PENDAHULUAN Efektifitas Terapi Kelompok Suportif Ekspresif Dalam Menurunkan Depresi Depresi pada Orang Dengan HIV/AIDS.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

The Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu ancaman serius dunia. HIV/AIDS adalah salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia (WHO, 2011). Keberhasilan memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di suatu negara sebagaimana yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs). Ini juga menjadi target dan perhatian khusus pemerintah Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka penambahan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa jumlah kasus baru HIV pada tahun 2011 dan 2013 mengalami peningkatan. Penemuan kasus baru HIV meningkat dari 21.511 orang pada tahun 2012 menjadi 29.037 pada tahun 2013. Secara kumulatif jumlah penemuan kasus HIV/AIDS mulai 1 April 1987 hingga 31 Maret 2014 adalah 134.042 kasus HIV, 54.231 kasus AIDS dan 9.615 kematian yang disebabkan oleh virus ini. Jawa Tengah menempati urutan ke 8 dari 33 propinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif penemuan kasus HIV/AIDS terbanyak yaitu 7.584 kasus HIV dan 3.339 kasus AIDS (Kemenkes RI, 2014). Pada data yang disampaikan Ditjen PP&PL Kemenkes RI tersebut juga


(2)

menyebutkan bahwa tingkat prevalensi kasus AIDS di propinsi Jawa Tengah sendiri menempati urutan ke 19 terbanyak dari 33 propinsi di Indonesia yaitu 10,31 per 10.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014).

Pada bulan Agustus 2014, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) menyelenggarakan asistensi program penanggulangan HIV/AIDS kabupaten Blora. Berdasarkan penuturan langsung Lilik Hernanto, Kepala Bidang Pencegahan Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2PLP) Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, KPA menyampaikan bahwa jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan di Jawa Tengah mulai Tahun 1993 sampai dengan Juni 2014 sebagaimana dilihat dalam gambar 1 di bawah ini.

Sumber : Presentasi KPA Provinsi Jawa Tengah yang disampaikan pada kegiatan Asistensi Program Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Blora Tahun 2014.


(3)

Blora merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jawa Tengah yang memiliki angka penemuan kasus HIV/AIDS yang cukup fluktuatif walaupun tidak termasuk ke dalam daerah rawan HIV/AIDS. Pada tahun 2012 di kabupaten Blora ditemukan 20 kasus HIV baru dan 8 kasus AIDS baru, sedangkan pada tahun 2013 ditemukan 18 kasus HIV baru dan 12 kasus AIDS baru (Badan Pusat Statistik, 2014). Dinas Kesehatan Kabupaten Blora sebagai instansi pemerintah yang memberikan pelayanan kesehatan telah bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) mendirikan Klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) dan Care, Support and Treatment (CST) di RSUD dr. R. Soetijono Blora dan di RSUD dr. R. Soeprapto Cepu dalam upaya mendukung tercapainya

MDG’s. Klinik VCT di RSUD dr. R. Soetijono Blora sendiri mulai membuka

pelayanan Januari 2011 dan hingga saat ini menyediakan layanan VCT (konseling dan tes HIV sukarela) dan CST (pelayanan, dukungan dan perawatan) termasuk penyediaan obat.

Dr. Windi Indah Habsari, dokter penanggungjawab klinik VCT dan CST RSUD dr. R. Soetijono Blora melalui wawancara langsung menyatakan bahwa ketika seorang dokter menyampaikan hasil diagnosis kepada seseorang yang mengidap penyakit HIV tidak semudah ketika menyampaikan diagnosis hepatitis walaupun secara penularannya justru lebih mudah pada penyakit hepatitis. Penyakit HIV/AIDS menimbulkan beberapa permasalahan yang cukup serius bagi penderitanya. HIV menyebakan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Perjalanan penyakit HIV yang terbagi dalam empat stadium secara fisik menimbulkan kerentanan terhadap beberapa penyakit seperti


(4)

munculnya penyakit TBC, infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur, pembengkakan kelenjar getah bening, muncul herpez zoster berulang dan bercak gatal di seluruh tubuh (Nursalam & Ninuk, 2007). Pada akhirnya penderita HIV/AIDS akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari–hari bahkan mereka tidak mampu lagi untuk bekerja. Ketidakmampuan mereka untuk bekerja mengindikasikan bahwa mereka mengalami penurunan kualitas hidup (Diatmi & Fridari, 2014).

