Sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme : studi kasus terhadap 3 orang tua yang anaknya sedang terapi autis - USD Repository

  

SIKAP PENERIMAAN ORANG TUA

TERHADAP ANAKNYA YANG MENYANDANG AUTISME

(Studi Kasus terhadap 3 Orang tua yang Anaknya sedang Terapi Autis)

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

Oleh :

  

INDAH SURYANING ASTUTI

NIM : 999114010

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2007

  2

  3

  4

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  “Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah”.

  Yogyakarta, Februari 2007 Indah Suryaning Astuti

  5

HALAMAN PERSEMBAHAN

  

Kupersembahkan karya ini untuk

Orang-orang tercinta:

Papa dan Mama yang telah banyak bersabar dan berdoa untuk keberhasilan

aku…

  

Maafkan aku jika terlalu lama…

Adikku Diaz Rizky yang telah banyak

Menghibur dengan cerita yang konyol dan dukunganmu untuk tidak cepat

Putus asa…

  

Sahabat sekaligus teman terbaikku Hasta “Okie” Brata yang

Menjadi semangat hidupku untuk segera menyelesaikan

Penelitian ini…

I know you’ll always be with me…

  

Mas Cello and Dek Cupid… Thanks for always

making me laugh, everyday…

  6

  ABSTRAKSI

  Astuti, Indah Suryaning (2007). Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap

  Anaknya Yang Menyandang Autisme. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas

  Psikologi, Universitas Sanata Dharma Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seperti apakah sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme. Jenis penelitian ini studi deskriptif kualitatif yang dilakukan pada 6 subjek penelitian yaitu 3 orang tua (ayah ibu) yang memiliki anak yang menyandang autisme dan sedang diterapi di yayasan/ sekolah autis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan data yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks dan mencakup gangguan perilaku dan kognitif pada anak.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua (6 subjek penelitian) dapat menerima kalau anaknya menyandang autisme. Bentuk penerimaannya adalah dengan mencintai, merawat, mendidik dan mengasuh dengan baik. Para subjek juga memahami kondisi, emosi dan komunikasi anak- anak mereka. Perasaan subjek terhadap anaknya yang menyandang autisme berbeda-beda. Ada yang merasa sedih, ada yang merasa khawatir dengan masa depan anaknya dan ada yang merasa biasa-bisa saja. Tindakan dan upaya untuk anaknya yang menyandang autisme, yang dilakukan oleh subjek satu dengan yang lainnya hampir sama, mereka ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya yang menyandang autisme dengan memberikan perhatian yang besar yaitu menyekolahkan anaknya di yayasan/ sekolah autisme, melakukan terapi secara rutin dan selalu mencari informasi yang up to date tentang autisme.

  Kata kunci: Orang tua, Sikap Penerimaan

  7

  ABSTRACT

  Astuti, Indah Suryaning (2007). The Parent’s Accepting Attitude to Their

  Children who is The Autism. Thesis. Yogyakarta : Faculty of

  Psychology, Sanata Dharma University This study in order to getting know the parent’s accepting attitude to their children who is the autism. The observation is qualitative descriptive study kind of observation which is done in to six subject of observation, such as three parents who have autism children and getting therapy in autism school. Data collecting through interview technique and the data which is resulted from this observation is qualitative data. In complete words, autism is a complex growth disorder which is also includes behavioral and cognitive disorder in a child.

  The result of this study shows that most of parents can accept their children who are autism. The type of acceptance to them are giving love, attention patient and also taking care. Those parents also getting understand for the condition, emotional and communication of their children. Therefore, this parents have a good opinion to their children. Parent’s feeling to their children’s future, but some feel normal. Act and effort for their autism children which is done by subject almost the same with the others. They just want to give the best for their children by giving attention for them, like getting them into autism school or foundation, doing therapy countinously and always looking for the latest information about autism.

  Key words: Parents, Accepting Attitude

  8

KATA PENGANTAR

  Assalamualaikum Wr Wb Alhamdulillahi Rabbil’alamin, tiada kata yang lebih pantas dan bermakna, kecuali mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak kemudahan, kelapangan jalan dan memberikan yang terbaik bagi penulis selama proses penulisan skripsi hingga terselesaikannya karya tulis ini.

  Sebagai sebuah karya tulis, penulis menyadari adanya banyak kekurangan. Oleh sebab itu, banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, perhatian serta doa yang tulus saat proses pengerjaan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

  1. Tuhan YME, yang membuat segalanya terjadi pada saya. Semua kejadian- kejadian yang saya alami selama hampir 26 tahun ini, yang sedih sekalipun, jadi great inspirator di kemudian hari… Walaupun kadang saya kurang bijak menyikapinya...

  2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  3. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi selaku Dosen Pembimbing Utama Skripsi yang banyak memberikan bimbingan, dorongan dan masukkan serta selalu membesarkan hati penulis sehingga terlesaikannya skripsi ini.

  4. Bapak Dr. A. Supratiknya dan bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku

  9

  5. Staf pengajar dan seluruh karyawan Psikologi Sanata Dharma semoga terus maju bersama dedikasinya.

  6. Bapak dan Ibu yang tidak berkenan disebutkan namanya, terima kasih telah menjadi subjek penelitian penulis serta kemudahan-kemudahan yang diberikan selama pengambilan data.

