Coping stress orang tua yang memiliki anak kecanduan narkoba

(1)

Oleh:

BADRU ZAMAN

NIM : 103070028986

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

BADRU ZAMAN

NIM : 103070028986

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I.

Pembimbing II,

Dra. Netty Hartaty, M.Si Gazi, M.Si

NIP. 195310021983032001 NIP. 197112142007011014

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M


(3)

fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi

Jakarta, 13 Desember 2010

Sidang Munaqosah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2001

Anggota,

M. Avicenna, MHSc. Psy Dra. Netty Hartaty, M.Si NIP. 19770906 200112 1004 NIP. 1953100 2198303 2001

Gazi Saloom, M.Si NIP. 197112142007011014s


(4)

Nama : Badru Zaman NIM : 103070028986

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Coping Stress Orangtua Yang Memiliki Anak Kecanduan Narkoba adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penysusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Jakarta, Desember 2010

Penulis


(5)

tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan

kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli

Televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan

kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.

(M. Fauzil Adhim)

Ya Allah jangan Kau bimbing aku pada jalan yang mudah dan lunak,

biarkan Kau bawa aku dalam gelombang dan desak kesulitan

tantangan hidup. Bimbinglah aku supaya aku mampu tegak berdiri di

tengah badai, serta saling mengasihi pada mereka yang membutuhkan.

Karya ini kupersembahkan untuk para orangtua yang

berjuang menyelamatkan hidup anak-anak mereka dari

jeratan narkoba


(6)

(C) Badru Zaman

(D) Coping Stress Orangtua Yang memilki Anak Kecanduan

Narkoba

(E) 152 halaman (F) Latar Belakang

Menjadi orangtua adalah tugas seumur hidup yang harus dijalani setiap manusia. Dari mulai melahirkan sampai ketika seorang anak telah tumbuh dewasa peran orangtua tetap dibutuhkan untuk mendidik anak agar menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab untuk kehidupannya nanti. Namun pada praktiknya tidak semua orangtua mampu mendidik dan

memberikan perhatian yang baik bagi anak-anak mereka. Di zaman modern sekarang ini kesibukan bekerja atau mencari nafkah untuk keluarga menjadi alasan para orangtua akan kurangnya memberikan perhatian dan kasih sayang bagi anak-anak mereka. Padahal lingkungan tempat anak-anak-anak-anak bergaul semakin dewasa kian hari semakin banyak perubahan dari hal-hal positif dan yang negative. jika tidak dikontrol oleh orangtua maka besar kemungkinan anak-anak terjerumus dalam

pergaulan bebas seperti sex bebas hingga pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang. Kondisi inilah yang membuat

orangtua mengalami stress dan tekanan ketika anak mereka terlibat dalam pemakaian narkoba. Mau tidak mau orangtua harus bisa menghilangkan kondisi stress tersebut dengan melakukan berbagai usaha (coping) agar anak mereka terlepas dari jeratan narkotika. Dimana pada dasarnya usaha yang dilakukan oleh orangtua tersebut untuk menurunkan atau menghilangkan kondisi stress yang orangtua alami.

Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba.

Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yang menggunakan metode wawancara terstruktur dan observasi untuk mendapatkan data penelitiannya. Pada penelitian ini terdapat dua responden; Pertama responden utama dimana subyek utama ini adalah para orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba dengan lama waktu pemakaian napza yang bervariasi. Kedua significant other


(7)

Hasil penelitian ini, menunjukan adanya beberapa informasi penting tentang coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba. Dimanapada subyek pasangan A B dan C memiliki kesamaan dalam melakukan strategi coping. Subyek pasangan A, B dan C lebih melakukan problemfocusedcoping.

(coping terpusat pada masalah). Hal ini karena orangtua ingin

menyembuhkan anak mereka dari ketergantungan napza. Salah satunya adalah dengan membawa anak mereka ke tempat rehabilitasi khusus yang menangani masalah ketergantungan napza atau juga ke pondok pesantren. Ada yang menarik dari kasus subyek pasangan C, dalam kondisi yang masih aktif menggunakan putau subyek pasangan C menyuruh anak mereka pergi umrah dengan istrinya, strategi ini dilakukan agar anak mereka bisa kembali ingat pada ajaran agama. Selain itu para subyek pasangan A, B dan C juga melakukan strategi

emotionfocusedcoping (coping terpusat pada emosi). Dalam

hal ini para orangtua lebih mengontrol perasaan dan pikiran agar segala usaha yang mereka lakukan bisa memberikan hasi yang baik dan mampu mengubah pikiran negative menjadi pemikiran yang positif.

(G) Bahan Bacaan: Al-Quran + 27 Buku + 2 Makalah + 4 Websites (1980-2008)


(8)

yang mudah, karena pada akhirnya penulis dapat menyelsaikan skripsi ini dengan baik, walaupun di dalamnya masih sangat banyak kekurangan.

Selama penyusunan skripsi ini, tidak sedikit penulis menghadapi kesulitan dan hambatan baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan dan penulisan bahan, pelaksanaan penelitian dan lain sebagainya. Namun berkat kesungguhan disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak (khususnya dukungan dari pembimbing I dan II), maka segala kesulitan dan hambatan tersebut menjadi suatu pengalaman yang berharga yang pada akhirnya penulis dapat melaluinya. Amin!

