PENDAHULUAN Formulasi Sediaan Skin Cream Aloe Vera (Aloe Barbadensis): Evaluasi Fisik Dan Stabilitas Fisik Sediaan.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kosmetik umumnya mengandung campuran senyawa kimia dan tidak
banyak yang berasal dari sumber alami (Schneider et al., 2012). Permintaan akan
kosmetik herbal saat ini berkembang sangat pesat. Perluasan ini disebabkan
karena adanya ketersediaan bahan baku dari alam. Adanya kemungkinan reaksi
negatif pada kulit karena campuran senyawa kimia menyebabkan konsumen
beralih ke produk kosmetik herbal ini (Singh et al., 2011).
Aloe vera atau dikenal dengan nama Lidah Buaya, tanaman ini telah
dikenal dan digunakan selama berabad-abad untuk kesehatan, kecantikan, obat
dan perawatan kulit dan tata rias. Produk ini dapat diterapkan topikal sebagai
emolien untuk luka bakar, kulit terbakar dan abrasi ringan. Lidah buaya juga
memiliki efek antibakteri, antijamur, antivirus, antioksidan, dan antiinflamasi,
sehingga dapat digunakan secara eksternal untuk menyembuhkan luka dan telah
didukung oleh penyelidikan klinis (Ashwal et al., 2013).
Krim merupakan salah satu kosmetik yang paling banyak digunakan.
Sediaan ini sangat mudah diaplikasikan pada kulit dan mudah menyerap ke dalam
kulit. Penggunaan krim disini dimaksudkan untuk obat luar dengan cara dioleskan
pada kulit (Anief, 1999).
Salah satu aktivitas paling penting dalam suatu preformulasi yaitu

evaluasi kestabilan fisik suatu bentuk sediaan obat. Sediaan krim yang tidak stabil
akan menimbulkan terjadinya kriming, pemisahan fase, serta terjadinya inversi
fase (Anief, 1999). Ketidakstabilan krim dapat dideteksi dengan perubahan dalam
penampilan fisik, tekstur sediaan, serta kenyamanan saat pemakaian (Ansel 1989).
Sediaan krim yang baik seharusnya memenuhi kriteria yaitu stabil, lunak, mudah
dipakai, dan terdistribusi secara merata.
Zat pengental dan emulgator seperti setil alkohol dan asam stearat dalam
sediaan krim di sini haruslah tepat penggunaannya. Penggunaan yang kurang tepat
dalam formulasi akan menyebabkan krim menjadi terlalu keras, kental dan
1

2

berubah warna menjadi lebih gelap, sehingga menimbulkan rasa kurang nyaman
saat penggunaan dan sediaan krim yang kurang stabil (Ansel, 1989).
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui
pengaruh penggunaan asam stearat dan setil alkohol sebagai basis krim lidah
buaya terhadap evaluasi fisik dan stabilitas sediaan yang disimpan selama 2 bulan.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh kombinasi penggunaan asam stearat dan setil
alkohol sebagai basis krim lidah buaya terhadap sifat fisik dan stabilitas fisik
sediaan yang disimpan selama 2 bulan?

C. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui pengaruh kombinasi penggunaan asam stearat dan setil
alkohol sebagai basis krim lidah buaya terhadap sifat fisik dan stabilitas fisik
sediaan yang disimpan selama 2 bulan.

D. Tinjauan Pustaka
1. Spesifikasi Lidah Buaya (Aloe barbadensis)
a. Klasifikasi Lidah Buaya
Menurut Eko (2012), lidah buaya memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Angiospermae


Kelas

: Monocotyledoneae

Bangsa

: Liliales

Suku

: Liliaceae

Marga

: Aloe

Jenis

: Aloe barbadensis


b. Morfologi Lidah Buaya
Tanaman ini menyerupai kaktus merupakan jenis tumbuhan sukulen
(banyak mengandung cairan) dan banyak mengandung getah atau lendir (gel).
Ciri-ciri lain daunnya berbentuk pita dengan helaian memanjang melekat dari

