Implementasi manajemen berbasis sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMP 10 nopember Jakarta

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan bagian penting dari proses pembangunan nasional yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan juga merupakan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia, dimana peningkatan kecakapan dan kemampuan individual diyakini sebagai faktor pendukung upaya manusia dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan, oleh karena itu kualitas pendidikan harus senantiasa ditingkatkan. Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian.

Dalam menciptakan masyarakat yang cerdas dan di Era reformasi pemerintah melakukan beberapa perubahan dalam bidang kehidupan; politik, moneter, hankam, dan kebijakan mendasar lain. Lahirnya Undang – undang No. 20 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang – undang No. 25 tentang Perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Undang – undang tersebut membawa konsekuensi terhadap bidang - bidang kewenangan daerah sehingga lebih otonom, termasuk di bidang pendidikan.

Diundangkannya UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan


(2)

aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Desentralisasi pendidikan memberi peluang bagi kebijakan sekolah didaerah. Pembuatan kebijakan sekolah adalah inhern dengan otonomi kepala sekolah. Ketentuan otonomi daerah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk penyelenggaraan pendidikan. Bila sebelumnya pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang–undang tersebut, kewenangan tersebut dialihkan ke pemerintah kota dan kabupaten.

Berbagai program pemerintah yang dilaksanakan telah memberikan harapan bagi kelangsungan dan terkendalinya kualitas pendidikan Indonesia semasa krisis. Akan tetapi karena pengelolaannya yang terlalu kaku dan sentralistik, program itupun tidak banyak memberikan dampak positif, sehingga angka partisipasi pendidikan nasional maupun kualitas pendidikan tetap menurun. Diduga hal tersebut erat kaitannya dengan masalah manajemen. Dalam kaitan ini, muncullah salah satu pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Pemikiran ini dalam perjalananya disebut manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school based manajemen (SBM), yang telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan di beberapa negara maju, seperti Australia dan Amerika.

Inti dari MBS adalah memberdayakan sekolah dengan segala perangkatnya. Inisiatif kearah pemberdayaan sekolah itu tidak akan berjalan tanpa adanya andil kuat masyarakat terhadap pendidikan. Dari sinilah diharapkan akan lahir sekolah-sekolah yang mendongkrak kinerjanya, terutama dibidang peningkatan prestasi siswa. Tujuan utama MBS adalah pemberdayaan sekolah, yang kemudian fokus pada titik peningkatan prestasi belajar siswa sebagai tujuan utama implementasinya.


(3)

Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menutut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah.

Tugas utama manajemen sekolah dapat dipastikan akan lebih menantang, itu sebabnya fokus manajemen sekolah adalah perubahan sistem organisasi, penekanan terhadap mengatasi masalah-masalah alamiah bersifat situasional dan berdampak luas. Terutama, kemampuan membuat kebijakan untuk pengembangan sekolah. Pengembangan sekolah selalu terkait dengan istilah inovasi. Sedangkan inovasi akan melahirkan kejutan karena ada perubahan dan pengembangan.1 Tugas utama kepala sekolah berkaitan dengan manajemen yaitu tanggung jawab atas tugas-tugas yang harus dilaksanakan dengan operasional sekolah yang lancar. Dengan era otonomi daerah memberikan peluang kepada kepala sekolah sehingga semakin dirasakan banyak manfaatnya untuk membuat kebijakan pengembangan sekolah. Hal itu untuk mempercepat kemajuan masyarakat karena saat ini masyarakat membutuhkan banyak sekolah yang benar-benar berkualitas dalam bidang manajemen, program pengajaran, iklim, dan kepemimpinan sekolah.

MBS Memberikan otonomi kepada sekolah yang meliputi pengelolaan akademik, pengelolaan sarana-prasarana, pengembangan staf, hubungan masyarakat, dan pengelolaan siswa. Hal-hal tersebut adalah upaya-upaya dalam rangka meningkatkan mutu lembaga pendidikan. Sejak tahun 1999 konsep MBS telah di diujicobakan di sekolah-sekolah di Indonesia. Saat ini telah banyak

1 Syafaruddin, Efektifitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), cet. 1, h.55


(4)

sekolah yang tidak sekedar melakukan uji coba melainkan melangkah pada tahapan pelaksanaan. Salah satu sekolah yang telah menerapkan MBS adalah SMP 10 Nopember Jakarta. Walupun sudah hampir 4 tahun (sejak tahun 2006) menerapkan MBS, nampaknya belum dapat dikatakan efektif sehingga belum mampu meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana mestinya.

Hal tersebut dapat diamati dari: (1) Manajemen di sekolah masih terdapat campur tangan yayasan yang lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan ataupun melakukan kebijakan-kebijakan. (2) Partisipasi masyarakat atau pihak yang berkepentingan (stakeholder) dan warga sekolah masih belum terlibat dalam pengambilan keputusan di sekolah tersebut. (3) Pemenuhan kebutuhan penunjang sekolah baik sarana maupun prasarana masih belum memadai, sehingga mutu pendidikan sulit untuk dicapai. Disamping itu terdapat beberapa hal positif yang telah dicapai terkait dengan Manajemen Berbasis Sekolah, diantaranya: renovasi gedung sekolah, pengadaan alat peraga atau alat-alat praktik IPA, dan renovasi sarana ibadah (Musholla).2

Untuk dapat menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah SMP 10 Nopember Jakarta harus banyak melakukan perubahan-perubahan. Mulai dari job description (pembagian tugas) harus dilimpahkan kepada pihak yang telah diberi tanggung jawab, otonomi yang luas harus diberikan kepada kepala sekolah untuk melakukan manajerial yang baik. Kemudian masyarakat harus diikut sertakan dalam pengambilan keputusan, sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pemenuhan sarana dan prasarana yang memadai jika menginginkan mutu pendidikan di SMP 10 Nopember semakin baik, ini merupakan salah satu tujuan terlahirnya Manajemen Berbasis Sekolah yang memberikan otonomi luas kepada sekolah mengenai kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan.


(5)

Berdasarkan uraian penulis tertarik untuk meneliti dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta”.

B. Masalah penelitian 1. Identifikasi Masalah

Adapun permaslahan yang terjadi dalam pengimplementasian Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan Mutu Pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta sebagai berikut:

a. Otonomi luas yang diberikan kepada kepala sekolah belum maksimal, masih terdapat campur tangan yayasan yang mendominasi dalam pengambilan keputusan.

b. Minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan/kebijakan-kebijakan yang ditentukan sekolah serta dalam penyusunan maupun pelaksanaan program-program sekolah.

c. Pemenuhan sarana dan prasarana sekolah masih kurang, dikarenakan semua pengelolaan keuangan diolah oleh yayasan dan memakan prosedur yang lama dalam pengurusan.

d. Sulitnya melakukan peningkatan profesionalisme guru disebabkan minimnya dana dalam pelaksanaan seminar maupun workshop guru mata pelajaran.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, diketahui banyak variable mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan di suatu sekolah, mengingat keterbatasan waktu,


(6)

tenaga, dan biaya, maka penelitian ini dibatasi pada masalah Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SMP 10 Nopember Jakarta yang mencakup otonomisasi kepala sekolah, partisipasi masyarakat, serta sarana dan prasarana. Sedangkan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Implementasi MBS di SMP 10 Nopember Jakarta.

3. Perumusan Masalah

Dari latar belakang dan pembatasan masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta?

b. Bagaimana efektifitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SMP 10 Nopember Jakarta?

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat bagi:

1. Lembaga pendidikan yang bersangkutan, sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang terkait dengan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah.

2. Stakeholder, sebagai masukan dalam merencanakan dan mengevaluasi setiap program atau kebijakan.

3. Pembaca, dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan acuan serta studi perbandingan terhadap pengelolaan lembaga pendidikan terutama penerapan MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan.


(7)

4. Penulis, dapat memberikan pengetahuan menyeluruh serta nyata mengenai penerapan MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan.


(8)

1. Pengertian Mutu Pendidikan

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata mutu berarti ukuran baik buruknya suatu benda, kadar, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dan sebagainya), kualitas.1 Kualitas atau mutu adalah tingkat baik buruknya atau taraf atau derajat sesuatu.2 Dari dua definisi tersebut mutu merupakan ukuran atau tingkat yang digunakan untuk menilai suatu barang maupun jasa.

Josep M. Juran mendefinisikan kualitas itu sebagai “kesesuaian untuk pemakaian”, kualitas adalah “terbebas dari kesalahan”.3 Pendapat tersebut menekankan bahwa sesuatu yang berkualitas itu merupakan hasil yang maksimal tanpa ada cacat atau kesalahan sedikitpun dan sesuai dengan tujuan.

Sedangkan Goetsch dan Davis membuat definisi kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Definisi ini lebih luas karena mencakup elemen-elemen yang lebih komplek. Dari definisi tersebut terbagi menjadi beberapa elemen-elemen yaitu:

a. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. b. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.

c. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah-ubah (misalnya saja, apa yang dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas dimasa yang akan datang). 4

Sallis mengajukan definisi mutu sebagai kepuasan terbaik dan tercapainya kebutuhan atau keinginan pelanggan. Terkait dengan itu Everard menyatakan bahwa mutu (quality) adalah mencapai apa yang diharapkan pelanggan.

