BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH SMA: ANALISIS ISI DAN WACANA NASIONALISME.

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Struktur Organisasi Disertasi ... 13

BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis ... 17

1. Nasionalisme ... 17

2. Pendidikan Sejarah ... 27

a. Tinjauan Filosofis ... 27

b. Tujuan Kurikuler ... 36

c. Perkembangan Kurikulum ... 42

3. Buku Teks Mata Pelajaran Sejarah ... 50

B. Kajian Empiris ... 69

1. Kajian Buku Teks Sejarah Amerika Serikat ... 69

2. Kajian Buku Teks Sejarah Jepang ... 73

3. Kajian Buku Teks Sejarah India ... 79

4. Kajian Buku Teks Sejarah Indonesia ... 83 a. H.A.J. Klooster, 1985, Indonesiërs schrijen hun geschiedenis:


(2)

de ontwikkeling van de Indonesische geschiedbeoefening

in theorie en praktijk, 1900-1980 ... 83

b. Darmiasti, Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas 1964-1984: Sejarah Demi Kekuasaan ... 89

BAB III: METODE PENELITIAN A. Subjek Penelitian ... 94

B. Pendekatan Penelitian ... 99

C. Kerangka Analisis ... 107

Bab IV: HASIL DAN PEMBAHASAN PERIODE PERGERAKAN NASIONAL A. Hasil Penelitian ... 117

1. Buku teks untuk Kurikulum 1975 ... 117

2. Buku teks untuk Kurikulum 1984 ... 132

3. Buku teks untuk Kurikulum 1994 ... 138

4. Buku teks untuk Kurikulum 2006 ... 154

B. Pembahasan ... 169

1. Aspek pendekatan pada penulisan sejarah pergerakan nasional ... 169

2. Aspek kKeberagaman pada penulisan sejarah pergerakan nasional 191

3. Aspek sintesa menuju integrasi nasional pada penulisan sejarah pergerakan nasional ... 202

4. Kualitas penyajian pada penulisan sejarah pergerakan nasional ... 207

Bab V: HASIL DAN PEMBAHASAN PERIODE REVOLUSI KEMERDEKAAN A. Hasil Penelitian ... 223

1. Buku teks untuk Kurikulum 1975 ... 223

2. Buku teks untuk Kurikulum 1984 ... 238

3. Buku teks untuk Kurikulum 1994 ... 249

4. Buku teks untuk Kurikulum 2006 ... 264

B. Pembahasan ... 276

1. Aspek pendekatan pada penulisan sejarah revolusi kemerdekaan ... 276

2. Aspek keberagaman pada penulisan sejarah revolusi kemerdekaan 302

3. Aspek sintesa menuju Integrasi nasional pada penulisan sejarah revolusi kemerdekaan ... 307


(3)

Bab VI: SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 329 B. Saran ... 335 DAFTAR PUSTAKA ... 338 LAMPIRAN

1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 48 Tahun 2007 ... 348 RIWAYAT HIDUP


(4)

DAFTAR TABEL

1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Sejarah ... 47 2. Instrumen Penelitian Aspek Penyajian Dalam Buku Teks ...

113

3. Pengertian Setiap Item Instrumen Penelitian Aspek Penyajian

Dalam Buku Teks ... 113


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 48 Tahun 2007 ... 348


(6)

BAB I: PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG MASALAH

Pada dekade pertama abad XXI ini, salah satu kecenderungan yang cukup memprihatinkan adalah merosotnya nasionalisme di hampir semua lapisan masyarakat Indonesia. Di kalangan generasi muda, kemerosotan nasionalisme ditandai dengan semakin pudarnya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tanah airnya. Dari wawancara terhadap pelajar, ditemukan kecenderungan bahwa sebagaian besar mereka menempatkan Indonesia hanya sebagai fakta geografis, yaitu tempat lahir dan tinggal (Jakarta Post, 16 Agustus 2002). Bahkan Gismar (2008: 204), melalui survey terhadap mahasiswa di Jakarta menemukan bahwa generasi muda memandang Indonesia sebagai masyarakat yang cenderung negatif. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa generasi muda kurang memiliki kebanggaan terhadap bangsanya sendiri.

Permasalahan kemerosotan nasionalisme tidak hanya dihadapi oleh kaum muda. Ekspresi yang sealur juga terdapat pada lapisan-lapisan masyarakat yang di atasnya. Pada penelitian antropologis Wallach (2002: 80) dari Cornell University juga menemukan gejala xenocentrisme pada penikmat seni di Jakarta. Mereka memandang bahwa seni lokal sebagai kampungan dan lebih memilih kesenian Barat. Selain bidang seni, kecenderungan memilih budaya asing dari pada budaya sendiri terlihat pada bidang politik, yaitu pada fenomena munculnya gerakan-gerakan untuk membangun negara Islam, baik dalam bentuk Negara Islam Indonesia maupun menghidupkan kekhalifahan (Wahid, 2009: Bab III).


(7)

Kemerosotan nasionalisme juga dapat disimak dari terjadinya konflik antar golongan masyarakat, seperti etnik, penganut agama, dan adat istiadat yang tidak jarang diwarnai dengan kekerasan. Meskipun motto bangsa Indonesia adalah “Bhineka Tunggal Ika”, dewasa ini sering muncul pandangan bahwa etnik lain, penganut agama lain dan bahkan orang dari kampung lain sebagai pihak yang layak dan pantas untuk diperlakukan sebagai orang lain (the other). Peristiwa bentrokan antar warga Umbul Tebing dengan warga Desa Pematang Tahalo di Lampung Timur pada 28 September 2012 (Kompas, tanggal 28 September 2012) dan konflik fisik antara etnik lampung dan etnik Bali di Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan sebulan kemudian (Kompas, tanggal 28 Oktober 2012) menandakan bahwa simbol-simbol nasional, baik berupa tata nilai, norma maupun institusi tidak lagi mampu mengelola interaksi antar golongan masyarakat.

Di pihak lain, para pengelola negara yang sebagian besar dari partai politik dan birokrasi pemerintahan, lebih banyak memperlihatkan usaha mewujudkan kepentingan-kepentingan kekuasaan individu dan kelompoknya dari pada kepentingan bangsa yang lebih mendasar, seperti memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial. Akibatnya, korupsi dan kolusi menjadi penyakit kronis yang semakin lama semakin besar dan mengancam eksistensi bangsa Indonesia.

Sebagai fenomena sosial, kemerosotan nasionalisme Indonesia telah lama dirasakan dan memiliki latar belakang yang kompleks. Salah satu faktor yang cukup sentral adalah kekurangberhasilan pendidikan, khususnya dalam usaha menanamkan nasionalisme melalui program yang dikenal luas sebagai nation


(8)

building. Sejarah sebagai salah satu mata pelajaran yang bertanggungjawab untuk penanaman nilai kebangsaan atau nasionalisme, dipertanyakan kemampuannya.

Paling tidak terdapat dua masalah yang mengemuka pada perbincangan masyarakat, baik melalui media massa maupun diskusi-diskusi terbatas. Permasalahan pertama adalah tentang metode pembelajaran sejarah. Metode pembelajaran yang diterapkan guru dianggap kurang berhasil menjadikan siswa tertarik untuk mempelajari dan mendalami sejarah. Dalam sebuah laporan penelitian, seorang guru sejarah memberikan pengakuan:

Pengajarannya kurang diminati siswa dengan penyajian yang monoton, materi pelajaran yang gersang dengan tidak dikemas secara apik, baik dari segi metode maupun media pengajaran, suasana kelas yang kering kerontang dengan tidak banyaknya siswa yang mau bertanya dalam proses pengajaran, siswa kurang berani mengemukakan gagasan dalam kegiatan belajar, kurang peduli di kelas dengan tidak mempunyai catatan... (Al Khosim, 2011).

Dari pengakuan tersebut dapat disimak bahwa salah satu permasalahan adalah guru menyajikan pembelajaran sejarah bersifat monoton. Permasalahan itu sebenarnya bukan monopoli guru sejarah, tetapi dilakukan oleh kebanyakan pengajar di Indonesia, dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Pada umumnya, guru menggunakan teacher centered approach dan metode ceramah atau chalk and talk karena dipandang paling efisien, baik ditinjau dari aspek persiapan maupun pelaksanaan. Guru tidak perlu menyiapkan banyak hal untuk menerapkan metode ceramah, yaitu hanya menghapalkan bahan ajar yang terdapat di buku teks dan akan dibahas di kelas. Bagi yang telah bertahun mengajar, secara kognitif guru telah menguasainya dengan mendalam, sehingga hampir tidak perlu menyiapkan diri.


(9)

Pada saat pelaksanaan, metode ceramah juga sangat efisien, karena guru menjadi satu-satunya pemeran utama. Guru dengan kokoh mengendalikan situasi kelas, sehingga dapat menentukan kapan akan berbicara, kapan mengadakan tanya-jawab dan kapan pelajaran akan diakhiri. Sebaliknya, kegiatan siswa terbatas pada duduk, diam dan mencatat. Dengan demikian, guru dengan mudah melakukan pengelolaan kelas dalam rangka menjaga suasana tenang selama proses pembelajaran.

Seperti telah disinggung di depan, bahwa efisiensi yang sangat tinggi pada pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru tidak dapat diikuti dengan efektifitas yang sama tinggi. Rendahnya efektifitas, selain disebabkan oleh metode pembelajaran juga dikarenakan guru kurang menguasai keterampilan presentasi, penggunaan alat bantu mengajar dan media pembelajaran. Akibatnya kegiatan siswa yang notabene masih remaja menjadi sangat terbatas, yaitu hanya untuk duduk, diam dan mencatat mengakibatkan mereka cepat bosan. Pada tingkat selanjutnya, hilangnya fokus perhatian siswa akan menjadikan daya serap terhadap materi pembelajaran merosot. Dari sudut pandang ini, merupakan fenomena yang wajar apabila prestasi akademik siswa pada mata pelajaran sejarah relatif rendah. Apalagi tidak ada stimulus yang cukup kuat untuk membangkitkan motivasi siswa dalam belajar sejarah. Banyak guru sejarah yang menganggap bahwa tidak dimasukkannya mata pelajaran sejarah sebagai mata ujian dalam Ujian Nasioanal mengakibatkan semakin rendahnya motivasi siswa untuk mempelajari sejarah.


(10)

Permasalahan kedua adalah tentang bahan ajar untuk pembelajaran sejarah. Permasalahan yang muncul ke permukaan sangat beragam, antara lain penampilan fisik buku teks dan bahan ajar yang dimuat dalam buku teks. Disimak dari penampilan fisik, buku teks pendidikan sejarah kurang menarik, khususnya buku terbitan lama. Selain dicetak pada kertas kualitas rendah, hampir seluruh buku teks miskin akan ilustrasi. Alasan yang muncul dari pihak penerbit biasanya adalah pertimbangan ekonomi, yaitu agar buku teks dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dewasa ini penampilan fisik buku teks sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Helius Sjamsudin mencatat perkembangan buku teks pada pertengahan dasawarsa 1900-an sebagai berikut:

Dari penampilan fisik, buku-buku teks sudah dilengkapi dengan banyak ilustrasi, foto, gambar, peta-peta sejarah yang menarik dan informatif. Kertas yang digunakan cukup luks (HVS), meskipun ada juga penerbit yang menggunakan kertas koran untuk lebih menghemat. Teknik penggunaan huruf-huruf sudah canggih, bold dan italic digunakan untuk memberikan aksen, begitu pula signpost-signpost yang ditempatkan di pinggir-pinggir halaman untuk memudahkan rujukan bagi siswa. Ukuran buku juga bervariasi. Ada yang menggunakan ukuran buku standar, ada juga ukuran lebar model “diktat” (Sjamsudin, 1997, 115).

