LAPORAN PENDAHULUAN ASMA Disusun untuk m
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Keperawatan Kritis pada Program
Studi DIII Keperawatan Purwokerto
Prapti Wiji Wahyuni
NIM. P1337420214047
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO
JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Latar Belakang
Masalah kesehatan merupakan masalah yang penting dalam suatu
negara, karena derajat kesehatan suatu bangsa dapat dilihat dari derajat
kesehatan masyarakatnya. Terlebih jika ada masyarakat yang mengalami
gangguan pernapasan seperti asma. Penyakit asma adalah penyakit kongenital
atau keturunan yang dibawa orang tua yang karier pada anaknya. Namun
akhir- akhir ini penyakit asma karena keturunan bukanlah penyebab utama
asma, tetapi karena pola hidup individu dan masyarakat itu sendiri yang
menjadi faktor penyebab asma dan lingkungan yang kurang sehat seperti
polusi udara dan kurangnya kebersihan lingkungan di kota-kota besar juga
merupakan faktor dominan dalam peningkatan serangan asma (Nilawati,
2008).
Menurut data WHO, penyandang asma di dunia diperkirakan mencapai
300 juta orang dan diprediksi jumlah ini akan meningkat hingga 400 juta pada
tahun 2025 (Badan Litbangkes, 2010). Di Indonesia prevalensi asma sebesar
3,32%, sedangkan di wilayah Jawa Tengah sebesar 3,01% (Oemiati Ratih,
dkk. 2010). Prevalensi kasus asma di Jawa Tengah pada tahun 2008 sebesar
(1,07%), pada tahun 2009 (0,66%), pada tahun 2010 (0,64%), pada tahun 2011
(0,55%). Tahun 2011 kasus penyakit asma terbesar pertama terdapat di Kota
Semarang sebesar 17.670 kasus, Kabupaten Brebes sebesar 15.317 kasus,
Kabupaten Klaten sebesar 14.718 kasus, dan terendah di Kabupaten Batang
sebesar 1.378 (Dinkes, 2012). Kejadian asma menurut jenis kelamin tahun
2011 laki-laki ada 8285 penderita asma, perempuan ada 9385 penderita asma
(DKK, 2012). Menurut kelompok umur 15 - 44 th ada 5470 penderita asma,
umur 46 - 64 th ada 7423 penderita asma, dan > 65 th ada 2328 penderita asma
(DKK, 2012).
Asma atau obstruksi jalan napas secara umum terjadi ketika bronkhi
mengalami inflamasi atau peradangan akibat suatu rangsangan atau alergen.
Penyakit ini menyebabkan penyempitan pada saluran pernapasan sehingga
menimbulkan kesulitan dalam bernapas, batuk, dan suara nafas yang mengi,
asma dapat terjadi pada siapa saja sembarang golongan usia.
Beberapa cara perlu dilakukan dalam menangani asma. Gejala asma
memerlukan pengobatan yang bertujuan untuk meminimalkan gejala kronis
yang mengganggu aktifitas normal, mencegah eksaserbasi berulang,
meminimalkan perujukan ke rumah sakit, dan untuk mempertahankan fungsi
normal paru. Oleh karena itu dalam penanganan terapi harus memperhatikan
keamanan pengobatan, potensi ADR (Adverse Drug Reaction) dan biaya
pengobatan untuk mencapai tujuan. Kejadian atau kemungkinan kejadian
adverse event yang melibatkan terapi baik bersifat aktual atau potensial dapat
mengganggu hasil akhir suatu terapi, salah satunya adalah ADR atau reaksi
obat yang tidak diinginkan. Salah satu usaha untuk mengurangi kejadian yang
tidak diinginkan adalah dengan studi farmakovigilans oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) yang telah dicanangkan dalam peraturan Kepala
BPOM RI nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011, untuk menerapkan
farmakovigilans yang merupakan kegiatan tentang pendeteksian, penilaian,
pemahaman, dan pencegahan ADR atau masalah lainnya terkait dengan
penggunaan obat. Tujuan farmakovigilans adalah untuk meningkatkan
keamanan dan keselamatan pasien terkait pengobatan yang didapatnya, dari
kemungkinan kejadian ADR, yang bersifat individual.