Selain permasalahan fisik di atas, penyakit HIV/AIDS juga berdampak terhadap kondisi psikologis penderita. AIDS oleh masyarakat umum dianggap suatu penyakit yang cukup menakutkan dan merupakan isyarat atau vonis bahwa penderita telah dipastikan akibatnya akan meninggal (Riyanto, 2006). dr. Windi lebih lanjut menyampaikan bahwa stigma negatif yang berkembang di masayarakat Blora yang menganggap penyakit HIV sangat erat kaitannya dengan homoseksualitas, biseksual, pelacuran dan penggunaan narkoba dengan jarum suntik menyebabkan penderita menjadi malu jika orang lain mengetahui penyakitnya. Selain itu, masyarakat menjadi takut tertular sehingga menghindar sejauh mungkin melakukan kontak dengan penderita yang menyebabkan penderita merasa terasing bahkan dengan keluarganya sendiri. Reaksi pertama yang diperlihatkan oleh sebagian besar pasien yang baru mengetahui penyakitnya adalah menangis, mempertanyakan kesalahan apa yang telah diperbuat hingga ia harus menerima kenyataan ini, menyalahkan pasangannya jika yang menjadi penyebab penularannya melalui pasangan, merasa tidak berguna, dan muncul ketakutan akan datangnya kematian. Beberapa hari kemudian mulai


(5)

menampakkan perilaku depresi seperti mengurung diri di kamar, tidak mau makan sehingga berat badan turun.

Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Pardita (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada perbedaan kondisi psikologis seseorang, sebelum dan sesudah terkena HIV/AIDS yang meliputi tingkat stress, tingkat frustrasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, dan rasa berduka. Reaksi psikologis dirasakan secara signifikan oleh responden setelah terkena penyakit HIV/AIDS. Selain itu, masalah yang dialami ODHA baik secara fisik maupun psikologis muncul stress, penurunan berat badan, kecemasan, gangguan kulit, frustrasi, bingung, kehilangan ingatan, penurunan gairah kerja, perasaan takut, perasaan bersalah, penolakan, depresi bahkan kecenderungan bunuh diri (Wahyu, Taufik & Asmidirllyas, 2012). Depresi merupakan suatu penyakit yang berkaitan dengan tubuh, perasaan dan pikiran, dimana efek yang ditimbulkan mempengaruhi pola makan, tidur, mood dan pikiran seseorang (Shiel & Stooppler, 2008).

Depresi merupakan gangguan mental terbesar yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit terminal atau kronik. Prevalensi munculnya gangguan depresi yang disebabkan oleh penyakit HIV mencapai 22% hingga 45% (Mello, Sequrado & Malbergier, 2010) bahkan dapat mencapai 20% hingga 79% tergantung dengan populasi, masa penelitian dan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat depresi (Dal-Bo, Manoel, Filho, da Silva, Cardoso, Cortez, 2013). Dalam pertemuan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Cahaya Mustika pada tanggal 1 April 2015 di Klinik VCT-CST RSUD dr. R. Soetijono Blora,


(6)

yang dihadiri oleh delapan belas penderita HIV/AIDS yang berdomisili di kabupaten Blora, bahwa sebagian dari mereka menunjukkan gejala depresi seperti merasa sedih, malu, berkecil hati dalam menghadapi masa depan, takut akan kematian, sering menangis jika sedang sendiri, merasa kecewa pada diri sendiri maupun pasangannya, merasa bersalah hingga pantas untuk dihukum, mudah marah, merasa tidak puas terhadap apa saja yang ada, merasa tidak berharga. Kondisi psikologis tersebut sangat berpengaruh pada kesiapan pasien menjalani pengobatan lebih lanjut.

Suhariatini, S.ST perawat klinik VCT-CST RSUD dr. R. Soetijono Blora melalui wawancara langsung menyampaikan bahwa tidak semua pasien yang datang dan telah diberikan konsultasi seputar HIV/AIDS bersedia melakukan tes HIV meskipun mereka memiliki faktor resiko. Salah satu pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Suaminya penderita AIDS dan telah meninggal dunia. Ia menolak melakukan tes HIV karena secara mental belum siap menerima diagnosis dokter, cenderung menolak kenyataan, selain itu ia merasa takut jika orang lain atau anggota keluarganya mengetahui penyakitnya. Petugas tidak dapat memaksa pasien walaupun disisi lain hal ini mungkin akan membahayakan dirinya sendiri karena tidak segera mendapatkan penanganan, serta kemungkinan menularkan kepada orang lain jika hasil tesnya positif.

