Pengaruh terapi tari terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV AIDS

(1)

i

PENGARUH TERAPI TARI TERHADAP TINGKAT DEPRESI PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Tirza Yoga Nugroho

NIM : 099114128

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

'And, when you want something, all the universe

conspires in helping you to achieve it

-

Paulo Coelho

You educate a man; you educate a man. You educate a

woman; you educate a generation

-

Brigham Young

Izinkan alam semesta memberikan kekuatan bagi

hidupmu, dan lakukanlah segala sesuatu seperti

untuk Sang Misteri dan bukan untuk manusia


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan khusus untuk alam semesta dan Sang Misteri sebagai penciptanya. Karena telah memberi kesempatan kepada

seorang Tirza menjadi seorang perempuan yang ingin menguatkan banyak perempuan lain. Terimakasih Santa Edith Stein, santa pelindungku untuk selalu mengingatkan aku untuk menjadi tangguh. Untuk Papa, Mama, Ko Niu, Koko dan Ciciku. Untuk seorang Ayah Budi

yang luar biasa bagiku dan untuk Hendy Hardiawan yang selalu memberi aku semangat.


(6)

vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Desember 2014 Penulis


(7)

vii

PENGARUH TERAPI TARI TERHADAP TINGKAT DEPRESI PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS

Tirza Yoga Nugroho

ABSTRAK

Depresi merupakan gangguan mental yang paling umum terjadi. Depresi bisa terjadi kepada siapapun dari berbagai latar belakang usia, budaya, dan ras. Salah satu subjek yang rentan terhadap depresi adalah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). ODHA terutama perempuan memiliki kerentanan yang jauh lebih tinggi terhadap depresi karena pengaruh hormon dibanding ODHA laki-laki. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi tari terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS. Subjek penelitian adalah 32 perempuan dengan HIV/AIDS berusia 22-40 tahun di Yogyakarta. Penelitian mengajukan hipotesis bahwa terapi tari memiliki pengaruh terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS. Desain penelitian ini adalah Pretest-Posttest Control Group Design. Pengelompokan subjek ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara random. Analisis data menggunakan uji t menunjukkan nilai t (5,263) dan p=0,000 (p<0,005) dengan rata-rata gain score kelompok eksperimen (17,5) lebih tinggi dibanding rata-rata gain score kelompok kontrol (1,125). Dengan demikian hipotesis diterima.


(8)

viii

The Effect of Dance/Movement Therapy to Depression Level on Women with HIV/AIDS

Tirza Yoga Nugroho

ABSTRACT

Depression is a very common mental disorder. Depression may occur to everyone with a different background of age, culture, and race. One of the most potential subject of depression is PLWHA (People Living With HIV/AIDS). PLWHA especially women with PLWHA tend to be more vulnerable than men related to their hormones. This experiment research aims to find out the effect dance/movement thera py (DMT) to depression level on women with HIV/AIDS. The subjects were 32 women with HIV/AIDS aged 22-40 years old in Yogyakarta. The hypothesis says that dance/movement therapy (DMT) influence the depression level on women with HIV/AIDS. The research design is Pretest-Posttest Control Group Design. The subjects were divided into two groups, experiment group and control group with random assignment. Independent sample t-test show the value of t score (5,263) and p= 0,000 (p< 0,005). The average of experiment group gain score (17,5) is higher than the average of control group gain score (1,125). Therefore, the hypothesis is accepted.


(9)

ix

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Tirza Yoga Nugroho

NIM : 099114128

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“Pengaruh Terapi Tari terhadap Tingkat Depresi Perempuan dengan

HIV/AIDS”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perputakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet dan media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 15 Desember 2014 Yang menyatakan,


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan semesta alam yang telah memberikan berkat penyertaan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Pengaruh Tera pi Tari terhadap Tingkat Depresi P erempuan dengan HIV/AIDS.

Skripsi ini merupakan syarat tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian ini dapat terselesaikan berkat bantuan, masukan, saran, bahkan kritikan dari banyak pihak yang telah berkontribusi terhadap terselesaikannya karya tugas akhir ini. Oleh karena itu peneliti hendak mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma sekaligus Dosen Penguji 1 yang telah memberikan saran dan masukan.

3. Ibu M.M. Nimas Eki Suprawati, M.Si, Psi., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah dengan telaten dan sabar memberi dukungan dan bimbingan dengan segala kondisi dan keterbatasan saya. Terimakasih, Ibu.


(11)

xi

4. Ibu Debri Pristinella, M.Si., selaku Dosen Penguji 2 dan salah satu dosen favorit saya yang telah membantu memberikan saran dan masukan untuk karya ini.

5. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing akademik saya selama ini. Terimakasih untuk diskusi yang selalu bermakna bagi saya.

6. Romo Priyono Marwan, SJ yang telah bersedia membuka pemikiran saya lebih luas dan memberi saya semangat dalam mengejar dan menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan.

7. Mas Doni, Mas Muji, Mas Gandung, Bu Nanik, yang telah membantu saya selama berproses di Fakultas Psikologi.

8. Papa, Mama, Ko Diaz, Ci Santi, Ko Niu, Ik Nok dan Om Eddy yang sudah selalu bertanya “Kapan selesai?” dan sudah memberikan bantuan luar biasa sehingga saya bisa menempuh pendidikan ini.

9. Kesayanganku, Hendy Hardiawan, teman hidup, sahabat, kakak, adik, partner menari, bahkan teman bertengkar yang hebat. Terimakasih sudah membuatku selalu merasa dikasihi, disayangi, dan mampu melakukan banyak hal.

10.Bapak Hardi, bapakku dan juga mamakku, simbahku, dan adikku, Yogi Satriawan. Terimakasih, keluargaku, aku merasa sangat dicintai.

11.Sahabat-sahabatku, Tiara, Diana, dan Lani untuk support yang luar biasa selama ini. Ayo kita menari lagi.


(12)

xii

12.Virly Yuriken yang jauh disana, thank you ils, kalo ga ada lo gw pasti kaga selese nulis skripsi.

13.Ginza, Albert, Al yang selalu bikin ketir-ketir ngerjain ini karena pada uda mau selesai semua. Terutama Albert, thank you boy kita berjalan sampai akhir bersama-sama.

14.Asri Nurani, temen kimchil gw yang oke banget. Thank you bebs, selalu makes my day brighter than before dengan ke-embuh-an mu itu. Sukses buatmu juga ya 

15.Mba Anna dari Komisi Penanggulangan AIDS DIY yang sudah mau direpotkan berhari-hari untuk rekomendasi penelitian.

16.Mba Dyah, Mba Nur, Mas Rudy, Mas Even, Mba Virgie, Mba Ochi, Mba Krisna, dan semua teman-teman Victory Plus yang sudah mau memberikan saya kesempatan berproses bersama.

17.Kak Mega “Memey” Lestari Silalahi yang sudah menjadi terapis tari yang luar biasa dan teman berbagi yang manis.

18.Mas Iput Agustioko dan Jeffri Fernando Turnip untuk dokumentasi karya ini dan segala macam kerepotannya.

19.Kakak-kakak tingkat yang selalu mendukung, Kang Kreteng, Mas David, Mba Dessy, terimakasih banyak semua bantuannya.

20.Adik-adik tingkat, terutama Nyonyoku, Nathan Agung dan teman-teman asisten laboratorium, Fiona, Vira, Hoyi. Terimakasih semua support dan bantuannya ya..


(13)

xiii

21.Kak Clay Dengah yang selalu bawel nanyain sampai dimana progress skripsi. Thank you kak, lo the best lah!

22.Teman-teman Psikologi angkatan 2009, terutama Rani, Gusbay, Mas Panjul, Patrick, Andang, Keket, Ko Albert, dan Lisa. Thank you ya semua buat bantuan luar biasanya.

23.Terimakasih sangat banyak buat teman-teman kantor yang selalu seru. Vera, Danur, Uyeq, Mba Naila, Mas Yoyok yang mendukung aku ngerjain skripsi ini meskipun harus mencuri banyak waktu di jam kerja. Terutama direktur aku yang kece badai sedunia ga ada yang ngalahin, Inna Hudaya. Terimakasih, Teh.

24.Semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu per satu. Terimakasih. Peneliti menyadari bahwa karya ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu peneliti sangat mengharapkan adanya masukan dan saran untuk pengembangan penelitian ini.

Penulis,


(14)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING…………..

HALAMAN PENGESAHAN………...

HALAMAN MOTTO………

HALAMAN PERSEMBAHAN………

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH…...

ABSTRAK………

ABSTRACT………..

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…..

KATA PENGANTAR………...

DAFTAR ISI……….

DAFTAR TABEL……….

DAFTAR GAMBAR……….

DAFTAR LAMPIRAN……….

i ii iii iv v vi vii viii ix x xiv xviii xix xx

BAB I PENDAHULUAN


(15)

xv BAB II

B. RUMUSAN MASALAH………...

C.TUJUAN PENELITIAN……….

D. MANFAAT PENELITIAN……….

LANDASAN TEORI

A. TINGKAT DEPRESI PEREMPUAN DENGAN

HIV/AIDS

1. DEPRESI

a. Definisi Depresi………

b. Gejala-gejala Depresi………

c. Jenis-jenis Depresi……….

d. Faktor-faktor penyebab Depresi………….

e. Alat Ukur Depresi………..

2. PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS………..

B. TERAPI TARI………

C. PENGARUH TERAPI TARI TERHADAP

TINGKAT DEPRESI PEREMPUAN DENGAN

HIV/AIDS………...

7

7

8

9

10

15

17

19

20

20


(16)

xvi

D. HIPOTESIS……… 29

BAB III METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN……….

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN……

C. DEFINISI OPERASIONAL………..

D. SUBJEK PENELITIAN………

E. INSTRUMEN MANIPULASI………..

F. METODE PENGUMPULAN DATA………

G. DESAIN PENELITIAN………

H. PROSEDUR PENELITIAN……….

I. METODE ANALISIS DATA………..

30

30

31

32

32

34

34

34

37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. JENIS PENELITIAN………..…..

B. PELAKSANAAN PENELITIAN

1. TAHAP PRETEST………

2. TAHAP MANIPULASI/TREATMENT……

3. TAHAP POSTTEST……….

38

38

39


(17)

xvii

C. HASIL PENELITIAN

1. SUBJEK PENELITIAN………

2. DESKRIPSI DATA PENELITIAN………..

3. DATA OBSERVASI………

D. HASIL UJI STATISTIK

1. UJI ASUMSI

a. Uji Normalitas………..

b. Uji Homogenitas………..

2. UJI HIPOTESIS………

E. PEMBAHASAN……….

40

41

42

43

44

45

46

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN………..

