PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KOTA AMBON.
DAFTAR ISI
Hal
HalamanJudul ... i
HalamanPengesahan ... ii
Pernyataan ... iii
Kata Pengantar ... iv
UcapanTerimaKasih ... v
Abstrak ... vii
Daftar Isi ... viii
Daftar Gambar ... x
DaftarLampiran ... xi
BAB IPENDAHULUAN A. LatarBelakangPenelitian ... 1
B. IdentifikasidanRumusanMasalah ... 7
C. Tujuan ... 9
D. Manfaat ... 9
E. Struktur Organisasi Penelitian ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Sejarah Pendidikan Inklusif ... 11
B. Landasan Pendidikan Inklusif ... 11
C. PendidikanInklusi ... 16
D. SekolahInklusif ... 22
E. PembelajaranInklusif ... 23
1. Perencanaan Pembelajaran ... 26
2. Pelaksanaan Pembelajaran ... 28
3. Pengelolaan Kelas... 31
4. Evaluasi Pembelajaran ... 36
a. Evaluasi Pembelajaran Secara Umum... 36
b. Evaluasi Pembelajaran Dalam Seting Iinklusif ... 41
F. Anak Berkebutuhan Khusus ... 50
G. Index Inklusi...57
H. Pengertian Pengetahuan ...59
I. Hasil Penelitian Yang Relevan...60 BAB III METODE PENELITIAN
(2)
D. Validitas ... 66
E. TeknikPengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ... 66
F. Analisis Data ... 67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HasilPenelitian ... 70
1. Pengetahuan Guru tentang Pendidikan Inklusif ... 70
2. Perencanaan Pembelajaran Inklusif ... 79
3. Proses Pembelajaran ... ...106
4. Evaluasi Pembelajaran ... 137
B. Pembahasan ... 147
1. Pengetahuan Guru Tentang Pendidikan Inklusif ... 147
2. Perencanaan Pembelajaran ... 147
3. Pelaksanaan Pembelajaran ... 149
4. Evaluasi Pembelajaran Inklusif ... 151
BAB VKESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 153
A. Kesimpulan ... 153
B. Rekomendasi ... 154
DAFTAR PUSTAKA ... 156 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(3)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Tiga Dimensi Indeks Inklusif ... ... ...59
Gambar 4.1 Grafik Hasil Persentasi Pengetahuan Guru tentang Pendi-dikan Inklusi dan Anak Berkebutuhan Khusus ...78
Gambar 4.2 Grafik Rekapitulasi Skor Indeks Inklusif Aspek Perencana-an pada SMP di Kota Ambon ...104
Gambar 4.3 Grafik Rekapitulasi Skor Indeks Inklusi Aspek Pelaksana-an Pembelajaran pada SMP di Kota Ambon ... ... 135
Gambar 4.4 Grafik Rekapitulasi Skor Indeks Inklusif pada Aspek Eva-luasi Pembelajaran pada SMP di Kota Ambon ... ... 145
Gambar 4.5 Grafik Rekapitulasi Skor Rata-rata Pengetahuan Guru dan Indeks Inklusif pada Dimensi Praktik SMP di Kota Ambon ... ... 146
(4)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran A Kisi-kisi Instrumen Tes
Lampiran B Pedoman Obsevasi
Lampiran 1 Instrumen Tes Pengetahuan Guru tentang Pendidikan
Inklusif ... 1 Lampiran 2 Instrumen Observasi Indeks Inklusif dalam Dimensi
Praktik ... 4 Lampiran 3 Hasil Penelitian
A. Hasil Pengetahuan Guru Tentang Pendidikan Inklusi Pada Smp Kota Ambon ... B. Hasil Penelitian Tentang Indeks Inklusif Pada Dimensi Praktik Pada Smp Kota Ambon ... 1. Perencanaan Pembelajaran dalam Setting Inklusi ....
a. Pembelajaran Direncanakan Berdasarkan Kebutuhan Siswa ... b. Guru dan GPK Melakukan Diskusi dalam
Merencanakan Pembelajaran Anak Berkebu-tuhan Khusus ... c. Sarana Sekolah Didistribusikan secara
Maksi-mal dalam Mendukung Proses Pembelajaran ... d. Tenaga Ahli Bekerja Secara Maksimal ... e. Seluruh Guru Berpartisipasi Mengembangkan
Sumber Belajar dalam Mendudukung Praktik Pembelajaran ... f. Masyarakat Digunakan sebagai Sumber Pendu-kung Pembelajaran ... 2. Proses Pembelajaran ... a. Semua Murid Aktif dalam Pembelajaran ... b. Pembelajaran di Kelas Mengandung Arti
Pentingnya Pembelajaran ... c. Murid-murid Terlibat Aktif dalam
Pembelajar-an ... d. Murid-murid Belajar secara Kolaborasi ... e. Peraturan di Kelas Dibuat berdasarkan
Peng-hargaan Terhadap Perbedaan ... f. Guru Bekerja sama dengan Guru Pembimbing
Khusus dalam Mendukung Proses Pembelajar-an dPembelajar-an Partisipasi semua Siswa ... g. Semua Siswa Berperan dalam Aktivitas di
Luar Kelas ... 10 10 10 10 11 12 12 13 13 14 14 14 15 15 16 16 17
(5)
a. Penilaian Dilakukan dalam Memenuhi Kebu-tuhan Murid ... b. Semua Siswa Diberi Peluang Waktu yang
Cu-kup dalam Menyelesaikan Tugas dan Pekerja-an Rumahnya ...