Salah satu upaya agar penderita HIV/AIDS dapat menerima bahwa dirinya terinfensi HIV dan siap menjalani pengobatan ARV sedini mungkin adalah dengan mengurangi dampak psikologis yang dialami penderita akibat penyakit ini termasuk munculnya gangguan depresi. Konsultasi dengan dokter, pengobatan


(7)

dan terapi dapat mengurangi dampak psikologis akibat penyakit ini. Penderita HIV/AIDS yang mendapatkan dukungan dari kelompok terbukti tidak mengalami depresi (Ndu, Arinze-Onyia, Aguwa & Obi, 2011). Dukungan emosi yang diberikan kepada penderita HIV/AIDS terbukti berpengaruh pada tingkat depresinya (Mello, dkk, 2010). Dukungan keluarga, teman dan masyarakat lainnya juga diharapkan dapat meringankan beban psikologis yang dirasakan penderita HIV/AIDS (Pardita, 2014). Sebuah studi yang dilakukan oleh Machtinger, Lavin, Hilliard, Jones, Haberer & Capito (2014) menyebutkan bahwa terapi kelompok ekspresif merupakan salah satu terapi yang memiliki dampak meningkatkan dukungan sosial bagi wanita penderita HIV. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terapi kelompok ekspresif dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan wanita penderita HIV dalam mengemukakan pengalaman hidupnya. Dampak positif utama yang dihasilkan dari terapi ini adalah terbangunnya persaudaraan, penerimaan diri, hubungan sosial yang lebih aman dan sehat, dan saling mendengarkan (Machtinger, etal, 2014).

Supportive expressive group therapy atau terapi kelompok suportif ekspresif adalah salah satu terapi psikologis yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat depresi. Seringkali dukungan terbaik disediakan oleh orang lain yang mengalami kondisi yang sama (Halgin & Whitbourne, 2010). Dengan menciptakan lingkungan dimana pasien cenderung merasa lebih aman, teknik dukungan dapat memungkinkan pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan yang sebelumnya dinyatakan terlalu sulit untuk didiskusikan (Barber, Stratt, Halperin & Connolly, 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa


(8)

terapi kelompok suportif ekspresif efektif untuk mengurangi gangguan mood dan simptom trauma/stress pada wanita penderita kanker payudara metastase (Classen, Butler, Koopman, Miller, Di Miceli, David, 2001), efektif mengurangi gangguan depresi kronis pada pasien dengan karakteristik introvert (Mark, Barber, Christph, 2003), efektif menangani gangguan kepribadian (Vinnars, Barber, Noren, Gallop, Weinryb, 2005). Terapi suportif ekspresif juga terbukti efektif menurunkan tingkat kecanduan ganja sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Grenyer, Luborsky & Solowij (1995). Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai pengaruh terapi kelompok suportif ekspresif pernah dilakukan dan secara signifikan berpengaruh terhadap menurunnya tingkat depresi dan meningkatnya kemampuan mengatasi depresi pada pasien kanker (Yunitri, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebaran penyakit HIV/AIDS dewasa ini sangat mengkhawatirkan sehingga menjadi salah satu prioritas setiap negara untuk mendapat penanganan secara serius. Penyakit HIV/AIDS sendiri menimbulkan permasalahan yang cukup serius bagi penderitanya, mulai dari masalah fisik yaitu menurunnya sistem kekebalan tubuh hingga masalah psikologis seperti munculnya depresi. Hal ini mempengaruhi kesiapan penderita untuk menjalani pengobatan ARV yang menurut penelitian terkini harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan intervensi psikologis yang cukup serius untuk mengatasi depresi yang dialami pasien salah satunya dengan terapi kelompok suportif ekspresif.


