Peranan orang tua dalam pembinaan keberagamaan anak : studi kasus : di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan

(1)

PERANAN ORANG TUA DALAM PEMBINAAN KEBERAGAMAAN ANAK

(Studi Kasus: di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan) SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Sosiologi Agama

Oleh NUR AINI NIM: 102032224691

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/ 2007 M


(2)

PERANAN ORANG TUA DALAM PEMBINAAN

KEBERAGAMAAN ANAK

(Studi Kasus: MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan) SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Sosiologi Agama Oleh:

NURAINI NIM: 102032224691

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA. Dra. Marzuqoh, MA. NIP. 150 050 741 NIP. 150 270 809

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “ Peranan Orang Tua dalam Pembinaan Keberagamaan Anak (Studi Kasus: di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan)”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Maret 2007. Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Sosiologi Agama.

Jakarta, 07 Maret 2007

SIDANG MUNAQOSYAH

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Masri Mansoer, M.A. Joharatul Jamilah, M.Si. NIP. 150 244 493 NIP. 150 282 401

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. Musyrifah Sunanto Dra. Ida Rasyidah, M.A. NIP. 150 062 829 NIP. 150 242 267

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ahmad Mubarok, M.A. Dra. Marzuqoh, M.A. NIP. 150 050 741 NIP. 150 270 809


(4)

KATA PENGANTAR

Al-hamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, yang menjadi hujjah-Nya atas semua manusia, pemimpin dan imam kita, teladan dan kekasih kita, beserta kerabat dan sahabat.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang dialami oleh penulis, namun banyak juga pelajaran yang didapat, baik dengan rintangan maupun dengan kemudahan. Berkat dengan kesungguhan hati dan motivasi serta bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan tersebut memberikan hikmah bagi penulis.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka yang telah membimbing serta memberikan pengarahan kepada penulis dalam suka maupun duka untuk segera menyelesaikan skripsi. Penulis menyadari bahwa dukungan dan bimbingan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan para stafnya yang telah mengarahkan dan melayani seluruh kebutuhan administratif selama penulis kuliah.


(5)

2. Dra.Ida Rosyidah, M.A., Ketua Jurusan Sosiologi Agama dan Ibu Jaharotul Jamilah, M. Si., Sekretaris Jurusan Sosiologi Agama yang telah memberikan pengarahan dan mengesahkan judul skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA., dosen pembimbing I dan Dra. Marzuqoh, MA., dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing serta mengarahkan dengan sabar dan tekun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Dr. H. Suwarno Imam, dosen Penasehat Akademik yang telah membantu memperbaiki judul skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan sebagai bekal penulis untuk masa yang akan datang.

6. Kepala Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para stafnya yang telah memberikan bantuan dan kemudahan kepada penulis untuk mendapat berbagai literatur yang dibutuhkan selama penulisan ini, begitu juga berbagai perpustakaan lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. 7. Kepala Sekolah MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan Drs. Mahyudin

HF beserta para dewan guru dan siswa-siswanya yang telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di tempat tersebut.

8. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua Ayahanda Sobur H. Aziz dan Ibunda Khalifah yang tercinta yang telah memberikan curahan dengan penuh kasih sayang, do’a dan cinta serta kesabaran kepada penulis. Jasa-jasa kalian tak akan bisa kubalas dengan apapun. Semoga Allah


(6)

SWT membalas semua jerih payah dan jasa-jasanya, sekaligus menyayangi beliau sebagaimana beliau menyayangiku diwaktu aku kecil. Juga tak lupa kepada kakak-kakakku Abdul Fakih dan isteri tercinta Tuti Fahrianti, Mahrojah, Ilham yang telah memberikan semangat dan dukungannya, adik-adikku yang kusayangi Zulfikar (BSI) dan Abdul Khair/ Oih (UHAMKA), keponakanku tercinta Syavira Aulia Az-Zahra, Udin (terima kasih atas bantuannya), rental Asem II (makasih ya Mpo’ Hasanah atas bantuannya), juga kepada keluarga besar H. A. Aziz, tante, om serta sepupu-sepupuku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan inspirasi, semangat dan bantuannya kepada penulis untuk selalu tabah dan terus maju untuk meraih cita-cita yang didambakan orang tua dan berguna bagi bangsa.

9. Teman-temanku yang tercinta komponen Sosiologi Agama angkatan 2002, sahabat-sahabatku Farihah, Eva Nailufar, Ama, Dilah, Ina I, Nurlaila (UHAMKA) dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu serta memberikan semangat.

Penulis hanya bisa berharap dan berdo’a semoga Allah SWT membalas segala jasa dan amal baik mereka dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 8 Agustus 2006


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metodologi Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Peranan... 17

2. Pengertian Orang Tua ... 21

3. Tugas-tugas dan Kewajiban Orang Tua... 23

B. Pembinaan Keberagamaan Anak 1. Pengertian Pembinaan Keberagamaan Anak ... 33

2. Ruang Lingkup Pembinaan Keberagamaan Anak ... 39

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembinaan Keberaga- maan Anak ... 40


(8)

BAB III : GAMBARAN UMUM LATAR BELAKANG ORANG TUA DAN MI AL-IHSAN CIPETE CILANDAK

A. Orang Tua

1. Latar Belakang Pendidikan ... 43

2. Keadaan Ekonomi ... 44

3. Keadaan Komunitas ... 44

B. MI Al-Ihsan 1. Sejarah Berdiri dan Perkembangan MI Al-Ihsan ... 46

2. Organisasi dan Tujuan... 48

3. Keadaan Guru, Murid dan Karyawan ... 49

4. Sarana dan Prasarana... 52

BAB IV : PERANAN ORANG TUA DALAM PEMBINAAN KEBERAGAMAAN ANAK A. Analisa Sosiologis Peranan Orang Tua 1. Peranan Orang Tua Sebagai Pembimbing ... 55

2. Peranan Orang Tua Sebagai Teladan ... 56

3. Peranan Orang Tua Sebagai Pengawas ... 57

B. Hambatan-hambatan yang dihadapi Orang Tua dalam Pembinaan Keberagamaan Anak 1. Pendidikan... 58

2. Ekonomi ... 59

3. Pengawasan ... 59


(9)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran-saran... 62 DAFTAR PUSTAKA... 63 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah anugerah Allah yang tidak ternilai harganya, karena itu ia harus dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya bahwa: "seluruh anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu ayah dan ibunya yang menjadikan Yahudi, Majusi dan Nasrani". Setiap orang tua seharusnya dapat memberikan kasih dan sayangnya kepada anak dalam jumlah yang cukup. Namun tidak berarti, karena rasa kasih sayang itu orang tua membiarkan anak berbuat sesuka hatinya.

Anak juga merupakan rahmat Allah yang diamanahkan kepada kedua orang tuanya yang membutuhkan pemeliharaan, penjagaan, kasih sayang, dan perhatian. Kesemuanya itu menjadi tanggung jawab orang tua, guru dan masyarakat sebagai penanggung jawab pendidikan.1

Orang tua, terutama ibu bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Jika orang tua ingin mempunyai anak yang saleh, tentu ia tidak hanya berdiam diri atau berpangku tangan saja, karena anak yang saleh tidak lahir (tidak datang) dengan begitu saja, tetapi ia lahir karena doa orang tua yang dikabulkan-Nya, dan karena didikannya yang baik, yang tidak pernah mengenal lelah dan putus asa.2

1

Mohammad Kasiram, Ilmu Jiwa: Perkembangan Bagian Ilmu Jiwa Anak (Surabaya: Usaha Nasional, 1983).

2

Susi Dwi Bawarni dan Arifin Mariani, Potret Keluarga Sakinah (Surabaya: Media Idaman Press, 1993), Cet ke-1, h. 65.


(11)

Keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang utama tempat anak belajar menjadi manusia sosial. Rumah tangga menjadi tempat pertama perkembangan segi-segi sosial anak, dan di dalam interaksi sosial dengan orang tuanya yang wajar, anak pun memperoleh perbekalannya yang memungkinkannya untuk menjadi anggota masyarakat yang berharga kelak, sedangkan apabila hubungannya dengan orang tuanya kurang baik, maka besar kemungkinannya bahwa interaksi sosialnya pada umumnya pun berlangsung kurang baik pula. Salah satu pertanda dari pada hubungan baik antara anak dengan orang tuanya ialah bahwa anaknya tidak segan-segan untuk menceritakan isi hatinya atau cita- citanya kepada orang tuanya.3

Keluarga juga merupakan suatu kelompok terkecil ditengah masyarakat, hendaknya berfungsi sebagai suatu tempat pertama dan utama dalam proses pendidikan. Anak mengalami pembinaan pribadi pada permulaan di dalam keluarga. Suasana keluarga dan apa yang dihayati di dalam keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa anak, oleh sebab itu hubungan antara ayah, ibu dan anak akan mempunyai pengaruh besar terhadap suasana keluarga pada umumnya, dan khususnya terhadap perkembangan anak; terutama pada kehidupan perasaan dan kehidupan sosial. Pentinglah bahwa kasih sayang itu perlu dibina dalam kehidupan keluarga, sehingga setiap anggota keluarga merasa terpuaskan kebutuhan akan kasih sayang.4

Orang tua juga perlu diberikan penerangan, agar mereka dapat mengarahkan anak dan memberikan contoh-contoh yang baik di dalam kehidupan keluarga. Orang tua juga harus mengubah sikapnya yang menguntungkan bagi

3

Gerungan Dipl, Psikologi Sosial (Bandung: PT Eresco, 1987), Cet ke-10, h. 202. 4

Kartini Kartono, Seri Psikologi Terapan IV: Mengenal Dunia Kanak-kanak (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), Cet ke-1, h. 35.