B. SARAN………..

53

53

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

55


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Data Subjek Penelitian………. 40

Tabel 2 Data Deskriptif Penelitian……… 41

Tabel 3 Uji Normalitas Shapiro-Wilk………. 44

Tabel 4 Levene’s Test for Equality of Variances……….. 44


(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Dinamika Pengaruh Terapi Tari terhadap Tingkat Depresi Perempuan dengan HIV/AIDS


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Beck Depression Inventory II (BDI-II)..……….. 60

Lampiran 2 Hasil Perolehan Data Kelompok Kontrol……….. 65

Lampiran 3 Hasil Perolehan Data Kelompok Eksperimen………… 67


(21)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Depresi adalah gangguan mental yang paling umum terjadi dimana seseorang berada dalam tingkat suasana hati (mood) yang rendah dan enggan dalam melakukan aktivitas yang mempengaruhi pikiran, perilaku, dan perasaan seseorang (Salmans, 1995). Menurut World Heatlh Organization (WHO), depresi dialami hampir 121 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2010). Depresi dapat terjadi pada siapa saja dari beragam latar belakang usia, etnis, dan lingkungan. WHO menyatakan bahwa depresi dialami 20% wanita, 10% pria, dan 5% remaja baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan anak-anak pun bisa mengalami depresi oleh karena situasi dan kondisi tertentu dalam kehidupannya.

Salah satu subjek yang memiliki kecenderungan mengalami depresi cukup tinggi adalah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Menurut Direktorat Jenderal Pengenalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP) dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia hingga akhir tahun 2013 mencapai 52.348 orang baik laki-laki maupun perempuan dari berbagai latar belakang usia (http://spiritia.or.id). Di Yogyakarta sendiri angka penderita HIV/AIDS mencapai 2442 kasus atau sekitar 33% dari keseluruhan jumlah penderita


(22)

HIV/AIDS di Indonesia. Angka ini terhitung hingga bulan Desember 2013 (http://aidsyogya.or.id).

Secara umum, penderita HIV/AIDS mengalami shock ketika mereka didiagnosis mengidap HIV/AIDS (Miller dalam Wessel-Bloom, 2004). Respon lain yang mengikuti adalah stress karena hidup dengan HIV positif dapat menjadi sangat berat. Hal ini terkait dengan rasa kehilangan, baik kehilangan pekerjaan, kehilangan dukungan orang terdekat, dan kehilangan fungsi tubuh yang seharusnya. Individu yang didiagnosa penyakit berat dapat mengalami ketakutan dan mengalami ancaman terhadap self-image, kepercayaan diri, dan identitas dirinya (Kobayashi; Sugimoto; Matsuda; Matsushima; Kishimoto, 2008). Banyak bukti menjelaskan bahwa hampir setiap penyakit dipengaruhi emosi individu. Para penderita HIV/AIDS seringkali mengalami ketakutan dan merasakan ketidakpastian akan kehidupan akan kehidupan yang akan mereka jalani selanjutnya (Wessel-Bloom, 2004). Reaksi ketakutan individu dapat mempengaruhi tubuh dalam kinerjanya menghasilkan hormon epinefrin yang dikenal sebagai adrenalin. Hormon ini mempengaruhi munculnya emosi-emosi yang kuat seperti rasa marah atau rasa takut, serta merespon kesiapan tubuh terhadap stress (Seaward, 2012).

Selain reaksi yang ditimbulkan karena diagnosis HIV positif muncul, ODHA harus menghadapi penolakan dan pengabaian, serta deskriminasi dari masyarakat dimana mereka tinggal (http://aidsindonesia.or.id). Berbagai reaksi dari individu secara pribadi dan reaksi masyarakat dimana para ODHA berada dapat memicu timbulnya kecemasan dan depresi pada ODHA. Kecemasan dan


(23)

depresi ini juga dapat timbul karena rasa ketidakpastian yang dirasakan ODHA terhadap hidupnya (Miller, 1987). Biasanya simtom-simtom ini muncul sesaat setelah diagnosa HIV positif dan ketika komplikasi dari penyakit ini berkembang (Wessel-Bloom, 2004).

Beedham dan Wilson-Barnett (1995) melakukan studi yang memberikan hasil bahwa penderita HIV/AIDS mengalami depresi dan level depresinya sangat fluktuatif tergantung kejadian dan berbagai hal terkait perkembangan penyakitnya. Ketika ODHA mengalami depresi mereka merasa tidak ada satupun hal yang dapat membantu mereka. Selain itu, mereka juga mungkin akan kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri (Wessel-Bloom, 2004).

Dari keseluruhan ODHA, ODHA perempuan merupakan individu yang memiliki resiko dua kali lebih besar mengalami depresi (Penzak, Reddy & Grimsley, 2000). Hal ini dikarenakan perempuan cenderung memiliki tipe hormon yang berbeda dengan laki-laki. Ketika perempuan mengalami perubahan hormon, masa-masa ini dapat menjadi pemicu depresi pada perempuan (Nonacs, 2006). Penelitian yang dilakukan de Mello & Malbergier (2006) terhadap perempuan dengan HIV positif menunjukkan bahwa perempuan dengan HIV positif menghadapi kesulitan secara afektif dan dalam relasi seksual terkait problem dalam pernikahan dan perceraian. Selain itu, kemungkinana adanya depresi pada perempuan dengan HIV positif dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pekerjaan, atau lingkungan geografis mereka.


(24)

Depresi sebenarnya merupakan gejala wajar sebagai respon normal terhadap suatu pengalaman atau kejadian dalam hidup (Aditomo & Retnowati, 2004). Depresi menjadi maladaptif dan abnormal bila hadir dalam intensitas yang tinggi dan menetap. Literatur psikologi membedakan depresi abnormal menjadi dua, yaitu mayor (unipolar) dan mania (bipolar) (APA, 1994).

Terapi untuk depresi dikembangkan dengan beberapa teori psikologi yang popular. Ada lima teori etiologi yang popular membahas depresi dan terapi untuk depresi. Kelima teori tersebut adalah teori biologis, teori psikodinamika, teori kognitif, teori behavioral, dan teori sistem keluarga (Carr, 2001). Menurut teori biologis, predesposisi gangguan mood termasuk depresi mungkin diturunkan secara genetis (Andrew dalam Carr, 2001). Selain itu teori biologis menjelaskan bahwa rendahnya level hormon tiroksin dan tingginya hormon kortisol memiliki pengaruh terhadap meningkatnya simtom depresi (Deakin dalam Carr,2001).

Dalam terapi psikodinamika, individu dibantu mengenali dan memahami emosi, pemikiran, pengalaman masa lalu, dan menggali insight sehingga problematika yang dihadapi di masa sekarang dapat dilewati. Selain itu individu juga diajak mengevaluasi pola yang mereka kembangkan selama masa hidup mereka (http://goodtherapy.org). Selanjutnya terapi kognitif menyimpulkan bahwa individu mengalami depresi karena cara pandang yang salah terhadap dirinya sehingga memicu menurunnya penghargaan diri ( self-esteem). Rendahnya penghargaan diri inilah yang akhirnya memicu depresi. Terapi kognitif mengajak individu memposisikan kembali pola berpikir dan


(25)

perasaan mereka dengan perubahan yang terjadi dalam tubuhnya (http://goodtherapy.org).

Terapi behavioral menyimpulkan bahwa individu mengalami depresi karena berkurangnya penguatan pada diri individu sehingga terapi behavioral menekankan pemberian penguatan pada individu yang mengalami depresi. Teori terakhir yang juga membahas depresi adalah teori sistem keluarga. Teori ini menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh tekanan dalam hubungan keluarga, tidak adanya dukungan dari keluarga atau significant others, sistem kepercayaan, dan pola interaksi dalam keluarga (Carr, 2001). Terapi menurut teori ini menekankan kepada pemberian perhatian (caregiving) dan peningkatan pola interaksi keluarga yang lebih baik.

Terapi depresi lain yang menjadi populer adalah terapi tari atau dikenal dengan Dance/Movement Therapy (DMT). Terapi tari merupakan cabang termuda dari terapi seni (art therapy) dimana dalam penelitian yang pernah dilakukan Wessels-Bloom (2004) terhadap pasien ODHA memunculkan hasil yang positif. Melalui terapi tari ini, ODHA secara umum mengalami peningkatan dalam kondisi kesehatannya (Wessels-Bloom, 2004). Peningkatan ini dipengaruhi oleh meningkatnya kekebalan tubuh para ODHA yang dicapai melalui penguatan konstruk psikologis tertentu seperti stress, dukungan sosial, serta penghargaan diri yang diperoleh melalui DMT (Wessels-Bloom, 2004).

Terapi tari sendiri didefnisikan oleh American Dance/Movement Therapy

(ADMT) UK pada tahun 2004 sebagai berikut “dance/movement therapy is the


(26)

engage creatively in a process to further their emotional, cognitive, physical,

and social integration” (Karkou & Sanderson, 2006). Ritter & Low (1996, 1998) melakukan meta analisis di US dan dikalkulasi ulang oleh Cruz & Sabers (1998) menunjukkan bahwa terapi tari terbukti efektif menurunkan stress dan meningkatkan kesehatan bagi klien atau pasien dengan berbagai kesulitan kronis, pasien kanker payudara, pecandu alkohol, serta individu dengan gangguan mental tertentu (Karkou & Sanderson, 2006). Lebih dari itu, terapi tari juga dapat diterapkan pada semua individu dari berbagai latar belakang usia dan ras serta dapat dilakukan secara individu, berpasangan, ataupun kelompok (http://adta.org)

Fleksibilitas terapi tari yang dapat diterapkan dalam berbagai latar belakang budaya dan ras membuat terapi tari dipilih untuk terapi depresi yang baik (Seide, 1986). Berbeda dengan terapi seni lain seperti terapi musik, terapi gambar, dan terapi teater yang perlu penyesuaian terkait latar belakang budaya dan ras serta terkadang mensyaratkan terapi dilakukan secara kelompok (Behrends; Muller; Dziobek, 2012).

Terapi tari secara biologis terbukti dapat meningkatkan kemampuan seseorang sehingga tidak rentan terhadap depresi dan stress dengan meregulasi tingkat hormon serotonin dan dopamin. Kedua hormon tersebut membantu individu yang memiliki perasaan terisolasi karena situasi depresi karena AIDS merupakan penyakit yang mengisolasi penderitanya (Penzak et.al, 2000). Lebih dari itu, menari juga meningkatkan kepercayaan diri yang akan membantu individu meningkatkan self-esteem.


