Masalah-masalah masa tua [hari tua] pada rohaniawan : sebuah studi deskriptif - USD Repository
Masalah-Masalah Masa Tua (Hari Tua) Pada Rohaniwan
Sebuah Studi Deskriptif
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Nama : Andreas Ari Kristiyanto
NIM : 009114047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
Masalah-Masalah Masa Tua (Hari Tua) Pada Rohaniwan
Sebuah Studi Deskriptif
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Nama : Andreas Ari Kristiyanto
NIM : 009114047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
Motto
Pabila keterbatasan-keterbatasanku diambil dariku, maka hidupku akan sangat bahagia tetapi tanpa makna………… Tuhan memang menciptakan sesuatu indah pada saatnya,
tetapi kadang kita harus belajar untuk membuatnya indah pada
saat ini……….Kala gerimis membasuh bumiku, Klaten, akhir April 2007 J. Ari Andreas Kristiyanto
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk: ¾
Sang Khalik, Penguasa dan Empunya alam beserta kehidupan yang ada ¾ Kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku
¾ Isteri dan anakku yang tercinta Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan-kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.Yogyakarta, Mei 2007 Penulis.
ABSTRAK
Andreas Ari Kristiyanto (2007), Masalah-Masalah Masa Tua (Hari Tua) Pada
Rohaniwan; Sebuah Studi Deskriptif . Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.Penelitian ini mendeskripsikan mengenai tahapan perkembangan pada rohaniwan di masa tua menurut Erikson, yaitu: generativitas lawan stagnasi dan integritas atau keutuhan ego lawan keputusasaan di dalam menghadapi masalah-masalah masa tua yang diungkapkan oleh Collins, yaitu: Masalah fisik, masalah mental, masalah ekonomi, masalah harga diri, masalah hubungan antar pribadi, dan masalah hidup rohani dan pandangan eksistensial, pada diri rohaniwan. Dilihat lebih lanjut apakah masalah-masalah masa tua yang dialami membuat para rohaniwan tetap dapat mencapai tahap generativitas dan integritas atau sebaliknya masalah-masalah masa tua yang ada membuat para rohaniwan merasa putus asa di dalam sisa hidupnya. Rohaniwan yang dipakai sebagai subyek di dalam penelitian ini adalah para rohaniwan yang menggunakan corak hidup selibat di dalam hidupnya dan sudah memasuki usia tua (>55 tahun). Mereka adalah: pastor, bruder, dan suster.
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap enam rohaniwan, mereka semua menyatakan mengalami masalah dengan fisik dan mental. Lima rohaniwan menyatakan mengalami masalah dengan harga dirinya dan dua rohaniwan menyatakan mengalami masalah dengan hidup rohaninya. Sedangkan untuk masalah ekonomi dan hubungan antar pribadi, keenam rohaniwan menyatakan tidak ada masalah dengan hal tersebut.
Para rohaniwan juga menyatakan dapat mencapai generativitas. Mereka menekankan bahwa di usia tua mereka masih dapat melakukan karya dan mengemban tugas perutusan tertentu. Di akhir wawancara, para rohaniwan juga menyatakan dapat mencapai suatu keutuhan atau integritas ego. Mereka menyatakan dapat menerima dirinya di usia tua dengan segala perubahan dan masalah yang ada. Kata Kunci: Rohaniwan, selibat, masalah-masalah masa tua, generativitas, dan keutuhan atau integritas ego.
ABSTRACT
Andreas Ari Kristiyanto ( 2007), The Problems of Aging at The Clergies; A Descriptive Study. Psychology Majors, Psychology Faculty, University of Sanata Dharma, Yogyakarta
This research is describing about the growth step of the clergies in their old according to Erikson, that is: generativity versus the stagnation and integrity or ego perfection versus the desperation in facing the problems of aging which explained by Collins, that is: Problem of physical, problem of mental, problem of economics, problem of self-esteem, interpersonal problem, and problem of religious and the existential life of the clergies them self. Seen furthermore are the problems of aging made the clergies still reach the generativity and the integrity or ego perfection or the contrary the problems of aging made the clergies fell the desperation in the rest of their life. The clergies used as subject in this research are all clergies using pattern live the celibacy in their life and have entered the old age (> 55 year). They are: pastors, brothers, and sisters.
From the interview result from the six clergies, they were telling to experience of the problem with the physical and mental. Five clergies were telling to experience of the problem with self-esteem and two clergies were telling to experience of the problem with their religious. While to the problem of economics and interpersonal, all clergies were telling have no problem with the mentioned.
The clergies also told that they can reach the generativity. They emphasized that in the old period they still do something and have certain courier duty. In the final interview, all clergies also told they can reach perfection or ego integrity. They told that they can accept them self in old period with all existing problems and changes. Keyword: Clergies, celibacy, problems of aging, generativity, and perfection or ego integrity.
Kata Pengantar
Sekiranya tidak banyak kata yang terucap, selain puji dan syukur kepada Tuhan atas segala rahmat dan penyertaan-Nya kepada penulis, khususnya selama penulis menyelesaikan proses belajar di fakultas psikologi universitas Sanata Dharma dan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini pula penulis akan menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Allah Bapa di surga. Untuk segala rahmat dan mukjizat yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat dan pikiranku.