Selanjutnya penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu dan mendorong penulis dalam segala hal;

1. Bapak Jahja Umar, Ph.D selaku dekan fakultas psikologi beserta jajarannya

2. Bapak Prof. DR. Hamdan Yasun, M.si. dosen pembimbing akademik kelas A angkatan 2003.

3. Ibu Dra. Netty Hartaty, M.S.i selaku pembimbing pertama penulis dan penguji kedua dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala nasihat dan juga kesabaran ibu dalam membimbing saya selama ini, kata-kata penyemangat yang pernah ibu ucapkan akan saya ingat selalu. Terima kasih ya bu.

4. Bapak Gazi, M.Si sebagai pembimbing kedua. Terima kasih banyak atas dorongan motivasi, bimbingan juga kebaikan bapak selama membimbing saya dari awal sampai akhir penyusunan skripsi ini, makasih banyak bapak.


(9)

6. Kepada semua dosen yang telah memberikan cahaya keilmuannya dalam berbagai bidang disiplin ilmu, yang juga sudah memberikan arahan dan tuntunannya selama penulis mengikuti perkuliahan di fakultas Psikologi ini.

7. Semua pihak akademik yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam memenuhi kebutuhan administrasi selama proses perkuliahan dan penyusunan skripsi. Pa Ayung, Bu Sri, Bu Nur terima kasih banyak ya untuk semua bantuan dan doanya.

8. Perpustakaan Psikologi UIN, Perpustakaan UI Depok, Perpumda Gandaria Jaksel, Perpumda Kuningan Jaksel, terima kasih atas buku-buku dan semua literatur yang dibutuhkan penulis selam perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

9. Kepada Yayasan Madani Mental Health Care; yang telah mengizinkan dan membantu penulis dalam penelitian ini. Ust. Darmawan selaku pimpinan, Ust. Jamie dan seluruh staff, konselor maupun terapis. Penulis ucapkan terima kasih untuk waktu, saran dan nasihatnya.

10.Untuk Ibu dan Bapakku (Radiyallahu’anhuma), tanpa keridhaan dan kasih sayang kalian aku tidak akan pernah sampai pada titik ini. Gara-gara aku, kalian meng-ikhlaskan untuk menunda segala keinginan kalian demi anakmu. Semoga Allah selalu melindungi dan memuliakan kalian. Dan semoga Allah memberiku kesempatan untuk membalas jasa-jasa kalian 11.Untuk kakakku Khairul Umam, S.Kom. Makasih mas untuk segalanya

(finally I made it!!). Mudah-mudahan rizki yang mas umam raih selalu berkah buat keluarga mas umam. Bule Nung, bule Ros, Aa makasih ya semuanya untuk segala bantuan baik moriil maupun materiil. Untuk si kecil Nia dan Haris yang jadi penghibur di rumah “yang kompak ya!!”


(10)

penyelesaian skripsi ini, semoga Allah selalu memberkahi kehidupan kalian. Dani, Maya, Catur, Tika syukran ya untuk segala doanya.

13.Kepada tim Klinik Hati; Ust. Sukeri Abdillah beserta keluarga, Ust. Viqih Zulfikar dan Istri. Terima kasih yang tak terhingga karena sudah memberiku kesempatan menjadi bagian keluarga Klinik Hati. Bagiku berada diantara kalian adalah sebuah proses yang membuatku berubah untuk lebih baik lagi. Semoga Allah selalu meridhai setiap jejak langkah tim Klinik Hati dalam berdakwah, allahumma amiin.

14.Untuk seseorang yang mendukungku selama ini. Terima kasih karena sudah mewarnai hidupku. Banyak hal yang bisa kupelajari dari semua ini dan beginilah Allah memberiku pelajaran hidup. Terima kasihku untuk Della Wijayanti

15.Untuk para responden yang saya jaga kerahasiaan nama, alamat, dan semua hal yang terkait dengan anda semua, insya Allah saya akan menjaga semua amanat tersebut. Saya doakan semoga anak-anak bapak dan ibu diberikan kesembuhan total dan kembali pada ajaran agama yang baik dan benar. Kesabaran dan keikhlasan bapak dan ibu selama mendampingi anak-anak kalian akan jadi buah yang manis untuk keluarga kelak.

Ini bukanlah akhir perjalanan tetapi tantangan masa depan sudah ada di depan mataku. Segala kebaikan yang sudah kalian berikan menjadi bekal dalam perjalananku selanjutnya. (Duhai Allah, limpahkan rahmat, hidayah dan kasih-Mu untuk semua orang yang kusebutkan di atas dan berkahi kehidupan mereka). Amiin

Jakarta, Desember 2010

Penulis


(11)

Halaman Persetujuan………ii

Halaman Pengesahan………..iii

Lembar Pernyataan………..iv

Motto dan Dedikasi………...v

Abstrak……….vi

Kata Pengantar……….viii

BAB

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Batasan dan Rumusan Masalah ...13

1.3.1. Batasan Masalah ... ..13

1.3.2. Rumusan Masalah ...14

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ..14

1.4.1 Tujuan Penelitian ...14

1.4.2 Manfaat Penelitian ...14

1.4. Sistematika Penulisan ...15

BAB

II

KAJIAN

PUSTAKA

2.1. Coping ………...17

2.1.1. Definisi Coping ...17


(12)