18 18
(6)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan kesempatan dan pemerataan bagi seluruh warga negara untuk memperolah pendidikan yang sesuai dan berkualitas. Perubahan paradigma ini secara keseluruhan merupakan proses peningkatan mutu pendidikan. Implikasi penting dari perubahan paradigma tersebut adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman dan perbedaan kebutuhan individu.
Pendidikan inklusif membawa perubahan yang mendasar yaitu adanya pergeseran pemikiran dari pemikiran special education (pendidikan khusus) bergeser ke special needs education (pendidikan kebutuhan khusus). Perubahan tersebut bermakna strategis dan berdampak luas terhadap praktek layanan pendidikan. Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas No. 70 Tahun 2009). Dengan demikian implementasi pendidikan inklusif berarti memandang anak sebagai individu yang memiliki keragaman, keunikan, kemampuan, minat dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda sehingga proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan anak. Dalam pelaksanaannya, pendidikan inklusif bertujuan
(7)
untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dalam bentuk kelainan fisik, emosional, mental dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Dalam tataran pendidikan inklusif, Johnsen (2003:23) menyatakan, “Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusif menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidikan khusus”. Hal ini dimaksudkan menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Perubahan lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan materi secara klasikal kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap siswa sesuai kebutuhannya dalam seting kelas yang sama. Pendidikan inklusif berarti memandang eksistensi anak agar tumbuh kembang secara alami dan optimal sesuai dengan potensi masing-masing.
Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang belum memperoleh hak mendapatkan pendidikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa mengemukakan dalam kutipan berikut.
“Prevalensi jumlah anak-anak berkebutuhan khusus sekitar 3% dari populasi anak usia sekolah, angka tersebut belum termasuk mereka yang tergolong autis, hiperaktif, berbakat dan berkesulitan belajar, baru sekitar 3,7% (33,850 anak) yang terlayani di lembaga persekolahan, baik di sekolah umum maupun sekolah luar biasa (sekolah khusus). Kenyataan ini menandakan bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus (96,3%) belum memperoleh hak mendapatkan pendidikan. Hal ini disebabkan oleh (1) kondisi ekonomi orang tua yang kurang menunjang, (2) jarak antara rumah dan SLB cukup jauh, dan (3) sekolah umum (SD, SMP) tidak mau
(8)
menerima anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak-anak normal, oleh karena itu perlu diupayakan model layanan pendidikan yang memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum”. Kutipan di atas menggambarkan bahwa anak-anak usia sekolah berkebutuhan khusus di Indonesia berjumlah (96,3%) belum memperoleh hak mendapatkan pendidikan dan baru sekitar 3,7% (33,850 anak) yang terlayani di lembaga persekolahan, baik di sekolah umum maupun sekolah luar biasa (sekolah khusus). Hal ini disebabkan oleh ekonomi orang tua, terbatasnya SLB, dan sekolah umum yang belum menerapkan program pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Dengan demikian pendidikan harus dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman dimana semua anak terlepas dari kemampuan dan ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial ekonomi, suku, budaya dan bahasa, agama atau jender seyogyanya dapat menyatu dalam komunitas sekolah yang sama tanpa adanya diskriminasi.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah agar semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus memperoleh akses ke sekolah adalah dengan menjadikan sekolah umum menjadi sekolah inklusif, yaitu sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dapat belajar dikelas bersama dengan siswa lain yang tidak berkebutuhan khusus, sehingga anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan yang sama dengan anak yang lain untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut.
Implementasi pendidikan inklusif dalam tataran pembelajaran dan pengajaran di kelas akan bermakna bila guru mampu mengembangkan proses
(9)
pembelajaran dan pengajaran sesuai dengan perbedaan kebutuhan individu serta mampu mengembangkan program pembelajaran individual bagi siswa berkebutuhan khusus. Secara empirik pemikiran tersebut akan sangat memerlukan keterampilan profesional dalam proses dan pelaksanaannya.