2. Definisi
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial yang mempunyai
ciri bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas) terutama
pada percabangan trakeobronkhial yang dapat diakibatkan oleh berbagai
stimulus seperti oleh faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik, dan
psikologi (Somantri, 2009). Menurut Davey (2008), asma merupakan keadaan
inflamasi kronis yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan reversible
dan gejala berupa batuk, mengi atau wheezing, dada terasa terikat dan sesak
napas.
3. Etiologi
Menurut Muttaqin (2008) dan Widjaya (2010) faktor-faktor yang dapat
menimbulkan serangan asma yaitu: Genetik, alergennfeksi saluran pernapasan,
tekanan jiwa, olahraga atau kegiatan berlebih, obat-obatan, iritan, lingkungan
kerja. Selain itu factor pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi
( infeksi virus RSV), iklim (perubahan suhu, tekanan udara), inhalan (debu,
kapuk, tungau, sisa-sisa serangga mati, bulu binatang, serbuk sari, bau asap,
uap cat), makanan (putih telur, susu sapi, kacang tanah, coklat, biji-bijian,
tomat), aspirin, kegiatan fisik (olahraga berat, kecapaian, tertawa terbahakbahak), dan emosi (Nurarif dan Kusuma, 2015).
4. Tanda dan Gejala
Menurut Plottel (2012), Ringel (2012), dan Saputra (2010) tanda dan
gejala asma bronkhial yaitu : Batuk, bising mengi (wheezing), napas pendek,
dada terasa terikat atau sesak napas (dipsneu), pernapasan yang tidak nyaman,
peningkatan produksi mukus.
5. Patofisiologi
Menurut Firshein (2006), ketika proses bernapas mengalami gangguan
selama asma seringkali diawali dengan faktor pemicu, seperti allergen, ketika
hal tersebut terjadi maka tubuh akan merespon dengan suatu reaksi sel
peradangan yang kuat untuk melawan. Sel-sel tersebut seperti eosinofil, sel
mast, getah bening, basofil, neutrofil, dan makrofag, sel-sel ini memberikan
respon dengan mengeluarkan sejumlah zat kimia seperti protein-protein dan
peroksida beracun yang dimaksudkan menyerang faktor pemicu, namun juga
merusak beberapa jaringan yang melapisi paru. Lama kelamaan serangan
asma seringan sekalipun terbukti mampu menjadi penyebab atau menjadi
rentan terhadap rangsangan. Sebagai respon kejadian tersebut, jaringan yang
melapisi jalan pernapasan menjadi bengkak dan udara tidak dapat lagi
bergerak cepat, produksi mukus meningkat untuk melindungi jaringan yang
rusak, akan tetapi akan menutupi jalan napas, dan mengurangi kemampuan
paru meyerap oksigen. Saraf simpatis yang terdapat di bronkus, ketika
terganggu atau terangsang maka terjadi bronkokontriksi yang menyebabkan
sulit bernapas, hasilnya adalah gejala khas dari asma, yaitu mengi, napas yang
pendek, batuk berdahak, dan dada terasa sesak.
6. Pathway
7. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah:
a. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat
menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan
kegagalan napas.
b. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal
sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di
mediastinum. Pertama dijelaskan pada tahun 1819 oleh Rene Laennec,
kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang
mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam
rongga dada .
c. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernapasan yang sangat dangkal.
d. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur
dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini
juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada
otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya
infeksi Aspergillus sp.
e. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan
pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
f. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian
dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis)
mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi
lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang
dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit
bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya
lendir.
g. Fraktur iga
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak >20% menunjukkan diagnosis
asma.
b. Pemeriksaan tes kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses
patologik di paru atau komplikasi asma, seperti pneumothorak,
pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.
d. Pemeriksaan analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma berat.
e. Pemeriksaan sputum
Untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot Leyden, spiral
Churschmann, pemeriksaan sputum penting untuk menilai adanya
Miselium aspergilus fumigatus.
f. Pemeriksaan eosinofil
Pada penderita asma, jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat.
Jumlah eosinofil total dalam darah membantu untuk membedakan asma
dari bronchitis kronik.