2.2.1. Pengertian Narkoba ...26

2.2.2. Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkoba…….27

2.2.3. Karakteristik Pecandu Narkoba………32

2.3. Orangtua Anak Penyalahguna Narkoba……….36

2.3.1. Peran dan Fungsi pada Orangtua ...36

2.3.2. Peran dan Fungsi Orangtua Ketika Anak Terlibat Penyalahgunaan narkoba……….40

2.4. Kerangka Berpikir ...42

BAB

III

METODOLOGI

PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian ...47

3.1.1. Pendekatan Penelitian ... 47

3.1.2. Metode Penelitian ... 48

3.2. Subyek Penelitian ... 49

3.2.1. Karakteristik Subyek ... 49

3.2.2. Jumlah Subyek ... 49

3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ...49

3.3. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 50

3.3.1. Metode Pengumpulan Data ...50

3.3.2. Instrumen Pengumpulan Data ...52


(13)

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA

4.1. Gambaran Umum Subyek………..58

4.2. Hasil Penelitian dan Analisis Kasus Subyek………...59

4.2.1 Kasus Pasangan Subyek A………...59

4.2.2 Kasus Pasangan Subyek B………...75

4.2.3 Kasus Pasangan Subyek C………..99

Analisis Strategi Coping Antar Kasus………...119

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5.1

Kesimpulan………126

5.2

Diskusi………129

5.3

Saran………..131

5.3.1 Saran Teoritis……….132

5.3.2. Saran Praktis………...133

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(14)

xiv

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Psikologi UIN Syahid Lampiran 3. Pedoman Wawancara

Lampiran 4. Lembar Observasi


(15)

1.1 Latar Belakang Masalah

Menjadi orangtua adalah tugas seumur hidup, Bahkan ketika anak telah dewasa, peran orangtua tetap dibutuhkan dan diakui. Mendidik dan membesarkan anak agar menjadi manusia berguna adalah tanggung jawab orangtua. Namun untuk menjadi orangtua dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mudah. (F. X Puniman, 2000).

Ketika anak lahir orangtua sangat menginginkan anaknya berada dalam kondisi sehat secara jasmani (fisik) dan rohani (psikis). Memiliki anak dengan segala kesempurnaannya adalah satu harapan dari setiap orangtua di dunia ini. Anak sehat secara fisik dan psikis dan yang terpenting adalah bagaimana pendidikan terbaik yang nantinya akan didapat oleh anak dari orangtuanya.

Kesempurnaan fisik dan psikis anak merupakan dambaan dari setiap orang tua. Jika kita perhatikan kondisi saat ini ada banyak keluarga (orangtua) yang memiliki anak dengan berbagai macam keterbatasan dan kekurangannya baik secara fisik maupun psikis. Kekurangan fisik yang dimaksud seperti kelainan jantung, mengidap kanker, bahkan banyak anak-anak yang terlahir dengan kondisi cacat yang


(16)

dibawa sejak lahir seperti kembar siam, mengidap tumor, dan ada yang mempunyai gangguan pada sistem syarafnya.

Selain ketidaksempurnaan secara fisik ada pula anak yang dilahirkan memiliki kecenderungan gangguan secara psikis, seperti anak dengan dengan IQ rendah, anak memiliki gangguan pemusatan perhatian, hingga penyakit autis. Kondisi seperti ini membuat orangtua menjadi cemas dan khawatir akan masa depan anak-anak mereka. Sehingga orangtua melakukan berbagai usaha (coping) untuk membantu anaknya agar bisa tumbuh kembang seperti anak lain pada umumnya.

Di lain pihak ada beberapa orangtua yang memiliki anak dengan segala kesempurnaannya, namun tidak memperlakukan anak mereka secara sempurna. Orangtua selalu memberikan fasilitas berbentuk materi namun tidak memberikan kasih sayang dan perhatian yang pada akhirnya mengakibatkan anak terlibat dengan permasalahan kenakalan-kenakalan sosial seperti tawuran, terlibat organisasi yang tidak bermanfaat atau terlibat penyalahgunaan narkotika. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mohammad Fauzil Adhim (2006) bahwa, uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah tapi bukan tidur yang lelap, uang bisa membeli rumah yang lapang tapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya, uang juga bisa membeli pesawat televisi yang besar untuk menghibur mereka tapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terhempas.


(17)

Oleh sebab itu, sebagai orangtua sudah seharusnya mengerti dan memperhatikan pendidikan bagi anak. Dan harus dipahami pula oleh orangtua bahwa pendidikan yang utama untuk anak dan pertama kali berasal dari keluarga yang berawal dari kasih sayang dan perhatian, sebagaimana yang diutarakan oleh Messwati (2000) yang berpendapat bahwa, pendidikan yang utama berasal dari keluarga, dibandingkan sekolah keluarga sangat berperan bagi perkembangan anak. Pendidikan dalam keluarga sangat menentukan sikap demokratis seseorang, karena orangtua menjadi basis nilai bagi anak, oleh karenanya orangtua harus meluangkan waktu dan menyiasatinya agar setiap waktu yang diberikan untuk anak-anak mereka menjadi bermakna.

Saat ini kesibukan orangtua, khususnya orangtua yang keduanya bekerja menyebabkan anak kurang mendapatkan perhatian dan pendidikan pertama untuk mereka. Banyak orangtua yang bekerja tidak mampu membagi waktu mereka untuk keluarga sehingga yang terjadi anak sering merasa sendirian. Hal ini tentu akan membuat banyak permasalahan yang muncul dengan anak ketika terlalu sering ditinggal orangtuanya, bahkan jika dibiarkan terus-menerus seperti ini bisa jadi suatu saat anak mencari perhatian di luar rumah supaya mendapatkan pengakuan dari orang lain atas keberadaan dirinya, hal semacam ini akan membuat suasana di dalam keluarga tidak sehat dan bahkan komunikasi antara anak dan orangtua menjadi tidak harmonis.