1 Pusat pembiaan dan pengembangan bahasa, depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. 2, h.768

2 “Kualitas”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kualitas, 05-11-2009

3 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 3, h. 264

4 Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management (TQM)-Edisi Revisi, (Yogyakarta: Andi, 2003), h.3


(9)

Sedangkan pelanggan sekolah mencakup orang tua, murid, pegawai, pemerintah yang kemudian memantau harapan dan kepuasan serta pencapaian dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Ukuran sesuatu itu dikatakan bermutu menurut Sallis dan Everard apabila pelanggan merasa puas dengan produk yang dihasilkan maka dapat dikatakan produk atau barang tersebut bermutu. Sedangkan Arcaro menyebutkan mutu adalah sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan.5

Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada masukan, proses, maupun keluaran (hasilnya). Mutu masukan dapat dilihat dari beberapa sisi:

1) Kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha, dan siswa.

2) Memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana, sarana sekolah, dan lain-lain.

3) Memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa peragkat linak, seperti peraturan, struktur organisasi, dan deskripsi kerja.

4) Mutu masukan bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan, dan cita-cita. 6

Kemudian hal-hal yang termasuk dalam kerangka mutu proses pendidikan adalah derajat kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati, kepuasaan, dan lain-lain dari subjek selama memberikan dan menerima layanan jasa. Dan dalam "proses pendidikan" yang bermutu tersebut terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.7 Manajemen sekolah dan dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam proses belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup

5 Syafarudin, Efektifitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, strategi, dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta:Rineka Cipta, 2008), Cet. 1,h. 21

6 Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 3, h. 53

7 B. Suryosubroto, Manajemen Pedidikan di Sekolah,( Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Cet. 1, h. 210


(10)

subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran.

Sedangkan pada kerangka keluaran/hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Prestasi atau hasil pendidikan (student achievement) tersebut dapat berupa hasil test kemampuan akademis misalnya ulangan umum, Ujian Akhir Nasional (UAN) atau Ujian Akhir Seklah (UAS). Biasanya pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun).

Keluaran/hasil pendidikan dikatakan bermutu dapat dilihat dari keunggulan ekstrakurikuler, misalnya saja peserta didik berprestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.

Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. 8

Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar) misalnya lulus UN (Ujian Nasional) dan US (Ujian Sekolah).


(11)

Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya.9 Dalam hal ini Rencana Anggran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Mutu Pendidikan

Menurut laporan Bank Dunia yang dikutip oleh Jalal dan Supriyadi, ada empat faktor yang diidentifikasi menjadi penghambat potensial mutu pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan dasar. Penghambat tersebut sebagai berikut:

1) Kompleksitas pengorganisasian pendidikan dasar antara depdiknas (bertanggung jawab dalam hal ini materi pendidikan, evaluasi buku teks dan kelayakan bahan-bahan ajar) dan Depdagri dalam bidang (ketenagaan, sumber daya material, dan sumber daya lainnya).

2) Praktik manajemen yang sentralistik pada tingkat SMP, pembiayaan dan perencanaan oleh pemerintah pusat yang melinatkan banyak departemen.

3) Praktik penganggaran yang terpecah dan kaku. Kompleksitas organisasi yang menyiapkan anggaran pembangunan menjadikan rumitnya pengelolaan pendidikan dasar. Badan Pendidikan Nasional (BAPPENAS), DepartemenPendidikan Nasional (DEPDIKNAS), dan Depdagri, termasuk Departemen Agama dalam menyiapkan anggaran pendidikan.

4) Manajemen sekolah yang tidak efektif. Sebagai pelaku utama, kepala sekolah banyak yang kurang mampu melakukan peningkatan mutu sekolahnya karena tidak dilengkapi dengan kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang baik. Pelatihan yang kurang dan rekruitmen kepala sekolah yang belum didasarkan atas kemampuan memimpin dan profesionalitas.10

Faktor yang menyebabkan mutu pendidikan rendah terletak pada unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni saling tidak pada faktor kurikulum, sumber daya ketenagaan, sarana dan prasarana, manajemen sekolah, pembiayaan

9 Suryosubroto, Manajemen Pedidikan ..., h.211

10 Syafarudin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi, dan Aplikasi, (Jakarta: Grasindo, 2002), Cet.1, h. 12


(12)

pendidikan, dan kepemimpinan merupakan faktor yang dicermati.11 Disamping itu, faktor eksternal berupa partisipasi politik rendah, ekonomi tak berpihak terhadap pendidikan, sosial budaya, rendahnya pemanfaatan sains dan teknologi, juga mempengaruhi mutu pendidikan.

Untuk menghasilkan mutu yang baik dalam penerapan konsep manajemen berbasis sekolah menurut Fattah perlu memperhatikan aspek-aspek mutu yang harus dikendalikan secara komprehensih, yaitu:

1) Karakteristik mutu pendidikan, baik input, proses, maupun output, 2) Pembiayaan (cost),

3) Metode atau delivery system penyampaian bahan/materi pelajaran, 4) Pelayanan (service) kepada siswa dan orang tua/masyarakat.12

Kepala sekolah dan guru perlu memahami konsep mutu dalam pendidikan sebagaimana dikemukakan. Setidaknya kepala sekolah harus menyusun visi, misi, strategi, dan tujuan sekolah dalam menjangkau masa depan. Kewenangan dan pengawasan dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah terutama terhadap kurikulum yang berbasis keperluan masyarakat adalah dimiliki sepenuhnya oleh kepala sekolah dan guru-guru. Strategi, peningkatan mutu sekolah dimulai dari perubahan manajemen sekolah yang operasional rutinitas kepada manajemen berbasis sekolah. Intinya adalah pembaharuan dalam konsep mutu, pembiayaan, metode dan pelayanan pendidikan terhadap pelanggan baik kepada murid, guru, orang tua, masyarakat, dan industri. Oleh karena itu disamping kepemimpinan yang kuat diperlukan peran serta masyarakat untuk peningkatan mutu sekolah.

3. Ciri-ciri sekolah bermutu

Keberadaan mutu suatu lembaga pendidikan adalah paduan sifat-sifat layanan yang diberikan yang menyamai atau melebihi harapan serta kepuasan pelanggannya, baik yang tersurat maupun tersirat. Ini berarti lembaga itu harus memberi pelayanan kepada pihak-pihak yang ada di dalam atau menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan di lembaga itu, yaitu pengajar dan

11Syafarudin, Manajemen Mutu ..., h. 14 12


(13)

karyawan dan pihak-pihak yang bukan menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan itu (pelanggan eksternal), yaitu siswa, orang tua pemerintah dan masyarakat penyandang dana, dan pemakai lulusan.13 Lembaga pendidikan bermutu adalah lembaga yang mampu memberi layanan yang sesuai atau melebihi harapan guru, karyawan, siswa, penyandang dana (orang tua, masyarakat dan pemerintah), dan pemakai lulusan (dunia kerja).

Merujuk pada pemikiran Edward Sallis, Sudarwan Danim mengidentifikasi 13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:

a. Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.

b. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul, dalam makna ada komitmen untuk bekerja secara benar dari awal. c. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya.

d. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif.

e. Sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrument untuk berbuat benar pada peristiwa berikutnya.

f. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

g. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya. h. Sekolah mendorong yang dipandang memiliki kreatifitas, mampu

menciptakan kualitas, dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.

i. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk arah kerja secara vertikal maupun horizontal.

j. Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.

k. Sekolah memandang atau menempatkan kualitas yang telah tercapai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.

l. Sekolah memandang kualitas sebagai integral dari budaya kerja.

m. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus-menerus sebagai suatu keharusan.14

13 “Penjaminan Mutu Pendidikan” (http://www.lpmpjabar.go.id) 05-11-2009 14 Danim, Visi Baru ..., h. 55


(14)

4. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan

Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan.15

Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented (berorientasi pada masukan). Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.16

15 Suryosubroto, Manajemen Pedidikan ..., h. 203 16 Suryosubroto, Manajemen Pedidikan ..., h.204


(15)

Otonomi pendidikan merupakan suatu bentuk reformasi pendidikan yang perlu dijalankan dengan baik, tujuan utama reformasi pendidikan adalah membangun suatu system pendidikan yang lebih baik dan lebih maju dengan memberdayakan seoptimal mungkin potensi daerah dan partisipasi masyarakat. Para kepala sekolah sudah saatnya sebagai manajer sudah saatnya mengoptimalkan mutu kegiatan pembelajaran untuk memenuhi harapan pelanggan pendidikan. Para manajer pendidikan dituntut mencari dan menerapkan suatu strategi manajemen baru yang dapat mendorong perbaikan mutu disekolah.17 Sehingga muncullah salah satu pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas, yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school based manajemen (SBM).

Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum.

B. Manajemen Berbasis Sekolah 1. Pengertian

Istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari “shcool-based management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat.

Menurut Fattah MBS diartikan sebagai pengalihan dalam pengambilan keputusan dari tingkat pusat sampai ke tingkat sekolah. Pemberian kewenangan dalam pengambilan keputusan dipandang sebagai otonomi di tingkat sekolah dalam pemanfaatan semua sumber daya (resources) sehingga sekolah mampu secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, memanfaatkan,


(16)

mengendalikan, dan mempertanggung jawabkan (accountability) kepada setiap yang berkepentingan (stakeholder).18 Definisi MBS menurut Fattah lebih memfokuskan mengenai otonomi (kewenangan) yang diberikan kepada sekolah, walau bagaimanapun sekolah yang mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sehingga lebih mudah dalam perencanaan untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.

Mengutip pendapat Mukhtar dan Suparto, Syafarudin mendefinisikan bahwa MBS adalah keseluruhan proses merencanakan, mengorganisasikan, mengembangkan dan mengendalikan seluruh pendukung/pengguna sekolah dan sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah khususnya dan tujuan pendidikan pada umumnya.19 Pendapat ini lebih menekankan pada pelaksanaan implementasi MBS, dimana kunci dari keberhasilan itu sendiri terletak pada proses pelaksanaanya.