Untuk mendukung upaya pemerintah maka perlu dilakukan peningkatan kualitas model layanan pendidikan sebagai bentuk perwujudan tanggungjawab bersama terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. “Mutu pendidikan secara umum dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kurikulum, kualitas tenaga pendidik, sarana-prasarana, dana, manajemen, lingkungan dan proses pembelajaran” (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2009:1). Faktor tenaga pendidik (guru) memiliki peran yang sangat besar dalam pencapaian kualitas pendidikan secara umum. Kondisi ini dimungkinkan karena posisi guru yang sangat dominan dalam beinteraksi dengan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Khusus dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah inklusif, diperlukan guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pendidikan khusus (GPK) yang bertugas sebagai pendamping guru kelas dan guru mata pelajaran dalam melayani anak berkebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki berkembang secara optimal. Sejalan dengan hal tersebut Arum (2004:122) mengemukakan bahwa guru sekolah reguler pada umumnya tidak belajar PLB, dan sekolah reguler juga tidak dipersiapkan untuk menerima anak berkebutuhan khusus, kurikulum yang digunakan di sekolah reguler tidak sepenuhnya sesuai untuk anak berkebutuhan khusus, dan guru reguler tidak dilatih untuk mengembangkan kurikulum yang berdeferensiasi dalam bentuk program-program
(10)
pembelajaran yang didasarkan atas kebutuhan individu setiap siswa tanpa kecuali bagi siswa berkebutuhan khusus. Hal tersebut dibuktikan pula oleh penelitian yang dilakukan Dyah (2005) dalam penelitiannya mengenai pengkajian pendidikan inklusif di Indonesia ditemukan bahwa “tidak adanya pedoman pembelajaran bagi guru-guru di sekolah dan menyebabkan guru inklusi menggantungkan diri pada guru pendidikan luar biasa (PLB) yang tidak selalu dimiliki oleh setiap sekolah”. Hal ini membuat guru-guru di sekolah tersebut yang pembelajarannya hanya di dasarkan nalurinya saja yang menyebabkan layanan pendidikan disekolah inklusif menjadi tidak optimal.
Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan inklusif pada sekolah menengah pertama khususnya dalam tataran proses belajar mengajar akan berdampak pada perubahan penyelenggaraan pembelajaran serta pengelolaan kelas, dimana selain dihadapkan pada kelas klaksikal guru juga diberi tanggung jawab baru untuk melayani siswa dengan kebutuhan yang berbeda.
Disadari bahwa penyelenggaraan pembelajaran mengandung serangkaian interaksi timbal balik dalam situasi edukatif antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa yang nantinya menghasilkan iklim pembelajaran yang kondusif, efektif, kreatif, produktif dan menyenangkan. Selain itu akan terbina hubungan interpersonal yang sehat dan mendorong munculnya perubahan perilaku belajar siswa. Untuk mencapai iklim kelas tersebut maka diperlukan pengetahuan yang baik oleh guru dalam menyelenggarakan pembelajaran yang inklusif serta memahami kebutuhan siswa dengan kebutuhan khusus.
(11)
Bukti kepedulian Pemerintah Provinsi Maluku melalui Dinas Pendidikan terhadap pendidikan inklusif adalah dengan menetapkan sebanyak 8 Sekolah Menengah Pertama khususnya di kota Ambon sebagai penyelenggara pendidikan inklusif, berdasarkan SK No 420/537/2010 tgl 28 Juli 2010. Atas dasar tersebut maka sekolah-sekolah yang ditunjuk mulai menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif, meskipun dalam kenyataannya masih terdapat berbagai kekurangan, bahkan belum bisa dikatakan inklusif karena belum bisa menjalankan program layanan pembelajaran inklusif di sekolanya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya tenaga Guru Pendidikan Khusus (GPK), selain itu perencanaan dan implementasi pembelajarannya masih cenderung sama antara anak-anak reguler dengan anak berkebutuhan khusus. Hal lain yang mempengaruhi pelaksaksanaan pendidikan inklusif di sekolah adalah tidak semua guru reguler memiliki pengetahuan yang baik mengenai pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan 12 orang guru dan kepala sekolah diketahui bahwa indikasi penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Ambon belum sesuai dengan apa yang di harapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Anak-anak di sekolah pada umumnya belum bisa menerima atas kehadiran anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama di kelas reguler, dan di pandang mereka hanya menghambat proses pembelajaran.
2. Sistem penerimaan siswa baru yang belum merata sehingga siswa dengan kondisi tertentu tidak dapat di terima di sekolah tersebut.
(12)
3. Masih rendahnya pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif dan ABK dimana guru beranggapan bahwa pendidikan inklusif adalah sekedar menerima ABK di sekolah reguler.
4. Pelaksanaan pembelajaran masih secara klasikal belum mengakomodasi kebutuhan ABK.
5. Guru belum bisa membuat program pembelajaran individual
6. Masih terdapat keterbatasan kesiapan sumber daya dalam hal ini belum adanya Guru Pendamping Khusus pada sekolah penyelenggara inklusif.
Selain hal tersebut di atas, sejauh ini belum pernah dilakukan evaluasi keterlaksanaan implementasi pendidikan inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di kota Ambon berdasarkan index inklusi yang meliputi budaya, kebijakan dan praktek.