Ditinjau dari isi, bahan ajar yang terkandung pada buku teks lebih merupakan ringkasan dari buku Sejarah Nasional Indonesia. Dari sudut pandang ini, pemilihan bahan ajar yang dimasukkan pada buku teks lebih banyak menggunakan pertimbangan aspek akademik atau keilmuan sejarah dari pada aspek edukatif. Dengan bahasa yang berbeda, Helius Sjamsudin menjelaskan:

... Semua materi mau dimasukkan karena khawatir bersisa tanpa memperhitungkan apakah cukup signifikan atau relevan dalam menyebutkan nama-nama orang, tanggal dan peristiwa... Begitu banyak fakta sejarah yang disodorkan dan harus dipelajari oleh para siswa


(11)

sehingga besar kemungkinan mereka terbenam dalam samudera fakta itu... (Sjamsudin, 1997, 116)

Kekurangmampuan dalam menanamkan nasionalisme Indonesia kepada generasi muda telah disadari oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan sejarah. Seiring dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan lahirnya era Reformasi, kesadaran itu berkembang dengan subur. Penulisan ulang sejarah nasional akhirnya menjadi agenda yang harus dikerjakan. Yuwono Sudarsono yang menjadi Menteri Pendidikan periode 1998-1999 memerintahkan agar diadakan penyelidikan untuk memperbaiki isi buku pelajaran sejarah, meski hasilnya kurang memuaskan (Nordholt, Purwanto dan Saptari dalam Nordholt dkk, ed., 2008: 18). Tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah, akhirnya di tengah masyarakat berkembang buku teks pelajaran sejarah yang dalam konteks ini dapat ditempatkan sebagai usaha merevisi berbagai kelemahan yang menonjol:

Revisi buku pelajaran setelah 1999 memang mengubah penyajian periode Orde Baru. Jika dalam kurikulum 1994 dijelaskan kelahiran, hasil-hasil dan nilai-nilai Orde Baru, termasuk integrasi Timor Timur, maka dalam edisi revisi 2001 Orde Baru hampir sama sekali dihapus! Sejarah Orde Baru dipadatkan menjadi tiga, yaitu 1) daftar menteri Orde Lama yang digantikan oleh kabinet baru 1966, 2) gambar Supersemar plus catatan bahwa ada banyak interpretasi mengenai keaslian dokumen ini, 3) walaupun kata pembukaan menyebutkan keberhasilan pembangunan oleh Orde Baru, tetapi dalam kalimat berikutnya kita diingatkan bahwa pemerintah Soeharto akhirnya kandas oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)... Tampaknya periode antara 1966 dan 1997 seolah-olah merupakan periode kosong, periode tanpa kejadian (Nordholt, Purwanto dan Saptari dalam Nordholt dkk, ed., 2008: 18-19).

Tidak mau ketinggalan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Debudpar) mengambil inisiatif untuk mengembangkan kesadaran sejarah dengan mengadakan Lasenas, yaitu Lawatan Sejarah Nasional. Dalam press release-nya dijelaskan bahwa:


(12)

Lawatan Sejarah adalah suatu kegiatan perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites) yang merupakan simpul-simpul orientasi nilai-nilai perjuangan dan persatuan untuk memperkokoh intergrasi bangsa...

Lasenas menggunakan model seeing is believing sebagai dasar yang dirasakan lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan model yang dogmatis. Hal ini dapat dilihat dari kondisi pada saat ini ini, dimana banyak siswa dari berbagai sekolah menyatakan bahwa pelajaran sejarah itu penting. Selain itu keefektifan dari program ini dapat dilihat dari minat siswa untuk masuk Perguruan Tinggi dengan Jurusan Sejarah sebagai pilihan utama semakin meningkat.

Dari kegiatan Lasenas selama ini, dirasakan adanya peningkatan menyangkut pemahaman sejarah, baik oleh para siswa maupun oleh para guru, karena dapat mendidik murid-muridnya dengan lebih variatif dan tidak hanya berpatokan pada buku. Dengan demikian diharapkan pemahaman sejarah dapat menjadi suatu pemahaman yang dapat direfleksikan (http://www.budpar.go.id/page.php?ic=512&id=1492).

Terobosan juga dilakukan dengan pembaharuan kurikulum yang selama masa reformasi terjadi dua kali, yaitu tahun 2004 dan 2006. Pembaharuan itu secara otomatis akan berpengaruh pada disusun dan diproduksinya buku teks pelajaran sejarah yang baru. Pertanyaannya adalah apakah buku teks tersebut telah cukup memadai sebagai media penanaman nasionalisme?

B.

IDENTIFIKASI DAN RUMUSAN MASALAH

Dari uraian pada latar belakang masalah dapat diambil pemahaman bahwa problem yang melingkupi pendidikan sejarah di Indonesia sangatlah kompleks, antara lain kapasitas guru sejarah, pembelajaran sampai dengan buku teks. Beranjak dari permasalahan yang berhasil diidentifikasi, kajian ini akan difokuskan pada bahan ajar yang dipergunakan oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran pada mata pelajaran sejarah. Oleh karena guru pada umumnya menggunakan buku teks sebagai bahan ajar, maka penelitian dikonsentrasikan pada bahan ajar yang terkandung dalam buku teks.


(13)

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai lembaga yang dibentuk untuk menilai kelayakan buku teks menetapkan empat kriteria utama, yaitu:

a. materi b. penyajian

c. bahasa dan keterbacaan d. grafika

Pada bidang materi pengkajian kelayakan meliputi kekhususan materi, keakuratan dan kemutakhiran; penyajian informasi yang tidak bias, kesesuaian kosa kata, struktur kalimat, panjang paragraf dan tingkat kemenarikan uraian dengan kognisi siswa; pencantuman rujukan yang digunakan; kesesuaian dan keakuratan ilustrasi, peta, tabel dan grafik dengan teks; kesesuaian materi dengan kurikulum; serta keseimbangan penyebaran materi, baik yang berkenaan dengan pengembangan makna dan pemahaman, pemecahan masalah, pengembangan proses, latihan dan praktik, tes keterampilan maupun pemahaman.

Penilaian aspek penyajian meliputi tujuan pembelajaran, keteraturan urutan dalam penguraian, kemenarikan minat dan perhatian siswa, kemudahan dipahami, keaktifan siswa, hubungan bahan, serta latihan dan soal. Penilaian aspek bahasa dan keterbacaan meliputi kemudahan membaca (berhubungan dengan bentuk tulisan atau tipografi, ukuran huruf, dan lebar spasi) yang berkaitan dengan aspek grafika; kemenarikan (berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide bacaan, dan penilaian keindahan gaya tulisan) yang berkaitan dengan aspek penyajian materi; serta kesesuaian (berhubungan dengan kata dan


(14)

kalimat, panjang-pendek, frekuensi, bangun kalimat, dan susunan paragraf) yang berkaitan dengan bahasa dan keterbacaan. Pada bagian grafika, aspek yang dinilai adalah hal-hal yang berkenaan dengan fisik buku, antara lain: ukuran buku, jenis kertas, cetakan, ukuran huruf, warna, dan ilustrasi.

Agar lebih fokus, penelitian ini akan dibatasi pada permasalahan:

1. Pendekatan yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada tahun 1975-2008.

Pada bagian ini akan dikaji model penulisan yang digunakan oleh penulis dalam menyusun buku teks pelajaran sejarah. Perhatian utama pengkajian ditujukan untuk melihat seberapa jauh kemampuan pengarang buku teks mengungkapkan “sejarah dari dalam” dan menguraikan faktor-faktor yang mendorong suatu peristiwa sejarah.

2. Keberagaman penjelasan yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada tahun 1975-2008.

Pada bagian ini akan dibahas penjelasan keberagaman yang terdapat pada buku teks, baik dari perspektif kebhinekaan bangsa Indonesia (suku, agama, ras, dan wilayah) maupun dari perspektif peristiwa dan pelaku. Keberagaman tersebut penting untuk menumbuhkan solidaritas antar berbagai suku dalam wadah identitas nasional.

3. Sejarah sebagai sintesis menuju integrasi nasional yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada tahun 1975-2008.

Terbentuknya Republik Indonesia merupakan realitas historis. Oleh karena itu pada bagian ini akan dikaji penjelasan buku teks dalam memilih topik dan


(15)

merangkai peristiwa-peristiwa historis yang terjadi sebelumnya dalam satu gerak sejarah menuju terbentuknya integrasi nasional.

4. Wacana yang ditawarkan penulis melalui rangkaian narasi yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada tahun 1975-2008.

Pada bagian ini akan dikaji pandangan pengarang yang terdapat di dalam pintalan kalimat yang disusunnya, baik yang terrepresentasi melalui pendekatan, peristiwa maupun perspektif yang dengan sengaja dipilihnya. Perhatian utama pengkajian ditujukan untuk melihat manifestasi nasionalisme yang ditonjolkan oleh pengarang.

5. Kualitas penyajian buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada tahun 1975-2008 ditinjau dari fungsinya dalam pembelajaran sejarah.

Pada bagian ini akan dikaji kualitas buku teks sebagai pendukung keberhasilan proses pembelajaran sejarah. Kajian terutama akan dilakukan dari perspektif penyajian.

Kelima permasalahan yang akan dikaji di atas dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pendekatan yang digunakan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada periode tahun 1975-2008?

2. Bagaimana keberagaman yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada periode tahun 1975-2008?


(16)

3. Bagaimana sejarah sebagai sintesis menuju integrasi nasional yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada periode tahun 1975-2008?

4. Bagaimana wacana nasionalisme yang dikemukakan penulis dalam buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada periode tahun 1975-2008?

5. Bagaimana kualitas penyajian buku teks pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS pada periode tahun 1975-2008?

Buku pelajaran sejarah SMA membahas materi yang sangat banyak, yaitu berbagai fenomena historis yang terbentang dari masa pra sejarah sampai dengan masa sekarang atau kontemporer. Secara teoritis, pengarang dapat mewacanakan penanaman nasionalisme pada setiap fenomena historis yang dibahas. Oleh karena banyaknya fenomena historis yang dibahas, pada penelitian ini akan dipilih dua topik pelajaran sejarah yang terdapat pada buku teks, yaitu pergerakan nasional dan revolusi kemerdekaan. Pemilihan kedua topik didasarkan pertimbangan bahwa usaha menanamkan nasionalisme Indonesia pada masa itu tidak hanya bersifat normatif, tetapi telah menjadi fenomena historis. Dari sudut pandang itu, pengarang buku teks akan mampu mewacanakan nasionalisme secara optimal, karena didukung oleh fakta-fakta historis yang kaya. Dengan kata lain, pergerakan nasional dan revolusi kemerdekaan merupakan topik yang memungkinkan identitas nasional diwacanakan dengan sangat kuat.


