Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Strategi Koping pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahta di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Salatiga T1 462012092 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah
Kejadian disabilitas bisa terjadi di seluruh tempat
di dunia. Fakta global saat ini menyatakan bahwa sekitar
3% dari total jumlah penduduk dunia adalah penyandang
disabilitas. Menurut hasil penelitian Diono et al (2014),
ditemukan bahwa 15,3% populasi di dunia (sekitar 978
juta orang dari 6,4 milyar estimasi jumlah penduduk pada
tahun 2004) mengalami disabilitas sedang atau parah
dan 2,9% atau 185 juta mengalami disabilitas parah.
Hasil
ditemukan

penelitian
bahwa

Diono


et

al

(2014),

penduduk

di

Indonesia,

juga
yang

menyandang disabilitas sebesar 2,45%. Hal ini didukung
oleh

International


labour

Organization

(2015),

di

Indonesia jumlah penyandang disabilitas di Indonesia
adalah 11.580,117 orang dengan diantaranya 3,474,035
penyandang

disabilitas

penglihatan,

3,010,830

penyandang disabilitas fisik, 2,547,626 penyandang

disabilitas pendengaran, dan 1,389,614 penyandang

1

2
disabilitas mental serta

1,158,012 penyandang

disabilitas kronis.
Disabilitas

psikologis

menurut

klasifikasi

desa/kota banyak terjadi di perdesaan (36,6%) dibanding
di perkotaan dan pada disabilitas sosial (27,7%). Dari

jenis

pekerjaan

menunjukkan

bahwa

persentase

disabilitas psikologis yang tidak bekerja lebih tinggi
(45,4% dan 36,9%) dari pada kelompok jenis pekerjaan
lainnya. Sedangkan dari persentase jenis kelamin
disabilitas psikologis lebih tinggi pada wanita (36,6% dan
26,3%) dibandingkan pada laki-laki.
Dalam hasil laporan Riset Kesehatan Dasar,
2013), sekitar 83% penduduk penduduk Indonesia bebas
disabilitas/cacat. Didapatkan status disabilitas berbanding
lurus dengan umur, namun berbanding terbalik dengan
tingkat pendidikan. Dalam hal ini kelompok nelayan dan

kelompok

tidak pekerja merupakan kelompok dengan

disabilitas tertinggi. Prevalensi tunagrahita di Indonesia
saat ini diperkirakan 1-3% dari jumlah penduduk
Indonesia, sekitar 6,6 juta jiwa. Pada populasi usia 0-14
tahun prevalensinya berturut-turut 5,1% (93 juta orang)
dan 0,7% (13juta orang). Sedangkan pada populasi usia

3
15 dan ke atas sebesar 19,4% (892 juta orang) dan 3,8%
(175 juta orang).
Salah satu keterbatasan itu disebut dengan
tunagrahita. Menurut Muttaqin (2008), tunagrahita disebut
juga

retardasi

mental


merupakan

keadaan

fungsi

intelektual umum bertaraf subnormal yang dimulai dalam
masa perkembangan individu serta berhubungan dengan
terbatasnya kemampuan belajar maupun penyesuaian
diri dan proses pendewasaan individu tersebut atau
kedua-duanya. Menurut Apriyanto (2012) tunagrahita
adalah mereka yang kecerdasannya jelas di bawah ratarata. Di samping itu mereka mengalami kesusahan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang
cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulitsulit, dan yang berbelit-belit.
Kejadian tunagrahita akan sangat berdampak
pada keluarga, khususnya orang tua dari sang anak
tunagrahita. Dampak yang dihasilkan oleh adanya anak
tunagrahita adalah resiko-resikonya terjadinya masalah
atau stres bahkan gangguan psikologi dari sang care

giver. Hasil penelitian dari Prasa (2012), menunjukkan
bahwa

memiliki

anak

tunagrahita membawa

stres

tersendiri bagi kehidupan keluarga termasuk didalamnya

4
trauma psikologi, masalah dalam pengasuhan anak,
beban

finansial

menciptakan


dan

isolasi

sosial.

perasaan-perasaan

Hal

ini

negatif

akan
seperti

ketakutan, tidak berdaya dan perasaan melindungi anak
terlalu berlebihan sehingga akan mempengaruhi peran

seorang ibu dalam keluarga. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Triana dan Andriany (2010), tentang stres
dan koping keluarga pada anak tunagrahita menunjukkan
bahwa stressor keluarga dengan anak tunagrahita yaitu
pengorbaban
menegakkan

waktu

kerja,

kedisiplinan,

finansial,

stigma

kesulitan

masyarakat


dan

pertumbuhan anak terhambat serta kecemasan akan
masa depan anak.
Permasalahan-permasalahan
orang

tua

tersebut

yang

memerlukan

dihadapi

kemampuan


menyesuaikan diri terhadap setiap stressor dan tekanan
yang

menimpa

mereka

sehingga

konsep

untuk

mengelola stres inilah yang disebut dengan koping.
Untuk

itu

memiliki

menimbulkan

beban

anak

tunagrahita

fisik

dan

yang

dapat

mental

bagi

pengasuhannya harus mampu dikelola dengan baik
melalui mekanisme koping yang tepat. Menurut Hapsari
(dalam Permana, 2011), strategi koping merupakan

5
reaksi

terhadap

tekanan

yang

berfungsi

untuk

memecahkan, mengurangi, dan menggantikan kondisi
yang penuh tekanan.
Berdasarkan permasalahan di atas peneliti ingin
mencari tahu tentang strategi koping yang diterapkan
pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.
1.2.

Fokus penelitian
Fokus pada penelitian ini yaitu menggunakan
subjek pada ibu yang memiliki anak tunagrahita. Alasan
memilih ibu sebagai riset penelitian dikarenakan ibu yang
memiliki anak cenderung mengalami stres. Dengan
demikian

diharapkan

peneliti

dapat

memperoleh

gambaran

mengenai

strategi

coping

yang

lebih

mendalam pada subjek.
1.3.

Tujuan penelitian
Mengetahui gambaran strategi koping pada ibu yang
memiliki anak tunagrahita.

1.4.

Manfaat penelitian

1.4.1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
dalam

bidang

keperawatan

untuk

memberikan

pengetahuan dan informasi kesehatan pada orang tua
terutama pada anak dengan kebutuhan khusus sebagai

6
upaya

peningkatan

pelayanan

kesehehatan

yang

komprehensif.
1.4.2. Manfaat praktis
1. Bagi para ibu yang memiliki anak tunagrahita,
diharapkan penelitian ini dapat memberi informasi
pada mereka mengenai strategi koping yang
dilakukan dalam menghadapi anak yang mengalami
tunagrahita.
2. Bagi peneliti sebagai sarana untuk menerapkan ilmu
yang telah dipelajari selama perkuliahan dan
mengetahui

permasalahan

yang

timbul

dalam

keluarga yang memiliki dengan kelainan tunagrahita
dan cara mengatasi masalah tersebut.