STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA DI KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER.

(1)

DISERTASI

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Ilmu Kependidikan dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia

Promovendus Retty Isnendes

NIM 1005083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

Struktur dan Fungsi Upacara

Ngalaksa

di Kecamatan Rancakalong Kabupaten

Sumedang dalam Perspektif Pendidikan

Karakter

oleh Retty Isnendes

S.Pd di IKIP Bandung, 1998

M.Hum di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2004

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

© Retty Isnendes 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

September 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

Struktur dan Fungsi Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang

dalam Perspektif Pendidikan Karakter”

telah disetujui dan disahkan oleh promotor, kopromotor, dan anggota juga diketahui oleh Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia SPs UPI


(4)

i

Retty Isnendes, 2013

STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA

DI KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER

Retty Isnendes NIM 1005083

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mendokumentasikan dan memaknai struktur dan fungsi upacara ngalaksa, serta menemukan dan menyusun nilai pendidikan karakter dari upacara tersebut. Metode yang digunakan adalah paradigma kualitatif pada kajian tradisi lisan, dengan teknik penelusuran kepustakaan, wawancara mendalam dan terbuka, perekaman dan pendokumentasian, pengamatan terlibat, serta konvensi tradisi lisan. Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama struktur upacara ngalaksa terbangun atas lima tahapan kegiatan, yaitu badanten, mera, meuseul, ngalaksa, dan wawarian. Terdapatnya struktur baru yang menjadi kreasi atas diakomodasinya upacara ngalaksa menjadi agenda pemerintah dengan dijadikannya aset pariwisata. Selain itu, adanya 10 unsur yang tidak dapat dipisahkan dari strukturnya, yaitu nama kegiatan, pelaku, benda-benda, bahan-bahan, makanan, tuturan yang diucapkan dalam upacara dan tuturan yang menyertai upacara ngalaksa, kesenian, gerakan, tempat penyelenggaraan, dan waktu pelaksanaan.Fungsi upacara ini diurai melalui tiga postulat fungsi yaitu postulat kesatuan fungsional (functional unity), fungsionalisme universal (universal functionalism), dan postulat kepokokan (indispensability). Selain itu, dibahas mengenai pertukaran antar subsistem dan sektor fungsional upacara ngalaksa dalam sistem sosial, yang menjadikan upacara ini dianggap penting oleh pemerintah dan diagendakan sebagai aset pariwisata budaya. Kedua, terdapat enam nilai pendidikan karakter dari upacara ngalaksa, yaitu: nilai pribadi, nilai kemasyarakatan, nilai kealaman, nilai ketuhanan, nilai pribadi mengejar kemajuan lahiriah, dan nilai pribadi mengejar kepuasan batiniah. Kesimpulan penelitian ini adalah struktur dan fungsi upacara ngalaksa memancarkan nilai-nilai karakter yang sudah jadi dari masyarakat pelakunya, dan pada wilayah pendidikan nonformal, nilai-nilai tersebut berpotensi menjadi tauladan bagi masyarakat banyak, yang dalam penelitian ini diwakili oleh masyarakat model. Rekomendasi penelitian ini ditujukan kepada pihak-pihak yang berkaitan dan berkepentingan dengan upacara ngalaksa dan pendidikan secara umum.


(5)

ii

Retty Isnendes, 2013

THE STRUCTURE AND FUNCTION OF THE NGALAKSA CEREMONY IN THE SUBDISTRICT OF RANCAKALONG SUMEDANG FROM THE STANDPOINT OF CHARACTER EDUCATION

Retty Isnendes NIM 1005083

ABSTRACT

The goals of this study are two-fold: i) to document and interpret the structure and function of the ngalaksa ceremony, and ii) to uncover and develop the value of character education of the ngalaksa ceremony. The method used was qualitative examining oral tradition, the techniques of which comprised literature search, in-depth and open interviews, recording and documentation, participant observation, and oral tradition conventions. Results of this study show that, first, the ngalaksa ceremony is composed of five phases of activities, namely badanten, mera, meuseul, ngalaksa, and wawarian. As well as a new structure as resulting from the government establishing the ceremony as a tourism asset. In addition, there are twelve inseparable elements of the ceremony i.e. names, actors, objects, materials, food, spoken utterances, art, movement, venue, and time of the event. The thesis also discussed the exchange between subsystems and functional purpose of the ngalaksa ceremony within the society since the ceremony is considered crucial by the government and established as a cultural tourism asset.

Second, there are six values of character education of the ngalaksa ceremony,

namely: personal values, social values, mundane values, godly values, personal values pertaining to outward progress, and personal values pertaining to inner satisfaction. The research concludes that the ngalaksa ceremony represents the established values of the society in which the ceremony is conducted. Such values, from the standpoint of nonformal education, may serve as model values for the wider society. In addition, the thesis is able to schematize the concept of character education in the context of non-formal education. The results of the this research have implications for those who have an interest in the ngalaksa ceremony and education in general.


(6)

Xii Retty Isnendes, 2013

Struktur dan Fungsi Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang dalam (Retty Isnendes NIM 1005083)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR DIAGRAM ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah ... 11

1.2.1 Batasan Masalah ... 11

1.2.2 Rumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan ... 15

1.3.1 Tujuan Umum ... 15

1.3.2 Tujuan Khusus ... 15

1.4 Urgensi Penelitian ... 15

1.4.1 Aspek Ipteks ... 15

1.4.2 Aspek Budaya ... 16


(7)

1.5 Pengertian Istilah ... 17

BAB II BUDAYA, PENDEKATAN SASTRA, DAN PENDIDIKAN KARAKTER 2.1 Budaya ... 20

2.1.1 Wujud Kebudayaan Pertama ... 27

2.1.1.1 Pandangan Hidup Manusia Sunda ... 28

2.1.1.2 Mitos ... 34

2.1.2 Wujud Kebudayaan Kedua ... 37

2.1.2.1 Kearifan Lokal ... 38

2.1.2.2 Ritus ... 41

2.1.2.3 Tali Paranti Sunda ... 43

2.1.3 Wujud Kebudayaan Ketiga ... 48

2.1.3.1 Mitos Nyai Pohaci sebagai Karya Sastra ... 48

2.1.3.2 Upacara Ngalaksa dan Perlengkapannya ... 50

2.1.3.3 Tarawangsa ... 52

2.2 Pendekatan Sastra ... 53

2.2.1 Strukturalisme .. ... 54

2.2.2 Semiotik ... 56

2.2.3 Interpretasi ... 61

2.3 Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Nasional ... 63

2.3.1 Pendidikan Nasional Indonesia ... 63

2.3.1.1 Arti Pendidikan ... 63

2.3.1.2 Sistem Pendidikan Nasional Indonesia ... 66

2.3.1.3 Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan di Indonesia ... 67

2.3.1.4 Peserta Didik ... 70

2.3.1.5 Pendidik ... 70

2.3.1.6 Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan ... 71

2.3.1.7 Faktor-faktor Pembangun Sistem Pendidikan Nasional ... 75

2.3.2 Pendidikan Karakter ... 75


(8)

2.3.2.2 Makna Karakter ... 78

2.3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Karakter .... 84

2.3.2.4 Fungsi Pendidikan Karakter ... 86

2.3.2.5 Tujuan Pendidikan Karakter ... 86

2.3.2.6 Sumber dan Nilai Pendidikan Karakter ... 87

2.4 Tinjauan Kepustakaan tentang Budaya Sunda ... 95

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 111

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 113

3.2.1 Penelusuran Kepustakaan ... 114

3.2.2 Wawancara Mendalam dan Terbuka ... 114

3.2.3 Perekaman dan Pendokumentasian ... 114

3.2.4 Pengamatan Terlibat ... 115

3.2.5 Konvensi Tradisi Lisan ... 115

3.3. Instrumen Penelitian ... 117

3.4 Lokasi Penelitian ... 127

3.4.1 Tinjauan Infrastruktur Kecamatan Rancakalong .. ... 128

3.4.2 Tinjauan Infrastruktur Desa Lokasi Penelitian ... 130

3.4.2.1 Desa Rancakalong ... 131

3.4.2.2 Desa Cibunar ... 132

3.4.2.3 Desa Pamekaran ... 133

3.4.2.4 Desa Nagarawangi ... 134

3.4.2.5 Desa Pasirbiru ... 135

3.4.3 Tinjauan Superstruktur Kecamatan Rancakalong ... 136

3.5 Sumber Data ... 138

3.6 Proses Analisis Data ... 141

3.7 Penyajian Hasil Data Analisis ... 141

3.8 Desain Penelitian ... 144


(9)

BAB IV STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA DI

KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN

SUMEDANG

4.1 Struktur Upacara Ngalaksa ... 146

4.1.1 Tahapan Upacara Ngalaksa ... 146

4.1.1.1 Temuan ... 146

4.1.1. 2 Pembahasan ... 164

4.1.2 Unsur-unsur Upacara Ngalaksa ... 171

4.1.2.1 Nama Kegiatan ... 171

4.1.2.2 Pelaku Upacara Ngalaksa ... 178

4.1.2.3 Benda-benda Upacara Ngalaksa ... 188

4.1.2.4 Bahan-bahan Upacara Ngalaksa ... 233

4.1.2.5 Makanan dalam Upacara Ngalaksa ... 240

4.1.2.6 Tuturan yang Diucapkan dalam Upacara Ngalaksa dan yang menyertai upacara Ngalaksa ... 241

4.1.2.7 Kesenian dalam Upacara Ngalaksa ... 301

4.1.2.8 Gerakan dalam Upacara Ngalaksa ... 306

4.1.2.9 Tempat Penyelenggaraan Upacara Ngalaksa ... 316

4.1.2.10 Waktu Pelaksanaan ... 328

4.2 Fungsi Upacara Ngalaksa ... 330

4.2.1 Temuan ... 330

4.2.2 Pembahasan ... 333

4.4.2.1 Postulat Kesatuan Fungsional (Functional Unity) ... 335

4.4.2.2 Postulat Fungsionalisme Universal (Universal Functionalism).. 336

4.4.2.3 Postulat Kepokokan (Indispersability) ... 343

4.4.2.4 Pertukaran antar Subsistem dan Sektor Fungsional ... 347

BAB V PERUMUSAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DARI UPACARA NGALAKSA


(10)