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola pemeliharaan kesehatan
Gejala Asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal
sehingga pasien dengan Asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai
kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan Asma
b. Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah, frekuensi, dan
kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhnnya, serta pada pasien
sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan
nutrisi, hal ini karena dispnea saat makan, laju metabolism serta ansietas
yang dialami pasien.
c. Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna, bentuk,
konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam pola eliminasi.
d. Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga, bekerja,
dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya
asma.
e. Pola istirahat dan tidur
Perlu dikaji tentang bagaiman tidur dan istirahat pasien meliputi berapa
lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang
dialami pasien. Adanya wheezing dan sesak dapat mempengaruhi pola
tidur dan istirahat pasien.
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri
pasien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stressor yang dialami pasien
sehingga kemungkinan terjadi serangan asma yang berulang pun akan
semakin tinggi.
g. Pola hubungan dengan orang lain
Gejala asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan kehidupannya
secara normal. Pasien perlu menyesuaikan kondisinya berhubungan
dengan orang lain.
h. Pola reproduksi dan seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan
ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan pasien. Masalah
ini akan menjadi stresor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
serangan asma.
i. Pola persepsi diri dan konsep diri
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya. Persepsi yang salah
dapat menghambat respon kooperatif pada diri pasien. Cara memandang
diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan pasien.
j. Pola mekanisme dan koping
Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus
serangan Asma maka prlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi dan
pengaruh terhadap kehidupan pasien serta cara penanggulangan terhadap
stresor.
k. Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercayai dapat
meningkatkan kekuatan jiwa pasien. Keyakinan pasien terhadap Tuhan
Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya merupakan metode
penanggulangan stres yang konstruktif (Perry, 2005 & Asmadi 2008).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama atau imunitas.
e. Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang berlebih.
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Perencanaan tindakan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret
Tujuan: Jalan napas menjadi efektif.
Kriteria hasil:
1) Jalan napas bersih.
2) Sesak berkurang.
3) Batuk efektif.
4) Mengeluarkan sekret.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital dan auskultasi bunyi napas
Rasional: Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi
jalan napas.
2) Berikan pasien untuk posisi yang nyaman
Rasional: Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi
pernapasan.
3) Pertahankan lingkungan yang nyaman
Rasional: Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger
episode akut.
4) Tingkatkan masukan cairan, denganmemberi air hangat
Rasional: Membantu mempermudah pengeluaran sekret.
5) Dorong atau bantu latihan napas dalam dan batuk efektif
Rasional: Memberikan cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea,
mengeluarkan sekret.
6) Dorong atau berikan perawatan mulut
Rasional: Hygiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan
mencegah bau mulut.
7) Kolaborasi : Pemberian obat dan humidifikasi, seperti nebulizer
Rasional: Menurunkan kekentalan sekret dan mengeluarkan sekret.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme
Tujuan: Pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
1) Pola napas efektif.
2) Bunyi napas normal kembali.
3) Batuk berkurang.
Intervensi:
1) Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada
Rasional: Kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernapasan
bervariasi tergantung derajat gagal napas.
2) Auskultasi bunyi napas
Rasional: Ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan napas.
3) Tinggikan kepala dan bentuk mengubah posisi
Rasional: Memudahkan dalam ekspansi paru dan pernapasan.
4) Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional: Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan suplai oksigen
Tujuan: Dapat mempertahankan pertukaran gas.
Kriteria hasil:
1) Tidak ada dispnea.
2) Pernapasan normal.
Intervensi:
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan
Rasional: Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan atau
kronisnya proses penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
nyaman untuk bernapas
Rasional: Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk
tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dispnea, dan kerja napas.
3) Kaji atau awasi secar rutin kulit dan warna membran mukosa
Rasional: Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentra
(terlihat sekitar bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan dianosis
sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
4) Dorong pengeluaran sputum: penghisapan bila diindikasikan
Rasional: Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama
gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil. Penghisapan
dibutuhkan jika batuk tidak efektif.
5) Auskultasi bunyi napas
Rasional: Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara
atau area konsolidasi.
6) Palpasi Fremirus
Rasional: Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan
atau udara terjebak.
7) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas
Rasional: Selama distress pernapasan berat atau akut atau refraktori
pasien secara total tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena
hipoksemia dan dispnea.
8) Kolaborasi: Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional: Dapat memperbaiki memburuknya hipoksia.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama atau imunitas
Tujuan: Tidak mengalami infeksi nosokomial.
Kriteria hasil:
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2) Mukosa mulut lembab.
3) Batuk berkurang.