(18)

Kartono (1991) mengemukakan, Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orangtua itu selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat berpijak. Anak-anak mulai ”menghilang” dari rumah, lebih suka bergelandangan dan mencari kesenangan hidup yang imaginer di tempat-tempat lain, dia mulai berbohong dan mencuri untuk menarik perhatian dan mengganggu orangtuanya.

Namun demikian ada beberapa hal positif ketika anak ditinggal bekerja oleh orangtuanya. Salah satunya adalah seperti yang diungkapkan oleh seorang psikolog Shinto Adelar dalam Retno Bintarti (2000) yang mengemukakan, sisi positif meninggalkan anak adalah menjadi cepat mandiri dibanding dengan anak yang terus-menerus dibantu. Anak-anak yang biasa ditingggal orangtua menjadi terbiasa memenuhi kebutuhannya sendiri dan belajar mencari kesibukan sendiri dan mereka menjadi terbiasa memegang tangung jawab. Namun demikian dalam hal ini orangtua tetap melakukan kontrol jarak jauh terhadap anak-anak mereka. Seperti menelepon penjaga rumah atau pembantu, juga tetangga yang berdekatan untuk mengetahui keadaan anaknya.

Ketika anak sudah mulai memasuki masa remaja akan timbul kenakalan-kenakalan yang dilakukan anak, seperti yang diungkapkan oleh Bryan Lask (1985) yang mengatakan bahwa ketika awal-awal usia remaja. pada usia-usia itu anak akan mengalami kebebasan yang baru ditemukan dan ingin mengekspresikannya. Sehingga adakalanya anak terlibat dengan kenakalan pada masa remaja, dalam hal ini


(19)

kenakalan remaja yang biasa terjadi adalah dalam masalah pergaulan. Seperti merokok, bolos sekolah, tawuran antar pelajar, kebut-kebutan dijalan atau yang lebih dikenal dengan istilah balapan liar, juga bahkan bisa terjerumus dalam dunia narkotika.

A.W. Widjaya (1985) mengungkapkan, Kenakalan remaja merupakan gejala alamiah anak pada periode umur tertentu, meningkatnya kualitas kenakalan itu sendiri adalah akibat pengaruh lingkungan buruk yang ada disekitarnya. Jadi dapat dikatakan bahwa lingkungan memang memiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan kepribadian mereka.

Jika diteliti lebih dalam mengenai kenakalan remaja, sebenarnya yang menyebabkan kenakalan mereka adalah karena jiwa yang tertekan, jiwa menjadi tidak sehat disebabkan salahnya pendekatan orangtua, pendidikan disekolah, dan pengaruh lingkungan. Sebagaimana pendapat Widjaja (1985) yang mengemukakan bahwa remaja mencari identitas diri, apabila tidak ditemukan identitas ini maka remaja biasanya terganggu (tidak sehat), mereka merasa cemas, gelisah, resah, kecewa, frustasi yang ini disebut krisis remaja. jika tidak diarahkan kearah yang positif dan konstruktif akan mengakibatkan kenakalan remaja.

Diantara banyak kenakalan-kenakalan remaja yang paling mengkhawatirkan bagi banyak orangtua adalah pemakaian narkotika atau zat kimia lainnya. Masalah kenakalan remaja yang terkait dengan penyalahgunaan narkotika dewasa ini disikapi


(20)

dengan kecemasan oleh para orang tua. Kenakalan ini jika tidak segera ditanggulangi dengan segala usaha yang sungguh-sungguh maka ketentraman, kegelisahan, kecemasan dan gangguan mental lainnya telah menghantui orangtua dan para remaja yang terlibat penyalahgunaan narkotika tersebut.

Perasaan cemas dan gelisah yang selalu membayangi setiap saat menjadi beban yang teramat berat untuk diterima. Masalah menjadi rumit ketika lingkungan masyarakat mengetahuinya, tentunya akan banyak stigma negatif seperti tidak becus (tidak mampu) mengurus anak, menelantarkan anak dsb. Yang muncul dimasyarakat sehingga membuat kondisi semakin tidak nyaman yang pada akhirnya menimbulkan stress bagi orangtua.

Dalam kondisi yang penuh stress dan kekhawatiran akan anak, mereka (orang tua) memaksa terjadinya suatu perubahan-perubahan dalam berbagai hal. Seperti komunikasi, perhatian, perubahan peran dari ayah dan ibu, dan juga waktu. Jika sebelumnya jarang terjadi komunikasi yang baik pada anak sehingga membuat anak merasa tidak diperhatikan dan tidak diakui keberadaannya yang akhirnya menyebabkan anak mencari perhatian dan kesenangan di luar hingga sampai memakai narkotika, maka komunikasi menjadi lebih intensif pada anak agar anak merasa benar-benar diakui keberadaannya dan diperhatikan.