(27)

Perilaku non-verbal seperti tari mentransformasikan berbagai hal yang tidak dapat dituangkan dalam tulisan atau kata-kata atau gambar, sehingga terapi keratif ini memegang peranan penting dalam konseling interkultur dan psikoterapi karena hampir secara keseluruhan menyentuh tingkat ketidaksadaran (Wessels-Bloom, 2004). Tujuan terapi tari sendiri adalah untuk membebaskan emosi-emosi yang ditekan dan disimpan dalam tubuh sebagai tekanan dan keyakinannya terhadap nilai pelepasan katarsis tari (Chodrow, 2008).

Selanjutnya, terapi tari dapat meningkatkan komunikasi dimana individu dapat memanfaatkan ini sebagai sarana menjauhkan diri dari tekanan, kecemasan, kemarahan, mengurangi depresi, serta meningkatkan dan mengkonstitusi ulang bentuk tubuhnya (Seide, 1986). Terapi tari dapat diterapkan dalam berbagai latar belakang budaya dengan prinsip dasar bahwa bahasa tubuh merupakan bentuk komunikasi paling dasar yang dapat dipahami di berbagai budaya.

B.Rumusan Masalah

Apakah terapi tari berpengaruh terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terapi tari memiliki pengaruh terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS.


(28)

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menjadi sumbangan bagi dunia kesehatan mental dan psikoterapi bahwa terapi tari atau Dance/Movement Therapy (DMT) merupakan sarana mengungkapkan emosi-emosi yang ditekan dan mampu meningkatkan komunikasi individu, dalam hal ini ODHA perempuan, sehingga individu menurun tingkat depresinya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menjadi alternative terapi psikologis bagi ODHA perempuan karena terapi ini dapat menjadi sarana bagi mereka untuk mengekspresikan diri sekaligus melepaskan rasa terisolasi dari penyakit yang mereka derita. Selain itu terapi ini dapat menjadi sarana meningkatkan komunikasi dan menurunkan tingkat depresi.


(29)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A.Tingkat Depresi Perempuan dengan HIV/AIDS 1. Depresi

a. Definisi Depresi

Menurut DSM-IV depresi merupakan kondisi dimana seseorang merasa sedih, kosong, atau terganggu yang diikuti perubahan kognisi dan somatic yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas fungsional individu. Individu yang mengalami depresi akan merasa putus asa dan kehilangan harapan. Seringkali mereka berpikir mengenai kematian dan mengakhiri hidupnya atau bunuh diri karena merasa tidak mampu bangkit kembali dari keadaan mereka dan melakukan berbagai hal. Bahkan untuk penderita depresi mayor yang berat, berpakaian saja menjadi hal yang sangat berat untuk dilakukan.

Depresi akan diikuti oleh perubahan fisik, seperti gangguan makan atau gangguan tidur. Mereka yang mengalami depresi mungkin kehilangan nafsu makan atau malah makan dalam jumlah yang berlebihan. Mereka juga rentan mengalami kesulitan tidur, kesulitan berkonsentrasi, dan terus merasa lelah dan kehilangan energy. Beberapa penderita depresi bahkan


(30)

mengalami reaksi fisik seperti pusing atau rasa sakit yang seringkali tidak dapat dijelaskan (Lynch & Kilmartin, 2013).

Depresi mayor atau yang sering dikenal dengan istilah depresi unipolar terjadi dua kali lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki di berbagai belahan dunia. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung memiliki tipe hormon yang berbeda dibanding laki-laki. Para ahli meyakini bahwa pada saat perempuan berada dalam tahun-tahun reproduktifnya, perempuan mengalami fluktuasi hormon yang konstan, selain itu perubahan hormon yang fluktuatif ini dapat memicu depresi pada perempuan (Nonacs, 2006).

Dalam penelitian ini, pengertian depresi terbatas pada definisi dan etiologi yang dikemukakan oleh teori kognitif bahwa depresi disebabkan oleh adanya pandangan diri yang negatif sehingga berpengaruh terhadap menurunnya penghargaan diri (Carr, 2001). Depresi merupakan suatu gangguan yang berkaitan dengan perubahan suasana hati, adanya cara pandang diri yang negatif dan penyalahan diri, serta regresi dan keinginan untuk bunuh diri yang diikuti perubahan vegetatif serta perubahan tingkat aktivitas seperti retardasi dan agitasi (Beck, 1967).

b.Gejala-Gejala Depresi

Berdasarkan definisi yang dikemukakan Beck (1967), depresi dapat dikenali melalui gejala-gejalanya. Menurut Beck, gejala depresi dapat dikenali berdasarkan manifestasinya dalam diri individu. Manifestasi tersebut meliputi manifestasi emosional, manifestasi kognitif, manifestasi


(31)

motivasional, manifestasi fisik dan vegetatif, serta adanya delusi dan halusinasi.

1) Manifestasi Emosional

Manifestasi emosional depresi berkaitan dengan berbagai perubahan pada perasaan atau perilaku nyata individu yang secara langsung diakibatkan oleh keadaan emosinya. Gejala-gejala ini meliputi :

a) Dejected mood merupakan perasaan ditolak. Individu merasa kesepian, bosan, dan tidak memiliki siapapun.

b)Munculnya berbagai perasaan negatif mengenai diri sendiri, dalam gejala ini individu merasa benci terhadap diri sendiri dan merasa diri tidak berharga.

c) Hilangnya kepuasan, dalam hal ini yang dimaksud adalah kepuasan dalam melakukan berbagai hal yang biasanya dilakukan individu. Gejala ini sampai juga pada hilangnya kepuasan akan kegiatan makan, tidur, dan kepuasan seksual.

d)Kehilangan kelekatan emosional dengan orang lain atau kegiatan yang biasa dilakukan diikuti hilangnya kepuasan terhadap kegiatan tersebut.

e) Meningkatnya frekuensi menangis atau tidak dapat menangis meskipun sebenarnya ingin.

f) Kehilangan kegembiraan. Individu yang mengalami depresi kerap kali merasa kehilangan rasa humor dan kegembiraan.


(32)

2) Manifestasi Kognitif

Manifestasi kognitif terdiri atas tiga kelompok perilaku individu yang menyimpang. Kelompok pertama meliputi perilaku akibat tanggapan penderita yang menyimpang mengenai dirinya. Gejala-gejala yang termasuk dalam kelompok ini adalah penilaian diri yang rendah, gambaran diri yang menyimpang dan harapan yang negatif. Kelompok kedua menggambarkan dugaan pasien tentang penyebab terjadinya masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan kelompok ketiga adalah penyimpangan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Pada umumnya individu merasa bimbang dan terombang-ambing ketika harus mengambil sebuah keputusan (Beck, 1967).

Berikut ini adalah gejala yang termasuk dalam tiga kelompok seperti yang telah disebutkan di atas.

a) Penilaian yang rendah terhadap diri sendiri. Individu yang mengalami depresi melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang kurang dalam segala hal seperti kemampuan, kecerdasan, kesehatan, kekuatan, daya tarik personal, popularitas, dan kekayaan.

b)Adanya harapan yang negatif, individu cenderung murung dan pesimis terhadap berbagai hal serta kehilangan harapan. Mereka cenderung membayangkan hal-hal yang buruk dan menolak kemungkinan adanya perkembangan dalam kehidupannya.


(33)

c) Individu mencela atau mengkritik dirinya sendiri bila tidak dapat memenuhi atau melakukan tuntutan-tuntutan atau kewajiban-kewajiban yang terlalu tinggi.

d)Sulit mengambil keputusan, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun. Individu cenderung melakukan prokrastinasi dalam melakukan berbagai hal.

e) Memiliki gambaran diri (body image) yang buruk. Gejala ini lebih sering muncul pada perempuan dibanding pada laki-laki.

3) Manifestasi Motivasional

Manifestasi motivasional merupakan manifestasi yang tampak paling menonjol dalam depresi. Manifestasi ini meliputi pengalaman sadar akan hasrat dan dorongan-dorongan yang ada dalam diri individu. Gejala ini dapat dilihat dengan cara mengamati perilaku individu yang mengalami depresi. Karakteristik yang menonjol pada individu ditinjau dari manifestasi ini adalah adanya kemunduran sifat dasar (regressive nature). Individu menarik diri dari aktivitas yang sebenarnya berguna bagi dirinya. Mereka juga cenderung menghindar dari tanggung jawab, tidak memiliki inisiatif, serta mengalami penurunan kuantitas energi.

Gejala-gejala manifestasi motivasional secara lebih spesifik adalah sebagai berikut :

a) Hilangnya motivasi dan keinginan untuk melakukan berbagai aktivitas bahkan aktivitas yang paling sederhana sekalipun, seperti


(34)

makan, minum, atau mengkonsumsi obat untuk meringankan stressnya.

b)Keinginan untuk menghindar, melarikan diri, dan menarik diri dari berbagai aktivitas.

c) Keinginan untuk bunuh diri yang seringkali muncul.

d)Meningkatnya ketergantungan terhadap orang lain secara berlebihan. Ketergantungan disini dimaksudkan lebih pada keinginan untuk dibantu, dibimbing, atau diarahkan daripada proses nyata bergantung terhadap orang lain.

4) Manifestasi Fisik dan Vegetatif

Dalam manifestasi fisik dan vegetatif dijelaskan oleh beberapa peneliti sebagai bukti adanya gangguan otonomi dasar atau hipotalamus yang merupakan penyebab timbulnya depresi. Gangguan otonomis dasar merupakan gangguan pada sistem syaraf otonomis yang mengakibatkan gangguan pada detak jantung, tekanan darah, dan gangguan-gangguan lain yang sejenis. Sedangkan gangguan hipotalamus adalah gangguan pada bagian otak yang mengatur pengendalian emosi, fungsi tidur, dan fungsi fisiologis lainnya.

Manifestasi-manifestasi fisik dan vegetatif tampak pada hal-hal sebagai berikut :


(35)

a) Kehilangan selera makan

b)Gangguan tidur, bisa berupa insomnia atau hypersomnia c) Kehilangan dorongan seksual

d)Mudah merasa lelah 5) Delusi dan Halusinasi

Delusi atau yang dikenal juga dengan istilah waham adalah keyakinan yang keliru, yang tetap dipertahankan sekalipun dihadapkan dengan cukup bukti tentang kekeliruannya, dan tidak serasi dengan latar belakang pendidikan dan dosial budaya orang yang bersangkutan.

Sedangkan halusinasi adalah penghayatan (seperti persepsi) yang dialami melalui panca indera dan terjadi tanpa adanya stimulus eksternal. Delusi dan halusinasi merupakan gejala hilangnya kontak individu dengan realitas atau lingkungan (Fauziah & widury, 2008).

c. Jenis-Jenis Depresi

Depresi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Beck (1967) mengklasifikasikan depresi menurut penyebab (etiology) depresi yang menghasilkan depresi endogen dan depresi eksogen. Depresi endogen adalah depresi yang disebabkan oleh faktor internal atau dari dalam diri individu yang bisa berupa kekacauan biologis atau genetis individu. Depresi eksogen adalah depresi yang disebabkan oleh faktor eksternal atau dari luar individu. Faktor eksternal ini bisa berupa kejadian yang menyedihkan seperti kematian, kehilangan pekerjaan, atau kesulitan


(36)

finansial. Depresi eksogen seringkali disebut juga dengan istilah depresi reaktif karena terjadi setelah adanya sebuah kejadian pada diri individu.

