IMPLEMENTASI MANAJEMEN STRATEJIK BERBASIS KEMITRAAN DALAM MENINGKATKAN MUTU SMK: Studi Pada SMK Kelompok Teknologi Bidang Otomotif di Kota Yogyakarta.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vii
UCAPAN TERIMA KASIH ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Indikator Kelemahan Kinerja SMK di Yogyakarta ...9
C. Fokus Penelitian ...14
D. Pertanyaan Penelitian ...17
E. Tujuan Penelitian ...19
F. Manfaat Penelitian ...19
G. Kerangka Pikir Penelitian ...21
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerjasama Modal Dasar Administrasi Pendidikan ...28
1. Kerjasama dalam Pendidikan ...31
2. Kerjasama Sekolah (school partnership) ...39
3. Teori Kerjasama Kemitraan (collaboration partnership) ...42
4. Kerjasama Kemitraan dalam Kerangka Community Base Education (CBE)...52
5. Manajemen Kerjasama ...63
6. Produktivitas Pendidikan ...77
B. Kepemimpinan (Leadership)...82
1. Kepemimpinan dalam Pendidikan ...84
2. Peran Kepala Sekolah dalam Pengembangan Kerjasama ...87
C. Manajemen Mutu Pendidikan ...89
1. Konsep Manajemen Mutu ...95
2. TQM sebagai Filosofi dan Metodologi ...97
(2)
5. Kepemimpinan dan Kerja Tim sebagai unsur kunci dalam TQM ...104
6. Perbaikan Berkesinambungan ...106
7. Manfaat Manajemen Mutu ...107
D. Manajemen Stratejik (Strategik Management) ...111
1. Perencanaan Strategis ...117
2. Proses Manajemen Stratejik ...118
3. Perumusan Strategi ...121
4. Implementasi Strategi ...127
5. Evaluasi dan Pengawasan ...128
F. Pendidikan Kejuruan ...129
1. Human Investment dalam Pendidikan Kejuruan ...134
2. Reposisi Pendidikan Kejuruan ...139
3. Relevansi Pendidikan Kejuruan ...148
4. Program Pendidikan Kejuruan ...153
5. Kerjasama Pendidikan Kejuruan dan Industri ...158
F. Efektifitas Kerjasama Kemitraan SMK dengan Dunia Usaha ...171
H. Hasil Penelitian yang Relevan ...175
BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian ...187
B. Model dan Kriteria Evaluasi ...189
C. Lokasi dan Waktu Penelitian...191
1. Lokasi Penelitian ...191
2. Waktu Penelitian ...193
D. Prosedur Pengumpulan dan Sumber Data ...193
E. Tahap-tahap Penelitian ...196
H. Proses Validasi Temuan ...204
1. Triangulasi ...204
2. Confirm audit ...205
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...206
1. Kebijakan program peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan di Kota Yogyakarta yang telah dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja ...206
2. Implementasi program peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja ...223 3. Efektivitas pengendalian program peningkatan mutu SMK di Kota
(3)
4. Efektivitas implementasi program peningkatan mutu SMK di Kota
Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja ...248
B. Pembahasan ...258
1. Kebijakan program peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan di Kota Yogyakarta yang telah dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja ...268
2. Implementasi program peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja ...279
3. Efektivitas pengendalian program peningkatan mutu SMK di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja ...287
4. Efektivitas implementasi program peningkatan mutu SMK di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja ...295
C. Temuan Penelitian ...304
BAB V MODEL PENGEMBANGAN PENINGKATAN MUTU SMK A. Rasional ...307
B. Model Pengembangan Manajemen Stratejik Kerjasama Kemitraan SMK – DUDI dalam Peningkatan Mutu SMKmplikasi ...309
C. Strategi Implementasi Model ...322
BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ...329
B. Implikasi ...336
C. Rekomendasi ...340
DAFTAR PUSTAKA ...343
(4)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pengangguran Menurut Pendidikan ... 13
Tabel 2. Kultural Change Mechanisms ... 63
Tabel 3. Tiga Proses Universal Manajemen Mutu ... 109
Tabel 4. Capaian program kerjasama kemitraan SMK – Dudi ... 236
(5)
DAFTAR GAMBAR
Gambar. 1 Kerangka pikir penelitian Implementasi Manajemen Stratejik Peningkatan Mutu SMK Berbasis Kemitraan (colaboration partnership) dengan Dunia
Industri ... 25
Gambar. 2 Proses komunikasi menurut Lunenburg and Ornstein ... 40
Gambar. 3 Lima langakah pokok proses pengorganisasian ... 70
Gambar. 4 Langkah-langkah Pengawasan menurut Peter Wright ... 76
Gambar. 5 Siklus PDCA (Plan, Do, Check, Action) ... 107
Gambar. 6 Model Perencanaan Strategis Whittaker ... 118
Gambar 7. Model 4 elemen dasar proses manajemen strategic ... 119
Gambar. 8 Hubungan visi, tujuan, nilai, sasaran dan strategi Perencanaan ... 124
Gambar. 9 Model peningkatan mutu sekolah berbasis kemitraan antara sekolah dengan dunia kerja ... 313
Gambar. 10 Pola penyelenggaraan kelas khusus industri ... 323
Gambar. 11 Proses seleksi program kelas khusus industri ... 324
(6)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kunci kemenangan suatu negara dalam kompetisi di era global adalah pada kemampuannya mengelola dan memberdayakan SDM dalam menguasai sains dan teknologi (Ali, Mohammad, 2009 : 53). Hal ini sesuai dengan amanat dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang menjelaskan bahwa kemampuan bangsa yang berdaya saing tinggi adalah kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa. Peningkatan kemampuan perekonomian suatu bangsa sangat tergantung diantaranya kepada kemampuan sumber daya manusia yang menjadi komponen pokok sebagai mahluk yang berperan aktif dalam perubahan melalui tingkat keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya (Elchanan Cohn : 1979; Ace Suryadi, 2009). Aset paling berharga bagi suatu bangsa pada era global ini menurut Theodore Schultz dalam Jac Fitz-enz (2000) adalah sains dan pekerja terdidik (knowledge worker). Pengetahuan (knowledge) telah menjadi modal bagi pembangunan ekonomi suatu negara menggantikan sumber daya alam yang tidak dapat menjadi andalan karena dapat terdepresiasi dan habis.
Muchlas Samani (1998) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia (World Bank) tahun 1995 terhadap 150 negara di seluruh dunia menyimpulkan bahwa kekuatan dan kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh empat komponen pokok yang berkontribusi terhadap kemajuan bangsa tersebut. Komponen tersebut adalah inovasi (innovation) memberikan kontribusi sebesar 45%, jejaring
(7)
kerjasama (networking) berkontribusi sebesar 25%, teknologi (technology) berkontribusi 20%, sementara sumber daya alam (natural resources) hanya berkontribusi sebesar 10%. Dari hasil penelitian ini jelas bahwa sumberdaya alam tidak memberikan sumbangan yang berarti bila tidak dikelola oleh sumberdaya manusia yang inovatif dan memiliki jaringan yang kuat dalam mengembangkan semua potensi yang dimiliki. Sehingga orientasi pembangunan pendidikan menjadi landasan penting bagi pengembangan kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia yang merupakan aset paling berharga suatu bangsa dalam menghadapi tantangan era global (Richard D. Lakes, 2008).
Bagi Bangsa Indonesia globalisasi dan industrialisasi merupakan sebuah tantangan dan peluang yang harus dapat dimanfaatkan untuk dapat hidup sejajar dan berdampingan dengan masyarakat dunia lainnya. Globalisasi dan industrialisasi di satu sisi membuka peluang untuk mempercepat laju pembangunan, tetapi di sisi lain membawa tantangan persaingan yang semakin ketat dan tajam. Tuntutan di era global adalah ”keunggulan kompetitif (competitf advantage)” atas semua produk dan jasa yang dihasilkan oleh industri nasional. Sehingga secara simultan telah menjadikan sumber daya manusia menjadi “kekuatan utama” bagi industri nasional dalam menghasilkan keunggulan dalam konteks yang lebih komprehensif, dan inovatif.
Pendidikan merupakan sektor paling strategis dalam pembangunan nasional, hal ini disebabkan karena peningkatan kualitas manusia yang menjadi subyek pembangunan hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Melalui pendidikan selain dapat diberikan bekal pengetahuan, kemampuan dan sikap juga dapat dikembangkan
(8)
berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat. Dalam perspektif global pendidikan berperan dalam : 1) pengembangan diri peserta didik (personal development), 2) pengembangan ketrampilan kerja (employability or work skills development), 3) pengembangan kewarganegaraan (citizenship), dan 4) transmisi dan transformasi budaya (transsmision and transformation culture).
Pendidikan yang paling sesuai untuk menghadapi tantangan globalisasi adalah pendidikan yang berorentasi pada dunia industri dengan penekanan pada pendekatan pembelajaran dan didukung oleh kurikulum yang sesuai. Dunia industri yang merupakan sasaran dari proses dan hasil pembelajaran sekolah kejuruan mempunyai karakter dan nuansa tersendiri. Oleh karena itu sekolah kejuruan dalam proses pembelajaran harus bisa membuat pendekatan pembelajaraan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Untuk menghadapi hal tersebut, Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan kejuruan dituntut mampu menyiapkan tenaga kerja terampil yang dapat mengisi keperluan pembangunan, mengubah status siswa dari status beban menjadi aset bangsa, menciptakan sumberdaya manusia profesional yang dapat diandalkan dan unggul menghadapi persaingan global.
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: “Pendidikan kejuruan adalah merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan siswa terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu”. Ditegaskan pula dalam kurikulum SMK (2004) bahwa peran SMK adalah menyiapkan siswa dengan kemampuan dan keterampilan
(9)
mandiri (wiraswasta) maupun untuk mengisi lowongan yang ada. Sesuai dengan pernyataan diatas, maka lulusan SMK dituntut harus mempunyai kemampuan dan keterampilan sesuai dengan bidang keahliannya. Keberhasilan SMK dalam menyelenggarakan pendidikannya tidak dapat diukur dari jumlah siswa yang lulus maupun berprestasi, akan tetapi seberapa besar lulusan SMK tersebut dapat tersalurkan untuk mengisi dunia kerja.