2. Bunda “Mahadewi” Maria untuk keajaiban doa novena dan rosarionya. Terima kasih Bunda…
3. Pak Eddy Suhartanto, S.Psi. Msi. Selaku dekan fakultas psikologi, universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Dr. A, Supratiknya. Matur nuwun untuk semua bimbingannya pak… 5.
Pa Gi, mas Mudji “Rooney”, mas Gandung, mas Doni dan mbak Nanik 6. Pa’ Budi Haryono dan Ma’ Endang Lestari. Terima kasih untuk segala cinta kasih dan sayangnya selama ini. Maaf pabila Andre sering menyusahkan bapak dan mamah… 7. Mas Felix dan Mba Nina sekelurga…terima kasih untuk dukungan dan cintanya kepada adik kalian yang paling ragil dan nakal ini.
8. Bintang Adrian Arraya Putra Kristiyanto, terima kasih telah menjadi “bintang” dalam hatiku. Menunjukkan jalan yang benar diantara kesulitan dan rintangan yang ada. Yopie Arie Wahyuni, terima kasih masih mau menemani di dalam proses yang tidak menyenangkan ini. Maaf apabila aku belum bisa memberikan yang terbaik bagi kalian… 9. Simbah A. Partono (Alm) dan ibu Partono. Simbah Andik (Alm) dan bu Andik
(Alm). Matur nuwun kung, matur nuwun buk…untuk semua kasih sayang dan doa-doanya.
10. Semua pak dhe dan bu dhe. Oom-oom dan tante beserta keluarga dan kakak- kakak, adik-adik, dan semua keponakan. Terima kasih untuk doa dan dukungannya.
11. Para Punggawa Wong 5 dan Konco 5nya: Kang Ucp-Tante Poe, Adri “si Pred”- Mbak Anggit, Hari-Mbak Mitha, dan Bint “Gubrat”. Terima kasih untuk saat-saat bersamanya di dalam usaha mencari makna yang ada.
12. Teman-teman angkatan 2000: Dion-Tiwuk, Reenee, Ita, Melanie, Monic, Ellen, Agung “Onthel”, Kenny. Widya, Thompson, Musda, Doni Maradona, Wiwied, Vicky “Kuda”, dan semua yang tidak dapat kusebut satu-persatu. Untuk semua kakak tingkat, Reni Wulansari dan Ninik Mediawati, dan semua adik-adik tingkat.
13. Pejabat 49A: Sura “Cmx” Dal, Ari Grandonk, Djarwo, dan semua pejabat lainnya.
Terima kasih untuk saat-saat cerianya.
14. Keluarga besar Paguyuban Keluarga Medan Utama Longewu. Terima kasih untuk saat-saat bersama di kawah candradimuka.
15. Felix “si Kucing yang Bodoh” Risada dan Monic, Brian, Didik “Hewan” Handoko, Benny Degleng, Turgidus “Adi” Zembronk, Guruh Pradito, dan Kiki serta semua kumpulan orang-orang Nyropho lainnya. Thanks untuk flash disknya Lix….Untuk semuanya, kapan kita kumpul-kumpul lagi dan berbagi KeNyrophoan? 16. Teman-teman crew Deket rumah, Movie Box Coffeeshop, Cheers, dan Zha-Zha Coffeeshop. Terima kasih untuk pengalaman yang ada meski hanya sejenak.
17. Temen-temen kelompok 4 KKN angkatan 27. Bagaimana kabar kalian semua? 18.
Btp Tmt “Jejem” Black Toncong. Untuk keceriaan dan sebagai media katarsis selama aku bosan mengetik skripsi.
19. Ade AE 5943 AG dan pendatang baru Jhony AB 3572 DY. Sudah menjadi “kaki- kakiku” mempermudah aku ke mana-mana.
20. The last but not least, para lajuners, khususnya Yogya-Klaten p.p. Membuat aku semangat dan tidak kesepian dalam perjalanan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………..... i HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………...iii MOTTO………………………………………………………………………. iv HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………… .v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………vi ABSTRAK…………………………………………………………………….vii
ABSTRACT ……………………………………………………………………. viii
KATA PENGANTAR………………………………………………………... .ix DAFTAR ISI………………………………………………………………….. xi
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………….1 A. Latar Belakang Masalah..………………………..………………....1 B. Rumusan Masalah ……………………………….…………………4 C. Tujuan Penelitian ………………………………..…………………5 D. Manfaat Penelitian .………………………………………………...5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………7 A. Rohaniwan..……………………………………………………..…..7 B. Selibat…………….……………………………………………….....8 C. Masa Tua………. …...……………………………………………...13 D. Rohaniwan dan Masa Tua..……………………….………………....23
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………………......……………….....35 A. Desain Penelitian ………………………………...……………….....35 B. Fokus Penelitian….. ……………………………...………………….37 C Responden Penelitian...…………………………...……………….....38 D. Metode Pengambilan Data...……………………...……………….....39 E. Pemeriksaan Keabsahan Data..…………………………………….....41
1. Kredibilitas.…………………………………………………….....41
2. Dependability ………………………………………………….....42
F. Analisis Data …………………………………….……………….......43
1. Transkrip Verbatim……………………………………………….44
2. Koding…………………………………………………………….44
3. Analisis Isi………………………………………………………..45
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …...…………………47 A. Pelaksanaan Penelitian.…………………………..……………….....47
1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian….……...…………………47
2. Waktu dan Tempat Penelitian..………………..…………………48
B. Hasil Penelitian...…………………………………………………….49
C. Pembahasan…………………………………………………………..73
BAB V. PENUTUP ………………………………………….…………………82 A. Kesimpulan ………………………………………………………….82 B. Saran ……………………………………………...………………….84
1. Bagi Peneliti Selanjutnya …………………….………………….84
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………86 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini banyak sekali pilihan yang dapat diambil untuk
mengaktualisasikan diri di dalam mewarnai lembaran hidup seorang manusia, salah satunya adalah selibat. Selibater atau orang yang memilih corak hidup selibat (tidak menikah) selama hidupnya, memilih corak hidup ini karena mereka meyakini adanya suatu esensi atau makna yang dapat dicapai.