(12)

perkembangan anaknya. Mereka harus berusaha untuk memberikan cinta kasih yang tulus dan perhatian penuh pada anaknya. Hubungan antara ayah dan ibu harus dibina kembali, agar anak-anak dapat merasakan suasana yang tentram dalam keluarga, yang dapat tumbuh secara sehat, baik dalam kehidupan pribadi, jiwa maupun sosialnya.5

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak-anak ialah faktor keutuhan rumah tangga, yang dimaksudkan dengan keutuhan keluarga ialah, pertama-tama keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa di dalam keluarga itu adanya ayah di samping adanya ibu dan anak-anaknya. Apabila tidak ada ayahnya atau ibunya atau kedua-duanya, maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi. Juga apabila ayahnya atau ibunya jarang pulang ke rumah dan berbulan-bulan meninggalkan anaknya karena tugas atau hal-hal lain, dan hal ini terjadi secara berulang-ulang, maka struktur keluarga itu pun sebenarnya tidak utuh lagi. Pada akhirnya, apabila orang tuanya hidup bercerai, juga keluarga itu tidak utuh lagi.

Selain keutuhan dalam struktur keluarga, dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga, jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar (harmonis). Apabila orang tuanya sering bercekcok dan menyatakan sikap saling bermusuhan dengan disertai tindakan-tindakan yang agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh. Ketidakutuhan keluarga pada umumnya mempunyai pengaruh yang negatif terhadap perkembangan sosial anak-anaknya.6

5

Kartono, Seri Psikologi Terapan IV: Mengenal Dunia Kanak-kanak, h. 47. 6


(13)

Begitu juga dengan keadaan sosiol-ekonomi keluarga tentulah mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak, dengan adanya perekonomian yang cukup dan lingkungan material yang memadai, anak mendapat kesempatan yang lebih luas untuk memperkembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak mungkin di peroleh dalam keluarga yang ekonominya terbatas. Hubungan orang tuanya hidup dalam status sosial-ekonomi serba cukup dan kurang mengalami tekanan-tekanan fundamental seperti dalam memperoleh nafkah hidup yang memadai. Orang tua dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendalam kepada pendidikan anaknya apabila ia tidak disulitkan dengan perkara kebutuhan-kebutuhan primer kehidupan manusia.

Masalah pencarian nafkah, Islam telah menetapkan bahwa urusan mencari nafkah adalah kewajiban laki-laki, bukan kewajiban wanita. Tetapi jika ia berkehendak, maka diperbolehkan seorang wanita untuk bekerja, jika diizikan oleh suaminya atau ayahnya jika ia belum menikah, sebab hal itu mubah baginya.

Seorang wanita diperbolehkan bekerja untuk memperoleh harta; itu adalah perkara ibadah baginya, bukan merupakan kewajiban, sebab memang tidak ada beban bagi wanita untuk mencari nafkah. 7

Status sosial-ekonomi bukan merupakan faktor mutlak dalam perkembangan sosial, sebab hal ini bergantung kepada sikap-sikap orang tuanya dan bagaimana corak interaksi di dalam keluarga itu. Walaupun status sosial-ekonomi orang tua memuaskan, tetapi apabila mereka itu, tidak memperhatikan didikan anaknya atau senantiasa bercekcok, hal itu juga tidak menguntungkan perkembangan sosial anak-anaknya. Pada akhirnya, perkembangan sosial anak itu

7

Abdurrahman Al-Baghdadi, Emansipasi, Adakah dalam Islam; Suatu Tinjauan Syariat Islam tentang Kehidupan Wanita (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet ke-9, h. 88.


(14)

turut ditentukan pula oleh sikap-sikap anak sendiri terhadap keadaan keluarganya. Mungkin sekali status sosial-ekonomi orang tua mencukupi, serta corak interaksi sosial di rumah pun tiada berkekurangan, namun anak itu berkembang dengan tidak wajar. Perkembangan sosial memang ditentukan oleh saling pengaruh dari banyak faktor di luar dirinya dan di dalam dirinya, sehingga tidak mudah pula untuk menentukan faktor manakah yang menyebabkan kesulitan dalam perkembangan sosial seseorang, yang pada suatu saat mengalami kegagalan.8

Begitu juga dengan norma-norma dan peraturan-peraturan yang menjamin berlangsungnya interaksi yang wajar ke arah tercapainya tujuan keluarga yang sesuai dengan Pancasila yaitu mendidik anaknya menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap Tuhan, terhadap negara dan masyarakatnya, dan terhadap dirinya sendiri. Dalam usaha supaya anak-anak itu menaati norma-norma dan peraturan-peraturan yang menuju ke tujuan keluarga itu, kadang-kadang perlu juga anak itu di hukum; hukuman tersebut dapat merupakan peringatan, kecaman, pengasingan, dan hukuman-hukuman yang lebih berat lagi. Kiranya tindakan menghukum itu, di samping tindakan menghargai, merupakan tindakan yang terlibat dalam tiap-tiap pendidikan yang wajar, dengan catatan bahwa hukuman itu diberikan secara objektif dan disertai pengertian akan maksudnya, dan bukan untuk melepaskan kebencian atau kejengkelan terhadap anak. Maka hukuman itu kadang-kadang perlu untuk mendidik dan menyalurkan tingkah laku anak ke arah yang sewajarnya. Adanya tindakan hukuman dalam suatu keluarga dapat merupakan pertanda bahwa orang tua mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan anaknya. Sebaliknya anak yang tak pernah

8


(15)

mengalami hukuman itu mungkin mengalami kelalaian dalam pendidikannya, sebab anak itu memerlukan bimbingan ke arah perkembangan sosialnya yang wajar, termasuk perkembangan norma-normanya, juga apabila ia melanggar norma atau peraturan tersebut.9

Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada disampingnya, oleh karena itu ia meniru perangai ibunya.10

Berbahagialah anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai pendidikan, beriman dan beramal saleh, dimana keluarga tersebut memahami ciri-ciri anak pada umur-umur tertentu dan mengetahui keperluan utama anak pada berbagai tahap umur. Pada umur balita, yang amat diperlukan oleh anak adalah contoh, pembiasaan dan latihan dan perlakuan yang penuh kasih sayang yang membawa kepada rasa aman dan tentram dalam kehidupannya yang masih sangat memerlukan bantuan dan pemeliharaan.

Faktor identifikasi dan meniru pada anak-anak amat penting, sehingga mereka terbina, terdidik dan belajar dari pengalaman langsung, lebih besar dari pada informasi atau pengajaran lewat instruksi dan petunjuk dengan kata-kata.

9

Gerungan Dipl, Psikologi Sosial, h. 203-204. 10


(16)

Karena itulah maka suasana keluarga, ketaatan ibu bapak beribadah dan berperilaku, sikap dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran Islam, akan menjadikan anak yang baru lahir dan dibesarkan dalam keluarga baik, beriman dan berakhlak terpuji.11

Mengingat begitu pentingnya penanaman pendidikan sedini mungkin bagi anak-anak dalam kehidupannya, maka penulis tertarik untuk membahas masalah "Peranan Orang Tua dalam Pembinaan Keberagamaan Anak" (Studi Kasus di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan) sebagai judul karya ilmiah atau skripsi dengan alasan:

1. Secara umum orang tua dalam mendidik anaknya hanya menyerahkan kepada sekolah, termasuk juga pendidikan agama. Mereka jarang bahkan tidak pernah mengawasi pendidikan agama anaknya yang telah diberikan di sekolah, termasuk memberikan contoh kepada anak dalam kehidupan keberagamaan di lingkungan keluarganya, seperti tata cara makan, minum, tata cara berpakaian, tata cara bersikap kepada kedua orang tua, kepada orang lain, seperti kepada saudara saudaranya, teman-temannya, termasuk juga tata cara beribadah seperti tata cara berwudhu yang baik yang disertai dengan do'a-do'anya, shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan.

2. Pendidikan agama yang diberikan di sekolah bukan merupakan jaminan, bahwa anak atau siswa telah mendapatkan pendidikan agama secara memadai, karena yang diberikan di sekolah hanya 2 jam pelajaran (80 menit) dalam satu minggu, belum lagi disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga sehingga jam pelajaran agama tidak dapat dilaksanakan.

11

Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), Cet ke-2, h.74-75.


(17)

3. Pendidikan agama pada anak dapat membentangi dirinya dari pengaruh luar yang bersifat negatif yang dapat merusak jiwa anak, seperti pengaruh media elektronik, media cetak dan informasi-informasi dari luar yang diperoleh dalam kehidupan anak-anak. Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis membahas skripsi ini dengan judul peranan orang tua dalam pembinaan keberagamaan anak di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta selatan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, penulis membatasi masalah yang diteliti tentang upaya orang tua dalam membina keberagamaan anak di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan khususnya orang tua kelas VI.

2. Peumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan permasalahann karya ilmiah atau skripsi sebagai berikut:

- Bagaimana peranan orang tua dalam membina keberagamaan anak di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan khususnya orang tua kelas VI.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan formal dari penelitian ini adalah sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan adapun yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah untuk


(18)

memahami dan menganalisis peranan orang tua dalam membina keberagamaan anak di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan.

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui peranan orang tua dalam membina keberagamaan anak. 2. Dapat mengetahui bagaimana orang tua dalam menanamkan ajaran agama

pada anak-anak mereka.