Index inklusi merupakan sebuah sumber daya yang mendukung perkembangan pendidikan inklusif. Index inklusi adalah sebuah dokumen yang komprehensif dan lengkap, yang dapat membantu setiap orang untuk menentukan langkah berikutnya dalam mengembangkan seting pendidikan inklusif secara mandiri Booth and Ainscow, (2002:3). Untuk mengetahui keterlaksanaan implementasi pendidikan inklusif Sunanto (2009:4) mengemukakan bahwa “keterlaksanaan pendidikan inklusif dapat di evaluasi menggunakan suatu index yang disebut index for inclusion”.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka penulis merasa perlu mengungkap tentang “Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon”. Masalah ini dianggap penting untuk diteliti guna mengetahui
(13)
keterlaksanaan implementasi pendidikan inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Penyelenggaraan pendidikan inklusif pada jenjang Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon sudah dilaksanakan selama kurang lebih tiga tahun terahir, namun masih belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kendala yang dihadapi di sekolah antara lain pengetahuan guru mengenai pendidikan inklusi serta anak berkebutuhan khusus yang masih sangat minim serta budaya, kebijakan, dan praktek yang mempengaruhi implementasi pendidikan inklusif itu sendiri. Selain itu belum pernah dilaksanakan evaluasi mengenai keterlaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di kota Ambon berdasarkan index yang disebut index for inclussion. Menurut Ainscow (2002) secara konseptual indeks inklusi dibangun dari tiga dimensi yaitu “1) dimensi Budaya (creating inchlusive cultures), 2) dimensi Kebijakan ( producing inclusive policies), 3) dimensi Praktek (evolving inchclucive practies)”. Berhubung luasnya masalah yang ada, maka dalam penelitian ini akan difokuskan pada dimensi praktik (evolving inchclucive practies). Dimensi praktek yang akan di gali yaitu memiliki 16 indikator yang diadopsi dari Tony Booth dan Mel Ainscow , masing-masing indikator tersebut adalah: 1) pengajaran direncanakan berdasarkan kebutuhan siswa, 2) Guru dan GPK saling berkomunikasi, 3) Sarana sekolah didistribusikan secara maksimal, 4) tenaga ahli bekerja secara maksimal, 5) seluruh guru berpartisipasi dalam
(14)
pembelajaran, 6) Masyarakat mendukung sumber pembelajaran, 7) semua murid aktif dalam pembelajaran, 8) pembelajaran mengandung arti penting perbedaan, 9) semua murid terlibat aktif dalam pembelajaran, 10) murid belajar secara kolaborasi , 11) peraturan kelas dibuat berdasarkan penghargaan terhadap perbedaan, 12) guru bekerjaasama dengan GPK dalam proses pembelajaran, 13) semua siswa berperan diluar kelas, 14) keanekaragaman digunakan sebagai sumber mengajar dan pembelajaran, 15) penilaian dilakukan dalam memenuhi kebutuhan murid, 16) semua siswa diberikan peluang waktu yang cukup dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan rumah.
2. Rumusan Masalah
Kegiatan pembelajaran di kelas merupakan inti penyelenggaraan pendidikan yang ditandai oleh adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, dan penggunaan metode dan strategi pembelajaran. Semua tugas tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab guru, yang secara optimal dalam pelaksanaannya menuntut kemampuan guru.
Berdasarkan pemikiran tersebut serta identifikasi masalah maka pertanyaan utama penelitian ini adalah “Bagaimanakah penyelenggaraan pembelajaran yang inklusif pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon?”. Merujuk pada pertanyaan utama penelitian, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif di SMP Kota Ambon?
(15)
b. Bagaimanakah keterlaksanaan perencanaan pembelajaran inklusif pada SMP di kota Ambon?
c. Bagaimanakah keterlaksanaan pelaksanaan pembelajaran inklusif pada SMP di kota Ambon?
d. Bagaimanakah keterlaksanaan evaluasi pembelajaran inklusif pada SMP di kota Ambon?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran inklusif pada 8 SMP di Kota Ambon. Secara khusus tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Pengetahuan guru mengenai pendidikan inklusif .
b. Keterlaksanaan perencanaan pembelajaran inklusif pada SMP di Kota Ambon.
c. Keterlaksanaan pembelajaran inklusif pada SMP di Kota Ambon.
d. Keterlaksanaan evaluasi pembelajaran inklusif pada SMP di Kota Ambon. D. Manfaat Penelitian
Secara teori hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberi masukan dan sumbangan berupa kajian konseptual tentang unsur-unsur utama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif sehingga turut memperkaya dan mempertajam pengembangan pendidikan inklusif di kota Ambon khususnya dan Indonesia umumnya.
Secara praktis diharapkan dapat memberikan penyajian empiris tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif di kota
(16)
Ambon. Secara praktis juga dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam meningkatkan penyelenggaraan pembelajaran pendidikan inklusif bagi guru-guru pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon.
E. Struktur Organisasi Penelitan
Tesis ini terdiri dari 5 (lima) BAB, pada BAB I memuat tentang latar belakang, idetifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian. BAB II memuat tentang kajian pustaka, . BAB III memuat tentang metode penelitian, lokasi dan populasi, pendekatan dan metode penelitian, variabel dan definisi operasional, validitas, teknik pengumpulan data dan instrumen penelitian, serta teknik analisa data. BAB IV memuat tentang hasil penelitian dan pembahasan, BAB V memuat tentang kesimpulan dan saran.
(17)
BAB III
METODE PENELITIAN
Sugiyono (2010) mengemukakan “Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu , cara ilmiah ,data, tujuan, dan kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis artinya, proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis”.
A. Lokasi dan Populasi 1. Lokasi
Lokasi penelitian ini diselenggarakan pada Sekolah Menengah Pertama yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di kota Ambon. Lokasi ini dipilih karena Sekolah ini menyelenggarakan pendidikan inklusi di Kota Ambon pada tingkat menengah pertama.
2. Populasi
Menurut Millan dan Schumacher (1997:246) “Populasi adalah sekelompok elemen atau kasus, baik itu individual, objek atau peristiwa yang berhubungan dengan kriteria spesifik dan merupakan sesuatu yang menjadi target
(18)
dalam penelitian”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas yang melayani anak berkebutuhan khusus yang berjumlah 16 di Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon berdasarkan SK kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku No.420/537/2010 tanggal 28 Juli 2010.
