KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL INDONESIA 2

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL INDONESIA
Oleh H. Purwanta
ABSTRACT
This article discussed the construction of Indonesian
national identity and it’s development in three historical
periods (national movement, era of Soekarno and New
Order). Through digging the historicity of the concept of
national identity, we could understand what kind of
descriptions that Indonesian gave to “self” and “the other”
in those three historical periods. The topic is very important,
especially when Indonesia has to face cosmopolitanism
which is propagandized by multi national powers.

Pengantar
Ketika
wacana
kosmopolitanisme
diproduksi
dan

dipropagandakan oleh para pendukung globalisasi melalui berbagai
institusi multi nasional, salah satu akibat yang dirasakan oleh berbagai
bangsa adalah semakin merosotnya kesadaran akan identitas nasional,
terutama di kalangan generasi muda. Fenomena itu direspon secara
beragam oleh berbagai negara. Di negara-negara maju respon yang
menonjol adalah berkembangnya konservatisme. Di Amerika Serikat
yang kebijakan pendidikan merupakan otonomi negara bagian,
berkembangnya konservatisme antara lain dapat disimak dari
pertemuan dewan pendidikan Texas. New York Times pada tanggal 12
Maret 2010 memberitakan:
After three days of turbulent meetings, the Texas Board of
Education on Friday approved a social studies curriculum that
will put a conservative stamp on history and economics textbooks,
stressing the superiority of American capitalism, questioning the
Founding Fathers’ commitment to a purely secular government

Page | 86

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011


and presenting Republican political philosophies in a more
positive light.
Pada kutipan itu, New York Times melaporkan bahwa setelah
pertemuan tiga hari yang bergolak, Dewan Pendidikan Texas, pada
hari Jumat menyetujui kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang
akan menggunakan pandangan konservatif pada buku teks pelajaran
sejarah dan ekonomi, yaitu pandangan yang menekankan keunggulan
kapitalisme Amerika, mengkaji komitmen para pendiri bangsa
terhadap sistem pemerintahan yang sangat sekuler dan menyajikan
filsafat politik Republikan dengan nuansa yang lebih positif.
Fenomena berkembangnya konservatisme yang lebih ekstrem
terjadi di Jepang. Setelah mengkritik buku teks mata pelajaran sejarah
yang beredar sebagai masochistic dan anti Jepang, pembaharuan
dilakukan dengan menghapus semua hal yang dipandang
mewacanakan kenegatifan bagi Jepang:
The most striking change was the near total erasure from
textbooks of the comfort women issue that had been introduced in
the early 1990s. In the previous 1997 editions, all seven junior
high history textbooks on the market mentioned the issue; in the
2002 editions, three of these texts dropped all references and three

others made very brief reference without using the controversial
term ―comfort women.‖ Just one text retained the language and
expanded discussion from the previous edition (Nozaki and
Selden, 2009).
Pada kutipan itu Nozaki dan Selden menjelaskan bahwa
perubahan yang paling mencolok adalah penghapusan dari buku teks
hampir seluruh isi tentang isu eksploatasi perempuan untuk kebutuhan
sex pasukan Jepang (Jugun Ianfu) yang telah dimasukkan sebagai
bahan ajar sejak awal 1990-an. Pada edisi sebelumnya (1997), dari
tujuh buku pelajaran sejarah SMP di pasar, semua menyebutkan isu
tersebut. Pada edisi tahun 2002, tiga dari buku teks menghilangkan

Page | 87

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

semua tulisan dan tiga lainnya menyebut dengan sangat singkat tanpa
menggunakan istilah kontroversial "jugun ianfu". Hanya satu buku
teks yang mempertahankan bahasa dan memperluas diskusi dari edisi
sebelumnya.