3. Sebagai laporan ilmiah kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mencapai gelar kesarjanaan.

D. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mencoba mengumpulkan bahan-bahan data yang diperlukan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini dengan menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode pendekatan kuantitatif dengan dukungan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk studi kasus yang dapat memberikan nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik tentang fenomena individual dan dapat digeneralisasikan ke dalam proposisi teoritis.12

2. Teknik Pengumpulan Data

12


(19)

Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan, serta informasi yang dibutuhkan sebagai bahan dalam rangka penelitian skripsi ini, maka teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:

Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penulis terjun langsung ke objek penelitian untuk memperoleh data primer. Adapun teknik yang dipakai dalam penelitian lapangan ini adalah sebagai berikut:

a). Angket atau Kuesioner

Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Angket dipakai untuk menyebut metode maupun instrument. Dalam menggunakan metode angket atau kuesioner instrument yang dipakai adalah angket atau kuesioner. Angket ini dibagikan kepada orang tua yang dijadikan sebagai responden dan digunakan untuk mendapatkan data dan informasi yang berhubungan dengan pembinaan orang tua terhadap keberagamaan anak di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan. Dengan cara menyebarkan angket ini penulis tidak perlu bertatap muka, juga menghemat waktu dan tenaga. Selain itu juga responden diberi waktu luang untuk menjawab pertanyaan dan mengisi jawaban tersebut. Angket yang disebarkan dalam penelitian ini terdiri dari 24 butir pertanyaan dan dengan empat alternatif jawaban, yaitu a, b, c dan d sehingga responden tinggal memilih antara satu jawaban yang tepat menurutnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi menjadi 3 variabel, variabel tersebut meliputi: orang tua berperan sebagai pembimbing bagi anaknya, orang tua berperan sebagai pengawas bagi anaknya dan orang tua berperan sebagai


(20)

teladan bagi anaknya. Untuk lebih jelasnya dari beberapa butir pertanyaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Variabel Penelitian

No Variabel Jumlah Item Jumlah Jawaban 1. Orang sebagai pembimbing 8 4

2. Orang tua sebagai pengawas 8 4 3. Orang tua sebagai teladan 8 4

b). Wawancara

Interview yang sering juga disebut wawancara atau kuesioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewner) untuk memperoleh informasi dari terwawancara atau yang diwawancarai (narasumber). Interview yang digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data variabel latar belakang murid, orang tua, pendidikan dan lain-lain.

Dalam pelaksanaannya wawancara dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya:

a).Wawancara bebas (inguided interview), dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja yang diinginkannya, tetapi ia juga harus mengingat akan data apa yang akan dikumpulkannya. Dalam pelaksanaannya pewawancara tidak membawa pedoman apa yang akan ditanyakannya.

b). Wawancara terpimpin (guided interview), yaitu wawancara dilakukan dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci.


(21)

c). Wawancara bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin. Dalam pelaksanaannya, pewawancara hanya membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.13

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode wawancara bebas terpimpin, yang berarti dalam wawancara ini penulis hanya membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan. Adapun wawancara ini ditujukan kepada kepala Madrasah MI Al-Ihsan, para guru dan karyawan yang menyangkut latar belakang sekolah dari sejak berdirinya hingga saat ini,

wawancara ini juga ditujukan kepada para orang tua guna mengetahui

keberagamaan anak mereka. Wawancara ini dilakukan sebanyak tujuh kali baik dengan para guru atau pun dengan para orang tua.

c). Metode Kepustakaan (Library Research)

Metode kepustakaan ini digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan dari berbagai sumber. Metode ini digunakan untuk mendukung penelitian dengan cara mencari teori-teori yang sudah ada.

3. Populasi dan Sampel

Adapun populasi dan sample dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a). Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi.14 Populasi yang terdapat pada lapangan penelitian

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), Cet ke-10, h. 144-145.

14


(22)

ini adalah seluruh orang tua kelas I sampai kelas VI MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan yang berjumlah 192 orang tua.

b). Sampel

Jika kita hanya akan meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian tersebut disebut penelitian sampel. Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.15 Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel purposif (purposive sampling), yaitu sampel yang ditetapkan secara sengaja oleh peneliti didasarkan atas pertimbangan tertentu, jadi tidak melalui proses pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam teknik random. Jadi penelitian ini hanya tertuju kepada orang tua kelas VI yang berjumlah 30 orang tua dengan alasan bahwa murid kelas VI telah menempuh pendidikan di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan selama kurang lebih 5 tahun, sehingga para orang tua mengetahui dengan pasti tentang peranan mereka terhadap putra-putrinya.

4. Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data

Dalam pengolahan data ini penulis memperoleh data melalui angket, wawancara dan studi kepustakaan kemudian diolah dan diedit yang selanjutnya dianalisis dan disimpulkan.

Adapun data yang diperoleh melalui angket dianalisa dan diolah data statistik frekuensi, yaitu memeriksa jawaban-jawaban dari para orang tua lalu dijumlahkan, diklasifikasikan dan ditabulasikan (dibuat tabel), data yang didapati

15


(23)

dari setiap item jawaban akan dibuat satu tabel yang didalamnya langsung dibuat frekuensi dan menggunakan rumus:

P = F x 100% N

Dimana: P= Prosentase F= Frekuensi N= Jumlah Sampel 100%= Bilangan Tetap

Analisa Data

Setelah data yang diperlukan terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Untuk menganalisis data (suatu cara yang digunakan untuk menguraikan data agar dapat dipahami), maka penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1). Editing: Pada tahap ini dilakukan pengecekan pengisian angket atau meneliti kembali angket yang telah diisi oleh responden, setiap angket harus diteliti satu persatu mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran pengisian angket tersebut sehingga meminimalisir dan menghindarkan dari kekeliruan atau kesalahan dalam mendapatkan informasi sehingga dapat diperoleh data yang akurat.


(24)

2). Koding: Yaitu usaha mengklasifikasikan jawaban responden menurut macamnya, pada tahap koding ini penulis hanya membuat pertanyaan berupa pilihan ganda (close question).

3). Tabulating: Yaitu langkah perhitungan jawaban (penyusunan data jawaban responden) yang telah diberikan skor ke dalam bentuk tabel, dalam penelitian ini penulis menggunakan persentase untuk semua jawaban.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memperjelas penulisan skripsi ini, penulis membaginya kedalam lima bab sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Kajian Pustaka, yang berisi tentang studi pustaka mengenai orang tua dalam pembinaan keberagamaan anak yang terdiri dari pengertian, tugas-tugas dan kewajiban orang tua dalam membina keberagamaan anak, ruang lingkup pembinaan keberagamaan anak, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembinaan keberagamaan anak.

BAB III : Gambaran umum tentang objek penelitian, yang berisi tentang orang tua mengenai latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi dan keadaan komunitas, sejarah berdiri dan perkembangan tempat penelitian, organisasi dan tujuan, keadaan guru, murid dan karyawan serta sarana dan prasarananya.

BAB IV : Peranan orang tua dalam pembinaan keberagamaan anak di MI Al-Ihsan, yang berisi tentang peranan orang tua sebagai pembimbing,


(25)

peranan orang tua sebagai teladan dan peranan orang tua sebagai pengawas serta hambatan-hambatan yang dihadapi orang tua dalam pembinaan keberagamaan anak yang terdiri dari pendidikan, ekonomi, pengawasan dan keteladanan.

BAB V : Penutup, pada bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.

Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “ Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat “ yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (UIN) Press, 2005-2006.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Orang Tua

1. Pengertian Peranan

Dalam kamus Bahasa Indonesia, pengertian "peranan" berasal dari kata “peran" yang berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Kata peran jika mendapat awalan pe- dan akhiran an- menjadi "peranan" yang mempunyai arti bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.1

Dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya, seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Gross, Mason dan McEachern mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat. Maksudnya seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaannya, di dalam keluarga dan di dalam peranan- peranan lainnya.

Di dalam peranan terdapat 2 (dua) macam harapan, yaitu: 1). Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, 2). Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet ke-1, h. 667.


(27)

terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.2

Dalam konsep Islam fiqh (al-ahwal al-syakhshiyyah) telah diatur stuktur dan fungsi anggota keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai peran dan tugas serta tanggung jawab masing-masing. Seorang laki-laki (suami) sebagai kepala rumah tangga mempunyai tugas dan bertanggung jawab untuk memberi nafkah bagi keluarganya (isteri dan anak-anak), sementara perempuan (isteri) berkewajiban mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anak serta mengurus masalah-masalah domestik (dalam rumah).3

Seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mantap sesuai dengan ajaran-ajaran tradisional (jiwa), maka seorang pemimpin harus dapat memberikan semangat sehingga pengikut itu kreatif. Sebagai seorang pemimpin di dalam rumah tangga, seorang ayah juga harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari keluarga yang dipimpinnya.

Walaupun tidak dinyatakan secara konkret, akan tetapi pada umumnya anak-anak mengharapkan fungsi-fungsi ideal tersebut di atas terwujud di dalam kenyataannya. Di dalam proses sosialisasi, seorang ayah harus dapat menanamkan hal-hal yang kelak dikemudian hari, merupakan modal utama untuk dapat berdiri sendiri. Misalnya, seorang ayah diharapkan untuk menurunkan nilai/ norma yang memegang teguh prinsip tanggung jawab terhadap hal-hal yang dilakukan. Nilai

2

David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), h. 99-101.

3

Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam; Agenda Sosio-Kultural dan Politik Peran Perempuan (Jakarta: el-Kahfi, 2002), Cet ke-1, h. 112.


(28)

kejujuran merupakan nilai yang harus diutamakan oleh seorang ayah, dan sikap untuk senantiasa tidak bergantung kepada orang lain.

Di dalam menanamkan rasa tanggung jawab di dalam diri si anak, bahwa apabila dia berbuat kesalahan, maka pengakuan harus datang dari dirinya. Artinya, jangan sampai menunggu bahwa kesalahan tersebut ditunjuk oleh orang lain. Dari seorang ayah diharapkan suatu kewibawaan, dan semakin meningkat usia si anak, peranan tersebut berubah menjadi seorang kakek atau sahabat.4

Seperti yang sudah dijelaskan diatas tentang peranan ayah, ada juga peranan ayah atau pria yang disebutkan dalam buku yang berjudul “Wanita Indonesia, Konsepsi dan Obsesi”, sebagai berikut:

- pria berperan sebagi bapak atau suami dalam kehidupan rumah tangga. - pria berperan sebagai pemimpin atau kepala rumah tangga.

- pria berperan sebagai pengambil keputusan utama dalam rumah tangga. - pria berperan sebagai pengarah atau penunjuk jalan dalam rumah tangga. - pria berperan sebagai pendidik atau pengajar bagi anggota keluarga di rumah tangga.

- pria berperan sebagai motor penggerak jalannya rumah tangga sekaligus berfungsi sebagai mekanisme atau tukang memperbaiki bila terjadi kerusakan dalam roda rumah tangga.5

Begitu juga dengan peranan ibu pada masa anak-anak besar sekali. Sejak anak dilahirkan, peranan tersebut tampak dengan nyata sekali. Tugas alami untuk

4

Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga; Tentang Ihwal Keluarga, Remaja dan Anak

(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet ke-2, h. 116. 5

Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Penerbit Kerjasama antara Lembaga Kajian Agama dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999), Cet ke-1, h. 7-8.