Intervensi:
1) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: Demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2) Observasi warna, karakter, jumlah sputum
Rasional: Kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
3) Berikan nutrisi yang adekuat
Rasional: Nutrisi yang adekuat dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
4) Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional: Antibiotik dapat mencegah masuknya kuman kedalam tubuh.
e. Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan
Tujuan: Kecemasan pasien berkurang.
Kriteria hasil:
1) Pasien terlihat tenang.
2) Cemas berkurang.
3) Ekspresi wajah tenang.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan
Rasional: Mengetahui skala kecemasan pasien.
2) Berikan pengetahuan tentang penyakit yang diderita
Rasional: Menambah tingkat pengetahuan pasien dan mengurangi
cemas.
3) Berikan dukungan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional: Mengungkapkan perasaan dapat mengurangi rasa cemas
yang dialaminya.
4) Ajarkan teknik napas dalam pada pasien
Rasional: Mengurangi rasa cemas yang dialami pasien
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang berlebih
Tujuan: Pola tidur terpenuhi.
Kriteria hasil:
1) Pola tidur 6-7 jam per hari.
2) Tidur tidak terganggu karena batuk.
Intervensi:
1) Kaji pola tidur setiap hari
Rasional: Mengetahui perubahan pola tidur yang terjadi.
2) Beri posisi yang nyaman
Rasional: Memudahkan dalam beristirahat.
3) Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional: Menciptakan suasana yang tenang.
4) Anjurkan kepada keluarga dan pengunjung untuk tidak ramai
Rasional: Menciptakan suasana yang tenang.
5) Menjelaskan pada pasien pentingnya keseimbangan istirahat dan tidur
untuk penyembuhan
Rasional: Menambah pengetahuan.
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: Aktivitas normal
Kriteria hasil:
1) Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas.
2) Pasien dapat memenuhi kebutuhan pasien secara mandiri.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan aktivitas
Rasional: Mengetahui tingkat aktivitas pasien.
2) Anjurkan keluarga untuk membantu memenuhi kebutuhan pasien
Rasional: Membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan pasien seharihari.
3) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi
Rasional: Membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan pasien secara
mandiri.
4) Jelaskan
pentingnya
istirahat
dan
aktivitas
dalaam
proses
penyembuhan
Rasional: Menambah pengetahuan pasien dan keluarga (Doenges,
2000).
4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan salah satu bagian dari rangkaian
asuhan keperawatan dimana pada tahap ini membandingkan antara kriteria
hasil dengan hasil yang dicapai setelah dilakukan implementasi.
Evaluasi yang diharapkan dari masalah keperawatan yaitu:
a. Jalan napas menjadi efektif.
b. Pola napas kembali efektif.
c. Pertukaran gas dapat dipertahankan.
d. Terhindar dari infeksi nosokomial.
e. Kecemasan pada pasien berkurang.
f. Pola tidur terpenuhi.
g. Aktivitas normal.
DAFTAR PUSTAKA
Mahardika, Aisah, & Pohan. (2013). Perbedaan frekuensi kekambuhan asma
berdasarkan kebiasaan mengikuti senam asma pada penderita di balai
kesehatan paru masyarakat semarang. Jurusan keperawatan. (online).
(jurma.unimus.ac.id/index.php/perawat/article/viewFile/168/168,
diakses
pada tanggal 1 Februari 2017).
Khamdan, M. (2013). Asuhan keperawatan keluarga tn.t dengan masalah utama
sistem pernapasan: asma pada ny.t di desa pucangan wilayah kerja
puskesmas kartasura sukoharjo. (online). (eprints.ums.ac.id/25465/15
/NASKAH_PUBLIKASI.pdf, diakses pada tanggal 1 januari 2017).
Nurarif & Kusuma. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
medis dan nanda (north american nursing diagnosis association) NICNOC. Yogyakarta: Mediaction publishing.
http://serpihanilmuku.blogspot.co.id/2014/05/pathway-asma-pohon-masalahasma.html, diakses pada tanggal 1 Februari 2017.
Fajrin, A. (2012). Asuhan keperawatan keluarga ny. N pada ny.i dengan
gangguan sistem pernafasan: asma di wilayah kerja puskesmas gajahan di
des
joyosuran rt 02 rw 05 surakarta. (online). (eprints.ums.ac.id
/20497/15/11._ Naskah_Publikasi.pd, diakses pada tanggal 1 Februari
2017).