Apabila gerakan konservatisme muncul di Amerika Serikat
dan Jepang, bagaimana respon wacana kosmopolitanisme di
Indonesia? Tulisan ini merupakan kajian awal untuk melihat dinamika
konstruksi identitas nasional Indonesia.
Pengertian Identitas Nasional
Identitas nasional terdiri dari dua kata, yaitu “identitas” dan
“nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang
dapat dimaknai sebagai ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada
seseorang, kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang
lain. Ditinjau dari perspektif asal usul, identitas bermula dari
pernyataan diri atau pemberian. Identitas yang merupakan pernyataan
diri hanya berlaku pada manusia. Melalui refleksi panjang, akhirnya
manusia menyadari siapa dirinya, baik ciri fisik maupun kepribadian.
Kesadaran akan identitas tersebut kemudian dinyatakan kepada pihak
lain ketika bersosialisasi. Di lain pihak, identitas yang berasal dari
pemberian adalah penamaan yang dilakukan manusia terhadap segala
sesuatu yang diketahuinya.
Kata ke dua adalah “nasional” yang merujuk pada konsep
kebangsaan. Pada kasus bangsa Indonesia, pengertian nasional secara
legal dan formal berlandas pada proklamasi kemerdekaan RI pada

tanggal 17 Agustus 1945. Dari sudut pandang ini pengertian nasional
dapat diidentikkan dengan pengertian Indonesia. Pada penelitian ini
proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945
ditempatkan sebagai hari kelahiran Indonesia, dengan tanpa
mengesampingkan proses pembentukannya yang berlangsung lama
sebelumnya. Secara filosofis, identitas keindonesiaan yang telah
dinyatakan pada saat proklamasi tersebut akan tetap berlaku, meski
tanpa ada pengakuan dari pihak lain.

Page | 88

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Sartono Kartodirdjo berpedapat bahwa identitas nasional
memiliki ciri pokok: historisitas, keunikan dan partikular. Selanjutnya
dia menjelaskan:
Historisitas sebagai ciri utama sebenarnya inheren pada identitas
sebagai tumpuan pengalaman kolektif, tidak lain karena
pengalaman itu berakumulasi lewat proses historis atau
perkembangan. Proses itu terjadi secara unik yaitu bagaimana

sebenarnya terjadi dan menghasilkan produk yang kita kenal
sebagai identitas. Hasil itu mau tidak mau merupakan hal yang
khusus atau partikularitas. Subyektivitas menonjol apabila
identitas itu ditempatkan dalam hirarkhi identitas-humanitasuniversalitas (Kartodirdjo dalam Depdikbud, 1990: 56).
Berdasar pada pandangan Kartodirdjo tentang ciri pokok
identitas nasional, dapat diambil pemahaman bahwa sejarah memiliki
peran sentral dalam menarasikan pengalaman kolektif yang menjadi
sumber bagi lahirnya identitas nasional. Dengan kata lain, sejarah
memiliki tanggungjawab untuk mewacanakan identitas nasional
melalui eksplanasi tentang pengalaman kolektif yang dilakukannya
dalam historiografi yang berupa sejarah nasional.

Identitas Nasional Indonesia
Pada masyarakat Indonesia, identitas nasional telah
terkistralisasikan sebagai Pancasila, seperti disampaikan Soekarno
pada pidato dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Dia menjelaskan
pandangannya tentang Pancasila sebagai berikut:
...isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat
saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudarasaudara, itulah harus menjadi Weltanschauung kita...saya


Page | 89

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

berjoang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk
Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia,
untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang
hidup di dalam peri-kemanusiaan, untuk permufakatan; untuk
sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhanan. Pancasila, itulah
yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun...
Tetapi saya sendiri mengerti seinsaf-insafnya, bahwa tidak ada
satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya,
menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu
Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika
tidak dengan perjoangan (Bahar dkk, 1992: 71).
Pandangan Soekarno tersebut tidak jauh berbeda dengan
pengkajian akademik tentang Pancasila sebagai cita cita kolektif
bangsa Indonesia. Oleh karena sifat identitas adalah selalu berubah,
maka Pancasila sebagai ideologi terbuka sangat memungkinkan untuk