Selanjutnya Beck (1967) mengemukakan klasifikasi selanjutnya berdasarkan tingkat aktivitas utama individu menjadi depresi agitasi dan depresi retardasi. Depresi agitasi ditandai dengan adanya aktivitas berlebihan atau tidak henti-hentinya. Individu cenderung tidak bisa berhenti bergerak, sering meremas-remas tangan, atau menggaruk bagian tubuhnya hingga terluka. Depresi retardasi ditandai dengan berkurangnya aktivitas spontan, dimana individu cenderung diam pada satu posisi dalam jangka waktu yang lebih lama dari jangka waktu normal.

Selain klasifikasi yang diberikan Beck, depresi juga diklasifikasikan berdasarkan fase depresi yang dialami individu yaitu depresi mayor (unipolar) dan depresi mania (bipolar). Pada depresi mayor individu akan mengalami kesedihan yang mendalam, kehilangan gairah terhadap hal-hal yang menyenangkan atau yang dulu pernah diminati. Sedangkan depresi mania ditandai dengan adanya periode mania yaitu adanya perasaan gembira, optimism, dan gairan yang berlebihan atau meluap-luap (APA, 2003).

Secara singkat, jenis depresi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) klasifikasi yaitu berdasarkan penyebab yakni depresi endogen dan eksogen, berdasarkan tingkat aktivitas utama yakni depresi agitasi dan depresi retardasi, dan berdasarkan fase depresi yakni depresi mayor(unipolar) dan depresi mania (bipolar).


(37)

d.Faktor-Faktor Penyebab Depresi

Faktor-faktor penyebab depresi dibedakan menjadi 4 (empat) dimensi yaitu dimensi biologis, dimensi psikologis, dimensi sosial, dan dimensi sosiokultural (Sue et al., 2008)

1)Dimensi Biologis

Pendekatan biologis terhadap penyebab depresi secara umum berfokus pada kecenderungan genetis, disfungsi fisiologis, dan kombinasi keduanya. Faktor genetika cenderung menjadi penyebab utama depresi pada individu. Selain itu, faktor biologis lain seperti fungsi neurotransmitter yang meningkatkan hormon kortisol yang menjadi penyebab utama depresi. Jika hormon ini tidak ditekan laju sekresinya akan memperburuk kondisi depresi individu.

2)Dimensi Psikologis

Ditinjau dari dimensi psikologis ada tiga sudut pandang yang diambil. Dari sudut pandang psikodimanima, individu dapat mengalami depresi ketika terjadi peristiwa keterpisahan misalnya karena seseorang yang dikasihi meninggal atau pergi. Selain itu individu dapat

mengalami depresi ketika kekurangan atau tidak mampu

mengekspresikan amarahnya. Selanjutnya dari sudut pandang behavioral, individu dapat mengalami depresi karena kehilangan seseorang yang dicintai hanya saja dalam sudut pandang ini lebih berfokus pada berkurangnya penguatan (reinforcement) individu setelah peristiwa kehilangan tersebut. Kemudian dari sudut pandang kognitif


(38)

memandang bahwa depresi disebabkan oleh karena pandangan individu yang negatif tentang berbagai hal di hidupnya. Pandangan negatif ini berlaku dalam cara individu memandang kesehariannya. Pandangan inilah yang berpengaruh terhadap menurunnya penghargaan diri ( self-esteem) sebagai faktor yang menyebabkan depresi.

3)Dimensi Sosial

Dimensi sosial berfokus pada hubungan dan stressor interpersonal serta dukungan sosial yang membuat seseorang rentan atau sebaliknya tahan terhadap depresi. Dimensi ini diangkat dari sudut pandang teori sistem keluarga. Hal ini dikuatkan dengan temuan bahwa orang-orang di dunia barat lebih rentan mengalami depresi karena adanya pola budaya dimana diri sendiri menajdi lebih penting dari orang lain sehingga seseorang sulit menemukan makna hidup dan mengarah kepada meningkatnya depresi (Sue, 2008)

4)Dimensi Sosiokultural

Dimensi sosiokultural berfokus pada budaya, demografi, dan faktor sosioekonomi yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya depresi. Contohnya, perempuan memiliki kecenderungan tingkat depresi yang jauh lebih tinggi dari laki-laki. Berbagai faktor biologis maupun psikologis juga telah dikemukakan terkait perbedaan jenis kelamin sebagai penyebab depresi. Nolen-Hoeksema (2010) mengemukakan hipotesis bahwa cara seseorang merespon suasana hati depresif berkontribusi terhadap kronisitas dan kambuhnya episode


(39)

depresi dalam dirinya. Perempuan cenderung memikirkan dan memperkuat suasana hati depresi mereka, sedangkan laki-laki cenderung meredam atau menentukan cara untuk meminimalkannya. e. Alat Ukur Depresi

Depresi oleh beck diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikenal sebagai Beck Depression Inventory II (BDI-II) dalam versi Bahasa Indonesia. BDI-II merupakan instrumen pengukuran mandiri yang terdiri dari 21 aitem pernyataan untuk mengukur tingkat depresi pada dewasa dan remaja di atas usia 13 tahun. BDI-II disusun sebagai indikator adanya simtom-simtom depresi sesuai kriteria DSM-IV. Instrumen ini dikembangkan oleh Aaron T. Beck, Robert A. Steer, dan Gregory K. Brown. BDI-II merupakan paper and pencil questionnaire yang pada umumnya diadministrasikan selama 5-10 menit oleh subjek sendiri atau disajikan seara oral (wawancara). 21 aitem pada BDI-II terdiri dari 4 skala rasio 0-3. Total skor yang mungkin adalah 0-63, dimana total skor ini nantinya dikonversi untuk mennetukan kondisi atau keberadaan simtom depresi pada individu (Community-University Partnership for the Study of Children, Youth, and Families, 2011).

Robinson (dalam Aditomo & Retnowati, 2004) mencatat bahwa BDI-II memiliki reliabilitas konsistensi internal yang baik yaitu 0,93 dengan reliabilitas test-retest 0,70. Leigh & Anthony Tolbert (2001) dalam The Pharma Innovation Journal (2013) menemukan reliabilitas test-retest BDI-II sebesar 0,76. Validitas BDI-BDI-II berkisar antara 0,6-0,9. Di Indonesia,


(40)

BDI-II telah diadaptasi dan diteliti beberapa kali reliabilitasnya. Prabandari (dalam Hasanat, 1994) mencatat reliabilitas BDI-II versi Bahasa Indonesia adalah sebesar 0,93.

2. Perempuan dengan HIV/AIDS

Perempuan dengan HIV/AIDS atau ODHA adalah individu berjenis kelamin perempuan yang telah positif terinfeksi virus HI (Human Immunodeficiency). ODHA adalah akronim dari Orang Dengan HIV/AIDS. Dalam bahasa Inggris ODHA disebut dengan PLWHA (People Living With HIV/AIDS).

B.Terapi Tari

Association of Dance/Movement Therapy (ADMT) memberikan definisi terapi tari sebagai penggunaan gerakan menjadi salah satu metode psikoterapi dimana seseorang dapat terlibat secara kreatif dalam sebuah proses integrasi emosional, kognitif, fisik, dan sosial yang lebih dalam (Karkou & Sanderson, 2006). Terapi tari berdiri dengan prinsip bahwa melalui gerakan ekspresif dan tari individu dapat ikut mengalami pertumbuhan personalnya karena terdapat hubungan antara gerak dan emosi seseorang (Payne, 1992). Melalui eksplorasi gerak yang dialami ini memungkinkan individu untuk meningkatkan keseimbangan secara spontan dan adaptif. Melalui gerak dan tari ini pula, individu berbagi simbol diri mereka ketika menari bersama rekan-rekannya yang memunculkan hubungan nyata antara satu individu dengan yang lain. Terapis tari memfasilitasi supaya tercipta suasana yang erat dimana setiap


(41)

perasaan individu dapat secara aman diekspresikan, dipahami, dan dikomunikasikan (Payne, 1992).

Pemahaman Jung (dalam Chodorow, 2008) terhadap nilai terapeutik dari pengalaman artistik sangat esensial terhadap teori dan praktek dari DMT. Menurut Jung, simbol dari diri seseorang muncul dari dalam diri melalui gerakan atau movement (Jung, 1969). Dalam hal ini individu diajak melakukan gerakan-gerakan (movements) sesuai dengan afek yang ingin digambarkannya. Melalui movements inilah individu diajak menyadari, menerima, dan memahami dirinya yang dalam pandangan humanistik cara ini mampu meningkatkan penghargaan diri (self-esteem) sebagai faktor penting dari kesehatan mental individu (Benson; Collin; Ginsburg; Grand; Lazyan; Weeks, 2012).

Movements itu sendiri memperkuat sistem kardiovaskular, sistem endokrin, sistem kekebalan tubuh, dan sistem syaraf pusat sehingga otak pun menjadi aktif melalui sistem motoric. Movements meningkatkan level endorphin dalam otak dimana ada 3 (tiga) neurotransimitter utama disana yaitu norepinephrine, dopamine, dan serotonin. Ketiga neurotransmitter ini berhubungan erat dengan mood, kognisi, perilaku, dan kepribadian sehingga terimplikasi pada efek peningkatan mood. Movements meningkatkan fungsi neurotransmitter yang membantu regulasi mood, mengontrol kecemasan, dan kemampuan mengatasi stress dan agresi, serta membuat individu menjadi semakin atentif dan mudah bersosialisasi (Hall, 1998).


(42)

Dalam terapi tari dikenal penggunaan active mirroring of movement yang dikenal juga dengan istilah empathetic reflection atau kinaesthetic empathy. Ketika individu melakukan gerakan secara bersama-sama, tumbuhlah empati dan perasaan positif terhadap rekannya yang mengarah kepada munculnya dukungan sosial, termasuk di dalamnya interaksi terapeutik dimana peran dari neuron mirror dalam keterlibatan empatis teridentifikasi (Karkou et al., 2012). Empati sendiri adalah kemampuan individu untuk memahami individu lain (Fischman dalam Chaiklin&Wengrower, 2009) sehingga melalui kinesthetic empathy juga terapis memfasilitasi perkembangan diri individu ketika prosesnya terhenti atau terganggu oleh suatu kondisi, misalnya depresi (Fischman dalam Chaiklin&Wengrower, 2009).