  7. Mbak Nanik, mas Gandung, mas Muji, mas Doni, dan pak Gik..hehe..maaf kalau sering merepotkan, tanya-tanya terus niy..

  8. Keluarga besar Danandjaya dan Ida Wiharharyani yang tak pernah lelah memberikan kasih dan cintanya. Last but not least: Vieeta, my Sista!!!

  9. Keluarga Haryo Yudhanto yang banyak memberikan semangat dan doa tak terkecuali mas Bobby, dek Dinda, Mbak Santi, Nean.

  10. Rosalina “Ocha” Laksmi… My supporter and my best friend 11.

  Special Thanks must go to Rena, Nanda, Aji, Dini, Dimas, Obie, Miftah, Yogo, Deviy, Poppy, Haniy, Fikri temen-temen terbaikku di TPR.

  12. Pak Prama, mbak Hera, mas Eppy, mbak Rini, mbak Lusi, mbak Susi, mbak Tina, Mr. Godek, pak Jay, mas Bouche, mas Jo, temen-temen CS, gedung sebelah, security, driver dan semuanya ajah deh.. Semangat Pagi GraPARI Telkomsel Jogja.

  13. Temen-temen angkatan ’99 untuk persahabatan yang indah selama kita menimba ilmu di fak. Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  14. Sahabat-sahabat yang selalu jadi inspirasi, Nanik, Ika, Vidi, Fredy, GamZ (kapan nyusul say…☺), Desta n Prima (sukses yaks!)‘n Mey (nggak ada loe

  10 Yudhis (kau menyelamatkanku di detik2 yang menegangkan), Tessa, Siwi, Berto, Tukino, Galih, Petrus, Hansi, Dennis, Vincent, Doni, and my Big Brother “Robert”..ThankiU..

15. Mas aWAN… thx buat PDF nya… 16.

  Kakak-kakakku di Inzed Production, mas Mamad, mas Yoyok, mas Desta, mas Rory, mas Zuhdan, mas Otonk, mas Decki, mas Arya, mas Beta, mas Hamam, mas Bimo, mas Ian, mbak Wiewid (Gajian_nya jangan telat mulu yah…), mas Kadek, mas Muhtar, mas Yusuf, mas Yoga, Ijas, Surya..Thank

  you very much for the beautiful friendship 17.

  Teman-teman bojoku yang selalu membuatku panik… Ocie, Fuad, Arya, Ichad, Rifki, Roy, Moko (kalian emang benar-benar Pejantan Tangguh) and Nopie, mbak Rini, Citra, Acie, Sandra… kapan kumpul-kumpul lagi jeng?! 18. Teman-temanku yang nggak kesebut, bukan berarti nggak inget dan nggak sayang loh… Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini maupun selama menjalani studi di Psikologi Sanata Dharma.

  11

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ v ABSTRAKSI ..................................................................................................... vi ABSTRACT....................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii DAFTAR ISI...................................................................................................... xi DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xv

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian....................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian..................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Autisme ..................................................................................... 7 1. Pengertian Autisme ............................................................. 7 2. Penyebab Autisme............................................................... 9 3. Perbedaan Autisme, Schizoprenia dan Retardasi Mental.... 10 4. Penggolongan Perilaku Autisme ......................................... 10 5. Gejala Anak yang Menyandang Autisme………………… 11 6. Hal yang Perlu Diperhatikan Berkaitan dengan Autisme... 13 B. Sikap.......................................................................................... 14 1. Pengertian Sikap.................................................................. 14

  12

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap..... 16 C. Orang tua……………………………………………………… 18 1.

  Pengertian Orang tua........................................................... 18 2. Kewajiban Orang tua........................................................... 19 3. Pola Asuh Orang tua............................................................ 20 D. Penerimaan Orang tua ............................................................... 22 1.

  Pengertian Penerimaan Orang tua ....................................... 22 2. Ciri-ciri Orang tua yang Menerima Anaknya...................... 23 E. Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap Anaknya yang

  Menyandang Autisme................................................................ 25

  BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian.......................................................................... 27 B. Subyek Penelitian...................................................................... 27 C. Lokasi Penelitian ....................................................................... 27 D. Variabel Penelitian .................................................................... 28 E. Batasan Istilah ........................................................................... 29 F. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 30 G. Metode Analisis Data Penelitian ............................................... 34 H. Pemeriksaan Keabsahan Data ................................................... 35 1. Kredibilitas .......................................................................... 35 2. Dependibilitas...................................................................... 36 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Konteks Penelitian .................................................... 37 B. Prosedur Penelitian.................................................................... 38 C. Hasil Penelitian Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme ....................................... 40 1. Per Subjek ...........................................................................

  1.1. Orang tua I (Subyek A (Ayah) ................................. 40

  13

  1.4. Orang tua II (Subjek D (Ibu) .................................... 51 1.5.

  Orang tua III (Subjek E (Ayah)……………………. 55 1.6. Orang tua III (Subjek F (Ibu) ...................................... 60 D. Pembahasan............................................................................... 64 a.

  Aspek Kognitif Sikap Penerimaan Orang tua yang Anaknya Menyandang Autisme..........................................