Bagi lembaga pendidikan kejuruan mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan adalah salah satu kunci utama dalam mempersiapkan lulusan yang siap untuk diterjunkan ke dunia pekerjaan. Untuk mencapai hal tersebut lembaga pendidikan kejuruan harus memprioritaskan pengembangan sistem pendidikan yang berorientasi pada peningkatan kualitas lulusan yang benar-benar profesional, memiliki etos kerja, disiplin dan tetap menjunjung tinggi budaya bangsa.
Berbagai pihak mengatakan bahwa program yang dilaksanakan di SMK belum sesuai dengan kondisi nyata di dunia kerja, belum mencapai kompetensi yang diharapkan, sehingga banyak menyebabkan terjadinya pengangguran. Ketidaksesuaian (mismatch) ini telah menjadi isu utama yang menyebabkan polemik berkepanjangan antara dunia usaha, dunia industri dan dunia pendidikan. Direktorat Pembinaan SMK Ditjenmandikdasmen Kemendiknas telah melakukan beberapa upaya dalam memperbaiki mutu pendidikan menengah kejuruan dengan melakukan penambahan pembangunan fasilitas fisik bangunan, pengadaan peralatan praktik, pengadaan dan penataran guru, dan peningkatan pengembangan kurikulum.
(10)
Sebenarnya upaya dan tekad Bangsa Indonesia khususnya pemerintah dalam membangun pendidikan kejuruan telah ditunjukkan sejak Pelita I hingga akhir Pelita VI, dengan investasi besar-besaran membangun sekolah baru, rehabilitasi, pengadaan peralatan praktik, peningkatan mutu guru dan lain-lain. Kemudian tersendat sejak bergulirnya otonomi daerah tahun 2001, dengan semakin sulitnya mendapatkan pendanaan dalam pengembangan sekolah kejuruan. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan kejuruan dalam kurun waktu 25 tahun telah terjadi perubahan kurikulum sebanyak 6 (enam) kali, baik secara makro maupun mikro.
Salah satu bentuk kebijakan pengembangan pendidikan kejuruan yang cukup menonjol adalah pada masa Kabinet Pembangunan VI, Menteri Pendidikan Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro memperkenalkan kebijakan “link and match”. Kebijakan ini mengimplikasikan wawasan sumber daya, mutu, keunggulan, profesionalisme dan ekonomi dalam pendidikan kejuruan. Sehingga menghasilkan suatu model pendidikan kejuruan yang kita kenal dengan pendidikan sistem ganda (PSG), sebagai sebuah bentuk penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program belajar melalui kegiatan bekerja langsung pada bidang pekerjaan yang relevan, terarah untuk mencapai penguasaan kemampuan tertentu (Dedi Supriadi, 2002:242).
Untuk mendukung keberhasilan program pendidikan kejuruan model PSG, maka dibentuklah majelis pendidikan kejuruan baik tingkat nasional (MPKN),
(11)
meningkatkan citra pendidikan kejuruan dan mengajak serta dunia industri agar berperan dalam PSG. Pada masa ini dikembangkan pula konsepsi pendekatan kurikulum berbasis kompetensi (competence base curriculum), luas, kuat dan mendasar (broad base curriculum), dengan dukungan dunia industri dan dunia usaha yang mulai melembaga.
Salah satu capaian dalam program ini adalah keluarnya SKB Mendikbud dan Ketua Umum Kadin Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1994 No. 0267a/U/1994 dan No. 84/KU/X/1994. Kehadiran MPKN telah secara efektif menggerakkan berbagai badan, organisasi, perusahaan dan asosiasi profesi dalam mendukung PSG, sementara di tingkat mikro (sekolah) dalam majelis sekolah (MS) industri yang terlibat telah berperan aktif sebagai mitra SMK dalam keseluruhan kegiatan SMK.
Perkembangan penyelenggaraan pendidikan kejuruan hingga saat ini telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Akan tetapi, harus diakui bahwa dalam penyelenggraannya program pendidikan kejuruan masih mengalami beberapa kendala, sehingga efektivitasnya masih diragukan, bahkan eksistensi pendidikan kejuruan sebagai salah satu jalur unggulan dalam meningkatkan kompetensi dan daya saing SDM masih dipertanyakan. Menurut Sumarno (2008) hingga saat ini pendidikan kejuruan masih menghadapi kendala kesepadanan kualitatif dan kuantitatif. Kesepadanan kualitatif terjadi karena perkembangan teknologi di industri yang sangat cepat sehingga terjadi kesenjangan kompetensi yang dimiliki lulusan sekolah menengah kejuruan dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia industri,
(12)
sementara kesepadanan kuantitatif terjadi karena adanya ketidak seimbangan jumlah lapangan kerja yang ada dengan jumlah output pendidikan yang mencari pekerjaan.
Louis L Warren (2004) berpendapat bahwa beberapa masalah yang sering muncul ke permukaan antara lain, keterbatasan sarana dan fasilitas yang dimiliki oleh pendidikan kejuruan masih jauh ketinggalan dengan kondisi di industri. Hasil penelitian Sulipan (2004) berkesimpulan bahwa kesenjangan antara peralatan yang tersedia dan dimiliki oleh sekolah kejuruan dengan industri masih sangat lebar, selanjutnya Sulipan (2004) menyampaikan bahwa sekolah kejuruan belum mampu memberdayakan (empowering) semua potensi dan sumberdaya yang ada di lingkungannya. Jika siswa hanya diberi kesempatan mengembangkan diri berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh sekolah, maka kualitas pemahaman siswa tidak maksimal. Hal ini disebabkan oleh karena kemampuan alat dan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah sangat terbatas. Oleh karenanya direkomendasikan oleh Sulipan untuk mencapai kompetensi yang dharakan diperlukan kerjasama dengan pihak industri dalam rangka memberdayakan semua potensi dan sumberdaya yang dimiliki.
Bagi pendidikan kejuruan kerjasama yang dibangun dengan dunia industri merupakan suatu hal yang sangat tepat khususnya dalam mengembangkan resources (Lawrence C. Scharmann, 2007). Menurut Marilyn J, Amey, Pamela L, C. Casey Ozaki (2007), dengan adanya kerjasama antara pendidikan kejuruan dan industri diharapkan terdapat pemanfaatan fasilitas. Sementara menurut Trace Allen (2007)
(13)
industri memiliki manfaat yang cukup besar bagi kedua belah pihak khususnya sebagai tools improvement.
Dunia industri sebagai mitra harus dapat berjalan seiring dan berkembang bersama dunia pendidikan kejuruan. Oleh karenanya kedua belah pihak harus dapat bersinergi dalam mencapai tujuan bersama. Bentuk pendekatan yang bisa dilakukan antara dunia pendidikan kejuruan dengan dunia industri menurut Ian Smith (2006) berupa pendekatan kerjasama kemitraan. Senada dengan hal tersebut menurut Henrietta Bernal (2004) dan Susan Bodilly, et. al (2004) bentuk kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia industri dapat dikembangkan melalui kerangka komunitas yang terdapat disekitar lingkungan sekolah dalam rangka memanfaatkan dan memberdayakan semua potensi dan sumberdaya yang dimiliki di sekitar sekolah. Sebagai sebuah komunitas menurut Suzane R. Hawley (2007) dan Jason, Leonard, (1997 : 89), sekolah dan dunia usaha dapat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama.
Berangkat dari beberapa permasalahan tersebut maka perlu adanya suatu upaya dari lembaga pendidikan dan dunia usaha untuk dapat bersama-sama mengembangkan pendidikan, agar tujuan dunia usaha dan lembaga pendidikan dapat tercapai dan selaras. Bentuk kerjasama antara dunia pendidikan dan dunia industri dalam mengembangkan dan menyelaraskan tujuan tersebut adalah menyelaraskan dan menggembangkan komunikasi yang berkelanjutan terhadap kondisi dan perkembangan industri serta kebutuhan kompetensi industri agar dapat diselaraskan dengan program pendidikan pada sekolah menengah kejuruan (SMK), sehingga siswa
(14)
memperoleh bekal yang cukup dan memadai untuk dapat bersaing pada dunia kerja, disamping dunia usaha mendapatkan tenaga kerja sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhan.
Pendidikan kejuruanharus mampu mengembangkan jejaring kerjasama dalam mengembangkan organisasi dan mencapai tujuan pendidikan (Ori Eyal, 2008). Networking sangat penting artinya bagi keberlanjutan dan kemajuan suatu organisasi bahkan suatu bangsa. Kerjasama merupakan kebutuhan pokok bagi sekolah kejuruan untuk menindaklanjuti pembelajaran aspek produktif sebagai ciri khas sekolah kejuruan. Pengembangan jejaring kerjasama yang dijalin antara sekolah kejuruan dan dunia industri sangat memungkinkan bagi sekolah untuk memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siswa mendapat pembekalan ketrampilan produktif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
B. Indikator Kelemahan Kinerja SMK di Yogyakarta
Pendidikan kejuruan merupakan lembaga pendidikan yang menyiapkan peserta didik yang berminat untuk dididik menjadi tenaga kerja bidang tertentu yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Pendidikan kejuruan yang efektif adalah pendidikan yang dapat menghasilkan kompetensi lulusan (peserta didik) yang sesuai dengan persyaratan bidang pekerjaan tertentu pada dunia kerja. Pendidikan kejuruan lebih menekankan pada misi yang mempersiapkan peserta didiknya untuk memasuki dunia kerja dimana penekanannya lebih pada aspek psikomotor, sementara pendidikan umum lebih menekankan pada aspek kognitif. Pada dasarnya pendidikan
(15)
karenanya pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mengaksentuasikan programnya pada program untuk memperoleh keterampilan kerja. Karena misinya yang khusus tersebut, maka kualifikasi lulusan pendidikan kejuruan harus sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Dengan demikian, terdapat dua variabel yang saling berkaitan dalam pendidikan kejuruan yaitu variabel peserta didik dan bidang pekerjaan atau dunia kerja.Terdapat dua kemungkinan mengenai hubungan antara peserta didik dengan bidang pekerjaan yaitu: pertama, kompetensi peserta didik yang dihasilkan dari pendidikan kejuruan sesuai dengan persyaratan bidang pekerjaan (match), dan ke dua, kompetensi peserta didik tidak sesuai dengan persyaratan bidang pekerjaan (mismatch).