(29)

pekerjaan ibu adalah mengurus rumah tangga, menjadi seorang istri, menjadi ibu dari anak-anaknya, serta menjadi pendidik, pengatur, dan pemelihara rumah tangga. Ibu adalah pemimpin rumah tangganya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.6

Kaum suami diposisikan sebagai kepala keluarga karena pada umumnya mereka yang lebih kuat, sehingga merekalah yang melindungi kaum istri. Dalam hal ini, tidak berarti mereka harus memiliki semua kekuasaan, melainkan harus ada kesepakatan atau kerjasama. Suami dan istri yang saling membantu, menolong dan memikul tanggung jawab bersama merupakan “kata kunci”.

Pada suatu kenyataan yang harus disadari bersama antara suami-istri atau laki-laki dan perempuan bahwa kepemimpinan sebuah keluarga atau rumah tangga sebaliknya dilaksanakan bersama-sama, sebab jika hanya satu dari dua, akan memunculkan kediktatoran.7

Orang tua sebenarnya merupakan kunci motivasi dan keberhasilan anak. Tidak ada pihak lain yang akan dapat menggantikan peranan orang tua seutuhnya. Keberhasilan orang tua di dalam menunjang motivasi dan keberhasilan anak terletak pada eratnya hubungan orang tua dengan anak-anaknya. Orang tua merupakan tempat anak berlindung dan mendapatkan kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dan ketentraman, dan mempertimbangkan dan mempertimbangkan pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.8

6

Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet ke-1, h. 127.

7

Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam, h. 29. 8

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), Cet ke-8, h. 413.


(30)

2. Pengertian Orang Tua

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata orang tua mempunyai arti sebagai berikut: 1). Ayah ibu dan kandung, 2). Orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli, dsb), 3). Orang-orang yang dihormati dan disegani dikampung.9

Sedangkan dalam Bahasa Arab, orang tua bisa diistilahkan dengan "al-Walidain". Kata ini adalah bentuk jamak dari "al-waalid" yang bisa diartikan bapak kandung. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Isra ayat 23, yang berbunyi:

كﺪْ

ﻐ ْ

ﺎ إ

ﺎ ﺎﺴْﺣإ

ْﺪ اﻮْﺎ و

ﺎ إ

ﺎ إ

اوﺪ ْ

ﺎ أ

ﻚ ر

ﻰﻀ و

ﺎ هﺎ آ

ْوأ

ﺎ هﺪﺣأ

ﺮ ﻜْا

ﺎ ﻬ

ْ و

ﺎ هْﺮﻬْ

ﺎ و

فأ

ﺎ ﻬ

ْ

ﺎ ﻓ

ﺎ ﺮآ

ﺎ ْﻮ

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".10

Pengertian orang tua juga adalah ibu bapak yaitu orang yang melahirkan (bagi ibu), merawat, mendidik, dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dalam aspek kehidupan yang dapat membentuk anak menjadi pribadi-pribadi yang mampu mensosialisasikan semua itu dalam kehidupan beragama. berbangsa dan bernegara.

Kedua orang tua melakukan bagian (kewajiban) mereka dalam membesarkan anak-anak dengan bayaran berupa kesenangan dan kenyamanan

9

Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 629. 10

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an (YPPA), Al-Qur’an dan Terjemahnya


(31)

yang mereka dapatkan. Ayah merasa bahagia menghabiskan uangnya yang didapatkannya dengan susah payah atas mereka, sementara ibu memberi makan mereka dari (air susu)nya. Oleh karenanya anak-anak tumbuh besar oleh kerja keras bersama, cinta dan kasih sayang dari kedua orang tua mereka. Maka dari itu perlakuan yang terbaik dari anak-anak (untuk mereka) ditekankan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi hal itu adalah juga suatu fakta yang paling sederhana, bahwa seorang ibu melakukan lebih banyak pengorbanan dan memikul penderitaan lebih besar dari pada seorang ayah ketika membesarkan anak-anak.

Ibu memberi makanan dan menjaga mereka dengan mengorbankan kesenangannya di siang hari dan tidurnya di malam hari, tanpa suatu perasaan ketamakan (kerakusan) atau tekanan (paksaan), tetapi semata-mata keluar dari perasaan cinta yang tidak mementingkan diri sendiri dan ikhlas yang belum pernah terjadi sebelumnya di dalam sejarah manusia. Inilah alasan mengapa al-Qur’an telah memberi ibu kedudukan lebih penting dan menekankan atas anak-anak agar lebih penuh perhatian serta bersikap patuh kepadanya jika dibandingkan dengan ayah.

Fakta menjadi jelas, bahwa ibu mendapat pelayanan, cinta, sikap patuh, ketaatan dan terima kasih anak-anaknya lebih dari sang ayah. Ini dibenarkan, karena sang ibu menghadapi penderitaan yang pedih, dan memberikan pengorbanan yang khusus dalam membesarkan anak-anaknya.11

Hadits Nabi SAW, yang mengatakan bahwa “ibu adalah pengembala di rumah tangga dan suaminya bertanggung jawab atas gembalaannya”, sesungguhnya mengisyaratkan kerjasama ibu dan ayah dalam pendidikan anak.

11

Akhlak Husain, Menjadi Orang Tua (Muslim) Terhormat (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 23-24.


(32)

Hanya saja, terutama dalam lingkungan keluarga yang menuntut ayah lebih berada di luar rumah untuk mencari nafkah dan ibu lebih banyak di rumah untuk mengatur urusan rumah dan pengaruh pendidikan yang diberikan ibu lebih besar. Hal ini karena anak dalam proses tumbuh kembangnya sampai menjadi manusia yang memikul kewajiban banyak dekat dengan ibunya. Itulah sebabnya mengapa wanita penting dipersiapkan untuk menjadi ibu yang diharapkan mampu menjalankan tugas sebagai pendidik.

Tugas-tugas dan Kewajiban Orang Tua

Di masa ini banyak buku-buku bacaan, majalah-majalah yang menjelaskan teori pendidikan dan ilmu jiwa perkembangan anak untuk membekali orang tua dalam mendidik anak. Sedangkan di dalam Al-Qur'an/ Hadits banyak dijelaskan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua, antara lain adalah:

a. Menanamkan akidah atau tauhid b. Memberi nama yang baik kepada anak c. Menanamkan akhlak yang baik

d. Mendidik anak agar berbakti kepada kedua orang tua e. Melatih anak mengerjakan shalat

f. Mengajarkan Al-Qur'an

Anak merupakan amanat Allah yang dititipkan kepada kedua orang tuanya, karena itu anak dilahirkan dalam keadaan suci. Bagaimana kelak jadinya dikemudian hari, tergantung kedua orang tuanya yang mendidik, membina, merawat sekaligus mengarahkannya.


(33)

Sesuai dengan ajaran Islam, pendidikan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua, dan hasil ataupun buah dari pendidikan anak tersebut kelak diakhirat nanti, kedua orang tuanya akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Dalam hal ini tugas-tugas dan kewajiban orang tua terhadap anaknya antara lain adalah:

a. Menanamkan akidah atau tauhid

Kewajiban pokok manusia adalah taat kepada Allah, karena itu sebagai orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan akidah tauhid, yaitu menanamkan keimanan kepada Allah SWT. Tuhan Maha Tunggal dan Maha Berkuasa atas segala-galanya yang wajib disembah, menyembah selain Allah adalah perbuatan syirik.12 Sebagaimana yang dijelaskan Allah melalui firman-Nya;

كْﺮ ا

نإ

ْكﺮْ

ﻮهو

ْﺎ

نﺎ ْ

لﺎ

ْذإو

ْﻈ

" Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: " Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS. Luqman/ 31: 13).13

Menanamkan ajaran tauhid kepada anak sejak kecil adalah kewajiban paling utama bagi orang tua. Tauhid dalam bentuknya yang murni merupakan akidah (keyakinan yang kuat dalam jiwa) yang akan menjadi " way of life " (asas hidup). Bukan hanya sekedar ucapan yang terlontar lewat mulut atau hanya menempel dihati, akan tetapi akidah tauhid meronai seluruh hidup dan kehidupan seseorang. Tauhid yang benar akan tercermin dalam syariat yang benar dan akhlak yang mulia. Efeknya yang pertama antara lain menerapkan syariat Allah sebagai

12

M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), Cet ke-9, h. 82.

13

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an (YPPA), Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 654.


(34)

pokok hukum yang mendominasi hidup dan kehidupan manusia. Jika tidak, maka akidah tauhid berarti belum tegak dalam dirinya, sebab hanya dengan tauhid jiwa itu akan tegak. Sebaliknya, tauhid (akidah) seseorang itu belum dianggap tegak jika pengaruhnya tidak dapat direalisasikan dalam seluruh aspek kehidupan.14

Untuk dapat mengajarkan tauhid pada anak-anak, terlebih dahulu orang tua harus mengetahui pentingnya pendidikan tauhid agar tidak lengah menanamkan ajaran ini kepada anak-anak. Orang tua juga harus lebih dahulu wajib mengetahui keyakinan dan perbuatan-perbuatan syirik, kufur dan munafik. Jika orang tua sendiri tidak tahu makna keyakinan syirik dan kafir, maka keyakinan tauhid sudah tentu tidak akan dapat ia ajarkan kepada anaknya.

Upaya untuk mengajarkan tauhid atau akidah kepada anak dapat ditempuh dengan praktis adalah sebagai berikut: mengajarkan ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini, memberikan pendidikan keimanan yaitu mengajarkan anak beriman kepada Allah, beriman kepada Malaikat, beriman kepada Kitab, beriman kepada hari akhir, beriman kepada takdir dan beriman kepada perkara-perkara yang ghaib.

Pendidikan keimanan adalah mengajarkan kepada seorang anak sejak mulai anak dapat berfikir tentang rukun iman serta membiasakan anak untuk melaksanakan rukun Islam dan mengajarkan pula tentang syariat Islam sejak masa tamyiz atau usia sekolah.