  64 b. Aspek Afektif Sikap Penerimaan Orang tua yang

  Anaknya Menyandang Autisme .......................................... 67 c. Aspek Konatif Sikap Penerimaan Orang tua yang

  Anaknya Menyandang Autisme .......................................... 69 d. Sikap Penerimaan Orang tua Terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme................................................. 73

  BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan................................................................................ 78 B. Keterbatasan Penelitian……………………………………….. 79 C. Saran-saran ................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 82 LAMPIRAN

  14

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1 : Blue Print wawancara Sikap Penerimaan Orang Tua terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme…………………… 33 Tabel 2 : Hasil Penelitian : Deskripsi Subjek Penelitian (di lampiran)………

Tabel 2.1 : Persamaan dan Perbedaan Sikap Penerimaan Orang Tua terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme

  (Persamaan Sikap) (di lampiran)……………………………………

Tabel 2.2 : Perbedaan Sikap Penerimaan Orang Tua terhadap Anaknya yang Menyandang Autisme (di lampiran)………

  15

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua I Subyek A (ayah) .........

  1 Lampiran 2 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua I Subyek B (ibu)............

  6 Lampiran 3 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua II Subyek C (ayah) ........ 11 Lampiran 4 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua II Subyek D (ibu) .......... 17 Lampiran 5 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua III Subyek E (ayah) ....... 23 Lampiran 6 : Hasil Wawancara Pasangan Orang tua III Subyek F (ibu).......... 30 Lampiran 7 : Surat Ijin Penelitian.....................................................................

  16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pada dasarnya sangat menginginkan hal-hal yang indah

  dan berkesan dalam hidupnya, seperti mempunyai keluarga bahagia serta keturunan yang normal, akan tetapi terkadang apa yang diharapkan tidaklah sesuai dengan apa yang didapatnya. Salah satunya adalah ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa buah hati yang didambakan selama ini mengalami gangguan atau penyimpangan perkembangan anak yaitu autisme.

  Pada saat ini fenomena autisme semakin banyak muncul di permukaan setelah meningkatnya jumlah balita yang mengalami gangguan perkembangan yang kemudian baru diketahui sering disebut sebagai autisme. Hal inilah yang membuat autisme menjadi topik dan kajian yang penting dan mendesak bagi para pakar kesehatan anak, psikologi perkembangan, bahkan orang tua yang anaknya menyandang autisme.

  Prevalensi anak autisme mengalami peningkatan di Pensylvania, Amerika Serikat beberapa tahun terakhir ini sebesar 50%, menjadi 40 dari 100.000 kelahiran (Handojo, 2003). Penelitian juga menunjukkan bahwa autisme lebih sering terdapat pada anak laki-laki, bisa sampai tiga hingga empat kali dibanding anak perempuan (Yatim, 2002).

  Ketika orang tua dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka memiliki anak

  17 suami-istri dan anggota keluarga lainnya. Banyak orang tua yang mengalami kebingungan dan kekhawatiran melihat perkembangan anak mereka yang tidak sesuai dengan perkembangan anak-anak lain seusianya. Hal itu disebabkan karena perbedaan informasi tentang autisme yang didapat, selain itu juga kesiapan mental mereka ketika harus dihadapkan dengan keadaan anaknya yang menyandang autisme.

  Tidak sedikit pasangan suami-istri juga mengalami konflik, karena tidak adanya persamaan persepsi dan sikap saling mendukung terhadap anaknya yang menyandang autisme. Beberapa orang tua juga shock saat mengetahui hasil diagnosa dari dokter spesialis kalau anaknya menyandang autisme. Tampak jelas bahwa berat ringannya gangguan autisme yang dialami anak juga berpengaruh terhadap hubungan suami istri. Hal inilah yang akan menjadi perhatian, seperti bagaimanakah sikap penerimaan orang tua terhadap anak mereka yang mengalami gangguan perkembangan ini.

  Sebagian orang tua terpaksa datang ke tempat-tempat profesi tertentu yang bukan ahlinya dalam perkembangan anak untuk menggali informasi lebih jauh tentang perkembangan anaknya yang menyandang autisme, tetapi sejauh ini jawaban yang didapat masih mengambang, dan menganggap remeh keluhan orang tua ataupun justru menghibur dengan mengatakan bahwa gangguan yang dialami anak mereka biasa dialami anak yang lain (Faradz, 2000).

  Hal ini mengakibatkan orang tua seringkali kesulitan ketika berhadapan dan terlambat saat mendeteksi dan mendiagnosa perkembangan anak mereka,

  18 yang anaknya berusia 15 tahun baru tahu kalau anaknya menyandang autisme (Handojo, 2003). Kenyataan ini dapat dimengerti mengingat pengetahuan masyarakat atas gangguan autisme masih sangat kurang, bahkan juga di kalangan professional. Autisme merupakan gangguan perkembangan khusus yang terjadi pada anak yang mengakibatkan anak tersebut tidak dapat berkomunikasi, dan tidak dapat mengekspresikan perasaannya dan keinginannya, sehingga terganggunya perilaku hubungan dengan orang lain.