Hidup selibat secara umum sangat identik dengan kaum rohaniwan Katolik, seperti biarawan ataupun biarawati. Namun, tidak tertutup kemungkinan bagi orang awam untuk memilih jalan hidup sebagai seorang selibater, karena pada dasarnya, pilihan hidup adalah bebas.
Dalam sejarah Gereja Katolik sendir, kehidupan selibat banyak sekali dikupas seiring dengan perkembangan Gereja, dimulai dari jaman Gereja kuno, dilanjutkan konsili Lateran, diikuti oleh konsili Trente, kemudian juga ada masa pencerahan revolusi Yofisme, dan sampai pada akhirnya ketika konsili Vatikan II diadakan pada tahun 1962-1965 (dalam Kristiyanto, 1999). Semua konsili yang diselenggarakan oleh Gereja tersebut membahas mengenai pemaknaan kehidupan selibat yang lebih mendalam, mulai hanya yang tidak menikah (hidup sendirian, seorang diri) sampai pada kesadaran bahwa model hidup yang dipilih untuk mengusahakan dirinya supaya tetap murni perawan (tidak melakukan hubungan penyerahan diri secara total. Kaum rohaniwan tersebut percaya bahwa ada nilai- nilai yang sangat berharga yang dapat dicapai dengan mengusahakan hidup murni (dalam Kristiyanto, 1999).
Sebagaimana lazimnya seseorang pasti akan menjadi tua seiring dengan bertambahnya usianya. Ada beberapa batasan usia yang dipakai untuk menggolongkan seseorang termasuk dalam kategori usia lanjut. Monk (2001) misalnya, mengatakan bahwa usia lanjut atau usia tua dimulai pada usia 65 tahun.
Hurlock (1980) menyebutkan usia 70 tahun sebagai awal dari usia lanjut. Sedangkan Neugarten (dalam Tavipamartiwi, 2002) mengambil kesimpulan usia 60 tahun sampai dengan usia 70 tahun sebagai usia tua dari hasil penelitian yang dia lakukan.
Proses menjadi tua atau senescence (dari bahasa latin senescere) biasanya akan membawa beberapa kesulitan di dalam diri seseorang. Collins (dalam Widjojo, 2000) menyebutkan ada 6 (enam) sumber gangguan pada masa usia lanjut. Fisik merupakan salah satu tanda yang sangat jelas terlihat ketika seseorang memasuki usia lanjut. Rambut yang semakin memutih dan berkurang, gerakan yang melamban, dan energi yang menurun menjadi tanda yang memperjelas. Selain menyebut faktor fisik Collins juga menyebut mental, ekonomi, hubungan antar pribadi, harga diri serta hidup rohani dan pandangan eksistensial sebagai sumber gangguan yang lain.
Ditinjau dari peran sosialnya, orang yang lanjut usia sudah tidak lagi terlibat secara maksimal dalam sebuah organisasi, atau kegiatan kemasyarakatan. dengan yang muda sebagai generasi penerus dan terkadang mereka juga tidak diikut sertakan dalam perkara-perkara khusus. Menurut Hurlock (1980) hal ini dapat menimbulkan suatu masalah pada diri lansia. Pergantian kaum tua oleh kaum muda dapat menimbulkan kesalah pahaman. Para lansia dapat merasa bahwa mereka tidak berarti lagi bagi orang lain. Akibatnya, para lansia tidak lagi mempunyai ketertarikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Peran mereka di dalam masyarakat semakin berkurang dan secara emosional pun lansia sudah tidak lagi terlibat.
Hal semacam ini tidak tertutup pula bagi para rohaniwan. Segala masalah maupun kemunduran fisik dan psikis akan berpengaruh pada kemampuan mereka dalam berkarya, menjalin relasi dengan rekan pastor lainnya, maupun dengan umatnya. Dalam kehidupan sosialnya, post-power syndrome sekiranya dapat menghantui para pator ketika dirinya hendak memasuki usia lanjut, yaitu berkurangnya paranan dalam keluarga atau masyarakat (Rianto, 1982). Para pastor merasa bahwa pelayanannya sudah tidak maksimal lagi ataupun juga sudah tidak dibutuhkan lagi oleh umat (dalam Sudiarjo, 2005). Hal ini dapat terkait juga dengan harga diri. Ketika pastor kepala akan digantikan oleh yuniornya, ketika pastor idola sudah mulai ditinggalkan oleh umatnya, ataupun ketika seorang pastor diminta untuk istirahat dari karyanya dan lain sebagainya.