5.2 Penahapan Pelaksanaan Pendidikan Karakter pada Masyarakat

Model ... 352

5.1.1 Temuan ... 352

5.1.2 Pembahasan ... 353

5.2 Pembuatan Instrumen ... 357

5.2.1 Temuan ... 357

5.2.2 Pembahasan ... 358

5.3 Pembuatan Film Dokumenter Upacara Ngalaksa ... 362

5.3.1 Temuan ... 362

5.3.2 Pembahasan ... 362

5.4 Penetapan Masyarakat Model ... 365

5.4.1 Temuan ... 365

5.4.2 Pembahasan ... 366

5.5 Pelaksanaan Penelitian pada Masyarakat Model ... 367

5.5.1 Temuan ... 367

5.5.1.1 Pelaksanaan pada Masyarakat Model 1 ... 367

5.5.1.2 Pelaksanaan pada masyarakat Model 2 ... 369

5.5.1.3 Pelaksanaan pada Masyarakat Model 3 ... 371

5.5.2 Pembahasa ... 373

5.6 Perumusan Nilai-nilai Pendidikan Karakter ... 378

5.6.1 Temuan ... 378

5.6.2 Pembahasan ... 383

5.6.2.1 Nilai Pribadi dari Upacara Ngalaksa ... 386

5.6.2.2 Nilai Kemasyarakatan ... 393

5.6.2.3 Nilai Kealaman ... 396

5.6.2.4 Nilai Ketuhanan ... 397

5.6.2.5 Nilai Pribadi Mengejar Kemajuan Lahiriah ... 409

5.6.2.6 Nilai Pribadi Mengejar Kepuasan Batiniah ... 409

5.7 Pelestarian Upacara Ngalaksa ... 414

5.7.1 Temuan ... 414


(11)

5.8 Sumbangan Disertasi untuk Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia ... 435

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan ... 439

6.1.1 Struktur dan Fungsi Upacara Ngalaksa ... 349

6.1.2 Upacara dalam Perspektif Pendidikan karakter ... 445

6.2 Rekomendasi ... 447

6.2.1 Rekomendasi bagi Pembuat Kebijakan ... 447

6.2.1.1 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumedang dan Provinsi Jawa Barat ... 447

6.2.1.2 Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang dan Provinsi Jawa Barat ... 448

6.2.2 Para Pengguna Hasil Penelitian ... 449

6.2.2.1 Pemerintah Kecamatan Rancakalong dan Kabupaten Sumedang ... 449

6.2.2.2 Pelaku Budaya dan Aparat Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi Jawa Barat ... 450

6.2.3 Para Peneliti yang Berminat Meneliti Objek Materi yang Sama ... 451

6.2.3.1 Upacara Ngalaksa ... 451

6.2.3.2 Tradisi Lisan ... 451

DAFTAR PUSTAKA ... 452


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Nilai-nilai Pendidikan Karakter, ... 89

2.2 Karakter Nabi Muhammad Saw, ... 90

2.3 Perbandingan Nilai Baik secara Tradisional dan Modern, ... 93

3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian untuk Menjelaskan Struktur, Fungsi, dan Nilai Pendidikan Karakter dari Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang, ... 118

3.2 Instrumen Penelitian Cheklist/Observasi di Rancakalong, ... 121

3.3 Instrumen Pengamatan dan Pertanyaan pada Masyarakat Model, .... 124

3.4 Desa dan Lokasi Penelitian, ... 130

3.5 Tempat-tempat yang Dianggap Keramat, ... 136

3.6 Kesenian di Kecamatan Rancakalong, ... 137

3.7 Upacara Adat di Kecamatan Rancakalong, ... 138

3.8 Sumber Data Penelitian, ... 139

4.1 Tahapan Besar Upacara Ngalaksa, ... 146

4.2 Perbandingan Tahapan Besar Upacara Ngalaksa di Masyarakat dan di Bumi Cipangasih, ... 168

4.3 Struktur Kegiatan Upacara Ngalaksa Secara Menyeluruh, ... 169

4.4 Para Ketua Rurukan Ngalaksa di Rancakalong, ... 179

4.5Aneka Nama Padi Lokal yang Pernah Ditanam di Rancakalong, ... 237

4.6 Diksi dan Ungkapan, ... 278

4.7 Hipogram dan Transformasi Nyai Pohaci pada Sastra Lisan di Rancakalong, ... 285

4.8 Tabel Penggolongan Mantra di Rancakalong, ... 288

4.9 Perbandingan Isi dan Struktur Tjarita (Pantun) Sri Sadana atau Sulandjana dan Wawatjan Soelandjana, ... 296

4.10 Perbandingan Lagu Pokok Tarawangsa, ... 306

4.11 Perhitungan Watak-watak Hari, ... 330

4.12 Unsur Struktural Ngalaksa sebagai Kesatuan Fungsional, ... 335

5.1 Indikator Instrumen bagi Masyarakat Model, ... 357

5.2 Indikator dan Pertanyaan yang Diajukan pada Masyarakat Model, ... 358

5.3 Nilai dalam Upacara Ngalaksa Menurut Masyarakat Model, ... 380

5.4 Nilai-nilai Pribadi yang Terdapat dalam Upacara Ngalaksa, ... 391

5.5 Upaya Pelestarian Upacara Ngalaksa, ... 416

5.6 Kemungkinan Pelestarian Nilai Pendidikan dari Upacara Ngalaksa dan Kesejajarannya dengan 18 Nilai Pendidikan Karakter Kemendiknas, ... 417

5.7 Jumlah Pemetaan Nilai Pendidikan Karakter secara Nasional dari Upacara Ngalaksa, ... 433


(13)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

2.1 Kerangka Semiotik Abrams, ... 59

2.2 Skema Kata Interpretasi, ... 62

2.3 Kegiatan Pembelajaran dalam Konsep Yus Rusyana (2010), ... 83

3.1 Desain Penelitian, ... 144

3.2 Paradigma Penelitian, ... 145

4.1 Nyai Pohaci dalam Teori Merchant, ... 176

4.2 Pengertian Ngalaksa, ... 177

4.3 Para Pelaku dalam Upacara Ngalaksa, ... 187

4.4 Benda-benda Sajen, ... 229

4.5 Konsep Dunia dalam Kosmologi Sunda, ... 233

4.6 Teknologi Makanan dari Beras, ... 241

4.7 Gerakan Ngibing Ngabadaya, ... 315

4.8 Tali Paranti Padi dan Kegiatan Pertanian di Rancakalong, ... 342

4.9 Postulat Kepokokan pada Sistem Tindakan Lengkap, ... 346

4.10 Pertukaran antar Subsistem dan Sektor Fungsional Upacara Ngalaksa dalam Agenda Pemerintah, ... 347

5.1 Tahap Penelitian pada Masyarakat Model, ... 353

5.2 Alur Pelaksanaan Kegiatan Pendidikan Karakter dari Upacara Ngalaksa di Masyarakat... 379

5.3 Relasi Genealogis dalam Tataran Nilai sebagai makhluk Tuhan, ... 400

5.4 Relasi yang Dibangun oleh Masyarakat Rancakalong sebagai Makhluk Tuhan, ... 408

5.5 Nilai-nilai Pendidikan Karakter dari Upacara Ngalaksa, ... 411

5.6 Ketautan Ngalaksa sebagai Kearifan Lokal, Tali Paranti, dan Pendidikan Karakter, ... 437

5.7 Konsep Upacara Ngalaksa dalam Perspektif Pendidikan Karakter, ... 438


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Tanda Menurut Barthes, ... 58

3.1 Peneliti di Depan Gedung KITLV Leiden, ... 113

3.2 Wawancara, ... 114

3.3 Merekam, ... 115

3.4 Membungkus, ... 115

3.5 Peta Indonesia, Jawa Barat, Kabupaten Sumedang, Kecamatan Rancakalong, ... 127

3.6 Panorama Alam, ... 128

3.7 Kantor Desa Rancakalong, ... 131

3.8 Kepala Desa dan Peneliti di depan kantor Desa Cibunar, ... 132

3.9 Kantor Desa Pamekaran, ... 133

3.10 Kantor Desa Nagarawangi, ... 134

3.11 Kantor Desa Pasirbiru, ... 135

4.1 Ngalulungsur, ... 151

4.2 Amitan, ... 152

4.3 Panemaan, ... 153

4.4 Nyumpingkeun, ... 153

4.5 Meuseul Mitembeyan, ... 155

4.6 Nyai Setelah Disiraman, ... 156

4.7 Ngaguar Nyai, ... 156

4.8 Meuseul Geulis, ... 157

4.9 Ngadonan Nyai, ... 158

4.10 Nyinjangan Nyai, ... 159

4.11 Ngagodog Nyai, ... 159

4.12 Turun Jimat Laksa Bongkok, ... 160

4.13 Paibuan, ... 180

4.14 Aparat Pemerintah, ... 181

4.15 Nu Ngiringan, ... 181

4.16 Tamu, ... 182

4.17 Sebagian Benda Perlengkapan Ngalaksa, ... 189

4.18 Sajen Pokok, ... 190

4.19 Sajen Pengiring Makanan, ... 192-194 4.20 Sajen Pengiring Nonmakanan, ... 196-198 4.21 Jambangan (Cacadan dan Titihan), ... 202

4.22 Alat Tenun tradisional Baduy, ... 221

4.23 Asal-usul Tumbuhan dari Tubuh Nyai Pohaci, ... 230

4.24 Contoh Bukti Pemakaian Warna Busana Sunda Tahun 1920-an, ... 232


(15)

4.26 Bahan Sinjang Nyai, ... 234

4.27 Bahan untuk Menggodog, ... 234

4.28 Memandikan Jambangan dan Perlengkapan Ngalaksa dengan Papagan Tangkal Combrang, ... 239

4.29 Waditra Tarawangsa, ... 301

4.30 Ngemban/Nimang, ... 310

4.31 Ibing Ngabadaya, ... 311

4.32 Denah Desa Wisata (Desa Adat) di Bumi Rancakalong, ... 317

4.33 Bumi Paniisan, ... 318

4.34 Denah dan Gambar Pelaksanaan Kegiatan di Bumi Paniisan, ... 319

4.35 Leuit, ... 320

4.36 Imah Waditra, ... 321

4.37 Imah Rurukan, ... 321

4.38 Saung Lisung, ... 321

4.39 Saung Panggodogan, ... 322

4.40 Saung Ranggon, ... 322

4.41 Parahu Kumureb, ... 324

4.42 Julang Ngapak, ... 324

4.43 Model Panglaksaan di Masyarakat, ... 327

4.44 Ilustrasi Tali Paranti Rikin, ... 336

4.45 Suasana Muludan, ... 340

4.46 Jambangan yang Telah Didandani, ... 340

5.1 Angket untuk Masyarakat Model 2, ... 361

5.2 Cuplikan Gambar Rekaman Film Awal, Tengah, dan Akhir, ... 364

5.3 Kegiatan Penelitian pada Masyarakat Model 1, ... 368

5.4 Kegiatan Penelitian pada Masyarakat Model 2, ... 370


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. SK DIREKTUR SPS UPI NO.: 0431/UN40.7/KM/2013 TENTANG

PERPANJANGAN PEMBIMBINGAN PENULISAN DISERTASI

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN

INDONESIA ANGKATAN 2013, 460-461

2. SURAT PERMOHONAN DARI DIREKTUR SPS UPI

DITANDATANGANI ASISTEN DIREKTUR I NO.:

0978/UN40.7/PL/2012 TENTANG IZIN MELAKUKAN STUDI

LAPANGAN/OBSERVASI, 462

3. SURAT IJIN PENELITIAN DARI KEPALA BAPPEDA KABUPATEN SUMEDANG DITANDATANGANI OLEH KEPALA UPTB LITBANG NO.: 070/251-Litbang/Bapp/2012 UNTUK CAMAT RANCAKALONG, 463

4. SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PENELITIAN

DISERTASI DOKTOR NO: 108/UN.40.8/LT/2013

DITANDATANGANI OLEH KETUA LPPM DAN KETUA PENELITI, 464-466


(17)

1 Retty Isnendes, 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Upacara ngalaksa sebagai upacara adat adalah salah satu contoh kearifan lokal dari hal adat-istiadat, di samping nilai, norma, etika, kepercayaan, hukum, dan aturan-aturan khusus lainnya yang terdapat pada masyarakat tradisional Indonesia. Gobyah (http://www.balipost.co.id dalam Sartini, 2004:112) menafsirkan bahwa kearifan lokal adalah perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal, karena memang kearifan lokal mengandung nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan

Radiana (2003) menjelaskan bahwa kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan jahiliyah (al-‘addah al-jahiliyyah). Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Dalam hal ini, agama Islam menjadi pandangan hidup orang Sunda sebagaimana tersurat dalam buku Pandangan Hidup Orang Sunda (Warnaen dkk., 1987:224-233).

Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik hanya akan terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan (Radiana, 2003).


(18)

Kearifan lokal juga adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, dan wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologi. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang sekaligus membentuk pola prilaku manusia sehari-hari, demikian menurut Keraf dalam Sobirin (2007:102).

Pada tataran Indonesia, khususnya di tatar Sunda, pola-pola ini menjadi localism genius orang Sunda dan bisa menjadi kebijakan yang disepakati bersama. Hal inilah yang menjadi kearifan tradisional atau lokal yang hasilnya diharapkan menjadi jati diri yang tangguh (jati teu kasilih ku junti; teu unggut kalinduan teu gedag kaanginan) dan kedamaian juga kesejahteraan (teu nanaon ku nanaon, mulus rahayu berkah salamet) yang melingkupi. Hasil yang sangat diharapkan sebagai nilai yaitu karakter yang mandiri dan kuat.

Nilai-nilai khusus yang dipancarkan oleh pola-pola tradisional dalam memahami alam dan kehidupannya adalah potensi nilai-nilai kepribadian bangsa di Indonesia secara umum. Nilai-nilai kepribadian bangsa dari konteks ke-Indonesia-an yang tersedia pada masyarakat Indonesia ini sudah seyogyanya digali oleh yang berkompeten, baik praktisi ataupun akademisi, dan dikemas secara kreatif sebagai nilai, media, atau sarana pengimbang dinamika kehidupan yang sangat cepat dan kadang tidak terprediksi secara konvensional di era globalisasi ini.

Hasil penggalian mengenai tradisi dan nilai-nilainya, telah banyak dilakukan oleh orang Sunda secara individual, misalnya saja Adat-adat Oerang Priangan jeung Oerang Soenda Lian ti Eta (1913) oleh Haji Hasan Moestapa, Upacara Adat di Pasundan (1955) oleh R. Akip Prawira Soeganda, Modana (1977) oleh R.H. Uton Muchtar & Ki Umbara, dan Rupa-rupa Upacara Adat Sunda Jaman Ayeuna (1984) oleh H. Moh. E. Hasim. Selain itu, terdapat juga hasil penelitian mengenai kearifan lokal yang terdapat pada suku bangsa yang dilakukan secara kelompok yang dirangkum oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan sepanjang tahun 1980-an. Kegiatan mengenai penelitian ini disebut Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan. Salah satu


(19)

hasil dari penelitian ini adalah Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah di Jawa Barat (1984) yang ditulis oleh Oyon Sofyan Umsari, dkk. dan Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Suwarsih Warnaen, dkk. yang isinya berupa kehidupan sosial orang Sunda yang telah berlangsung berabad-abad lamanya dan telah menghasilkan khazanah budaya Sunda, termasuk sastra dan tradisi lisan. Juga tidak dilupakan rangkuman etika dan karakter manusia Sunda dalam Etika Sunda (1993) karya R.H. Hidayat Suryalaga. Belum lagi laporan dari peneliti asing tentang budaya Sunda, seperti: Nji Pohatji Sanghjang Sri (1929), Gebruiken en Godsdienst der Soendaneezen (1935) yang ditulis oleh K.A.H. Hidding, Loetoeng Kasaroeng (1910) yang ditulis C.M. Pleyte, Ngabersihan Als Knoop in The Tali Paranti, Bijdrage tot het Verstaan van de Besnijdenis der Sundanezen (1973) yang ditulis oleh W. Mintardja Rikin, Cosmology and Social Behaviour in A West Javanese Settlement (1978) yang ditulis oleh Robert Wessing, atau Splashed by The Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java (2006) yang ditulis oleh Julian Patrick Millie.

Akan tetapi, sebelum era tulisan modern melaporkan hal itu, pada era lisan nilai-nilai itupun hidup sebelumnya pada uga, cacandran, sastra lisan Sunda (pantun, carita rakyat, dongeng, sisindiran, dll.), adat-istiadat, dan sebagainya. Belum lagi pada era tulisan tradisional, naskah-naskah Sunda kuna yang banyak menawarkan nilai-nilai dan karakter-karakter ideal mengenai manusia dan pemimpin, seperti: Naskah Siksa Kanda(ng) Karesian (1518 M), Sewaka Dharma, dan lain sebagainya. Selain itu, pada sastra tulis Sunda lama terdapat wawacan, dan sastra tulis Sunda baru: sajak, carpon, novel, dan naskah drama Sunda. Nilai-nilai itu diyakini, dilaksanakan, dan diwariskan baik langsung ataupun tidak langsung dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya.

Selain penelitian-penelitian tentang tradisi Sunda dan nilai-nilainya, terdapat juga hasil penelitian mengenai nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia yang dilakukan secara parsial oleh para ahli di bidangnya. Misalnya saja mengenai Manusia Sunda (1984) yang ditulis oleh Ajip Rosidi. Dalam bukunya, Rosidi


(20)

(1984) secara kritis mempresentasikan nilai-nilai (karakteristik) manusia Sunda dari tokoh sastra dan sejarah yang tipikal dari tanah Sunda. Sebelumnya, ada tulisan mengenai Manusia Jawa (1983) karya Marbangun Hardjowirogo, yang sebelumnya lagi ada tulisan mengenai Manusia Indonesia (1977) karya Mochtar Lubis yang secara kritis kontroversial mengoreksi ciri-ciri khas bangsa Indonesia terutama di bidang kebudayaan. Karya yang menarik lagi adalah tulisan Ki Hajar Dewantara yang terangkum dalam judul Kebudajaan mengenai masalah-masalah pendidikan yang dikaitkan dengan nilai budaya (Jawa dan Nusantara) yang diterbitkan oleh Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa tahun 1967.

Semua itu menegaskan bahwa nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia telah mapan dan tersedia dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, saat ini bangsa Indonesia seolah kehilangan kepribadiannya dan nilai-nilai baik yang ada seolah hilang oleh nilai-nilai yang dianggap baik yang dicerap dari budaya asing. Hal yang terjadi kemudian, nilai-nilai kepribadian bangsanya sendiri, terutama kearifan lokal dianggap asing dan tidak bisa dipateakeun ‘diterapkan’; diakomodasikan dalam menyelesaikan masalah internalnya. Selain itu, rusaknya kepribadian bangsa seolah secara menyeluruh menjadi epidemik bagi kekuatan moral dan mental bangsa ini. Kondisi bangsa yang terpuruk dengan berbagai penyakit mental dan moral ditafsirkan menggerogoti bangsa yang 68 tahun merdeka ini --baru atau sudah 68 tahun Indonesia merdeka? Ini pertanyaan

dialektis. Sebagai sebuah bangsa yang ‘baru’ merdeka dari cengkraman kolonialisasi, kondisi ini dipermaklumkan, karena Indonesia terus belajar dari jatuh-bangun kondisi bangsanya. Tetapi sebagai sebuah ikatan bangsa yang telah atau pernah mapan dengan nilai-nilai karakter yang hebat, seharusnyalah Indonesia tidak jatuh terperosok ke dalam kehinaan, seperti: kehilangan jati diri dan karakteristik yang positif yang sudah dipunyainya, atau setidaknya cepat kembali merekonstruksi karakter bangsanya. Hal tersebut, dimaklumi oleh Prof. Dr. Salim Said (mantan Dubes Cheko), karena menurutnya, Indonesia sebagai sebuah negara, baru mempunyai ruh tahun 1928 dan merdeka tahun 1945, keterpurukan bangsa ini dinilai wajar karena berproses menuju bangsa yang sesungguhnya yang memerlukan waktu yang tidak sedikit (Leiden, 031211 jam


(21)

21.00). Oleh karena itulah, upaya yang yang tidak kalah pentingnya sekarang adalah mensosialisasikan atau mengimplementasikan nilai-nilai tersebut, terutama pada bidang pendidikan. Hal itu dimungkinkan, karena pendidikan merupakan komponen strategis dalam membangun karakter bangsa.

Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak mulia dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam suatu budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga negara Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia (Ramly dalam Tim Kementrian Nasional, 2010:ii). Oleh karena itu, pendidikan karakter di Indonesia diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebijakan sehingga menjadi suatu kepribadian dari diri warga Indonesia.

Sejalan dengan hal di atas, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 menyatakan demikian.

“Pendididikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembela|jaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pengertian di atas, menurut Prof. Dr. Yoyo Mulyana, M.Pd. (PBI, 19 Agustus 2011 jam 11.00 WIB) dianggap kurang tepat, karena kata ‘memiliki’ bisa ditafsirkan sebagai: ‘belum tentu dapat memiliki’ dan mungkin ‘hanya memiliki’ saja tetapi bukan sebagai daya yang dijalankan atau diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari.

Sebagai hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, pendidikan di sebuah negara sudah sepatutnya diatur oleh negara, seperti perumusan tentang pendidikan di atas. Demikian juga fungsi dan tujuan pendidikan tersebut, seperti yang diatur oleh undang-undang yang sama dalam bab dan pasal yang berbeda.

Fungsi dan tujuan pendidikan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 dijelaskan sebagai berikut.


(22)

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: (1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, (2) berakhlak mulia, (3) sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, dan (8) menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bila memperhatikan pengertian, fungsi, dan tujuan pendidikan di atas, semuanya merujuk pada akhlak mulia untuk peradaban bangsa. Kata kunci dari semua itu adalah akhlak mulia dan adab. Akhlak dan adab berkaitan dengan dengan istilah lain: budi pekerti, moral, etika, watak, dan karakter yang baik. Istilah-istilah ini bisa dihubungkan dengan pengertian karakter yang menurut Rutland (dalam Hidayatullah, 2010:12) berasal dari bahasa Latin yang artinya ‘dipahat’ atau diibaratkan sebuah kehidupan bagaikan blok granit yang harus diperlakukan (dipahat) dengan hati-hati sehingga menjadi maha karya, karena apabila sembarang memperlakukannya, maha karya tersebut akan hancur menjadi puing. Jikalau demikian, karakter menjadi gabungan dari kebajikan dan nilai-nilai yang dipahat dalam batu hidup tersebut yang akan menyatakan nilai yang sebenarnya.