dilakukan reinterpretasi agar sesuai dengan kondisi aktual yang
dihadapi bangsa Indonesia.
Seperti bangsa Asia pada umumnya, konstruksi identitas
nasional Indonesia diawali dengan perlawanan terhadap kolonialisme
Barat. Kategorisasi Toynbee terhadap respon masyarakat Islam
terhadap kebudayaan Barat, kiranya dapat pula digunakan untuk
memahami proses konstruksi identitas bangsa-bangsa Asia ketika
berhadapan dengan kolonialisme Barat. Toynbee (1972) membagi
respon menjadi dua, yaitu Zealotisme dan Herodianisme.
Zealotisme adalah penolakan dengan cara menutup diri
(isolasi) dan tidak bersedia berhubungan dengan bangsa-bangsa Barat.
Salah satu bangsa yang termasuk dalam kategori ini adalah Jepang
pada masa pemerintahan Shogunat. Di pihak lain Herodianisme adalah
tanggapan yang berupa kebersediaan untuk membuka pintu terhadap
pengaruh peradaban Barat. Dalam proses interaksi dengan Barat,
masyarakat menolak berbagai hal yang buruk dan mengambil hal yang

Page | 90

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011


baik, terutama dibidang ilmu dan teknologi untuk kemudian
digunakan memukul Barat. Pola Herodianisme inilah yang dilakukan
oleh masyarakat di Indonesia, terutama pada masa pergerakan yang
mengkonstruk identitas nasional.
Kategorisasi pola nasionalisme yang dikemukakan oleh
Toynbee masih secara garis besar. Apabila dicermati lebih mendalam,
representasi nasionalisme dapat berbentuk berbagai macam.
Hobsbawn (1992: 171-172) mengklasifikasi bentuk nasionalisme
menjadi tiga, yaitu: elite-elite lokal terdidik yang meniru “penentuan
nasib sendiri” Eropa; xenophobia anti Barat yang populer; serta
semangat tinggi alami dari suku-suku yang suka berperang. Dari sudut
pandang ini, representasi nasionalisme Indonesia lebih banyak pada
usaha memperoleh hak “penentuan nasib sendiri” melalui gerakan
kooperatif dengan pemerintah kolonial dan anti Barat dalam arti nonkooperasi.
Secara internal identitas nasional dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu civic nation dan ethnic nation atau sering pula
disebut nation state (Gismar, 2008: 209). Kai Nielsen (dalam Ronald
Beiner, ed., 1999: 121-122) membedakan kedua kategori tersebut
dengan menilai sifatnya:

This may be granted only to be followed by the characteristic
response that good nationalisms are civic nationalisms while the
bad nationalisms are ethnic nationalisms. Ethnic nationalism
rooted in an ethnic conception of ―the nation‖, define membership
in the nation in term of descent. In country such as Germany,
where the conception of the nation is ethnic, you are German and
have German citizenship because of descent, because, you can
trace your descent to Germans…

Page | 91

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Civic nation, by contrast, the story continuous, rooted in a civic
conception of nation, is a good or at least a benign or acceptable
form of nationalism. Civic nation, like the United States, Canada,
Denmark, Australia, or Sweden are principle open to anyone.
They are not exclusionary. With a civic nationalism there is in
principle at least an equal access for everyone to the cultural
goods of and in civic nation.