(9)

Terapi kelompok suportif ekspresif ini memberikan dukungan kelompok berupa pengetahuan melalui tukar pengalaman, nasihat dari anggota kelompok, dukungan emosional yang diberikan oleh orang–orang yang berada dalam kondisi dan memiliki permasalahan yang sama, memberikan kesempatan penderita untuk mengekspresikan pengalaman dan berbagi kisah yang berkaitan dengan penyakitnya yang dapat mengubah hidup mereka. Melalui terapi kelompok suportif ekspresif, penderita biasanya merasakan kelegaan dan muncul harapan positif karena menyadari bahwa ada orang lain yang mengalami permasalahan yang sama. Hal ini kemudian memunculkan suatu pertanyaan apakah terapi kelompok suportif ekspresif juga efektif dalam menurunkan depresi pada penderita HIV/AIDS dengan karakteristik simptom depresi yang khas seperti malu, muncul perasaan bersalah, perasaan dihukum, menarik diri, mudah marah, dan khawatir pada kesehatan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melakukan serangkaian proses penelitian untuk mengetahui lebih lanjut efektivitas terapi kelompok suportif ekspresif sebagai salah satu terapi psikologi yang melibatkan kelompok teman sebaya (sesama ODHA) dalam menurunkan tingkat depresi penderita

HIV/AIDS. Penelitian ini mengadaptasi Modul “Supportive-Expressive Group

Therapy For People With HIV Infection : A Premier” yang dikembangkan oleh


(10)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemberian terapi kelompok suportif ekspresif terhadap penurunan tingkat depresi penderita HIV/AIDS.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Mengembangkan ilmu psikologi khususnya Psikologi Klinis mengenai intervensi psikologis kepada penderita HIV/AIDS dan memberikan referensi untuk penelitian selanjutnya khususnya mengenai Terapi Kelompok Suportif Ekspresif.

2. Manfaat praktis

a. Penderita depresi, dapat mengekspresikan emosi negatif yang menyebabkan depresi sekaligus memberikan dukungan kepada teman sebaya sehingga dapat mengatasi depresi yang dialami.

b. Layanan psikologi di Rumah Sakit, memberikan inovasi pelayanan terapi psikologi dalam mengatasi depresi pada penderita HIV/AIDS di Klinik VCT-CST Rumah Sakit secara kelompok dengan menggunakan media Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).

c. Kelompok teman sebaya, terjalin hubungan yang lebih akrab sehingga terbentuk dinamika kelompok yang saling mendukung, menguatkan, sebagai tempat katarsis bagi anggota kelompok yang sedang mengalami suatu masalah sehingga tidak berkembang menjadi gangguan depresi.


(11)

D. Keaslian Penelitian

Depresi adalah salah satu gangguan mental yang banyak dialami penderita penyakit terminal tak terkecuali orang dengan HIV/AIDS. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui intervensi yang efektif dalam mengatasi depresi. Cuijpers, van Straten & Andersson (2008) melakukan penelitian mengenai psikoterapi untuk mengatasi depresi pada orang dewasa, menggunakan meta-analysis dengan membandingkan tujuh intervensi psikologi yaitu cognitive behavioral therapy (CBT), nondirective supportive therapy (SUP), behavioral activation therapy (BA), psychodynamic therapy (DYN), problem solving therapy (PST), interpersonal psychotherapy (IPT) dan social skills training (SST). Setiap intervensi telah diuji setidaknya melalui 5 percobaan secara acak. Tidak ada indikasi bahwa treatmen yang ada lebih atau kurang efektif, kecuali interpersonal psychotherapy yang menunjukkan lebih efektif dan nondirective supportive therapy menunjukkan kurang efektif jika dibandingkan dengan intervensi lain (Cuijpers, van Straten & Andersson, 2008).

Maharani (2010) meneliti pengaruh konseling dengan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk mengurangi depresi pada ODHA. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan dua subjek, menggunakan alat ukur BDI (Beck Depression Inventory). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa konseling dengan pendekatan CBT memberikan perubahan pada subjek penelitian dan dapat mengurangi depresi yang dialaminya (Maharani, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendayagunakan Kelompok Dukungan Sebaya yang beranggotakan seluruh pasien HIV/AIDS yang menjalani


(12)

pengobatan di Klinik, dimana berdasarkan data yang ada pasien memiliki tingkat pendidikan rata-rata SMA ke bawah sehingga kurang sesuai dilakukan CBT yang melibatkan fungsi kognisi dan cenderung dilakukan secara individual.