B. Pendekatan dan Metode Penelitian 1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono, (2011:14) “penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis datanya menggunakan angka-angka dan bersifat statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan”. Pendekatan kuantitatif digunakan karena data utama penelitian ini adalah angka-angka dari hasil pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi dan (indeks) hasil dari observasi.
2. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini di pilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu “mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya, tanpa membuat kesimpulan yang berlaku secara umum atau generalisasi” (Sugiyono, 2010:147). Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya.
(19)
Pelaksanaan metode penelitian deskriptif tidak terbatas sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang data tersebut, selain itu semua yang dikumpulkan memungkinkan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti.
C. VariabeldanDefenisiOperasional 1. Variabel
Penelitian ini terdiri dari 1 (satu) variabel yaitu penyelenggaraan pendidikan inklusi, yang memiliki 2 (dua) indikator yaitu:
a. Pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif
b. Index inklusi, dimana indekx inklusi terdiri dari 3 (tiga) sub indikator yaitu 1) Keterlaksanaan perencanaan pembelajaran
2) Keterlaksanaan pelaksanaan pembelajaran 3) Keterlaksanaan evaluasi pembelajaran 2. DefenisiOperasional
Untuk menghindari kesalah pahaman dalam penelitian ini maka akan di uraikan defenisi operasionalnya. Dalam penelitian ini penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pelaksanaan pendidikan yang menampung semua siswa pada kelas yang sama, dimana sekolah menyediakan program pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Index inklusi adalah indeks inklusi yang dicapai pada Sekolah Menengah Pertama yang menyelenggarakan pendidikan inklusi yang ditinjau berdasarkan pengetahuan dan pelaksanaan pembelajaran di kelas dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan
(20)
evaluasi pembelajaran yang diukur dengan menggunakan index for inclution (Ainscow, 2000) di Kota Ambon.
D. Validitas
Validitas instrumen tes tentang pengetahuan guru dalam pendidikan inklusif dengan meminta masukan dari ahli (expert judgement) untuk mengetahui kesesuaian isi atau makna item-item instrumen dengan konteks penelitian. Penilaian instrumen ini dilakukan oleh 3 (tiga) orang dosen UPI, yang menurut pandangan peneliti yang memahami konsep-konsep tentang pendidikan inklusif serta memiliki keahlian dalam penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian 1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah penting dalam suatu penelitian karena data yang dikumpulkan akan digunakan sebagai pengambil kesimpulan. Nasir (2003:328) mengatakan bahwa “teknik pengumpulan data merupakan alat- alat ukur yang diperlukan dalam melaksanakan suatu penelitian”. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan tes lisan dan observasi.
Instrumen tes digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkap pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pedoman observasi digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran inklusi pada Sekolah Menengah Pertama berdasarkan 16 indikator index pada dimensi praktek yang dikembangkan oleh Ainsow(2000). Observasi dilakukan oleh peneliti pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Jenis
(21)
observasi yang digunakan adalah non-partisipan kerena peneliti tidak terlibat secara langsung tetapi hanya mengamati. Observasi non-partisipan menurut Sugiyono, (2011:204) adalah “peneliti tidak terlibat langsung dan hanya sebagai pengamat independen”.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar tes untuk mengungkap pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, serta pedoman observasi berdasarkan 16 indikator index inklusi pada dimensi praktek yang dikembangkan oleh Ainsow(2000), untuk mengungkap keterlaksanaan pendidikan inklusif dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran pada 16 kelas yang melayani anak berkebutuhan khusus.
Penggunaan tes dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi dan anak berkebutuhan khusus. Instrumen ini hanya mencakup ranah kognitif pada aspek pengetahuan (C1) fungsi dari tes itu sendiri. Menurut Arikunto. S (2010:266) adalah “untuk mengukur ada atau tidaknya serta besarnya kemampuan objek yang diteliti”.
Prosedur penskoran berdasarkan yang dikemukakan oleh Sugiyono (2009:95) yaitu, sebagai berikut:
0 = Bila sama sekali belum tahu
1 = Telah mengetahui sampai dengan 25% 2 = Telah mengetahui sampai dengan 50% 3 = Telah mengetahui sampai dengan 75% 4 = Telah mengetahui 100%
(22)
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah data terkumpul, untuk memperoleh gambaran tentang keterlaksanaan pendidikan inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon. Masing-masing data dianalisis dengan cara:
1. Menghitung rata-rata nilai hasil tes dari setiap sekolah mengenai pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif. Skor akhir responden yang digunakan adalah nilai rata – rata responden.