Berdasarkan data pada masing-masing SMK di Yogyakarta menunjukkan beberapa simpul permasalahan pengelolaan pendidikan dan kualitas lulusan SMK di Yogyakarta khususnya dalam capaian daya serap lulusan terhadap dunia industri. Dari sejumlah 26 (dua puluh enam) SMK yang terdapat di Yogyakarta dapat dibagi menjadi sebanyak 7 (tujuh) SMK negeri, sementara 19 (sembilan belas) lainnya swasta, dengan status rata-rata terakreditasi A, sementara masih terdapat 6 (enam) SMK dengan akreditasi B dan 1 (satu) SMK dengan akreditasi C, dengan tingkat pertumbuhan jumlah siswa mencapai 0,13% pertahun. Sementara dari data Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta didapatkan informasi bahwa tingkat capaian siswa mengulang pada SMK tiap tahun mencapai 1,04%, dengan rata-rata siswa putus
(16)
Yogyakarta mencapai 80,11% dengan hasil pencapaian NUAN rata-rata mencapai 6,42.
Sementara daya serap lulusan terhadap dunia industri rata-rata mencapai 72,7% untuk SMK Negeri dan 40,82% untuk SMK Swasta, dengan rata-rata lama tunggu sejak lulus SMK lebih dari 6 (enam) bulan. Disamping itu masih terdapat lulusan yang belum mendapatkan pekerjaan sebanyak 21,96%, dan hanya sebesar 4,72% lulusan SMK yang menlanjutkan studi ke perguruan tinggi. Namun dari data SMK swasta didapatkan informasi bahwa rata-rata sebanyak 18,85% dari tiap angkatan lulusan SMK berwirausaha.
Data Nasional hingga saat ini menunjukkan daya serap lulusan sekolah kejuruan pada dunia industri masih cukup rendah, berdasarkan data BPS tahun 2008 disebutkan bahwa meskipun angka lowongan kerja masih jauh lebih rendah dari angka pencari kerja, namun pada kenyataannya tidak semua lowongan kerja terpenuhi penempatannya. Pada tahun 2007 tersedia 375,16 ribu pencari kerja terdaftar, dan 300,40 ribu lowongan kerja terdaftar, serta sebanyak 175,54 ribu tenaga kerja ditempatkan. Keadaan tersebut menunjukkan telah terjadinya mismatch dalam pasar kerja (BPS, 2009 : 62) Sementara di Yogyakarta terdapat 38,490 tenaga kerja terdaftar (pencari kerja), sementara jumlah lowongan kerja terdaftar hanya sebanyak 22,208 lowongan. Dari jumlah tersebut hanya sebesar 17,106 penempatan kerja. Selanjutnya menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta data Dinas Perindagkop DIY tahun 2008 rata-rata lama tunggu lulusan SLTA (SMK-SMA)
(17)
untuk mendapatkan pekerjaan adalah 0-2 tahun sebanyak 15.220 orang, 3-5 tahun 7.628 orang dan >5 tahun 8.505 orang (Kompas, 6 Maret 2010).
Berdasarkan data-data tersebut di atas dapat digambarkan besarnya angka pengangguran terdidik khususnya pada lulusan SLTA baik SMK maupun SMA dan besarnya lama tunggu lulusan untuk mendapatkan pekerjaan, yang menunjukkan bahwa relevansi pendidikan yang diselenggarakan baik pada SMK maupun SMA belum mampu memenuhi kebutuhan dan kompetensi pekerjaan yang ada. Selanjutnya berdasarkan data pada Biro Pusat Statistik dapat digambarkan bahwa hampir terdapat 20% lowongan kerja yang tidak terisi, separuhnya adalah angkatan kerja berpendidikan sarjana dan ahli madya. Sementara angka pengangguran terbuka pada angkatan kerja berpendidikan menengah masih menunjukkan tren meningkat, sebagai gambaran pada tahun 2007 – 2008 peningkatan jumlah pengangguran berpendidikan menengah ke atas SMA/SMK dari 3.6 juta menjadi 3.9 juta atau sebesar ± 7%, pada pendidikan diploma/akademi dari 237.251 orang menjadi 322.836 orang atau meningkat sebesar 36%, pada pendidikan sarjana dari 348.107 orang menjadi 385.418 orang atau meningkat sebesar 11% (data BPS 2008 diolah), besarnya pertumbuhan tersebut menunjukkan adanya kesenjangan sehingga penyelesaiannya harus segera dipikirkan dan ditindak lanjuti dengan segera.
Bahkan secara tegas dalam Laporan Tren Ketenaga Kerjaan dan Sosial di Indonesia 2008, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyampaikan bahwa sebanyak 4.516.100 orang dari 9.427.600 orang pengangguran terbuka adalah lulusan
(18)
Statistik (BPS) pada tabel 1. menunjukkan bahwa besarnya angka pengangguran tenaga kerja lulusan SLTA Kejuruan khususnya SMK yang memang dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja disebabkan oleh rendahnya daya adaptasi lulusan sekolah (SMK) memenuhi tuntutan pasar kerja, sehingga fokus kompetensi dan keahlian lulusan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.
Tabel 1. Pengangguran Menurut Pendidikan (dalam ribu-an)
Sumber : BPS : 2008 (diolah)
Bertolak dari uraian diatas, pendidikan kejuruan harus segera dapat mereposisi dan memperbaiki kualitasnya terutama memperkuat dasar konsepnya agar dapat berkembang lebih baik. Reposisi ini ditujukan untuk menata ulang sistem pendidikan kejuruan agar menjadi sistem pendidikan yang permeable dan flexible, dengan pola pembelajarannya yang berbasis kompetensi, disamping itu, juga untuk menata ulang bidang atau program keahlian yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan kejuruan pasca reformasi, misalnya adalah berubahnya orientasi pendidikan kejuruan yang dikembangkan dari
(19)
bersifat sentralistik, berubah menjadi desentralisasi. Pendekatan pembelajarannya pun bergeser, dari pendekatan mata pelajaran menjadi pembelajaran berbasis kompetensi. Pola penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pun berkembang dari yang semula sangat terstruktur, menjadi lebih luwes (flexible) dan terbuka (permeable).
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa masih terdapat kesenjangan antara harapan dan capaian SMK khususnya dalam menghasilkan lulusan yang diharapkan mampu memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagaimana harapan dunia kerja. Sehingga harapan masyarakat pada sekolah kejuruan (SMK) sebagai sebuah investasi dalam menghasilkan tenaga kerja yang diharapkan mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti hingga saat ini masih menjadi polemik, bahkan belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Beberapa kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah kejuruan adalah keterbatasan para pengelola dalam menguasai masalah, sarana dan fasilitas dan mengintegrasikannya dalam kebijakan pengembangan pendidikan. Lebih lanjut hal tersebut dilatar belakangi oleh ketidak percayaan dan keraguan dunia kerja terhadap penguasaan teknologi serta minimnya kemampuan praktik yang dimiliki oleh lulusan SMK selama studi di sekolah.
Beberapa permasalahan yang muncul diantaranya adalah pendidikan kejuruan masih menghadapi kendala kesepadanan kualitatif dan kuantitatif yang disebabkan oleh ketidakmampuan SMK dalam mengikuti perkembangan teknologi dan ketidak
(20)
sesuaian kemampuan dan kompetensi lulusan SMK yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Terjadinya mismatch dalam pasar kerja dimana hanya 50% (17,106) lulusan SMK yang mampu ditempatkan sementara lowongan yang tersedia sebanyak 38,490 lowongan. Hal ini disebabkan oleh ketidak sesuaian antara demand dengan supply yang tersedia, karena kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja tidak mampu dipenuhi oleh lulusan SMK. Disamping itu masih tingginya waktu tunggu SMK untuk mendapatkan pekerjaan adalah 0-2 tahun sebanyak 15.220 orang, 3-5 tahun 7.628 orang dan >5 tahun sebanyak 8.505 orang.
Beberapa permasalahan yang menyertai ketidak sesuaian (mismatch) lulusan SMK dengan kebutuhan dunia kerja diantaranya adalah ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi dunia kerja (Sugiono, 2003), kelemahan kepemimpinan pendidikan kejuruan dalam pengelolaan program pendidikan dan pengembangan kebijakan program peningkatan mutu SMK, khususnya terkait dengan visi, misi, dan profesionalisme, selanjutnya implementasi program dan evaluasi program pengembangan mutu pendidikan yang belum optimal (Basuki Wibawa, 2005:63).
Seharusnya permasalahan tersebut dapat diminimalisir melalui kerjasama sinergis antara SMK dengan dunia kerja, sehingga perlu adanya suatu upaya dari lembaga pendidikan dan dunia usaha untuk dapat bersama-sama mengembangkan pendidikan. Bentuk kerjasama antara dunia pendidikan dan dunia industri adalah menyelaraskan dan menggembangkan komunikasi yang berkelanjutan terhadap kondisi dan perkembangan industri serta kebutuhan kompetensi industri agar dapat diselaraskan dengan program pendidikan pada sekolah menengah kejuruan (SMK).
(21)
Namun program yang dilaksanakan di SMK belum sesuai dengan kondisi nyata di dunia kerja.
Kemapanan pengembangan kerjasama kemitraan antar pihak sekolah (SMK) dengan dunia usaha yang diupayakan melalui aspek manajemen akan lebih menjamin terhadap keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Selain itu melalui manajemen kolaborasi yang baik, maka kontinuitas pendidikan akan tetap terjaga dan akan membawa pelaksanaan yang lebih professional. Dengan kontinuitas pendidikan yang stabil, maka pelatihan ketrampilan kejuruan siswa yang dilakukan di sekolah dapat berkesinambungan sesuai dengan kompetensi yang disyaratkan oleh dunia kerja.
Mengingat kompleksnya permasalahan yang ada pada SMK sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pada penelitian ini difokuskan pada masalah pengembangan dan implementasi manajemen stratejik pengembangan mutu SMK berbasis kemitraan (colaboration partnership) dengan dunia usaha (dunia industri) yang meliputi aspek-aspek : (1) analisis kekuatan dan kelemahan institusional; (2) pengenalan partner; (3) perencanaan kerjasama; (4) organisasi kerjasama; (5) implementasi kerjasama; (6) dan evaluasi kerjasama.