Pada kutipan di atas dijelaskan oleh Nielsen bahwa
nasionalisme yang baik adalah nasionalisme kewarganegaraan (civic
nationalism) sedangkan nasionalisme yang buruk nasionalisme etnis
(ethnic nationalism). Nasionalisme etnik berakar pada konsepsi etnik
tentang "bangsa", yaitu bahwa keanggotaan dalam negara berdasarkan
keturunan. Di negara seperti Jerman, dimana konsepsi bangsa adalah
etnik, siapapun yang memiliki kewarganegaraan Jerman adalah karena
keturunan Jerman.
Di pihak lain, civic nation berakar pada konsepsi yang baik
atau setidaknya sebagai bentuk yang dapat diterima dari nasionalisme.
Civic nation, seperti Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Australia,
atau Swedia keanggotaannya terbuka bagi siapa saja. Mereka tidak
eksklusif. Dengan civic nationalism setidaknya secara prinsip terdapat
akses yang sama bagi semua orang terhadap kebudayaan dan
kewargaan negara.
Dalam narasi yang lebih netral, dijelaskan oleh Gismar bahwa
di dalam ethnic nation atau nation state identitas nasional dibangun di
atas dasar persamaan etnik atau latar belakang budaya lainnya (seperti
misalnya agama dan bahasa). Dalam suatu civic nation yang menjadi
perekat identitas nasional pertama-tama dan yang terutama adalah
civic identity, yaitu identitas sebagai warga negara yang memiliki hak
dan kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri dan meraih
kesejahteraan (Gismar, 2008: 210). Dinamika internal negara-negara

Page | 92

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

yang termasuk civic nation lebih banyak ditujukan untuk
mendesiminasi identitas nasional yang dipahami oleh para elite
kepada masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, melalui
kewenangan baru yang diperoleh, pemerintah nasional berusaha
mentransformasi masyarakat dari identitas sosial yang telah ada
sebelumnya menjadi identitas nasional. Dari sudut pandang ini,
identitas nasional menjadi civics education atau program pendidikan
kewargaan negara.
Berdasar kategori di atas, Indonesia termasuk dalam kategori
civic nation. Dengan demikian, identitas nasional yang dibangun lebih
banyak pada pembentukan sistem yang mampu menjamin
terbangunnya masyarakat adil dan makmur. Dari sudut pandang ini,
berbagai peristiwa sejarah sejak proklamasi kemerdekaan sudah
seharusnya dipandang sebagai eksplorasi kreatif para pemimpin
nasional Indonesia dalam usaha menciptakan sistem yang adil bagi
seluruh masyarakat anggotanya, tanpa membedakan ras, etnik atau
suku, agama maupun golongan.
Sebagai civic nation, identitas nasional Indonesia sangat
mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat. Indonesia
adalah masyarakat yang beragam atau plural, baik dari segi ras,
agama, suku maupun adat istiadat. Kesadaran bahwa pluralitas
merupakan realitas menumbuhkan keyakinan bahwa identitas nasional
sangat menghormati pluralitas tersebut. Pluralisme berkembang
menjadi karakter yang menonjol dalam dinamika konstruksi identitas
nasional periode pergerakan kebangsaan Indonesia dan berpuncak
pada lahirnya semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Salah satu tahap penting dalam dinamika konstruksi identitas
nasional adalah terbentuknya kesadaran akan identitas etnik atau etnonasionalisme. Lahirnya etno nasionalisme antara lain ditandai dengan

Page | 93

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

berdirinya berbagai organisasi modern yang berlingkup terbatas
dengan orientasi memajukan kebudayaan dan status etnik.
Ketika masyarakat Indonesia secara formal telah berubah
status melalui proklamasi kemerdekaan, wacana identitas nasional
juga mengalami perkembangan. Pada periode pergerakan, “self”
diidentifikasi sebagai kaum terjajah yang bersatu padu melawan “the
other” sebagai penjajah. Di pihak lain, pada periode pasca proklamasi
kemerdekaan, identifikasi “self” lebih banyak menarasikan diri
sebagai bangsa merdeka yang mandiri atau berdiri di atas kaki sendiri
(berdikari). Di pihak lain “the other” dikonsepsikan sebagai kekuatan
nekolim atau neo kolonialisme dan imperialisme. Nkrumah (1965),
salah satu sahabat Soekarno dan presiden Ghana pertama, menjelaskan
neo kolonialisme sebagai berikut:
The essence of neo-colonialism is that the State which is
subject to it is, in theory, independent and has all the outward
trappings of international sovereignty. In reality its economic
system and thus its political policy is directed from outside. The
methods and form of this direction can take various shapes. For
example, in an extreme case the troops of the imperial power may
garrison the territory of the neo-colonial State and control the
government of it. More often, however, neo-colonialist control is
exercised through economic or monetary means. The neo-colonial
State may be obliged to take the manufactured products of the
imperialist power to the exclusion of competing products from
elsewhere. Control over government policy in the neo-colonial
State may be secured by payments towards the cost of running the
State, by the provision of civil servants in positions where they can
dictate policy, and by monetary control over foreign exchange
through the imposition of a banking system controlled by the
imperial power….