(17)

Sesuai dengan permasalahan yang telah dibahas, penelitian ini terutama ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang wacana nasionalisme pada buku teks sebagai bahan ajar mata pelajaran sejarah bagi siswa SMA/MAN jurusan IPS. Penelitian ini juga ditujukan untuk mengevaluasi materi buku teks sebagai bahan ajar mata pelajaran sejarah bagi siswa SMA/MAN jurusan IPS ditinjau dari fungsi pendidikan sejarah. Evaluasi itu penting dilakukan untuk mengukur ketepatan bahan ajar pada buku teks dari sudut pandang fungsi mata pelajaran sejarah secara mandiri dan sebagai bagian dari Pendidikan IPS.

Melalui pemahaman dan evaluasi diharapkan secara akademik dapat ditemukan format yang relatif memadai untuk penyusunan bahan ajar dalam bentuk buku teks mata pelajaran sejarah bagi siswa SMA/MAN jurusan IPS di masa-masa yang akan datang. Dengan kata lain, melalui pemahaman dan evaluasi yang dilakukan, diharapkan mampu disusun kriteria eksplanasi sejarah sebagai bahan ajar SMA yang dijabarkan dari tujuan pendidikan IPS.

D.

MANFAAT PENELITIAN

Melalui pengkajian yang dilakukan, diharapkan penelitian ini akan mampu memberi manfaat bagi guru sejarah, penyusun atau penulis buku teks dan pengambil kebijakan, terutama dalam pengembangan buku teks mata pelajaran sejarah di tingkat SMA/MAN, sehingga lebih efektif menanamkan nasionalisme dalam diri para siswa. Bagi kalangan guru sejarah, penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman tentang bahan ajar dan berbagai pertimbangan yang diperlukan untuk memilih bahan ajar. Apabila kecerdasan dan otonomi guru


(18)

sejarah dalam memilih bahan ajar dapat berkembang optimal, berbagai tekanan yang dilakukan oleh pejabat politik dan sejarawan (non keguruan) dapat ditanggapi secara jernih dan rasional. Guru sejarah dapat menjelaskan secara ilmiah berbagai keputusannya dalam memilih bahan ajar.

Bagi penyusun atau penulis buku teks, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang berbagai pertimbangan yang diperlukan dalam memilih kajian historis untuk ditampilkan sebagai tawaran bahan ajar pada buku teks. Mereka dapat belajar terhadap kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada buku teks pelajaran sejarah di Indonesia serta menemukan peluang untuk mengembangkannya di masa-masa yang akan datang.

Dewasa ini pemerintah melalui departemen pendidikan telah banyak melakukan pengembangan kualitas buku teks. Selain membentuk Badan Standard Nasional Penerbitan (BSNP), pemerintah juga telah menyusun berbagai kriteria buku teks yang layak diterbitkan dan pergunakan oleh sekolah. Dalam konteks itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap pengambilan kebijakan dalam pengembangan materi buku teks sebagai bahan ajar mata pelajaran sejarah tingkat SMA di masa-masa mendatang, terutama pada aspek perspektif isi.

Apabila semua pihak tersebut di atas mampu memanfaatkan hasil penelitian ini secara optimal, maka secara simultan pada masa mendatang akan mampu disusun buku teks pelajaran sejarah yang memungkinkan siswa melakukan dialog kritis dengan masa lampau bangsanya dan mengembangkan nasionalisme. Dengan kata lain, manfaat yang paling penting, meski tidak secara


(19)

langsung, adalah bagi siswa SMA agar memiliki kebanggaan sebagai warga bangsa Indonesia dan melalui kemampuan masing-masing dapat berpartisipasi aktif dalam usaha mewujudkan kesejahteraan bersama bangsa Indonesia.

E.

STRUKTUR ORGANISASI DISERTASI

Bab I. PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian. Dalam sub bab latar belakang antara lain diuraikan berbagai problem aktual yang mendorong penulis melakukan penelitian.

Bab II: KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan kajian teoritis dan kajian empiris. Dalam sub bab kajian teoritis dibahas secara teoritis tentang nasionalisme, pendidikan sejarah dan buku teks mata pelajaran sejarah. Dalam sub bab kajian empiris dikaji penelitian buku teks di Indonesia.

Bab III. METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan subjek, metode dan pendekatan penelitian serta kerangka analisis. Pada sub bab subjek penelitian dipaparkan buku teks yang akan dikaji, serta berbagai pembatasan yang dilakukan agar penelitian lebih fokus. Pada sub bab pendekatan akan disampaikan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik, yaitu menempatkan buku teks sebagai representasi pemikiran pengarang. Pada sub bab kerangka analisis dibahas analisis isi (content


(20)

analysis) yang akan digunakan untuk mengkaji buku teks dari keempat permasalahan yang diajukan pada bab I.

Bab IV. PERIODE PERGERAKAN NASIONAL

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang dilakukan terhadap ke 12 buku teks pada pembahasan tentang pergerakan nasional Indonesia tahun 1908-1945. Pada sub bab pembahasan akan dianalisis pendekatan yang digunakan oleh pengarang buku teks, serta narasi mereka tentang keberagaman dan integrasi nasional. Analisis pendekatan difokuskan terutama pada kemampuan pengarang mengungkapkan “sejarah dari dalam”, menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya peristiwa sejarah. Analisis terhadap keberagaman difokuskan pada kemampuan pengarang dalam mengeksplorasi berbagai golongan masyarakat, baik etnik, agama maupun usia yang ikut melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Analisis sintesis integrasi nasional diarahkan pada kemampuan pengarang dalam menyusun narasi revolusi kemerdekaan sebagai sintesis menuju terbangunnya integrasi nasional. Analisis wacana yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca dilakukan dengan mengkritisi pendekatan yang dipilih, keberagamanan yang dieksplorasi dan sintesis integrasi nasional yang disusun melalui memperbandingkannya terhadap sumber primer dan hasil penelitian akademik yang ada. Analisis kualitas akan diarahkan pada evaluasi buku teks dalam hal materi, penyajian dan penampilan pada saat membahas sejarah pergerakan Indonesia.


(21)

Bab V. PERIODE REVOLUSI KEMERDEKAAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang dilakukan terhadap ke 12 buku teks pada pembahasan tentang revolusi kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1950. Pada sub bab pembahasan akan dianalisis pendekatan yang digunakan oleh pengarang buku teks, serta narasi mereka tentang keberagaman dan integrasi nasional. Analisis pendekatan difokuskan terutama pada kemampuan pengarang mengungkapkan “sejarah dari dalam” dan menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya peristiwa sejarah. Analisis terhadap keberagaman difokuskan pada kemampuan pengarang dalam mengeksplorasi berbagai golongan masyarakat, baik etnik, agama maupun usia yang ikut melibatkan diri dalam revolusi kemerdekaan. Analisis sintesis integrasi nasional diarahkan pada kemampuan pengarang dalam menyusun narasi revolusi kemerdekaan sebagai sintesis menuju terbangunnya integrasi nasional. Analisis wacana yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca dilakukan dengan mengkritisi pendekatan yang dipilih, keberagamanan yang dieksplorasi dan sintesis integrasi nasional yang disusun melalui memperbandingkannya terhadap sumber primer dan hasil penelitian akademik yang ada. Analisis kualitas akan diarahkan pada evaluasi buku teks dalam hal materi, penyajian dan penampilan pada saat membahas sejarah revolusi kemerdekaan.

Bab VI. SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan berbagai simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan terhadap ke 12 buku teks. Pada bab ini juga diajukan saran atau rekomendasi untuk perbaikan buku teks pelajaran sejarah di masa mendatang.


(22)

BAB III: METODE PENELITIAN

A.

SUBJEK PENELITIAN

Penelitian ini menempatkan buku teks mata pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS yang digunakan dalam pembelajaran pada periode 1975-2008 sebagai subjek kajian. Agar memperoleh kajian yang tajam, subjek penelitian dibatasi pada buku teks yang digunakan sebagai bahan ajar bagi siswa Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pembatasan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa tingkat satuan pendidikan di Indonesia dewasa ini telah begitu rincinya dipilah-pilah. Pada satuan pendidikan menengah, pemerintah membedakan antara SMA/MA dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Untuk masing masing jenis sekolah memiliki bahan ajar mata pelajaran Sejarah yang berbeda. Bahkan pemerintah juga membedakan bahan ajar untuk SMA/MAN jurusan IPA, IPS dan Bahasa.

Pengambilan SMA/MA jurusan IPS sebagai konsentrasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada jurusan itu mata pelajaran sejarah memperoleh jumlah jam pelajaran paling banyak dibandingkan dengan pada jurusan IPA maupun Bahasa. Dengan frekuensi pembelajaran paling tinggi, dapat diambil pemahaman bahwa mata pelajaran sejarah pada jurusan IPS merupakan paling komprehensif dan mendalam.

Selain jurusan yang mengajarkan sejarah paling komprehensif dan mendalam, sesuai dengan namanya, jurusan IPS sudah seharusnya menjadi jurusan yang paling intensif mengarahkan siswanya untuk menjadi warga negara


(23)

yang baik. Hal itu terkait dengan tujuan pendidikan IPS adalah untuk membangun warga negara yang baik (Somantrie, 2005: 4). Dari sudut pandang tujuan IPS itu, salah satu unsur penting dari kebaikan warga negara adalah memiliki nasionalisme (Kartodirdjo, 2005: 114). Dengan kata lain, proses pembelajaran pada jurusan IPS sudah seharusnya mengarahkan agar dalam diri setiap siswa tumbuh dan berkembang kesadaran sebagai warga bangsa (nation) dan berperilaku sesuai dengan tata nilai dan norma yang menjadi simbol-simbol nasionalismenya.

Untuk menumbuhkan kesadaran dan perilaku sebagai warga bangsa diperlukan proses penanaman nasionalisme yang antara lain melalui mata pelajaran sejarah. Dari sudut pandang ini, sudah selayaknya buku teks mata pelajaran sejarah mewacanakan nasionalisme, sehingga siswa dapat menemukan sendiri pergumulan nenek moyangnya di masa lampau dalam usaha membangun, mengembangkan dan mempertahankan bangsa Indonesia.

Penelitian ini akan dibatasi pada uraian buku teks tentang lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia. Pembatasan itu didasarkan pertimbangan bahwa pada periode itu secara bertahap mulai berkembang kesadaran untuk membangun Indonesia sebagai bangsa. Dari sudut pandang ini, pada pembahasan periode itulah uraian buku teks memiliki ruang paling luas untuk mewacanakan nasionalisme.

Dalam sejarah Indonesia, lahirnya nasionalisme ditandai dengan munculnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Permasalahan yang muncul adalah penetapan batas akhir perkembangan nasionalisme, karena masing-masing


(24)

periode buku teks memiliki batas yang berbeda-beda. Oleh karena banyaknya bias subjektifitas penguasa pada periode setelah proklamasi kemerdekaan, maka pada penelitian ini perkembangan nasionalisme Indonesia dibatasi sampai dengan masa revolusi kemerdekaan.