Upaya ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan guna meningkatkan mutu lulusan SMK. Aspek yang diteliti dalam pengembangan kerjasama yang dikaitkan dengan upaya peningkatan relevansi pendidikan di SMK adalah aspek manajemen strategik dalam pengembangan kerjasama kemitraan yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian,
(22)
bahwa: 1) Aspek manajemen merupakan unsur penting yang lebih menjamin terhadap keberhasilan penyelenggaraan kerjasama, yang pada akhirnya akan mengacu pada upaya pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh komunitas sekolah dalam kerangka kerjasama kemitraan antara SMK dengan dunia kerja; 2) Melalui aspek manajemen yang di dalamnya menyangkut kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengembangan, pelaksanaan dan pengawasan, aspek ketrampilan kejuruan siswa dapat ditingkatkan sehingga lulusan SMK menjadi lebih relevan dengan dunia kerja. D. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang timbul pada pendidikan menengah kejuruan (SMK) yang berhubungan dengan mutu dan relevansi SMK yang rendah, hal ini berkaitan dengan upaya dan strategi manajemen (administrator) sekolah dalam melakukan pengelolaan potensi dan sumber daya untuk mencapai tujuan dapat dirangkum menjadi suatu permasalahan pokok yang akan diteliti yaitu :
1. Apakah kebijakan program peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan di Kota Yogyakarta yang telah dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja
a. Apakah bentuk program kegiatan yang telah dibuat dalam rangka kerjasama
dengan dunia kerja sebagai upaya untuk meningkatkan mutu SMK
b. Apakah kebijakan dan rencana program kerjasama SMK dengan dunia kerja
telah sesuai dengan misi dan visi sekolah
c. Apakah semua stakeholder telah memahami kebijakan dan rencana program
kerjasama SMK dengan dunia kerja
2. Bagaimanakah implementasi program peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja
(23)
a. Apakah kendala yang dihadapi sekolah dalam kerjasama dengan stakeholder
selama ini khususnya dengan industri
b. Apakah struktur dan fungsi organisasi kerjasama SMK dengan dunia kerja
sudah tepat dalam melaksanakan visi dan misi sekolah yang telah ditetapkan
c. Apakah kompetensi SDM dalam team teknis kerjasama telah mendukung
implementasi kerjasama
d. Bagaimanakah komitmen masing-masing pihak dalam kerjasama telah
mendukung implementasi program kerjasama
3. Bagaimana efektivitas pengendalian program peningkatan mutu SMK di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja
a. Apakah strategi pengendalian program kerjasama yang telah dilaksanakan
antara sekolah dengan dunia kerja
b. Bagaimanakah hasil pengendalian program kerjasama antara SMK dengan
dunia kerja
c. Apakah umpan balik yang diberikan oleh mitra kerja (dunia kerja) terhadap
hasil evaluasi kerjasama antara SMK dengan dunia kerja
4. Bagaimanakah efektivitas implementasi program peningkatan mutu SMK di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja
a. Bagaimanakah efektifitas kerjasama antara sekolah dengan stakeholder
selama ini khususnya dengan industri
b. Apakah manfaat kerjasama antara sekolah dengan stakeholder selama ini
khususnya dengan industri dalam pengembangan sekolah
c. Apakah SMK dapat meningkatkan kinerjanya melalui kerjasama dengan
dunia kerja
5. Bagaimanakah model konseptual peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan antara sekolah dengan stakeholder khususnya dengan industri dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja
(24)
E. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan kerjasama kemitraan (colaboration partnership) antara SMK dengan stakeholder atau dunia industri dan jasa pada SMK kelompok teknologi khususnya yang memiliki jurusan teknik mekanik otomotif yang secara spesifik tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kebijakan program peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan di Kota Yogyakarta yang telah dibuat untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja 2. Untuk mengetahui implementasi program peningkatan mutu SMK berbasis
kemitraan di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja
3. Untuk mengetahui efektivitas pengendalian program peningkatan mutu SMK di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja
4. Untuk mengetahui efektivitas implementasi program peningkatan mutu SMK di Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja
5. Menemukan alternatif model konseptual peningkatan mutu SMK berbasis kemitraan dengan stakeholder khususnya dengan industri dalam upaya memenuhi kebutuhan dunia kerja
F. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa manfaat yang ingin dicapai dalam tujuan penelitian ini, maka temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara akademis maupun praktis sebagai berikut :
(25)
1. Secara Teoritik
a. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan khasanah dan wawasan keilmuan khususnya dalam pengembangan manajemen sekolah berbasis kerjasama dengan industri atau stakeholder terkait dalam rangkan menyeleraskan tujuan pendidikan dengan kebutuhan industri
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan kajian dan pengembangan pendidikan kejuruan yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia industri
2. Secara Praktis
a. Bagi siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam rangka mempersiapkan mereka memasuki dunia kerja sesuai dengan perkembangan dunia kerja
b. Bagi guru sekolah menengah kejuruan (SMK) penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi, inspirasi dan media refleksi dalam mengembangkan metode pengajaran khususnya dalam PBM yang sesuai dengan perkembangan industri
c. Bagi sekolah menengah kejuruan (SMK) penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan rujukan dalam mengembangkan jejaring (networking) kerjasama dengan industri dalam pengembangan sekolah agar relevan dengan tuntutan dan perkembangan industri
d. Bagi orang tua dan masyarakat secara umum penelitian ini diharapkan menjadi sumber inspirasi dalam mengembangkan jejaring (networking) kerjasama antara sekolah dan industri serta memjadi benchmarking dalam memilih sekolah bagi putra-putrinya.
(26)
e. Bagi industri penelitian ini diharapkan memberikan informasi dalam mengembangkan kerjasama yang sinergis dan berkelanjutan dalam mengembangkan dan memenuhi sumberdaya manusia yang diharapkan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan teknologi
f. Bagi dinas pendidikan atau pemerintah penelitian ini diharapkan menjadi sumber inspirasi dalam kebijakan pengembangan SMK dalam menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dunia kerja.
G. Kerangka Pikir Penelitian
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan dari seni dan budaya Manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan, karena itu perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus di lakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Hal ini mengisyaratkan bahwa penyempurnaan atau perbaikan pendidikan harus dapat mengantisipasi kebutuhan dan tantangan masa depan, sehingga perlu terus menerus dilakukan penyelarasan dengan perkembangan kebutuhan dunia usaha kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Mutu lulusan Pendidikan sangat erat kaitannya dengan proses pelaksanaan pembelajaran yang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kurikulum, tenaga pendidik, proses pembelajaran, sarana dan prasarana, alat bantu dan bahan, manajemen, sekolah, lingkungan sekolah dan lapangan latihan kerja siswa.
(27)
Persoalan relevansi hingga saat ini menjadi isu yang cukup hangat, .secara lebih spesifik, persoalan relevansi yang berkaitan dengan kesesuaian pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Konteks relevansi dalam komunikasi digunakan sebagai sebuah ukuran (measurement), dimana ukuran ini dikenakan kepada sebuah kinerja sistem. Dengan kata lain, ukuran ini biasanya datang dari sisi luar sebuah sistem, sebab itu dapat pula disebut sebagai ukuran eksternal. Secara konseptual, ukuran relevansi eksternal memiliki kelemahan. Dalam konsep relevansi, sebuah program pendidikan dianggap relevan jika sesuai dengan kebutuhan pengguna. Kesesuaian ini kemudian ditetapkan sebagai sebuah ukuran kuantitatif yang tetap.
Relevansi pendidikan adalah kesesuaian antara kemampuan yang diperoleh melalui pendidikan dengan kebutuhan pekerjaan (Muhammad Ali, 2009 : 300). Sehingga relevansi adalah kesesuaian antara proses dan materi yang diberikan dalam pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Atau bila dikaitkan dengan istilah lain merupakan keterkaitan (link) dan kesepadanan (match) antara pendidikan dan permintaan pasar. Indikator relevansi adalah kesepadanan dan kesetaraan antara pendidikan dan permintaan pasar, berarti bahwa kesesuaian antara permintaan pasar dengan apa yang diselenggarakan oleh pendidikan pada lembaga pendidikan formal yang mencakup pemberian kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan oleh lulusan, sehingga kemampuan tersebut dapat digunakan dalam bekerja. Kesetaraan pendidikan menunjukkan tingkat penguasaan kemampuan tersebut sesuai dengan tingkat penguasaan yang diminta untuk melaksanakan pekerjaan.
(28)
Peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah kejuruan, untuk menghasilkan lulusan yang siap memasuki dunia kerja dapat ditempuh melalui beberapa cara diantaranya : (a) harmonisasi pendidikan menengah kejuruan, untuk membangun sinergi dalam rangka merespon kebutuhan pasar yang dinamis, (b) peningkatan kemitraan antara pendidikan kejuruan, dengan dunia industri dalam rangka memperkuat intermediasi dan memperluas kesempatan pemagangan serta kesesuaian pendidikan/pelatihan dengan dunia kerja. Kemitraan yang terjadi antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri selama ini telah berjalan dengan baik. Hanya saja kemitraan tersebut masih belum sepenuhnya bisa melengkapi implementasi konsep penyelarasan pada sistem pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan mulai dari perencanaan, penyusunan kurikulum, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi tidak dapat dilakukan sepihak oleh dunia pendidikan, namun memerlukan dukungan dari berbagai stakeholder.
Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Oleh karenanya dalam penelitian ini peneliti dapat menggambarkan suatu kerangka penelitian seperti terlihat dalam bagan dibawah ini. Peran stakeholder baik masyarakat secara umum, pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta atau dunia usaha memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung pencapaian tujuan
(29)
pendidikan kejuruan, khususnya dalam meningkatkan mutu dan relevansi hasil pendidikan kejuruan.
Oleh karenanya pihak SMK harus mampu menyusun suatu strategi dan program pengembangan pendidikan yang bekerjasama dengan pihak industri maupun perguruan tinggi sebagai sasaran lulusan dalam bentuk kemitraan strategis. Dunia kerja dan perguruan tinggi dapat berperan aktif dalam penyusunan dan perumusan kebijakan program pengembangan sekolah khususnya dalam penyusunan kurikulum sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan kebutuhan / pasar kerja, serta dinamika perubahan sosial masyarakat.