(21)

Kemudian memberikan waktu dan perhatian lebih agar selalu bisa berada dekat dengan anak, dan menjadi teman bagi anak, karena untuk memberikan support bagi anak yang kecanduan narkotika seorang ayah dan ibu harus mampu berperan sebagai seorang teman atau sahabat bagi anaknya, karena anak membutuhkan suatu kedekatan emosional seperti yang didapat dari sahabat-sahabatnya agar anak tetap merasa nyaman dan mendapat pengakuan akan keberadan dirinya dan juga dukungan moril untuknya.

Terjadinya beberapa perubahan baik peran, komunikasi dsb dalam keluarga belum cukup untuk memberikan kesembuhan bagi anak yang kecanduan narkotika. Keadaan stress yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut membuat orangtua harus melakukan berbagai macam usaha penanganan (coping) agar mampu keluar dari kondisi stress itu. Seperti mencari informasi mengenai tempat-tempat rehabilitasi narkotika, lalu mengajak anak untuk pergi ketempat rehabilitasi sampai dengan menjalani proses rehabilitasi tersebut.

Berikut ini adalah sepenggal kisah tentang seorang mantan pesepakbola juga sebagai orangtua yang berjuang untuk kesembuhan anaknya dari ketergantungan narkotika. Kisah ini diambil dari buku kumpulan kisah inspiratif Kick Andy 2008.

Ronny Pattinasarany mengawali kariernya sebagai pemain sepakbola pada 1970 saat terpilih sebagai anggota tim PSSI Yunior ke Manila.Ronny adalah pemain All Star Asia, olahragawan terbaik Indonesia. Medali perak SEA Games pernah dia sumbangkan untuk tim merah putih. Namun, dibalik kesuksesannya di dunia persepakbolaan, Ronny memiliki kenangan buruk tersendiri menyangkut dua anak laki-lakinya. Pada tahun 1985, dalam kesibukan kariernya. Ronny merasakan dirinya telah bersalah karena tidak memberikan perhatian yang baik buat keluarga


(22)

khususnya untuk anak-anaknya. Dimana pada tahun yang sama Ronny mulai mengetahui bahwa kedua anak laki-lakinya terlibat dengan penyalahgunaan narkoba, kedua anaknya tersebut mengalami kecanduan yang cukup parah. Akhirnya Ronny membuat keputusan untuk mendampingi kedua anaknya agar terlepas dari kecanduan tersebut, adakalanya Ronny harus mengantar salah satu anaknya untuk mempeoleh narkoba ke salah satu bandar, hal ini didorong oleh rasa kasihan Ronny ketika melihat anaknya mengalami sakaw... (Kick Andy; Kumpulan Kisah Inspiratif, hal: 42-48).

Berbicara tentang sejarah keberadaan narkoba di Indonesia, menurut AKBP. Drs. Bambang Wasgito (2001) mengemukakan bahwa di Indonesia narkotika telah ada sejak zaman Hindia Belanda yang dipergunakan untuk mengikat buruh-buruh orang Cina yang dipekerjakan di berbagai proyek Hindia Belanda seperti perkebunan, pembuatan jalan raya dan jalan kereta api yang dimasukkan ke Indonesia dari India. Namun sekitar tahun 1968 gelombang narkotika meningkat di Indonesia. Pada saat itu yang disalahgunakan tidak lagi hanya Opium atau Candu, tetapi juga Morfina (zat kandungan dari candu) dan Heroin yaitu turunan dari Morfina yang memiliki kekuatan yang lebih besar, sehingga dengan dosis yang kecil mampu menghasilkan pengaruh (efek) yang lebih besar. Sebagai dampak dari gelombang penyalahgunaan Narkotika tersebut, maka di Indonesia pada tahun 1970-an bermunculan kasus-kasus penyalahgunaan Narkotika (Morfin, Heroin, dan Ganja).

Koran Tempo 21 Agustus 2008, mengungkapkan kasus peredaran narkotika pada tahun ini khususnya di Jakarta meningkat tajam, peningkatan itu mencapai 62,34 persen dari tahun lalu. Kepala Bagian Represi Badan Narkotika Provinsi DKI


(23)

Jakarta Ajun Komisaris Besar Sigit Gumantio menduga naiknya peredaran narkoba karena makin banyaknya pasokan dari luar negeri, contohnya narkotik heroin jenis brownsugar. Penyitaan teranyar heroin jenis itu dilakukan pada selasa lalu saat Badan Narkotika Provinsi (BNP) DKI Jakarta dan Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya menggelar operasi gabungan di Kelurahan Menteng Tenggulun dan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Dari barang bukti yang disita, yaitu 55 paket heroin, 56 butir ekstasi, 3 paket ganja, dan 16 jarum suntik, terdapat heroin jenis brownsugar. Ditemukan pula heroin jenis white crystal yang berasal dari kawasan Segi Tiga Emas: Laos, Burma, dan Thailand.

Data kasus penyalahgunaan narkotika dari tahun 2001 s/d 2006 :

No Kasus 2001 2002 2003 2004 2005 2006

1 NARKOTIKA 1.907 2.040 3.929 3.874 8.171 4.626

Sumber : Badan Narkotika Nasional

Data terbaru yang penulis dapatkan dari sebuah stasiun televisi swasta pada tanggal 10 Juli 2010 pukul 14.00 yang bersumber dari Badan Narkotika Nasional menyebutkan bahwa pengguna narkoba pada tahun 2009 mencapai 26.768 (dua puluh enam ribu tujuh ratus enam puluh delapan orang) dengan pengguuna terbanyak berasal dari kalangan remaja. Sebuah peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan tabel di atas. Dari informasi tersebut menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Yang lebih


(24)

mengkhawatirkan adalah sebagian besar pengguna narkoba adalah remaja dan dewasa muda yang rentang usia mereka antara 16 s/d 24 tahun, justru mereka yang sedang dalam usia produktif yang merupakan sumber daya manusia dan juga sebagai aset bangsa di kemudian hari. Hurlock (2004), Usia remaja juga merupakan usia yang tidak stabil secara emosi, usia yang menakutkan, dan usia perubahan.