Sedangkan menurut Mulyasa MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.20 Kebijakan yang menawarkan otonomi pada sekolah dalam rangka meningkatkan mutu efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasikan keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa MBS adalah manajemen sekolah yang dilaksanakan dengan memberikan kewenangan kepada sekolah untuk memanfaatkan seluruh sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal.

MBS secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta

18 Syafarudin., Efektifitas Kebijakan ..., h.155 19 Syafarudin., Efektifitas Kebijakan ..., h.156

20 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-10, h.24


(17)

bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya peningkatan dapat didorong dan ditopang.21

MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung ke kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat pendidikan. Menurut Mulyasa sedikitnya ada enam permasalahan yang harus diantisipasi dalam otonomi tersebut, yaitu kepentingan nasional, mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, perluasan dan pemerataan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas masyarakat.22

Berdasarkan MBS maka tugas-tugas manajemen sekolah ditetapkan menurut karakteristik-karakteristik dan kebutuhan-kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu warga sekolah memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas penggunaan sumber daya sekolah guna memecahkan masalah sekolah dan menyelenggarakan aktivitas pendidikan yang efektif demi perkembangan jangka panjang sekolah. MBS diharapkan dapat membuat sekolah lebih mandiri, dengan memberdayakan otonomi yang diberikan dan mengambil keputusan secara partisipatif yang melibatkan warga sekolah dan pihak masyrakat yang dilayaninya (stakeholder).23

Artinya MBS memberikan otonomi yang lebih luas kepada masing-masing sekolah secara individual dalam menjalankan program sekolahnya dan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Selain itu dalam menyelesaikan masalah dan dalam pengambilan keputusan harus melibatkan partisipasi setiap konstituen sekolah seperti siswa, guru, tenaga administrasi, orang tua, masyarakat lingkungan dan para tokoh masyarakat.

21 Ibtisam Abu Duhou, School Based Managemen,( Jakarta: Logos, 2002), Cet.1, h. 16 22 E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam konteks menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. 3, h. 17

23 Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Model Pengelolaan sekolah di era otonomi daerah, (Jakarta: Sagung Seto, 2007), Cet.1, h. 31


(18)

2. Tujuan dan Manfaat MBS

Mengutip pendapat Permadi, Syafarudin memberikan asumsi dasar dari MBS adalah sekolah harus lebih bertanggung jawab (high responsibility) dan mempunyai kewenangan yang lebih (more outhority) dan dapat dituntut pertanggung jawaban oleh setiap yang berkepentingan. 24 Tujuan dari MBS adalah pemberian otonomi sekolah dan peningkatan partisipasi masyarakat yang tinggi untuk mencapai efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. MBS merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso, dan mikro. MBS bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.25 Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumberdaya partisipasi mayarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.

MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang diberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas utama.26 MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah.

24 Syafarudin., Efektifitas Kebijakan..., h.157 25 Mulyasa, Manajemen Berbasis ..., h.25 26 Mulyasa, Manajemen Berbasis ..., h.26


(19)

3. Karakteristik MBS

Karakteristik MBS dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan.27 Sejalan dengan itu mengutip pendapat Saud, Mulyasa mengemukakan karakteristik dasar MBS antara lain:

a) Pemberian Otonomi Luas Kepada Sekolah

MBS memberikan otonomi luas kepada kepala sekolah, disertai dengan seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi tersebut pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan tenaga kependidikan guru agar lebih berkonsentrasi pada tugas utamanya. Kemudian melalui otonomi yang luas pula, sekolah dapat dengan meningkatkan kinerja tenaga kependidikan dengan menawarkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab bersama dalam pelaksanaan keputusan yang diambil secara proporsional dan secara professional.

b)Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua

Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah.

c) Kepemimpinan yang demokratis dan Profesional

Guru-guru yang direkrut oleh sekolah adalah pendidik professional dalam bidangnya masing-masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja

27 Mulyasa, Manajemen Berbasis ..., h.29


(20)

professional yang disepakati bersama untuk memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran peserta didik.

d) Team-Work yang kompak dan Transparan

Dalam MBS, keberhasilan program-program sekolah didukung oleh kinerja team-work yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan pendidikan dan komite seklah misalnya, pihak-pihak yang terlibat bekerja sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan suatu “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua pihak.

Empat faktor penting yang perlu di perhatikan dalam implementasi MBS, yakni kekuasaan, pengetahuan dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan. Menurut Bailey terdapat Sembilan karakteristik manajemen berbasis sekolah dan karakteristik ideal sekolah abad ke-21, karakteristik tersebut antara lain:

a) Adanya keragaman dalam pola penggajian guru b) Otonomi manajemen sekolah

c) Pemberdayaan guru secara optimal d) Pengelolaan sekolah secara partisipatif e) Sistem yang didesentralisasikan

f) Sekolah dengan pilihan atau otonomi sekolah dalam menentukan aneka pilihan

g) Hubungan kemitraan (partnership) antara dunia bisnis dan dunia pendidikan

h) Akses terbuka bagi sekolah untuk tumbuh relatif mandiri i) “Pemasaran” sekolah secara kompetitif. 28

Tabel 1

Depertemen Pendidikan Australia mengemukakan ciri-ciri MBS dalam bagan berikut:29

Organisasi Sekolah Proses Belajar Mengajar

Sumber Daya Manusia

Sumber daya dan Administrasi Menyediakan manajemen Meningkatkan kualitas belajar siswa Memberdayakan staf dan menempatkan Mengidentifikasi sumber daya yang

28 Danim, Visi Baru ..., h. 29


(21)

organisasi kepemimpinan transpormasional dalam mencapai tujuan

personel yang dapat melayani keperluan semua siswa

diperlukan dan dan mengalokasikan sumber daya tersebut sesuai dengan kehidupan Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya sendiri Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah

Memilih staf yang memiliki wawasan manajemen berbasis sekolah Mengelola dana sekolah Mengelola kegiatan operasional sekolah Menyelenggarakan pengajaran yang efektif

Menyediakan kegiatan untuk mengembangkan profesi pada semua staf

Menyediakan dukungan administrative Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat terkait Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa Menjamin

kesejahteraan staf dan siswa

Mengelola dan memelihara gedung dan sarana lainnya

Menjamin akan terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab (akuntabel) kepada masyarakat dan pemerintah Program pengembangan yang diperlukan siswa

Kesejahteraan staf dan siswa

Memelihara gedung dan sarana lainnya

4. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan

BPPN bekerjasama dengan Bank Dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatikan sehubungan dengan manajemen berbasis sekolah. Faktor-faktor tersebut antara lain30:

a. Kewajiban Sekolah

MBS menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan yang professional. seperti mengadakan pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan lainnya.


(22)

b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah

Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional.

c. Peranan Orangtua dan Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam hal ini diperlukan, melalui dewan sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami serta mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan belajar-mengajar.

d. Peranan Profesionalisme dan Manajerial

Pelaksanaan MBS berpotensi meningkatkan gesekan peranan yang bersifat professional dan manajerial. Untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi harus memiliki dua sifat tersebut yaitu professional dan manajerial.

e. Pengembangan Profesi

Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan (sumber manusia) menerima pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif. Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan tenaga kependidikan untuk MBS.

Merujuk pendapat Hallinger, Murphy, dan Hasanudin dalam Ibtisam Abu Duhou menunjuk MBS sebagai terdiri dari usaha-usaha untuk: mendesentralisasikan organisasi, manajemen, dan penyelenggaraan pendidikan; memberdayakan infrastruktur tersebut lebih dekat dengan para siswa di ruang kelas (yaitu para guru, orangtua, dan kepala sekolah), menciptakan peran dan tanggung jawab baru bagi para pelaku dalam sistem tersebut, dan mentransformasikan proses belajar-mengajar yang berkembang di ruang kelas.31

31 Duhou, School Base ..., h. 17


(23)

5. Komponen-komponen Manajemen Berbasis Sekolah

Hal yang paling penting dalam implementasi manajemen berbasis sekolahadalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yaitu kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat, serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan.32 Tetapi yang akan dibahas pada penelitian ini hanya membahas mengenai otonomi sekolah, manajemen sarana dan prasarana, dan parisipasi masyarakat.

a. Otonomi Sekolah

Sekolah pada saat ini menjadi unit strategis yang memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang harus dilakukannya sesuai dengan kebutuhan tanpa mengabaikan program nasional pendidikan secara menyeluruh. Diberlakukannya otonomi sekolah, personil sekolah telah terlibat secara aktif bahkan pro-aktif dalam menentukan berbagai kebijakan untuk kepentingan sekolah. Pimpinan sekolah harus mampu memberdayakan personel sekolah dalam proses pengembangan sekolah. Hesselbein menjelaskan lebih lanjut, para pemimpin harus mengusahakan, memperjuangkan, dan kemudian mendukung gagasan-gagasan baru. Pemberdayaan orang-orang untuk berinovasi bukan berarti memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melakukan sesuatu yang mereka inginkan, tetapi berinovasi adalah adanya pengakuan dan penerimaan gagasan-gagasan baru tersebut tentunya dalam kerangka pengembangan sekolah.33

Otonomi sekolah secara terang-terangan membutuhkan kepala sekolah yang terampil memanfaatkan kecerdasan intelegensia manajerialnya (kecerdasan memimpin dan terampil mengelola organisasi, dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia) sehingga dengan seluruh perangkat yang dimiliki organisasi

32 Mulyasa, Manajemen Berbasis ...,h. 39 33 Syafarudin, Efektifitas Kebijakan ..., h.133


(24)

dapat bersinergi dan dapat menuju pada pencapaian tujuan organisasi dan optimal.34

b. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat

Masyarakat merupakan partner sekolah dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran, Hubungan sekolah dengan masyarakat sebenarnya sudah didesentralisasikan tetapi dalam pelaksanaannya belum optimal.35 Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain untuk (1) meningkatkan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak, (2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat, dan (3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.