3

bagian bawah satu dengan yang lain berhadap-hadapan membentuk roset, agak
runcing berbentuk taji, tebal, tidak bertulang, tepinya bergerigi/berduri kecil,
permukaan berwarna hijau dengan bintik-bintik putih keabuan. Tanaman lidah
buaya memiliki panjang 15-36 cm dan lebar 2-6 cm, sedangkan panjang daunnya
dapat mencapai 50-75 cm dengan berat 0,5 kg- 1 kg (Syahputra, 2008).
c. Kandungan Lidah Buaya
Komposisi terbesar dari gel lidah buaya adalah air sebanyak 99,5%.
Sisanya adalah padatan yang terutama terdiri dari karbohidrat yaitu mono dan
polisakarida. Nutrien yang terkandung dalam 100 gram gel lidah buaya terutama
terdiri atas karbohidrat, vitamin dan kalsium seperti yang tercantum pada tabel
berikut (Syahputra, 2008).
Tabel 1. Komponen lidah buaya

Komponen
Jumlah
99,5 %
Kadar air
0,30
Karbohidrat (g)
1,73-2,30
Kalori (kal)
0,05-0,09
Lemak (g)
0,01-0,06
Protein (g)
2,00-4,60
Vitamin A (IU)
0,50-4,20
Vitamin C (mg)
0,003-0,004
Thiamin (mg)
0,001-0,002
Riboflavin (mg)

0,038-0,040
Niasin (mg)
9,920-19,920
Kalsium (mg)
0,060-0,320
Besi (mg)

d. Khasiat Lidah Buaya
Dalam bidang kesehatan, kandungan polisakarida lidah buaya dapat
digunakan sebagai terapi tumor, antidiabetes, leukimia, metastase, sarcoma,
antineoplastic agent, melanoma, dan sebagai kanker radiotherapy (Kusumawati,
2008).
Dalam industri farmasi lidah buaya digunakan dalam pembuatan sediaan
topikal seperi salep, gel dan krim digunakan juga pada produksi tablet dan kapsul,
meningkatkan bioavailability dan absorbsi obat. Lidah buaya dapat digunakan
sebagai binder, disintegran, emulsifier, suspending agent, gelling agent (Hamman,
2008).

4


2. Krim
Krim merupakan bentuk sediaan emulsi setengah padat. Krim memiliki
beberapa tipe, seperti tipe air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A)
yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan
yang sesuai (mengandung air tidak kurang dari 60%). Krim biasanya dipilih tipe
emulsi minyak dalam air (M/A) karena bersifat mudah dicuci dengan air, selain
itu tipe ini lebih mudah dalam pengaplikasiannya. Tipe minyak dalam air
dilakukan dengan cara bahan yang bersifat berminyak dimasukkan dalam bahan
berair dengan bantuan emulgator yang sesuai sehingga akan membentuk
campuran yang homogen (Ansel, 2008). Sediaan krim dengan kandungan aktif
ekstrak tumbuhan paling banyak digunakan baik dalam masyarakat maupun pada
penelitian. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ashwal et al. (2013), dengan
menggunakan 3 macam ekstrak dari tumbuhan. Hasil penelitiannya menunjukkan
efek sinergis yang multiguna pada kulit dan stabilitas krim yang baik.
Metode pembuatan secara umum meliputi proses peleburan dan
emulsifikasi. Komponen yang tidak bercampur air (minyak dan lilin) dilebur
bersama pada temperatur 70-75oC diatas penangas air. Sedangkan semua larutan
berair yang tahan panas (komponen larut air) dipanaskan pada temperatur yang
sama. Larutan berair kemudian ditambahkan secara perlahan-lahan dengan
pengadukan yang konstan (biasanya dengan pengaduk mekanik) ke dalam

campuran berlemak tadi, temperatur dijaga selama 5-10 menit untuk mencegah
kristalisasi, lalu diaduk terus-menerus sampai campuran dingin dan kental (Ansel,
1989).
Sediaan yang stabil secara farmasetika terdiri dari berbagai macam bahan
tambahan seperti zat pengemulsi, pengawet, antioksidan, zat peningkat
konsistensi, dan humektan.
a. Zat pengemulsi
Pengemulsi dibedakan menjadi tiga yaitu surfaktan, koloid hidrofilik, dan
zat padat yang terbagi halus. Koloid hidrofilik dan zat padat yang terbagi halus
dapat digunakan sebagai pengemulsi satu-satunya, tetapi penggunaan terbesar
hanya sebagai pengemulsi pembantu. Pengemulsi dipilih berdasarkan stabilitas