Menurut Harboenangin (dalam Danny I Yatim dan Irwanto, 1991) mengemukakan bahwa semua sebab yang memungkinkan seseorang mulai menyalahgunakan obat pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua bagian besar. Pertama, sebab-sebab yang berasal dari faktor individu itu sendiri dan kedua, sebab-sebab yang berasal dari lingkungannya. Adapun faktor individu adalah kepribadian, inteligensi, usia, perasaan ingin tahu dan memecahkan persoalan. Sedangkan faktor lingkungan adalah, ketidakharmonisan keluarga, pekerjaan, kelas sosial-ekonomi dan tekanan kelompok.

Sebagai orangtua yang memiliki anak pengguna narkotika sudah menjadi satu kewajiban untuk ikut berperan dalam membantu proses penyembuhan anaknya, bukan hanya dukungan materil yang harus diberikan untuk proses rehabilitasi akan tetapi dukungan moral dan spiritual yang sangat dibutuhkan oleh anak selama masa penyembuhan.

Berbagai macam tindakan penanganan dapat dilakukan oleh orang tua untuk membantu melepaskan anak mereka dari ketergantungan narkoba seperti merujuk pada panti rehabilitasi, pondok pesantren yang khusus menangani masalah narkotika


(25)

dan obat-obatan terlarang. Di dalam undang-undang nomor 22 Pasal 46 menyebutkan:

“orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.”

Dan jika dilihat dari segi agama, tiap-tiap agama baik Islam, Kristen, Hindu dan Budha melarang bahkan mengharamkan pemakaian obat-obatan dan minum-minuman keras yang dapat menyebabkan seseorang menjadi mabuk atau menjadi rusak diri karena pengaruh obat terlarang dan juga minuman keras. Didin Hafiduddin (2001) mengungkapkan dalam agama islam segala sesuatu yang memabukkan (khamr) hukumnya haram. Sebagaimana dinyatakan dalam Al quran QS Al Maidah ayat 90-91:

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu


(26)

lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Disadari atau tidak orang tua berusaha mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber konflik yang memicu stres tersebut. Oleh karena itu intervensi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber stres tersebut bisa datang dari individu itu sendiri (intervensi individual) antara lain dengan strategi coping.

Dalam melakukan usaha untuk menghilangkan dan mengurangi stres, setiap individu melakukan usaha yang melibatkan pikiran dan tindakan yang berbeda untuk menurunkan tingkat stress. Perbedaan usaha ini dikenal dengan istilah strategi coping. Seperti yang diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman:

“coping strategies are thought and actions that we used to deal with stressful situations and lower our stress level” (dalam Auerbach & Gramling, 1998:27)

Strategi coping adalah usaha berupa pikiran dan tindakan yang berbeda untuk menurunkan tingkat stress.

Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) membedakan dua tipe strategi coping:

a. coping terpusat pada masalah (problem focused coping)

yakni usaha untuk menghilangkan emosi negatif yang dialami dengan melakukan sesuatu untuk memodifikasi, mengubah, atau meminimalkan situasi yang mengancam b. coping terpusat pada emosi (emotion problem focused coping)


(27)

usaha untuk menghilangkan emosi yang tidak menyenangkan dengan menggunakan beberapa mekanisme seperti penyangkalan (denial), harapan positif dan pikiran yang penuh harapan

Oleh sebab itu dari uraian yang sudah dikemukakan diatas maka penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana Coping Stres Orang Tua Yang Memiliki Anak Kecanduan Narkoba.

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1 Pembatasan masalah

Agar penelitian ini tidak meluas penulis membatasi masalah sebagai berikut : 1. Coping, dalam melakukan usaha untuk mengurangi dan menghilangkan stress tiap individu melakukan berbagai macam upaya yang melibatkan emosi, perasaan, pikiran dan tindakan. Coping memiliki dua strategi berbeda dalam mengatasi kondisi stress, yakni coping terpusat pada masalah (problem focused coping) dan coping terpusat pada emosi (emotion focused coping). Problem focused coping dibagi menjadi dua kategori yaitu: Confrontative coping, Planful problem solving.

Sedangkan emotion focused coping dibagi menjadi lima kategori yaitu: Distancing, self control, accepting responsibility, escape avoidance, positive reappraisal. Kemudian Ada satu kategori yang termasuk dalam kedua strategi coping tersebut yakni seeking social support.

Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui strategi coping manakah yang lebih utama digunakan oleh orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba.


(28)

2. Kecanduan narkoba adalah pemakaian obat yang sudah lanjut sehingga jika pemakaian itu dihentikan maka akan timbul gejala putus zat. Pada tahap ini penderita tidak dapat melepaskan diri dari narkoba dan terpaksa harus memakai narkoba karena ia tidak dapat menanggulangi gejala putus zat, sehingga ia akan memakai narkoba untuk jangka waktu yang lama. (Hawari, 1997)

1.3.2 Perumusan masalah

Dari pembatasan masalah diatas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana Coping Stress Orangtua Yang memiliki Anak Kecanduan Narkoba?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara mendalam tentang perilaku coping stres orangtua terhadap anaknya yang kecanduan narkoba.