Jika hubungan sekolah dengan masyarakat berjalan dengan harmonis, rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat untuk memajukan sekolah juaga akan baik dan tinggi. Agar tercipta hubungan dan kerjasama yang baik antara sekolah dengan masyarakat, masyarakat perlu mengetahui dan memiliki gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan. Gambaran tersebut dapat diinformasikan kepada masyarakat melalui laporan kepada orang tua murid, bulletin bulanan, penerbitan surat kabar, pameran sekolah, open house, kunjungan ke sekolah, kunjungan ke rumah murid, penjelasan oleh staf sekolah, murid, radio dan televisi, serta laporan tahunan.

Kepala sekolah dituntut senantiasa berusaha membina dan meningkatkan hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Melalui hubungan yang harmonis tersebut, diaharapkan tercapai tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat, yaitu terlaksananya proses pensisikan disekolah secara produktif, efektif, dan efisien sehingga menghasilkan lulusan yang produktif dan berkualitas.

c. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

Ditinjau dari fungsi atau peranannya terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar, maka sarana pendidikan (sarana material) menurut Suharsimi

34 Amirudin siahaan, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), Cet. 1, h. 109


(25)

dibedakan menjadi 3 macam, yaitu alat pengajaran, alat peraga, dan media pengajaran. Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah untuk pengajaran biologi, halam sekolah sebagai lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan.36

Standar sarana dan prasarana telah diatur dalam standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal mengenai ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan informasi dan komunikasi.37

Manajemen sarana dan prasarana bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventarisasi, dan penghapusan serta penataan.

6. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang professional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar-mengajar, serta dukungan masyarakat yang tinggi.

36 Mulyasa, Manajemen Berbasis..., h.49

37 Permen No. 19 Tahun 2005, Tentang “Standar Nasional Pendidikan”, (Jakarta: Cipta Jaya, 2005). h.25


(26)

Kualifikasi sekolah bervariasi dari sekolah yang sangat maju sampai sekolah yang ketinggalan, sedangkan lokasi sekolah sangat bervariasi mulai dari daerah perkotaan sampai di daerah pedesaan. Demikian juga partisipasi masyarakat (orang tua) juga bervariasi mulai dari masyarakat yang partisipasinya tinggi bahkan masyarakat yang kurang bahkan tidak berpartisipasi sama sekali.

Agar MBS terimplementasi dengan optimal, sekolah perlu dikelompokkan menurut tingkat kemampuan manajemen mereka. Pengelompokkan ini dimaksudkan untuk mempermudah pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan MBS.

a. Pengelompokkan Sekolah Berdasarkan Kemampuan Manajemen

Berdasarkan kondisi lokasi dan kualifikasi sekolah saat ini, kurang lebih akan ditemui tiga karakter sekolah, antara lain sekolah baik, sedang, dan kurang, yang tersebar dilokasi-lokasi maju, sedang, dan tertinggal. Kelompok-kelompok tersebut biasanya juga menggambarkan tingkat kemampuan manajemennya. Dengan adanya perbedaan manajemen tersebut sekolah-sekolah harus diperlakukan secara berbeda-beda, tergantung pada tingkat kemampuannya dalam menyerap sistem baru yang ditawarkan dalam MBS. 38

Dengan mempertimbangkan kemampuan sekolah, kewajiban dan kewenangan sekolah terhadap pelaksanaan MBS, pemerintah berkewajiban melakukan upaya-upaya maksimal bagi sekolah yang kemampuan manajemennya kurang untuk mempersiapkan pelaksanaan MBS.

b. Pentahapan Pelaksanaan MBS

Implementasi MBS adalah realisasi dari desentralisasi pendidikan yang memerlukan perubahan-perubahan mendasar terhadap aspek-aspek yang menyangkut keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana, dan partisipasi masyarakat. MBS diyakini akam dapat terimplementasi dengan


(27)

optimal setidaknya melalui tiga tahap, yaitu jangka pendek (tahun pertama sampai dengan tahun ketiga), jangka menengah (tahun keempat sampai tahun keenam), dan jangka panjang (setelah tahun keenam).39

Pelaksanaan jangka pendek diprioritaskan pada kegiatan-kegiatan yang tidak memerlukan perubahan mendasar terhadap tiga aspek-aspek pendidikan. Strategi ini bersifat sosialisasi MBS terhadap masyarakat dan sekolah, pelatihan terhadap sumber daya manusia yang akan melaksanakan MBS, dan mengalokasikan block grant langsung ke sekolah sebagai praktek pengelolaan keuangan dengan prinsip MBS. Apabila sekolah telah memahami hak dan kewajiban masing-masing, secara mendasar tentang aspek-aspek pendidikan dapat dilakukan sebagai jangka menengah dan jangka panjang.

Merujuk pendapat Fattah, Mulyasa membagi implementasi MBS menjadi tiga tahapan, yaitu sosialisasi, piloting, dan desiminasi. Tahap sosialisasi merupakan tahap penting mengingat luasnya wilayah nusantara. Masyarakat harus dapat beradabtasi lebih baik dengan perubahan-perubahan baru, sehingga pencapaian tujuan perubahan-perubahan tersebut menjadi leih efektif. Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep MBS tidak mengandung resiko, efektifitas model uji coba memerlukan persyaratan dasar, yaitu akseptabilitas (adanya penerimaan dari para tenaga kependidikan sebagai pelaksana dan tanggung jawab pendidikan disekolah), akuntabilitas (atinya program MBS harus dapat dipertanggung jawabkan, baik secara konsep, operasional, maupun pendanaannya), reflikabilitas (artinya model-model MBS diuji-cobakan dapat direflikasi di sekolah lain sehingga perlakuan yang diberikan kepada sekolah uji-coba dapat dilaksanakan disekolah lain), dan sustainabilitas (artinya program tersebut dapat dijaga kesinambungannya setelah uji coba dilaksanakan). Dan tahap selanjutnya tahap desiminasi merupakan tahapan

39 Hariadi, School Based ..., h. 19


(28)

memasyarakatkan model MBS yang telah diujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara efektif dan efisien.40

c. Perangkat Pelaksanaan MBS

Dalam mengimplementasikan MBS diperlukan adanya pedoman-pedoman sebagai pendukung serta untuk menjamin terlaksananya MBS yang mengakomodasi kepentingan otonomi sekolah, kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Dalam pelaksanaannya MBS memerlukan seperangkat peraturan dan pedoman-pedoman yang digunakan sebagai pedoman perencanaan, monitoring dan evaluasi, dan laporan pelaksanaan. Dalam rencana sekolah merupakan perencanaan sekolah untuk jangka waktu tertentu, yang disusun oleh sekolah sendiri, yang bervisi dan misi sekolah, tujuan sekolah, dan prioritas-prioritas yang akan dicapai, serta strategi-strategi yang digunakan untuk mencapainya.41

40 Mulyasa, Manajemen Berbasis ..., h.62 41 Hariadi, School Based ..., h.22


(29)

A. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah pada bab I, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam meningkatkan mutu pendidikan.

2. Mengetahui efektifitas Implementasi MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan.

B. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 10 Nopember Jakarta yang beralamatkan di Jalan H. Ilyas Nomor 27 Kelurahan Petukangan Utara Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Sedangkan waktu penelitian ini pada bulan Januari - Maret tahun 2010.

C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu metode penelitian yang menggambarkan menginterpretasikan objek penelitian sesuai dengan apa adanya. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa perlakuan terhadap objek yang diteliti.

D. Unit Analisis

Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah semua guru dan staf di SMP 10 Nopember Jakarta. Sedangkan sumber data pelengkap adalah Kepala Sekolah.


(30)

Adapun responden yang diambil adalah seluruh guru dan staf di SMP 10 Nopember Jakarta yang berjumlah 17 orang.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu:

1. Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara mengadakan tanya jawab antara peneliti dengan kepala SMP 10 Nopember Jakarta. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS).

2. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah teknik memperoleh data dari responden dengan melihat bukti fisik atau dokumen-dokumen. Dalam teknik ini peneliti melihat langsung dokumentasi yang sudah ada dan dibantu oleh staf tata usaha. Melalui dokumen tersebut peneliti mengamati dan memperoleh data antara lain mengenai jenjang pendidikan tenaga pendidik dan karyawan, data keadaan siswa, keadaan sarana dan prasarana SMP 10 Nopember Jakarta. Metode ini digunakan untuk memperoleh data mengenai keadaan sekolah yang meliputi latar belakang sekolah, keadaan guru, siswa serta karyawan serta sarana prasarana yang ada di SMP 10 Nopember Jakarta.

3. Metode Observasi

Dengan metode observasi ini peneliti mengamati keadaan, situasi, dan kondisi serta aktivitas responden di SMP 10 Nopember Jakarta. Observasi ini dilakukan untuk memperoleh data yang valid di lokasi penelitian yaitu dengan mengamati keadaan sekolah, tenaga pendidik, struktur organisasi sekolah, peserta didik, sarana prasarana, bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,


(31)

jenis-jenis kegiatan pendidikan yang banyak mendapat dukungan dari masyarakat serta data-data yang berkaitan dengan penelitian.