Page | 94

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Neo-colonialism is also the worst form of imperialism. For
those who practice it, it means power without responsibility and
for those who suffer from it, it means exploitation without redress.
In the days of old-fashioned colonialism, the imperial power had
at least to explain and justify at home the actions it was taking
abroad. In the colony those who served the ruling imperial power
could at least look to its protection against any violent move by
their opponents. With neo-colonialism neither is the case.
Pada kutipan di atas Nkrumah menjelaskan bahwa inti dari
neo-kolonialisme adalah bahwa Negara yang tunduk padanya, secara
teoritis, merupakan negara independen dan memiliki semua
perlengkapan kedaulatan internasional. Pada kenyataannya sistem
ekonomi dan dengan demikian juga kebijakan politiknya diarahkan
dari luar. Metode dan bentuk arahan itu dapat terrepresentasi dalam
berbagai bentuk. Sebagai contoh, dalam kasus ekstrim pasukan
kekuasaan neo-kolonialis mungkin melakukan patroli di wilayah
negara neo-kolonial dan melakukan kontrol terhadap pemerintahnya.
Lebih sering, bagaimanapun, kontrol negara neo-kolonialis dilakukan
melalui sarana ekonomi atau moneter. Negara neo-kolonial dapat
diwajibkan untuk mengambil produk yang dihasilkan dari kekuatan
imperialis dengan mengesampingkan produk pesaing dari tempat lain.
Kontrol atas kebijakan pemerintah di negara neo-kolonial dapat
dijamin dengan pembayaran terhadap biaya menjalankan negara,
dengan ketentuan pegawai negeri dalam posisi di mana mereka bisa
mendikte kebijakan, serta melakukan pengendalian moneter terhadap
perdagangan valuta asing melalui pengenaan sistem kontrol perbankan
yang dikendalikan oleh kekuatan negara neo-kolonialis.
Neo-kolonialisme juga merupakan bentuk terburuk
imperialisme. Bagi mereka yang melakukannya, itu berarti kekuasaan
tanpa tanggung jawab dan bagi mereka yang menderita karenanya, itu
berarti eksploitasi tanpa ganti rugi. Di masa kolonialisme kuno,

Page | 95

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

kekuasaan negara kolonialis setidaknya bertanggung jawab untuk
menjelaskan dan menjustifikasinya di negara induk terhadap berbagai
kebijakan yang diambil di negeri jajahan. Dalam koloni mereka, para
pegawai yang melayani kekuasaan kolonial yang berkuasa setidaknya
bisa melihat perlindungan pemerintah kolonial terhadap setiap
tindakan kekerasan oleh lawan-lawan mereka. Dengan neokolonialisme semua itu tidak terjadi.
Selain memanifestasikan kecurigaan terhadap negara bekas
penjajah, model representasi identitas nasional lainnya adalah
pengembangan hubungan baik dengan negara bekas penjajah. Dalam
konteks ini, “self” sebagai bangsa yang sedang berkembang atau
development country. Di pihak lain “the other” digambarkan sebagai
negara sosialis-komunis yang dinegasikan menjadi negara anti
pembangunan, anti demokrasi dan anti agama. Bangsa Barat yang
sebelumnya digambarkan sebagai kekuatan nekolim, berubah status
sebagai developed countries yang menjadi guru, pembimbing dan
pelindung bagi negara berkembang. Representasi identitas nasional
semacam itu sangat menonjol pada kasus anggota Commonwealth
dan berbagai negara satelit Amerika Serikat sepanjang periode Perang
Dingin. Malaysia dan Singapura dengan Inggris serta Jepang dan
Korea Selatan dengan Amerika Serikat merupakan contoh dari
terjalinnya hubungan baik tersebut.