  Berikut ini adalah salah satu penuturan orang tua bernama Denny yang anaknya menyandang autisme. Pada awalnya Denny tidak tahu bahwa Lingga anaknya menyandang autisme. Sampai suatu ketika, ada temannya yang datang dan cukup tahu banyak mengenai autisme, temannya tersebut melihat kalau Lingga memiliki gejala-gejala yang mengarah pada autisme. Awal mulanya Denny marah dan tersinggung, karena bagi dia autisme adalah suatu penyakit/ gangguan yang tidak dapat disembuhkan, setelah Denny melihat ada yang tidak wajar dengan perkembangan Lingga, ia pun membawa Lingga ke dokter spesialis, dari diagnosa baru Denny tahu bahwa Lingga menyandang autisme.

  Akhirnya, setelah melalui proses terapi dan mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan autisme, Denny dapat menerima keberadaan Lingga buah hatinya dengan rasa syukur. Apa yang positif dari Lingga digalinya seperti bakat yang dimiliki anaknya dan apa yang negatif (emosi yang meledak-ledak) diterima dan mencoba mengatasi. Harapan pada Lingga sederhana saja, agar Lingga dapat melewati masa depannya (pendidikan formal dan sosialisasi dengan masyarakat/

  19 lingkungan)seperti anak normal lainnya walaupun Lingga mengalami gangguan perkembangan.

  Orang tua diharapkan bisa menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk melakukan terapi tambahan saat anak berada di rumah bukan di sekolah autisme (Handojo, 2003), dan tentu saja itu semua sebagai usaha untuk menciptakan suatu hubungan yang harmonis dan memuaskan dari kedua belah pihak, orang tua dan anak yang menyandang autisme.

  Permasalahan akan timbul jika orang tua tidak menciptakan hubungan yang harmonis dan menyerahkan sepenuhnya penanganan anak mereka ke yayasan atau sekolah-sekolah autisme. Mereka tidak mau mengurusi segala hal yang menyangkut urusan pendidikan anaknya, mereka cukup menyediakan biaya untuk sarana atau keperluan yang dibutuhkan, tetapi ada juga orang tua yang selalu ingin turut campur terhadap proses terapi karena mereka ingin melihat anak mereka dapat “mandiri” dengan cepat, sehingga kelancaran proses terapi menjadi terganggu bahkan terhenti, anak akan semakin tidak mandiri dan merasa tidak diterima di dalam keluarga besarnya.

  Kasih sayang orang tua yang besar dan terlalu melindungi serta selalu menolongnya dari kesulitan, membuat anak tidak akan mampu berdiri sendiri dan mandiri. Anak akan selalu ragu dan takut setiap akan melakukan suatu hal. Rasa harga dirinya kurang tumbuh dan selalu merasa tidak percaya pada kemampuan diri sendiri (Kartono, 1992). Sikap orang tua inilah yang menyebabkan terhambatnya proses kemandirian anak, apalagi dengan adanya gangguan kelainan

  20 Hubungan yang memuaskan adalah ketika orang tua menanamkan kepercayaan, pengertian dan penerimaan terhadap anak mereka, akan tetapi pada kenyataannya, banyak orang tua yang merasa malu ataupun justru mereka sudah pusing dengan permasalahan dan konflik-konflik sendiri. Kebanyakan orang tua menutupi sikap yang kurang baik terhadap anaknya, karena mereka sadar bahwa masyarakat dan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka tidak akan suka kalau para orang tua mengungkapkan kata-kata yang kurang baik atau memperlihatkan sikap yang kurang menyenangkan kepada anak kandungnya (Hurlock, 1999).

  Orang tua yang memiliki anak penyandang autisme, dibutuhkan penerimaan dan kesabaran yang besar. Oleh karena itu, seorang ibu atau ayah yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya penyandang autisme akan dapat mempengaruhi kondisi anak (Budiman, 2002), dimana anak akan merasa tidak dihargai, tidak mandiri, tidak bebas dan anak tidak dapat belajar memecahkan masalahnya sendiri, serta anak akan bertingkah laku defensif,

  Hubungan yang hangat dan harmonis dalam keluarga akan menimbulkan rangsangan yang baik untuk anak penyandang autisme. Anak akan mempersepsikan bahwa mereka diterima secara baik oleh keluarga sehingga anak penyandang autisme dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal tanpa adanya tekanan dari lingkungan.

  Lain halnya jika lingkungan tidak harmonis, anak akan menarik diri dan ini merupakan suatu langkah mundur untuk proses perkembangan anak menyandang autisme. Anak akan menarik diri dan tidak dapat mengembangkan

  21 Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian diadakan dan diharapkan dapat menjawab pertanyaan seperti apakah sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

  B. Rumusan Masalah

  Dari uraian di atas, peneliti ingin mengetahui seperti apakah sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mencari kejelasan tentang seperti apakah sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian ilmiah psikologi khususnya perkembangan dan psikologi klinis yang berkaitan mengenai sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autisme.

  Manfaat secara praktis hasil penelitian ini adalah untuk memberi gambaran kepada orang tua yang anaknya menyandang autisme, agar mereka dapat mengambil sikap menerima dan mengasuh anak mereka yang menyandang autisme.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Autisme 1. Pengertian Autisme Autisme bukanlah masalah baru karena sudah ada sejak jaman dahulu,

  kalau para orang tua membaca cerita-cerita lama tentang anak yang dianggap aneh karena sejak lahir sudah menunjukkan gejala-gejala tidak normal, seperti meronta jika digendong, selalu menangis di malam hari, dan banyak tidur di siang hari, bicara sendiri seolah-olah ada yang mengajaknya bercanda serta menggigit atau menyakiti diri sendiri. Jikalau dipikir dengan baik maka bisa jadi anak yang menyandang autisme telah menunjukkan gejalanya sejak lahir.