Dalam Learner’s Dictionary dinyatakan bahwa karakter adalah “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi” (Hornby dan Parnwell, 1972:49). Kualitas mental terlahir dari mental yang sehat. Menurut Darajat (dalam Yusuf LN, 2009:10), mental yang sehat adalah ‘terwujudnya keharmonisan antar fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang terjadi, merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya’.

Dalam Kamus Psikologi, karakter disebutkan sebagai kepribadian (yang) ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang. Kejujuran seseorang tersebut biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Gulo, 1982:28).

Menurut Raka, dkk (2011: 36-37) karakter dikaitkan dengan sifat khas atau istimewa; kekuatan moral; pola tingkah laku seseorang. Karakter baik dimanifestasikan dalam kebiasaan baik di kehidupan sehari-hari: pikiran, hati


(23)

baik, dan tingkah laku baik. Berkarakter baik berarti mengetahui yang baik, mencintai kebaikan, dan melakukan yang baik. Karakter memancar dari dalam diri ke luar (inside-out). Artinya kebiasaan baik tersebut dilakukan bukan atas permintaan atau tekanan dari orang lain melainkan atas kesadaran dan kemauan sendiri. Disebutkan pula bahwa karakter adalah “apa yang Anda lakukan ketika tak seorang pun melihat atau memperhatikan Anda”.

Mengenai kalimat dalam kutip di atas, hal ini hampir sama pengertiannya dengan apa yang disebut dalam Islam sebagai ikhsan, yaitu ketika seseorang berniat, berpikir, dan berbuat, dirinya yakin ada pencipta yang mengawasinya, sehingga seluruh niat, pikiran, perbuatannya selalu dijaganya dalam kebenaran.

Dari uraian singkat, disimpulkan, karakter bisa dinyatakan sebagai kualitas atau kekuatan mental; moral; akhlak; budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak dalam berprilaku, serta membedakan satu individu dengan individu lainnya. Dengan demikian, pendidikan berkarakter dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana dalam membangun kualitas mental yang bernilai mulia dalam usahanya mewujudkan bangsa yang beretika secara menyeluruh.

Upacara ngalaksa sebagai tali paranti masyarakat Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang adalah sebuah kebijaksanaan; kearifan; masyarakat setempat yang diasumsikan mengandung nilai-nilai kebaikan. Nilai-nilai kebaikan tersebut terintegrasi dalam karakter masyarakat Kecamatan Rancakalong.

Mengenai keberadaan upacara ini, sudah lama diberitakan dan sudah banyak diinformasikan keberadaannya, tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, baru pada bulan Juli 2011 observasi awal dilaksanakan. Upacara ngalaksa yang dilakukan bulan Juli 2011, dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut dari tanggal 5 s.d. 11 Juli 2011. Hal tersebut, sama seperti pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya, demikian keterangan dari Mama Sukarma (wawancara di Rancakalong, 5 Juli 2011). Upacara ini dilaksanakan dengan khidmat dan wajib diikuti oleh segenap lapisan masyarakat, terutama warga desa dan para keturunan dari leluhur yang berasal dan menetap di daerah


(24)

tersebut. Pada waktu penelitian pertama ini dilakukan, yang bertugas menjadi pemangku hajat upacara ini adalah Desa Pamekaran Kecamatan Rancakalong.

Penelitian kedua adalah tanggal 4 s.d 8 Juli 2012. Upacara ini dilaksanakan lima hari lima malam berturut-turut karena tidak memungkinkan dilaksanakan tujuh hari disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat setempat; adanya larangan bulan. Pada upacara tahun 2012 yang memangku hajat adalah Desa Cibunar Kecamatan Rancakalong.

Penelitian ketiga adalah tanggal 24 s.d. 30 Juni 2013. Upacara ini juga dilaksanakan tujuh hari berturut-turut dan perubahan bulan diselenggarakannya karena menghadapi bulan puasa Ramadhan. Tahun 2013 ini pemangku hajat adalah Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong.

Adapun tampilan seni tarawangsa yang mengiringi kegiatan upacara ngalaksa dilaksanakan bergantian oleh komunitas tradisi (rurukan) di kecamatan tersebut. Jadi selama hari-hari pelaksanaan, kelima komunitas tradisi sehari semalam bergantian menyediakan penabuh tarawangsa dan melaksanakan nyumpingkeun Keresa Nyai.

Patut diketahui, pelaksanaan upacara ini ditanggungkan pada lima desa yang mempunyai rurukan ‘masyarakat adat’ yang melaksanakan upacara ini. Lima desa ini bergantian setiap tahun menyelenggarakan upacara. Lima desa tempat lima rurukan ini adalah: 1) Desa Rancakalong, 2) Desa Cibunar, 3) Desa Nagarawangi, 4) Desa Pasirbiru, dan 5) Desa Pamekaran.

Ngalaksa dilaksanakan dengan maksud menghormati arwah leluhur yang telah berhasil mencari dan mempertahankan bibit padi, juga sebagai rasa syukur atas keselamatan dan rezeki yang dilimpahkan dalam kehidupan para petani. Menurut Kartikasari, dkk., ngalaksa adalah: 1) ada hubungannya dengan perubahan cara bertani dari sistem perladangan pada sistem pertanian di sawah, sekaligus mengembangkan sistem perairan dan sawah-sawah berteras, 2) pengungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada tuhan YME melalui Dewi Sri (Dewi Padi) yang telah melimpahkan kesuburan dan keberhasilan panen pada penduduk. Upacara itu sekaligus sebagai prasarana pemuas keinginan


(25)

berkomunikasi manusia dengan khalik yang dipuja sebagai kekuatan adikodrati tertinggi (Kartikasari, 1991:22).

Upacara ngalaksa yang sebelumnya dilaksanakan tiga atau empat tahun sekali, sekarang dilaksanakan satu tahun sekali (Kartikasari, dkk, 1991; Ningsih, 2005; Yuningsih, 2005; wawancara dengan Mama Sukarma, 2011, dan Aki Atang, 2012). Hal ini berhubungan dengan pengelolaan pemerintah Kabupaten Sumedang, dibawah kepemimpinan Bupati yang menjadikan ngalaksa sebagai aset pemerintah daerah dalam hal kepariwisataan yang dianggap bisa mendatangkan devisa semenjak tahun 1998.

Upacara tradisional yang dilaksanakan setelah panen ini, diwujudkan dalam budaya yang nampak yaitu berupa pembuatan laksa oleh kaum wanita dan dibantu oleh kaum laki-laki dari daerah yang bersangkutan. Laksa adalah sejenis leupeut/lepat yang dibungkus oleh daun congkok. Bahan laksa ini adalah tepung beras yang ditumbuk bersama-sama dalam kegiatan ngalaksa.

Upacara ini memang sangat menarik bila dilihat dari segi struktur dan isi, juga keunikan namanya, sehingga pada laman di dunia maya pada Oktober 2011 terdapat sekira 5.620 laman dari hasil penelusuran. Tetapi bila diperhatikan lebih mendetail, jumlah tersebut terus bertambah dan ternyata bercampur dengan kata ‘ngalaksa’ yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Baduy (Kanekes) dalam upacara Ngawalu. Walaupun ada dua upacara dengan nama yang sama (ngalaksa), dalam pelaksanaannya berbeda, yaitu ngalaksa pada masyarakat Baduy dilaksanakan pada rangaian upacara ngawalu tiap satu tahun sekali, dengan tata cara pelaksanaan yang tidak diketahui karena merupakan upacara tertutup bagi masyarakat luar.

Populernya upacara ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang pada tataran praktis tidak berbanding lurus dengan pada tataran akademis, terutama sebagai tulisan hasil penelitian. Sebagai tulisan hasil penelitian, sementara ini hanya beberapa yang didapatkan.

Di KITLV Leiden-Belanda, terdapat satu buku yang berjudul Pengukuhan Nilai-nilai Budaya Melalui Upacara Tradisional: Upacara Kesuburan Tanah “Ngalaksa” dan Upacara Bersih Desa “Syaparan” (Tatiek Kartikasari dkk.,


(26)

1991). Buku ini membahas: 1) nilai-nilai budaya dari upacara tradisi ngalaksa yang dianggap bermanfaat dan diperlukan bagi usaha pelestarian unsur-unsur kehidupan sosial, 2) mengukuhkan nilai-nilai budaya dari upacara tradisi ngalaksa lewat penginventarisasian, penganalisaan, dan pengujian, dan 3) mengungkapkan upacara tradisi ngalaksa sebagai salah satu pranata sosialisasi dan arena sosial nilai-nilai budaya sebagai modal dasar kehidupan bangsa Indonesia.

Di perpustakaan STSI terlacak dua karya penelitian yang berbentuk tesis dan jurnal. Judul tesis mengenai ngalaksa ini adalah: Struktur dan Fungsi Tari dalam Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong (Ella Nurlaela Ningsih, 2005) dan pada jurnal Panggung terdapat tulisan Upacara Ngalaksa dan Tari Tarawangsa: Penyelidikan Simbol-simbol Komunitas (Yuyun Yuningsih, 2005). Tulisan Yuyun Yuningsih pada jurnal Panggung tersebut sebagian berasal dari tesisnya “Makna Simbolik Upacara Ngalaksa pada Masyarakat Rancakalong”, tesis di Program Studi antropologi, SPs UGM dengan tahun yang sama.

Di perpustakaan Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, terdapat juga judul skripsi dalam bahasa Sunda Ajen Sosiologis dina Tradisi Upacara Adat Ngalaksa di Desa Rancakalong Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang pikeun Bahan Pangajaran Maca di SMA Kls XII (Ikhsan Nugraha, 2010). Skripsi ini membahas: 1) sejarah lisan tradisi upacara ngalaksa, 2) mendeskripsikan pelaksanaan upacara adat ngalaksa, 3) menganalisis maksud dan tujuan upacara adat ngalaksa, dan 4) mendeskripsikan nilai sosiologis yang terdapat dalam upacara adat ngalaksa.

Selain itu, terdapat makalah yang telah dipresentasikan pada Kolokium Pengajaran Internasional di Sps UPI yang berjudul Upacara Ngalaksa di Kabupaten Sumedang: Sebuah Kearifan Lokal dari Tatar Sunda (Retty Isnendes, Desember 2012). Pada makalah tersebut, dibahas ketautan upacara ngalaksa dengan kearifan lokal di Tatar Sunda.