Dari kedua pola representasi identitas nasional yang sangat
kuat dipengaruhi oleh dinamika internasional, keduanya berlaku di
Indonesia. Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa pola pertama
berlaku pada periode pemerintahan Presiden Soekarno, sedang pola ke
dua berlangsung pada periode Orde Baru.

Page | 96

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Berbeda dengan era sebelumnya, pada era globalisasi dewasa
ini, berkembang pandangan bahwa identitas nasional justru menuntut
adanya homogenitas budaya global yang oleh Ernest Gellner disebut
sebagai “universal high culture”. Gellner (1983: 35-36) menjelaskan
“universal high culture” yang menjadi ciri khas masyarakat industri
sebagai berikut:
Let us recapitulate the general and central features of industrial
society. Universal literacy and a high level of numerical, technical
and general sophistication are among its functional prerequisites.
Its members are and must be mobile, and ready to shift from one
activity to another, and must possess that generic training which
enables them to follow the manuals and instructions of a new
activity or occupation. In the course of their work they must
constantly communicate with a large number of other men, with
whom they frequently have no previous association, and with
whom communication must consequently be explicit, rather than
relying on context. They must also be able to communicate by
means of written, impersonal, context-free, to-whom-it-mayconcern type messages. Hence these communications must be in
the same shared and standardized linguistic medium and script.
Pada kutipan itu Gellner menjelaskan bahwa homogenitas
universal high culture memiliki fitur utama, antara lain keaksaraan
universal dan numerik tingkat tinggi, kecanggihan teknis dan umum
dalam prasyarat fungsionalnya. Anggota-anggotanya memiliki
mobilitas tinggi, dan siap untuk beralih dari satu kegiatan ke yang lain,
dan harus memiliki pelatihan dasar yang memungkinkan mereka
untuk mengikuti petunjuk dan instruksi dari suatu kegiatan baru atau
pekerjaan. Dalam perjalanan kerja mereka harus selalu berkomunikasi
dengan sejumlah besar orang lain, yang tidak dikenal sebelumnya,
sehingga komunikasi harus jelas. Mereka juga harus mampu

Page | 97

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

berkomunikasi dengan cara tertulis, impersonal, konteks bebas,
menulis pesan untuk orang yang mungkin memiliki perhatian. Oleh
karena itu komunikasi ini harus dalam medium linguistik yang
berstandar dan bentuk tulisan sama.
Homogenitas kebudayaan global itu dipandang sebagai hasil
dari representasi identitas nasional, karena:
All this being so, the age of transition to industrialism was bound,
according to our model, also to be an age of nationalism, a period
of turbulent readjustment, in which either political boundaries, or
cultural ones, or both, were being modified, so as to satisfy the
new nationalist imperative which now, for the first time, was
making itself felt. Because rulers do not surrender territory gladly
(and every change of a political boundary must make someone a
loser), because changing one's culture is very frequently a most
painful experience, and moreover, because there were rival
cultures struggling to capture the souls of men, just as there were
rival centre of political authority striving to suborn men and
capture territory: given all this, it immediately follows from our
model that this period of transition was bound to be violent and
conflict-ridden. Actual historical facts fully confirm these
expectations (Gellner, 1993: 40).
Dalam kutipan itu dengan jelas dapat disimak pandangan
Gellner bahwa masa transisi ke industrialisme sudah pasti terjadi dan
hal itu juga merupakan masa berkembangnya nasionalisme, masa
bergolak untuk melakukan penyesuaian, di mana baik batas-batas
politik, atau yang budaya, atau keduanya, sedang dimodifikasi,
sehingga dapat memenuhi keinginan nasionalis baru yang sekarang,
untuk pertama kalinya, sedang dirasakan. Karena penguasa tidak
menyerahkan wilayahnya dengan senang hati (dan setiap perubahan
batas politik harus membuat seseorang menjadi pecundang), karena
perubahan budaya sangat sering menjadi suatu pengalaman yang