Bagi individu dengan depresi, DMT memungkinkan untuk memberikan efek positif. Contohnya, suasana hati individu akan meningkat karena penggunaaan gerak dan tari merupakan salah satu bentuk latihan fisik. Latihan fisik telah terbukti memberikan efek positif berupa relaksasi sehingga simtom depresi dapat berkurang/menurun (Mead, 2010). Perwujudan kreativitas, imajinasi gerak, penggunaan gerakan simbolis, dan penggunaan gerak sebagai metafora dapat menjadi ciri unik dari DMT yang melatarbelakangi adanya efek spesifik pada perubahan terapeutik individu (Karkou, 2006). Metafora gerak juga merupakan sarana yang berguna baik untuk mengurangi jarak emosional antara terapis dank lien serta mendekatkan jarak emosional terhadap perasaan dan kenangan klien yang menyakitkan (Karkou et al., 2012).


(43)

Proses kreatif dari DMT memiliki 4 (empat) tahap. Setiap tahap memiliki seperangkat tujuan yang berkorelasi dengan tujuan DMT yang lebih besar. Dalam penelitian ini, tujuan DMT adalah untuk mengekspresikan emosi individu dalam rangka menurunkan simtom depresi. Tahap-tahap DMT tergolong progresif dan biasanya ditinjau kembali dari keseluruhan proses DMT (http://adta.org). Adapun tahap-tahap tersebut adalah :

1) Preparation

Tahap ini merupakan tahap awal DMT atau disebut tahap persiapan dimana individu disiapkan untuk menjalani proses terapi. Pada tahap ini terapis menyiapkan ruang gerak yang aman dan nyaman tanpa gangguan dan pengalih perhatian dalam rangka membangun relasi supportif dengan individu-individu yang diterapi. Hal ini dilakukan dengan cara menyiapkan ruang terapi yang bersih dan lapang serta mencairkan suasana melalui introduksi diri terapis dan apa yang akan mereka lakukan bersama serta manfaat yang ingin dicapai bersama-sama. Pada tahap ini individu disiapkan untuk bergerak, secara biologis kondisi fisik mereka disiapkan supaya tidak mengalami shock dan ketegangan fisik ketika melakukan gerakan. Lebih dari itu, terapis memfasilitasi individu agar merasa nyaman dan aman untuk mulai bergerak dengan mata tertutup. Tujuan menutup mata saat bergerak ini adalah supaya masing-masing individu secara bebas dan tanpa judgement dapat mulai mencoba mengekspresikan perasaannya melalui gerakan. Selain itu menutup mata bertujuan agar individu mulai memupuk rasa percaya


(44)

dirinya karena antara satu sama lain berfokus pada diri masing-masing dan tidak melihat rekan-rekannya.

2) Incubation

Tahap ini adalah tahap relaksasi dimana individu diajak melepaskan kontrol kesadaran sehingga gerakan tubuh meraka menjadi simbol dari alam bawah sadar mereka. pada tahap ini individu masih bergerak dengan menutup matanya. Terapis mengajak individu untuk mulai bergerak mengikuti apa yang mereka rasakan dan pikirkan tanpa harus melihat rekan-rekan lain. Jadi, dalam tahap ini terapis sekaligus memfasilitasi individu untuk dapat mengeksplorasi perasaan mereka dan memaksimalkan ketubuhan mereka dalam gerak.

3) Illumination

Tahap ini adalah tahap dimana makna dari setiap gerakan menjadi lebih jelas. Bisa jadi gerakan yang muncul memuat emosi negatif atau emosi positif. Proses ini diintegrasikan kedalam kesadaran melalui dialog dengan terapis selama mereka bergerak. Melalui refleksi atau diskusi ini, individu dapat mengungkapkan pengalaman bawah sadarnya dan terapis dapat memberikan affirmasi dan penguatan yang dapat diterima oleh individu. Jadi, dalam tahap ini terapis mengajak individu untuk berbagi apa saja yang mereka ungkapkan melalui gerak-gerak yang tercipta. Melalui proses illumination inilah individu menyadari hal-hal mengenai dirinya, pengalaman masa lalunya, bagaimana cara pandangnya terhadap diri dan


(45)

pengalaman tersebut. Setelah mereka menyadarinya, individu diajak menerima kemudian menghargai apa yang sudah dilewatinya. Setelah individu menerima dan menghargai pengalaman mereka dan menyadari cara pandangnya, terapis mengajak dan mendorong individu untuk merubah cara pandangnya yang keliru dan negatif menjadi lebih positif.

4) Evaluation

Tahap ini merupakan tahap dimana individu dan terapis mendiskusikan signifikansi proses terapi dan mengeksplorasi pengalaman individu, serta mempersiapkan individu untuk mengakhiri sesi terapi. Terapis memberikan penguatan atau reinforcement untuk dapat melangkah lagi dari apa yang sudah pernah berhenti karena depresi yang dialami individu.

Gerakan tubuh sebagai komponen inti dari tari itu sendiri menjadi sarana penilaian dan intervensi dari terapi tari. Secara keseluruhan, terapi tari menggunakan kombinasi sudut pandang psikodinamika, behavioral, humanistik, dan kognitif. Individu diajak menyadari pengalaman masa lalu mereka menjadi salah satu indikator adanya sudut pandang psikodinamika. Pemberian reinforcement dalam rangka memberi pemahaman kepada individu bahwa “it’s okay to have a bad past time” menjadi ciri khas pandangan behavioral. Selanjutnya dari sudut pandang humanistik, terapi tari mengajak individu menerima dan menghargai apa yang menjadi pengalaman mereka dan menghargai diri mereka. Hal ini terkait dengan


(46)

self-esteem yang menjadi salah satu faktor depresi yang harus ditingkatkan untuk menurunkan tingkat depresi.

Akhirnya, setelah individu menyadari, menerima, dan menghargai diri dan pengalaman hidup mereka, mendapat penguatan (reinforcement) untuk melangkah lagi, mereka dapat mengubah cara pandang yang keliru dan negatif seperti yang dikemukakan teori kognitif bahwa cara pandang yang keliru dan negatif merupakan faktor penyebab depresi.

C.Pengaruh Terapi Tari terhadap Tingkat Depresi Perempuan dengan HIV/AIDS

Depresi paling utama disebabkan oleh rendahnya penghargaan diri ( self-esteem) dimana hal ini dimulai dari adanya pandangan yang keliru dan negatif terhadap diri sendiri dan pengalaman hidup yang telah dialami. Pengalaman ini dapat berupa kehilangan, baik karena kematian, perpisahan, atau penolakan dan deskriminasi. Dalam hal ini perempuan HIV/AIDS masuk ke dalam salah satu kategori ini, karena mereka mengalami penurunan penghargaan diri akibat status baru yang disandangnya sebagai ODHA. Mereka juga mendapatkan penolakan, baik dari masyarakat secara umum maupun orang-orang terdekat mereka yang seharusnya memberikan dukungan dan penguatan.

Depresi yang dialami oleh para perempuan dengan HIV/AIDS ini adalah depresi eksogen karena disebabkan oleh peristiwa yang menyedihkan atau menyakitkan. Menyadari bahwa fungsi tubuhnya dan dirinya tidak seperti dulu karena adanya virus HI menjadi stressor tersendiri yang memicu munculnya


(47)

depresi. Penolakan dan deskriminasi dari masyarakat menambah daftar stressor yang membuat simtom-simtom depresi muncul pada para perempuan dengan HIV/AIDS ini.

Secara biologis ketika individu mengalami depresi, sekresi hormon kortisol menjadi lebih tinggi. Melalui terapi tari sekresi hormon ini ditekan dengan meningkatkan level endorphin yang akan melepaskan hormon norephinephrine, dopamine, dan serotonin melalui gerak atau movement. Ketika level endorphin meningkat, kondisi mood yang negatif dankecemasan individu berkurang serta kemampuan individu mengatasi stress mengalami peningkatan (Kavanagh, 2009).

Selain itu, tahap incubation memfasilitasi individu untuk dapat mengekspresikan emosi-emosinya. Mereka dapat melakukan berbagai eksplorasi gerak sebagai bentuk ekspresi emosi dan diri mereka. Selanjutnya dalam tahap illumination, individu dapat menyadari diri, menyadari pengalaman masa lalunya yang mengarah kepada penerimaan akan diri mereka dan masa lalu mereka. Setelah individu menyadari dan menerima diri mereka, mereka mendapatkan affirmasi bahwa ”it’s okay to have those past times. It’s okay to have a positive and negative side” dan juga reinforcement bahwa mereka mampu dan bisa untuk melangkah lagi melanjutkan hidup. Hal ini merupakan salah satu cara bagi para perempuan dengan HIV/AIDS untuk dapat menyadari dan berpikir (thinking) mengenai memori dan pengalaman masa lalu yang memicu emosi negatif mereka. Kemudian mereka belajar mengintuisi berbagai hal yang ada dulu da nada sekarang, serta merasakan (feeling) gerakan


(48)

yang mereka lakukan sebagai bentuk ekspresi perasan mereka (Boeree, 2009) Dari sinilah penghargaan diri mereka dapat mulai ditumbuhkan dan penghargaan diri (self-esteem) yang meningkat menjadi indikator penting terhadap menurunnya simtom-simtom depresi.

Proses penyadaran, penerimaan, dan penghargaan diri yang terjadi menjadi titik awal dari meningkatnya penghargaan diri (self-esteem) dan dari situlah dimulai modifikasi pandangan negatif yang dimiliki individu secara kognitif. Ketika cara pandang yang keliru dan cenderung negatif ini berubah, individu dapat menjadi pribadi yang lebih sehat secara mental.

Para perempuan dengan HIV/AIDS ini pun akan mendapatkan manfaat lebih dari meningkatnya penghargaan diri mereka. Beberapa konstruk psikologis seperti stress dan depresi apabila diatasi akan memberikan pengaruh terhadap kesehatan fisik mereka dan sistem kekebalan tubuh. Wessels-Bloom (2004) dalam penelitiannya membuktikan bahwa kondisi psikologis seseorang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh sehingga tingkat keparahan penyakit dapat berkurang.

Lebih dari semuanya, terapi tari dapat menjadi sarana meningkatkan empati yang mengarah pada dukungan sosial, sehingga hubungan interpersonal dengan orang lain menjadi lebih baik. Ketika dukungan sosial didapatkan dan individu memiliki hubungan interpersonal yang baik, penghargaan diri (self-esteem) yang sudah ditumbuhkan tadi dapat semakin meningkat.


(49)

Gambar 1. Pengaruh Terapi Tari terhadap Tingkat Depresi Perempuan dengan HIV/AIDS

D.Hipotesis

Berdasarkan teori dan referensi penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini mengajukan hipotesis sebagai berikut :

Terapi tari dapat menurunkan tingkat depresi pada perempuan dengan HIV/AIDS.