Selain itu, di dalam diri seorang rohaniwan yang akan memasuki masa tua ada konflik seperti yang diungkapkan oleh Erikson yaitu generativitas vs stagnasi (dalam Santrock, 2002). Permasalahan yang ada pada diri rohaniwan selibat merasa tidak dapat membentuk dan membimbing umat, anak didik dimana dia selama ini berkarya. Dengan segala kemunduran fisik maupun mentalnya, seorang pastor merasa bahwa dirinya memang sudah tidak berguna, tidak dapat berperan dalam pengembangan Gereja. Hal ini berimbas terhadap pemenuhan eksistensi diri dalam persiapannya menjalani usia tua.
Ada suatu alternatif yang ditawarkan oleh Hall dan Lindzey (dalam Tavipamartiwi, 2002) dalam menghadapi masalah yang timbul pada usia lanjut, yaitu dengan cara mencapai integritas. Untuk dapat mencapai integritas individu harus dapat menerima semua kegagalan dan keberhasilan selama hidupnya serta dapat memelihara dan mempertahankan gaya hidupnya tersebut dari berbagai potensi ancaman.
Masalah di hari tua atau masa tua memang tidak dapat dihindari. Namun, yang terpenting di sini adalah bagaimana mempersiapkan diri di dalam menerima segala perubahan yang terjadi di masa tua termasuk masalah-masalah yang ada supaya akhirnya masalah-masalah yang ada di masa tua tidak menghalangi di dalam mencapai suatu integritas atau keutuhan ego.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dicari jawabnya dalam penelitian ini adalah: Apakah masalah-masalah masa tua yang ada berpengaruh terhadap rohaniwan selibater di dalam upayanya mengatasi krisis tahapan perkembangan di usia tua menurut Erikson, yaitu mencapai generativitas dan
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan masalah-masalah masa tua yang ada atau yang dialami oleh para rohaniwan atau hal-hal apa sajakah yang menjadi masalah bagi para rohaniwan, yang nota bene selibat seumur hidupnya, dalam menghadapi masa tua di dalam kesendiriannya (tanpa memiliki keluarga yang dia bangun sendiri).
Manfaat Teoretis Memberikan suatu tambahan wacana bagi dunia psikologi, khususnya mengenai pemahaman tentang masalah-masalah yang dialami oleh para rohaniwan ketika mereka sudah memasuki masa tua pada rentang waktu kehidupan mereka.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini, para rohaniwan menjadi lebih terbuka terhadap segala bentuk masalah yang mungkin akan menimpa diri mereka ketika memasuki masa tua. Selain itu, para rohaniwan juga diharapkan mencermati hal-hal yang sekiranya dapat menjadi sumber permasalahan bagi mereka ketika mereka sudah memasuki masa tua yang akan dibahas di dalam penelitian ini.
Dengan mengerti dan memahami semua hal di atas, para rohaniwan hendaknya lebih mencermati segala konsekuensi yang ada ketika mereka persiapan diri dengan lebih matang guna menghadapi masa tua di dalam rentang kehidupan selibatnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rohaniwan Rohaniwan diartikan sebagai orang yang mementingkan masalah kerohanian
daripada hal lain atau diartikan juga sebagai orang yang ahli dalam hal kerohanian (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat kita katakan bahwa setiap orang yang memiliki konsentrasi lebih mendalam dalam bidang rohani, apapun agama dan kepercayaannya, dapat kita sebut sebagai rohaniwan, seperti pastor, kyai, biksu, suster, ataupun juga bruder. Orang- orang tersebut menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk belajar dan mendalami ajaran agama yang mereka yakini.
Seorang rohaniwan tidak hanya unggul di dalam pengetahuan tentang kehidupan spiritual saja. Ia juga selalu mengolah di dalam batinnya makna kehidupan dan tingkah lakunya sehari-hari. Maka di dalam memaknai kehidupan ataupun memandang setiap peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak hanya memandang secara permukaan dan apa adanya. Para rohaniwan terbiasa untuk menyikapi segala sesuatu dengan pandangan reflektif, melihat apa makna yang terkandung di dalam setiap peristiwa. Hal itu tampak di dalam tingkah laku mereka yang selalu mengarah ke ketenangan batin dan selalu mengusahakan kedamaian hati di dalam dirinya (dalam Kristiyanto, 1999).
B.
Selibat
Kata selibat berasal dari bahasa Latin caelebs (caelobs), yang mempunyai arti tidak kawin. Dalam bahasa Indonesia kata caelebs ini dapat disinonimkan dengan kata wadat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Kata wadat sendiri dapat diartikan sebagai suatu corak hidup, dimana seseorang dengan sukarela dan sadar memutuskan untuk hidup membujang atau lajang sebagai cerminan dari keyakinannya sebagai insan di dunia. Corak hidup di sini mengandung maksud bahwa wadat mewarnai seluruh perjalanan hidup seseorang. Sedangkan seseorang yang memilih corak hidup semacam ini dengan sadar dan sukarela disebut selibater.
Dalam agama Katolik, istilah lain yang juga sering digunakan untuk mendefinisikan selibat adalah keperawanan. Kata keperawanan berasal dari bahasa Latin virginitas. Namun karena arti keperawanan lebih dekat dengan makna seorang wanita yang tidak menikah, maka istilah ini secara sempit hanya relevan bila digunakan untuk menyebut para biarawati (dalam Kristiyanto, 1999).