Page | 98

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

sangat menyakitkan, dan terlebih lagi, karena ada budaya saingan,
seperti halnya ada saingan pusat otoritas politik yang berjuang untuk
membujuk penduduk melakukan perlawanan dan menaklukkan
wilayah. Masa transisi ini pasti akan penuh dengan kekerasan dan
konflik.
Tidak jauh berbeda dengan Gellner, Giddens mendefinisikan
modernitas dalam empat lembaga dasar. Kapitalisme yang dicirikan
oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi terhadap modal, upah
buruh, dan sistem kelas turunan dari karakteristik ini. Industrialisme
melibatkan penggunaan sumber tenaga fosil dan mesin untuk
memproduksi barang, yang mempengaruhi transportasi, komunikasi,
dan kehidupan sehari-hari. Pengawasan yang mengacu pada supervisi
terhadap kegiatan masyarakat dalam bidang politik. Karakteristik
keempat adalah kontrol atas alat-alat kekerasan oleh negara (Gidden,
1990: 59).
Modernitas mengalami dinamika oleh tiga proses. Perbedaan
waktu dan ruang yang mengacu pada kecenderungan untuk hubungan
modern semakin jauh. Ketidakrekatan yang melibatkan keluarnya
hubungan sosial dari konteks interaksi lokal dan restrukturisasi
mereka di seluruh rentang yang tidak terbatas ruang dan waktu. Dalam
sistem seperti itu, kepercayaan menjadi perlu karena kita tidak lagi
memiliki informasi lengkap tentang fenomena sosial. Akhirnya,
refleksivitas berarti bahwa praktek-praktek sosial masyarakat modern
terus berulang dan direformasi berlandas informasi yang masuk.
Refleksivitas modernitas itu meluas dan menjangkau ke inti dari diri
dan menjadi suatu proyek refleksif pembentukan identitas (Gidden,
1990: 16-17).

Page | 99

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Dengan berlandas pada peran besar industrialisme dalam
membentuk homogenitas budaya modern semua bangsa, keunikan
identitas nasional bukan lagi hanya warisan budaya lokal, tetapi lebih
disebabkan oleh intensitas perengkuhan terhadap modernitas. Tilaar
menjelaskan bahwa identitas nasional merupakan proses perpaduan
unsur-unsur manusia baik sebagai subyek, obyek maupun super-jek.
Selanjutnya dia menguraikan:
Semakin tinggi perpaduan tersebut misalnya pada titik-titik
mendekati puncak segitiga tersebut dapat kita anggap
terbentuknya identitas masyarakat yang lebih luas, yaitu identitas
suatu bangsa...Seperti kita telah lihat faktor sejarah suatu
masyarakat, tradisi serta tantangan yang dihadapi oleh
masyarakat tertentu akan ikut menentukan identitas seseorang di
dalam masyarakat atau masyarakat bangsanya. Identitas
merupakan entitas yang terus menerus bergerak maju-mundur di
dalam kerucut vertikal. Inilah yang dimaksud oleh Benedict
Anderson misalnya dengan komunitas yang dibayangkan
(imagined community) berupa suatu bangsa. Jadi pengertian
identitas suatu bangsa merupakan suatu konstruksi yang terus
menerus berubah dan tidak pernah telah lengkap dan
sempurna...Perbedaannya ialah ada bangsa yang mempunyai
identitas yang sedikit-banyaknya lebih solid dibandingkan
dengan bangsa yang lain (Tilaar, 2007: 73).