Manajemen strategi kerjasama kemitraan (colaborative partnership) sekolah menuntut alur berpikir yang jelas, sehingga langkah-langkah evaluasi kerjasama networking antara sekolah dan dunia kerja dapat diikuti dengan mudah. Alur berpikir ini dapat dituangkan dalam kerangka berpikir berdasarkan pendekatan sistem dengan harapan alur berpikir ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan tepat sasaran. Kerangka berpikir dalam Efektifitas Manajemen Strategik Kerjasama Kemitraan Sekolah Sebagai Basis Peningkatan Relevansi Pendidikan dengan Dunia Kerja pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Yogyakarta dapat digambarkan seperti diagram berikut ini :
(30)
MANAJEMEN STRATEGIK KERJASAMA KEMITRAAN SMK - DUDI SMK
PLAN DO CHECK ACTION OUT - PUT
IMPROVEMENT Kualitas PBM Kompetensi Lulusan Sarana dan Fasilitas Belajar Budaya dan Iklim Kerja IMPACT IMPROVEMENT mutu dan relevansi SMK Peningkatan Daya Serap Lulusan SMK pada DUDI IDENTIFIKASI RENSTRA PROGRAM PROBLEM KESENJANGAN TENAGA KERJA
TRAMPIL & KOMPETEN YANG DIBUTUHKAN
DUNIA INDUSTRI
ANALISIS
INTERNAL SMK EVALUASI REKOMENDASI
ANALISIS POTENSI, PELUANG & TANTANGAN KERJASAMA SMK - DUDI
FEED BACK
FORMULASI
STRATEGI IMPLEMENTASI EVALUASI
ANALISIS LINGKUNGAN EKSTERNAL (GLOBAL, LOKAL, NASIONAL) TUNTUTAN DUNIA KERJA
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian tentang Implementasi Manajemen Stratejik Peningkatan Mutu SMK Berbasis Kemitraan (colaboration partnership) dengan Dunia Industri
(31)
Dari gambar kerangka pikir penelitian tersebut di atas dapat dipahami bahwa hingga saat ini masih terdapat kesenjangan antara kebutuhan dunia kerja yang masih belum dapat dipenuhi oleh sekolah kejuruan khususnya SMK dalam menghasilkan calon tenaga kerja yang kompeten yang sesuai dengan kualifikasi dunia kerja. Sebagai mana fakta di lapangan yang disampaikan Cunningham, Dawes and Bennet (2004) yang mengindikasikan keadaan bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan berjalan dengan programnya sendiri, di sisi lain dunia kerja/industri dan asosiasi profesi sering mengeluh bahwa kualitas tenaga kerja (lulusan) belum memenuhi tuntutan keahlian (kompetensi) yang diharapkan. Gejala “mismatch” seperti ini pada akhirnya melahirkan lulusan “underqualified”, keadaan seperti ini cukup lama terjadi, bahkan sampai saat ini. Untuk itu kerjasama kemitraan antara SMK dan dunia kerja harus dibangun dengan kuat agar terdapat saling pengertian dan saling membantu khsuusnya dalam melakukan share resources yang dimiliki oleh masing-masing.
Kerjasama kemitraan yang dibangun antara SMK dan dunia kerja diharapkan mampu memberikan manfaat bagi kedua belah pihak khususnya SMK dalam mempersiapkan dan mengembangkan pembelajaran yang diharapkan oleh dunia kerja, dan dunia kerja mendapatkan calon tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang di tetapkan. Oleh karenanya dibutuhkan suatu pendekatan dalam melakukan analisis kondisi tersebut baik pada sisi internal berupa kekuatan dan kelemahan sekolah kejuruan (SMK) maupun kondisi eksternal berupa peluang dan tantangan yang harus dihadapi oleh SMK dalam memperkecil kesenjangan tersebut. Disinilah letak peran dan fungsi manajemen stratejik dalam melakukan analisis kekuatan dan kelemahan, peluang dan tantangan yang dilandasi oleh kemampuan leadership yang
(32)
kuat dalam melakukan analisis sehingga menghasilkan kebijakan berupa rumusan strategis yang dapat dijabarkan dalam program dan kegiatan. Peran manajemen mutu dalam melakukan analisis khsususnya dalam menilai setiap langkah manajerial baik selama perencanaan (plan), pelaksanaan (do), evaluasi (check) hingga tindak lanjut (act) dan perbaikan yang diharapkan dapat berkesinambungan.
Dari hasil analisis kerjasama kemitraan tersebut diharapkan mendapat masukan dan hasil berupa perbaikan khususnya dalam kualitas PBM, kompetensi lulusan, sarana dan fasilitas belajar, budaya dan iklim kerja, yang pada akhirnya diharapkan memberikan dampak terhadap peningkatan mutu dan relevansi pendidikan di SMK, sehingga kualitas dan daya serap lulusan SMK pada DUDI meningkat. Sebagai sebuah rekomendasi akhir dari penelitian ini diharapkan terdapat sebuah model konseptual yang dapat menjadi alternatif solusi dalam memcahkan masalah kebuntuan dan polemik yang terjadi antara dunia pendidikan kejuruan dan dunia kerja, yang mampu diimplementasikan bersama baik oleh SMK maupun dunia kerja.
(33)
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap berbagai gejala dan fenomena yang ada di sekolah dan industri, guna menemukan model penyelenggaraan kerjasama kemitraan (colaboration partnership) antara pihak sekolah (SMK) dengan dunia industri (stakholder). Upaya penemuan model ini berorientasi pada aspek manajemen, untuk menemukan gambaran model pengembangan kerjasama kemitraan (colaboration partnership) antara sekolah (SMK) dengan dunia industri yang telah dilaksanakan serta manfaat yang dapat diperoleh oleh kedua belah pihak. Untuk menemukan gambaran model pengembangan kerjasama kemitraan (colaboration partnership), dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut McMillan and Schumacher (2001 : 15) pendekatan kualitatif didasarkan pada konstruktifisme (constructionism) dengan asumsi multiplerealities yang secara sosial dibangun melalui persepsi individu dan kolektif pada saat melihat situasi yang sama.
Menurut Patton (1990 : 9), dalam pendekatan penelitian kualitatif setting yang dipilih dibiarkan alamiah (naturalistic), dalam arti peneliti tidak melakukan perlakuan (treatment) atau experiment apapun terhadap jalannya maupun hasil program yang dicapai. Hal senada dinyatakan pula oleh Kirk dan Miller (1986:9) "Qualitative research is a particular tradition in a social science than fundamentally depends on
(34)
bahwwa pada hakekatnya penelitian naturalistik mengamati orang dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka, dan berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka sendiri (perspektif emic) tentang dunia sekitarnya. Dengan demikian metode kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (1992: 21) merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif sebagaimana dikemukakan Miles dan Huberman (1992: 1) berwujud kata-kata daripada deretan angka-angka, yang diperoleh melalui wawancara, dokumentasi atau pengarnatan partisipan yang dapat diamati dari subyek penyelidikan. Ciri-ciri lain yang tidak kalah pentingnya adalah gambaran dari karakteristik penelitian kualitatif yang diberikan oleh Bogdan dan Biklen (1992: 31) "...1) Qualitative Research has the natural setting as the direct source of data and the researcher is the key instrument; 2) concerned
with process rather than simply with outcomes or products; 3) Tend to analyze their
data inductively; 4) “meaning of essential to the qualitative approach”.
Garnbaran dari karakteristik penelitian kualitatif yang diberikan oleh pendapat-pendapat diatas tersebut sesuai dengan maksud penelitian ini, karena fokus penelitian ini adalah situasi sosial yang tidak hanya rnenunjuk pada perilaku dari orang-orang yang bekerjasama secara keseluruhan, melainkan juga ternpat dan adanya suatu kegiatan.
Ketika didapatkan data yang bersifat kualitatif, dilakukan analisis secara kuantitatif sederhana sebelum dilakukan analisis kualitatif secara keseluruhan, sehingga pendekatan kuantitatif digunakan hanya sebagai pelengkap (complement)
(35)
dalam penelitian ini tidak menggunakan pendekatan penelitian campuran (mixed method approach) , karena dalam penelitian ini data dikumpulkan secara simultan, lengkap dan mendalam untuk memahami permasalahan penelitian dengan baik (Cresswell, 2002 : 181).
Untuk menmperoleh gambaran jelas tentang pelaksanaan program kerjasama antara SMK dengan dunia industri atau dunia kerja, maka metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif naturalistik.
Dalam penelitian kualitatif naturalistik umumnya dimaksudkan untuk melihat potensi dan kelemahan pelaksanaan program kerjasama kemitraan (colaboration partnership) antara sekolah dengan dunia usaha atau dunia kerja, sehingga dapat ditingkatkan dan dikembangkan untuk meningkatkan relevansi dan kualitas lulusan SMK yang dibutuhkan oleh dunia kerja atau dunia industri.
B. Pengembangan Instrumen Penelitian
Menurut Lincoln and Guba dalam Djam’an Satori (2009) diungkapkan bahwa rancangan penelitian kualitatif bersifat emergent, yang mengandung arti bahwa dalam penelitian kualitatif semua permasalahan dan hasil yang diharapkan maih dapat berkembang sepanjang penelitian, sehingga peran peneliti menjadi kunci keberhasilan penelitian kualitatif. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri yang berperan sebagai alat pengumpul data utama. Peneliti dalam penelitian kualitatif sebagai key instrument, yang mengandung makna bahwa ia merupakan orang yang membuka kunci, menelaah dan mengeksplorasi seluruh ruang secara cermat, tertib
(36)
dan leluasa. Sehingga, hasil penelitian kualitatif salah satu kriteria keterpercayaannya berada pada penelitinya.
Peneliti sebagai instrumen utama berperan menentukan rancangan dari sisi peneliti secara tentative, selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan dapat dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara. Nasution (1996: 9) menegaskan hanya manusia sebagai instrument yang dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Implementasi aktivitas penelitian kualitatif pada dasarnya adalah mengembangkan komunikasi antarpribadi yang terdiri atas tiga faktor yaitu saling percaya, sikap suportif, dan sikap terbuka secara efektif yang tentu saja melibatkan banyak unsur .
Pengembangan instrumen penelitian oleh peneliti dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu (a) mendefinisi secara operasional setiap gejala atau fenomena yang diteliti, (b) menyusun indikator gejala atau fenomena; (c) menyusun kisi-kisi instrumen; (d) mengembangkan dan menggunakan instrumen sebagai alat dalam menjaring data yang dapat terus berkembang selama penelitian berlangsung. Definisi operasional dimaksudkan untuk menjelaskan makna setiap gejala atau fenomena yang sedang diteliti. Masri. S (2003:46-47) memberikan pengertian tentang definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu gejala atau fenomena, dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu gejala atau fenomena.