4. Metode Angket

Angket atau Kuesioner adalah salah satu teknik pengumpulan data dengan memberikan beberapa pertanyaan berupa pemilihan jawaban yang terlah tersedia. Bentuk kuesioner yang digunakan adalah kuesioner langsung, bagi responden memilih salah satu jawaban. Kuesioner ini digunakan untuk memperoleh data tambahan tentang implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta. Adapun angket disebarkan kepada guru dan staf sekolah yang menjadi sumber informasi untuk memperoleh informasi. F. Instrumen Pengumpulan Data

1. Definisi Konseptual

MBS secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya peningkatan dapat didorong dan ditopang. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

2. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini Implementasi MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah melihat keefektifitasan penerapan kebijakan MBS dalam suatu lembaga pendidikan dalam kaitannya meningkatkan mutu pendidikan. Implementasi MBS berkaitan dengan otonomi sekolah, pengelolaan sarana dan prasarana, dan partisipasi masyarakat.


(32)

3. Kisi-kisi Instrumen Penelitian

Salah satu instrumen yang digunakan adalah dengan menggunakan angket/kuestioner. Angket yang digunakan adalah angket tertutup dimana sudah tersedia pilihan jawaban dan responden hanya memilih jawaban yang telah disediakan, alat pengumpul data pada variable tersebut memiliki 30 butir soal yang memiliki empat alternatif pilihan jawaban yang meliputi selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak pernah atau yang sejajar yang disesuaikan dengan pertanyaan atau penyataan dalam angket. Masing- masing alternatif jawaban memiliki bobot :

Selalu/yang setara = 4 Sering/yang setara = 3 Kadang-kadang/yang setara = 2 Tidak Pernah/yang setara = 1

Responden hanya memilih satu dari pilihan-pilihan jawaban tersebut, sesuai pendapat/ keadaan sebenarnya. Angket ini disusun berdasarkan indikator-indikator yang tertera dalam table dibawah ini:


(33)

Tabel 2 Kisi-kisi Intstrumen

Implementasi MBS dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

Variable Aspek Indikator Jumlah Item No. Item

Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan sekolah tentang peningkatan mutu pendidikan

3 1, 2, 3

Mengelola sumber daya pendidik dan tenaga

kependidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan secara optimal

3 4, 5, 6

Mengembangkan kurikulum yang relevan terhadap kebutuhan siswa/masyarakat

2 7, 8

Otonomi Sekolah

Mengadakan program pengembangan(pengayaan, remedial, dan ekskul) yang diperlukan peserta didik

5 9, 10, 11,

12, 13 Implementasi

Manajemen Berbasis

Sekolah dalam meningkatkan mutu

pendidikan

Partisipasi masyarakat

Keikutsertaan masyarakat dalam menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolah


(34)

Melakukan monitoring dan evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

4 16, 17, 18, 19

Melakukan pengadaan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan sekolah

3 20, 21, 22

Melakukan pemanfaatan sarana dan prasarana sekolah

2 23, 24

Melakukan inventarisasi sarana dan prasarana sekolah

4 25, 26, 27, 28

Pengelolaan sarana dan prasarana

Melakukan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah

2 29, 30

G. Teknik Analisis Data

Yang dimaksud dengan teknik analisa data dalam pembahasan ini adalah langkah-langkah yang ditempuh penulis untuk memperoleh hasil akhir dalam penelitian. Dalam analisa ini penulis memperoleh data melalui angket yang kemudian diolah, diedit selanjutnya dianalisa dan disimpulkan. Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data yang penulis lakukan adalah:

1) Editing

Pengecekan data atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan karena kemungkinan data yang masuk (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis dan meragukan, hal ini bertujuan untuk menghilangkan kesalahan-kasalahan yang terdapat pada pencatatan dilapangan dan bersifat koreksi.


(35)

2) Tabulasi

Pengolahan data dengan memundahkan jawaban yang terdapat dalam angket kedalam tabel, maka selanjutnya dilakukan anasisis data secara deskriptif kualitatif dengan prosentase, rumus yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

P = F/N x 1 0 0 % Keterangan :

a. P = Angka prosentase

b. F = Frekuensi jawaban yang diberikan responden c. N = Jumlah responden

d. 100% = Angka tetap 3) Deskripsi Data

Setelah data yang diperoleh dilakukan pengecekan dan data yang telah dianalisis, serta diketahui prosentasenya kemudian dalam pengolahannya dengan melakukan perhitungan untuk mengetahui rata-rata dari hasil angket yang diperoleh dengan langkah sebagai berikut :

a. Menentukan nilai harapan (NH). Nilai ini dapat diketahui dengan mengalikan jumlah item pertanyaan dengan skor tertinggi.

b. Menghitung nilai skor (NS). Nilai ini merupakan nilai rata-rata sebenarnya yang diperoleh dari hasil penelitian.

c. Menentukan kategori, yakni dengan menggunakan rumus: NS X 100%

NH

Untuk mengetahui interpretasi dari hasil rata per aspek dan rata-rata dari keseluruhan aspek dari angket yang diperoleh digunakan pedoman interpretasi sebagai berikut:

Kemungkinan nilai terendah adalah 1 X 30 = 30, dan Kemungkinan nilai tertinggi adalah 4 X 30 = 120 pada setiap butir kuesioner. Selisih


(36)

anatara nilai terendah sampai dengan nilai tertinggi adalah 90. Jadi jika diinterpretasikan sebagai berikut:

a. Sangat efektif, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 98-120 b. Efektif, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 76-97

c. Kurang efektif, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 53-75 d. Tidak efektif, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 30-52

Jika dalam bentuk prosentase

Nilai terendah = 30 X 100% = 25% 120

Nilai Tertinggi = 120 X 100% = 100% 120

Selisih antara nilai terendah sampai dengan nilai tertinggi adalah 75%, Jadi jika diinterpretasikan dalam bentuk prosentase sebagai berikut: a. Sangat efektif, jika nilai yang diperoleh berada pada interval

82%-100%

b. Efektif, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 63%-81% c. Kurang efektif, jika nilai yang diperoleh berada pada interval

44%-62%

d. Tidak efektif, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 25% - 43%


(37)

A. Gambaran Implementasi MBS

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 10 Nopember terletak di jalan H. Ilyas No.27 Kelurahan Petukangan Utara Kecamatan Pessanggrahan Kota Administrasi Jakarta Selatan, SMP 10 Nopember didirikan pada tahun 1986 dengan luas + 911 M2 . Tanah tersebut merupakan tanah wakaf dari H. Ali Hasan MZ (Pendiri), H. Mansur (Orang Tua Pendiri), dan H. Zumar (kakek Pendiri). Adapun kepemimpinan di SMP 10 Nopember Jakarta, sejak awal berdiri hingga sekarang adalah sebagai berikut:

a. Dra. Nunin Ainawati (1986-1989) b. Sudjilawati, B.A (1989-1996) c. Nurefendi, B. A (1996-2002) d. Hj. Ainul Barkah, S.Ag (2002-2006)

e. Romi, S.Pd (2006-Sekarang)

Adanya kebijakan pemerintah tentang desentralisasi juga memberikan dampak pada lembaga pendidikan. Salah satunya SMP 10 Nopember Jakarta mulai menyadari pentingnya menerapkan MBS sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan mutu lembaganya, untuk itu sejak tahun 2006 SMP 10 Nopember mulai menerapkan MBS. Meskipun banyak masih ada kekurangan kebijakan tersebut namun kebijakan ini memberikan keleluasaan dalam semua aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan oleh sekolah.

Dalam penerapan MBS sebagai salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan, SMP 10 Nopember melakukan beberapa langkah strategis, diantaranya dengan menyusun visi sebagai acuan dalam mencapai tujuan dan beberapa misi sebagai langkah mencapai visi dan tujuan lembaga pendidikan adapun visi SMP 10 Nopember Jakarta adalah:

“Menjadi Sekolah Menengah Pertama Berakhlak Mulia, Berilmu dan Kreatif di Bidang Akademik.”


(38)

Dalam rangka mencapai visi yang telah dirumuskan sekolah juga menyusun misi. Adapun misi SMP 10 Nopember Jakarta adalah:

1. Menanamkan akhlak mulia sedini mungkin dan melaksanakan proses pembelajaran secara optimal serta mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik.

2. Membiasakan bersikap sopan santun terhadap guru, orangtua dan sesama

3. Melaksanakn proses pembelajaran dengan metode yang aktif, kreatif dan menyenangkan.

4. Membiasakan peserta didik mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. 5. Melaksanakan pengembangan potensi yang dimiliki peserta didik. 6. Membiasakan diri untuk hidup bersih dan sehat.