Alternatif terapi psikologis yang berbasis kelompok sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Classen, dkk (2001). Ia meneliti tentang pengaruh terapi kelompok suportif ekspresif terhadap stres pada pasien kanker payudara metastase. Sampel yang digunakan sebanyak 125 orang yang terbagi secara random dalam dua kelompok, yaitu 64 orang kelompok intervensi diberikan terapi dan psikoedukasi, 61 orang kelompok kontrol diberikan psikoedukasi. Kelompok intervensi dibagi dalam 3 kelompok dengan anggota kelompok 3 hingga 15 orang, diberikan program terapi terapi kelompok suportif ekspresif setiap minggu selama 90 menit/pertemuan selama satu tahun. Terapi difasilitasi oleh 2 orang terapis, pretest dilakukan sebelum pelaksanaan intervensi, sedangkan posttes dilakukan setiap empat bulan sekali selama satu tahun. Intervensi yang dilakukan tidak terstruktur, terapis memfasilitasi diskusi lima tema yaitu ketakutan akan kematian, menata kembali prioritas hidup, meningkatkan dukungan dan komunikasi dengan keluarga, mengintegrasikan perubahan gambaran diri, dan meningkatkan komunikasi dengan dokter. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terapi suportif ekspresif yang menyediakan dukungan dan membantu pasien menerima penyakitnya dapat menurunkan tingkat stres pasien kanker payudara metastase (Classen, dkk, 2001).

Ninik Yunitri (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian intervensi terapi kelompok supportif ekspresif terhadap depresi dan kemampuan


(13)

mengatasi depresi pada pasien kanker. Penelitian ini melibatkan 101 pasien kanker di RSPAD Gatot Subroto, RS Raden Said Sukanto POLRI dan Rumah Singgah Kanker yang terbagi dalam kelompok intervensi sebanyak 49 orang dan kelompok kontrol sebanyak 59 orang. Pengukuran depresi menggunakan Hamilton Depression dan pengukuran kemampuan mengatasi depresi dengan kuesioner. Terapi kelompok supportif ekspresif diberikan sebanyak delapan sesi dalam enam kali pertemuan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terapi kelompok supportif ekspresif efektif menurunkan tingkat depresi dan dapat meningkatkan kemampuan mengatasi depresi pada pasien kanker.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa penelitian mengenai intervensi depresi telah dilakukan salah satunya dengan pemberian terapi kelompok suportif ekspresif sebagaimana yang dilakukan oleh Classen, dkk (2001) dan Yunitri (2012). Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian yang dilakukan sebelumnya menggunakan pasien kanker sebagai subjek penelitian, sedangkan subjek penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS dimana kedua subjek memiliki karakteristik simptom depresi yang berbeda. Selain itu, pada penelitian Yunitri (2012) menggunakan setting pasien rawat inap di Rumah Sakit sedangkan penelitian ini menggunakan setting pasien rawat jalan yang tergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya Mustika dimana dinamika kelompok yang nantinya akan terbentuk juga akan berbeda. Belum ditemukan penelitian mengenai intervensi terapi kelompok suportif ekspresif untuk menurunkan depresi pada populasi penderita HIV/AIDS. Oleh karena itu peneliti beranggapan bahwa penelitian ini dapat dikatakan asli.


(1)

terapi kelompok suportif ekspresif efektif untuk mengurangi gangguan mood dan simptom trauma/stress pada wanita penderita kanker payudara metastase (Classen, Butler, Koopman, Miller, Di Miceli, David, 2001), efektif mengurangi gangguan depresi kronis pada pasien dengan karakteristik introvert (Mark, Barber, Christph, 2003), efektif menangani gangguan kepribadian (Vinnars, Barber, Noren, Gallop, Weinryb, 2005). Terapi suportif ekspresif juga terbukti efektif menurunkan tingkat kecanduan ganja sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Grenyer, Luborsky & Solowij (1995). Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai pengaruh terapi kelompok suportif ekspresif pernah dilakukan dan secara signifikan berpengaruh terhadap menurunnya tingkat depresi dan meningkatnya kemampuan mengatasi depresi pada pasien kanker (Yunitri, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebaran penyakit HIV/AIDS dewasa ini sangat mengkhawatirkan sehingga menjadi salah satu prioritas setiap negara untuk mendapat penanganan secara serius. Penyakit HIV/AIDS sendiri menimbulkan permasalahan yang cukup serius bagi penderitanya, mulai dari masalah fisik yaitu menurunnya sistem kekebalan tubuh hingga masalah psikologis seperti munculnya depresi. Hal ini mempengaruhi kesiapan penderita untuk menjalani pengobatan ARV yang menurut penelitian terkini harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan intervensi psikologis yang cukup serius untuk mengatasi depresi yang dialami pasien salah satunya dengan terapi kelompok suportif ekspresif.