HIV/AIDS PEREMPUAN PEREMPUAN dengan

HIV/AIDS

Tingkat Depresi Menurun

DEPRESI EKSOGEN

Depresi karena peristiwa yang menyedihkan

Menurunnya penghargaan diri

(self-esteem)

Penolakan dan deskriminasi

Menurunnya fungsi tubuh karena virus

HI

Terapi Tari / Dance/Movement Therapy (DMT)

Biologically

Meningkatkan level endorphin

IncubationStage

Individu mengekspresikan emosi

IlluminationStage

Individu menyadari, menerima, dan menghargai diri


(50)

30 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen ini ingin mengetahui pengaruh terapi tari terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS. Desain yang akan digunakan adalah Pretest-Posttest Control Group Design karena dalam desain ini baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dilakukan random assignment. Random assignment bertujuan menyetarakan kedua kelompok sehingga terkontrol konstansinya (Seniati; Setiadi; Yulianto, 2005). Dalam penelitian ini, tingkat depresi subjek diukur sebelum pemberian terapi dan setelah diberikan terapi baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.

B.Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variable Dependen (VD)

Dalam penelitian ini variable dependen adalah tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS.

2. Variable Independen (VI)


(51)

C.Definisi Operasional 1. Variable Dependen

Variable dependen dalam penelitian ini adalah tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS. Depresi merupakan kondisi dimana seseorang merasa sedih, kosong, atau terganggu diikuti perubahan kognisi dan somatic yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas fungsional individu.

Tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS diukur menggunakan Beck Depression Inventory II (BDI-II). BDI-II merupakan konstruk skala pengukur depresi yang disusun oleh Aaron T. Beck, Robert A. Steer, dan Gregory K. Brown. BDI-II terdiri dari 21 aitem yang memuat indikator-indikator simtom depresi berdasarkan DSM-IV. 21 aitem BDI-II ini terdiri dari respon yang berbobot 0-3 yang disusun berdasarkan konten emosional, dimana 0 mengindikasikan mood yang baik atau rendahnya perasaan depresif dan 3 mengindikasikan tingginya reaksi depresif (Gussak, 2007). 2. Variable Independen

Variable independen dalam penelitian ini adalah terapi tari. Terapi tari merupakan penggunaan gerakan kreatif sebagai salah satu metode psikoterapi untuk mengintegrasi emosi, kognisi, fisik, dan sosial individu. Gerakan-gerakan kreatif yang digunakan adalah gerakan-gerakan simbolik yang mewakili ekspresi emosi individu.

Manipulasi yang dilakukan terhadap variable independen ini adalah dengan membagi kelompok subjek menjadi 2 kelompok yaitu kelompok


(52)

eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok ini dibagi secara random. Subjek dalam kelompok eksperimen diberikan sesi terapi tari selama 5 sesi, masing-masing 60 menit dan subjek dalam kelompok kontrol tidak diberi perlakuan apapun.

D.Subjek Penelitian

Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah perempuan berusia 18-40 tahun yang disebut perempuan dewasa (Santrock, 1998) dan telah positif diperiksa secara medis menderita HIV/AIDS. Jumlah subjek adalah 32 perempuan yang akan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

E.Instrumen Manipulasi

Penelitian ini menggunakan instrumen manipulasi sebagai berikut : 1. Ruangan Tertutup

Terapi tari dilakukan di dalam ruangan tertutup untuk menghindari distraksi berupa suara atau aktivitas lain di luar ruangan yang mungkin menghambat jalannya terapi. Dalam terapi ini, terapi dilakukan di dalam studio tari dengan sirkulasi udara yang baik.

2. Musik Pengiring

Musik pengiring yang digunakan dalam terapi ini merupakan musik ilustrasi kontemporer. Terapi menggunakan musik ilustrasi supaya individu tidak terpancang pada ketukan instrument musik tertentu seperti apabila menggunakan musik tradisi. Tempo musik dalam terapi ini bervariasi,


(53)

mulai dari tempo lambat hingga tempo cepat dan ritme lembut hingga ritme yang keras.

Hal ini dimaksudkan agar musik dapat berperan sebagai trigger bagi klien untuk mengeksplorasi perasaan dan emosi-emosinya dalam situasi yang terbentuk bersama musik yang didengarnya. Terapis sekaligus memberikan penguatan dan affirmasi kepada subjek bersamaan dengan musik diperdengarkan.

3. Waktu Terapi

Terapi tari dilakukan pada hari dan jam yang sama setiap minggunya dengan asumsi bahwa subjek berada pada kondisi yang sama setiap kali mengikuti sesi terapi. Terapi dilakukan pada sore hari sesuai kesepakatan bersama antara peneliti, terapis, dan subjek penelitian.

4. Suasana Terapi

Terapi tari dilakukan dengan suasana lingkungan terapi yang tenang dan positif. Tenang disini dalam arti tidak ada distraksi berupa suara berisik dari luar ruangan atau suara keluar masuk pintu ruangan terapi. Positif disini dimaksudkan sebagai suasana dimana terapis memberikan motivasi dan kata-kata positif dalam rangka mengajak subjek untuk bergerak serta menciptakan hubungan yang baik dengan subjek supaya mereka tidak canggung untuk bergerak dan dapat mengekspresikan diri secara maksimal.


(54)

F.Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan alat penelitian berupa skala pengukuran depresi yaitu The Beck Depression Inventory-Short Form (BDI-II). BDI-II merupakan alat assessmen psikologi yang baku. Pertimbangan peneliti memilih skala ini adalah karena skala ini cukup popular dan telah diuji konsistensinya selama lebih dari 25 tahun. Selain itu, penelitian sebelumnya terhadap depresi pada ODHA perempuan secara umum menggunakan skala ini untuk mengukur tingkat depresi (de Mello; Malbergler, 2005).

G.Desain Penelitian

Desain penelitian eksperimen ini menggunakan Between Design, yaitu Randomized Pretest-posttest Control Group Design karena dalam desain ini baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dilakukan random assignment untuk menyetarakan kedua kelompok sehingga terkontrol konstansinya (Seniati; Setiadi; Yulianto, 2005). Selain itu peneliti melakukan balancing dengan cara mengatur pertemuan dengan subjek di kelompok eksperimen berbeda dengan subjek di kelompok kontrol. Selanjutnya, peneliti melakukan single blind cover story dimana subjek penelitian tidak tahu tujuan penelitian yang sebenarnya. Hal ini mengantisipasi adanya faking dalam perilaku subjek selama kondisi treatment.

H.Prosedur Penelitian

Prosedur pelaksanaan dalam penelitian ini melewati beberapa langkah sebagai berikut :


(55)

1. Penyusunan Materi Terapi Tari

Materi terapi tari yang diberikan sebagai perlakuan terhadap subjek penelitian disusun oleh peneliti bersama dengan seorang therapist tari yang telah memiliki pengalaman di bidang tari dan terapi tari itu sendiri. Therapist itu sendiri menurut Oxford English Dictionary adalah orang yang memiliki keterampilan khusus pada bidang yang diterapi (Soanes & Stevenson, 2003). Dalam hal ini therapist tari adalah orang yang memiliki keterampilan khusus pada bidang tari dan telah melakukan terapi tari secara professional.

2. Perizinan

Demi kelancaran kegiatan penelitian, peneliti meminta izin kepada Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melakukan penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a) Meminta surat pengantar pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang ditanda tangani oleh dekan fakultas. Surat ini menjelaskan bahwa peneliti adalah mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selain itu, surat ini juga menjelaskan maksud dan tujuan serta sasaran penelitian.

b)Menyerahkan surat pengantar tersebut ke Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memperoleh surat izin melakukan penelitian yang akhirnya diberikan 3 (tiga) hari setelah surat pengantar dari fakultas diserahkan ke KPA DIY.


(56)

c) Menyerahkan surat izin dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) Victory Plus, sebagai LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan ODHA dan memperoleh izin untuk melakukan penelitian 1 minggu setelahnya. 3. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

a) Opening

Peneliti memperkenalkan diri serta membangun rapport dengan subjek sehingga tercipta suasana yang akrab.

b) Pretest

Peneliti membagikan skala penelitian dengan acuan skala penelitian BDI-II untuk mengetahui tingkat depresi subjek sebelum treatment. c) Random Assignment

Peneliti membagi subjek menjadi 2 (dua) kelompok, tanpa melihat hasil pretest dan secara acak subjek dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

d) Briefing

Peneliti memperkenalkan terapis dan menjelaskan kepada subjek mengenai aktivitas yang akan dilakukan.

e) Sesi Terapi

Peneliti melakukan treatment bersama terapis sebanyak 5 kali terapi, masing-masing 60 menit. Penentuan 5 sesi dalam manipulasi didasarkan pada studi penelitian-penelitian lain dengan terapi tari yang rata-rata melakukan terapi minmal 3 sesi sehingga dapat melihat perubahan yang


(57)

terjadi pada subjek (Burger, Thompson, Saarikallio, Luck, Toiviainen, 2003; Cohen & Shamus, 2009).

f) Posttest

Peneliti membagikan skala penelitian yang sama seperti yang dibagikan sebelum terapi pada pertemuan keakraban setelah 5 kali sesi terapi untuk mengetahui tingkat depresi subjek setelah treatment.

g) Closing

Peneliti mengadakan sesi keakraban bersama subjek untuk mengucapkan terimakasih atas kerjasama yang dilakukan selama aktivitas terapi tari.

h) Follow Up

Peneliti melakukan follow up dengan melakukan terapi tari kepada subjek di kelompok kontrol untuk menghindari demoralization subjek pada kelompok kontrol.

I. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari pretest dan posttest tersebut dianlisa menggunakan independent sample t-test untuk melihat apakah terapi tari memiliki pengaruh terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS.


(58)

38 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti meminta izin dan rekomendasi dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti mengirim surat perizinan dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dengan melampirkan proposal penelitian kepada KPA DIY. Setelah itu KPA DIY memberikan surat izin dan rekomendasi untuk peneliti kepada LSM Victory Plus. Selanjutnya peneliti mengirimkan surat izin dan rekomendasi dari KPA DIY ke LSM Victory Plus kemudian berkoordinasi dengan staff LSM Victory Plus untuk pelaksanaan penelitian.

B.Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Pretest

Tahap pretest diakukan pada tanggal 13-14 Juni 2014 pada peremuan dengan status HIV positif. Pengambilan data pretest melibatkan 32 subjek yang dibagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing terdiri dari 16 subjek. Kedua kelompok tersebut adalah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol dilakukan pretest pada tanggal 13 Juni 2014 pukul 16.3- - 18.00 WIB. Kelompok eksperimen mendapatkan pretest pada tanggal 14 Juni 2014 pukul 10.00 – 11.30 WIB. Semua subjek pada


(59)

kelompok kontrol maupun eksperimen diminta mengisi 21 aitem apda skala Beck Depression Inventory II (BDI-II).