Atau dapat dilihat pada rumus rata – rata hitung berdasarkan Sudjana (2002:67) berikut :
Keterangan :
x = Skor akhir (rata - rata)
Σxi = jumlah skor seluruh item pernyataan responden
n = Jumlah item pernyataan
b. Melakukan analisis presentase hasil observasi keterlaksanaan pendidikan inklusi dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran inklusif untuk masing-masing sekolah dengan menggunakan rumus :
c. Menetapkan kriteria pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi dari masing-masing sekolah berpedoman pada kriteria menurut Riduwan (2010:13), yaitu:
1) 0 % - 20% : sangat buruk 2) 21% - 40% : buruk 3) 41% - 60% : sedang
(23)
4) 61% - 80% : baik
5) 81% - 100% : sangat baisk
d. Menggambarkan perolehan pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif dan hasil indeks inklusif dari setiap sekolah dengan menggunakan diagram batang. e. Mendeskripsikan hasil pengetahuan guru tentang pendidikan inklusif dan hasil
indeks inklusif dari seluruh data yang telah dikumpulkan. f. Penarikan kesimpulan
(24)
(25)
BAB V
KESIMPULAN Dan SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengetahuan Guru tentang Pendidikan Inklusi
Dari hasil penelitian pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi yang dilakukan pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon, yaitu: SMP 1 memperoleh skor persentase 25%, SMP 2 (28%), SMP 4 (28%), SMP 6 (25%), SMP 9 (25%), SMP 10 (25%), SMP 17 (25%), SMP 19 (25%). Maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi adalah 26%. Bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan, maka pengetahuan guru SMP di Kota Ambon termasuk kategori buruk.
2. Perencanaan Pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon.
Dari hasil penelitian tentang perencanaan pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon, yaitu: SMP 1 memperoleh skor persentase 78%, SMP 2 (77%), SMP 4 (78%), SMP 6 (78%), SMP 9 (78%), SMP 10 (77%), SMP 17 (77%), SMP 19 (77%). Maka dapat disimpulkan perencanaan pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon adalah 77%. Bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan, maka perencanaan pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon termasuk kategori baik.
(26)
3. Pelaksanaan Pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon
Dari hasil penelitian tentang pelaksanaan pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon, yaitu: SMP 1memperoleh skor persentase 74%, SMP 2 (74%), SMP 4 (75%), SMP 6 (75%), SMP 9 (75%), SMP 10 (75%), SMP 17 (75%), SMP 19 (76%). Maka dapat disimpulkan pelaksanaan pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon adalah 75%. Bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan, maka pelaksanaan pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon termasuk kategori baik.
4. Evaluasi Pembelajaran inklusi
Dari hasil penelitian tentang evaluasi pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon, yaitu: SMP 1 memperoleh skor persentase 76%, SMP 2 (67%), SMP 4 (77%), SMP 6 (77%), SMP 9 (77%), SMP 10 (78%), SMP 17 (77%), SMP 19 (76%). Maka dapat disimpulkan evaluasi pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon adalah 76%. Bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan, maka evaluasi pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon termasuk kategori baik.
B. Saran
Berdasarkan temuan dilapangan, pengetahuan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran guru mengenai pendidikan inklusif yang berada pada kriteria baik namun masih perlu ditingkatkan agar tidak melenceng dari nilai-ilai inklusi, maka peneliti memberikan saran yang dapat menjadi pertimbangan untuk
(27)
meningkatkan pelaksanaan pendidikan inklusi pada Sekolah Menegah Pertama di Kota Ambon adalah sebagai berikut:
1. Pihak Sekolah
a. Sekolah mengupayakan meningkatkan pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi melalui pelatihan, seminar, atau kegiatn-kegiatan sosialisasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi.
b. Sekolah bekerjasama dengan SLB sebagai resurce center dalam hal pemenuhan GPK agar kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dapat terlayani. c. Sekolah memanfaatkan masyarakat untuk berperan serta dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusi
2. Pemerintah Provinsi Maluku dan Kota Ambon
Dalam mewujudkan pendidikan untuk semua, pemerintah provinsi dan kota harus menjalankan fungsi administratifnya sesuai dengan peraturan mentri nomor 70 tahun 2009 tentang penddikan inklusif pasal 6 dan pasal 10. Yaitu menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik, menjamin tersedianya sumberdaya pendidikan, menyediakan paling sedikit satu orang GPK, serta meningkatkan kompetensi guru melalui pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan, melalui P4TK, LPMP, Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah daerah. Pemerintah juga menyediakan anggaran dana untuk merehabilitasi gedung-gedung sekolah agar dapat diakses oleh semua anak tanpa terkecuali.
(28)
Daftar Pustaka
Abdulrahman,M. (2003). Landasan Pendidikan Inklusif dan Implikasinya
dalam Penyelenggaraan LPTK. Makalah disajikan dalam Pelatihan Penulisan Buku Ajar Bagi Dosen Jurusan PLB yang Diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Yokyakarta, 26 agustus 2002.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. (Edisi Keempat) Jakarta: Rineka Cipta.
Arum, W.S.A. (2004). Perspektif Pendidikan Luar Biasa dan Implikasinya Bagi
Penyiapan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Depdiknas.
Berit H. Johnsen dan MiriamD. Skjorten (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus-
Sebuah Pengantar, Program Pendidikan Pasca Sarjana Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung.
Budiyanto, (2005). Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Depdiknas
Booth, T and Ainscow, M (2002). Index for Inclusion: Developing Learning and Participation in Schools. London: Centre for Studies on Inclusive Education.