(2)

Terapi kelompok suportif ekspresif ini memberikan dukungan kelompok berupa pengetahuan melalui tukar pengalaman, nasihat dari anggota kelompok, dukungan emosional yang diberikan oleh orang–orang yang berada dalam kondisi dan memiliki permasalahan yang sama, memberikan kesempatan penderita untuk mengekspresikan pengalaman dan berbagi kisah yang berkaitan dengan penyakitnya yang dapat mengubah hidup mereka. Melalui terapi kelompok suportif ekspresif, penderita biasanya merasakan kelegaan dan muncul harapan positif karena menyadari bahwa ada orang lain yang mengalami permasalahan yang sama. Hal ini kemudian memunculkan suatu pertanyaan apakah terapi kelompok suportif ekspresif juga efektif dalam menurunkan depresi pada penderita HIV/AIDS dengan karakteristik simptom depresi yang khas seperti malu, muncul perasaan bersalah, perasaan dihukum, menarik diri, mudah marah, dan khawatir pada kesehatan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melakukan serangkaian proses penelitian untuk mengetahui lebih lanjut efektivitas terapi kelompok suportif ekspresif sebagai salah satu terapi psikologi yang melibatkan kelompok teman sebaya (sesama ODHA) dalam menurunkan tingkat depresi penderita HIV/AIDS. Penelitian ini mengadaptasi Modul “Supportive-Expressive Group Therapy For People With HIV Infection : A Premier” yang dikembangkan oleh Maldonado, Duran, Diamon, Koopman, & Spiegel (1996).


(3)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemberian terapi kelompok suportif ekspresif terhadap penurunan tingkat depresi penderita HIV/AIDS.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Mengembangkan ilmu psikologi khususnya Psikologi Klinis mengenai intervensi psikologis kepada penderita HIV/AIDS dan memberikan referensi untuk penelitian selanjutnya khususnya mengenai Terapi Kelompok Suportif Ekspresif.

2. Manfaat praktis

a. Penderita depresi, dapat mengekspresikan emosi negatif yang

menyebabkan depresi sekaligus memberikan dukungan kepada teman sebaya sehingga dapat mengatasi depresi yang dialami.

b. Layanan psikologi di Rumah Sakit, memberikan inovasi pelayanan terapi

psikologi dalam mengatasi depresi pada penderita HIV/AIDS di Klinik VCT-CST Rumah Sakit secara kelompok dengan menggunakan media Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).

c. Kelompok teman sebaya, terjalin hubungan yang lebih akrab sehingga

terbentuk dinamika kelompok yang saling mendukung, menguatkan, sebagai tempat katarsis bagi anggota kelompok yang sedang mengalami suatu masalah sehingga tidak berkembang menjadi gangguan depresi.


(4)

D. Keaslian Penelitian

Depresi adalah salah satu gangguan mental yang banyak dialami penderita penyakit terminal tak terkecuali orang dengan HIV/AIDS. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui intervensi yang efektif dalam mengatasi depresi. Cuijpers, van Straten & Andersson (2008) melakukan penelitian mengenai psikoterapi untuk mengatasi depresi pada orang dewasa, menggunakan meta-analysis dengan membandingkan tujuh intervensi psikologi yaitu cognitive behavioral therapy (CBT), nondirective supportive therapy (SUP), behavioral activation therapy (BA), psychodynamic therapy (DYN), problem solving therapy (PST), interpersonal psychotherapy (IPT) dan social skills training (SST). Setiap intervensi telah diuji setidaknya melalui 5 percobaan secara acak. Tidak ada indikasi bahwa treatmen yang ada lebih atau kurang efektif, kecuali interpersonal psychotherapy yang menunjukkan lebih efektif dan nondirective supportive therapy menunjukkan kurang efektif jika dibandingkan dengan intervensi lain (Cuijpers, van Straten & Andersson, 2008).