  Istilah autisme pada anak diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Leo Kanner, seorang psikiater anak pada tahun 1943. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan keadaan dari 11 orang anak yang memiliki karakteristik hampir mirip yaitu ketidakmampuan mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah “hidup dalam dunianya sendiri” (Handojo, 2003). Sejak saat itu, kondisi ini dikenal sebagai gangguan perkembangan, gangguan jiwa anak yang sulit diterapi dengan hasil diagnosis yang jelek. Baru kemudian dikembangkan teknik modifikasi perilaku anak penyandang autisme oleh Ivar Lovaas, dimana diharapkan anak-anak penyandang autisme dapat hidup normal, walaupun autismenya sendiri tidak bisa disembuhkan (Lovaas, 1981).

  Autisme muncul dengan ditandai adanya penurunan respon sosial yang menonjol terhadap lingkungannya, dimana penyandang senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil, misalnya tidak memberikan respon yaitu tersenyum atau mengerjapkan mata, selain itu kurangnya komunikasi penyandang autisme dengan orang lain juga menjadi penyebab munculnya autisme.

  Rusmil, 2001 (dalam Yatim, 2002) mengartikan autisme sebagai suatu kelainan pada anak berupa gangguan perkembangan yang luas dan menyeluruh pada usia balita (dibawah usia 3 tahun). Dimana anak penyandang autisme tidak mampu membentuk hubungan sosial atau mengembangkan komunikasi yang normal (gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan bahasa), akibatnya anak menjadi terisolasi dari kontak manusia dan tenggelam dalam dunianya sendiri yang diekspresikan dalam minat dan perilaku yang terpaku dan berulang- ulang.

  Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)

  III, autisme yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan gangguan perkembangan yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/ atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun. Ciri abnormal yang tampak yaitu interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang.

  Gangguan ini dijumpai 3 – 4 kali lebih banyak pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.

  Dari keseluruhan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah suatu gangguan perkembangan khusus yang terjadi pada anak yang mengekspresikan perasaannya dan keinginannya, sehingga menyebabkan terganggunya perilaku hubungan dengan orang lain.

2. Penyebab Autisme

  Penyebab autisme sendiri masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa penelitian memperlihatkan penyebab autisme adalah multifaktor kemungkinan besar disebabkan karena suatu masalah fisik yang mempengaruhi bagian-bagian dari otak (kerusakan organis pada otak) yang memproses bahasa dan informasi yang berhubungan dengan panca indera. Adanya kerentanan genetic, kemudian dipicu oleh faktor-faktor lingkungan yang multifaktor, seperti infeksi (rubbela, cytomegalovirus) saat anak masih dalam kandungan, bahan-bahan kimia (pengawet, pewarna, perasa makanan dan berbagai food addictives lainnya) serta polutan seperti timbale, timah hitam, atau air raksa dari ikan yang tercemar mercuri sebagai bahan pengawet vaksin

  Penyebab autisme juga dapat berupa faktor bawaan tertentu, atau pengalaman yang kurang mendukung, misalnya dibesarkan oleh orang tua yang dingin dan tidak responsif atau pernah mengalami trauma dengan lingkungan sosialnya. Penelitian juga membuktikan bahwa tidak ada faktor psikologis yang menyebabkan seorang anak dikategorikan sebagai autisme (Sutandi, 1998). Belum diketahui pasti mengapa autisme lebih banyak dialami pada anak laki-laki dibanding anak perempuan, dengan perbandingan 4-5 orang berbanding 1. Autisme dapat terkena pada anak siapa saja, tidak ada perbedaan latar belakang

  3. Perbedaan Autisme, Schizoprenia dan Retardasi mental

  Schizoprenia juga merupakan gangguan yang membuat anak menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri, tetapi ada perbedaan yang jelas penyebab dari autisme dan penderita schizoprenia. Schizoprenia mempunyai halusinasi dan disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan anak menyandang autisme tidak, mereka disebabkan kegagalan perkembangan yang mempengaruhi tingkat perkembangannya seperti anak normal pada umumnya.

  Anak retardasi mental biasanya senang bergaul dengan anak yang sesuai dengan usia mentalnya dan mau menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, selain itu anak retardasi mental memiliki inteleginsi umum di bawah rata-rata sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh sedangkan anak autisme tidak semua memiliki inteleginsi di bawah rata-rata akan tetapi ada juga yang tingkat inteleginsinya di atas rata-rata (Nakita, 2002).

  4. Penggolongan Perilaku Autisme

  Perilaku autisme digolongkan menjadi 2 jenis yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) adalah perilaku hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, mengigit, mencakar, memukul dan anak yang menyandang autisme tidak mengerti arti mainan sehingga mainannya hanya dibuang-buang. Jenis perilaku yang kedua adalah perilaku defisit (kekurangan) ditandai dengan gangguan bicara, emosi yang tidak tepat dan perilaku sosial yang kurang sesuai, seperti gerakan yang sering berulang-ulang, menepuk-nepuk kepala, menggerakkan jarinya seperti penari, duduk sambil mengoyang-goyangkan badan dan lain sebagainya (Yatim, 2002).