Wajib bagi orang tua atau pendidik untuk menumbuhkan dalam jiwa seorang anak kefahaman tentang keimanan, sebagai dasar bagi pendidikan Islam. Dengan demikian akan terjalinlah akidah yang benar dengan ibadah yang sesuai.

14


(35)

Maka anak hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya dan Al-Qur'an sebagai imannya serta Rasulullah SAW sebagai tokoh dan pemimpin yang wajib diteladani.15

Selain langkah menanamkan tauhid, orang tua harus menjauhkan anak-anak dari bacaan-bacaan, kaset-kaset serta film-film yang potensial merusak akidah, akhlak dan kesehatan jiwa anak. Melihat betapa banyaknya ajaran yang sesat, pikiran yang bertentangan dengan akidah tauhid, maka orang tua wajib membimbing anak-anaknya dalam memilih buku bacaan, kaset, nyanyian atau ceritera dan film sejarah atau pun ilmu pengetahuan. Karena pada zaman modern ini sarana kemusyrikan, kekafiran dan kemunafikan jauh lebih banyak dibanding sarana pendidikan tauhid. Juga perlu diperhatikan oleh para orang tua pola pikir kafir dan musyrik agar anak-anak dapat diselamatkan dari pengaruh berfikir kufur dan syirik.16

b. Memberi nama yang baik kepada anak

Ada dua kewajiban orang tua yang mutlak harus diberikan kepada putra-putrinya yang baru lahir, adalah memberikan nama yang baik dan memberikan kasih sayang. Rasulullah SAW menerangkan hadits yang artinya berbunyi " sebagian dari pada kewajiban ayah terhadap anaknya ialah beri dia nama yang baik, ajari dia menulis dan kawinkan dia apabila ia baligh " (HR. Ibnu Najjar).

Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya adalah memberikan nama yang baik karena nama merupakan segala sesuatu yang berarti baik bagi sang anak. Karena nama mengandung sebuah makna dan harapan dari kedua orang tuanya. Untuk itu, hendaknya orang tua memberikan nama yang

15

Salwa Shahab, Membina Muslim Sejati (Gresik: Karya Indonesia, 1989), Cet ke-1, h. 24.

16


(36)

mempunyai harapan baik di hari depannya, sehingga menjadi motivasi bagi sang anak dalam mengarungi bahtera kehidupan. Selain mengandung makna dan harapan orang tua, nama sangat berarti untuk kepentingan diri sendiri, karena nama merupakan predikat dan identitas seseorang.

Nama yang diberikan orang tuanya seringkali menentukan kehormatannya, dengan nama itu dapat menunjukkan identitas keluarganya, bangsa dan agama. Para ahli ilmu jiwa anak-anak maupun ahli pendidikan anak menyadari pentingnya nama dalam pembentukan konsep jati diri. Secara tidak sadar orang akan didorong untuk memenuhi citra (image, gambaran) yang terkandung dalam namanya. Teori labelling (penamaan) menjelaskan, kemungkinan seseorang menjadi jahat karena masyarakat menamainya sebagai penjahat. Untuk itu Islam mengajarkan kepada umatnya “berilah nama yang baik kepada anak-anakmu" karena nama mengandung unsur doa dan harapan dimasa yang akan datang.17

Nama seseorang juga tidak hanya terpakai semasa ia hidup di dunia ini, tetapi terus terpakai sampai di alam akhirat. Dihadapan Allah kelak, ketika kita semua menghadapi panggilan dan perhitungan amal kita, nama yang kita pakai di dunia inilah yang akan disebut untuk memanggil diri kita. Karena itu, hendaklah para orang tua memberi nama yang baik lagi indah kepada anak-anaknya, nama yang mengandung pujian atau doa dan harapan atau semangat keluhuran.18

c. Menanamkan akhlak yang baik

Setiap orang tua ingin membina anaknya agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat, sikap mental yang sehat dan akhlak yang

17

Maimunah Hasan, Membangun Kreativitas Anak secara Islami (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001), h. 10-11.

18


(37)

terpuji. Semuanya itu dapat di usahakan melalui pendidikan, baik yang formil (di sekolah) maupun yang informal (di rumah).19

Orang tua berkewajiban membiasakan anak-anaknya berakhlak Islam, dan setiap orang tua juga harus tahu seluk beluk agama Islam agar ia dapat mengajarkannya kepada anak-anaknya. Adapun yang harus diajarkan orang tua kepada anaknya tentang pendidikan akhlak antara lain adalah: orang tua harus senantiasa tanggap terhadap perilaku anaknya yang tidak sesuai dengan Islam. Jadi, orang tualah yang harus istiqamah menjaga akhlak Islam supaya anak-anaknya dapat mencontoh dan melakukan akhlak yang baik, bila hendak masuk rumah mengucapkan salam, hendak bepergian pamit dan minta izin kepada kedua orang tua, berdo'a sebelum dan sesudah tidur dan menjauhkan diri dari hal-hal kotor.20

Adapun tujuan dari pendidikan akhlak antara lain adalah membentuk putera-puteri berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, berkemauan keras, beradab sopan santun, baik tingkah lakunya, manis tutur bahasanya, jujur dalam segala perbuatannya, suci murni hatinya. 21

d. Mendidik anak agar berbakti kepada kedua orang tua

AI-Qur'an telah mengisahkan derita sengsara seorang ibu dalam mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak-anaknya. Begitu pula betapa beratnya dan susahnya seorang bapak berusaha mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya.

19

Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), Cet ke-15, h. 56.

20

Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak, h. 80-81. 21

H. Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), Cet ke-3, h. 22.


(38)

Semua pengorbanan ini mengharuskan seseorang untuk memikirkan dan merasakan betapa perlunya membalas budi kebaikan ibu dan bapak.22 Dalam hal ini Allah berfirman dalam Q.S. Al-Luqman/ 31:14

ﺎ ﻓو

ْهو

ﺎ ْهو

أ

ْ ﺣ

ْﺪ اﻮ

نﺎﺴْﺈْا

ﺎ ْ وو

ْﺮﻜْ ا

نأ

ْ ﺎ

ْا

إ

ﻚْﺪ اﻮ و

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tua ibu bapak; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapinya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu".23

Kewajiban taat kepada kedua orang tua menempati urutan kedua setelah Allah, karena itu sang ibu wajib mengajarkan kepada putera-puterinya agar berbakti kepada kedua orang tuanya sejak kecil agar tidak menjadi orang lalai, yang melupakan budi jasa orang tuanya. Banyak terjadi, anak-anak acuh bahkan melawan orang tuanya. Ini tidak lain disebabkan kelalaian orang tuanya sebagai pendidik yang pertama.24

Islam memberikan tuntunan berbuat baik dan bertindak yang beradab kepada ibu bapak, antara lain:

_

orang tua harus mengajarkan kepada anaknya bahwa keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua.

- berbakti kepada orang tua harus didahulukan dari pada jihad di jalan Allah SWT, berdo'a untuk orang tua setelah mereka wafat dan menghormati teman mereka itu termasuk pengabdian kepada kedua orang tua.

22

M. Thalib, Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996), Cet ke-1, h. 161-162.

23

Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur’an (YPPA), Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 654.

24


(39)

- berbakti kepada ibu harus didahulukan dari pada berbakti kepada bapak. Islam mendahulukan berbakti kepada ibu ketimbang kepada ayah karena sebab berikut: karena ibu lebih banyak memperhatikan anak, mulai hamil, melahirkan, menyusui, megurus, merawat dan mendidik anaknya dari pada ayah.

- tatakrama berbakti kepada kedua orang tua. Kewajiban para pendidik adalah mengajari anak-anak akan sopan santun bertingkah laku terhadap orang tua mereka yang urutannya adalah sebagai berikut: anak-anak tidak berjalan di depan orang tua mereka, tidak memanggil mereka dengan nama mereka, tidak membantah nasehat mereka, berbicara dengan lemah lembut dengan muka manis dan tutur kata yang baik, minta izin bila hendak bepergian serta tidak membantah perintah mereka.25

Orang tua harus mendidik dan mengajarkan perilaku hormat kepada orang tua tersebut diatas secara bertahap dan konsisten. Bila anak-anak tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka pertama-pertama mereka harus diperingatkan dan dinasehati.

Mendidik anak memang tidak hanya bisa dengan nasehat semata-mata. Karena itu, berbagai metode pendidikan dan pengajaran harus dicoba diterapkan oleh orang tua sampai memperoleh hasil yang diinginkan sejalan dengan ketentuan syariat. Tujuan orang tua mendidik anak agar mereka berlaku beradab kepada orang tua dan supaya mereka tidak durhaka kepada ibu bapaknya. Karena perbuatan durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar.26

25

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak: Pendidikan Anak menurut Islam

(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), Cet ke-2, h. 41. 26


(40)

e. Melatih dan mengajarkan anak shalat

Cara paling tepat mendidik anak-anak mengenal Allah adalah melatih anak mengerjakan shalat, dengan cara ini para orang tua membiasakan anak-anak untuk bersujud, walaupun mereka belum mengerti kepada siapa dan untuk apa mereka bersujud. Tetapi minimal anak-anak dapat menghayati bahwa dia bersama orang tuanya bersujud bersama-sama. Sekalipun ia tidak tahu untuk siapa dan untuk apa orang tuanya bersujud pula, namun dengan begitu sudah tertanam dihati anak bahwa yang paling tinggi diatas dirinya bukanlah orang tuanya. Inilah yang paling penting tertanam dihati anak, bahwa orang tua masih tunduk kepada orang lain.

Begitu pentingnya shalat sebagai jalan menjadikan manusia tunduk kepada Allah SWT, maka Nabi Ibrahim memohon kepada Allah SWT agar dirinya dan keturunannya dijadikan sebagai orang -orang yang tetap menegakkan shalat. Hal ini tercantum dalam Q.S. Ibrahim/ 14: 40

ءﺎ د

ْ و

ﺎ ر

رذ

ْ و

ةﺎ ا

ْ ْﺟا

بر

" Hai Tuhanku, jadikanlah aku yang paling mendirikan shalat dan (begitu juga) anak cucuku; Hai Tuhan kami, kabulkanlah do'a ku!".27

Orang tua harus menyadari bahwa shalatlah yang merupakan pilar utama untuk mengisi jiwa anak-anak dalam berakidah tauhid, sebab itu Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik anak-anaknya mengerjakan shalat ketika berumur 7 tahun.