(37)
C. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengemukakan lokasi penelitian adalah (1) menyebutkan tempat, (2) mengemukakan alasan adanya fenomena sosial atau peristiwa yang terjadi dilokasi, (3) mengemukakan adanya kekhasan lokasi yang akan diteliti. Sehubungan dengan hal tersebut maka lokasi penelitian ini mengambil tempat di Kota Yogyakarta, dimana Pemerintah Kota Yogyakarta telah mencanangkan Yogyakarta sebagai ”Pusat Pendidikan Berbudaya” dengan beberapa potensi pendidikan yang dimilikinya. Disamping itu di Kota Yogyakarta telah berkembang sekolah kejuruan (SMK) sejumlah 26 SMK dengan rincian 7 SMK Negeri dan 19 SMK Swasta. Beberapa SMK yang ada di Kota Yogyakarta telah mendapatkan pengakuan ISO 9000 – 2000 tentang penjaminan mutu, bahkan beberapa diantaranya telah berstatus sebagai SMK SSN, dan rintisan SBI (RSBI).
Sebagaimana data yang disampaikan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta bahwa terdapat 26 SMK negeri dan swasta yang terbagi menjadi 8 (delapan) kelompok keahlian meliputi (1) pertanian dan kebutanan, (2) teknologi dan industri, (3) bisnis dan manajemen, (4) kesejahteraan masyarakat, (5) pariwisata, (6) seni dan kerajinan, (7) kesehatan dan (8) kelautan. Dari 26 SMK yang memiliki program keahlian teknik otomotif atau teknik pemeliharaan kendaraan ringan terdapat 10 (sepuluh) SMK yaitu : (1) SMK Negeri 2, (2) SMK Negeri 3, (3) SMK Muhammadiyah 3, (4) SMK Marsudi Luhur 2, (5) SMK Bopkri 4, (6) SMK Piri 1, (7)
(38)
SMK Perindustrian, (8) SMK Panca Sakti, (9) SMK Taman Siswa Jetis, dan (10) SMK Islam.
Namun dalam penyelenggaraan kerjasama antara SMK dan dunia usaha, kebanyakan SMK tidak melaksanakan kerjasama secara legal, hal ini disebabkan kerjasama hanya sebatas penempatan siswa dalam program PSG, sementara tindak lanjut dan manfaat kerjasama secara lebih jauh khususnya dalam pengembangan program pendidikan belum terealisir secara optimal. Sehingga bila digambarkan jaringan kerjasama dan kriteria capaian SMK dapat diamati dalam gambar 3. Bila mengamati gambar 3 tersebut, maka beberapa kriteria yang ditetapkan adalah capaian akreditasi ”A”, sistem penjaminan mutu ISO, kelengkapan sarana praktek fungsi BKK dan jejaring kerjasama dengan industri otomotif, maka dapat dipilih 3 sekolah terdiri SMK negeri yaitu SMK Negeri 3, dan SMK swasta yaitu SMK Piri 1 yang memiliki jejaring lebih banyak baik untuk perusahaan skala lokal maupun skala nasional.
Kondisi lain yang melatar belakangi dipilihnya wilayah ini selain potensi pendidikan adalah beberapa SMK telah menjalin kerjasama dengan pihak industri terkait bahkan dalam bentuk kesepahaman bersama (MoU), namun sebatas dalam hal penempatan kerja praktek lapangan (PKL) dalam pelaksanaan sistem ganda, belum dikembangkan kerjasama untuk pengembangan sekolah seutuhnya. Namun pada beberapa SMK seperti pada SMK Negeri 2 Depok telah menjalin kerjasama dengan PT. Toyota Astra Motor melalui Yayasan Dharma Bhakti Astra dalam pengembangan
(39)
digunakan sebagai benchmark bagi sekolah lainnya. Namun alasan lain adalah karena wilayah ini jauh dari pusat industri di Jakarta, sehingga komunikasi dan kerjasama dengan pihak industri khususnya industri otomotif akan sangat tergantung kepada upaya sekolah dalam mencari industri pasangan, dengan memanfaatkan semua sumber-sumber informasi yang ada.
2. Waktu Penelitian
Kegiatan ini direncanakan dilaksanakan pada semester genap tahun 2009 sampai semester gajil tahun 2010, dengan harapan pada waktu tersebut kegiatan belajar mengajar pada beberapa SMK di Kota Yogyakarta yang berhubungan dengan pihak industri sedang berlangsung. Direncakan pada bulan Februari 2010 sampai dengan Maret 2011 dapat dilaksanakan penelitian kualitatif sebagai tahap kegiatan pengumpulan informasi untuk identifikasi program kegiatan. Sementara pada Bulan Maret 2011 sampai dengan Mei 2011 dapat dilakukan pengkajian dan analisis data hasil pengamatan dan pengembangan alternatif program selanjutnya.
D. Prosedur Pengumpulan dan Sumber Data
Sebagaimana telah disebutkan di atas, penelitian ini difokuskan pada 5 (lima) hal pokok dalam kerjasama sekolah dengan industri yaitu kondisi dan kualitas SMK sebelum terjalinnya kerjasama, kebijakan jaringan kerjasama sekolah secara konseptual, impelementasi kerjasama, serta dampak kerjasama terhadap pengembangan sekolah khususnya dalam mencapai relevansi dan tujuan SMK dalam menghasilkan lulusan yang diharapkan oleh dunia usaha. Prosedur pengumpulan data
(40)
wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan angket yang berisi pertanyaan terbuka.
Guna memperoleh data dan informasi yang diperlukan sesuai dengan fokus penelitian sebelum terjalinnya kerjasama kemitraan atara sekolah dengan dunia usaha dilakukan dengan menelaah dan mengkaji berbagai data melalui catatan, laporan, arsip atau peristiwa yang terekam yang berhubungan dengan fokus penelitian. Selain itu dilakukan pula wawancara mendalam (indepth interview) dengan orang-orang yang terlibat langsung dengan kegiatan dan program tersebut diantaranya kepala sekolah, waka bidang humas, waka bidang kerjasama, team pengembang, guru dan tenaga pendidikan lainnya, serta siswa. Untuk hal-hal tertentu digali lewat angket dengan pertanyaan terbuka, baik kepada guru, kepala sekolah, waka sekolah, siswa dan tenaga pendidikan lainnya. Sumber data pada fokus penelitian ini dapat digali dari dokumentasi dan orang-orang yang menjadi informan yang dianggap representatif dalam fokus penelitian ini.
Dalam fokus penelitian tentang kajian kebijakan dan rangkaian program data dapat dicari dengan melakukan kajian terhadap dokumen dan wawancara dengan pelaku dan penentu kebijakan yang ada di sekolah seperi kepala sekolah dan waka sekolah bidang kerjasama atau humas, atau bahkan dengan team pengembang. Sementara ketika meneliti tentang implementasi pelaksanaan program berupa gambaran jalannya program dapat dilakukan dengan kajian dokumen dan wawancara mendalam. Wawancara digunakan untuk menghimpun data berupa pendapat, alasan,
(41)
motif, dan sikap dari informan terkait dengan semua program yang dilaksanakan dan dampaknya.
Untuk menghindari kesalahan dalam pencatatan data dilakukan pula perekaman dengan menggunakan alat perekam (tape recorder) setiap kali wawancara dilakukan. Setelah dilakukan wawancara, informasi yang diperoleh diolah dan diinformasikan melaui tahap triangulasi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan mengenai kesesuaian data tersebut dengan kenyataan yang ada di lapangan. Semua orang yang terlibat dalam implementasi program merupakan sumber data (informan). Penggalian data melalui informan dilakukan selain wawancara dan angket dilakukan pula dengan teknik observasi sehingga dapat diperoleh keuntungan berupa pengalaman dan penghayatan yang mendalam terhadap situasi yang terjadi di lokasi penelitian. Pelaksanan observasi ini pula dimaksudkan untuk melengkapi data yang dikumpulkan melalui wawancara sebagai suatu proses validasi.
Selanjutnya digali pula data tentang seberapa besar perubahan yang terjadi sebagai dampak dari pelaksanaan program khususnya terhadap pelaksanaan program jejaring kerjasama kemitraan sekolah dengan industri terhadap pengembangan kurikulum dan iklim sekolah dalam mencapai relevansi dan tujuan pendidikan. Selain dilakukan wawancara dan observasi terhadap semua komponen sekolah dilakukan pula wawancara dengan stakeholder sekolah khususnya dengan industri pasangan atau industri yang terlibat dalam kerjasama dengan sekolah.
(42)
E. Tahap-tahap Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kerjasama kemitraan antara SMK dengan stakeholder khususnya industri yang ideal dan sesuai dalam pengembangan relevansi pendidikan dengan dunia kerja. Pelaksanaan penelitian secara garis besar dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu tahap pertama melakukan penelitian dan pengumpulan informasi guna mengidentifikasi networking yang diharapkan, dan tahap kedua melakukan analisis data dan program kerjasama kemitraan (collaboration partnership) sehinga dapat memberikan sebuah rekomendasi.
Pada tahap ini beberapa informasi dan data yang harus dikumpulkan dari beberapa SMK yang tersebar di Kota Yogyakarta digunakan sebagai informasi untuk melakukan identifikasi bentuk dan kinerja kerjasama (colaboration and cooperation), maka pendekatan penelitian yang digunakan dalam tahap ini adalah pendekatan kualitatif. Beberapa tahap penelitian dan pengumpulan data yang dilakukan dalam tahap ini diantaranya sebagai berikut :
1. Tahap pertama merumuskan tujuan, kegunaan, dan peranan hasil penelitian Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah merumuskan tujuan penelitian, menjelaskan fungsi dan peranan hasil penelitian terhadap kepentingan pendidikan sampai seberapa jauh hasil penelitian memiliki manfaat terhadap pengembangan sekolah dan industri pada masa yang akan datang
(43)
2. Tahap kedua melakukan studi literatur
Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah melakukan studi literatur yang berkaitan dengan kerjasama kemitraan (collaboration partnership) antara sekolah dengan dunia industri, yang berguna sebagai bekal bagi peneliti untuk memasuki dan terjun kelokasi penelitian guna menjaring informasi yang berkaitan dengan kinerja sekolah yang akan diamati. Studi literatur berkaitan dengan definisi sekolah kejuruan menurut Calhoun dan Finc, kinerja kerjasama dan ICT, jejaring kerjasama, konsep administrasi pendidikan, jejaring kerjasama dalam adminsitrasi pendidikan, dan pengembangan kerjasama kemitraan(collaboration partnership).