Selain tulisan hasil penelitian yang eksplisit menggunakan kata ngalaksa pada judulnya, terdapat juga makalah, skripsi, dan tesis yang tidak menggunakan kata ngalaksa tetapi terdapat bahasan mengenai upacara ini dan juga kelengkapannya. Tulisan itu adalah makalah yang berjudul Makna Folklor Padi di


(27)

Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang sebagai Revitalisasi Pengolahan Pangan (Usman Supendi pada Konferensi Internasional Budaya Sunda November 2011), skripsi dengan judul “Arti Simbolik Sasajen dalam Seni Ormatan Tarawangsa” (Lia Putu Arga, 2011) pada Jurusan Antropologi FISIP UNPAD; Ajen Falsafah Kasenian Tarawangsa Desa Rancakalong Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang: Hiji Tilikan Semiotik (Rekha Rosdiana Dewi, 2012) pada Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI, dan tesis Iis Warsiti “Pengelolaan dan Pemanfaatan Kultivar Padi Lokal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelestarian Kultivar Padi Lokal (Studi Kasus di Desa Rancakalong Kabupaten Sumedang)” untuk SPs UNPAD Bandung.

Selain sembilan hasil penelitian di atas, selebihnya belum ada lagi ditemukan, apalagi yang ditulis oleh peneliti asing (non-Indonesia). Mungkin masih ada lagi, tetapi belum terlacak. Hal ini menjadi keuntungan akademik bagi peneliti pribumi yang berminat meneliti upacara ini, karena merupakan objek material yang orisinal dan sangat menarik. Tapi di sisi lain menjadi kerugian akademik, karena pendokumentasian, analisis, interpretasi, serta revitalisasi terhadapnya menjadi sangat kurang.

Padahal dari hasil pengamatan sejak Juli 2011, penelusuran laman di dunia maya, dan dari hasil pembacaan sembilan karya ilmiah tentang ngalaksa, ditafsirkan terdapat nilai-nilai pendidikan, khususnya pendidikan karakter pada upacara tersebut. Hal tersebut dikarenakan, pada ngalaksa ada kearifan lokal dan bisa menjadi pola pendidikan nonformal dan formal yang bisa diimplementasikan pada masyarakat didik. Dari pembacaan sembilan karya ilmiah juga, tujuan penelitian ini sangat berbeda dengan yang sudah ada bahkan diusahakan lebih komprehensif dari yang ada. Oleh karena itu, penelitian mengenai “Struktur dan Fungsi Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang dalam Perspektif Pendidikan Karakter” ini perlu dilakukan.

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah 1.2.1 Batasan Masalah


(28)

Dari latar belakang, masalah yang muncul sangat kompleks, yaitu di bawah ini.

Pertama. Kearifan tradisional di tatar Sunda yang tersimpan dalam nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat –termasuk upacara adat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus, begitu kaya dan beragam. Kearifan tradisional dalam upacara adat, atau upacara ngalaksa yang dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang yang unik dan kaya dengan nilai ini, dianggap mengalami kemunduran kualitas dan pengurangan subtansi karena berbagai faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah faktor globalisasi dan adanya campur tangan pihak pemerintah dalam mengelola upacara ini sebagai aset daerah. Pengelolaan ini bukan hal buruk sepanjang tidak mempengaruhi secara substansial dan kualitas nilai pada upacara tersebut. Padahal nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tersebut sarat dengan ajaran moral dan berguna sebagai bahan pendidikan karakter di Indonesia, khususnya di tatar Sunda.

Kedua. Kearifan tradisional atau kearifan lokal yang begitu kaya nilai dan kaya makna ini, secara perlahan namun pasti, mati dan punah seiring berkembangnya globalisasi dan datangnya era komunikasi digital yang menciutkan hubungan sosial tradisional. Kepentingan individual yang dimanjakan dengan teknologi mutakhir, melupakan dan memusnahkan hubungan kelompok tradisional yang padanya nilai-nilai kearifan berada. Telah banyak hasil penelitian tentang hal ini, akan tetapi sosialisasi pada wilayah pendidikan dipandang baru-baru ini dengan adanya konsep pendidikan budaya dan juga konsep pendidikan karakter, yang sebenarnya kedua konsep ini saling bersinkronisasi satu sama lainnya sebagai konsep yang mengarah pada moral moral excellence atau akhlak

mulia yang sesuai bagi peradaban bangsa. Ketiga. Penjabaran pendidikan berkarakter, menurut Hidayatullah

(2010:61-79), saat ini ada delapan nilai-nilai karakter yang bisa dijadikan alternatif dalam pendidikan, yakni: SATF (Sidik-Amanah-Tablig-Fatonah), Baik-Buruk, 7 Budi Utama, 4 Elemen Excellence, Astabrata, Serat Wulang Reh, Dasa Dharma Raja, dan Astha Dasa Kotamaning Prabu. Lain lagi dengan Koesoema (2007) yang memberikan pandangan pendidikan karakter dari sisi historisasi,


(29)

yaitu: pendidikan karakter Aristokrasi ala Homerus, pendidikan karakter Populer Hesiodos, pendidikan karakter Patriotis Spartan, pendidikan karakter Harmonis ala Athena, pendidikan karakter Retoris Athena, pendidikan karakter ala Sokrates, pendidikan karakter ala Plato, pendidikan karakter Kosmopolitan Hellenis, pendidikan karakter ala Romawi, pendidikan karakter Kristiani, pendidikan karakter Modern, pendidikan karakter F.W. Foerster, dan beberapa kasus historis pendidikan di Indonesia. Selain itu, ada nilai-nilai karakter yang diadopsi oleh Kementrian Pendidikan Nasional (2010) dari Sembilan Pilar Karakter Ratna Megawangi menjadi 18 nilai. Lain lagi dengan Raka dkk (2011) yang menawarkan enam kategori kebajikan dan kekuatan karakter yang diacu dari Patterson dan Seligman, yaitu: kearifan dan pengetahuan, keberanian, kemanusiaan, keadilan, pembatasan diri, dan transendensi. Bila merunut nilai-nilai di atas, nilai-nilai tersebut sebenarnya bisa diacu sebagai nilai umum pada pendidikan karakter di Indonesia dan hal ini menjadi relevan dengan pendidikan karakter yang dibahas sisi historisnya oleh Koesoema. Walaupun tiga nilai terakhir yang ditawarkan oleh Hidayatullah dan pendidikan Kristiani yang ditawarkan Koesoema mungkin bisa dikomunikasikan lebih khusus lagi pada pendidikan karakter suku bangsa yang menjadi latar budaya dari suku bangsanya (Jawa) dan dari pemeluknya (Kristen) –kecuali yang lebih umum yaitu yang ditawarkan oleh Megawangi. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan filsafat yang mempengaruhi tiap suku bangsa-suku bangsa di Indonesia. Di Jawa Barat, perlu kiranya diangkat satu konsep karakter yang nilai-nilainya didasarkan pada tradisinya sendiri, yaitu dalam penelitian ini adalah nilai-nilai karakter dari upacara ngalaksa sebagai salah satu upacara adat Sunda yang potensial menjadi alternatif konsep pendidikan karakter.

Keempat. Ukuran keberhasilan pembangunan, juga di bidang pendidikan di Indonesia saat ini selalu diukur dengan angka dan paham positivistik yang rasionalis, bukan fenomenologis. Sekarang dikenal adanya angka partisipasi sekolah, tingkat kelulusan, angka minimal kelulusan, jumlah gedung sekolah, rasio guru dan murid, jumlah angka putus sekolah, dan sebagainya, tetapi banyak hal yang tidak terukur dan dilupakan yakni: kemerosotan moral, sopan-santun,


(30)

lemahnya kohesi sosial, tumbuhnya sikap individualistik, melemahnya sikap pluralistik, dan yang berbahaya teralienasi (terasing) dari budaya sendiri atau mengalienasi dari budaya sendiri. Menurut Budiyono (2007:130) hal ini dikarenakan konsep pendidikan di Indonesia yang menganut sistem liberal, rasionalistik-individualistik, dan anti sosial.

Kelima. Permasalahan keempat melahirkan konsep pendidikan yang tidak mengacuhkan bahkan membunuh konsep irasional dan suprarasional. Padahal, pada masyarakat Indonesia dan suku-suku bangsanya telah berkembang kearifan lokal sebagai upaya pemecahan masalah dan adaptasi lingkungan sosial budaya dan alam sekitarnya. Dalam menemukan, mengembangkan, dan menyebarluaskan kearifan ini, masyarakat Indonesia hampir tidak menempuh metode-metode rasional sebagaimana yang dikembangkan di Barat. Masyarakat cenderung menggunakan rasionalitas khasnya yang kalau diukur dengan rasionalitas Barat termasuk dalam ketegori irrasional dan suprarasional. Padahal itulah rasionalitas negeri ini yang berbeda dengan filsafat Barat (band. dengan Budiyono, 2007: 131). Untuk itulah perlunya mensosialisasikan penguatan pendidikan berbasis karakter dari nilai-nilai tradisi dan budaya sendiri guna membentuk karakter bangsa.

Keenam. Bahwa idealisme yang tersurat dalam pengertian, maksud, dan tujuan pendidikan di Indonesia, dianggap baru sebatas impian. Sampai saat ini, hasil dari pendidikan di Indonesia belum mencapai kemajuan pendidikan karakter, malah dalam berbagai hal mengalami kemunduran (Raka, 2011:xi) dan kegagalan; gagal menciptakan generasi yang saleh, tapi hanya melahirkan generasi yang salah (Aziz, 2011:109). Karakteristik manusia Indonesia sebagai pribadi yang memiliki moral excellence atau akhlak mulia yang dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) tidak memiliki makna bagi bangsanya sendiri. Problem bangsa yang bertubi-tubi seperti korupsi, pelanggaran HAM, konflik etnis, konflik agama yang berkepanjangan, disintegritasi sosial, menjadi fenomena mondial yang menasional (Budiono, 2007:128-128; Raka, 2011:xi-xii; Aziz, 2011:114-115). Belum lagi realita moral hidup sehari-hari, yang selalu diberitakan televisi-televisi swasta dan surat kabar-surat kabar yang setia mengunjungi pembacanya. Hal ini menjadi


(31)

indikator bahwa pendidikan di Indonesia belum dapat menjawab permasalahan dan menjadi solusi atas karakter dan akhlak yang tidak baik.

Dari masalah-masalah di atas inilah, rumusan masalah difokuskan pada upacara ngalaksa dan tinjauannya dalam perspektif pendidikan karakter.

1.2.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut. 1) Bagaimana struktur dan fungsi upacara ngalaksa?

2) Bagaimana penyusunan nilai pendidikan karakter dari upacara ngalaksa?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan mengukuhkan dan melestarikan kebajikan-kebajikan tradisi dengan menyusun konsep nilai pendidikan karakter dengan cara mendokumentasi dan menginterpretasi upacara Sunda ngalaksa yang terdapat di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang sebagai syarat tugas akhir pendidikan S3. Selain itu, sebagai hasil penelitian diharapkan berguna bagi kehidupan sastra dan tradisi lisan Nusantara.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah menjawab rumusan masalah, yaitu: 1) mendeskripsikan struktur dan fungsi upacara ngalaksa;

2) menyusun nilai pendidikan karakter dari upacara ngalaksa.