ASMA
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Keperawatan Kritis pada Program
Studi DIII Keperawatan Purwokerto
Prapti Wiji Wahyuni
NIM. P1337420214047
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO
JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Latar Belakang
Masalah kesehatan merupakan masalah yang penting dalam suatu
negara, karena derajat kesehatan suatu bangsa dapat dilihat dari derajat
kesehatan masyarakatnya. Terlebih jika ada masyarakat yang mengalami
gangguan pernapasan seperti asma. Penyakit asma adalah penyakit kongenital
atau keturunan yang dibawa orang tua yang karier pada anaknya. Namun
akhir- akhir ini penyakit asma karena keturunan bukanlah penyebab utama
asma, tetapi karena pola hidup individu dan masyarakat itu sendiri yang
menjadi faktor penyebab asma dan lingkungan yang kurang sehat seperti
polusi udara dan kurangnya kebersihan lingkungan di kota-kota besar juga
merupakan faktor dominan dalam peningkatan serangan asma (Nilawati,
2008).
Menurut data WHO, penyandang asma di dunia diperkirakan mencapai
300 juta orang dan diprediksi jumlah ini akan meningkat hingga 400 juta pada
tahun 2025 (Badan Litbangkes, 2010). Di Indonesia prevalensi asma sebesar
3,32%, sedangkan di wilayah Jawa Tengah sebesar 3,01% (Oemiati Ratih,
dkk. 2010). Prevalensi kasus asma di Jawa Tengah pada tahun 2008 sebesar
(1,07%), pada tahun 2009 (0,66%), pada tahun 2010 (0,64%), pada tahun 2011
(0,55%). Tahun 2011 kasus penyakit asma terbesar pertama terdapat di Kota
Semarang sebesar 17.670 kasus, Kabupaten Brebes sebesar 15.317 kasus,
Kabupaten Klaten sebesar 14.718 kasus, dan terendah di Kabupaten Batang
sebesar 1.378 (Dinkes, 2012). Kejadian asma menurut jenis kelamin tahun
2011 laki-laki ada 8285 penderita asma, perempuan ada 9385 penderita asma
(DKK, 2012). Menurut kelompok umur 15 - 44 th ada 5470 penderita asma,
umur 46 - 64 th ada 7423 penderita asma, dan > 65 th ada 2328 penderita asma
(DKK, 2012).
Asma atau obstruksi jalan napas secara umum terjadi ketika bronkhi
mengalami inflamasi atau peradangan akibat suatu rangsangan atau alergen.
Penyakit ini menyebabkan penyempitan pada saluran pernapasan sehingga
menimbulkan kesulitan dalam bernapas, batuk, dan suara nafas yang mengi,
asma dapat terjadi pada siapa saja sembarang golongan usia.
Beberapa cara perlu dilakukan dalam menangani asma. Gejala asma
memerlukan pengobatan yang bertujuan untuk meminimalkan gejala kronis
yang mengganggu aktifitas normal, mencegah eksaserbasi berulang,
meminimalkan perujukan ke rumah sakit, dan untuk mempertahankan fungsi
normal paru. Oleh karena itu dalam penanganan terapi harus memperhatikan
keamanan pengobatan, potensi ADR (Adverse Drug Reaction) dan biaya
pengobatan untuk mencapai tujuan. Kejadian atau kemungkinan kejadian
adverse event yang melibatkan terapi baik bersifat aktual atau potensial dapat
mengganggu hasil akhir suatu terapi, salah satunya adalah ADR atau reaksi
obat yang tidak diinginkan. Salah satu usaha untuk mengurangi kejadian yang
tidak diinginkan adalah dengan studi farmakovigilans oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) yang telah dicanangkan dalam peraturan Kepala
BPOM RI nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011, untuk menerapkan
farmakovigilans yang merupakan kegiatan tentang pendeteksian, penilaian,
pemahaman, dan pencegahan ADR atau masalah lainnya terkait dengan
penggunaan obat. Tujuan farmakovigilans adalah untuk meningkatkan
keamanan dan keselamatan pasien terkait pengobatan yang didapatnya, dari
kemungkinan kejadian ADR, yang bersifat individual.