Pada dasarnya seseorang yang memutuskan untuk menjalani hidup selibat bukan berarti karena takut untuk menjalani kehidupan berkeluarga atau karena ada yang kurang lengkap didalam dirinya. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa seseorang lebih memilih hidup secara selibat menurut ajaran agama Katolik, yaitu (Van der Looy, 1996): a.
Selibat karena mengikuti Kristus “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena kerajaan
anaknya; akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada
zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Luk 18: 29-30)Sabda Yesus tersebut sangat memotivasi para selibater, walaupun dari sabda tersebut tampak bahwa menjalani corak kehidupan selibat tidaklah mudah.
Konsekuensi yang harus dihadapi berat, namun para selibater tidak gentar dan menyerah begitu saja. Mereka tetap mengusahakan corak kehidupan selibat yang telah dijalani dengan mengikuti Yesus dan meniru cara hidup-Nya. Para selibater sungguh-sungguh secara sadar dan rela menyerahkan hidup mereka seutuhnya kepada Tuhan.
Para selibater tidak hanya meniru hidup Yesus yang tidak menikah, melainkan kehidupan Yesus yang utuh. Yesus yang miskin, pengampun, sampai Yesus yang taat sampai mati di kayu salib demi menebus dan menguduskan umat manusia. Tujuan meniru Yesus tak lain supaya para selibater semakin bersatu dengan Kristus, karena dengan semakin bersatu dengan Yesus maka mereka akan bersatu dengan Allah sendiri.
“Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari
rahim ibunya dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain dan ada
orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena
Kerajaan Allah.” (Mat 19:12)Motif ini selalu berhubungan dengan cara tertentu memandang Allah dan dunia, sehingga seseorang yang memilih corak hidup selibat berdasarkan motif ini Suasana Kerajaan Allah sungguh-sungguh hadir dan berada dalam diri Yesus Kristus. Dengan corak hidup selibat, seseorang merasa mengabdi Tuhan dengan seluruh hatinya tanpa terganggu hal-hal yang lain seperti jika dia memilih corak hidup berkeluarga.
Perlu diperhatikan bahwa selibat tidak pernah boleh didasarkan atas kurangnya penghargaan terhadap hidup berkeluarga, walaupun sering dipandang bahwa cinta kepada manusia lebih rendah daripada cinta akan Tuhan. Tidak jarang pula dipahami bahwa cinta kepada sesama manusia dianggap sebagai penghambat cinta seseorang kepada Tuhan. Kendati demikian mereka yang memilih jalan hidup berkeluarga tetap dapat menuju ke kesempurnaan hidup dan tidak mustahil pula bahwa hidupnya lebih baik daripada mereka yang mengambil corak hidup selibat.
Apabila mereka sudah memutuskan untuk mempersembahkan seluruh jiwa raganya bagi Tuhan, maka mereka jelas tidak dapat sekaligus terikat dalam suatu ikatan hidup berkeluarga. Memang tidak dapat disangkal bahwa di dalam tubuh mereka terdapat dimensi seksualitas. Tetapi dalam pengungkapannya para selibater mempunyai pilihan lain, yaitu mengambil cinta dari sesama yang mereka layani tanpa pandang bulu, bukan dari orang tertentu saja. Para selibater merelakan kehangatan cinta yang dapat diperoleh lewat keintiman antara pasangan pria dan wanita dalam perkawinan. Hal itu mereka persembahkan sekali tidak meremehkan seksualitasnya dengan semangat ingkar diri ini. Sebagai contoh: seorang suster pasti akan merelakan kerinduannya untuk mengatur kehidupan rumah tangga. Ia juga merelakan derajat keibuannya, merelakan untuk tidak menggunakan kelembutan dan kecantikan tubuhnya untuk suami tercinta atau anak-anaknya. Tetapi semua yang ada pada dirinya dia persembahkan untuk memuji Allah dalam pelayanannya bagi sesama tanpa pandang bulu. Begitu juga perasaan semacam ini berlaku untuk para rohaniwan yang merindukan menjadi seorang pemimpin keluarga maupun sebagai seorang pelindung bagi isteri dan anak-anaknya.
Harapan akan kehidupan abadi ini didasari oleh janji Allah yang menyatakan bahwa kelak umat Allah akan bersatu di dalam kehidupan yang kekal, dimana tidak akan ada lagi penderitaan, melainkan kebahagiaan abadi. Persekutuan dengan Allah tersebut dapat tercapai selama umat Allah masih hidup di dunia ini.
Namun selama hidup di dunia, umat Allah diharapkan selalu berusaha mencari kehendak Allah sehingga dapat mencapai harapan akan kehidupan yang abadi kelak di surga. Segala sikap dan tingkah laku mereka hendaknya mencerminkan bahwa mereka adalah umat Allah. Kepenuhan kesempurnaan terletak di masa kelak bila Allah datang sebagai raja dan memerintah sepenuh-penuhnya. Di sini para selibater memilih jalan khusus di dalam penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan dengan memilih dan menghayati corak hidup selibat selama hidupnya.
Hidup selibat tidak mewujudkan secara penuh apa yang akan terjadi pada kehidupan kekal. Hidup selibat mendasarkan harapannya kepada benih Kerajaan Allah yang sudah ditabur dan yang memberikan kepastian. Hidup selibat secara terus-menerus merupakan perjalanan yang pasti dan jelas menuju ke hidup kekal abadi bersama Allah.