1.4 Urgensi Penelitian

Nilai urgensi dari penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa aspek. 1.4.1 Aspek Ipteks

Aspek ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menjadi sesuatu yang sangat penting dalam proses, hasil, dan dampak dari penelitian ini. Secara proses, ilmu pengetahuan atau sains secara murni menjadi perangkat dalam paradigma berfikir (teori) dan diaplikasikan dalam meneliti. Secara terapan, ilmu pengetahuan


(32)

tersebut tidak bisa berdiri sendiri ketika diaplikasikan di lapangan, tetapi memerlukan pengetahuan lain sebagai pembanding, pengurai, dan penyimpul teori yang ada. Secara hasil, penelitian ini menjadi khazanah ilmu pengetahuan dan budaya bagi masyarakat Sunda khususnya, bagi masyarakat Indonesia umumnya. Terlebih lagi bila hasil dari penelitian ini bisa dimanfaatkan bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan, terutama sastra, kemasyarakatan, tradisi lisan dan pendidikan, dan dianggap akan berdampak positif bagi perkembangan karakter dalam pendidikan dan budaya secara keseluruhan

Teknologi dalam penelitian ini dijadikan media bagi pendokumentasian upacara ngalaksa. Hasil pendokumentasian maupun hasil interpretasi yang berupa konsep karakter sangat berguna bagi pengukuhan dan pelestarian fakta budaya Sunda yang ada dan pernah ada. pendokumentasian tersebut bisa disimpan dan direproduksi sesuai kebutuhan untuk dipergunakan pada waktu yang tak berbatas.

Seni menjadi sesuatu yang sangat berharga ketika ilmu, teknologi, alam, dan budaya menyatu menjadi satu produk yang bernilai yang dihasilkan oleh manusia. Penelitian ini menyentuh jalinan-jalinan Ipteks dalam kehalusan kerja kreativitasnya. Seni juga menjadi bahan penelitian ini, terutama seni sastra dan seni pertunjukannya, karena dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda, pertunjukan upacara ngalaksa menjadi bagian proses etis dan estetis disamping memenuhi nilai-nilai lain yang ingin dicapai oleh masyarakat pelaksananya.

1.4.2 Aspek Budaya

Upacara atau upacara adat ngalaksa adalah budaya yang menjadi poin penting dalam penelitian ini. Lokal genius atau genius localism Sunda dalam upacara tradisi adalah bagian dari kearifan nasional bangsa Indonesia yang merupakan potensi filosofi, ideologi, kepercayaan, dan cinta yang dapat menjaga kelestarian alam dunia demi keseimbangan kehidupan. Wujud kebudayaan sebagai: 1) kompleks ide-ide, gagasan, nilai, norma, adat, peraturan, dan sebagainya, 2) kompleks aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat atau sistem sosial, dan 3) benda-benda hasil karya manusia terekam dalam penelitian ini dan memancar pada tujuh unsur budaya Koentjaraningrat. Hal tersebut adalah


(33)

fakta yang dapat dikondisikan keberadaannya dalam melestarikan kehidupan alam dan dunia.

1.4.3 Aspek Pendidikan

Aspek pendidikan dalam karya ilmiah ini ditinjau dari proses dan hasil yang dicapai. Pendidikan sebagai proses sosialisasi, komunikasi, dan edukasi antara dua orang atau lebih dengan tujuan adanya peningkatan mutu kualitas manusianya dalam penelitian ini menjadi sesuatu yang berharga. Karena dalam pendidikan, esensi nilai yang menjadi tujuan, bertransformasi dari materi dan media pendidikan adalah juga proses sosialisasi dan komunikasi dalam capaian tujuan pendidikan.

Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan bisa dijadikan pola konsep pendidikan karakter, materi ajar muatan lokal dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, melengkapi ilmu pengetahuan, dan menjadi media yang bisa disimpan lama. Konsep karakter dari upacara ngalaksa dalam pendidikan karakter akan menjadi alternatif dalam perkembangan ilmu pendidikan yang sedang berkembang dan mendapat tempat sekarang ini. Materi ajar mengenai upacara adat tradisional dan Tradisi Lisan Nusantara adalah pengetahuan yang sangat berharga untuk dapat diperkenalkan dan diajarkan pada generasi muda. Dalam keragaman budaya tradisi, generasi muda diharapkan bisa menemukan kembali karakteristiknya sebagai bangsa yang beradab.

1.5 Pengertian Istilah

Ada beberapa istilah yang harus dijelaskan yang berhubungan dengan penelitian. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut.

1) Struktur

Struktur adalah sebuah sistem, yang terdiri dari sejumlah unsur, yang diantaranya tidak satupun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua unsur-unsur lain. Dalam struktur ini terdapat gagasan keseluruhan (bukan individu atau anasir yang terpisah), gagasan transformasi (memungkinkan adanya pembentukan unsur baru), dan gagasan regulasi diri (struktur itu otonom dari unsur-unsur lain dan dapat mengatur dirinya sendiri).


(34)

Struktur yang dimaksud pada penelitian ini adalah unsur-unsur yang menyusun upacara ngalaksa secara keseluruhan, apakah jenis dan berapa banyak jenis penyusunnya, bagaimana pertalian antar unsur-unsur tersebut pada keseluruhan upacara ngalaksa.

2) Fungsi

Fungsi adalah guna, peran, manfaat yang berdaya guna, bermanfaat, berperan, berfaedah atau kemampuan yang dimiliki dari sesuatu hal sesuai dengan tugasnya. Fungsi ini bersifat dinamis dan tidak dapat dipisahkan sehingga membentuk kesatuan yang harmonis (Tim Penyusun Kamus, 1997:281, Salim & Salim, 2002: 426, Pusat Bahasa, 2009:181).

Fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemanfaatan dan peran upacara ngalaksa yang merupakan pemecahan masalah atas kebutuhan dasar dan kebutuhan yang diderivasikan sehingga menjamin keberlangsungan hidup masyarakat penyelenggaranya.

3) Upacara ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang Upacara ngalaksa adalah salah satu bentuk upacara selamatan yang biasanya dilakukan setelah panen. Upacara ngalaksa terdapat di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang dan terdapat juga pada masyarakat Baduy. Dalam penelitian ini, upacara yang dimaksud adalah yang terdapat di Kecamatan Rancalong Kabupaten Sumedang.

Upacara ini dianggap sebagai upacara memuliakan padi yang pelaksanaannya diiringi oleh kesenian jentréng atau kacapi dan ngék-ngék atau tarawangsa. Oleh karena itulah kesenian tersebut disebut tarawangsa. Selain itu, upacara ini diiringi pula oleh tarian khas pada waktu-waktu yang ditentukan.

Kecamatan Rancakalong bisa dianggap sebagai salah satu prototipe daerah tradisional Sunda dengan setting sosial masyarakat agraris. Adapun Kabupaten Sumedang dikenal sebagai kabupaten yang kaya akan kegiatan seni dan budaya. Kabupaten ini juga terkenal dengan nuansa kesejarahannya karena di daerah ini pernah berdiri Kerajaan Sumedang Larang. Motto


(35)

kabupaten ini adalah dina budaya urang napak, tina budaya urang ngapak (pada budaya kita menapak, dari budaya kita mendunia).

4) Perspektif

Perspektif adalah cara melukiskan sesuatu atau sudut pandang dalam melihat sesuatu (Tim Penyusun Kamus, 1997:760). Sudut pandang ini menempatkan apa yang kita pandang dalam cara melihatnya sebagai sebuah pengetahuan atau ilmu dari sudut yang diinginkan.

5) Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pembiasaan dan pembentukan nilai-nilai baik bagi karakter insan-insan didik sebagai warga negara yang diharapkan akan membentuk negara yang juga berkarakter. Orientasi dan kerangka dari pendidikan karakter bagi bangsa ini adalah karakter dengan nilai-nilai baik; akhlak terpuji dan mulia.

Nilai-nilai baik adalah berbagai kebajikan yang berdasarkan pada tindakan-tindakan yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia (Ramly, 2010:iii). Dengan kata lain sejalan dengan etika dan budaya yang berlaku di masyarakat . Adapun akhlak terpuji dan mulia adalah berorientasi pada agama Islam dan Muhammad Saw. sebagai teladannya. Akhlak terpuji dan mulia semakna dengan indah atau bagus. Seseorang dikatakan mulia karena melakukan sesuatu yang sangat bermanfaat dan berguna untuk dirinya, orang lain, dan lingkungannya. Di dalam sikap mulia terkandung muatan sikap untuk memberikan yang terbaik dan menerima yang terburuk sekali pun. Dengan kata lain, kemuliaan seseorang sangat bergantung pada prestasinya yang bisa dirasakan oleh orang banyak, bukan untuk dinikmati sendiri saja (Aziz, 2011:15).


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini dijelaskan: (1) metode penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) sumber data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik pengumpulan data, (6) proses analisis data, (7) penyajian hasil data analisis, (8) desain penelitian, dan (9) paradigma penelitian.

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dalam kajian tradisi lisan. Metode ini menggambarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan tradisi lisan dalam kaitannya dengan dinamika masyarakat yang diteliti dan kebudayaannya. Metode kualitatif dimungkinkan dalam menggali dan mengurai kompleksitas kehidupan sosial budaya yang diteliti. Sebagai contoh, penelitian ini yang membicarakan kehidupan upacara ngalaksa dengan para pelakunya. Metode kualitatif dipercaya bisa menggali fenomena tradisi lisan dari upacara ngalaksa dalam konteksnya dengan dunia nyata, dan perspektif pelaku terhadap kehidupan masyarakat yang melatarbelakanginya.

Karakteristik metode kualitatif adalah sebagai berikut: (1) memandang bahwa realitas sosial itu merupakan hasil konstruksi pemikiran yang bersifat holistik; (2) menganggap bahwa proses penelitian itu tidak dapat dikatakan sebagai sepenuhnya bebas nilai; (3) pengumpulan data dalam penelitian kualitatif tidak bersifat kaku tetapi selalu disesuaikan dengan keadaan lapangan (Sutamat, 2011:1).

Dengan demikian, metode kualitatif lebih fleksibel dalam penelitian ini karena fokus penelitian telah ditentukan sebelum objek penelitiannya. Objek penelitian ini ditentukan secara sengaja tentang apa yang sudah diketahui sebelumnya, kemudian ditentukan juga informan yang akan diperlukan selama penelitian. Walaupun demikian, dalam menggunakan metode kualitatif perlu


(37)

disadari kekurangan dan kelebihannya. Terutama objektivitas dalam subjektivitas sebagai peneliti terhadap hal yang diteliti.

Metode kualitatif sangat penting dalam paradigma kajian tradisi lisan karena kesesuaiannya dengan penelitian tradisi lisan yang berusaha, menggali, menemukan, dan menjelaskan makna dan pola tradisi lisan secara holistik (Sibarani, 2012:266). Tradisi lisan merupakan “sistem wacana yang bukan

aksara” (Sutamat, 2011:2) Tradisi lisan tidak bisa dipisahkan dari bahasa karena pada hakikatnya bahasa merupakan hal ,yang bersifat lisani (oral). Dalam praktiknya, antara kelisanan dan keberaksaraan terjalin sama eratnya dan sama penting kedudukannya.