Dimyati dan Mudjiono.(2002).Belajar dan Pembelajaran.Jakarta: PT Rineka Cipta
Daryanto, Tri. (2005). Sistem Multimedia dan Aplikasinya.Yogyakarta : Graha Ilmu
Djamarah dan Zain. (2002). Evaluasi Pengajaran Bahasa. Jakarta : Rineka Cipta Depdiknas. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas
Dyah (2005). Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus
pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Diakses dari
http:/www.puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%2 OS_Pengkajian%Pendidikan%20Inklusif.pdf
Direktorat Pembinaan SLB, (2009). Pedoman Khusus Penyelenggaraan
Pendidikan Isnklusif. Jakarta : Dapartemen Pendidikan Nasional.
Direktorat PLB, (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu /
Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
(29)
Departemen Pendidikan Nasional.(2003). Kebijakan pemerintah Dalam
Pendidikan Inklusi. Jakarta.
Hermawan dan Kustawan. (2004). Penilaian dalam Setting Pendidikan Inklusif. Makalah pada Sosialisasi Pendidikan Inklusif Tingkat Propinsi Jabar
Hidayat, (2005). Pengelolaan Kelas Inklusif di Sekolah Dasar Reguler. Tesis Magister Pada PPS UPI: Bandung. Tidak diterbitkan.
Johnsen,B (2003). Kurikulum Untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual
Artikel dalam Johnson B.H & Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan
Kebutuhan khusus Sebuah Pengantar, Bandung, Program pasca Sarjana UPI Bandung.
Kementrian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Mendiknas. (2010).
Permendiknas No 70 Tahun 2009, Jakarta : Direktorat Jenderal Mendiknas
Louisell, R.D., & Descamps, J. (1992). Developing A Teaching Style Methods
for Elementary School Teachers. New York: Harper Collins Publishers.
Sudjana.N. (2002). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: TARSITO Nasir Muhamad. (1988). Metodologi Riset: Jakarta Rineka Cipta
Notoatmodjo. 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta
Margono,S. (2000). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta Rineka Cipta. Riduwan. (2010). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung:
Alfabeta
Rusman. (2011). Medel-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Smith, J. D (2006). Inklusi Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Nuansa Sagala, H.S. ( 2003). Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu
Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta
Sugiyono, (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alvabeta
Sunanto Dj.et All. (2004). Pendidikan Yang Terbuka Bagi Semua. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dalam UNESCO Jakarta Office
(30)
Sunardi. (2002). Pendidikan Inklusif: Prakondisi dan Implikasi Manajerialnya, Makalah Temu Ilmiah Nasional Jurusan PLB, Bandung agustus 2002 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional. Diakses
dari http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf
Millan James, Schumacher sally. (1997). Research in Education, New york San Francsco
Winataputra, U.S.(1998).Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka Winkel, W.S, (1991). Psikologi Pengajaran, Jakarta: Gramedia.
W.A. Weber, (1977), Classroom Management, Dalam James M. Cooper (Ed.),
Classroom teaching skills: A hand book, Toronto, D.C. Heath and
Company.
(1)
BAB V
KESIMPULAN Dan SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengetahuan Guru tentang Pendidikan Inklusi
Dari hasil penelitian pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi yang dilakukan pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon, yaitu: SMP 1 memperoleh skor persentase 25%, SMP 2 (28%), SMP 4 (28%), SMP 6 (25%), SMP 9 (25%), SMP 10 (25%), SMP 17 (25%), SMP 19 (25%). Maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi adalah 26%. Bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan, maka pengetahuan guru SMP di Kota Ambon termasuk kategori buruk.
2. Perencanaan Pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon.
Dari hasil penelitian tentang perencanaan pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon, yaitu: SMP 1 memperoleh skor persentase 78%, SMP 2 (77%), SMP 4 (78%), SMP 6 (78%), SMP 9 (78%), SMP 10 (77%), SMP 17 (77%), SMP 19 (77%). Maka dapat disimpulkan perencanaan pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon adalah 77%. Bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan, maka perencanaan pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon termasuk kategori baik.
(2)
3. Pelaksanaan Pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon
Dari hasil penelitian tentang pelaksanaan pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon, yaitu: SMP 1memperoleh skor persentase 74%, SMP 2 (74%), SMP 4 (75%), SMP 6 (75%), SMP 9 (75%), SMP 10 (75%), SMP 17 (75%), SMP 19 (76%). Maka dapat disimpulkan pelaksanaan pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon adalah 75%. Bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan, maka pelaksanaan pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon termasuk kategori baik.
4. Evaluasi Pembelajaran inklusi
Dari hasil penelitian tentang evaluasi pembelajaran Inklusi pada 8 Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon, yaitu: SMP 1 memperoleh skor persentase 76%, SMP 2 (67%), SMP 4 (77%), SMP 6 (77%), SMP 9 (77%), SMP 10 (78%), SMP 17 (77%), SMP 19 (76%). Maka dapat disimpulkan evaluasi pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon adalah 76%. Bila mengacu pada kriteria yang ditetapkan, maka evaluasi pembelajaran inklusi pada SMP di Kota Ambon termasuk kategori baik.