3. Tahap ketiga memilih latar (setting) penelitian
Salah satu komponen penting dan memegang peranan dalam penelitian kualitatif adalah memilih latar (setting), dalam hal ini diartikan sebagai tempat kejadian atau lingkungan, dimana suatu kejadian atau kegiatan diarahkan untuk mencapai tujuan penelitian. Latar (setting) penelitian mencakup tempat, waktu, kejadian dan proses dan harus dilakukan dalam setting dialami dalam konteks sesungguhnya dan wajar.
4. Tahap keempat, sumber data yang akan dijaring
Penelitian memiliki ciri yang khusus, dimana sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini merupakan words and observations, not numbers (Taylor and Powell, 2003 : 1), sementara dokumen, data statistik, catatan, foto-foto merupakan
(44)
melalui wawancara dengan responden, sedangkan bukti-bukti lainnya didapatkan dengan pengamatan serta kegiatan dokumentasi. Dalam penelitian tentang pengembangan model kerjasama kemitraan (collaboration partnership) ini maka jenis data dan personil yang dibutuhkan sebagai sumber data adalah : (1) kepala sekolah, (2) team pengembang , (3) guru, (4) dinas pendidikan, (5) industri terkait lainnya.
5. Tahap kelima, teknik pengumpulan data
Dalam setiap penelitian teknik pengmupulan data merupakan langkah yang paling strategis, karena tujuan utama dalam penelitian adalah mendapatkan data yang akurat, maka dalam penelitian ini teknik pengumpulan data sangat penting peranannya dalam mencapai tujuan penelitian ini. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai cara, seting dan sumbernya. Berdasarkan cara pengumpulan data dapat dikumpulkan dengan melakukan observasi, wawancara, angket dan dokumentasi. Sedangkan dari sisi settingnya data dikumpulkan pada setting alamiah, pada lingkungan dan sebagainya. Sedangkan sumber data dapat didapatkan dari sumber primer maupun sumber sekunder. Menurut Sugiyono (2005 : 63) dalam penelitian kualitatif pengumpulan data biasanya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting), sumber datanya adalah data primer, dan teknik pengumpulan datanya lebih banyak menggunakan observasi peran (participation observation), angket, wawancara mendalam (in-depth interview) serta dokumentasi.
(45)
a. Observasi
Secara definitif observasi adalah tindakan atau proses pengambilan informasi melalui media pengamatan, dengan sarana utama indera penglihatan, yang diamati adalah perilaku responden di lapangan yang kemudian dicatat atau direkam sebagai data utama untuk dianalisis. Keberhasilan pengamatan sangat ditentukan oleh partisipasi menyeluruh dari pengamat itu sendiri yang meliputi kesungguhan dalam observasi, dan konsentrasi selama observasi (Blaxter and Hughes, 2001 : 176). Beberapa pilihan yang dapat digunakan dalam observasi yaitu peneliti sebagai partisipan ikut aktif larut dalam kelompok, partisipan sebagai pengamat, sepenuhnya sebagai pengamat atau sepenuhnya sebagai partisipan, yang kesemuanya mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing (Cresswell, 1994).
Peralatan yang digunakan untuk melakukan observasi adalah catatan, kamera, film, handycam. Melalui observasi peneliti akan melihat sendiri pamahaman atau informasi yang tidak terucapkan, peneliti dapat melihat langsung dan bahkan berempati dengan responden.
b. Wawancara
Selain observasi, dalam penelitian kualitatif alat pengumpul data yang penting adalah wawancara (interview), peneliti dapat memperoleh informasi yang mendalam (depth information) karena responden menjawab apabila diberi pertanyaan, sehingga responden dapat menceritakan sesuatu yang terjadi dimasa silam atau pada masa yang akan datang. Selain itu peneliti dalam wawancara dapat memberikan pertanyaan
(46)
Namun kelemahan dalam teknik ini kadang ditemui responden yang tidak jujur dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya sensitif bahkan mengancam atau membahayakan keselamatan pribadinya.
Strategi wawancara yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) menggunakan pendekatan Rubin & Rubin (1995), dimana digunakan 6 (enam) tipe pertanyaan yang mengarah pada kedalaman wawancara yaitu (a) pertanyaan yang sifatnya umum (elaboration probes), (b) pertanyaan yang sifatnya lanjutan (continuation probes), (c) pertanyaan yang sifatnya meminta penjelasan lebih lanjut (clarification probes), (d) pertanyaan yang sifatnya memerlukan perhatian yang mendalam (attention probes), (e) pertanyaan yang sifatnya mengarah pada penyelesaian (completion probes) dan (f) pertanyaan yang sifatnya perlu pembuktian (evidence probes), yang kesemua pertanyaan tersebut sifatnya berlanjut, berkesinambungan hingga informasi yang diinginkan tercapai atau dengan kata lain sampai jenuh.
c. Dokumentasi
Dalam sebuah penelitian dokumen memiliki peranan yang sangat penting sebagai sebuah sumber informasi, dalam penelitian biasanya dokumen bukan hanya merupakan tulisan berupa catatan atau record namun segala bentuk sumber informasi baik berupa tulisan, gambar, narasi maupun bentuk lainnya yang dapat memberikan informasi bagi peneliti dalam mengembangkan penelitiannya. Dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan sumber informasi yang bukan manusia (non human
(47)
harfiah dokumen dapat diartikan sebagai cacatan kejadian yang sudah lampau, (Moleong, 2005;82), yang mencatat segala hal ihwal yang berkaitan dengan manusia pada kehidupannya sesuai dengan kebutuhan pada saat itu.
Guba dan Lincoln, (Moleong, 2002;161), menungkapakan bahwa “ dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik.” Sedangkan Nasution, (2003;85), menyebutkan bahwa: “… ada pula sumber non manusia, (non human resources), diantaranya dokumen, foto, dan bahan statistik.” Dokumen dapat diartikan sebagai catatan (dapat dalam bentuk tulisan, rekaman, foto, dan bahan statistik), yang berkait dengan kehidupan manusia pada masa lampau. Dokumen dalam penelitian kualitatif memegang peranan penting sebagai sumber informasi untuk melengkapi hasil wawancara dan observasi lapangan. Hasil wawancara dan observasi akan lebih akurat lagi jika disertai dokumen yang berkait dengan hal ihwal hasil wawancara dan observasi yang dilakukan sebelumnya.
6. Tahap keenam, pembakuan instrument penelitian
Dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitian adalah si peneliti itu sendiri. Dengan kata lain, alat penelitian adalah peneliti sendiri. Setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka akan dikembangkan instrumen lain yang lebih sederhana yang diharapkan dapat digunakan untuk menjaring data yang lebih luas dan lebih tajam untuk melengkapi hasil pengamatan dan observasi. Ciri-ciri umum manusia sebagai instrumen dalam penelitian kualitatfi seperti disampaikan oleh Moleong (2006 : 169)
(1)
Patricia Allen, Renae Schumann, Cathleen Collins, and Nina Selz. (2007). Reinventing Practice and Education Partnerships for Capacity Expansion. Journal of Nursing Education. April 2007, Vol. 46, No. 4
Patterson, DA. (2008), Intergovermental Cooperation, Albany, NY, New york State Department of State Division of Local Goverment sevices.
Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage Publications, Inc.
Paul Hersey & Ken Blanchard. (1993). Manajemen Prilaku organisasi. Jakarta. Erlangga. Paula Goering; Katherine M Boydell; Antonio Pignatiello, (2008). The Relevance of Qualitative Research for Clinical Programs in Psychiatry Canadian Journal of Psychiatry; Mar 2008; 53, 3; Academic Research Library pg. 145
Pavlova, M. (2009). Technology and vocational education for sustainable development: Empowering individuals for the future. Australia: Springer.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian
Pendidikan
Peraturan Pemerintah .Republik Indonesia No. 19 Tahun (2005). Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Petra Klumb; Christiane Hoppmann; Melanie Staats, (2006). Division of Labor in German Dual-Earner Families: Testing Equity Theoretical Hypotheses. Journal of Marriage and Family; Nov 2006; 68, 4; ProQuest Religion pg. 870
Petridou, Eugenia; Paraskevi Chatzipanagiotou, (2004). The planning process in managing organisations of continuing education: the case of greek vocational training institution. The International Journal of Educational Management; 2004; 18, 4/5; ProQuest Education Journals pg. 215
Pidarta, Made. (1988). Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Power, C.N. (1999). Technical dan vocational education for the twenty-first century. Prospects Journal, Vol. xxix, No. 1, 29-36.
Power, Thomas J., Peter W. Dowrick, Marika Ginsburg-Block, and Patricia H. Manz. (2004) Partnership-Based, Community-Assisted Early Intervention for Literacy: An Application of the Participatory Intervention Model. Journal of Behavioral Education, Vol. 13, No. 2, June 2004, pp. 93–115
Pramusinto, A dan Purwanto, EA. (2009). Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
Pratomo, Petrus. (2007) Manajemen Pendidikan Politeknik Berwawasan Kebutuhan Pasar Kerja Industri : Studi Kasus tentang Manajemen Pendidikan Diploma 3 di Politeknik Negeri Bandung. Desertasi, Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI, tidak diterbitkan.
(2)
Pujiastuti, Eni Endah; Utomo Human Santoso; dan Suratna (2011). Meningkatkan Daya Saing Bangsa Melalui Perubahan Paradigma Berpikir Lulusan Perguruan Tinggi Dari Job Seekers Kepada Job Creators, Makalah pada 50tahun Fisip Unpar, Editor Sanerya Hendrawan, Indraswari dan Sylvia Yazid bertema Pengembangan Human Capital (Perspsektif Nasional, Regional dan Global), Yogyakarta : Penerbil Graha Ilmu
Purwoko, Bambang Setiyo Hari, (2010). Mengembangkan Budaya Kerja Profesional Melalui Sekolah Menengah Kejuruan, Makalah Seminar Nasional “Pendidikan Karakter pada Pendidikan Kejuruan” FT-UNY, Yogyakarta, 22 Mei 2010
Ralp C. Wenrich, William J. Wenrich, and Joel D. Galloway, (1988). Administration of Vocational Education. New York: American Technical.
Robbins, Stephen P. (1994). Organizations Theory: Structure, Design, and Application. Prentice Hall Inc. Alih bahasa: Yusuf Udaya. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.