Dengan mempertimbangkan kebermanfaatan pada pengembangan pendidikan kontemporer, penelitian buku teks pelajaran sejarah ini akan dibatasi dari tahun 1975 sampai dengan 2008. Pengambilan tahun 1975 sebagai titik awal kajian disebabkan pada tahun itu ada dua peristiwa penting terkait dengan kandungan buku teks Pendidikan Sejarah. Pertama adalah masuknya IPS dalam kurikulum nasional. Peristiwa itu secara filosofis maupun metodologis terjadi pergeseran posisi Pendidikan Sejarah dari mata pelajaran mandiri menjadi sebagai bagian dari mata pelajaran IPS. Dari sudut ini, Pendidikan Sejarah secara epistemologis sudah seharusnya mengacu pada landasan epistemologi Pendidikan IPS. Sejalan dengan itu, buku teks yang digunakan pun sudah seharusnya mengacu pada landasan epistemologi Pendidikan IPS.

Peristiwa kedua adalah diterbitkannya Sejarah Nasional Indonesia jilid I sampai dengan VI. Buku ini sangat penting peranannya, karena ditempatkan sebagai induk dari semua tulisan sejarah di Indonesia. Meski dilihat dari isinya sebenarnya lebih merupakan buku acuan mahasiswa program studi Ilmu Sejarah, tetapi dalam prakteknya buku teks Pendidikan Sejarah di tingkat pendidikan yang lebih rendah pun mengacu pada buku induk tersebut. Bahkan pada awalnya, buku teks untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah


(25)

Atas (SMA) yang diterbitkan oleh pemerintah (Balai Pustaka) juga menggunakan judul sama, yaitu Sejarah Nasional Indonesia, meski jumlah jilidnya berbeda.

Penempatan tahun 2008 sebagai batas akhir pembahasan dilakukan dengan pertimbangan bahwa pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun itu meluncurkan buku teks baru yang dikenal sebagai Buku Sekolah Elektronik (BSE). Buku teks untuk siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA itu berupa file pdf yang dapat diakses (dibaca dan diunduh) secara gratis melalui situs http://bse.depdiknas.go.id/ Pembaharuan tidak hanya dalam hal bentuk dan sistem aksesnya, tetapi juga sistem produksinya. Departemen pendidikan melalui Badan Standar Nasional Pendidikan menyeleksi buku teks sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Buku teks yang lolos seleksi kemudian hak ciptanya dibeli oleh pemerintah.

Sepanjang periode 1975-2008 terjadi empat kali pergantian kurikulum nasional, yaitu 1975, 1984, 1994, dan 2006 sehingga paling tidak juga terjadi empat kali pergantian buku teks. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan aspek keterwakilan, maka penelitian ini akan mengambil tiga buku teks yang dipergunakan pada proses pembelajaran untuk setiap kurikulum nasional, sehingga jumlah keseluruhan adalah dua belas buku teks.

Keduabelas buku teks yang dijadikan subjek penelitian, diurutkan berdasar tahun terbit dan kurikulum yang menaungi adalah sebagai berikut:

1. Kurikulum 1975

a. Idris, Z.H., dan Tugiyono 1979, Sejarah Untuk SMA. b. Siswojo, S.W., 1979, Sejarah Untuk SMA, jilid 1 dan


(26)

c. Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri, ed., 1981, Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA. jilid 3. Buku paket.

2. Kurikulum 1984

a. Soewarso, Ibnoe, 1986, Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. jilid 3. b. Moedjanto, G., dkk., 1992, Sejarah Nasional Indonesia. jilid 3.

c. Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri, ed., 1992, Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA. jilid 3 (Buku Paket).

3. Kurikulum 1994

a. Sardiman, A.M., dan Kusriyantinah, 1996, Sejarah Nasional dan Umum untuk SMA, jilid 2b dan 2c.

b. Badrika, I Wayan, 1997, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum untuk SMA, jilid 2.

c. Siti Waridah Q., Sukardi dan Sunarto, 2000, Sejarah Nasional dan Umum untuk SMA. jilid 2.

4. Kurikulum 2006

a. Mustopo, Habib, dkk., 2007, Sejarah SMA. jilid 2 dan 3.

b. Hapsari, Ratna dan Abdul Syukur, 2008, Eksplorasi Sejarah Indonesia dan Dunia. jilid 2 dan 3.

c. Tarunasena, 2009, Sejarah SMA/MA. jilid 2 dan 3.

Dari jumlah buku teks yang dikaji serta sebarannya, kiranya dapat dipahami bahwa fokus penelitian ini adalah buku teks mata pelajaran sejarah yang


(27)

diterbitkan dan digunakan pada masa pemerintahan Presiden Suharto atau Orde Baru. Tiga buku terakhir dimaksudkan sebagai pembanding untuk memahami dinamika perkembangan yang terjadi pada masa Reformasi atau post Orde Baru.

B.

PENDEKATAN PENELITIAN

Sesuai dengan rekomendasi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) (Pingel, 2010: 68) untuk kajian kualitatif buku teks mata pelajaran sejarah, penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika, yaitu menempatkan hermeneutika sebagai ilmu bantu untuk memahami dan menganalisis buku teks mata pelajaran sejarah SMA sebagai subjek kajian. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa buku teks merupakan sumber belajar utama para siswa dalam mempelajari sejarah nasional Indonesia, sehingga antar keduanya terjadi transaksi makna.

Kata hermeneutika berasal dari nama salah satu pantheon Yunani kuno, yaitu Hermes. Dewa Hermes memiliki tugas untuk menyampaikan pesan atau perintah Tuhan kepada manusia. Dalam menjalankan tugasnya, Hermes harus memahami detail perintah tersebut dan kemudian menterjemahkan dan menarasikannya ke dalam bahasa manusia. Berdasar tugas Hermes, hermeneutika kemudian digunakan untuk menamai ilmu yang bertugas untuk menafsirkan teks.

Sebagai ilmu, tanggungjawab hermeneutika adalah: (1) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian; (2) menjelaskan secara rasional sesuatu yang tadinya masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti; (3) menerjemahkan sesuatu yang


(28)

dinarasikan dalam bahasa asing ke dalam bahasa yang dipahami oleh audiences (Raharjo, 2008: 28). Oleh karena itu tidaklah salah apabila hermeneutika oleh Sumaryono (1999: 24) dipandang sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketidakpahaman menjadi paham terhadap makna teks yang dikaji.

Usaha untuk memahami teks atau pintalan kata merupakan proses yang kompleks dan melahirkan berbagai aliran hermeneutika. Freidrich Ernst Daniel Schleiermacher yang kemudian dikenal sebagai bapak hermeneutika modern mengembangkan pemikiran bahwa pemahaman teks dua cara yang dikenal sebagai dua lingkaran hermenetika:

1. memahami makna teks secara gramatikal (grammatical understanding), yaitu menemukan makna melalui pencarian pengertian gramatik dari kata-kata dan kalimat yang terdapat pada teks. Pemahaman teks dalam hal ini adalah melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa, sehingga menggunakan pendekatan linguistik. Cara ini dalam hermeneutika dikenal dengan sebutan lingkaran objektif.

2. memahami makna teks dari kondisi psikologis pembuat teks (intuitive understanding). Untuk dapat memahami sungguh-sungguh kondisi psikologis pengarang, diperlukan kajian tentang konteks budaya yang melingkupi teks, konteks historis yang mendorong munculnya teks, dan maksud pengarang ketika memproduksi teks. Dengan kata lain, pemahaman makna teks diperlukan rekonstruksi proses kelahirannya. Cara ini dalam hermeneutika dikenal dengan sebutan lingkaran subjektif.


(29)

Pandangan Schleiermacher tentang grammatical understanding atau lingkaran objektif dewasa ini telah berkembang pesat. Secara garis besar, perkembangan grammatical understanding dewasa ini tidak hanya menganalisis bahasa dari unsur-unsur pembentuknya (kalimat, frasa, kata dan sebagainya), tetapi diarahkan sampai pada bagaimana bahasa digunakan atau dimanfaatkan oleh penggunanya atau fungsi bahasa.

In the study of language, some of most interesting questions arise in connection with the way language is used, rather than what its components are. ... We were, in effect, asking how it is that language-users interpret what other language-users intend to convey. When we carry this investigation further and ask how it is that we, as language-users, make sense of what we read in text, understand what the speakers mean despite what they say, recognize connected as opposed to jumble or incoherent discourse, and successfully take part in that complex activity called conversation, we are undertaking what is known as discourse analysis (Yule, 1996: 139).

Pada kutipan itu Yule menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang paling menarik dalam studi bahasa adalah bagaimana bahasa tersebut digunakan, dari pada komponen-komponen apa saja yang membentuk bahasa. Pada dasarnya, pertanyaan mengarah ke bagaimana pengguna bahasa menginterpretasi apa yang disampaikan oleh pengguna bahasa lainnya. Dari penelitian ini tentang bagaimana, sebagai pengguna bahasa, menjadikan masuk akal apa yang dibaca dalam teks, memahami maksud pembicara meskipun disampaikan secara verbal, akan diperoleh pemahaman akan keterkaitan sebagai lawan terhadap wacana yang campur aduk atau tidak koheren, serta berhasil mengambil bagian dalam aktivitas kompleks yang disebut perbincangan, inilah yang dikenal sebagai analisis wacana.


(30)

Salah satu pendekatan yang dipandang mampu mencapai grammatical understanding secara komprehensif adalah Discourse Analysis (DA) yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai kajian terhadap unsur bahasa di atas kalimat. Discourse Analysis memiliki tiga aliran, salah satunya adalah analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA) yang menekankan perhatian pada unsur kepentingan dan kekuasaan sebagai konteks dalam produksi dan reproduksi wacana (Wodak and Meyer, 2001: 24).

Pandangan Schleiermacher tentang kondisi psikologis pembuat teks (intuitive understanding) atau lingkaran subjektif juga sangat menarik, karena akan mampu menemukan genetika historis dari suatu teks. Metode itu membuka peluang untuk dapat memahami teks sesuai dengan makna saat teks tersebut diproduksi, serta kondisi sosio-kultural yang melingkupinya. Meminjam pandangan dari New Historicism, bahwa untuk memahami perkembangan wacana atau discourse harus melalui pengkajian terhadap “the historicity of text”. Dengan melacak historisitas makna, akan ditemukan berbagai makna subjektif yang berbeda dalam setiap zaman. Foucault (2006: xvii), salah satu tokoh terkemuka New Historicism, ketika mengkaji konsep kegilaan menjelaskan:

We need a history of that other trick that madness plays – that other trick through which men, in the gesture of sovereign reason that locks up their neighbour, communicate and recognize each other in the merciless language of non-madness; we need to identify the moment of that expulsion, before it was definitely established in the reign of truth.