B. Saran
Berdasarkan temuan dilapangan, pengetahuan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran guru mengenai pendidikan inklusif yang berada pada kriteria baik namun masih perlu ditingkatkan agar tidak melenceng dari nilai-ilai inklusi, maka peneliti memberikan saran yang dapat menjadi pertimbangan untuk
(3)
meningkatkan pelaksanaan pendidikan inklusi pada Sekolah Menegah Pertama di Kota Ambon adalah sebagai berikut:
1. Pihak Sekolah
a. Sekolah mengupayakan meningkatkan pengetahuan guru tentang pendidikan inklusi melalui pelatihan, seminar, atau kegiatn-kegiatan sosialisasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi.
b. Sekolah bekerjasama dengan SLB sebagai resurce center dalam hal pemenuhan GPK agar kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dapat terlayani. c. Sekolah memanfaatkan masyarakat untuk berperan serta dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusi
2. Pemerintah Provinsi Maluku dan Kota Ambon
Dalam mewujudkan pendidikan untuk semua, pemerintah provinsi dan kota harus menjalankan fungsi administratifnya sesuai dengan peraturan mentri nomor 70 tahun 2009 tentang penddikan inklusif pasal 6 dan pasal 10. Yaitu menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik, menjamin tersedianya sumberdaya pendidikan, menyediakan paling sedikit satu orang GPK, serta meningkatkan kompetensi guru melalui pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan, melalui P4TK, LPMP, Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah daerah. Pemerintah juga menyediakan anggaran dana untuk merehabilitasi gedung-gedung sekolah agar dapat diakses oleh semua anak tanpa terkecuali.
(4)
Daftar Pustaka
Abdulrahman,M. (2003). Landasan Pendidikan Inklusif dan Implikasinya
dalam Penyelenggaraan LPTK. Makalah disajikan dalam Pelatihan Penulisan Buku Ajar Bagi Dosen Jurusan PLB yang Diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Yokyakarta, 26 agustus 2002.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. (Edisi Keempat) Jakarta: Rineka Cipta.
Arum, W.S.A. (2004). Perspektif Pendidikan Luar Biasa dan Implikasinya Bagi
Penyiapan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Depdiknas.
Berit H. Johnsen dan MiriamD. Skjorten (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus-
Sebuah Pengantar, Program Pendidikan Pasca Sarjana Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung.
Budiyanto, (2005). Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Depdiknas
Booth, T and Ainscow, M (2002). Index for Inclusion: Developing Learning and Participation in Schools. London: Centre for Studies on Inclusive Education.
Dimyati dan Mudjiono.(2002).Belajar dan Pembelajaran.Jakarta: PT Rineka Cipta
Daryanto, Tri. (2005). Sistem Multimedia dan Aplikasinya.Yogyakarta : Graha Ilmu
Djamarah dan Zain. (2002). Evaluasi Pengajaran Bahasa. Jakarta : Rineka Cipta Depdiknas. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas
Dyah (2005). Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus
pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Diakses dari
http:/www.puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%2 OS_Pengkajian%Pendidikan%20Inklusif.pdf
Direktorat Pembinaan SLB, (2009). Pedoman Khusus Penyelenggaraan
Pendidikan Isnklusif. Jakarta : Dapartemen Pendidikan Nasional.
Direktorat PLB, (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu /
(5)
Departemen Pendidikan Nasional.(2003). Kebijakan pemerintah Dalam
Pendidikan Inklusi. Jakarta.
Hermawan dan Kustawan. (2004). Penilaian dalam Setting Pendidikan Inklusif. Makalah pada Sosialisasi Pendidikan Inklusif Tingkat Propinsi Jabar
Hidayat, (2005). Pengelolaan Kelas Inklusif di Sekolah Dasar Reguler. Tesis Magister Pada PPS UPI: Bandung. Tidak diterbitkan.
Johnsen,B (2003). Kurikulum Untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual
Artikel dalam Johnson B.H & Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan
Kebutuhan khusus Sebuah Pengantar, Bandung, Program pasca Sarjana UPI Bandung.
Kementrian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Mendiknas. (2010).
Permendiknas No 70 Tahun 2009, Jakarta : Direktorat Jenderal Mendiknas
Louisell, R.D., & Descamps, J. (1992). Developing A Teaching Style Methods
for Elementary School Teachers. New York: Harper Collins Publishers.
Sudjana.N. (2002). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: TARSITO Nasir Muhamad. (1988). Metodologi Riset: Jakarta Rineka Cipta
Notoatmodjo. 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta
Margono,S. (2000). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta Rineka Cipta. Riduwan. (2010). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung:
Alfabeta
Rusman. (2011). Medel-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Smith, J. D (2006). Inklusi Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Nuansa Sagala, H.S. ( 2003). Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu
Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta
Sugiyono, (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alvabeta
Sunanto Dj.et All. (2004). Pendidikan Yang Terbuka Bagi Semua. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dalam UNESCO Jakarta Office
(6)
Sunardi. (2002). Pendidikan Inklusif: Prakondisi dan Implikasi Manajerialnya, Makalah Temu Ilmiah Nasional Jurusan PLB, Bandung agustus 2002 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional. Diakses
dari http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf
Millan James, Schumacher sally. (1997). Research in Education, New york San Francsco
Winataputra, U.S.(1998).Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka Winkel, W.S, (1991). Psikologi Pengajaran, Jakarta: Gramedia.
W.A. Weber, (1977), Classroom Management, Dalam James M. Cooper (Ed.),
Classroom teaching skills: A hand book, Toronto, D.C. Heath and
Company.