5

shelf-life yang dikehendaki, tipe emulsi yang diinginkan, dan biaya pengemulsi
(Lieberman, 2008).
b. Bahan pengawet
Pengawet digunakan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme
terutama pada sediaan yang mengandung fase air seperti emulsi. Tipe emulsi
minyak dalam air sangat membutuhkan pengawet karena kontaminasi fase

eksternal mudah terjadi. Pengawet yang sering digunakan biasanya bersifat
fungistatik dan bakteriostatik. Pengawet yang biasanya digunakan yaitu metil-,
etil-, propil-, dan butil paraben, asam benzoat, dan senyawa amonium kuartener
(Depkes RI, 1995).
c. Antioksidan
Antioksidan ditambahkan pada sediaan semi padat untuk mencegah
kerusakan akibat oksidasi. Sistem dan pemilihan antioksidan tergantung beberapa
faktor seperti toksisitas, iritansi, potensi, tercampurkan, bau, perubahan warna,
kelarutan, dan kestabilan. Antioksidan biasanya digunakan pada konsentrasi
0,0001-0,1% misalnya asam galat, propil galat, asam askorbat, dll (Lieberman,
2008).
d. Pengental
Bahan peningkat konsisten (viskositas) atau pengental yang biasa
digunakan yaitu setil alkohol, emulgid, stearil alkohol, trietanolamin stearat, dan
golongan sorbitan (Swarbrick, 1995).
e. Humektan
Humektan digunakan dalam krim untuk menjaga kelembaban kulit
dengan mencegah penguapan air dari permukaan kulit, contohnya: gliserol,
sorbitol (5%) dan propilen glikol (Swarbrick, 1995).


3. Freeze Drying
Freeze dry atau pengeringan-beku merupakan suatu metode pengeringan
yang

prinsip

kerjanya

proses

liofilisasi.

Liofilisasi

merupakan

teknik

menghilangkan air melalui proses sublimasi yaitu perubahan bentuk padat atau es
menjadi bentuk gas. Tahapan kerjanya yaitu pembekuan, vacuum (proses


6

terjadinya sublimasi), panas untuk mempercepat proses sublimasi dan kondensasi.
Metode ini menggunakan suhu dibawah titik beku. Produk yang dihasilkan
dengan metode ini memiliki mutu yang tinggi. Terutama dalam bidang farmasi,
metode ini cocok digunakan untuk membuat sediaan dari bahan alam karena tidak
merusak struktur dan cocok untuk bahan yang tidak tahan oleh pemanasan tinggi
(Pujihastuti, 2012).

4. Deskripsi Bahan
a. Asam Stearat
Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari
lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat C18H36O2 dan asam
heksadekanoat C16H32O2. Pemerian zat padat keras mengkilat menunjukkan
susunan hablur; putih atau kuning pucat; mirip lemak lilin. Kelarutan praktis tidak
larut dalam air; larut dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam 2 bagian kloroform P
dan dalam 3 bagian eter P. Suhu lebur tidak kurang dari 54oC, khasiat asam stearat
sebagai zat tambahan, emulgator dalam sediaan krim (Depkes RI, 1979).
b. Setil Alkohol
Pada krim setil alkohol digunakan sebagai emolien, pengabsorpsi air, dan
zat pengemulsi. Selain itu juga dapat mempertinggi stabilitas, memperbaiki
tekstur sediaan, dan meningkatkan konsistensi. Setil alkohol merupakan wax,
serpihan putih, granul, kubus atau tuangan, sedikit beraroma, dan memiliki rasa
yang lemah. Titik didihnya 316-344oC dan titik leleh 45-52oC. Larut dengan
bebas dalam etanol (95%) dan eter, praktis tidak larut dalam air, serta bercampur
dengan dilelehkan dalam lemak, parafin padat dan cair, dan isopropil miristat.
Kelarutan setil alkohol akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu (Rowe
& Sheskey, 2003).
c. Oleum Cocos
Minyak kelapa merupakan minyak lemak yang diperoleh dengan
pemerasan endosperm kering Cocos nucifera, yang berfungsi sebagai bahan
tambahan. Minyak kelapa juga dipercaya berkhasiat untuk menghaluskan dan
melembabkan kulit dalam kosmetik. Minyak kelapa berupa cairan jernih, tidak