2. Definisi
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial yang mempunyai
ciri bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas) terutama
pada percabangan trakeobronkhial yang dapat diakibatkan oleh berbagai
stimulus seperti oleh faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik, dan
psikologi (Somantri, 2009). Menurut Davey (2008), asma merupakan keadaan
inflamasi kronis yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan reversible
dan gejala berupa batuk, mengi atau wheezing, dada terasa terikat dan sesak
napas.
3. Etiologi
Menurut Muttaqin (2008) dan Widjaya (2010) faktor-faktor yang dapat
menimbulkan serangan asma yaitu: Genetik, alergennfeksi saluran pernapasan,
tekanan jiwa, olahraga atau kegiatan berlebih, obat-obatan, iritan, lingkungan
kerja. Selain itu factor pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi
( infeksi virus RSV), iklim (perubahan suhu, tekanan udara), inhalan (debu,
kapuk, tungau, sisa-sisa serangga mati, bulu binatang, serbuk sari, bau asap,
uap cat), makanan (putih telur, susu sapi, kacang tanah, coklat, biji-bijian,
tomat), aspirin, kegiatan fisik (olahraga berat, kecapaian, tertawa terbahakbahak), dan emosi (Nurarif dan Kusuma, 2015).
4. Tanda dan Gejala
Menurut Plottel (2012), Ringel (2012), dan Saputra (2010) tanda dan
gejala asma bronkhial yaitu : Batuk, bising mengi (wheezing), napas pendek,
dada terasa terikat atau sesak napas (dipsneu), pernapasan yang tidak nyaman,
peningkatan produksi mukus.
5. Patofisiologi
Menurut Firshein (2006), ketika proses bernapas mengalami gangguan
selama asma seringkali diawali dengan faktor pemicu, seperti allergen, ketika
hal tersebut terjadi maka tubuh akan merespon dengan suatu reaksi sel
peradangan yang kuat untuk melawan. Sel-sel tersebut seperti eosinofil, sel
mast, getah bening, basofil, neutrofil, dan makrofag, sel-sel ini memberikan
respon dengan mengeluarkan sejumlah zat kimia seperti protein-protein dan
peroksida beracun yang dimaksudkan menyerang faktor pemicu, namun juga
merusak beberapa jaringan yang melapisi paru. Lama kelamaan serangan
asma seringan sekalipun terbukti mampu menjadi penyebab atau menjadi
rentan terhadap rangsangan. Sebagai respon kejadian tersebut, jaringan yang
melapisi jalan pernapasan menjadi bengkak dan udara tidak dapat lagi
bergerak cepat, produksi mukus meningkat untuk melindungi jaringan yang
rusak, akan tetapi akan menutupi jalan napas, dan mengurangi kemampuan
paru meyerap oksigen. Saraf simpatis yang terdapat di bronkus, ketika
terganggu atau terangsang maka terjadi bronkokontriksi yang menyebabkan
sulit bernapas, hasilnya adalah gejala khas dari asma, yaitu mengi, napas yang
pendek, batuk berdahak, dan dada terasa sesak.
6. Pathway
7. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah:
a. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat
menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan
kegagalan napas.
b. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal
sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di
mediastinum. Pertama dijelaskan pada tahun 1819 oleh Rene Laennec,
kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang
mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam
rongga dada .
c. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernapasan yang sangat dangkal.
d. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur
dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini
juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada
otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya
infeksi Aspergillus sp.
e. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan
pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
f. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian
dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis)
mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi
lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang
dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit
bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya
lendir.
g. Fraktur iga
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak >20% menunjukkan diagnosis
asma.
b. Pemeriksaan tes kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses
patologik di paru atau komplikasi asma, seperti pneumothorak,
pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.
d. Pemeriksaan analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma berat.
e. Pemeriksaan sputum
Untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot Leyden, spiral
Churschmann, pemeriksaan sputum penting untuk menilai adanya
Miselium aspergilus fumigatus.
f. Pemeriksaan eosinofil
Pada penderita asma, jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat.
Jumlah eosinofil total dalam darah membantu untuk membedakan asma
dari bronchitis kronik.