5. Gejala- gejala Anak yang Menyandang Autisme

  Anak yang menyandang autisme sebagian kecil sempat berkembang normal, namun sebelum mencapai umur 3 tahun perkembangan terhenti, kemudian timbul kemunduran dan mulai nampak gejala-gejala autisme. Gejalanya akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia 3 tahun, yaitu berupa gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non-verbal seperti terlambat bicara, banyak meniru (echolalia), bila kata-kata diucapkan anak tidak mengerti artinya.

  Bentuk dari gejala-gejala yang digambarkan di bawah ini, tidak harus semua ada pada setiap anak yang menyandang autisme (Gamayanti, 2003).

  Bentuk dari gejala gangguan anak yang menyandang autisme adalah sebagai berikut : Gangguan dalam

  Interaksi Sosial Kurang responsive terhadap isyarat sosial, menolak dan menghindari untuk bertatap muka dan berkomunikasi, jika didekati menjauh, tidak mau menengok bila dipanggil, seringkali menolak untuk dipeluk, serta lebih asyik untuk bermain sendiri, tidak mampu mengekspresikan rasa senang/ keinginannya secara spontan dan tidak ada empati

  Gangguan dalam Perilaku

  Cuek terhadap lingkungan, asyik dengan dunianya sendiri, semaunya sendiri tidak mau diatur, senang tertawa sendiri, perilaku tidak terarah (teriak-teriak, melompat-lompat, berputar-putar, berjalan berjinjit-jinjit, jalan mondar- agresif/ menyakiti diri sendiri, tantrum (mengamuk) oleh sebab yang tidak jelas, melamun atau bengong, terpukau pada benda berputar atau benda yang bergerak, kelekatan terhadap benda tertentu dan perilaku yang ritualistik. Gangguan dalam Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain,

  Perasaan/ Emosi menangis, tertawa dan marah tanpa sebab, sering mengamuk tak terkendali terutama bila tak mendapatkan apa yang diinginkan bisa menjadi agresif dan destruktif dan rasa takut yang tidak wajar. Gangguan dalam Mencium-cium, menjilat-jilat dan menggigit mainan, bila

  Persepsi Sensoris mendengar suara keras atau nada tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan yang kasar, sangat tahan terhadap sakit. Gangguan dalam Terlambat berbicara atau sama sekali belum dapat

  Komunikasi berbicara, sangat sulit untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain, komunikasi dengan gerakan/ bahasa tubuh, mengulang- ulang kata, meracau dengan bahasanya sendiri dan tidak memahami pembicaraan orang lain (lebih suka mengulang pertanyaan yang ditanyakan tanpa bisa menjawab apa yang ditanyakan)

  Berdasarkan adanya gangguan pada otak dan terlihatnya beberapa gejala dari autisme, menurut beberapa penelitian yang dilakukan, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah kea rah yang positif dengan berbagai terapi (Handojo, 2003). Dari sini timbul pemikiran bahwa, dulu autisme dianggap sebagai suatu kondisi yang tanpa harapan dan tidak dapat membaik. Kini tidak lagi, berkat kemajuan teknologi, terapi dan obat-obatan, sehingga autisme tidak membebani masyarakat.

6. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Berkaitan dengan Autisme

  Ada banyak masalah yang berkaitan dengan autisme, dari gejala maupun perilaku anak yang menyandang autisme terhadap orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang kemudian menjadi kajian hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan saat orang tua/ terapis berhadapan dengan anak yang menyandang autisme :

  a. Berilah waktu dan kesempatan pada anak untuk melihat masalahnya secara jelas tanpa dengan cepat-cepat memberikan bantuan.

  b. Jangan terlalu cepat memberikan kegiatan, tunggu sampai anak siap dan mengenal dengan baik c. Jika anak sampai menolak kehadiran kita, jangan putus asa karena harus diingat, sesuatu yang masih baru, anak lebih cenderung untuk menolak.

  d. Untuk mengetahui waktu yang tepat bermain bersama anak biasanya ditentukan oleh perasaan kita sebagai orang tua.

  e. Masalahnya harus jelas, perintah ringkas, singkat dan cukup terdengar

  f. Kalau situasinya sudah menyenangkan, lakukan tindakan yang bervariasi akan tetapi dilakukan dengan konsisten.

  g. Kalau terjadi sesuatu tingkah laku yang agak ekstrim dari anaknya yang menyandang autisme, diharapkan jangan panik. Lakukan dengan tenang

  Dari sini tampak jelas bahwa kesabaran yang tinggi/ besar sangat dituntut bagi orang tua dalam menangani anaknya yang menyandang autisme, karena saat menghadapi, menangani ataupun melakukan terapi terhadap anaknya yang menyandang autisme memerlukan waktu yang lama.