Keempat alasan tersebut dipegang teguh oleh para rohaniwan. Keempatnya bukan merupakan suatu tingkatan, namun lebih pada fokusnya masing-masing.
Selibat demi mengikuti Kristus dan selibat demi ingkar diri lebih berfokus pada pengolahan diri dalam kehidupan sosialnya sehari-hari. Ketika para selibater diharapkan dapat meniru perilaku seperti apa yang dicontohkan oleh Yesus dan belajar untuk ingkar diri, dimana selibater diharapkan mampu mengupayakan cinta kasih yang sejati terhadap semua orang daripada hanya mewujudkan cinta dalam bentuk relasi antara pria dan wanita.
Sedangkan selibat demi Kerajaan Allah dan selibat demi kehidupan abadi lebih berfokus pada kehidupan rohani para selibater. Para selibater meyakini bahwa hidup tidak hanya berakhir ketika mereka mati, namun mereka yakin bahwa kematian merupakan gerbang untuk menuju ke kehidupan yang kekal.
Kehidupan kekal diupayakan di dunia ini dalam tingkah laku sehari-hari. Selain itu, dengan totalitas pelayanan yang diusahakan, para selibater meyakini bahwa Kerajaan Allah akan semakin luas karena dengan semakin banyaknya pelayanan yang dikerjakan, maka semakin banyak pula orang yang merasa sapaan kasih Tuhan lewat karya mereka.
C. Masa Tua
Usia lanjut atau yang lebih dikenal dengan istilah lansia menurut Hurlock (1980) adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode ketika seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat.
Suardiman (dalam Tavipamartiwi, 2002) menyatakan bahwa secara biologis, manusia lanjut usia adalah manusia yang telah menjalani proses penuaan dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Hal tersebut terjadi karena meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Batasan usia lanjut memang menjadi suatu masalah karena sulit untuk menentukan secara tepat kapan seseorang disebut memasuki usia lanjut. Hal ini disebabkan karena tanda-tanda menjadi tua yang dialami oleh setiap orang munculnya tidak dalam waktu yang sama. Monks dkk (2001) mengatakan bahwa usia lanjut dimulai pada usia 65 tahun. Hurlock dkk (1980) menyebutkan usia 70 tahun sebagai awal dari usia lanjut. Neugarten (dalam Tavipamartiwi, 2002) dalam penelitian yang dia lakukan menghasilkan kesimpulan usia 60 tahun sampai dengan 70 tahun sebagai usia tua.
Sedangkan untuk tanda-tanda memasuki masa tua berdasarkan uraian Dep Kes RI tahun 1998 (dalam Tavipamartiwi, 2002) menyatakan bahwa menjadi tua ditandai dalam bentuk kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala keriput serta garis-garis yang menetap, rambut mulai beruban, gigi mulai tanggal, penglihatan dan pendengaran berkurang, mudah lelah, gerakan tubuh menjadi lamban dan kurang lincah, ketrampilan tubuh menghilang, dan terjadi timbunan lemak terutama di bagian perut.
Collins (dalam Widjojo, 2000) mengatakan ada 6 (enam) sumber gangguan pada masa usia lanjut, yaitu:
1. Fisik. Semakin orang bertambah tua semakin kualitas tubuh jasmaninya menurun, meskipun hal ini berbeda antara pribadi satu dengan pribadi yang lain. Perubahan yang terjadi misalnya rambut memutih, daya gerak dan energi menurun, pencernaan yang semakin menurun, dan peraba yang juga semakin menurun. Selain itu di masa tua manusia mengalami perubahan seksual. Kemampuan reproduksi yang dimiliki akan menurun. Dan gangguan fisik yang terakhir di masa tua adalah penyakit. Banyak manusia lanjut usia setelah diatas usia 65 tahun mengidap penyakit kronis, seperti penyakit jantung, diabetes, kanker, dan lainnya. Semua penyakit tersebut menimbulkan rasa cemas, mengurangi daya gerak, serta menimbulkan rasa enggan bertindak.
2. Mental. Stereotipe yang umum terhadap usia lanjut adalah terjadinya penurunan dalam segi intelektual. Orang lanjut usia umumnya berpikir lamban. Dalam menanggapi sesuatu membutuhkan waktu lama, daya ingat menurun, sukar memahami gagasan baru sehingga membuat mereka mempunyai perasaan bahwa masa kini tidak menyenangkan, masa depan tidak jelas, dan mereka mudah lari ke masa lampau.
Dengan adanya masa pensiun secara otomatis pendapatan yang dimiliki berkurang drastis, gaya hidup berubah, dan menuntut usaha yang keras dalam hal penyesuaian dengan kondisi yang sekarang. Masalah yang akan timbul sebagai dampak dari perubahan yang terjadi adalah: bagaimana mendapatkan tempat huni yang layak dan terjangkau, bagaimana memenuhi biaya penjagaan kesehatan yang mungkin bertambah, biaya untuk komunikasi dan transportasi, bagaimana tetap menjaga kelestarian hubungan relasi dengan teman dan keluarga, serta dampak terakhir adalah masalah harga diri yangdulu didukung sekali oleh gaya hidup.