Adapun orang yang mempunyai kewajiban melatih anak-anak mengerjakan shalat sudah tentu ia harus lebih dahulu mengerti tentang cara shalat yang benar menurut tuntunan hadits-hadits Rasulullah. Jangan sampai

27

Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur’an (YPPA), Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 386.


(41)

mengerjakan shalat dengan semaunya tanpa dasar hadits Rasulullah atau hanya berpegang teguh pada nasehat kiayi atau buku-buku tuntunan shalat yang tidak ada dasarnya.28

f. Mengajarkan Al-Qur'an

Selain mengajarkan shalat kepada anak, hendaklah mereka juga diajarkan mengaji (melatih membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar), agar ketika dewasa tidak mengalami kesulitan dan tidak menyesal, karena Al-Qur'an merupakan pedoman pokok Islam. Sudah logis orang Islam dapat membaca dan memahami Al-Qur'an. Mengajarkan anak membaca Al-Qur'an adalah sumber dari segala sumber hukum seorang muslim, karena itu sudah sepantasnyalah jika seorang muslim dapat membaca dan memahami isinya, kemudian mengamalkan perintah di dalamya.29 Setiap orang dapat dikatakan benar dalam menjalankan kewajiban agama Islam jika ia dapat membaca dan memahami Al-Qur'an dalam bahasa aslinya, bukan lewat transkip atau terjemahan. Oleh sebab itu, setiap muslim wajib mempelajari bahasa Arab yang kata-katanya dipergunakan dalam Al-Qur'an, minimal sebanyak kata-kata yang terpakai dalam Al-Qur'an atau Hadits-hadits Rasulullah.

Sebagai umat Islam anak-anak wajib diajari membaca Al-Qur'an minimal mengenal huruf-huruf dan cara membacanya, karena sejak umur tujuh tahun orang tua wajib mendidik anak-anaknya mengerjakan shalat. Sedangkan do'a dan bacaan shalat sebagian diambil dari ayat Al-Qur'an dan yang lain dari Hadits-hadits Rasulullah. Oleh sebab itu, logislah setiap orang tua muslim mengajarkan

28

Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak, h. 88-89. 29


(42)

membaca dan menulis Al-Qur'an guna memenuhi kewajiban beribadah kepada Allah, seperti shalat.

Cara-cara orang tua mengajarkan anak-anaknya membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

- mengajarkannya sendiri dan cara ini yang terbaik, karena orang tua sekaligus dapat lebih akrab dengan anak-anaknya dan mengetahui sendiri tingkat kemampuan anak-anaknya. Ini berarti orang tualah yang wajib terlebih dahulu dapat membaca Al-Qur'an dan memahami ayat-ayat yang dibacanya.

- menyerahkan kepada guru mengaji Al-Qur'an atau memasukkan anak-anak di sekolah-sekolah yang mengajarkan baca tulis Al-Qur'an.

- dengan alat yang lebih canggih, dapat mengajarkan Al-Qur'an lewat video casette jika orang tua mampu menyediakan peralatan semacam ini. Tetapi cara pertamalah yang terbaik.

Setiap orang tua harus menyadari bahwa mengajarkan Al-Qur'an kepada anak-anak adalah suatu kewajiban mutlak, sebab bagaimana anak-anak dapat mengerti ayatnya jika mereka tidak mengerti Al-Qur'an. Selain itu untuk kepentingan bacaan dalam shalat, anak-anak pun wajib mengetahui dapat membaca surat Al-Fatihah atau surat-surat lain yang menjadi keperluan, muslim dalam shalat. Dengan adanya tuntunan kewajiban shalat sehingga orang tua wajib melatih anaknya sejak umur tujuh tahun mengerjakan shalat, maka mutlak orang tua harus mengajarkan Al-Qur’an kepada anaknya.30

30

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet ke-1, h. 87-88.


(43)

B. Pembinaan Keberagamaan Anak

1. Pengertian Pembinaan Keberagamaan Anak

Kata pembinaan berasal dari kata “bina” yang berarti bangun, bentuk.31 Jika mendapat awalan me- menjadi " membina " yang mempunyai arti mengusahakan supaya lebih baik (maju, sempurna, dsb). Pembinaan itu sendiri berarti usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.32 Pembinaan dalam kamus Bahasa Indonesia kontemporer adalah “proses membina, membangun, atau menyempurnakan, upaya mendapat hasil yang lebih baik”.

Keberagamaan adalah pembicaraan mengenai pengalaman atau fenomena yang menyangkut hubungan antar agama dan penganutnya, atau suatu keadaan yang ada di dalam diri seseorang (penganut agama) yang mendorongnya untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.33

Kata keberagamaan berasal dari kata “Beragama”. Kata beragama dalam kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu, antara lain:

1. Menganut (memeluk) agama.

2. Beribadah, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama), misalnya ia berasal dari keluarga yang taat beragama.34

Nurkholis Majid mengemukakan tentang pengertian agama. Menurut beliau agama merupakan fitrah munazalah (fitrah yang diturunkan) yang diberikan Allah untuk menguatkan fitrah yang ada pada manusia secara alami. Agama dapat

31

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English, 1991), h. 205.

32

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 117. 33

Djamaludin Ancok, Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 76. 34

J.S. Badudu Sota Mohammad Zein, Kamus Bahasa Indonesia ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), Cet ke-1, h. 11


(44)

dikatakan sebagai kelanjutan natur manusia sendiri dan merupakan wujud nyata dari kecenderungan yang dialaminya.

Fitrah beragama dalam diri manusia merupakan naluri yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan " suci " yang di ilhami oleh Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah manusia mempunyai sifat suci, yang dengan nalurinya tersebut ia secara terbuka menerima kehadiran Tuhan Yang Maha Esa.35

Selanjutnya Mohammad Djamaluddin, mendefinisikan keberagamaan sebagai manifestasi seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam semua aspek kehidupan.36

Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang meliputi berbagai macam sisi dimensi, dengan demikian agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.

Agama, dalam pengertian Glock & Stark adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku keterlembagaan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi.

Menurut Glock & Stark, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu: dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan/ praktek agama (ritualistik),

35

Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet ke-1, h. 20. 36

Mohammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi (Yogyakarta: UGM Press, 1995), h. 44.


(45)

dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual).37

Keberagamaan menurut penulis adalah bagaimana seseorang itu berperilaku dalam agama, ia memahami dan mengamalkan ajaran agamanya sesuai dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Anak-anak mulai mengenal Tuhan, melalui bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dilingkungannya, yang pada permulaannya diterimanya secara acuh tak acuh saja. Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang tuanya. Lambat laun tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis. Maka Tuhan bagi anak-anak pada permulaan, merupakan nama dari sesuatu yang asing, yang tidak dikenalnya dan diragukan kebaikan niatnya.38

Perkembangan agama pada masa anak, melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama, (sesuai dengan ajaran agama), akan semakin banyak unsur agama, sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.39

37

Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), Cet ke-1, h. 77.

38

Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h. 35-36. 39


(46)

Pembinaan keberagamaan anak adalah pembinaan agama pada anak yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat sehingga anak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran agama.

Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak turnbuh mengikuti pola “ideas concept on authority" . Idea keagamaan pada anak hampir sepenuhnya authoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh unsur dari luar dari mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu hingga kemashalatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun ajaran itu belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.40

Dalam Islam penyemaian rasa agama dimulai sejak pertemuan ibu dan bapak yang membuahkan janin dalam kandungan, yang dimulai dengan do'a kepada Allah, agar janinnya kelak lahir dan besar menjadi anak saleh. Begitu si anak lahir, dibisikkan ditelinganya kalimah adzan dan iqamah, dengan harapan

40

Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), Cet ke-2, h. 35.


(47)

kata-kata thaiyibah itulah hendaknya yang pertama kali didengar oleh anak, kemudian ia akan berulang kali mendengar.

Agama bukan ibadah saja, agama mengatur seluruh segi kehidupan. Semua penampilan ibu dan bapak dalam kehidupan sehari-hari yang disaksikan dan dialami oleh anak bernafaskan agama, disamping latihan dan pembiasaan tentang agama, perlu dilaksanakan sejak si anak kecil, sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya.41

Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Apabila seseorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, maka pada dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang di waktu kecilnya mempunyai pengalaman-pengalaman agama, misalnya ibu-bapaknya orang yang tahu beragama, lingkungan sosial dan kawan-kawannya juga hidup menjalakan agama, ditambah pula dengan pendidikan agama secara sengaja di rumah, sekolah dan masyarakat. Maka orang-orang itu akan dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.42

Anak mengenal Tuhan, juga melalui ucapan ibunya di waktu ia kecil. Apa pun yang dikatakan ibunya tentang Tuhan, akan diterimanya dan dibawanya sampai dewasa.

41

Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, h. 64. 42


(48)

Dalam memperkenalkan sifat-sifat Allah kepada anak, hendaklah didahulukan sifat-sifat Allah yang mendekatkan hatinya kepada Allah, misalnya: Penyayang, Pengasih, Adil dan lain sebagainya. Dan hendaklah si anak dijauhkan dari perasaan yang mendorongnya kepada prasangka buruk kepada Tuhan seperti sifat keras, jahat, kejam dan sebagainya.

Perlu diketahui, bahwa kualitas hubungan anak dan orang tuanya, akan mempengaruhi keyakinan beragamanya dikemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika yang terjadi sebaliknya, maka ia menjauhi apa yang diharapkan oarng tuanya, mungkin ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, tidak shalat, tidak puasa dan sebagainya.43

2. Ruang Lingkup Pembinaan Keberagamaan Anak

Ruang lingkup keberagamaan anak sejalan dengan isi pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar, yang menjadi materi pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, meliputi empat unsur pokok, yaitu:

1. Keimanan adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, dari padanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.