Dari kutipan di atas Foulcault memandang bahwa sejarah dibutuhkan untuk mengkaji maksud lain yang berada di balik istilah kegilaan, dimana orang dengan sikap sebagai pemilik alasan yang sah, mengunci tetangganya. Sejarah


(31)

dibutuhkan untuk mengidentifikasi saat peristiwa pengusiran terjadi, sebelum sungguh-sungguh dimapankan melalui kekuasaan kebenaran.

Pemikiran Schleiermacher kemudian dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) yang menggunakan hermeneutika tidak hanya untuk teks kitab suci, tetapi juga untuk teks ilmu-ilmu humaniora pada umumnya (Geisteswissenschaften). Dilthey dengan tegas menjelaskan bahwa ilmu humaniora bertugas untuk memahami (verstehen), sedang ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) bertugas untuk menjelaskan (enklaren).

Pemikiran Dilthey tentang hermeneutika berpusat pada tiga unsur, yaitu erlebnis (dunia pengalaman batin) dan Ausdruck (ekspresi hidup) dan verstehen (memahami). Ketiga unsur tersebut saling berkaitan. Erlebnis adalah kenyataan sadar keberadaan manusia dan merupakan kenyataan dasar hidup dari mana segala kenyataan dieksplisitkan. Dalam erlebnis hidup merupakan realitas fundamental yang teralami secara langsung, sehingga belum memunculkan pembedaan subjek dan objek. Erlebnis adalah basis kenyataan bagi munculnya imaginasi, ingatan dan pikiran.

Terkait dengan kesadaran eksistensi manusia, Sastrapratedja (2008) menjelaskan implikasi pandangan Dilthey sebagai berikut:

Dilthey mengatakan bahwa manusia adalah suatu "geschichtliches wesen", suatu "wujud historis". Pandangan ini menjadi penting bagi pengertian mengenai hermeneutika dan juga berpengaruh bagi teori hermeneutika selanjutnya. Historikalitas, sebagaimana disarikan oleh Richard E. Palmer mempunyai dua arti:

(1) Manusia memahami dirinya tidak melalui introspeksi, tetapi melalui objektifikasi kehidupan. Pengertian-diri manusia tidak langsung, tetapi melalui detour hermeneutik, yaitu melalui ekspresi yang berasal dari masa lampau. Artinya untuk memahami siapakah diri kita, kita harus menafsirkan sejarah sebagai ekspresi diri atau objektifikasi diri manusia.


(32)

(2) Hakekat manusia bukan esensi tetap., seperti dikatakan Nietzsche "manusia adalah hewan yang-belum-ditentukan" (noch nicht festgestellte Tier). Akan menjadi apakah manusia, menunggu keputusan sejarah. Memahami masa lalunya, bukanlah bentuk perbudakan, tetapi kebebasan, kebebasan pemahaman-diri yang lebih penuh dan kesadaran bahwa ia mampu menghendaki ia mau penjadi apa.. Lebih jauh lagi bagi Dilthey pemahaman manusia juga bersifat historis. Temporalitas intrinsik dalam pemahaman manusia, membentang dari masa lampau ke masa depan. Dalam hal ini makna selalu bersifat historis juga.

Ausdruck atau ekspresi adalah ungkapan kegiatan jiwa. Ekspresi muncul dalam berbagai bentuk, antara lain ekspresi yang isinya telah tetap dan identik, seperti, rambu-rambu lalu lintas. Pada ekspresi yang berupa tingkah laku manusia, wujudnya dapat tunggal maupun dalam bentuk serangkaian tindakan yang panjang. Wujud ketiga adalah ekspresi spontan, seperti tersenyum, tertawa, kagum dan seterusnya. Ekspresi ini merupakan ungkapan perasaan yang kadang dangkal, dan kadang sangat dalam.

Verstehen atau pemahaman adalah suatu proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresinya yang diberikan pada indera. Memahami adalah mengetahui yang dialami orang lain, lewat suatu tiruan pengalamannya. Dengan kata lain verstehen adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam diriku (Anskersmit,1987: 162).

Pemikiran Dilthey memperluas objek kajian dan sekaligus memperkokoh pandangan Schleiermacher, yaitu dengan menempatkan hermeneutika sebagai metode untuk memahami ekspresi manusia masa lampau tentang kehidupan mereka yang termanifestasi melalui teks atau tulisan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami ekspresi tersebut sesuai dengan maksud subjektif pengarangnya, diperlukan konteks historis (Raharjo, 2008: 61). Linge (dalam Gadamer, 1977: xiii-xiv) menjelaskan:


(33)

The far-reaching implications of this identification of understanding with scientific understanding can be seen most clearly in the work of Wilhelm Dilthey, whose aim was to establish hermeneutics as the universal methodological basis of the Geisteswissenschaften. Insofar as they adhered to the guidelines of methodical interpretation, the human studies could lay claim to a knowledge of the human world that would be every bit as rigorous as the natural sciences' knowledge of nature. Like Schleiermacher, Dilthey identified the meaning of the text or action with the subjective intention of its author. Starting from the documents, artifacts, actions, and so on that are the content of the historical world, the task of understanding is to recover the original life-world they betoken and to understand the other person (the author or historical agent) as he understood himself.

Pada kutipan tersebut Linge menjelaskan bahwa Dilthey bermaksud membangun hermeneutika sebagai landasan metodologis ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Dengan mengikuti panduan metode interpretasi, ilmu-ilmu kemanusiaan akan dapat memperoleh kedudukan sebagai ilmu-ilmu yang mengkaji dunia manusia seperti halnya kedudukan ilmu-ilmu alam yang mengkaji semesta alam. Dilthey mengidentifikasi makna dari teks atau tindakan adalah maksud subjektif dari pengarangnya. Memahami merupakan usaha untuk mengungkap dunia hidup asli yang ternyatakan dan pemahaman terhadap orang lain (pengarang atau aktor sejarah) sebagaimana orang itu memahami dirinya.

Pemikiran Schleiermacher dan Dilthey tentang konteks budaya dan konteks historis sangat mungkin untuk diterapkan sebagai pendekatan dalam penelitian ini. Buku teks mata pelajaran sejarah untuk SMA Jurusan IPS ditempatkan sebagai simbol kehadiran pengarang yang dilingkupi oleh jiwa jaman ketika teks tersebut diproduksi. Dari sudut pandang ini, pemahaman tentang dinamika budaya Indonesia pada masa Orde Baru, seperti perkembangan ideologi, politik dan budaya, merupakan sebuah keharusan untuk dilakukan agar mampu memahami konteks budaya dari produksi buku teks mata pelajaran sejarah untuk


(34)

SMA Jurusan IPS. Dinamika pendidikan Indonesia pada umumnya dan dinamika pendidikan sejarah khususnya, ditempatkan sebagai konteks historis dari lahirnya buku teks mata pelajaran sejarah untuk SMA Jurusan IPS.

Pandangan Schleiermacher dan Dilthey kemudian dikembangkan oleh Heidegger. Di tangan Heidegger, hermeneutika tidak hanya sekedar metode, tetapi digali lebih mendalam sampai pada tataran hermeneutika filosofis. Ricoeur (2009: 73) menjelaskan:

...yang dipertaruhkan oleh hermeneutika filosofis adalah “bagaimana menjelaskan segala „yang ada‟ berdasarkan keadaan dasar „ke -ber-ada-an-nya‟. Penjelasan ini tidak akan menyumbangkan apapun bagi metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan; namun ia justru akan menggali metodologi ini lebih dalam lagi untuk memperlihatkan landasannya... Hermeneutika bukanlah refleksi tentang ilmu-ilmu kemanusiaan, akan tetapi penjelasan tentang landasan ontologis yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menciptakan ilmu-ilmu ini.

Pemikiran Heidegger antara lain adalah tentang pemahaman bahwa teks bukan sekedar ekspresi atau ausdruck yang terpisah dari pengarangnya, tetapi teks harus dimaknai sebagai simbol kehadiran pengarang tersebut:

Dalam berbagai tulisannya pada tahun 1950-an Heidegger bermaksud mengoreksi pengertian tradisional mengenai bahasa sebagai instrumen untuk ekspresi gerak batin atau perasaan serta pandangan dunia. "Bahasa pada hakekatnya bukanlah ekspresi dan bukan aktivitas manusia. Bahasa berbicara. Hakekat bahasa adalah berbicara atau mengatakan. Mengatakan berarti menunjukkan. Terkait dengan "mengatakan" adalah "kemampuan mendengarkan", sehingga apa yang harus dikatakan dapat menunjukkan diri.. Itulah "peristiwa bahasa" (Spracherreignis). Sebagaimana diungkapkan Palmer: "Language is not an expression but an appearance of being. Thinking does not express man, it lets being happen as language event. In this letting-happen lies the fate of man and also the fate of truth, and ultimately the fate of being". Pandangan itu sangat penting dalam teori hermeneutik.. Hakekat bahasa adalah fungsi hermeneutiknya untuk membawa realitas menampilkan dirinya (Sastrapratedja, 2008).


(35)

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa fungsi utama bahasa adalah bukan untuk berkomunikasi dengan pihak lain, tetapi untuk „menunjukkan‟, „memperlihatkan‟ dan „menyatakan‟. Fungsi tersebut menjadikan bahasa sebagai media untuk mengejawantahkan karakter eksistensial. Dengan menempatkan bahasa sebagai media untuk „menunjukkan‟, „memperlihatkan‟ dan „menyatakan‟, maka uraian dalam konten atau isi buku teks pelajaran sejarah tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan fenomena historis, tetapi juga untuk merepresentasikan kepentingan pengarang.

C.

KERANGKA ANALISIS

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan hermeneutik. Penelitian kualitatif secara umum dimengerti sebagai penelitian empiris yang sistematis untuk memperoleh pemahaman (Shank, 2002: 5). Oleh karena subjek penelitian ini adalah buku teks, maka pemahaman tersebut diperoleh melalui analisis atau interpretasi terhadap isi dokumen dengan menggunakan pendekatan hermeneutik, sehingga dapat dikategorikan sebagai penelitian interpretif (interpretive study).

Sesuai dengan permasalahan yang diajukan pada Bab I, penelitian ini difokuskan pada empat permasalahan, yaitu pendekatan, keberagaman, integrasi nasional dan wacana yang diproduksi. Untuk memperoleh kajian mendalam terhadap masing-masing permasalahan, analisis dilakukan dengan jalan sebagai berikut:


(36)

1. Pendekatan

Analisis terhadap aspek pendekatan dilakukan dengan meneliti model rekonstruksi sejarah digunakan oleh setiap buku teks dalam menyusun uraian sejarah yang mampu mengungkapkan “sejarah dari dalam” dan menjelaskan berbagai faktor pendorong. Model rekonstruksi sejarah dikategorikan menggunakan pendekatan struktural apabila buku teks menguraikan latar belakang peristiwa historis yang dibahasnya dengan mengkaitkan pada struktur yang berada di atasnya, baik struktur ekonomi, sosial, maupun budaya. Usaha mencari keterkaitan atau benang merah antara peristiwa sejarah dengan struktur di atasnya, dilakukan dengan mengkaji secara mendalam dinamika pada struktur tersebut yang dipahami secara kuat menjadi faktor pendorong. Pada tahap selanjutnya uraian buku teks merunut tahapan-tahapan yang terjadi dan media yang digunakan sehingga pendorong itu melahirkan peristiwa sejarah. Oleh karena struktur yang menjadi pendorong bersifat kompleks dan kajiannya dilakukan secara mendalam, pada umumnya pembahasannya akan terpisah dari proses terjadinya peristiwa sejarah.

