22 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.393. 23 Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 211.

24 Abdul Khakim, Op.cit, hlm.147.

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

transformasi. Doktrin inkorporasi menurut Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar dalam Anom Wahyu Asmorojati, menyatakan bahwa hukum internasional dapat langsung mengikat menjadi bagian hukum nasional. Dalam hal suatu negara menandatangani dan

meratifikasi suatu traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap para warganya tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu, contohnya Amerika Serikat,

Inggris, Kanada, dan Australia. 25 Doktrin transformasi menyatakan sebaliknya, tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya transformasi yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan, dengan kata lain traktat tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukannya transformasi

ke dalam hukum nasional. 26

Mencermati kedua doktrin hukum internasional tersebut maka dapat dikatakan bahwa berlakunya Konvensi ILO dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia sesuai dengan doktrin transformasi, sebab ketentuan-ketentuan Konvensi ILO tidak dapat secara langsung mengikat terhadap buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu (peraturan perundang-undangan nasional di bidang perburuhan/ ketenagakerjaan). Peraturan perundang-undangan nasional di bidang perburuhan/ ketenagakerjaan dimaksud di antaranya adalah:

Pertama, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berisi kebijakan umum di bidang ketenagakerjaan. Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan hak asasi

manusia di bidang ketenagakerjaan antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan Konvensi Dasar ILO yang menyangkut : Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan

98); Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100 dan 111); Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29 dan 105), dan; Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan 182). Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang Ketenagakerjaan ini harus pula

mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada kedelapan prinsip dasar tersebut. Oleh karena itu, undang-undang ini di samping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung prinsip-prinsip dasar

ILO yang telah diratifikasi. 27 Menurut Adrian Sutedi Konvensi Dasar ILO (Konvensi No.100 dan 111, Konvensi No.138 dan 182, dan Konvensi No.29 dan 105) diakomodasi sepenuhnya

ke dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu dalam rangka mengatur pemberian perlindungan kepada setiap pekerja/buruh dan organisasi pengusaha dalam rangka: kesempatan dan perlakuan yang sama, penempatan tenaga kerja, pengupahan,

dan hubungan industrial. 28

25 Anom Wahyu Asmorojati, Perbandingan Penerapan Hukum Internasional di Tingkat Nasional Pada Negara Eropa, Amerika Serikat dan Indonesia, Jurnal Jure Humano FH Untirta, Vol.2 No.5, November 2010.

hlm.3. 26 Ibid.

27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, TLNRI Nomor 4279 Tahun 2003.

28 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 257.

Konvensi ILO

Kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Undang-undang ini secara eksplisit memuat tentang Konvensi ILO, yang dinyatakan dalam Penjelasan Umumnya, yaitu bahwa hak berserikat bagi pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi, Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada

Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional. Menurut Adrian Sutedi kedua

Konvensi Dasar ILO (Konvensi No. 87 dan No. 98) diakomodasi sepenuhnya ke dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang mengatur pemberian perlindungan kepada serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka: pembentukan serikat pekerja/buruh, keanggotaan serikat pekerja/buruh, pemberitahuan dan pencatatan serikat pekerja/buruh, hak dan kewajiban, hak berorganisasi, keuangan dan harta kekayaan,

penyelesaian perselisihan, pengawasan dan penyidikan, serta pengaturan sanksi. 29 Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Pada Peraturan Pemerintah ini, Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai Pengupahan Yang Sama Bagi Buruh Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya menjadi dasar Konsideran bagian mengingat, dan menurut Iman Soepomo, isi dari Konvensi Nomor 100 tesebut dapat dijumpai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah yang dirumuskan dalam Pasal 3, yaitu bahwa pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama

nilainya. 30 Keempat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kedua Undang-undang ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang secara eksplisit mengakomodir Konvensi Dasar ILO (Core Convention). Jadi di sini yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) adalah Undang-undang Nasional di bidang perburuhan/ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah) yang ketentuan-ketentuannya telah menampung ketentuan-ketentuan Konvensi Dasar ILO (Core Convention).

III. PENUTUP

Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia merupakan sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan. Meskipun kedudukannya sebagai sumber hukum, hanya

29 Ibid, hlm. 254. 30 Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 212.

Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 1 Juli 2013

mengikat negara Indonesia saja, belum mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) secara langsung. Untuk memiliki kekuatan mengikat bagi buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional terlebih dahulu. Dengan demikian untuk mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus membuat peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan nasional yang ketentuan- ketentuannya harus disesuaikan atau diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO dalam peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan tersebut. Seperti halnya sekarang telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan nasional inilah yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) yang isinya telah mengandung ketentuan- ketentuan Konvensi ILO.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Literatur

Asikin, Zainal, et.al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2006. Fauzan, Achmad, Konvensi ILO Yang Berlaku di dan Mengikat Indonesia, Bandung: Yrama Widya, 2005. Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (edisi revisi), Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2007.

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Berdasarkan UU No.

13 Tahun 2003, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2005. Manulang, Senjun H., Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Rineka

Cipta, 2001. Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 2003. Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Supriyanto, Hari, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik : Studi Hukum Perburuhan

di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2004. Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Tunggal, Iman Sjahputra, Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2009.

Konvensi ILO

Makalah/Jurnal

Asmorojati, Anom Wahyu, Perbandingan Penerapan Hukum Internasional di Tingkat Nasional Pada Negara Eropa, Amerika Serikat dan Indonesia, Jurnal Jure Humano FH Untirta, Vol.2 Nomor 5, November 2010.

Peraturan Perundang-undangan