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola pemeliharaan kesehatan
Gejala Asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal
sehingga pasien dengan Asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai
kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan Asma
b. Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah, frekuensi, dan
kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhnnya, serta pada pasien
sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan
nutrisi, hal ini karena dispnea saat makan, laju metabolism serta ansietas
yang dialami pasien.
c. Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna, bentuk,
konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam pola eliminasi.
d. Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga, bekerja,
dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya
asma.
e. Pola istirahat dan tidur
Perlu dikaji tentang bagaiman tidur dan istirahat pasien meliputi berapa
lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang
dialami pasien. Adanya wheezing dan sesak dapat mempengaruhi pola
tidur dan istirahat pasien.
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri
pasien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stressor yang dialami pasien
sehingga kemungkinan terjadi serangan asma yang berulang pun akan
semakin tinggi.
g. Pola hubungan dengan orang lain
Gejala asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan kehidupannya
secara normal. Pasien perlu menyesuaikan kondisinya berhubungan
dengan orang lain.
h. Pola reproduksi dan seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan
ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan pasien. Masalah
ini akan menjadi stresor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
serangan asma.
i. Pola persepsi diri dan konsep diri
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya. Persepsi yang salah
dapat menghambat respon kooperatif pada diri pasien. Cara memandang
diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan pasien.
j. Pola mekanisme dan koping
Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus
serangan Asma maka prlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi dan
pengaruh terhadap kehidupan pasien serta cara penanggulangan terhadap
stresor.
k. Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercayai dapat
meningkatkan kekuatan jiwa pasien. Keyakinan pasien terhadap Tuhan
Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya merupakan metode
penanggulangan stres yang konstruktif (Perry, 2005 & Asmadi 2008).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama atau imunitas.
e. Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang berlebih.
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Perencanaan tindakan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret
Tujuan: Jalan napas menjadi efektif.
Kriteria hasil:
1) Jalan napas bersih.
2) Sesak berkurang.
3) Batuk efektif.
4) Mengeluarkan sekret.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital dan auskultasi bunyi napas
Rasional: Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi
jalan napas.
2) Berikan pasien untuk posisi yang nyaman
Rasional: Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi
pernapasan.
3) Pertahankan lingkungan yang nyaman
Rasional: Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger
episode akut.
4) Tingkatkan masukan cairan, denganmemberi air hangat
Rasional: Membantu mempermudah pengeluaran sekret.
5) Dorong atau bantu latihan napas dalam dan batuk efektif
Rasional: Memberikan cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea,
mengeluarkan sekret.
6) Dorong atau berikan perawatan mulut
Rasional: Hygiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan
mencegah bau mulut.
7) Kolaborasi : Pemberian obat dan humidifikasi, seperti nebulizer
Rasional: Menurunkan kekentalan sekret dan mengeluarkan sekret.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme
Tujuan: Pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
1) Pola napas efektif.
2) Bunyi napas normal kembali.
3) Batuk berkurang.
Intervensi:
1) Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada
Rasional: Kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernapasan
bervariasi tergantung derajat gagal napas.
2) Auskultasi bunyi napas
Rasional: Ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan napas.
3) Tinggikan kepala dan bentuk mengubah posisi
Rasional: Memudahkan dalam ekspansi paru dan pernapasan.
4) Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional: Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan suplai oksigen
Tujuan: Dapat mempertahankan pertukaran gas.
Kriteria hasil:
1) Tidak ada dispnea.
2) Pernapasan normal.
Intervensi:
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan
Rasional: Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan atau
kronisnya proses penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
nyaman untuk bernapas
Rasional: Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk
tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dispnea, dan kerja napas.
3) Kaji atau awasi secar rutin kulit dan warna membran mukosa
Rasional: Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentra
(terlihat sekitar bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan dianosis
sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
4) Dorong pengeluaran sputum: penghisapan bila diindikasikan
Rasional: Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama
gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil. Penghisapan
dibutuhkan jika batuk tidak efektif.
5) Auskultasi bunyi napas
Rasional: Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara
atau area konsolidasi.
6) Palpasi Fremirus
Rasional: Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan
atau udara terjebak.
7) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas
Rasional: Selama distress pernapasan berat atau akut atau refraktori
pasien secara total tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena
hipoksemia dan dispnea.
8) Kolaborasi: Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional: Dapat memperbaiki memburuknya hipoksia.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama atau imunitas
Tujuan: Tidak mengalami infeksi nosokomial.
Kriteria hasil:
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2) Mukosa mulut lembab.
3) Batuk berkurang.