Penutup
Dari kajian awal yang telah dilakukan terlihat bahwa pada era
globalisasi ini konstruksi identitas nasional memegang peranan
penting untuk menjamin keberlangsungan keberadaan atau eksistensi

Page | 100

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

suatu bangsa dan mengembangkan bangsa itu menjadi unggul. Di
Amerika Serikat dan Jepang usaha mengkonstruksi identitas nasional
dilakukan dengan jalan mengembangkan kebanggaan generasi muda
terhadap sejarah bangsanya.
Di Indonesia konstruksi identitas nasional mulai berkembang
sejak zaman pergerakan nasional. Pada masa itu “self” digambarkan
sebagai masyarakat Indonesia yang bersatu padu untuk melawan
penjajahan Belanda sebagai “the other”. Ketika kemerdekaan telah
dicapai terjadi perkembangan yang menarik. “Self” digambarkan
sebagai bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, berdikari atau
mandiri, sedang “the other” digambarkan sebagai kekuatan neo
kolonialisme dan imperialisme atau nekolim. Pada masa pemerintahan
Orde Baru, konstruksi identitas nasional mengalami perubahan secara
mendasar. “Self” digambarkan sebagai bangsa berkembang atau
development country, sedang “the other” digambarkan sebagai
ideologi sosialis-komunis yang anti pembangunan dan anti agama.
Dalam konteks ini, kekuatan Barat yang pada masa Soekarno
ditempatkan sebagai kekuatan neo kolonialisme dan imperialisme atau
nekolim, pada masa Orde Baru digambarkan sebagai sahabat dan
pembimbing bagi kemajuan Indonesia.
Ketika modernisme gagal memakmurkan bangsa-bangsa yang
melakukan pembangunan, muncul era globalisasi yang memproduksi
dan mempropagandakan berbagai identitas nasional baru. Pendukung
kosmopolitanisme memproduksi wacana bahwa identitas nasional
berbagai bangsa akan berkembang menjadi seragam, sedang
kelompok moderat mewacanakan identitas nasional sebagai perpaduan
antara identitas lama dan baru atau dikenal sebagai reflektifisme.

Page | 101

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

DAFTAR ACUAN
Buku/Paper
Bahar, Saafroedin, dkk. (1992). Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha
Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia
(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1990). Seminar Sejarah
Nasional V: Sub Tema Pengajaran Sejarah. Jakarta:
Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional.
Gellner, Ernest. (1993). Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell
University Press.
Gidden, Anthony. (1990). The Consequences of Modernity.
California: Stanford University Press.
Gismar, A. Malik, “Mencari Politik Budaya dan Kewarganegaraan
yang Pas” dalam Komarudin Hidayat dan Putut Wijanarko,
peny.. (2008). Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali
Masa Depan Bangsa. Jakarta: Mizan.
Hobsbawn, Eric J.. (1992). Nasionalisme menjelang abad XXI.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Kartodirdjo, Sartono. (2005). Sejak Indische sampai Indonesia.
Jakarta: Kompas.
Nielsen, Kai, “Cultural Nationalism, Neither Ethnic nor Civic”
dalam Ronald Beiner, ed.. (1999). Theorizing Nationalism.
New York: SUNY.
Nkrumah, Kwame. (1965). Neo-Colonialism, the Last Stage of
imperialism.
Diunduh
dari
http://www.marxists.org/subject/africa/nkrumah/neocolonialism/index.htm

Page | 102

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Nozaki, Yoshiko and Mark Selden. (2009). “Japanese Textbook
Controversies, Nationalism, and Historical Memory: Intraand Inter-national Conflicts” dalam Asia-Pacific Journal,
Vol 24-5-09, June 15, 2009
Pusat Bahasa. (2008) Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Tilaar, H.A.R.. (2007). Mengindonesia etnisitas dan identitas
bangsa Indonesia: tinjauan dari perspektif ilmu
pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Toynbee, Arnold. (1972). A Study of History. London: Oxford
University Press and Thames and Hudson Ltd.
Internet
http://www.merriam-webster.com/dictionary/image?
show=0&t=1286555314
New York Times tanggal 12 Maret 2010

Page | 103