2. Akhlak adalah perbuatan yang biasa dilakukan tanpa memerlukan pikiran. 3. Ibadah yaitu menyerahkan diri kepada Allah dan selalu mengikuti perintah-Nya

dan menuruti yang dikehendakiNya.

43


(49)

4. Al-Qur'an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup manusia.44

Ruang lingkup bahan pelajaran diatas, merupakan usaha untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:

1. Hubungan manusia dengan Allah SWT. 2. Hubungan manusia dengan manusia. 3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

4. Hubungan manusia dengan makhluk lain dan alam lingkungannya.45 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan Keberagamaan anak

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi dalam membina keberagamaan anak, seperti yang dikemukakan oleh Mahyudin dalam bukunya " Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur'an " yang diringkas sebagai berikut:

1). Faktor Pembawaan Naluriah (garizah atau instink)

Sebagai makhluk biologis, ada faktor bawaan sejak lahir yang menjadi pendorong perbuatan setiap manusia, faktor itu disebut naluri. Naluri tidak pernah berubah sejak manusia itu lahir, akan tetapi pengaruh negatifnya bisa dikendalikan oleh faktor pendidikan, latihan atau pembiasaan. Karena faktor naluri ini sangat terkait dengan nafsu (ammarah dan mutmainah), maka dapat membawa manusia kepada kehancuran moral, dan dapat pula menyebabkan manusia mencapai tingkat yang lebih tinggi.46

44

Departemen Agama RI, Panduan Guru Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), tahun 2003.

45

Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 (Jakarta: Puskur-Dit. PGTK S, 2003), h. 318.

46

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits (Jakarta: CV. Kalam Mulia, 2000), h. 25.


(50)

Tatkala naluri manusia cenderung kepada perbuatan buruk, maka akal dan tuntunan agama dapat mengendalikannya. Tetapi tatkala naluri itu cenderung kepada perbuatan baik, maka akal dan tuntunan agama yang dapat memberikan jalan seluas-luasnya untuk meningkatkan intensitas perbuatan itu. Disinilah perlunya manusia memiliki agama sebagai pengendali dan menuntun dalam hidupnya.47

2). Faktor Sifat-sifat Keturunan dan Pendidikan

Sifat-sifat keturunan dari orang tua kepada keturunannya ada dua, yaitu sifat langsung dari kedua orang tua kepada anaknya, dan sifat tidak langsung yang tidak turun kepada anaknya, tetapi bisa turun kepada cucunya atau anaknya. 48

Disamping adanya sifat bawaan anak sejak lahir (naluri dan sifat keturunan), sebagai potensi dasar untuk mempengaruhi perbuatan manusia ada juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya, yaitu pendidikan dan tuntunan agama. Semakin besar pengaruh faktor pendidikan dan tuntunan agama kepada manusia, semakin kecil pula kemungkinan warisan sifat-sifat buruk orang tua dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya. Dengan demikian peranan orang tua menjadi sangat penting dalam membentuk anaknya menjadi manusia yang beragama, berilmu dan berakhlak.

3). Faktor Lingkungan dan Adat Kebiasaan

Pertumbuhan dan perkembangan manusia, ditentukan oleh faktor dari luar dirinya, yaitu faktor pengalaman yang disengaja maupun yang tidak. Pengalaman

47

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 26.

48

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 27.


(51)

yang disengaja termasuk pendidikan dan latihan, sedangkan yang tidak disengaja termasuk lingkungan alam dan lingkungan sosialnya (adat kebiasaan).49

Ketika manusia lahir di lingkungan yang baik, maka pengaruhnya kepada pembentukan perilaku/ akhlaknya juga baik. Bila ia lahir di lingkungan yang kurang baik, maka akhlaknya juga menjadi tidak baik. Tuntunan agama sangat diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan akhlak manusia.

4). Faktor Agama

Agama sebagai suatu sistem kepercayaan, maka ia harus selalu menjadi pegangan dalam spiritual yang membentuk ajaran keimanan dan ketakwaannya, yang akan menjadi motivasi dan pengendali dalam setiap sikap dan perilaku hidup manusia.50

Tatkala manusia itu mendapatkan kesenangan maka ia tidak takabur dan sombong, tetapi ia harus bersyukur kepada zat yang memberikan kesenangan yaitu Allah. Ketika ia ditimpa kesusahan sebagai suatu cobaan hidupnya maka ia tidak putus asa, tetapi ia harus bersabar menerima ketentuan Allah dan berusaha menghindarinya.

49

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 28.

50

Mahyudin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, h. 29.


(52)

BAB III

GAMBARAN UMUM LATAR BELAKANG ORANG TUA DAN MI AL-IHSAN

A. Orang Tua

Untuk mengetahui sejauh mana peranan orang tua di rumah, sedikit akan disinggung mengenai latar belakang orang tua, dilihat dari tingkat pendidikan, ekonomi dan juga dari komunitas atau kehidupan sosialnya.

1. Latar Belakang Pendidikan

Setelah penulis teliti tentang latar belakang pendidikan orang tua ternyata sebagian besar para orang tua tersebut dapat mengenyam pendidikan baik dari tingkat sekolah dasar (SD), tingkat menengah bawah (SLTP), tingkat atas (SLTA) maupun perguruan tinggi (PT). Adapun jumlah para orang tua yang lulus perguruan tinggi (PT) kurang lebih 20 %, lulusan SLTA 30 %, lulusan SLTP 20 % dan sisanya adalah lulusan sekolah dasar (SD). Tingkat pendidikan yang tinggi inilah yang menunjang keberhasilan mereka dalam mendidik putera-puterinya menjadi generasi yang mempunyai imtaq dan iptek.

Dengan banyaknya orang tua yang berpendidikan SLTP, SLTA dan bahkan perguruan tinggi maka dari mereka ada yang berprofesi sebagai guru, wiraswasta dan tentu saja sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai pegawai di suatu perusahaan, ada juga dari mereka yang bekerja sebagai buruh seperti:


(53)

buruh supir, tukang bangunan dan lain-lain, menjadi guru mengaji di daerah lingkungan mereka dan menjadi ibu rumah tangga bagi putera-puteri mereka. 1 2. Keadaan Ekonomi

Pola perekonomian orang tua MI Al-Ihsan dapat dilihat melalui mata pencaharian. Apabila dilihat berdasarkan sumber mata pencaharian orang tua yang berada di lingkungan MI Al-Ihsan, pada umumnya mereka berprofesi sebagai guru sekolah, wiraswasta, pegawai, buruh, dan ada juga yang berprofesi sebagai guru mengaji di rumah mereka.

Mata pencaharian orang tua selain berprofesi seperti yang disebutkan diatas, ada juga sebagian orang tua yang mempunyai pekerjaan tambahan dengan berdagang atau membuka warung sembako di rumah-rumah. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga, warung-warung tersebut biasanya dibuat di depan rumah mereka dengan memanfaatkan sebuah ruangan yang ada di rumah mereka. Dengan melihat berbagai macam mata pencaharian orang tua murid diatas maka dapat disimpulkan bahwa keadaan ekonominya dalam taraf menengah kebawah atau mapan. Dominasi terkuat adalah mereka para buruh, pedagang atau wiraswasta sedangkan guru dan pegawai hanya beberapa orang saja.2

3. Keadaan Komunitas

Manusia adalah makhluk sosial atau yang hidup bermasyarakat, ini tidak dapat dipungkiri lagi. Baik jauh di puncak gunung, di tengah lautan belantara, manusia itu akan mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu kehidupan sosial masyarakat atau orang tua MI Al-Ihsan satu sama lain saling

1

Laporan tentang Latar Belakang Pendidikan Orang Tua MI Al-Ihsan. Jakarta, 12 Juni 2006.

2


(54)

membantu dan rasa saling membutuhkan. Manusia tidak dapat hidup menyendiri, karena manusia memerlukan hubungan satu dengan yang lainnya, mereka memerlukan sarana penunjang perkembangan hidupnya. Akan tetapi yang pasti seluruh umat manusia di dunia ini hidup bermasyarakat baik dari golongan kecil maupun golongan besar.

Pada umummnya kehidupan masyarakat atau orang tua MI Al-Ihsan dikenal sebagai masyarakat religius (taat beragama). Mereka terdiri dari 80 % pribumi (asli betawi) dan 20 % non pribumi (masyarakat pendatang). Mereka merupakan keluarga besar yang mempunyai hubungan kekerabatan atau persaudaraan.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka satu sama lain selalu menjaga tali silaturrahmi antara tetangga dan berusaha untuk berbuat baik. Hal ini penulis rasakan bahwa setiap masyarakat yang penulis jumpai begitu ramah, sopan dan menerima dengan tangan terbuka terhadap tamu atau tetangga yang datang kerumahnya.

Di daerah lingkungan MI Al-Ihsan terlihat juga, suatu pola hidup yang tentram, tenang, rukun dan harmonis. Kerjasama, gotong-royong, sikap saling tolong-menolong dan hormat menghormati masih melekat kuat pada jiwa setiap masyarakat. Semua hal yang baik ini dilakukan pada setiap aktivitasnya.

Sistem gotong royong dan kerjasama yang mereka lakukan juga sudah melekat kuat pada jiwa setiap masyarakat, misalnya saja bila ada warga masyarakat yang mempunyai rencana untuk membersihkan lingkungan atau pun kerja bakti lainnya, mereka akan melakukannya dengan senang hati. Begitu juga apabila ada hari-hari besar Islam seperti Isra Mi'raj, Maulid Nabi, dan lain-lain


(55)

mereka akan saling membantu mempersiapkan segala macam untuk acara tersebut. Bila ada suatu masalah, masyarakat tersebut berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan cara musyawarah. Mereka disebut sebagai masyarakat yang saling berkaitan satu sama lain, berkelompok dan bersosialisasi.3

B. MI Al-Ihsan

1. Sejarah Berdiri dan Perkembangan MI Al-Ihsan

Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Yayasan Al-Ihsan Cipete Selatan-Cilandak, Jakarta Selatan dan juga berada di bawah naungan Departemen Agama (DEPAG). Madrasah Ibtidaiyah ini mulai didirikan pada tanggal 20 Juli 1998 yang berlokasi di jalan H. Abu No. 28 A Cipete Selatan-Cilandak, Jakarta Selatan.