2. Tahap Manipulasi / Treatment

Manipulasi dilakukan pada kelompok eksperimen dengan jumlah subjek 16 orang perempuan ODHA. Subjek pada kelompok eksperimen mengikuti terapi tari selama 5 sesi yang berlangsung selama 90 menit setiap sesinya. Terapi tari merupakan penggunaan gerak atau tari dalam psikoterapi yang mengarah pada integrasi kognitif, emosi, fisik, dan sosial dalam diri individu. Kelompok kontrol tidak mendapatkan treatment apapun.

Terapi tari diberikan oleh seorang therapist yang sudah memiliki pengalaman di bidang terapi tari. Terapi tari disini bertujuan untuk menurunkan tingkat depresi pada subjek yang menyandang status HIV. Terapi tari dilakukan selama 5 sesi setiap hari Selasa dan Jumat pukul 16.00 – 17.30 WIB dan dimulai pada hari Jumat, 30 Juni 2014. Terapi tari ini dilaksanakan di Studio Miryam, Mrican, Sleman, Yogyakarta. Pada sesi terapi yang pertama, waktu terapi berlangsung lebih lama 30 menit karena subjek masih tampak menyesuaikan diri dengan aktivitas menari yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.

Beberapa subjek tampak kurang berminat pada awal sesi terapi, namun tampak lebih bersemangat di sesi kedua dan seterusnya. Bahkan, beberapa subjek tampak mulai berani mengkespresikan diri dengan gerakan tari yang dibuatnya sendiri sebagai ungkapan emosinya. Secara umum, subjek mampu mengikuti kegiatan terapi tari dengan baik.


(60)

3. Tahap Posttest

Posttest dilakukan pada hari Jumat, 18 Juli 2014 pada 16 subjek pada kelompok eksperimen dan 16 subjek pada kelompok kontrol. Posttest ini dilakukan setelah kelompok eksperimen mendapatkan 5 (lima) sesi terapi tari. Posttest dilakukan di Studio Miryam, Mrican, Sleman, Yogyakarta. Kelompok kontrol mengikuti posttest pada pukul 10.00-11.00 WIB dan kelompok eksperimen pada pukul 16.00-17.00 WIB.

C.Hasil Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah 32 orang perempuan ODHA berusia 22-40 tahun baik dari lini 1 ataupun lini 2. Lini 1 dan lini 2 ini merupakan indikator tingkat keparahan penyakit. Lini 1 adalah tingkatan awal dari HIV sedangkan lini 2 adalah tingkatan yang lebih tinggi atau lebih parah.

Tabel 1.

Data Subjek Penelitian

No Kelompok Jumlah Usia Status ODHA

1

2

Kontrol

Eksperimen

Total

16 orang

16 orang

32 orang

22-40 tahun

22-40 tahun

Lini 1 dan Lini 2


(61)

2. Deskripsi Data Penelitian

Nilai rata-rata (mean) dan jumlah subjek (N) pada penelitian ini dalam masing-masing kelompok adalah sebagai berikut :

Tabel 2.

Tabel Data Deskriptif Penelitian

No Keterangan Kelompok Subjek N Mean Standard Deviasi

1 2 3 Pretest Posttest Gain Score Kel. Eksperimen Kel. Kontrol Kel. Eksperimen Kel. Kontrol Kel. Eksperimen Kel. Kontrol 16 16 16 16 16 16 32,56 29,44 15,06 30,56 -17,5 -1,125 5,059 7,052 11,602 3,864 11,547 8,188

Apabila dilihat dari rata-rata gain score, kelompok eksperimen mengalami penurunan tingkat depresi sebesar 17,5 dan kelompok kontrol mengalami penurunan sebesar 1,125. Jika dilihat dari data keseluruhan, dari 16 subjek dalam kelompok kontrol, 6 subjek mengalami penurunan tingkat depresi, 8 subjek mengalami peningkatan, dan 2 subjek tidak mengalami perubahan tingkat depresi. Selanjutnya, dari 16 subjek dalam kelompok eksperimen, 14 subjek mengalami penurunan tingkat depresi, 1 subjek


(62)

mengalami peningkatan, dan 1 subjek tidak mengalami perubahan tingkat depresi.

3. Data Observasi

Data observasi dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan terhadap perilaku subjek selama 5 sesi terapi. Data ini dapat menjadi data tambahan terkait factor-faktor yang menggambarkan depresi subjek.

Terapi tari yang dilakukan selama 5 sesi dimulai dengan perkenalan subjek dengan terapis. Sebagai pembuka, terapis menari di hadapan subjek, sesaat setelah itu terapis mengajak subjek untuk sharing kesan apa yang timbul ketika melihat terapis menari. Beberapa subjek berani menyatakan pendapatnya. Secara umum mereka berpendapat bahwa tarian terapis membangkitkan ingatan mereka dan mereka seperti melihat diri mereka ada dalam sosok yang dibawakan terapis dalam tarian. Pada pertemuan pertama, secara keseluruhan subjek mengikuti kegiatan terapi dengan baik meskipun tampak masih malu atau canggung untuk bergerak.

Pada pertemuan kedua, secara umum subjek sudah mulai berani mengungkapkan ekspresi dirinya melalui gerakan. Mereka menirukan gerakan terapis dengan baik dan sesekali bertanya. Hal ini menunjukkan bahwa subjek sudah mulai membuka diri kepada terapis dan kepada rekan-rekannya. Akan tetapi, ada 2 subjek yang tampak masih diam dan terlihat tidak mau bergerak serta lebih banyak duduk.


(63)

Pertemuan ketiga, keempat, dan kelima secara keseluruhan subjek tampak sudah lebih nyaman mengungkapkan perasaannya melalui gerakan. Bahkan 2 (dua) subjek yang pada 2 (dua) kali pertemuan awal tampak diam sudah mulai mau bertanya kepada terapis bagaimana mereka bisa bergerak untuk mengungkapkan dirinya. Subjek lain tampak menyatakan keinginannya untuk menari lebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa subjek sudah mulai merasa percaya diri. Sharing yang dilakukan terapis dengan masing-masing subjek semakin interaktif dan meningkat pada 3 (tiga) pertemuan terakhir. Subjek semakin berani mengeksplorasi diri melalui gerak dan ini mengindikasikan bahwa kepercayaan diri sudah tumbuh dan hal ini dapat membantu meningkatkan penghargaan diri (self-esteem).

D.Hasil Uji Statistik 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan Test of Normality Shapiro-Wilk karena jumlah subjek keseluruhan ada dibawah 50 orang subjek (Santoso A, 2010). Uji normlitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data dalam populasi ini normal atau tidak. Pengujian dilakukan terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan gain score pada tiap kelompok. Gain score adalah hasil skor pretest dengan posttest.


(64)

Tabel 3. Tabel Uji Normalitas

Shapiro-Wilk

gain

Statistic

.961

Df

32

Sig.

.295

a. Lilliefors Significance Correction

Uji normalitas Shapiro-Wilk dengan data gain score kelompok eksperimen dan kontrol menghasilkan z score sebesar 0,961 dengan p=0,295 (p>0,05). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa data dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berdistribusi normal.

b.Uji Homogenitas

Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan Levene’s Test. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen memiliki varian yang sama.

Tabel 4.

Tabel Uji Homogenitas

Levene’s Test for Equality of

Variances

F Sig.

gain

Equal variances assumed

Equal variances not assumed


(65)

Uji Levene’s Test yang telah dilakukan menghasilkan nilai F sebesar 4,046 dengan signifikansi 0,053 (sig. F>0,05). Hal ini memberikan kesimpulan bahwa data daam kelompok kontrol dan kelompok eksperimen homogen.

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji beda atau uji t dari data subjek dalam kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Data yang digunakan untuk uji t adalah gain score dari masing-masing subjek dalam setiap kelompok.

Tabel 5. Tabel Uji t

Gain score total Equal variances

assumed

Equal variances not assumed Levene’s Test for

Equality of Variances

F

Sig.

4.046

.053

t-test for Equality of Means t df Sig.(2-tailed) Mean Difference 5.263 30 .000 18.62500 5.263 27.041 .000 18.62500 95% Confidence

Interval of Difference

Std. Error Difference Lower Upper 3.53892 11.39756 25.85244 3.53892 11.36254 25.88575


(66)

Uji Independent sample t-test yang dilakukan menghasilkan nilai t sebesar 5,263 dengan p=0,000 (p<0,05). Pengambilan kesimpulan dari uji hipotesis ini menggunakan perbandingan nilai probabilitas atau signifikansi, yaitu p=0,000 (p<0,05). Kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat perbedaan yang sangat signifikan pada gain score antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

E.Pembahasan

Hasil uji beda terhadap gain score kelompok kontrol dan kelompok eksperimen menghasilkan nilai p=0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perubahan tingkat depresi antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Perubahan tingkat depresi pada kelompok eksperimen jauh lebih besar dibandingkan perubahan tingkat depresi pada kelompok kontrol. Selanjutnya, apabila dilihat dari mean score masing-masing kelompok, mean gain score kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan mean gain score kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa subjek dalam kelompok eksperimen mengalami penurunan tingkat depresi.

Penurunan tingkat depresi yang terjadi dipengaruhi oleh metode terapi yang digunakan dan karakteristik terapis yang membawakan terapi. Terkait metode, terapis memberikan gerakan-gerakan ekspresif yang dilakukan subjek dimana ini membantu subjek mengalami pertumbuhan personalnya, karena terdapat hubungan antara gerak dan emosi seseorang (Payne, 1992). Contohnya, ketika subjek membuat gerakan yang mengekspresikan kemarahannya, kemudian


(67)

subjek berteriak. Dalam gerakan itu, subjek melepaskan emosinya dan menerima bahwa ia sedang marah. Setelah itu, subjek merasa bahwa ia harus “melangkah” dari rasa marahnya dengan meakukan sesuatu agar masalahnya teratasi. Perasaan dan kemauan subjek untuk “melangkah” dari masalahnya mnjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan personal dalam diri subjek.

Depresi yang diangkat dari para perempuan dengan HIV/AIDS ini adalah depresi eksogen yang disebabkan oleh adanya sebuah kejadian menyakitkan atau menyedihkan yang dialami subjek. Kejadian menyakitkan atau menyedihkan ini adalah adanya diagnosa bahwa subjek positif mengidap HIV/AIDS. Peristiwa ini menjadi stressor yang membuat subjek memiliki cara pandang atau pola pikir yang keliru mengenai dirinya dan masa depannya. Adanya kesalahan cara pandang yang cenderung negatif ini menyebabkan subjek kehilangan penghargaan diri (self-esteem) yang mengarah pada munculnya simtom-simtom depresi (Carr, 2001).