Model rekonstruksi sejarah dikategorikan menggunakan pendekatan deskriptif narratif apabila fokus uraian buku teks pada menceritakan atau menggambarkan proses terjadinya peristiwa sejarah. Dari sudut pandang ini, buku teks yang menggunakan pendekatan deskriptif narratif bukan berarti tidak membahas penyebab terjadinya peristiwa sejarah. Uraian buku teks sangat mungkin membahasnya, tetapi pembahasan itu tidak secara mendalam dan dilakukan menyatu dengan deskripsi tentang peristiwa sejarah.


(37)

Model rekonstruksi sejarah dikategorikan menggunakan pendekatan hermeneutik apabila peristiwa sejarah diuraikan dari sudut pandang para tokoh yang terlibat. Oleh karena itu, uraian buku teks akan dipenuhi dengan pemikiran dan perasaan para pelaku sejarah, baik berupa keresahan maupun ketidakpuasan, yang mendorong mereka untuk melakukan aksi berupa peristiwa sejarah.

2. Keberagaman

Analisis terhadap aspek keberagaman dilakukan dengan meneliti kekayaan ragam golongan dan kekuatan dalam masyarakat yang diuraikan oleh setiap buku teks ketika membahas fenomena historis. Keberagaman yang dapat diuraikan oleh buku teks antara lain dari perspektif wilayah, usia, gender, profesi, etnik, agama, ras dan adat istiadat. Analisis dilakukan tidak hanya pada jumlah perspektif keberagaman yang dibahas oleh buku teks, tetapi juga kedalaman pembahasannya. Semakin banyak perspektif golongan yang dibahas dan uraiannya juga representatif, berarti semakin baik kualitas keberagamannya.

3. Sintesis Menuju Integrasi Nasional

Analisis terhadap aspek sintesis menuju integrasi nasional dilakukan untuk mengkaji uraian sejarah yang disusun oleh buku teks sebagai sintesis menuju terbentuknya integrasi nasional. Analisis dilakukan dengan meneliti kekayaan uraian buku teks tentang fenomena historis yang mencerminkan kebersatuan dan berkembangnya solidaritas antar kelompok kekuatan dan golongan dalam


(38)

masyarakat. Fenomena historis itu dapat berupa terjalinnya kerjasama sementara, selamanya maupun fusi antar kelompok kekuatan dan golongan. Semakin banyak fenomena historis yang merepresentasikan integrasi nasional dibahas secara mendalam, berarti semakin baik kualitas sintesis integrasi nasional yang disusun

4. Wacana

Agar dapat memperoleh pemahaman yang mendalam dan tajam tentang pesan-pesan yang hendak disampaikan, buku teks pelajaran sejarah dalam penelitian ini ditempatkan sebagai dokumen historis yang mengandung “ekspresi subjektif manusia masa lampau tentang kehidupan mereka yang termanifestasi melalui teks atau tulisan” dan khususnya ekspresi subjektif yang terkait dengan kehadiran kepentingan dan kekuasaan sebagai konteks dalam produksi dan reproduksi wacana (Wodak and Meyer, 2001: 24)..

Dengan menempatkan uraian buku teks sebagai “ekspresi subjektif” kepentingan dan kekuasaan, analisis teks menjadi dimungkinkan untuk tidak hanya berhenti pada makna gramatikal, tetapi lebih mendalam, yaitu sampai pada makna kontekstual untuk menangkap asumsi, ideologi dan pesan yang diwacanakan dan disampaikan oleh buku teks kepada siswa sebagai audien (Crawford, 2001: 327). Asumsi, ideologi dan pesan yang diwacanakan hadir dalam berbagai bentuk, baik term atau istilah, kalimat maupun frase.

Analisis wacana dilakukan dengan jalan: a. Analisis konten buku teks dengan fokus pada:


(39)

1) term-term superior, baik dalam bentuk kata, kalimat maupun frasa,. Term-term superior itu “not only the object of a particular knowledge, but also the object of a vision” (Spivak dalam Derrida, 1997: lviii), sehingga ditempatkan sebagai penanda kehadiran kelompok kepentingan (Derrida, 1997: 12). Dengan kata lain, term-term superior berfungsi untuk menggambarkan diri sendiri (self) dari kelompok kepentingan.

2) term-term inferior sebagai kebalikan atau oposisi biner dari term-term super. Sebagai oposisi, term-term inferior secara kontekstual berfungsi untuk menegasikan pihak-pihak lain (others). Penegasian dapat berupa ungkapan yang menyalahkan, mempenjahatkan maupun mengorbankan pihak-pihak yang dianggap tidak sejalan dengan kelompok kepentingan yang sedang berkuasa.

Kedua jenis term terdapat pada berbagai bagian dari uraian dalam buku teks. Oleh karena itu, sesuai dengan metode yang dikembangkan oleh van Dijk (Rosidi, 2007), analisis kritis dilakukan terhadap tiga tingkatan struktur wacana, yaitu struktur makro, struktur supra, dan struktur mikro (macro structure, superstructure, and micro structure). Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh suatu wacana. Dalam penelitian ini analisis struktur makro dilakukan pada periode sejarah yang dibahas dalam buku teks.

Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan


(40)

penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.

b. Analisis Perbandingan dengan fokus pada:

1) Menemukan berbagai kajian akademik yang mendukung, baik historiografi yang disusun oleh sejarawan Indonesia maupun asing. Melalui pencermatan terhadap historiografi Indonesia pendukung dapat ditemukan seberapa besar wacana nasionalisme dari kelompok kepentingan dipromosikan kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

2) Mengkritisi rekonstruksi nasionalisme dari kelompok kepentingan melalui penelitian terhadap sumber-sumber primer dan berbagai kajian akademik. Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini terutama surat kabar-surat kabar sezaman dengan peristiwa historis yang menjadi konten buku teks pelajaran sejarah.

3) Interpretasi. Dalam penelitian ini, pemaknaan atau interpretasi dilakukan dengan menggunaan pendekatan hermeneutik.

Wacana nasionalisme terpintal dalam bentuk kata, kalimat maupun frase pada seluruh bagian dari uraian buku teks ketika membahas fenomena historis. Dengan kata lain, wacana nasionalisme sangat mungkin muncul pada aspek integrasi nasional, keberagaman maupun ketika menerapkan pendekatan yang dipilih. Oleh karena itu, analisis terhadap wacana nasionalisme dilakukan pada bagian akhir analisis setiap aspek. Maksudnya, analisis terhadap pendekatan yang digunakan oleh buku teks, akan dilanjutkan dengan analisis wacana


(41)

nasionalisme. Hal itu juga berlaku ketika membahas aspek keberagaman dan integrasi nasional.

5. Kualitas Penyajian Buku Teks

Agar dapat memperoleh pemahaman yang mendalam dan tajam tentang aspek penyajian dalam buku teks pelajaran sejarah, dalam penelitian ini digunakan kriteria yang disusun oleh BSNP untuk buku teks pelajaran sejarah SMA tahun 2011. Dari kriteria BSNP tersebut dipilih 18 item yang dipandang dapat mengukur kualitas buku teks dari aspek penyajian, yaitu:

Tabel 2: Instrumen Penelitian Aspek Penyajian Dalam Buku Teks

1 Peta konsep 10 Menekankan kearifan sejarah 2 Menggugah berpikir kritis 11 Pendahuluan

3 Merangsang berpikir kronologis 12 Rangkuman dan Refleksi 4 Merangsang berpikir kasualitas

13

Mengembangkan kemandirian belajar

5 Mendorong berpikir komparatif

14

Kesesuaian dengan tingkat perkembangan sosial-emosional 6 Tidakbersifat indoktrinatif

15

Mengembangkan kecakapan personal dan sosial

7

Relevansi ilustrasi dengan

peristiwa yang diceritakan 16 evaluasi 8 Variasi penyajian 17 Daftar pustaka 9 Berpusat pada peserta didik 18 Glosarium

Untuk menganalisis terhadap masing-masing item digunakan panduan yang telah disusun oleh BSNP tahun 2011 sebagai berikut:

Tabel 3: Pengertian Setiap Item Instrumen Penelitian Aspek Penyajian Dalam Buku Teks

NO

ITEM

1

Peta konsep

Peta konsep berisi tentang bagan, flowchart hubungan antar konsep yang dibahas dalam bab.


(42)

NO

ITEM

2

Menggugah berpikir kritis

Penyajian materi dapat merangsang peserta didik untuk bertanya kepada guru, orangtua atau orang lain tentang hal-hal yang sudah dan sedang dipelajarinya. Ilustrasi, dan soal latihan mendorong peserta didik untuk berpikir kritis.

3

Merangsang berpikir kronologis

Materi sejarah mencerminkan kemampuan untuk mendorong terbentuknya cara berpikir kronologis, logis, kritis, dan analitis (diakronis) yang

didukung dengan contoh dalam peristiwa sejarah 4

Merangsang berpikir kausalitas (sebab akibat)

Materi sejarah mampu memberikan landasan terciptanya cara berpikir prosesual dan temporal dalam memahami perubahan dan perkembangan peristiwa sejarah dalam masyarakat yang dilengkapi dengan contoh peristiwa sejarah.

5

Mendorong berpikir komparatif

Buku ajar mampu menyajikan berbagai perbandingan contoh/ilustrasi dari fakta sejarah untuk mencapai kedalaman wawasan dan objektivitas yang akhirnya mampu melahirkan visi dan orientasi sejarah Indonesia sebagai sarana pendidikan antara lain: cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme, dan keutuhan NKRI.

6

Tidak bersifat indoktrinasi

Materi sejarah dalam buku ajar sejarah mampu menyajikan sumber sejarah secara analitis, kritis, dan objektif berdasarkan penggunaan sumber yang komparatif, valid dan reliabel.

7

Relevansi ilustrasi dengan peristiwa yang diceritakan

Gambar, peta, dan ilustrasi lain harus relevan dengan materi sejarah yang disajikan.

8

Variasi penyajian

Materi dipaparkan secara variatif sesuai materi ajar sehingga dalam proses pembelajaran dapat menarik peserta didik untuk belajar dengan senang dan bersemangat. Misalnya diawali dengan contoh kasus, baru kemudian paparan, dan latihan, atau diawali dengan pertanyaan yang menggugah minat, contoh, paparan, simulasi, dan sebagainya. Pemilihan gambar harus jelas, fokus, relevan, komunikatif sesuai dengan pokok bahasan.

9

Berpusat pada peserta didik

Penyajian materi menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran. Penyajian materi bersifat interaktif dan partisipatif, sehingga uraian dalam buku perlu didukung oleh kegiatan yang mampu membentuk kemandirian misalnya melalui tugas-tugas mandiri.

10

Menekankan kearifan sejarah

Sajian materi memberikan ”makna” bagi kehidupan sekarang bagi peserta didik dengan menghindari konflik, dendam, SARA, dan permusuhan


(43)

NO

ITEM

antaranak bangsa, di masa kini dan yang akan datang.