Awal berdiri Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan ini adalah tanah pemberian dari keluarga besar H. Mahbub, yang kemudian di wakafkan kepada Yayasan Al-Ihsan yang selanjutnya Yayasan Al-Al-Ihsan mempunyai gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga formal. Sedangkan Yayasan Al-Ihsan itu masing-masing mempunyai pengurus yang memegang jabatan sendiri-sendiri. Atas prakarsa tersebut kemudian didirikan sebuah lembaga formal yaitu Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan yang setara dengan Sekolah Dasar (SD) yang diketuai oleh Bapak Drs. Mahyudin HF sebagai kepala sekolah.

Di madrasah ini ada juga sekolah Raudhatul Athfal atau Taman Kanak-kanak (TK) Islam Al-Ihsan. Adapun luas sekolah adalah 500 M, lapangan bola 200 M, taman bermain 100 M, serta luas mesjid adalah 1000 M. Sekolah ini

3


(56)

terdiri dari 9 lokal ruang belajar, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang komputer, perpustakaan, kamar kecil guru dan murid, mesjid, lapangan sekolah, serta lapangan olah raga. Gedung sekolah adalah bangunan permanen dengan 2 lantai. Lantai dasar atau lantai 1 adalah untuk sekolah TK sedangkan lantai 2 untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI). Lokasi sekolah ini tidak jauh dari kendaraan umum, lapangan parkir kendaraan baik roda dua (motor) maupun kendaraan roda empat (mobil) cukup luas. Alat-alat bermain yang disediakan baik untuk TK maupun MI Al-Ihsan juga lengkap. Waktu belajar dilaksanakan pada pagi hari.

MI tersebut sejak didirikannya pada tahun 1998 sampai sekarang berstatus Terakreditasi B. Semua buku umum pegangan siswa penerbitnya adalah PT. Airlangga dan buku pelajaran agama penerbitnya adalah PT. Toha Putra.

MI Al-Ihsan memiliki visi, misi dan tujuan. Adapun visinya adalah Unggul, Inovatif, Terampil dan berwawasan IPTEK dan IMTAQ.

a). Unggul dalam; bidang akademis, bidang olah raga, bidang sikap dan keterampilan dan kreativitas berdasarkan imtaq.

b). Inovatif; kaya akan ide pembaharuan, peka terhadap perkembangan dan berorientasi ke masa depan.

c). Terampil; mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, mampu menguasai dasar-dasar bahasa Arab dan Inggris, mampu mengamalkan wudhu dan shalat dengan baik dan mampu membaca Al-Qur'an dengan baik.

d). Berwawasan Iptek; berfikir kreatif, berfikir objektif dan rasional berdasarkan Imtaq dan peka perkembangan Iptek yang berdasarkan Imtaq.

Menumbuh kembangkan semangat belajar dan beramal, menumbuh kembangkan beraktivitas, mengembangkan kreativitas dalam bidang Intra dan


(57)

Ekstra, dan menumbuhkan Life Skill (Rencana Hidup) adalah merupakan misi dari MI Al-Ihsan.

Ada dua tujuan yang terdapat pada MI Al-Ihsan yaitu, Tujuan Akademik dan Tujuan Non Akademik, Tujuan Akademiknya yaitu: Meningkatkan prestasi anak didik dan Output siswa yang dapat bersaing. Tujuan Non Akademiknya yaitu: Meningkatkan kepribadian yang Islami, meningkatkan kemampuan baca Al-Qur'an, meningkatkan kemampuan Ibadah Shalat dan meningkatkan kemampuan bidang Seni (Marawis, Drum Band, dan Qosidah).

Sejak didirikannya sampai sekarang MI Al-Ihsan mengalami perkembangan yang cukup pesat karena adanya kerjasama antara guru dan para orang tua serta dukungan dan bantuan orang tua murid yang cukup tinggi terhadap perkembangan MI Al-Ihsan sehingga sekolah ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. 4

C. Organisasi dan Tujuan Struktur Organisasi Struktur Organisasi

Agar pelaksanaan tugas sekolah berjalan dengan baik dan lancar, maka dibutuhkan komponen-komponen yang saling mendukung satu sama lain. Kegiatan antara komponen tersebut dapat dipahami dan dijadikan pedoman dalam bekerjasama jika dituangkan dalam struktur organisasi. Adapun struktur organisasi MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan terlihat bahwa dalam melaksanakan tugasnya kepala sekolah bekerjasama dan bertanggung jawab kepada Ketua yayasan Al-Ihsan yaitu Ust. H. Bukhori Kholid atau menjadi

4

Wawancara Pribadi dengan Drs. Mahyudin HF, Kep-Sek MI Al-Ihsan. Jakarta, 14 Juni 2006.


(1)

ANGKET

“Peranan Orang Tua Dalam Pembinaan Keberagamaan Anak (Studi Kasus: di MI Al-Ihsan Cipete-Cilandak, Jakarta Selatan)”

Petunjuk Pengisian

1. Bacalah dengan baik setiap pertanyaan dan alternatif jawabannya. 2. Jawablah pertanyaan tersebut dengan memilih salah satu alternatif

jawaban yang ada dengan memberikan tanda (X). 3. Angket ini tidak mengurangi nilai prestasi anak Anda. 4. Tidak perlu mencantumkan nama dan identitas lainnya. 5. Naskah ini harus segera dikembalikan setelah diisi. A. Pertanyaan Orang Tua Sebagai Pembimbing

1. Pendapat Anda tentang pentingnya pendidikan agama bagi kehidupan anak

kita:

a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja b. Penting d. Tidak penting

2. Pendapat Anda tentang melatih anak dalam mengerjakan shalat di rumah: a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja

b. Penting d. Tidak penting

3. Membiasakan anak belajar membaca Al-Qur’an di rumah:

a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja b. Penting d. Tidak penting

4. Bimbingan/ latihan berpuasa pada bulan Ramadhan bagi anak-anak kita: a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja


(2)

5. Membiasakan anak bersikap sopan santun kepada orang tua, orang yang lebih tua, guru dan sebagainya:

a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja b. Penting d. Tidak penting

6. Membiasakan anak bila hendak keluar dan masuk rumah mengucapkan salam,

pamit dan minta izin kepada kedua orang tua jika hendak bepergian: a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja b. Penting d. Tidak penting

7. Kisah para Nabi/ Rasul dan kisah-kisah umat terdahulu merupakan contoh bagi kita, anak diajak bercerita tentang kisah-kisah tersebut:

a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja b. Penting d. Tidak penting

8. Tolong-menolong sesama teman dan infaq shadaqoh untuk kebaikan

merupakan akhlak terpuji. Anak diperintahkan berbuat yang demikian: a. Sangat penting c. Biasa-biasa saja b. Penting d. Tidak penting B. Pertanyaan Orang Tua Sebagai Teladan

1. Mengerjakan shalat berjamaah di rumah bersama keluarga:

a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang

b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah

2. Membaca Al-Qur’an sehabis shalat Maghrib di rumah bersama keluarga:

a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang


(3)

3. Memberikan hadiah/ pujian bagi anak yang berprestasi di sekolah, maupun di lingkungan masyarakat:

a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang

b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah

4. Berpuasa di bulan Ramadhan bersama anak-anak sekeluarga:

a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang

b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah

5. Berkata sopan santun, penuh kasih sayang terhadap anak di rumah:

a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang

b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah

6. Tolong-menolong, saling menghormati, saling mengasihi dan saling

menyayangi antar anggota keluarga dibiasakan pada kehidupan sehari-hari:

a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang

b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah

7. Bersikap jujur, adil & bijaksana terhadap anak-anak di rumah, dalam

kehidupan sehari-hari:

a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang

b. Sering dilaksanakan d. Tidak pernah

8. Keikutsertaan anak dalam kunjungan silaturrahmi ke rumah famili:

a. Selalu dilaksanakan c. Kadang-kadang


(4)

C. Pertanyaan Orang Tua Sebagai Pengawas

1. Jika perintah Anda tidak dilaksanakan anak, apakah perlu adanya hukuman:

a. Sangat perlu c. Kurang perlu

b. Perlu d. Tidak perlu

2. Memotivasi anak untuk aktif dalam kegiatan keagamaan seperti Maulid Nabi,

Isra Mi’raj, Muharram dan Nuzulul Qur’an:

a. Sangat perlu c. Kurang perlu

b. Perlu d. Tidak perlu

3. Pendapat Anda tentang kerjasama orang tua dengan guru sekolah/ TPA yang

berhubungan dengan akhlak dan prestasi anak:

a. Sangat perlu c. Kurang perlu

b. Perlu d. Tidak perlu

4. Memberikan hukuman bagi anak yang tidak mau berpuasa pada bulan

Ramadhan tanpa adanya alasan sakit atau bepergian jauh:

a. Sangat perlu c. Kurang perlu

b. Perlu d. Tidak perlu

5. Mengingatkan anak untuk berdo’a sebelum/ sesudah makan, tidur & bangun tidur, berpakaian, masuk & keluar rumah dan sebagainya:

a. Sangat perlu c. Kurang perlu

b. Perlu d. Tidak perlu

6. Menegur dan menasehati anak yang berbuat kesalahan:

a. Sangat perlu c. Kurang perlu


(5)

7. Memberikan hukuman yang mendidik bagi anak kurang lebih usia 10 tahun yang meninggalkan shalat dan tidak mau mengaji:

a. Sangat perlu c. Kurang perlu

b. Perlu d. Tidak perlu

8. Menjaga lisan anak dari kata-kata kotor & keji & menjauhkan dari teman-temannya yang berperilaku buruk, buku-buku bacaan, majalah, brosur-brosur yang sifatnya membahayakan iman:

a. Sangat perlu c. Kurang perlu


(6)