Terapi tari yang menggunakan sudut pandang psikodinamika, behavioral, dan humanistik memfasilitasi subjek meningkatkan penghargaan diri yang dimilikinya sehingga pola pikir dan cara pandang yang negatif dapat dirubah dan simtom depresi dapat diminimalisir kehadirannya. Terapi tari yang bertujuan melepaskan emosi yang selama ini “membeku” dalam diri subjek membantu subjek melakukan katarsis melalui tari (Chodrow, 2008). Contohnya, dalam terapi ini terapis memberikan pengertian kepada subjek untuk melakukan gerakan sesuai dengan afek yang ingin mereka tunjukkan; bisa afek marah, kecewa, menangis, senang, berbunga-bunga, dan berbagai


(68)

afek lain. Subjek diberi kebebasan untuk mengungkapkan gerak sesuai afeknya (Jung, 1969) baik melalui gerakan tangan saja, kaki, tubuh, kepala, atau ekspresi wajah saja.

Terapis menerapkan metode active mirroring movement atau kinesthetic empathy dimana subjek diajak meniruka gerakan terapis atau gerakan rekan-rekannya. Metode ini menumbuhkan empati dan perasaaan positif terhadap rekan-rekannya yang mengarah kepada dirasakannya dukungan sosial, perasaan dimana mereka merasa tidak sendirian. Lebih dari itu, metode ini membuat mereka seperti mengingat sesuatu di masa lampau dimana mereka ingin menjadi seperti orang yang dikaguminya dengan menirukannya. Disinilah apa yang disebut Martin (1939) sebagai “jejak” dari ingatan masa lalu muncul melalui pengalaman sensori-motor mereka.

Pada akhirnya, dengan menyadari apa yang mereka alami di masa lalu, subjek dapat belajar menerima masa lalu dan menyadari bahwa hal tersebut tidak dapat diubah. Selanjutnya, mereka terdorong untuk “melangkah” melanjutkan masa kini dengan lebih baik untuk masa depan tanpa harus menyalahkan atau menolak apa yang terjadi di masa lalu. Tari, sebagai salah satu bentuk latihan fisik sendiri membantu meningkatkan mood atau suasana hati subjek (Mead, 2010) karena efek relaksasi yang dihasilkan latihan tari ini, sehingga mereka lebih mudah menerima penguatan-penguatan dari terapis terkait masa lalu yang mereka ingat. Latihan fisik ini juga meningkatkan kekebalan tubuh subjek setelah mengikuti sesi terapi, hal ini dibuktikan dengan meningkatnya hasil tes kekebalan tubuh salah satu subjek.


(1)

DATA KELOMPOK EKSPERIMEN

Nama Subjek Pre-Test Post-Test Gain Score

A 31 21 10

B 27 8 19

C 40 7 33

D 31 2 29

E 34 21 13

F 36 37 1

G 26 20 6

H 37 31 6

I 31 7 24

J 29 14 15

K 37 23 14

L 27 3 24

M 44 7 37

N 30 8 22

O 32 32 0


(2)

LAMPIRAN 4


(3)

DATA HASIL OBSERVASI

1. PERTEMUAN I

Pada pertemuan pertama, peneliti memperkenalkan terapis kepada subjek. Terapis berbagi pengalaman bersama subjek dan peneliti mengenai tari dan pengalaman-pengalaman menarinya. Selain itu terapis juga menceritakan bagaimana menari menjadi bagian penting bagi hidup terapis dan peneliti. Sebagai persembahan perkenalan, terapis menari di hadapan subjek selama 5 menit. Tarian yang dibawakan adalah tari kontemporer. Setelah itu, subjek mulai berdinamika dan menari bersama rekan-rekannya dan terapis. Terapis mengajak subjek membuat gerakan sederhana sebagai simbol perkenalan diri mereka masing-masing. Setelah itu setiap subjek memperkenalkan dirinya melalui gerakan. Terapis kemudian membagi subjek menjadi dua kelompok dan memilih kapten. Terapis memberi instruksi kepada kapten untuk mengajak kelompoknya membuat gerak tari yang bercerita. Subjek diberi kebebasan memilih apa saja yang ingin mereka ceritakan. Mereka diberi waktu 30 menit untuk berdinamika di kelompok masing-masing. Dari 16 subjek, tampak 2 subjek yang kurang aktif dalam kegiatan ini. 1 orang subjek lebih banyak duduk dan melihat, dan yang lain tampak tidak melakukan apapun seperti teman-temannya.

Setelah 30 menit berlalu, masing-masing kelompok menari. Kelompok yang pertama menceritakan pengalaman mereka berumah tangga. Mereka membuat gerakan-gerakan sederhana yang menjadi simbol aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga mereka dan dinamikanya. Gerakan-gerakan yang disimbolkan antara lain memasak, menyapu, ngobrol dengan pasangan, pertengkaran, dan menangis. Kelompok kedua menceritakan pengalaman mereka menjadi seorang murid di sekolah. Gerakan-gerakan yang disimbolkan antara lain menulis, bemain, dan dihukum oleh guru. Dinamika berlangsung selama 30 menit. Setelah itu, seluruh subjek melakukan pendinginan dipimpin terapis dan kemudian istirahat. Ketika beristiraha, peneliti dan terapis bersama-sama mengajak subjek sharing terkait kegiatan menari hari itu.


(4)

2. PERTEMUAN II

Pertemuan kedua dimulai dengan pemanasan yang dipimpin oleh terapis. Setelah itu terapi memberikan kain-kain kepada subjek sebagai properti yang akan mereka gunakan untuk menari. Pada pertemuan kedua ini, dokumentasi sudah mulai dilakukan sesuai kesepakatan dengan semua subjek penelitian. Terapis mulai memberikan contoh gerakan dengan kain yang dibagikan. Terapis memberikan clue bahwa gerakan yang dilakukan itu menceritakan kisah hidupnya. Sesaat kemudia, tampak beberapa subjek mengajukan diri untuk melakukan gerakan yang menjadi ceritanya. Setiap satu subjek melakukan gerakannya, subjek lain memperhatikan dan memberi apresiasi berupa tepuk tangan. Beberapa subjek sempat tampak canggung dan menolak melakukan gerak. Akhirnya, pada pertemuan ini ada 8 subjek yang melakukan gerakan dan menceritakan mengenai kisahnya dalam tarian.

Pada pertemua kedua ini, kedua subjek yang tampak kurang aktif dan berminat terhadap kegiatan ini masih terlihat banyak duduk dan menunjukkan ekspresi kurang berminat. Akan tetapi, satu subjek sudah mau membaur bersama rekan-rekannya meskipun tampak kaku dan menunjukkan ekspresi tidak nyaman. Pertemuan kedua ditutup dengan pendinginan dan sharing

bersama terapis dan peneliti.

3. PERTEMUAN III

Pertemuan ketiga dimulai dengan pemanasan yang dipimpin terapis. Peneliti kemudian membagikan rok panjang sebagai properti tari hari itu. Terapis kemudian memberikan beberapa gerakan dengan rok sebagai propertinya. Terapis membuat gerakan-gerakan yang manis dan tersenyum

ketika menari. Terapis mengatakan,”aku cantik ketika aku tersenyum dan bahagia.” Para subjek bertepuk tangan dan mulai melakukan gerakan-gerakan cantik yang mereka suka. Terapis mengamati dan memberikan reinforcement

dan affirmation sebagai umpan balik terhadap gerakan-gerakan yang diungkapkan oleh subjek. Seluruh subjek tampak tertawa dan menunjukkan ekspresi senang. Mereka berinteraksi dengan rekan-rekan mereka dan mulai


(5)

saling bercerita lewat tarian mereka. Pada pertemuan ini kedua subjek yang sebelumnya tampak kurang berminat sudah terlihat berbaur dan menari seperti rekan-rekannya.

Pertemuan ketiga ditutup dengan pendinginan dan sharing bersama peneliti dan terapis. Para subjek saling membagikan pendapat bagaimana mereka menjalani kegiatan pada pertemuan ini, bahkan kedua subjek yang awalnya tampak diam dan kurang berminat mulai mengutarakan pendapat positif terkait kegiatan ini.

4. PERTEMUAN IV

Pertemuan keempat dibuka dengan pemanasan yang dipimpin salah satu subjek. Subjek ini memimpin rekan-rekannya dan terapis melakukan pemanasan dengan gerakan yang ia ciptakan sendiri. Selesai pemanasan, terapis membagi subjek menjadi lima kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 2-3 orang. Terapis membagikan kain berukuran besar kepada setiap kelompok. Masing-masing kelompok diminta untuk masuk ke dalam kain besar tersebut. Kain-kain tersebut adalah simbol atas masalah mereka. terapis memberikan instruksi untuk merobek kain tersebut sebagai simbol bahwa mereka mengatasi masalahnya dan beranjak melanjutkan hidup.

Pertemuan ditutup dengan pendinginan dan sharing. Masing-masing subjek memberikan pendapatnya mengenai kegiatan hari ini. Secara umum, mereka memahami apa yang mereka lakukan dan mengambil kesimpulan bahwa mereka mampu bersama-sama memecahkan masalah yang menjebak mereka dalam keterpurukan.

5. PERTEMUAN V

Pertemuan ini dibuka dengan adanya seorang subjek yang menari dengan gerakan-gerakan yang cantik dan mengajak rekan-rekannya menari. Terapis kemudian bergabung bersama mereka. Sesaat kemudian terapis mengajak mereka membentuk lingkaran dan bergerak bersama dalam lingkaran tersebut. Lingkaran itu adalah simbol keutuhan, bahwa mereka semua adalah diri yang


(6)

utuh, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Beberapa subjek tampak meneteskan airmata dan memeluk rekan di samping kanan dan kirinya. Terapis memberikan waktu kepada mereka untuk menikmati waktu-waktu ini sembari memberikan penguatan agar mereka menyadari diri, menerima, dan

memahami bahwa “it’s okay to have an HIV, aku tetap berharga, aku tetap

berguna bagi orang lain, aku tetap seorang perempuan yang berharga dan

layak dicintai. Aku berdaya dan aku bisa.” Beberapa saat setelah itu terapis mengajak mereka bergembira dan menari lagi dengan gerakan-gerakan yang lebih enerjik sebagai simbol bahwa mereka harus semangat melangkah lagi.

Pertemuan ditutup dengan pendinginan dan sharing. Sharing dibuka dengan pengalaman yang dirasakan seorang subjek selama lima sesi terapi dan disusul dengan subjek lain. seluruh subjek merasakan hal yang hampir sama. Mereka mengatakan bahwa mereka merasa gembira dan lepas ketika menari.