7

berwarna atau kuning pucat, baunya khas dan tidak tengik. Minyak ini larut dalam
etanol (95%) pada suhu 60oC, sangat mudah larut dalam kloroform dan eter, serta
memiliki titik lebur rendah yaitu 23-26oC (Depkes RI, 1979).
d. Gliserol
Gliserol berfungsi sebagai humektan pada sediaan krim memiliki BM
92,10 dan rumus molekul C3H8O3. Gliserol merupakan cairan seperti sirop, jernih,
tidak berwarna, tidak berbau, manis. Jikan disimpan beberapa lama pada suhu
rendah dapat memadat membentuk masa hablur tidak berwarna yang tidak
melebur hingga suhu mencapai lebih kurang 20oC. Kelarutannya, larut dalam air
dan etanol, praktis tidak larut dalam kloroform, eter, dan minyak lemak (Depkes
RI, 1979).
e. Metil Paraben
Metil paraben secara luas digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik,
produk makanan, dan formulasi farmasetika lainnya. Metil paraben berupa kristal
tidak berwarna atau serbuk kristal putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau
dan memiliki rasa seperti terbakar. Zat ini memiliki titik didih 125-128oC dan
kelarutan praktis tidak larut dalam minyak mineral dan larut dalam etanol, eter,
gliserin, propilen glikol, minyak kacang dan air (Rowe & Sheskey, 2003).
f. Trietanolamin (TEA)
Trietanolamin berupa cairan kental, tidak berwarna hingga berwarna
kuning pucat dan memiliki bau seperti amoniak. TEA memiliki titik didih 335oC,
titik leleh 20-21oC, dan sangat higroskopis. Zat ini larut dalam aseton, karbon
tetraklorida, metanol, dan air. TEA dapat berubah warna menjadi coklat akibat
terpapar cahaya dan udara. Dalam sediaan krim TEA berfungsi sebagai zat
pengemulsi (Rowe & Sheskey, 2003).

E. Landasan Teori
Ashwal et al. (2013) melakukan penelitian terhadap poliherbal kosmetik
yaitu ekstrak lidah buaya, ekstrak mentimun dan ekstrak wortel dengan
menggunakan jumlah asam stearat dan setil alkohol yang berbeda. Formulasi krim
poliherbal tersebut menggunaan asam stearat sebesar 6% b/b dan setil alkohol

8

sebesar 3-4% b/b yang menunjukkan spreadibility baik, konsistensi yang baik,
homogenitas yang baik, penampilan yang baik, pH yang hampir konstan, tidak
ada bukti pemisahan fasa dan kemudahan penghapusannya (Ashwal et al., 2013).
Lubis et al. (2012) melakukan formulasi dan uji stabilitas krim tetapi
menggunakan ekstrak jeruk Bali. Stabilitas yang baik ditunjukkan pada
pemakaian asam stearat sebesar 12 gram dan setil alkohol 0,5 gram. Sedangkan
Hanifah (2013) melakukan formulasi krim ekstrak batang nangka dengan jumlah
zat pengemulsi yang berbeda tetapi jumlah setil alkohol yang sama. Hasil
menunjukkan bahwa stabilitas krim yang baik ditunjukkan dengan penggunaan
setil alkohol sebesar 3% dan zat pengemulsi sebesar 75%.

F. Hipotesis
Krim lidah buaya yang menggunakan asam stearat sebesar 6% dan setil
alkohol 4% memiliki stabilitas fisik yang baik dengan tidak menunjukkan
perubahan warna, bau, homogenitas, pH, viskositas, daya lekat dan daya sebar
selama 2 bulan penyimpanan.