11

Pendahuluan

Mengantarkan peserta didik untuk mengenal dan memahami materi yang akan dipaparkan, sehingga dapat menarik peserta didik untuk belajar lebih jauh tentang isi buku. Pendahuluan mengawali tiap bab.

12

Rangkuman dan refleksi

Rangkuman berisi konsep-konsep penting yang ditulis secara ringkas dan jelas, memudahkan peserta didik memahami keseluruhan isi bab. Refleksi memuat kesimpulan sikap dan perilaku yang harus diteladani khususnya dalam materi sejarah.

13

Mengembangkan kemandirian belajar

Contoh dan latihan mendorong peserta didik menghargai karya sendiri, belajar secara mandiri, mampu memecahkan masalah, mampu melacak informasi lebih lanjut dari berbagai sumber dan menghargai karya orang lain .

14

Kesesuaian dengan tingkat perkembangan sosial-emosional

Bahasa yang digunakan sesuai dengan kematangan emosi peserta didik dengan ilustrasi yang menggambarkan konsep-konsep dari lingkungan terdekat sampai dengan lingkungan internasional, tidak mengandung bias gender, kekerasan, kekasaran, pornografi, pelecehan, dan SARA.

15

Mengembangkan kecakapan personal dan sosial

Materi, contoh, dan latihan mengembangkan rasa tanggungjawab, cerdas, bertaqwa kepada Tuhan, mampu berinteraksi, bekerjasama, berempati, terbuka terhadap kritik dan perbedaan pendapat.

16

Evaluasi

Evaluasi mengukur pencapaian kompetensi dasar, dapat mengungkapkan kemampuan ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Struktur kalimat evaluasi sebaiknya tidak dalam bentuk perintah tapi berupa ajakan, dan ada umpan baliknya.

17

Daftar pustaka

Daftar buku yang digunakan sebagai bahan rujukan dan bacaan yang berupa konsep dan teori harus up to date (< 5 tahun). Sementara bahan yang berkaitan dengan substans/materi yang digarap disesuaikan dengan tahun atau periode yang diteliti. Penulisan buku tersebut yang diawali dengan nama pengarang (yang disusun secara alfabetis), tahun terbitan, judul buku, tempat, dan nama penerbit

18

Glosarium

Glosarium berisi istilah-istilah penting dalam teks dengan penjelasan arti istilah tersebut, dan ditulis alfabetis.


(44)

Disadari sepenuhnya bahwa penggunaan instrumen penyajian yang disusun oleh BSNP akan membuka ruang yang sangat lebar untuk terjerumus pada penyusunan analisis yang anakronistik. Oleh karena itu, untuk menghindarinya, penggunaan instrumen itu dalam mengkaji penyajian buku teks bukan untuk membuat penilaian maupun penghakiman terhadap setiap buku teks yang menjadi subjek penelitian. Instrumen lebih ditempatkan sebagai alat untuk menemukan tonggak-tonggak perkembangan perhatian buku teks terhadap aspek penyajian.


(45)

BAB V: PERIODE REVOLUSI KEMERDEKAAN

(1945-1950)

A.

HASIL PENELITIAN

1. Buku teks untuk kurikulum 1975

a. Siswoyo, S.W., 1979, Sejarah Untuk SMA, jilid 1

Buku teks karangan Siswoyo menerapkan pendekatan deskriptif-narratif, yaitu menceritakan bagaimana suatu peristiwa sejarah terjadi secara kronologis. Dia menggunakan urutan kejadian sebagai landasan cerita. Sebagai pembukaan, buku teks menguraikan kemerdekaan Indonesia dengan menggambarkan kegentingan situasi menjelang proklamasi kemerdekaan. Di satu pihak, Jepang sebagai penjajah semakin terdesak dalam Perang Asia Timur Raya, sehingga Jendral Terauchi memanggil Soekarno, Hatta dan Radjiman ke Saigon serta menjanjikan kepada mereka kemerdekaan Indonesia. Di pihak lain, suara kaum pergerakan pun terpecah. Soekarno, Hatta dan tokoh-tokoh senior pergerakan lain memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan tidak menentang penjajah Jepang. Sebaliknya kelompok pemuda menolak kemerdekaan yang mengesankan pemberian Jepang. Buku teks Siswoyo (1979, jilid 1: 189) menggambarkan kelompok pemuda sebagai berikut:

... Mereka menolak "pemberian" kemerdekaan oleh Jepang seperti yang dianut oleh golongan tua yang selama itu bekerja sama dengan Jepang. Kelompok-kelompok pemuda itu adalah:

a. Kelompok Sukarni dengan tokoh-tokohnya Sukarni, Adam Malik, Armunanto, Pandu Kartawiguna, Maruta Nitimiharjo.

b. Kelompok Syahrir dengan tokohnya Syahrir.

c. Kelompok pelajar dengan tokoh-tokohnya Chaerul Saleh, Johan Nur, Sayoko, Syarif Thayeb, Darwis, Eri Sudewo.


(46)

d. Kelompok Kaigun yang bekerja pada Angkatan Laut Jepang dengan tokoh-tokohnya Mr. Ahmad Subarjo, Sudiro yang biasanya dipanggil Mbah, Wikana, E. Khairudin.

Perbedaan pandangan yang terjadi kemudian dilanjutkan dengan urutan kejadian berikutnya, yaitu penculikan terhadap Soekarno beserta istri dan anaknya serta Moh. Hatta oleh kelompok pemuda. Mereka menyembunyikan kedua pemimpin nasional itu di Rengasdengklok dengan tujuan agar keduanya tidak dipengaruhi atau diperalat pemerintah pendudukan Jepang. “Akibat penculikan itu, maka rapat PPPKI yang direncanakan tanggal 16 jam 10.00 tidak dapat dilangsungkan. Namun pemuda-pemuda tidak dapat berbuat banyak, karena kepemimpinannya belum mengakar di kalangan rakyat” (Siswoyo 1979, jilid 1: 189). Maksudnya, pemuda mengacaukan rencana rapat PPPKI dan juga tidak dapat berbuat banyak dalam usaha memproklamasikan kemerdekaan.

Kegagalan rancangan proklamasi oleh pemuda menjadikan “kerjasama” antara golongan pemuda dengan golongan tua. Tiga tokoh kunci golongan tua, yaitu Akhmad Subarjo, Hatta dan Soekarno, memegang peran sangat penting dalam usaha memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, seperti digambarkan sebagai berikut:

Atas usaha Mr. Ahkmad Subarjo yang bekerja pada Kaigun diperoleh tempat untuk mengadakan pertemuan di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat. Laksamana Maeda adalah wakil Angkatan Laut Jepang di Jakarta dan bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia . Rumah dan kedudukannya menjamin keamanan terhadap kemungkinan serbuan dari Angkatan Darat Jepang. Sebelum pertemuan dimulai Bung Karno dan Bung Hatta menjumpai Majen Nisyimura untuk menjajagi sikapnya tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pimpinan tentara Jepang ini dengan segan menyetujui karena tanggung jawabnya memelihara satus quo, tetapi menyadari akibat-akibat yang tidak diinginkan bila menghadapi proklamasi. Sehingga, terjadi semacam persetujuan tidak tertulis: bahwa bangsa Indonesia


(47)

dibiarkan berbuat menurut kehendaknya asalkan tidak terjadi hal-hal yang sifatnya merugikan Jepang.

Dalam ruangan tamu di rumah Laksamana Maeda berkumpul anggota PPPKI dan kelompok pemuda. Sedangkan Ir. Sukarno, Drs: Moh. Hatta dan Mr. Akhmad Subarjo menyusun konsep proklamasi di ruang makan atas dan disaksikan oleh Sayuti Melik, Sukarni, B.M. Diah, Sudiro. Konsep kemudian dimusyawarahkan di ruang tamu. Atas usul Sukarni teks Proklamasi ditandatangani oleh Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia, bukannya sebagai pimpinan PPPKI. Naskah Proklamasi yang telah disetujui kemudian diketik oleh Sayuti Melik dan ditandatangani oleh Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sekitar jam 04.00. Kedua tokoh tersebut adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (Siswoyo 1979, jilid 1: 189-190).

Buku teks Siswoyo menutup uraian tentang proklamasi kemerdekaan dengan menjelaskan makna kemerdekaan Indonesia. Dijelaskan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia mempunyai dua arti penting. Pertama, bangsa Indonesia dengan tekad dan kekuatan sendiri menjadikan bangsa merdeka bebas dari penjajahan asing. Kedua, bangsa Indonesia menjadi pelopor bangsa Asia Afrika karena merupakan bangsa yang pertama merdeka setelah Perang Dunia II.

Dengan bertitik tolak pada kegentingan masa proklamasi, buku teks Siswoyo mengalirkan narasinya ke masa perang kemerdekaan. Periode itu dibuka dengan uraian tentang tiga keputusan PPPKI untuk memenuhi persyaratan sebagai negara Indonesia merdeka, kemudian dilanjutkan dengan narasi tentang inti perang kemerdekaan yang disebutnya sebagai “perjuangan fisik dalam mempertahankan negara yang masih muda terhadap bahaya asing” (Siswoyo 1979, jilid 1: 194). Buku teks Siswoyo menggambarkan lebih banyak sebagai perjuangan yang berupa peperangan, seperti peperangan rakyat Semarang melawan Jepang sebagai berikut:

Di antara yang terbesar Pertempuran Lima Hari di Semarang (15-20 Oktober 1945). Peristiwa tersebut bermula dengan pemindahan tentara Jepang


(1)

Sjamsuddin, Nazaruddin, “Dimensi Politik dari Integrasi Nasional: Tinjauan Teoretis” dalam Bahar, Safroedin dan AB Tangdililing. (1996). Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Smith, Anthony D. (2010). Nationalism. Cambridge: Polity Press.

Soedjatmoko dkk. (1995). Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Soedjatmoko. (1983). Dimensi Manusia Dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Soekarno. (1965). Di Bawah Bendera Revolusi. Cetakan keempat. Jakarta:

Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sumaryono, E. (1999). Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Sutherland, Heather. (2008). “Meneliti sejarah penulisan sejarah” dalam Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari, ed. Perspektif Baru

Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. (2004). Hermeneutika Pascakolonial: Soal

Identitas. Yogyakarta: Kanisius.

Tilaar, H.A.R.. (2007). Mengindonesia etnisitas dan identitas bangsa Indonesia:

tinjauan dari perspektif ilmu pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tobing, K.M.L. (1986). Perjuangan Poltik Indonesia: Renville. Jakarta: Gunung Agung

Toynbee, Arnold. (1972). A Study of History. London: Oxford University Press and Thames and Hudson Ltd.

Truex, Duane. (1996). Text Based Analysis: A Brief Introduction. Georgia: Georgia State University. Diunduh pada 27 Desember 2010.

Wahid, Abdurrachman, ed., 2009, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam

Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institut.

Wallach, Jeremy, 2002, “Exploring Class, Nation and Xenocentrism in Indonesian Cassete Retail Outlet”. Artikel pada jurnal Indonesia vol. 74 (Oct. 2002),

page 79-102. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. Widja, I Gde. (1989). Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.