4. Hubungan antar pribadi. Sebagai makhluk sosial, orang berusia lanjut tetap membutuhkan pergaulan dan kontak sosial dengan sesama. Keterlibatan di dalam kehidupan sosial dapat dijadikan sebagai salah satu sarana oleh orang berusia lanjut untuk membuktikan bahwa dirinya masih berguna. Apabila hal tersebut tidak tercapai, orang berusia lanjut mudah terisolasi diri dan kesepian. Apalagi jika orang yang berusia lanjut itu mengidap suatu penyakit kronis yang menyebabkan dirinya tidak dapat melakukan kontak atau relasi sosial, maka perasaan kesepian dan tidak berguna akan mewarnai sisa hidupnya.
5. Harga diri. Stereotype mengenai orang yang berusia lanjut mengalami kesulitan di dalam membuat keputusan, memecahkan suatu masalah, melakukan pekerjaan yang berguna, menerima tanggung jawab, dan mencipta atau memulai sesuatu yang baru ternyata sangat merongrong harga diri orang orang yang dekat dengannya, maupun keluarganya sendiri. Ini akan sangat menganggu orang yang berusia lanjut. Sehingga di dalam dirinya akan muncul perasaan tidak berguna dan dirinya merasa bahwa kehadirannya tidak penting. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila banyak orang usia lanjut memiliki citra diri yang miskin.
6. Hidup rohani dan pandangan eksistensial. Menurunnya kesehatan dan semakin berkurangnya teman akan membawa kesadaran bagi orang lanjut usia akan realitas kematian yang tak terelakkan. Hal ini akan memunculkan rasa takut yaitu takut akan rasa sakit, keadaan memburuk, takut akan kesepian, dan takut akan kematian yang pada akhirnya memunculkan ketergantungan pada orang lain dan ketidakberdayaan.
Selain 6 (enam) sumber gangguan seperti yang diungkap di atas, dalam melewati rentang kehidupan, manusia mempunyai krisis-krisis tertentu yang tingkatannya berbeda sesuai dengan usia dan kedewasaannya. Krisis perkembangan tersebut coba diuraikan lebih lanjut oleh Erikson dalam tahapan psikososialnya atau tahapan perkembangan ego manusia. Dalam setiap tahapan ada tugas tertentu yang harus dilewati seseorang sebelum dirinya memasuki tahapan berikutnya. Menurut Erikson, ada 8 (delapan) tahapan yang dilalui manusia di dalam proses pembentukan egonya, yang setiap tahapan akan melewati tugas-tugas perkembangan tersendiri. Apabila seseorang dapat melewati tugas perkembangan tersebut, maka dirinya akan siap untuk masuk ke tahapan berikutnya Namun, apabila seseorang tersebut gagal memenuhi tugas yang berpengaruh terhadap perkembangan hidupnya. Semua tahapan tersebut nantinya akan membantu manusia di dalam menerima dirinya dengan segala yang ada pada dirinya ketika manusia tersebut telah sampai pada periode akhir di dalam hidupnya (masa tua).
Delapan tahapan perkembangan psikososial Erikson adalah (Erikson, 1989): 1.
Kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar
Keberadaan ibu yang senantiasa hadir terus menerus di dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti memberikan air susu maupun belaian kasih sayang yang lain bagi si anak akan menimbulkan kenyamanan. Selain rasa nyaman, akan timbul juga relasi antar si ibu dengan anak yang kuat dan tak terputuskan. Relasi seperti ini menimbulkan rasa percaya atau kepercayaan di dalam diri anak dengan ibu atau orang lain yang mengasuh dan membantu anak dalam memenuhi pemenuhan akan kebutuhan dasarnya. Seiring dengan hal itu, pada diri si anak akan bagkit pula rasa percaya diri bahwa tubuhnya dan organ-organ yang dimiliki sanggup menanggulangi segala kebutuhan yang mendesaknya. Pada diri si anak berangsur-angsur bangkit suatu kepercayaan dasar. Krisis mulai timbul apabila si ibu atau pengasuhnya tidak dapat dapat hadir di saat dibutuhkan si anak. Ketidak hadiran si ibu, atau pengasuhnya menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada diri si anak. Mulai muncul kebimbangan dalam diri si anak apakah si ibu atau pengasuh akan kembali dan apakah kebutuhan dasar dapat dan akan dipenuhi. Krisis seperti ini dapat diatasi dengan timbulnya rasio kepercayaan dasar yang lebih besar daripada sebagai daya dan kekuatan ego untuk menjadi dasar bagi penanggulangan hidup selanjutnya oleh ego itu. Tahapan ini terjadi dalam usia kira-kira 0-2 tahun.
2. Otonomi lawan rasa malu dan rasa bimbang Setelah anak belajar mengikat diri pada pribadi yang dapat dipercaya, sekarang anak dapat belajar melepaskan diri dari orang-orang yang tercinta, karena anak mulai mengembangkan kesanggupannya untuk berdiri di atas kaki sendiri dan untuk mengatur hal-hal sendiri. Sasaran pokok dari tahap ini adalah mengembangkan rasa otonom dan kesadaran akan eksistensi yang tidak bergantung. Konflik timbul apabila ada orang lain yang mencap keinginan dan tingkah lakunya sebagai hal yang jelek dan buruk. Dengan demikian timbullah keragu-raguan di dalam diri anak tentang apa yang dia sendiri alami sebagai hal yang baik, namun oleh orang lain dianggap sebagai hal yang jelek. Pada periode ini pengontrolan diri serta kekuatan kehendak diciptakan sebagai daya ego yang baru. Tahapan ini terjadi di dalam rentang usia kira-kira 2-4 tahun.