Penyusunan visi dan misi tersebut adalah merupakan komitmen yang bersama-sama ingin diwujudkan oleh SMP 10 Nopember dalam mencapai tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan lembaga (SMP 10 Nopember Jakarta) pada khususnya, adapun tujuan-tujuan yang dirumuskan SMP 10 Nopember diantaranya adalah:

1. Meraih nilai rata-rata minimal 6.01 dalam ujian nasional 2. Lulus Ujian Nasional dan Ujian Sekolah 100 %.

3. Tertampung di SMA/SMK Negeri 45 % 4. Taat melaksanakan ibadah

5. Juara lomba Iptek dan Imtaq

6. Juara kejuaraan olahraga, seni dan bidang ekstrakurikuler lainnya 7. Bebas tawuran pelajar dan penggunaan NAPZA

8. Dapat hidup layak di lingkungan masyarakat

Adapun hasil yang dirasakan adanya perbedaan setelah implementasi MBS di SMP 10 Nopember Jakarta yang meliputi otonomi sekolah, partisipasi masyarakat, dan sarana-prasarana sebagai berikut:


(39)

1. Otonomi Sekolah

Penerapan MBS memberikan otonomi yang luas kepada sekolah, sekolah mengelola dirinya secara mandiri, kreatif, dinamis dan memiliki inisiatif serta inovatif dalam mencapai tujuan sekolah. Lebih lanjut tentang perbedaan otonomi sekolah sebelum dan sesudah implementasi MBS ada pada tabel berikut:

Tabel 3

Otonomi Sekolah Sebelum dan Sesudah Implementasi MBS

Sebelum MBS Sesudah MBS

Peningkatan pengelolaan sekolah Perekrutan dan penempatan kerja

(pemberian beban mengajar) guru kurang sesuai dengan latar belakang akademik dan kemampuan

Pembekalan tenaga pendidik hanya

mengandalkan kegiatan dari pusat, sehingga pendidik merasa kurang terwadahi. Masih sedikit sekali pendidik yang diikutsertakan dalam pelatihan/pengembangan (workshop).

Setelah penerapan MBS, SMP 10 Nopember Jakarta mulai mengacu pada Standar Nasional Pendidikan, berkaitan dengan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Pemberian tugas dan beban mengajar disesuaikan dengan kulaifikasi, kompetensi maupun sertifikasi pendidik.

Dalam meningkatkan mutu, para pendidik maupun tenaga kependidikan diikutsertakan pelatihan dan

pengembangan (workshop), maupun kegiatan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), lembaga-lembaga ini sudah diterpakan di masing-masing sanggar maupun subrayon, jadi tidak mengandalkan kegiatan/pelatihan dari Rayon.


(40)

Melakukan perencanaan program, pelaksanaan sampai dengan evaluasinya Sebelum adanya otonomi sekolah, Sekolah

hanyalah sebagai pelaksana saja, sedangkan segala sesuatunya ditentukan oleh satuan atasan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, materi ujian, penggandaan materi ujian, hingga dalam memberikan penilaian.

Sekolah mempunyai otonomi yang luas, saat ini sekolah dapat melakukan ujian sendiri, memeriksa sendiri, dan

memberikan penilaian sendiri, kemudian sekolah memberikan laporan hasil ujian ke satuan atasan.

Melakukan pengambilan keputusan dan kebijakan sesuai dengan kebutuhan Dengan sistem kebijakan terpusat sebagian

besar guru tidak merasa puas, bukan hanya masalah ujian saja, masalah manajemen sekolahpun demikian, selama ini guru jarang dilibatkan dalam menentukan kebijakan sekolah.

SMP 10 Nopember Jakarta telah melibatkan semua elemen secara aktif dalam menentukan berbagai kebijakan untuk kepentingan sekolah, kepala sekolah, guru maupun komite terlibat secara langsung dalam menentukan kebijakan sekolah.

Sumber: Wawancara dengan kepala sekolah dan Studi Dokumentasi di SMP 10 Nopember Jakarta

2. Partisipasi Masyarakat

Masyarakat adalah elemen penting dalam menerapkan MBS di sekolah. Masyarakat akan memberikan reaksi dan respon secara langsung jika terjadi perubahan di dunia pendidikan. Komite sekolah mewadahi reaksi dan respon tersebut yang disampaikan masyarakat kemudian di salurkan kepada kepala sekolah untuk ditindak lanjuti.

Dengan adanya MBS masyarakat benar-benar dapat menjadi mitra sekolah, lebih lanjut tentang perubahan fungsi dan partisipasi masyarakat dengan adanya MBS diuraikan dalam tabel dibawah ini:


(41)

Tabel 4

Partisipasi Masyarakat Sebelum dan Sesudah Implementasi MBS

Sebelum MBS Sesudah MBS

Pelibatan masyarakat Sebelum MBS masyrakat hampir dikatakan

tidak memiliki akses ke sekolah, Seolah-olah menjadi sistem tertutup.

Setelah MBS diterapkan posisi masyarakat dalam organisasi sekolah mempunyai peranan penting. Masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga

masyarakat memiliki kepedulian dengan sekolah. Masyarakat diikut sertakan dalam pengambilan keputusan,

perencanaan kegiatan sekolah dan juga dalam mengembangkan sekolah. Komite sekolah dan peranannya di sekolah

Belum ada organisasi yang menampung aspirasi dan partisipasi masyarakat.

Sehingga masyarakat yang peduli terhadap pendidikan tidak mempunyai wadah untuk menyalurkan pendapat serta gagasan mereka.

Komite sekolah melibatkan masyarakat secara aktif, disamping sebagai wadah masyarakat yang peduli pendidikan komite juga mempunyai peranan dalam perencanaan atau pengambilan kebijakan di sekolah. Melalui komite sekolah masyarakat dapat memberikan masukan sesuai kemampuannya.

Sumber: Wawancara dengan kepala sekolah dan Studi Dokumentasi di SMP 10 Nopember Jakarta

3. Sarana dan Prasarana

Kebijakan Otonomi daerah yang diimplementasikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah melahirkan banyak perubahan-perubahan yang signifikan. Dalam bidang sarana dan prasarana banyak sekali kemajuan-kemajuan yang terjadi yang disebabkan yang mengetahui kekurangan dan kebutuhan pendidikan itu adalah


(42)

sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan tersebut diasumsikan dapat meningkatkan dan mengembangkan mutu pendidikan. Sejauh mana perubahan mengenai pengelolaan sarana dan prasarana di SMP 10 Nopember Jakarta sebelum dan sesudah MBS diuraikan dalam tabel berikut:

Tabel 5

Pengelolaan Sarana dan Prasarana Sebelum dan Sesudah Implementasi MBS

Sebelum MBS Sesudah MBS

Pengadaan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan sekolah Dalam pengelolaan sarana dan prasarana

sebelum MBS diterapkan, semua sarana dan prasarana diberikan oleh pemerintah

(bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah) diberikan langsung sudah dalam bentuk barang, misalnya saja buku pelajaran, alat-alat peraga (tata surya, kerangka manusia dan alat-alat praktek lainnya), maupun yang berupa peralatan olahraga (bola, net, matras dll).

Setelah penerapan MBS, Suku Dinas Pendidikan dasar (SUDIN DIKDAS) hanya menyetujui sarana dan prasarana yang diajukan sekaligus menerima laporan pertanggung jawaban dari sekolah. Misalnya saja buku pelajaran, sekolah menerima bantuan dari

pemerintah melaui Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang dikhususkan membeli buku pelajaran, yang

mengetahui buku pelajaran apa saja yang dibutuhkan adalah sekolah, sekolah kemudian membeli dari penerbit. Setelah itu LPJ dana tersebut dilaporkan kepada satuan atasan /SUDIN DIKDAS.

Pemanfaatan, Inventarisasi, dan Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah Pengawasan dilakukan oleh suku dinas, dan

pengelolaan diserahkan kepada sekolah tetapi melalui juknis yang telah ditentukan

Pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, pemerintah hanya memantau dan melakukan evaluasi


(43)

suku dinas. melalui pengawas paket dan suku dinas, serta terdapat komite sekolah ikut mengawasi pengelolaan sarana dan prasarana tersebut.

Sumber: Wawancara dengan kepala sekolah dan Studi Dokumentasi di SMP 10 Nopember Jakarta

Gambaran implementasi manajemen berbasis sekolah di SMP 10 Nopember Jakarta juga dapat dilihat dari:

1. Struktur Organisasi SMP 10 Nopember Jakarta

Sebagai lembaga formal SMP 10 Nopember Jakarta memiliki satu kesatuan komponen yang utuh dan terorganisir dalam melaksanakan program kerja dalam mencapai tujuan pendidikannya.

Struktur organisasi di SMP 10 Nopember Jakarta dapat dilihat dalam bagan dibawah ini:


(44)

(45)

Struktur organisasi tersebut menunjukan wewenang, tugas serta jalur komando dan koordinasi antara satu jabatan dengan jabatan diatasnya dan unit kerja dibawahnya. Tiap-tiap bagian dalam struktur organisasi dibekali tanggung jawab tertentu yang harus diselesaikan.

Adapun kepengurusan SMP 10 Nopember Jakarta Sebagai Berikut: Ketua Yayasan Sosial Pendidikan Islam : H. Ali Hasan MZ Al-Mu’awanah (YASPIA)

Kepala Sekolah : Romi, S.Pd

Wakil Kepala Bidang Kesiswaan : H. Zulfikri Al-Imani, S.Pd.I Wakil Kepala Bidang Kurikulum : Arman KS

Wakil Kepala Bidang Sarana dan Prasarana : Hj. Ainul Barkah, S.Ag Wakil Kepala Bidang HUMAS : Elly Asriyani, S.Pd

Kepala Tata Usaha : Nahrawi HNS

2. Kondisi Tenaga Kependidikan

Latar belakang pendidikan guru merupakan salah satu faktor penentu, guru yang memiliki latar belakang pendidijan tinggi dan sesuai dengan bidangnya serta menguasai disiplin ilmu pendidikan, mampu memberikan kualitas pembelajaran dan kinerja yang akan berdampak pada kualitas output yang dihasilkan dari lembaga pendidikan tersebut.

Dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 29 ayat 3 disebutkan bahwa Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki:

a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan

mata pelajaran yang diajarkan; dan c. sertifikat profesi guru untuk SMP/MTs1

Adapun daftar nama tenaga kependidikan SMP 10 Nopember selangkapnya terlampir.

1


(46)

3. Kondisi Peserta Didik

Keadaan siswa SMP 10 Nopember Jakarta 4 tahun terakhir (mulai dari tahun pelajaran 2006-2007 sampai dengan 2009/2010) adalah sebagai berikut:

Tabel 6

Kondisi Siswa/I SMP 10 Nopemeber Jakarta Empat tahun terakhir

Sumber: Tata Usaha SMP 10 Nopember Jakarta Tahun 2010 Jml.

Pendaftar Kelas I Kelas II Kelas III Jumlah

Tahun Ajaran Calon Siswa Baru Jml. Siswa Jml. Rombel Jml. Siswa Jml. Rombel Jml. Siswa Jml. Rombel Jml. Siswa Jml. Rombel

Th. 2006/2007 81 41 1 58 2 70 2 169 5

Th. 2007/2008 85 75 2 43 1 57 2 175 5

Th. 2008/2009 91 74 2 67 2 44 1 185 5

Th. 2009/2010 54 46 1 71 2 63 2 180 5

Tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah siswa di SMP 10 Nopember pada tahun pelajaran 2006/2007 sebanyak 169 siswa, kemudian mengalami peningkatan pada tahun pelajaran 2007/2008 yang jumlah siswanya sebanyak 175 siswa, kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun pelajaran berikutnya jumlah siswanya sebanyak 185 siswa. Pada tahun ajaran baru ini SMP 10 Nopember mengalami penurunan, jumlah siswanya sebanyak 180 siswa. Pada tahun 2009/2010 mengalami penurunan sedikit, tetapi hal ini perlu dianstisipasi dan dievaluasi kembali dengan mempertimbangkan bebrapa kemungkinan penyebab terjadinya penurunan jumlah siswa tersebut. Dengan demikian dapat dicegah semaksilam mungkin dan dapat diperbaiki melalui pemilihan alternatif yang tepat.

4. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)

Kegiatan belajar mengajar di SMP 10 Nopember Jakarta berlangsung mulai hari senin sampai dengan hari sabtu, SMP 10 Nopember Jakarta telah menerapkan jam masuk sekolah pada pukul 06.30 WIB sesuai dengan SK dari Gubernur DKI Jakarta,


(47)

sebelum memulai kegiatan belajar mengajar seluruh siswa diwajibkan membaca Surat Yasin beserta Sholawat yang telah ditentukan, dan KBM selesai Pada Pukul 12.25 WIB. Kecuali pada hari Jum’at KBM selesai pada Pukul 11.05 WIB.

Hampir setiap hari siswa-siswi SMP 10 Nopember diwajibkan mengikuti Shalat Dzuhur berjama’ah dan pada hari jum’at sebelum isatirahat siswa-siswi diwajibkan mengikuti shalat dhuha. Selain pembelajaran disekolah, peserta didik diberikan pembelajaran langsung dengan objek yang diteliti (karya wisata). Ada juga kegiatan ekstra kurikuler dan karya ilmiah diluar KBM .

5. Ekstrakurikuler

Selain KBM yang cukup padat di SMP 10 Nopember Jakarta diadakan bermacam-macam ekstrakurikuler yang diadakan untuk menyalurkan dan mengembangkan minat, bakat, potensi dan kreatifitas peserta didik. Kegiatan ekskul selengkapnya terlampir. 6. Sarana dan Prasarana

Walaupun belum sepenuhnya Sarana dan prasarana di SMP 10 Nopember dari tahun ketahun terus mengalami perubahan, mulai dari pengadaan perabot seperti meja, kursi, lemari dan perabotan lainnya, kemudian juga dari pengadaan buku dan alat pendidikan sedikit demi sedikit mulai terpenuhi. Walaupun SMP 10 Nopember Jakarta terbilang tidak terlalu luas bangunan dan fasilitas yang disediakan terbilang baik, ruang belajar nyaman, pendidik sudah melakukan pembelajaran yang menarik dibantu dengan infokus, internet dan alat peraga dan letak sekolah tidak terlalu dekat dengan jalan sehingga suasana sekolah dapat memberikan kenyamanan. Selengkapnya daftar sarana dan prasana terlampir.

B. Deskripsi, Analisis Data dan Penyajian Hasil Penelitian

Dalam deskripsi ini diuraikan beberapa informasi yang diperoleh melalui angket yang disebarkan kepada seluruh pendidik dan tenaga kependidikan sebanyak 17 orang responden dan 30 butir pernyataan yang mewakili keadaan yang diteliti. Penelitian MBS ini terdiri dari aspek otonomi sekolah, partisipasi masyarakat dan sarana prasarana.


(48)

a. Otonomi Sekolah

Tabel 7.1

Penyusunan Rencana Sekolah

Kategori Jawaban Frekuensi Prosentase

a. Selalu 9 52,94%

b. Sering 5 29,41%

c. Kadang-kadang 2 11,76%

d. Tidak Pernah 1 5,88%

Jumlah 17 100%

Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 52,94% responden menjawab selalu sekolah melakukan perencanaan melalui raker, 29,41% menjawab sering, 11,76% menjawab kadang-kadang, dan sebanyak 5,88% menjawab tidak pernah. Terlihat responden yang memilih jawaban selalu memiliki prosentase terbesar, ini berarti sekolah memang telah melakukan penyusunan rencana sekolah yang salah satunya melalui raker, namun perencanaan ini masih harus terus dioptimalkan karena masih ditemukan responden yang menjawab sering, kadang-kadang, dan tidak pernah.

Tabel 7.2

Rumusan Kebijakan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

Kategori Jawaban Frekuensi Prosentase

a. Selalu 7 41,18%

b. Sering 5 29,41%

c. Kadang-kadang 4 23,53%

d. Tidak pernah 1 5,88%

Jumlah 17 100%

Dalam kaitanya rumusan kebijakan sebagai upaya peningkatan mutu sebanyak 41,18% dari keseluruhan responden, yang menjawab sering, 29,41%, sebanyak 23,53% untuk jawaban kadang-kadang, dan 5,88% untuk yang menjawab tidak pernah. Dari data tersebut responden yang menjawab selalu memang telah memiliki prosentase terbesar bahwa sekolah merumuskan kebijakan yang dipandang mampu dalam meningkatkan mutu pendidikan, hanya saja masih perlu ditingkatkan hal ini karena masih banyak responden yang menjawab sering, kadang-kadang, dan


(49)

tidak pernah yang dapat menghambat pengambilan keputusan yang berujung pada penentuan kebijakan mutu.

Perihal kebijakan yang bermutu sekolah guru memiliki peran yang sangat penting, untuk mengetahui keterlibatan guru dalam penentuan kebijakan akan terlihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 7.3

Pelibatan Guru Dalam Penyusunan Kebijakan

Kategori Jawaban Frekuensi Prosentase

a. Seluruhnya 7 41,18%

b. Sebagian Besar 5 29,41%

c. Sebagian Kecil 5 29,41%

d. Tidak Satupun 0 0%

Jumlah 17 100%

Responden yang menjawab seluruh guru dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sebanyak 41,18%, yang menjawab sebagian besar 29,41%, yang menjawab sebagian kecil 29,41%, dan tidak ada responden yang menjawab tidak satupun. Masih ditemukan jawaban sebagian besar dan sebagian kecil saja guru yang dilibatkan dalam penyusunan kebijakan, ini berarti partisipasi guru dalam penyusunan kebijakan harus ditingkatkan agar penyusunan kebijakan benar-benar tepat dengan kondisi dan kebutuhan sekolah, namun jawaban dengan prosentase terbesar sudah pada jawaban seluruh guru telah dilibatkan dalam penyusunan kebijakan.

Tabel 7.4

Rekrutmen Tenaga Kependidikan Sesuai Kebutuhan Sekolah

Kategori Jawaban Frekuensi Prosentase

a. Selalu 10 58,82%

b. Sering 3 17,65%

c. Kadang-kadang 4 23,53%

d. Tidak Pernah 0 0%


(50)

Perihal rekrutmen Tenaga Kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan sekolah, jawaban dengan prosentase terbesar adalah sekolah selalu melakukan rekrutmen tenaga kependidikan sesuai kebutuhan sekolah, namun masih terdapat jawaban yang meskipun tidak besar prosentasenya tetap harus diperhatikan karena hal ini merupakan indikasi sistem rekrutmen tenaga kependidikan di SMP Nopember masih harus ditingkatkan.

Guru adalah salah satu tenaga pendidik yang ada di sekolah, setelah direkrut kemudian di tempatkan di sekolah sudah pasti memiliki tanggung jawab yang harus dilaksanakan, sejauhmana tanggung jawab yang diberikan kepada guru berkaitan dengan latar belakan akademik ini akan diuraikan pada tabel dibawah ini:

Tabel 7.5

Kesesuaian Tanggung Jawab dengan Latar Belakang Akademik Guru

Kategori Jawaban Frekuensi Prosentase

a. Sangat Sesuai 3 17,65%

b. Sesuai 11 64,71%

c. Kurang Sesuai 3 17,65%

d. Tidak Sesuai 0 0%

Jumlah 17 100%

Dari tabel di atas diketahui sebanyak 17,65% responden menjawab tanggung jawab guru sangat sesuai dengan latar belakang pendidikan, sebanyak 64,71% responden menjawab sesuai, 17,65% responden menjawab kurang sesuai, dan tidak ada responden yang menjawab tidak sesuai. Prosentase terbesar responden menjawab tanggung jawab yang diberikan sekolah kepada guru disesuaikan dengan latar belakang pendidikan, namun masih ada sebagian kecil responden yang menjawab kurang sesuai, meskipun prosentasenya kecil hal ini harus tetap diperhatikan karena pemberian tanggung jawab ini sangat berhubungan dengan proses dan hasil pekerjaan guru, jika pemberian tanggung jawab tidak sesuai dengan bidang kemampuan yang dimiliki, akan menghambat upaya pencapaian tujuan organisasi sekolah yang berdampak pada terhambatnya pencapaian tujuan pendidikan.