Jakarta: Depdikbud.

Wineburg, Sam. (2006). Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan Mengajarkan

Masa Lalu. Terjemahan Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wiriaatmadja, Rochiati. (1992). Peranan Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia

Dalam Pembentukan Identitas Nasional. Disertasi. Bandung: Program


(2)

Wiriaatmadja, Rochiati. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia. Bandung: Historia Utama Press.

Wodak, R. and M. Meyer (eds.). (2006). Methods of Critical Discourse Analysis. London: Sage.

Yasni. (1980). Bung Hatta Menjawab. Jakarta: Gunung Agung.

Yule. George. (1985). The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

B. JURNAL/MAJALAH ILMIAH

Abdullah, Taufik. (2004). “Di Sekitar Gugatan Terhadap Pelajaran dan Buku Sejarah” pada Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah. No. 9 Vol. V, Juni

2004. ISSN 0215-1073. Bandung: FPIPS, UPI.

Alfitra Salam. (2004). Biarlah Nasionalisme Keindonesiaan Punah pada www.mediaindo.co.id tertanggal 28 Oktober 2004. Diunduh pada 5 Jun 2009.

Ansary, Hasan and Esmat Babaii. (2002). Universal Characteristics of EFL/ESL

Textbooks: A Step Towards Systematic Textbook Evaluation. Article in

The Internet TESL Journal, Vol. VIII, No. 2, February 2002. http://iteslj.org/Articles/Ansary-Textbooks/ Diunduh pada tanggal 2 Oktober 2010

Crawford, Keith. (2001). Constructing national memory: The 1940/41 Blitz in British history textbooks. Internationale Schulbuchforschung 23. Verlag Hahnsche Buchhandlung . ISSN 0172-8237.

Hasan Hamid, S.. (1999). “Kurikulum dan Buku Teks Sejarah” dalam Jurnal Pendidikan Sejarah Historia edisi I No. 1.

Krathwohl, David R. (2002). “A Revision of Bloom's Taxonomy: An Overview” dimuat pada Jurnal Theory into Practice Volume 41, Number 4, Autumn 2002. Ohio: College of Education, The Ohio State University.

Mahmood, Khalid. (2006). “The Process of Textbook Approval: A Critical Analysis” pada Bulletin of Education & Research June 2006, Vol. 28, No. 1, pp.1-22. Diunduh dari www.pu.edu.pk/ier/ber/previous.../1-Paper_ textbooks%5B1%5D.pdf

Morshead, Richard W. (1965). “Taxonomy of Educational Objectives Handbook II: Affective Domain” dalam junal Studies in Philosophy and education.

Volume IV. Kluwer Academic Publishers diunduh dari http://deepblue.lib.umich.edu/handle/2027.42/43808 pada tanggal 10 Mei 2012.

Nagazumi, Akira (1968), Toward An Autonomous History of Indonesia. Diunduh dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/


(3)

deve.1968.6.issue-Nkrumah, Kwame. (1965). Neo-Colonialism, the Last Stage of imperialism. Diunduh dari http://www.marxists.org/subject/africa/nkrumah/neo-colonialism/index.htm

Nordholt, Henk Schulte. (2004). De-colonising Indonesian Historiography, Paper delivered at the Centre for East and South-East Asian Studies public lecture series “Focus Asia”, 25-27 May, 2004 at Lund University, Sweden. Purwanta, H.. (2008). “Gerakan Rakyat Wotgaleh” pada Jurnal Penelitian LPPM

USD No. 23 November 2008 (ISSN 1410-5071)

Sitepu, B.P.. (2005). “Memilih Buku Ajar”. Artikel pada Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005

Suryaman, Maman. (2007). Dimensi-Dimensi Kontekstual di Dalam Penulisan Buku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia. Paper diunduh dari http://journal.uny.ac.id/index.php/ diksi/article/view/147

White, Hayden. (1984). “The Question of Narrative in Contemporary Historical Theory” dalam jurnal History and Theory, Vol. 23, No.1 (Feb., 1984),

1-33.

Yulifar, Leli (2011) Reinterpretating Pembelajaran Sejarah Kritis Dalam

Rekonstruksi Strategi Pembelajaran Sejarah. Artikel Jurnal UPI Tahun 11

No 11 Oktober 2011 diunduh dari http://jurnal.upi.edu/find/ view/872/REINTERPRETATING PEMBELAJARAN SEJARAH KRITIS DALAM REKONSTRUKSI STRATEGI PENDIDIKAN SEJARAH pada tanggal 25 Februari 2012

C. BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH SMA/MAN IPS 1. Kurikulum Tahun 1975

Idris, Z.H., dan Tugiyono. (1979). Sejarah Untuk SMA. Jakarta: Mutiara

Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri, ed. (1981). Sejarah Nasional Indonesia

Untuk SMA. Jilid 3. Buku paket. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Siswojo, S.W.. (1979). Sejarah Untuk SMA, Jilid 1. Klaten: Intan

2. Kurikulum Tahun 1984

Moedjanto, G., dkk.. (1992). Sejarah Nasional Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Gramedia Widiasarana.

Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri, ed. (1992). Sejarah Nasional Indonesia

Untuk SMA. Jilid 3 (Buku Paket). Jakarta: Departemen Pendidikan dan


(4)

Soewarso, Ibnoe. (1986). Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Jilid 3. Surakarta: Widya Duta.

3. Kurikulum Tahun 1994

Badrika, I Wayan. (1997). Sejarah Nasional Indonesia dan Umum untuk SMA, Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Sardiman, A.M. Kusriyantinah. (1996). Sejarah Nasional dan Umum untuk SMA, Jilid 2b dan 2c. Surabaya: Kendang Sari

Waridah Q., Siti, Sukardi dan Sunarto. (2000). Sejarah Nasional dan Umum untuk

SMA. Jilid 2. Jakarta: Bumi Aksara. 4. Kurikulum Tahun 2006

Hapsari, Ratna dan Abdul Syukur. (2008). Eksplorasi Sejarah Indonesia dan

Dunia. Jilid 2 dan 3. Jakarta: Erlangga.

Mustopo, Habib, dkk. (2007). Sejarah SMA. Jilid 2 dan 3. Surabaya: Yudhistira. Tarunasena. (2007/2009).Sejarah SMA/MA. Jilid 2 (2009) dan 3 (2007). Bandung:

Armico.

D. SELAIN JURNAL DAN BUKU 1. Tesis dan Disertasi

Al Khosim, Nur. (2011). Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Dengan

Menggunakan Model Pembelajaran Partisipatif Pada Mata Pelajaran Sejarah di Kelas XI IPS 2 SMA. Diunduh dari

http://remenmaos.blogspot.com/2011/08/contoh-ptk-sejarah-sma-peningkatan.html

Darmiasti. (2002). Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Indonesia untuk Sekolah

Menengah Atas 1964-1984: Sejarah Demi Kekuasaan. Thesis pada

Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Dutridge-Corp, Elizabeth Anne. (2009). Reconciling The Past: H.R. 121 and The

Japanese Textbook Controversy. Thesis pada Bowling Green State

University (BGSU), Ohio, USA.

Umasih (2000), Sejarah Pendidikan di Indonesia: Sebuah Telaah Atas Perubahan

Kurikulum Sejarah Indonesia Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 1975 – 1994. Thesis pada Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan


(5)

2. Publikasi Departemen

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sejarah. Jakarta: Depdiknas.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Instrumen Penilaian Buku Teks

Pelajaran Sejarah Tahun 2011. Diunduh dari http://bsnp- indonesia.org/id/bsnp/wp-content/uploads/2011/05/Instrumen-Sejarah-SMA-MA.zip pada tanggal 10 Mei 2012.

3. Makalah

Harianto, Didin. (2011), Gerakan Anti Swapraja di Surakarta terdapat pada http://hariantodidin.blogspot.com/2011/10/gerakan-anti-swapraja-di-surakarta.html Diunduh pada 11 Desember 2011.

Hasan, S. Hamid (tt) b, Problematika Pendidikan Sejarah. Diunduh dari http://file.upi.edu/browse.php?dir=Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJAR AH/194403101967101-SAID_HAMID_HASAN/Makalah/

Beberapa_Problematik_Dalam_Pendidikan_Sejarah.pdf pada 25 Februari 2012.

Hasan, S. Hamid (tt), Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Ideologis dan

Teoritik Pedagogis. Makalah pada Konferensi Nasional Sejarah. Diunduh

dari www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/ s_hamid_hasan.pdf

pada 25 Februari 2012.

Hasan, S. Hamid, (2005) Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal. Makalah pada “Lokakarya penulisan sejarah lokal” oleh Deputi Urusan Sejarah Nasional Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, tanggal 15-16 Juli 2005 di Cisarua, Bogor.

Kartodirjo, Suyatno. (2007). “Feodalisme dan Revolusi Sosial Di Surakarta 145-1950” dalam majalah Istoria. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah,

UNY.

Kasenda, Peter. (2011), Polemik Tentang Soekarno dan Pancasila pada http://www.scribd.com/doc/48669179/Polemik-Tentang-Soekarno-Dan-Pancasila. Diunduh pada 11 Desember 2011

Kimball, Charles Scott. (2001), Classcical Greece Part I pada

http://www.stumbleupon.com/su/5XOWZG/xenohistorian.faithweb.com/eur ope/eu02.html. Diunduh pada 30 Juni 2012.

Mulyana, Agus. (2009). Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks


(6)

Permasalahan Pembelajaran Sejarah Di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI pada tanggal 19 Oktober 2009.

Purwanta, H.. (2010). Victim’s History Controversy. A paper presented in Third Yale-Indonesia Conference at Diponegoro University. Semarang July 14th 2010.

Rosidi, Sakban. (2007). Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma

Kajian Wacana. Makalah disajikan pada Sekolah Bahasa, atas prakarsa

Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Bahasa, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007. Diunduh pada 27 Desember 2010. Sastrapratedja, M.. (2008). Hermeneutika dan Daya Transformatif Membaca.

Makalah pada Seminar dengan tema Mencari Identitas Fakultas Sastra. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.

Sjamsuddin, Helius. (1997). “Penulisan Buku Teks Sejarah: Kriteria dan Permasalahannya”. Makalah yang dipresentasikan pada Simposium Pengajaran Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Triyana, Bonnie. (2005), Meluruskan Sejarah Berdamai Dengan Masa Lalu (2) pada http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=

20070328174500 . Diunduh pada 30 Juni 2012.

4. Surat Kabar Harian

Berita Indonesia, 5 Desember 1945. Jakarta Post, 16 Agustus 2003. Kompas, tanggal 28 September 2012 Kompas, tanggal 28 Oktober 2012 Pikiran Rakyat, 2 Oktober 2003

Surya Online, tanggal 28 Agustus 2009

E. SUMBER DARI INTERNET

http://bse.depdiknas.go.id/

http://www.budpar.go.id/page.php?ic=512&id=1492 http://www.republika.co.id:8080/koran/153/98294 http://www.himawijaya.org/node/22

http://en.wikipedia.org/wiki/Narrative_history

http://ktiptk.blogspirit.com/archive/2009/01/05/laporan-penelitian-tindakan-kelas-ptk-ips-sejarah.html