3. Inisiatif lawan rasa bersalah (Guilt) Dengan mempunyai kesanggupan-kesanggupan inderawi, motoris, dan yang terpenting: kognitif, anak merasa diri cukup kuat untuk mengusahakan segala yang mungkin, menyelidiki dan mencoba segala hal, termasuk yang ada di dalam fantasinya. Anak ingin menerobos segala hal yang tidak dikenalnya di dunia ini. Rasa berinisiatif akan kemampuan untuk bertindak secara efektif (lewat gerakan badan, fantasi, dan bahasa) demikian berkembang dan
Konflik timbul bukan karena penilaian dari orang lain, namun ketika dinilai jelek oleh “suara batin”. Dalam diri anak sekarang timbul hati nurani. “Suara batin” inilah yang sekarang mengawasi dan menghukum diri. Penilaian dari “suara batin” tersebut dapat mengakibatkan terhalangnya rasa sehat akan nilai diri yang baik. Sehingga dalam diri anak timbul rasa salah (guilt). Tahapan ini terjadi dalam kisaran usia kira-kira 4-6 tahun.
4. Kerajinan lawan perasaan rendah diri Pada tahapan ini anak berada pada usia sekolah. Anak akan melatih dan melakukan sejumlah kegiatan yang diakui umum sebagai ketrampilam dan teknik dari kebudayaannya yang harus dipelajari. Dengan ketrampilannya untuk menghasilkan dan mengerjakan hal-hal dengan rajin dan tekun, anak dapat memperoleh pengakuan dari orang lain dengan memperlihatkan apa yang telah sanggup dia lakukan. Dari situ anak akan terdorong untuk rajin mempelajari hal-hal tersebut supaya dapat pengakuan dari orang lain. Konflik muncul apabila anak tidak berhasil untuk melakukan sesuatu dengan baik.
Karena kegagalannya tersebut, anak akan membanding-bandingkan dirinya dengan anak-anak lain yang lebih pintar. Akibatnya anak tersebut merasa rendah diri. Perasaan rendah diri tersebut dapat menghalangi perkembangan dari kemahiran dan ketrampilannya yang lain. Tahapan ini terjadi pada kisaran usia kira-kira 6-12 tahun.
5. Identitas lawan kebingungan tentang peranan Tahap ini biasa berkecamuk di dalam diri remaja. Remaja banyak dihadapkan seksualnya. Pengalamannya yang dahulu dan sekarang ini dengan kesanggupannya sendiri serta kemampuannya melakukan berbagai peran, harus diintegrasikan menjadi identitasnya yang mantap. Apabila orang-orang yang ada di sekitarnya dapat membantu menyelesaikan tantangan ini, maka remaja tersebut dapat mengembangkan suatu rasa identitas pribadi yang kuat. Remaja dapat mengetahui siapa dirinya, dapat menentukan apa yang akan dan harus dilakukan dan tahu kapan dan bagaimana harus melakukan hal itu di dalam masyarakat. Namun, apabila terjadi kondisi sebaliknya, remaja tersebut akan mengalami kebingungan identitas diri yang akan dibangunnya.
Kepribadiannya menjadi rapuh. Dia merasa bingung bagaimana harus mengambil peran dan merasa bingung apa peranannya di dalam masyarakat.
Tahapan ini terjadi pada usia kira-kira 12-23 tahun.
Tugas perkembangan dalam tahapan ini berpusat pada usaha untuk mengadakan suatu relasi afektif yang tetap dan mendalam, biasanya dengan lawan jenis. Pada masa ini, individu dapat mengembangkan rasa tanggung jawab yang kuat bagi keluarganya sendiri. Dengan catatan apabila individu tersebut mempunyai identitas diri yang kuat. Sehingga dirinya dapat membangun suatu relasi yang dekat, intim. Konflik terjadi apabila individu tersebut tidak memiliki identitas diri yang kuat. Kecenderungannya mereka tidak sanggup mengadakan relasi yang mendalam. Pola relasi yang mereka bangun biasanya bersifat dangkal dan kaku. Mereka cenderung mengisolasi justru melibatkan diri di dalam relasi sosial dengan orang yang senantiasa baru dan tidak pernah menjadi akrab dengannya. Tahapan ini biasa terjadi pada usia kira-kira 23-35 tahun.
7. Generativitas lawan stagnasi Peran manusia tidak hanya terbatas pada keluarga inti mereka, namun mereka juga berperan bagi masyarakat guna memberikan sumbangan yang berarti.
Perhatian pokok dalam tahap ini adalah produktivitas dalam arti luas. Bukan hanya mempunyai keturunan banyak atau produktif di dalam karya, namun juga meliputi minat orang tua atau pembimbing di dalam mendidik anak- anaknya. Mereka dapat menurunkan nilai-nilai, memberi bimbingan yang dapat memelihara generasi penerusnya. Sehingga kelak mereka akan ada penerusnya. Apabila generativitas yang dibangun tidak dapat berkembang baik, maka manusia itu akan merasa bahwa hidupnya telah berhenti. Dapat dikatakan bahwa manusia tersebut mengalami stagnasi (penghentian).
Tahapan ini terjadi pada kisaran usia kira-kira 35-65 tahun.