Penelitian ini dilaksanakan dengan kajian tradisi lisan. Kajian tradisi lisan merupakan kajian multi disipliner atau lintas disiplin yang digunakan untuk menganalisis permasalahan, antara lain mencakup pendekatan filsafat, sastra, sejarah, antropologi, sosiologi, hukum, dan politik. Adapun tahap kegiatannya adalah sebagai berikut. Pertama, dilakukan pengumpulan sumber data baik primer maupun sekunder. Kedua, penyeleksian teori yang digunakan untuk mengkaji data yang dapat dipercaya. Ketiga, menganalisis dan menginterpretasi data yang telah diseleksi. Tahap keempat, membuat proses penulisan dan konstruksi dari keseluruhan hasil penelitian.

Pengkajian tradisi lisan memanfaatkan empat “aliran teori” dalam metode kualitatif, yang Bungin sebutkan, yaitu: (1) teori budaya, (2) teori fenomenologi, (3) teori etnometodologi, dan (4) teori interaksionisme simbolik. Empat aliran teori tersebut bisa dimanfaatkan dalam penelitian kajian lisan (Sibarani, 2012:257). Dari keempat aliran tersebut, dalam penelitian ini kecenderungannya adalah menggunakan penelitian budaya yang bersifat naturalistik, karena yang dikejar adalah keteraturan dan konsistensi. Peneliti mencari pertanyaan-pertanyaan umum, ihwal hubungan kategori data untuk membangun data dari dasar dan mengkaji secara kritis kejadian-kejadian yang berhubungan dengan data (Alwasilah, 2008:90-91).

Kajian tradisi lisan sebagai objek, dalam hal ini upacara Ngalaksa, dilihat dari bentuk dan isi. Dalam bentuk terdapat teks (struktur), ko-teks (elemen atau


(38)

unsur), dan konteks (kondisi) yang nantinya akan merupakan formula atau pola dari upacara tradisi ini. Dalam isi terdapat nilai dan norma (fungsi dan makna) yang merupakan kearifan lokal masyarakat Kecamatan Rancakalong. Bentuk dan isi ini seyogyanya dapat direvitalisasi untuk membangun karakter bangsa (bandingkan dengan Sibarani, 2012:243-244).

Selanjutnya, mengingat penelitian tradisi lisan juga melihat peran pemerintah terhadap objek upacara tradisional, maka peneliti berusaha menjelaskan makna subjektif menjadi objektif yang ada di lapangan. Dalam kalimat sederhana dikemukakan bahwa sasaran penelitian ini adalah memahami realitas masyarakat Kecamatan Rancakalong di Kabupaten Sumedang melalui tradisi lisan upacara Ngalaksa dengan cara bagaimana realitas itu dibentuk. Oleh karenanya, dalam memahami realitas tersebut, peneliti menggunakan metode kualitatif.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) penelusuran kepustakaan, (2) wawancara mendalam dan terbuka, (3) perekaman dan pendokumentasian, (4) pengamatan terlibat, dan (5) konvensi tradisi lisan. Teknik-teknik ini dipergunakan ketika penelitian berlangsung dan dalam analisis data. Teknik ini menjadi kerangka berfikir ketika menganalisis dan menginterpretasi data. Semua teknik tersebut dilaksanakan baik di lokasi penelitian (lapangan) maupun di luar lokasi penelitian.

3.2.1 Penelusuran Kepustakaan

Data kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas buku utama, jurnal ilmiah, dokumen negara, surat kabar, dan informasi dari media internet. Buku utama adalah buku yang membahas tentang ngalaksa, kosmologi dan kebudayaan Sunda, dan kerangka teori. Dalam hal ini, termasuk

Gambar 3.1

Peneliti di Depan Gedung KITLV Leiden


(39)

karya asli bahasa asing maupun terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Jurnal ilmiah dibatasi pada artikel yang membahas tentang ritual dan teori struktur atau tentang kebudayaan di daerah. Data dari surat kabar difokuskan pada reportase tentang ngalaksa, seni budaya, atau laporan perkembangan sosial budaya daerah Sumedang. Informasi dari media internet juga penting dilakukan, terutama Wikipedia.com, portal-portal, situs-situs, serta laman-laman yang menginformasikan upacara ngalaksa, budaya Sunda, dan definisi-definisi kata yang secara cepat bisa diunggah. Semua itu merupakan data sekunder dalam penelitian, tetapi amat penting karena merupakan teks (wacana) yang dapat dikaji setiap waktu.

Penelusuran kepustakaan dilakukan di Perpustakaan KITLV Leiden, di: Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, Perpustakaan Daerah Sumedang, Perpustakaan Universitas Padjadjaran, di Perpustakaan STSI, dan di Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta. Dilakukan juga penelusuran kepustakaan secara pribadi pada orang-orang yang menyimpan informasi tertulis mengenai ngalaksa.

3.2.2 Wawancara Mendalam dan Terbuka

Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dan terbuka dengan informan kunci, informan utama, dan informan tambahan. Secara selektif informan kunci adalah pakar dan seorang budayawan setempat yang memahami masyarakat Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang dan kebudayaannya. Informan utama adalah pemuka adat (rurukan), penutur, tokoh yang memahami upacara

ngalaksa baik masa lalu maupun masa kini, dan para pemain atau pelaku yang memiliki kaitan langsung dengan upacara ngalaksa. Informan tambahan adalah para audien dan masyarakat umum yang pernah menyaksikan upacara ngalaksa. Tempat tinggal para informan ini menyebar di Kecamatan Rancakalong dan Kabupaten Sumedang.


(40)

3.2.3 Perekaman dan Pendokumentasian Perekaman dan pendokumentasian

dilakukan untuk memahami “realitas teks” serta

sebagai penunjang untuk melihat perbandingan secara diakronik: ngalaksa pada masa lalu dan ngalaksa pada masa kini. Dari sini juga bisa dilihat perubahan-perubahan struktur dan fungsi ngalaksa yang terjadi, sehingga dapat membantu

analisis strukturalnya. Perekaman audiovisual dilakukan sendiri oleh peneliti dan dibantu oleh audien setempat agar dalam peliputan data tidak terperangkap oleh imajinasi sinematografi atau permainan tehnologi canggih seperti sekarang ini. Jadi hasilnya natural dan sekaligus merupakan karya dokumenter yang diharapkan dapat dimafaatkan untuk studi lainnya.

3.2.4 Pengamatan Terlibat

Pengamatan terlibat dimaksudkan untuk melihat ‘realitas pertunjukan’ sekaligus ‘realitas sosial budaya’ ngalaksa. Realitas pertunjukan untuk menangkap sisi keaslian bentuk ngalaksa dan para tokoh yang terlibat. Realitas sosial budaya meliputi bagaimana masyarakat memaknai

‘pertunjukan’ ngalaksa dan apa sesungguhnya yang terjadi di dalamnya, serta apa hubungannya

dengan dunia nyata. Realitas pertunjukan adalah sebuah metafora kenyataan yang bisa menjadi realitas simbolik, sedangkan realitas sosial budaya merupakan kaitan langsung antara pelaku ngalaksa dengan dunia nyata atau alam sekelilingnya.

3.2.5 Konvensi Tradisi Lisan

Penelitian tradisi lisan dilakukan dengan mendatangi tempat-tempat atau komunitas-komunitas dimana tradisi lisan hidup dalam masyarakat penggunanya,

Gambar 3.4 Membungkus Gambar 3.3 Merekam


(41)

sehingga peneliti dapat melihat langsung pada saat sebuah upacara berjalan. Prinsip-prinsip yang digunakan adalah teknik konvensi tradisi lisan yang berusaha melestarikan konsep pewarisan budaya dengan membunyikan kembali suara-suara tradisi yang sering kali terabaikan di tengah gemuruh teknologi mutakhir dengan terus merevitalisasi suatu kebudayaan jika tidak ingin kebudayaan itu mati. Hal itu dikarenakan budaya lisan memiliki resistensi terhadap hegemoni dan kerutinan yang jauh berbeda dengan dunia teks (Pudentia, Mengumpulkan Kepingan Tradisi Lisan http://id.shvoong.com/social-sciences/1688161-pudentia-mengumpulkan-kepingan-tradisi-lisan/#ixzz1I8b5vPI0[ Januari 2011]).

Konvensi kelisanan disebut psikodinamika budaya lisan primer (the psychodynamic of primary oral cultures). Ciri-ciri umum kelisanan yang diidentifikasi mencakup: pemikiran lisan (oral thought), ekspresi lisan (oral expression) dan naratif lisan (oral narrative). Ciri umum tersebut merupakan ciri yang berulang pada produk budaya lisan yang menggunakan medium verbal (Ong, 1982:139-147).

Menurut Rusyana (2006:111-114) dalam tradisi lisan ada ciri-ciri ketradisian dan kelisanan. Ciri ketradisian adalah sebagai berikut.

(1) Isi tuturan diterima dari generasi sebelumnya, artinya ngalaksa dan tuturan mengenai ngalaksa didapat sumber utama (informan) dari generasi sebelumnya, yaitu: ibu dan bapaknya; nenek dan kakeknya; buyut dan leluhurnya.

(2) pola-pola kisahan tetap dan berulang, artinya pola struktur ngalaksa dan tuturan seputar ngalaksa tetap sama. Mereka tidak berani mengubah, mengurangi, atau menambahinya karena pamali; tos ti sajarahna kitu ‘sudah

dari sejarahnya begitu’.

(3) kisahan berubah menjadi kisah yang dikisahkan lagi, artinya kegiatan ngalaksa dan tuturan seputar ngalaksa dikisahkan secara turun temurun.

Adapun ciri kelisanannya adalah sebagai berikut: (1) tuturan dalam medium lisan, (2) terdapat banyak kalimat yang tidak lengkap komponennya, (3) terdapat penjelasan yang tidak eksplisit, (4) terdapat bagian-bagian yang diulang,


(42)

(5) terdapat penyisipan keterangan dalam kalimat, (6) lingkungan yang terlibat dalam tuturan terbatas, dan (7) tuturan erat hubungannya dengan penutur.

3.3 Instrumen Penelitian

Penelitian tradisi lisan dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan, untuk itu diperlukan instrumen observasi. Peralatan yang dipergunakan multimedia, antara lain: handycam (alat rekaman audio-visual), alat kamera foto untuk pendokumentasian, dan alat transkrip. Kemudian untuk memfokuskan wawancara mendalam dan terbuka, penelitian ini menggunakan pedoman wawancara dan catatan pribadi. Pedoman wawancara dikembangkan dari pengertian istilah (Bab I) yang bersandar pada konsep teori (Bab II). Instrumen ini dikembangkan di lapangan dengan sebelumnya dibuat kisi-kisi pedoman wawancara. Untuk cross (mengecek) data dan memeriksa agar tidak ada permasalahan yang terlewat, maka masih diperlukan lagi check list yang juga termuat dalam kisi-kisi tersebut.