(1)

Tabel 9

Nilai Rata-rata Skor Penelitian

NS NH 40, 29 52 x 100% x 100% Aspek Nilai

Harapan (NH)

Nilai Skor

(NS)

X 100% Kategori Otonomi

Sekolah

13x4 = 52 685 : 17 = 40,29 x 100% = 77,48% Efektif Partisipasi Masyarakat

6x4 = 24 235 : 17 = 13,82 13, 82 24 = 57,58% Kurang Efektif Pengelolaan Sarana Prasarana

11x4 = 44 491 : 17 = 28,88

28, 88 44 = 65,64%

Efektif

Jumlah Rata-rata Keseluruhan Aspek 77,48 + 57,58 + 65,64

3

66, 9%

Efektif

Dari Hasil di atas, dapat dijelaskan bahwa nilai rata-rata skor penelitian dari 3 aspek, yakni ”pertama” Otonomi Sekolah nilai harapan 52, nilai skor 40,29 maka dari hasil perhitungan diperoleh angka 77,48%dan termasuk kedalam kategori efektif, ”kedua” Partisipasi Masyarakat nilai harapan 24, nilai skor yang diperoleh 13,82 maka, dari hasil perhitungan diperoleh angka 57,58% yang masuk kedalam kategori kurang efektif, ”ketiga” Pengelolaan Sarana dan prasarana nilai harapan 44, nilai skor 28,88 maka, dari hasil perhitungan diperoleh angka 65,64% yang masuk kedalam kategori efektif, Sehingga secara keseluruhan dari seluruh rata-rata aspek tingkat effektifitasnya mencapai 66,9% yang berarti efektif.

Dengan demikian dari hasil analisis dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum implementasi MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta


(2)

(3)

pada bab IV, dapat disimpulkan bahwa Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah SMP 10 Nopember Jakarta adalah sebagai berikut:

1. Dilihat dari aspek otonomi sekolah implementasi MBS dinyatakan efektif, dari aspek partisipasi masyarakat dinyatakan kurang efektif dan dari aspek pengelolaan sarana dan prasarana dinyatakan efektif. 2. Berdasarkan aspek otonomi sekolah, implementasi MBS dinyatakan

efektif, hal ini erat kaitannya dengan penyusunan rencana sekolah, rumusan kebijakan, pelibatan guru dan staf dalam penyusunan kebijakan, rekrutmen, penempatan dan pengembangan tenaga kependidikan, pengelolaan KBM dan pengembangan minat, bakat dan kemampuan siswa di SMP 10 Nopember Jakarta hal ini ditunjukkan dengan memperoleh angka rata-rata secara keseluruhan aspek yang diteliti mencapai 77,48 %.

3. Berdasarkan aspek partisipasi masyarakat, implementasi MBS dinyatakan kurang efektif, hal ini erat kaitannya dengan pelibatan masyarakat dalam kegiatan sekolah maupun dalam pengambilan keputusan, serta peranan komite sekolah dalam hal pengelolaan sarana dan prasarana di SMP 10 Nopember Jakarta yang kurang efektif hal ini ditunjukkan dengan memperoleh angka rata-rata secara keseluruhan aspek yang diteliti mencapai 57,58 %.

4. Kemudian berdasarkan aspek pengelolaan sarana dan prasarana, implementasi MBS dinyatakan efektif, hal ini erat kaitannya dengan otonomi diberikan kepada sekolah serta keterlibatan guru dan karyawan dalam hal pengadaan, penempatan, pemanfaatan, inventarisir, pemeliharaan, sampai dengan perbaikan di SMP 10 Nopember Jakarta hal ini ditunjukkan dengan memperoleh nilai rata-rata secara keseluruhan aspek yang diteliti mencapai 65,64 %.


(4)

efektif.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan diatas, penulis memberikan saran-saran dalam penerapan MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta, antara lain:

1. Pemanfaatan otonomi yang diberikan kepada kepala SMP 10 Nopember Jakarta agar dapat lebih dioptimalkan, semua kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekolah agar dapat lebih diperhatikan, dan juga dalam penyusunan program-program sekolah, pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan, perekrutan, penempatan, maupun pengembangan guru dan karyawan, serta pengembangan minat, bakat dan keterampilan siswa agar lebih dimaksimalkan, dengan demikian mutu pendidikan di SMP 10 Nopember akan semakin menigkat.

2. Hendaknya perlu adanya komitmen dari seluruh elemen sekolah (kepala sekolah, guru, staf maupun komite sekolah) agar dapat lebih disearahkan langkah dan strategi yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan serta masyarakat/komite sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam penyusunan program/rencana pengembangan sekolah maupun dalam kegiatan-kegiatan sekolah.

3. Kemudian dari aspek sarana dan prasarana sekolah agar lebih menjadi perhatian pihak sekolah mulai dari tahap pengadaan sampai dengan tahap perbaikan dari jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, sehingga pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dapat terlaksana dengan baik dan adanya sarana dan prasarana yang disediakan untuk memenuhi dan mengembangkan metode pembelajaran yang menarik, maupun sarana dan prasarana dalam mengembangan minat, bakat dan kreatifitas siswa.


(5)

pada bab IV, dapat disimpulkan bahwa Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah SMP 10 Nopember Jakarta adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan MBS di SMP 10 Nopember Jakarta sudah baik hanya saja perlu adanya pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta. 2. Penerapan MBS dilihat dari otonomi sekolah sudah baik, hal ini

terlihat dari perekrutan dan penempatan kerja dalam hal ini pemberian beban mengajar sudah sesuai dengan latar belakang pendidikannya maupun kompetensi pendidik, dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) yang cukup baik.

3. Perubahan yang terjadi yaitu adanya komite sekolah didalam struktur organisasi sekolah. Dalam sistem penyelenggaraan sekolah, mau tidak mau harus melibatkan masyarakat secara aktif tetapi secara proporsional. Partisipasi Masyarakat di SMP 10 Nopember masih perlu adanya peningatan kerjasama yang baik antara pihak sekolah dan komite sekolah, sebab salah satu komponen dari Implementasi MBS adalah adanya partisipasi masyarakat.

4. Dilihat dari sarana dan prasarana implementasi MBS di SMP 10 Nopember Jakarta sudah cukup baik, walaupun masih terdapat banyak kekurangan. Dalam hal pengadaan sarana dan sarana, yang diperlukan adalah sebuah perencanaan yang baik (jangka pendek maupun jangka panjang), pemanfaatan, sampai dengan pelibatan seluruh elemen sekolah untuk dapat melakukan pemeliharaan sarana dan prasarana tersebut.


(6)

memberikan saran-saran dalam penerapan MBS dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMP 10 Nopember Jakarta, antara lain:

1. Pemanfaatan otonomi atau keleluasaan yang diberikan kepada sekolah agar dapat lebih dioptimalkan, seperti penyusunan program-program sekolah, perekrutan, penempatan dan pengembangan guru, maupun pengembangan minat, bakat dan keterampilan siswa agar lebih dimaksimalkan kembali, dengan demikian mutu pendidikan di SMP 10 Nopember akan semakin menigkat.

2. Perlu adanya komitmen dari seluruh elemen sekolah agar dapat lebih disearahkan langkah dan strategi yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan serta masyarakat/komite sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam penyusunan program/rencana pengembangan sekolah maupun dalam kegiatan-kegiatan sekolah.

3. Sarana dan prasarana yang diperlukan sekolah agar lebih diperhatikan kembali, sehingga pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dapat terlaksana dengan baik dan adanya fasilitas yang disediakan untuk memenuhi dan mengembangkan metode pembelajaran yang menarik, maupun pengembangan minat, bakat dan kreatifitas siswa.


Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAM (MBS) DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI SDN KAUMAN 1 MALANG

0 7 17

KEMAMPUAN KEPALA SEKOLAH DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH (MPMBS)

0 5 170

PENGARUH PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH TERHADAP MUTU PENDIDIKAN Pengaruh Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Terhadap Mutu Pendidikan SD Negeri 01 Popongan Tahun 2015/2016.

0 1 14

PENGARUH PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH TERHADAP MUTU Pengaruh Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Terhadap Mutu Pendidikan SD Negeri 01 Popongan Tahun 2015/2016.

0 1 15

IMPLEMENTASI MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH DALAM PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN DI SMP NEGERI 6 KISARAN KABUPATEN ASAHAN.

0 1 27

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DALAM PENINGKATAN MUTU PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH DASAR NEGERI 020263 KOTA BINJAI.

0 0 28

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Agama Islam (Studi Kasus di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta Tahun 2011/2012).

0 0 12

PEMBERDAYAAN DEWAN SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN : Studi Analisis Terhadap Implementasi Konsep Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah Dasar Negeri Se-Kabupaten Majalengka.

0 1 66

EVALUASI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI SMK NEGERI 1 CIMAHI.

0 1 37

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS MADRASAH (MBM) DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI MADRASAH ALIYAH NEGERI TOLITOLI

0 1 121