Maharani (2010) meneliti pengaruh konseling dengan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk mengurangi depresi pada ODHA. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan dua subjek, menggunakan alat ukur BDI (Beck Depression Inventory). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa konseling dengan pendekatan CBT memberikan perubahan pada subjek penelitian dan dapat mengurangi depresi yang dialaminya (Maharani, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendayagunakan Kelompok Dukungan Sebaya yang beranggotakan seluruh pasien HIV/AIDS yang menjalani


(5)

pengobatan di Klinik, dimana berdasarkan data yang ada pasien memiliki tingkat pendidikan rata-rata SMA ke bawah sehingga kurang sesuai dilakukan CBT yang melibatkan fungsi kognisi dan cenderung dilakukan secara individual.

Alternatif terapi psikologis yang berbasis kelompok sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Classen, dkk (2001). Ia meneliti tentang pengaruh terapi kelompok suportif ekspresif terhadap stres pada pasien kanker payudara metastase. Sampel yang digunakan sebanyak 125 orang yang terbagi secara random dalam dua kelompok, yaitu 64 orang kelompok intervensi diberikan terapi dan psikoedukasi, 61 orang kelompok kontrol diberikan psikoedukasi. Kelompok intervensi dibagi dalam 3 kelompok dengan anggota kelompok 3 hingga 15 orang, diberikan program terapi terapi kelompok suportif ekspresif setiap minggu selama 90 menit/pertemuan selama satu tahun. Terapi difasilitasi oleh 2 orang terapis, pretest dilakukan sebelum pelaksanaan intervensi, sedangkan posttes dilakukan setiap empat bulan sekali selama satu tahun. Intervensi yang dilakukan tidak terstruktur, terapis memfasilitasi diskusi lima tema yaitu ketakutan akan kematian, menata kembali prioritas hidup, meningkatkan dukungan dan komunikasi dengan keluarga, mengintegrasikan perubahan gambaran diri, dan meningkatkan komunikasi dengan dokter. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terapi suportif ekspresif yang menyediakan dukungan dan membantu pasien menerima penyakitnya dapat menurunkan tingkat stres pasien kanker payudara metastase (Classen, dkk, 2001).

Ninik Yunitri (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian intervensi terapi kelompok supportif ekspresif terhadap depresi dan kemampuan


(6)

mengatasi depresi pada pasien kanker. Penelitian ini melibatkan 101 pasien kanker di RSPAD Gatot Subroto, RS Raden Said Sukanto POLRI dan Rumah Singgah Kanker yang terbagi dalam kelompok intervensi sebanyak 49 orang dan kelompok kontrol sebanyak 59 orang. Pengukuran depresi menggunakan Hamilton Depression dan pengukuran kemampuan mengatasi depresi dengan kuesioner. Terapi kelompok supportif ekspresif diberikan sebanyak delapan sesi dalam enam kali pertemuan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terapi kelompok supportif ekspresif efektif menurunkan tingkat depresi dan dapat meningkatkan kemampuan mengatasi depresi pada pasien kanker.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa penelitian mengenai intervensi depresi telah dilakukan salah satunya dengan pemberian terapi kelompok suportif ekspresif sebagaimana yang dilakukan oleh Classen, dkk (2001) dan Yunitri (2012). Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian yang dilakukan sebelumnya menggunakan pasien kanker sebagai subjek penelitian, sedangkan subjek penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS dimana kedua subjek memiliki karakteristik simptom depresi yang berbeda. Selain itu, pada penelitian Yunitri (2012) menggunakan setting pasien rawat inap di Rumah Sakit sedangkan penelitian ini menggunakan setting pasien rawat jalan yang tergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya Mustika dimana dinamika kelompok yang nantinya akan terbentuk juga akan berbeda. Belum ditemukan penelitian mengenai intervensi terapi kelompok suportif ekspresif untuk menurunkan depresi pada populasi penderita HIV/AIDS. Oleh karena itu peneliti beranggapan bahwa penelitian ini dapat dikatakan asli.