Intervensi:
1) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: Demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2) Observasi warna, karakter, jumlah sputum
Rasional: Kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
3) Berikan nutrisi yang adekuat
Rasional: Nutrisi yang adekuat dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
4) Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional: Antibiotik dapat mencegah masuknya kuman kedalam tubuh.
e. Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan
Tujuan: Kecemasan pasien berkurang.
Kriteria hasil:
1) Pasien terlihat tenang.
2) Cemas berkurang.
3) Ekspresi wajah tenang.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan
Rasional: Mengetahui skala kecemasan pasien.
2) Berikan pengetahuan tentang penyakit yang diderita
Rasional: Menambah tingkat pengetahuan pasien dan mengurangi
cemas.
3) Berikan dukungan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional: Mengungkapkan perasaan dapat mengurangi rasa cemas
yang dialaminya.
4) Ajarkan teknik napas dalam pada pasien
Rasional: Mengurangi rasa cemas yang dialami pasien
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang berlebih
Tujuan: Pola tidur terpenuhi.
Kriteria hasil:
1) Pola tidur 6-7 jam per hari.
2) Tidur tidak terganggu karena batuk.
Intervensi:
1) Kaji pola tidur setiap hari
Rasional: Mengetahui perubahan pola tidur yang terjadi.
2) Beri posisi yang nyaman
Rasional: Memudahkan dalam beristirahat.
3) Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional: Menciptakan suasana yang tenang.
4) Anjurkan kepada keluarga dan pengunjung untuk tidak ramai
Rasional: Menciptakan suasana yang tenang.
5) Menjelaskan pada pasien pentingnya keseimbangan istirahat dan tidur
untuk penyembuhan
Rasional: Menambah pengetahuan.
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: Aktivitas normal
Kriteria hasil:
1) Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas.
2) Pasien dapat memenuhi kebutuhan pasien secara mandiri.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan aktivitas
Rasional: Mengetahui tingkat aktivitas pasien.
2) Anjurkan keluarga untuk membantu memenuhi kebutuhan pasien
Rasional: Membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan pasien seharihari.
3) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi
Rasional: Membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan pasien secara
mandiri.
4) Jelaskan
pentingnya
istirahat
dan
aktivitas
dalaam
proses
penyembuhan
Rasional: Menambah pengetahuan pasien dan keluarga (Doenges,
2000).
4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan salah satu bagian dari rangkaian
asuhan keperawatan dimana pada tahap ini membandingkan antara kriteria
hasil dengan hasil yang dicapai setelah dilakukan implementasi.
Evaluasi yang diharapkan dari masalah keperawatan yaitu:
a. Jalan napas menjadi efektif.
b. Pola napas kembali efektif.
c. Pertukaran gas dapat dipertahankan.
d. Terhindar dari infeksi nosokomial.
e. Kecemasan pada pasien berkurang.
f. Pola tidur terpenuhi.
g. Aktivitas normal.
DAFTAR PUSTAKA
Mahardika, Aisah, & Pohan. (2013). Perbedaan frekuensi kekambuhan asma
berdasarkan kebiasaan mengikuti senam asma pada penderita di balai
kesehatan paru masyarakat semarang. Jurusan keperawatan. (online).
(jurma.unimus.ac.id/index.php/perawat/article/viewFile/168/168,
diakses
pada tanggal 1 Februari 2017).
Khamdan, M. (2013). Asuhan keperawatan keluarga tn.t dengan masalah utama
sistem pernapasan: asma pada ny.t di desa pucangan wilayah kerja
puskesmas kartasura sukoharjo. (online). (eprints.ums.ac.id/25465/15
/NASKAH_PUBLIKASI.pdf, diakses pada tanggal 1 januari 2017).
Nurarif & Kusuma. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
medis dan nanda (north american nursing diagnosis association) NICNOC. Yogyakarta: Mediaction publishing.
http://serpihanilmuku.blogspot.co.id/2014/05/pathway-asma-pohon-masalahasma.html, diakses pada tanggal 1 Februari 2017.
Fajrin, A. (2012). Asuhan keperawatan keluarga ny. N pada ny.i dengan
gangguan sistem pernafasan: asma di wilayah kerja puskesmas gajahan di
des
joyosuran rt 02 rw 05 surakarta. (online). (eprints.ums.ac.id
/20497/15/11._ Naskah_Publikasi.pd, diakses pada tanggal 1 Februari
2017).