B. Sikap 1. Pengertian Sikap

  Menurut Berkowitz (dalam Azwar, 2000), beberapa pengertian sikap yang dikemukakan oleh para ahli terdiri dari beberapa kelompok, yaitu: a) Kelompok pemikiran yang pertama oleh para ahli psikolog, seperti Louis

  Thurstone dan Charles Osgood. Sikap adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, baik perasaan mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung terhadap obyek sikap.

  b) Kelompok kedua dikemukakan oleh Gordon Allport. Sikap merupakan kesiapan individu untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan dalam definisi ini adalah kecenderungan individu untuk bereaksi apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu sistem yang menghendaki adanya respon.

  c) Kelompok ketiga berorientasi pada teori kognitif dimana merupakan penggabungan dari komponen kognitif, afektif dan konatif yang berorientasi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu obyek. Menurut Sarwono (dalam Azwar, 2000), sikap adalah kesiapan seseorang negatif. Dikatakan positif apabila tindakannya cenderung mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek itu, dan dikatakan negatif apabila tindakannya cenderung untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai obyek tersebut.

  Dari beberapa pengertian sikap di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu reaksi atau evaluasi terhadap suatu obyek ke dalam perilaku baik lisan maupun perbuatan. Sikap yang terdapat pada seseorang akan memberikan warna pada perbuatan atau perilaku individu yang bersangkutan. Jadi lebih pada kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap sesuatu dan menghendaki adanya respon.

2. Komponen Sikap

  Menurut Walgito (1994) sikap mempunyai tiga komponen, yaitu: komponen kognisi; komponen afeksi serta komponen konasi atau psikomotor.

  Ketiga komponen tersebut menentukan predisposisi seseorang untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu dan ketiga komponen itu saling berinteraksi dalam menentukan sikap.

  Komponen kognisi merupakan komponen yang berhubungan dengan obyek tertentu atau dengan kata lain komponen kognisi menjawab tentang apa yang dipikirkan dan dipersepsikan seseorang terhadap obyeknya, dengan demikian komponen kognisi berkaitan dengan ide, keyakinan atau kepercayaan tertentu dalam diri seseorang terhadap obyeknya.

  Komponen afeksi merupakan komponen yang menjelaskan tentang arah senang atau tidak senang, dengan demikian komponen afeksi akan menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan seseorang terhadap obyeknya.

  Komponen konasi menunjuk pada seluruh kesediaan untuk bertingkah laku atau melakukan tindakan. Jadi komponen konasi akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana kesiapan atau kesediaan seseorang dalam melakukan tindakan tertentu. Ketiga komponen di atas saling berinteraksi dan tidak berdiri sendiri.

  Komponen kognisi, komponen konasi dan komponen afeksi atau perasaan merupakan komponen sikap yang mempunyai peranan menghasilkan perilaku tertentu terhadap obyek.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

  Pembentukan sikap tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan yang berkenaan dengan obyek tertentu.

  Oleh karena itu interaksi sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompok dapat mengubah sikap atau pembentukan sikap yang baru.

  Azwar (1995), mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, antara lain:

a. Pengalaman pribadi

  Pengalaman pribadi merupakan penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial dan tanggapan akan menjadi salah satu dasar dari terbentuknya sikap itu sendiri. Maka dari itu, orang tua juga harus mempunyai pengalaman pribadinya saat menjadi anak.

  b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

  Orang-orang yang dianggap penting bagi orang tua adalah pasangan, orang tua terapis, guru, teman dekat. Pada umumnya orang tua akan cenderung memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

  c. Pengaruh kebudayaan

  Kebudayaan ditempat orang tua hidup dan dibesarkan memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan sikap terhadap masalah dan memberikan pengalaman pada orang tua yang menjadi kelompok masyarakat.

  d. Media massa

  Selain sebagai wahana komunikasi yang menyampaikan informasi, media massa juga membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan pada opini.

  e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

  Kedua lembaga tersebut meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu, juga memberikan pemahaman akan baik dan buruk moral.

  Ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan, sehingga konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap orang tua terhadap anak mereka.

  f. Pengaruh faktor emosional

  Sikap terkadang merupakan pernyataan yang didasari emosi. Sikap ini dapat berupa sikap sementara sebagai penyaluran frustasi tetapi juga dapat lebih konsisten dan bertahan lama.

C. Orang Tua 1. Pengertian Orang Tua

  Orang tua adalah hubungan pria dan wanita yang saling mencintai dan saling memiliki satu sama lain dalam satu ikatan resmi secara hukum maupun agama (pernikahan) untuk belajar hidup bersama, belajar mengelola rumah tangga serta mengasuh dan merawat anak-anak mereka (Kartono, 1992).

  Setiap orang tua yaitu ayah dan ibu, masing-masing memiliki tugas/ peran yang berbeda-beda dalam mengurus rumah tangganya dan dalam mengurus anak- anak mereka. Ayah yang merupakan kepala rumah tangga/ tulang punggung keluarga memiliki tugas untuk bekerja mencari uang supaya kebutuhan rumah tangganya selalu terpenuhi.

  Seorang ayah memiliki peranan yang sangat besar di dalam keluarganya, dimana ayah juga harus menunjukkan sikap kepemimpinan, sifat yang bijaksana,.

  Demokratis dan berani bertanggung jawab, supaya istri dan anak-anaknya dapat melihat figur seorang pemimpin di dalam sebuah keluarga. Di dalam keluarga, ayah juga memiliki wewenang penuh terhadap keputusan penting yang diambil.