Robinson Jacquelyn P. (2000). What Are Employability Skills?. Alabama Cooperative Extension Volume 1, Issue 3 September 15, 2000. www.aces.edu/department/crd/ Roksa, Josipa (2006). Does the Vocational Focus of Community Colleges Hinder
Students’ Educational Attainment?. The review of Higher Education Summer 2006, volume 29, No. 4, pp. 449-526. Association for the Study of Higher Education.
Rosenbaum Mark S. (2006). Exploring commercial friendships from employees’ perspectives, Journal of Services Marketing 23/1 (2009) 57–67, Emerald Group Publishing Limited [ISSN 0887-6045], www.emeraldinsight.com/0887-6045.htm Russel, Betrand. (1985). Power. London: Allen and Unwin.
Sagala, Syaiful. (2000). Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung : Penerbit Alfabeta
Sallis Edward, (1993) “Total Quality Management in Education.” London: Kogan Page. Salusu, J. (1996). Pengemabilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiaiswara Indonesia. Samani, Muchlas. (1998). Pendidikan Kejuruan Menyongsong Millenium III, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Pendidikan Teknologi dan Kejuruan pada Jurusan Pendidikan Teknik Mesin Fakultas Pendidikan Teknik Kejuruan Institut Keguruan dan llmu Pendidikan Surabaya pada hari Senin, 14 Desember 1998.
Sampurna, (1997), Knowledge Based Economy, (Sumber Keunggulan Daya Saing Bangsa), Pustakan Pelajar, Yogyakarta
Sargeant, Joan et all, (2008). Effective Interprofessional Teams: “Contact Is Not Enough” to Build a Team, Journal of Continuing Education in The Health Professions, 28(4):228–234, 2008
(3)
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan . (2009). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Penerbit Alpha Beta
Schermerhorn, J. (1984). Management for Productivity. New York : Wiley& sons.
Schuler, Randall S. dan Jackson, Susan E. (1992). Manajemen Sumber daya Manusia: Mengahadapi Abad Ke- 21: Jilid 1: Alih Bahasa Abdul Rosyid . Jakarta: Erlangga. Sergiovani , Thomas J., Martin Burlingame, Fred S. Coombs, Paul W Thurston, (1987),
Educational Governance and Administration, 2nd Edition, Prentice Hall Inc, New Jersey
Sherry Keith, Robert Girling, (1991). Education, Management and Participation, Boston: Allyin and Bacon.
Siagian, Sondang P, (2008). Manajemen Stratejik, Jakarta : Penerbit PT. Bumi Aksara Siagian, Sondang P., (1983), Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung.
Sinem Somunoglu; Demet Unalan; Elif Dikmetas; Ramazan Erdem, (2009). New Perspectives on The Education and Career of The Student of The Healt Service Vocational College, Education; Spring 2009; 129, 3; ProQuest Education Journals pg. 448
Sinkinson, Anne J.. (2007). Partnership in being a specialist mathematics and computing college - who gains what, how and why?. Educational Review Vol. 59, No. 2, May 2007, pp. 131–145
Siroco Messerli and Maksat Abdykaparov, (2008). Participatory approaches in developing farmer education and community ownership of training in Kyrgyzstan, Oxford University Press and Community Development Journal. 2008, Community Development Journal Vol 43 No 3 July 2008 pp. 341–357
Slamet PH (2000). Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. (Makalah Disampaikan pada Seminar dan Temu Alumni Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta dengan Tema: "Pendidikan yang Berwawasan Pembebasan: Tantangan Masa Depan" pada Tanggal 27 Mei 2000 di Ambarukmo Palace Hotel, Yogyakarta.
Smith, Ian (2006). Models of partnership developments in initial teacher education in the four components of the United Kingdom: recent trends and current challenges. Journal of Education for Teaching Vol. 32, No. 2, May 2006, pp. 147–164. Taylor & Francis
Sonak D. Pastakia, Ellen M. Schellhase, and Beatrice Jakait. (2009). Collaborative partnership for clinical pharmacy services in Kenya. American Society of Health-System Pharmacists, Inc. All rights reserved. 1079-2082/09/0801-1386$06.00. DOI 10.2146/ajhp080483
Steven Hodge (2007), The origins of competency-based training, Australian Journal of Adult Learning; Jul 2007; 47, 2; ProQuest Education Journals, pg. 179
(4)
Sugiono, (2003). Profesionalisasi Manajemen Pendidikan Kejuruan di Indonesia, pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ilmu Manajemen Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Fakultas Teknik UNY, diucapkan dalam Rapat Senat Terbuka Universitas Negeri Yogyakarta, 30 Agustus 2003
Sulipan, (2004). Pengelolaan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi kejuruan pada Sekolah Menengah Kejuruan. Abstrak Disertasi. Bandung : PPS-UPI. Diambil dari situs : (http:/pages-yourfavorite.com/ppsupi/disertasi2004.html.08-2006).
Sumarno, (2008). Employability Skills dan Pengaruhnya Terhadap Penghasilan Lulusan SMK Teknologi dan Industri, Jurnal Kependidikan Lembaga Penelitian UNY, Tahun XXXVIII, Nomor 1, Mei 2008, Yogyakarta: LLPM UNY,
Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah, (2009). Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional (Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan Publik), Bandung : Widya Aksara Press.
Suryosubroto, B. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta. Susan Bodilly, et. All. (2004). Challenges and potential of a collaborative approach to
education reform. RAND Corporation : Santa Monica, California
Susanne Worbs, (2003). The Second Generation in Germany: Between School and Labor Market, The International Migration Review; Winter 2003; 37, 4; ProQuest Education Journals pg. 1011
Sutisna (2002). Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Sutisna, Oteng (1983), Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung: Angkasa.
Suyanto (2008), Dialog Interaktif Tentang Pendidikan (dari konseptual menggelitik sampai yang ringan dan ringan sekali). Yogyakarta : Multi Pressindo,
Suyanto, (2007), “Tantangan Profesionalisme Guru di Era Global”, Pidato Dies Natalis ke-43 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei.
Sverker Sörlin and Hebe Vessuri (2007) Knowledge society vs. knowledge economy : knowledge, power, and politics. Palgrave Macmillan, New York
Tampubolon, D.P. (2001). Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad Ke-21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Teece, D.J., (1992) Competition, cooperation, and innovation: organizational rrangements for regimes of rapid technological progress. Journal of Economic Behavior and Organization 18.
Thompson, Nancy S; Elisabeth M Alford; Changyong Liao; Robert Johnson; Michael A. Mathews, (2005). Integrating Undergraduate Research into Engineering: A Communications Approach to Holistic Education. Journal of Engineering Education; Jul 2005; 94, 3; Research Library pg. 297
(5)
Thomson, Ann Marie adn James L. Perry (2006), Collaboration Processes : Inside the Black Box, paper presented on Public Adminsitration Review; Dec, 2006; 66, Academic Research Library, pg. 20
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Jakarta : Grasindo, Cetakan Pertama.
Timpe, A Dale. (2000), Kepemimpinan, Penerjemeh Susanto Boedidharmono, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Turney, C. (1992) Conceptualising the management process, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun (2004). tentang Guru dan Dosen. Bandung: Citra Umbara.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun (2003). Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Asokadikta dan Durat Bahagia.
Usman, Husaini, (2006) Manajemen Pendidikan, Penerbit Rosdakarya : Bandung
Uwe Lauterbach, (2008). Evaluating progress of European vocational education and training systems: indicators in education, Journal of European Industrial Training Vol. 32 No. 2/3, 2008 pp. 201-220, Emerald Group Publishing Limited, www.emeraldinsight.com/0309-0590.htm
Veronica Volkoff, Kira Clarke and Anne Walstab, (2009). The Impact of TAFE Inclusiveness Strategies, Australian Bulletin of Labour, Vol 35 No 3 2009. Centre for Post-compulsory Education and Lifelong Learning,University of Melbourne, Viljoen, John and Susan Dann, (2003), Strategic Management 4th edition, Prentice Hall,
Pearson Education Australia
Vivienne Baumfielda and Marie Butterworth. (2007). Creating and translating knowledge about teaching and learning in collaborative school–university research partnerships: an analysis of what is exchanged across the partnerships, by whom and how. Teachers and Teaching: theory and practice Vol. 13, No. 4, August 2007, pp. 411–427.London : Taylor & Francis
Wagner, T. (2008). The global achievement gap. New York: Basic Books. Wahyudi, A. S. (1996). Manajemen Strategik. Jakarta: Binarupa Aksara.
Waters, Robert C. (2009). Evolution of Leadership Development at General Electric, Engineering Management Journal Vol. 21 No. 1 March 2009
Whittaker, B James, (1993), Mandate for Strategic Planning and Performance Measurement, GPRA.
Wibawa, Basuki. (2005). Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (Manajemen dan Implementasinya di Era Otonpmi), Surabaya : Kerja Jaya Media
Winardi J. (2003), Teori Organisasi dan Pengorganisasian, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
(6)
Winch, C. (2007). Vocational education, work and the aims of economic activity. Dalam Clark, L. dan Winch, C. (Eds.), Vocational approaches, developments and systems. New York: Routledge.
Wright, Peter & Mark J. Kroll & John Parnell. (1996). Strategic Management: Concepts and Cases (International Ed. / 3rd edition). Englewood Cliffs, New Jersey 07632: Prentice-Hall, Inc.
www. Nursingworld. Gardner. (2005). Ten Lessons in Collaboration. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007
www.nursingworld. Canon. (2005). New Horizons for Collaborative Partnership. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007
Yi-Mei Lin; James Laffey, (2006). Exploring the Relationship Between Mediating Tools and Student Perception of Interdependence in CSL Environment, Journal of Interactive Learning Research; 2006; 17, 4; ProQuest Education Journals pg. 385
Yukl, G. (1996). Leadership in Organization (Terjemahan). Edisi ke-3, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer:
Zaretsky,Lindy (2007). A transdisciplinary team approach to achieving moral agency across regular and special education in K-12 schools, Journal of Educational Administration Vol. 45 No. 4, 2007 pp. 496-513, Emerald Group Publishing Limited, www.emeraldinsight.com/0957-8234.htm
Zeng Lina, Robert Sweetb and Paul Anisefc. (2003). Consequences and Policy Implications for University Students Who Have Chosen Liberal or Vocational Education in Canada: Labour Market Outcomes and Employability Skills. Higher Education Policy, 2003, 16, (55–85). International Association of Universities. www.palgrave-journals.com/hep