1.4.2 Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Diharapkan penulis mampu memberikan sumbangan literatur bagi khazanah studi psikologi mengenai kajian tentang perilaku coping stres . Khususnya coping stres pada orang tua yang memiliki anak kecanduan narkoba.


(29)

b. Manfaat praktis

Dengan mengetahui perilaku coping stres orang tua yang memiliki anak kecanduan narkoba, penulis berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para guru/pendidik pada umumnya dan secara khusus terhadap orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba.

1.5

Sistematika Penulisan

Berdasarkan Pedoman Penyusunan dan Penulisan Skripsi, Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2010), pembahasan penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Secara keseluruhan, isi pendahuluan merupakan penjelasan-penjelasan yang erat hubungannya dengan masalah yang di bahas. Pada bab ini berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian baik secara teoritis maupun praktis serta sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka memuat berbagai sumber dari teori-teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu coping, orang tua, narkoba, serta kerangka berpikir.


(30)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan secara terperinci bagaimana dan melalui pendekatan apa penelitian akan dilakukan. Antara lain, jenis penelitian, teknik pemilihan subyek, pengumpulan data, prosedur penelitian, dan analisis data, serta kode etik penelitian.

BAB IV PRESENTASI DAN ANALISIS DATA

Bab ini terdiri dari tiga subbab. Subbab pertama membahas gambaran umum subyek penelitian, subbab kedua membahas gambaran dan analisis kasus, dan subbab ketiga membahas analisis antar kasus.

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Pada bab ini ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yaitu kesimpulan yang mengemukakan uraian gambaran dari jawaban masalah yang diteliti, diskusi mengenai temuan-temuan dalam penelitian, dan saran untuk penelitian lanjutan, baik teoritis maupun praktis.


(31)

(32)

2.1 Coping

2.1.1 Definisi coping

Dalam kamus psikologi coping behavior yaitu tingkah laku atau tindakan penanggulangan; sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan masalah. (dalam J.P. Chaplin, 2002)

“constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external and or internal demands that are appraised as taxing or exceeding the resources of the person” (Lazarus & Folkman, 1984)

Coping adalah proses mengatur tuntutan (external atau internal) yang dinilai melebihi kemampuan individu. coping melibatkan usaha, gabungan antara aksi bertujuan dan intrapsikis, untuk mengatur tuntutan lingkungan dan internal dan konflik di antara keduanya.

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa coping adalah proses yang dilakukan individu dalam mengatasi dan mengatur perbedaan yang ada antara tuntutan lingkungan dan sumber daya yang diterima dalam situasi stressful atau usaha-usaha yang dilakukan individu untuk menghadapi suatu situasi yang penuh stres, baik yang


(33)

timbul dari dalam maupun dari luar individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut diwujudkan dalam perilaku-perilaku tertentu.

2.1.2 Proses coping

Dalam menggunakan istilah coping berdasarkan definisi dari Lazarus dan Folkman di atas, perlu dibedakan antara coping sebagai suatu set proses (coping process) dan coping sebagai suatu set outcomes (coping outcomes). Coping process adalah perbedaan strategi atau taktik yang digunakan dalam menghadapi situasi yang stressful dan situasi yang dapat memunculkan emosi, sedangkan coping outcomes adalah seberapa efektif strategi yang digunakan dalam memenuhi tuntutan lingkungan atau mengurangi emosi yang stressful. (Lazarus dan Folkman dalam Auerbach dan Gramling, 1998).

Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) menekankan bahwa coping adalah suatu proses transaksional di mana kita secara berkelanjutan menilai arti sebuah situasi (apakah situasi tersebut mengingatkan kita pada suatu yang menyakitkan, menandakan sebuah ancaman, menandakan keuntungan atau bersifat netral). ia juga menambahkan bahwa kesadaran individu sangat berpengaruh dalam proses dan pilihan keputusan yang diambil. selain itu level stress dan emosi yang pernah dialami menentukan kesadaran dan efektivitas strategi coping yang digunakan.


(34)

2.1.3 Strategi coping

Dalam melakukan usaha untuk menghilangkan dan mengurangi stres, setiap individu melakukan usaha yang melibatkan pikiran dan tindakan. Usaha ini dikenal dengan istilah strategi coping. Seperti yang diungkapkan oleh Auerbach dan Gramling (1998):

“Coping strategies are thoughts and actions that we use to deal with stressful situation and lower our stress levels” (Auerbach & Gramling, 1998:27)

Strategi coping adalah usaha yang melibatkan pikiran dan juga tindakan yang berbeda untuk menurunkan tingkat stress.

Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) membedakan tipe strategi coping:

a. Coping terpusat pada masalah (problem-focused coping)

Adalah usaha untuk melakukan sesuatu yang terencana dalam menghadapi kondisi stressful yang menyakitkan, mengancam atau menantang bagi individu (Taylor, 1999). atau dengan kata lain coping terpusat pada masalah adalah usaha untuk menghilangkan permasalahan yang dialami dengan melakukan sesuatu untuk memodifikasi, mengubah atau meminimalkan situasi yang mengancam (Auerbach dan Gramling, 1998). Contoh: “begitu saya mengetahui anak saya mengunakan narkoba saya langsung mencari


(35)

informasi kepada teman ataupun tetangga untuk membawa anak saya berobat ke rumah sakit yang khusus menangani masalah napza”.