  Ibu memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan anak- anaknya. Hampir sebagian besar anak yang ada di dunia cenderung dekat dengan ibunya dan di sini peranan ibu adalah memberikan perhatian, merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya supaya menjadi anak yang sesuai dengan harapan orang tua.

2. Kewajiban Orang Tua

  Menurut Kartono (1992), orang tua memiliki kewajiban terhadap anaknya yaitu:

a) Membuat si anak sampai bisa mandiri

  Orang tua membantu anaknya dengan memberikan pekerjaan sampingan yang tidak sampai menyita waktu sekolahnya, supaya anak dapat merasakan jika ia menginginkan sesuatu, maka ia harus berusaha.

  b)

Mempersiapkan biaya pendidikan dan memenuhi sebagian keperluan/

kebutuhan anak-anaknya

  Sebagai orang tua wajib mengingatkan anaknya, supaya anak menyadari bahwa dengan dibiayai pendidikannya, anak juga harus ada timbal balik dengan pendidikannya secara optimal (prestasi diri). Hal ini dilakukan supaya anak dapat berkonsentrasi di sekolah dan memiliki banyak waktu untuk mengembangkan diri serta bersosialisasi.

  c)

Mendidik anak menjadi seorang yang beriman dan tidak selalu

memanjakan

  Di sini beriman adalah tak lain agar setiap usaha yang dilakukan anaknya terarah dan prinsip menghalalkan segala cara dapat ditepis. Sebaiknya orang tua yang memiliki kemampuan finansial yang berlebih juga tidak terlalu memanjakan anaknya.

  d)

Memberikan perasaan dicintai, disayangi, dibutuhkan serta pemenuhan

kebutuhan perasaan aman dan nyaman di rumah

  Ini adalah kewajiban utama orang tua ketika mereka harus dihadapkan pada posisi dimana mereka memiliki buah hati.

3. Pola Asuh Orang Tua

  Menurut Johnson dan Medinus (dalam Walgito, 1985), pola asuh adalah sikap serta perbuatan orang tua terhadap anaknya untuk mencapai tujuan keluarga.

  Jika sikap orang tua menguntungkan, hubungan orang tua dan anak akan jauh lebih baik daripada bila sikap orang tua tidak positif. Banyak kasus penyesuaian yang buruk pada anak maupun orang dewasa dapat ditelusuri dengan melihat kembali hubungan awal orang tua dan anak (Hurlock, 1984).

  Dalam melakukan pendidikan dan pembibingan terhadap anaknya, setiap keluarga memiliki metode pola asuh yang berbeda-beda. Menurut Baumrind (dalam Vasta dkk., 1992), macam pola asuh yang dikenal ada 3 macam, yaitu:

  a) Pola Asuh Otoriter

  Pola asuh yang ditandai dengan kontrol yang keras dan tuntutan kedewasaan namun rendah dalam kehangatan dan komunikasi. Cara pendidikan otoriter ini memperbolehkan anak memberikan pandangan dan pendapatnya, akan tetapi tanpa turut dipertimbangkan. Orang tua tetap menentukan dan mengambil keputusan-keputusan. Orang tua jarang memuji ataupun memberikan reward pada anak.

  b) Pola Asuh Permisif

  Pola asuh yang ditandai dengan kehangatan yang tinggi, namun rendah sangat sensitif dan responsif kepada anak-anaknya, tetapi mereka menyediakan peraturan yang sangat sedikit dan struktur kedisiplinan yang kecil untuk anak- anaknya.

  Dengan demikian anak tidak diajarkan peraturan-peraturan, anak tidak dihukum karena sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi anak yang berlaku sosial (Hurlock, 1980).

c) Pola Asuh Demokratis

  Pola asuh yang ditandai dengan adanya kehangatan, tuntutan kedewasaan, kontrol diri serta komunikasi antara orang tua dengan anak yang baik. Cara pendidikan demokratis adalah anak boleh mengemukakan pendapatnya sendiri, mendiskusikan pandangan-pandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan mengambil keputusan. Akan tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal pengambilan keputusan terakhir dan bila diperlukan persetujuan dari orang tua.

  Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa pola asuh demokrasi merupakan metode terbaik dalam pola asuh anak. Menurut Hurlock (1980) kecenderungan untuk menyenangi disiplin yang berdasar prinsip-prinsip demokrasi sekarang sudah meningkat.

D. Penerimaan Orang Tua 1. Pengertian Penerimaan Orang Tua

  Penerimaan orang tua adalah suatu sikap yang dibentuk melalui perhatian yang kuat dan cinta kasih terhadap anak serta sikap yang penuh kebahagiaan dalam mengasuh anak (Hurlock, 1999).

  Penerimaan adalah sikap konsisten dan tidak berpura-pura terhadap kehadiran seseorang. Hal ini ditandai dengan sikap yang tulus dan tanpa harus merasa terpaksa terhadap kehadiran seseorang.

  Drever (1988) dalam kamus psikologi mendefinisikan penerimaan dalam bahasa asingnya “acceptance” sebagai fase dan suggestion (sugesti) yang terdiri dari penerimaan ide, pertimbangan atas apa yang ditandaskan. Dalam kamus bahasa Indonesia penerimaan adalah suatu proses, penyambutan, pendapat dari suatu stimulus.