Selanjutnya sebagian data kemudian diujikan pada tiga masyarakat model, yaitu: ibu rumah tangga, para pendidik, dan para pemuda. Instrumen yang dipakai adalah pedoman pengamatan dan pertanyaan sederhana mengenai nilai-nilai pendidikan karakter dari tayangan materi.


(43)

Tabel 3.1

KISI-KISI INSTRUMEN PENELITIAN UNTUK MENJELASKAN STRUKTUR, FUNGSI, DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DARI UPACARA NGALAKSA

DI KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG

No Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Indikator Pertanyaan penelitian 1 Bagaimana stuktur

dan fungsi upacara ngalaksa?

Mendokumentasi dan memaknai struktur dan

fungsi upacara

ngalaksa

Menjelaskan nama kegiatan

1.Apa nama kegiatan yang dimaksud? 2.Mengapa namanya demikian?

Menjelaskan tahap-tahap kegiatan (proses) upacara ngalaksa?

3.Apa sajakah tahap-tahap kegiatan upacara ngalaksa? 4.Bagaimanakah setiap tahapan dilaksanakan?

5.Apa yang menandai bahwa tahapan dimulai dan diselesaikan?

6.Apakah ada persamaan dan perbedaan tahapan dari tiap rurukan?

7.Berapa lama kegiatan berlangsung? 8.Dimanakah kegiatan berlangsung?

9.Berapa lama waktu diperlukan mulai dari persiapan hingga penutupan?

Menjelaskan pelaku yang terlibat dalam upacara ngalaksa?

10.Siapa saja pelaku dalam upacara ini? 11.Siapa pemimpin upacara ngalaksa?

12.Adakah istilah khusus untuk para pelaku yang terlibat pada upacara?

13.Apa saja tugas-tugas mereka? Menjelaskan

benda-benda yang digunakan dalam upacara ngalaksa

14. Benda-benda apa saja yang digunakan dalan upacara ini?

15. Apakah ada benda khusus yang digunakan? Apakah namanya?

Menjelaskan bahan-bahan yang digunakan

16. Bahan-bahan apa saja yang digunakan sebagai bahan pokok upacara?


(1)

Keesing, R.M. (1989). Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. (terj: Samuel Gunawan). Bandung: Erlangga.

Koentjaraningrat. (1993 cet ke-16). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

_________. (2009). Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koesoema A.D. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.

Kurnia, A. & Sihabudin, A. (2010). Saatnya Baduy Bicara. Banten: Bumi Aksara & Untirta.

Madnasan. (1957). Wawatjan Sulandjana Sambungan tina Kidung Njai Sri

Puhatji. Bandjar: M. Karso Prawiraatmadja.

Millie, J.P. (2006). Splashed by The Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in

West Java. Leiden: Leiden University.

Moestapa, H.H. (1918). Bab Adat Oerang Pringan djeung Oerang Soenda Lian ti

Eta. Batawi: Kangdjeng Gupernemen.

Moleong, L.J. (2002 Cet ke-16). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Muhtar, U. dan Umbara, K. (1994). Modana. Bandung: PT. Mangle Panglipur. Mustapa, R.H.H. (1996). Adat Istiadat Sunda (terj. Maryati Sastrawijaya).

Bandung: Penerbit Alumni.

Newton, K.M. (1994). Menafsirkan Teks (terj. Soelistia). Yogyakarta: IKIP Semarang Press.

Ningsih, E.N. (2005). “Stuktur dan Fungsi Tari dalam Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong” (tesis). Bandung: Program Pascasarjana STSI. Nurdin, M., dkk. (1993). Moral dan Kognisi Islam. Bandung: ALFABETA. Nugraha, I. (2010). “Ajen Sosiologis dina Tradisi Upacara Adat Ngalaksa di Desa

Rancakalong Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang pikeun Bahan Pangajaran Maca di SMA Kls XII” (Skripsi). Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah-FPBS-UPI.


(2)

Ong, W.J. (1982). Orality and Literacy-The Technologizing of the Word. London: Routledge.

Pemerintah Kabupaten Sumedang. (2001). Data Potensi Kecamatan Rancakalong

Semester I.

___________. (2011). Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan (Cibunar dan

Rancakalong)

____________. (2011). Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan (Nagarawangi

dan Pamekaran).

Peursen, C.A. van. (1988). Stategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Piaget, J. (1971). Structuralism. Prancis: Presses Universitaires de France.

Pleyte, C.M. (1910). De Legende van den Loetoeng Kasaroeng. Batavia: Batavia

Albrecht & Co dan ‘S Hage Martinus Nyhoff.

Pradopo, R.Dj. (2002). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Prawirasuganda, A. (1964). Upacara Adat Di Pasundan. Bandung: Sumur Bandung.

Pudentia, Mengumpulkan Kepingan Tradisi Lisan http://id.shvoong.com/social-

sciences/1688161-pudentia-mengumpulkan-kepingan-tradisi-lisan/#ixzz1I8b5vPI0[Januari 2011].

Pusat Bahasa. (2009). Teasurus Alfabetis Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan & Depdiknas.

Radiana, A. (2003). “?Urf, Kearifan Tradisi dan Budaya Lokal” dalam Pikiran Rakyat 06-03-2003 hal. 18. Bandung:

Raka, G., dkk. (2011). Pendidikan Karakter di Sekolah dari Gagasan ke

Tindakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Ramly, H.M. (2010). “Kata Pengantar” dalam Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan BPP-Pusat


(3)

Rikin, W. M. (1973). Ngabersihan Als Knoop in The Tali Paranti, Bijdrage tot het

Verstaan van de Besnijdenis der Sundanezen. Leiden: Leiden University.

________. (1994). Peranan Sunat dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda. Bogor: tanpa penerbit.

Rosidi, A. (1970). Tjarita Sri Sadana atau Sulandjana (dipantunkan oleh Ki

Atjeng Tamadipura dari Situradja-Sumedang). Bandung: Projek Penelitian

Pantun.

Rusyana, Y. (1970). Bagbagan Puisi Mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun & Folklore Sunda.

________. (1996). Tuturan dalam Pencak Silat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ________. (2001). “Bali Geusan Kahirupan Sastra Sunda” dalam Padoman jeung Makalah Kongres Basa Sunda VII. Garut: Lembaga Basa jeung Sastra Sunda

& Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jabar.

________. (2011). “Menjadi Pribadi Mulia melalui Pendidikan Bahasa” (Makalah). Bandung: Program Studi Linguistik & Program Studi Bahasa Indonesia-SPs-UPI.

Salim, P. & Salim, Y. (2002). Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.

Sartini. (2004). “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati” pada Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Yogyakarta: UGM diunduh dari www.jurnal.filsafat.ugm.ac.id[Januari 2011].

Satjadibrata, R. (1931). Wawatjan Soelandjana. Batavia Centrum: Bale Poestaka. Sedyawati, E. (1990). “Sastra dalam Kata, suara, Gerak, dan Rupa” dalam

Metodologi Kajian Tradisi Lisan (Ed. Pudentia MPSS). Jakarta: ATL.

Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Soedjijono. (2005). “Residu Unsur Kelisanan dalam Novel Pasar karya

Kuntowijoyo” (Jurnal) diunduh dari

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/33205215234.pdf[ Februari 2011]. Soeganda, R.A.P. (1962). Upacara Adat di Pasundan. Bandung: Sumur Bandung.


(4)

Soeratno, S.Ch. (1994). “Penelitian Sastra: Tijauan tentang Teori dan Metode

Suatu Pengantar” pada Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat

Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah.

Sumardjo, J. (2003). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda. Bandung: Kelir. Sunardi, S.T. (2002). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.

Suryalaga, R.H.H. (2007 Cet ke-7). Etika jeung Tatakrama. Bandung: Geger Sunten.

Syarief, R.M. (2005). Life Excellent: Menuju Hidup Lebih Baik. Jakarta: Gema Insani.

Taum, Y.Y. (2004). “Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat

Dawan di Timor” (Jurnal) diunduh pada

endonesa.net/modules/documents/files/tradisi_fuapah_timor.doc [Februari

2011]

Talens, J. (1993). “Ritual Power; The Installation of a King in Banten, West Java,

in 1691” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149 No: 2, hal.

333-355. Leiden: KTILV.

Teeuw. A. (1988). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Girimukti Pasaka & Pustaka Jaya.

Tim ALRI MPRS. (1963). Sumbangan Pemikiran untuk Nation Building &

Character Building Menuju Indonesia Djaja. Jakarta. TNI ALRI.

Tim Penyusun. (2003). Undang-undang No. 20 tentang Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud.

Tim Penyusun Kamus. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Depdikbud.

Turner, J.H. & Maryanski, A. (2010). Fungsionalisme (diterj. Anwar Effendi, dkk.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Universitas Pendidikan Indonesia. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Warnaen, S., dkk. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda Tercermin dalam

Tradisi Lisan dan Sastra Sunda - Penelitian Tahap II (Konsistensi dan Dinamika). Bandung: Direktorat Jendral Kebudayaan.


(5)

Warsiti, I. (2009). “Pengelolaan dan Pemanfaatan Kultivar Padi Lokal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelestarian Kultivar Padi Lokal (Studi Kasus di Desa Rancakalong Kabupaten Sumedang)” (Tesis). Bandung: SPs UNPAD. Wellek, R. dan Warren, A. (1995) (Cet ke-4). Teori Kesusastraan. Jakarta:

Gramedia.

Wessing, R. (1978). Cosmology and Social Behavior in A West Javanese

Settlement. Ohio University.

Wiati, L.R. (2006). “Struktur, Fungsi, jeung Unsur Budaya dina Dongeng -dongeng di Desa Rancakalong Kabupaten Sumedang” (Skripsi). Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI.

Wibisana, W. dkk. (2001). Lima Abad Sastra Sunda. Bandung: C.V. Geger Sunten.

William & Soetrisno, E. (2002). Webster Dictionary. Jakarta: Gramedia.

Wirawan, Y.A. (2010). Pesta Adat Jawa Barat. Bandung: Multi Kreasi Satu-Delapan.

Yuningsih, Y. (2007). “Upacara Ngalaksa dan Tari Tarawangsa: Penyelidikan Simbol-simbol Komunitas” pada Jurnal Ilmiah Seni & Budaya Panggung.

Bandung: STSI.

Yusuf LN, S. (2009). Mental Hygiene. Bandung: Maestro.

Zoest, A.van. (1990). Semiotika (diterj. Ani Soekowati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Media on-Line

koransumedang.com[diunggah September 2011]

http://artikata.com/[diunggah 06 September 2011jam 10.00WLD]

http://www.upi.edu/profil/fakultas/sekolah-pascasarjana/[diunggah 13 Agustus 13 jam14.30 WIB

www.google.com]

www.wikipedia.org/encyclopedia/[diunggah 10September 2011 jam 14.00 WLD]

www.langitperempuan.com/.../ratna-megawangi-pelopor pendidikan/[diunggah 02

Agustus 2012jam15.00 WIB]


(6)