Jadi dengan menggunakan strategi ini individu melakukan suatu tindakan aktif atau modifikasi, untuk meminimalkan, mengubah atau menghilangkan situasi yang menimbulkan stress.

b. Coping terpusat pada emosi (emotion focused coping)

Coping terpusat pada emosi adalah usaha untuk menghilangkan emosi yang tidak menyenangkan dengan menggunakan beberapa mekanisme seperti penyangkalan (denial), harapan positif dan pikiran yang penuh harapan (Auerbach dan Gramling 1998). Jadi dengan menggunakan strategi ini individu mencoba untuk mengurangi reaksi stress secara langsung tanpa mencoba melakukan sesuatu pada hal yang menjadi pemicu masalah.

Dari kedua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua strategi coping tersebut sama-sama mencoba untuk mengontrol level stress yang dialami individu, sehingga tidak tertutup kemungkinan bagi individu untuk menggunakan kedua strategi tersebut dalam menghadapi situasi stressfull.

Sementara itu pendapat lain diungkapkan oleh Copper dalam membagi strategi coping dimana dua strategi yang diungkapkan oleh Copper masuk pada


(36)

kategori coping terpusat pada masalah (dalam Rahmawati, 2004). Copper membagi coping menjadi dua bentuk, yaitu bentuk tingkah laku dan kognitif. Pada coping terpusat pada masalah bentuk tingkah lakunya berupa upaya untuk mengontrol situasi yang tidak menyenangkan dan memecahkan masalah.

Sementara bentuk dari jenis coping cognitif adalah upaya yang ditujukan untuk mengubah cara mempersepsi dan menginterpretasi situasi, misalnya mengevaluasi ulang situasi atau menyusun kembali penilaian situasi. Strategi coping terpusat pada masalah ini muncul apabila individu merasa bahwa sesuatu yang konstruktif bisa dilakukan untuk mengatasi stress.

Selain tipe strategi coping dari yang sudah disebutkan di atas ada jenis strategi coping lain yang diungkapkan oleh Chaffin (dalam Taufiq, 2008) yaitu:

1. Behavioral strategies of avoidance yaitu memisahkan perilaku dari situasi yang menekan dengan upaya menarik diri ataupun mengkonsumsi dan menggunakan secara berlebihan zat-zat seperti obat-obatan dan alcohol. Contoh: “saya mau pergi ke night club untuk bersenang-senang dan pesta miras supaya bisa melupakan masalah saya”

2. Cognitive strategies of avoidance dissociation yaitu mencegah masuknya pemikiran yang mengancam kesadaran. Coping jenis ini seperti tidak ingin menceritakan kejadian traumatis yang dialami kepada orang lain. Karena dengan menceritakan kejadian tersebut maka akan membuatnya semakin nyata. Contoh: “saya tidak mau mengungkit masalah pencurian yang pernah saya lakukan”


(37)

3. Internalized yaitu membiarkan semua terjadi tanpa harus melupakan kejadian tersebut. Contoh: “saya menjalani semua proses kehidupan ini dengan santai sekalipun saya pernah melakukan tindakan kriminal”

4. Anger and the release of pain yaitu reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang jiwa dan juga pikiran termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, kekecewaan atau frustasi dan terkadang kemarahan tersebut dilampiaskan kepada benda-benda yang ada disekitarnya. Contoh: “ketika saya merasa tertekan dalam satu keadaan biasanya saya akan berteriak kencang untuk meluapkan perasaan tertekan itu”

5. Active yaitu pengambilan keputusan langkah untuk mencoba memindahkan atau menyiasati stressor. Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stress. Contoh: “saya langsung membawa anak saya ke dokter ketika suhu tubuhnya menjadi panas tinggi”.

Folkman dan Lazarus (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) menambahkan bahwa strategi coping dibagi menjadi delapan sub-kategori, dimana dua diantaranya termasuk dalam strategi coping terpusat pada masalah (problem-focused coping). lima sub-kategori termasuk dalam strategi coping terpusat pada emosi (emotion-focused coping) dan satu sub kategori merupakan gabungan dari dua strategi tersebut.


(38)

usaha individu yang termasuk dalam strategi coping terpusat pada masalah (problem focused coping), yaitu:

1. Confrontative coping

Kategori ini menggambarkan usaha yang agresif untuk merubah situasi, termasuk usaha yang dapat melibatkan resiko. Contoh: saya antar anak saya ke bandar narkoba untuk memperoleh putaw agar dia tidak sakau lagi.

2. Planful problem solving

Kategori ini menggambarkan usaha-usaha yang sifatnya bertujuan untuk merubah situasi yang dapat menimbulkan stress dengan menggunakan pendekatan yang analitis untuk memecahkan masalah. Contoh: saya berpikir untuk langkah apa yang harus saya ambil untuk menghilangkan ketergantungan anak saya dari narkoba.

Usaha individu yang termasuk dalam strategi coping terpusat pada emosi (emotion-focused coping), yaitu:

1. Distancing

Kategori ini menggambarkan usaha individu untuk melepaskan diri dari situasi yang dapat menimbulkan stress atau untuk mendapatkan hasil yang positif. Saya pergi dari rumah untuk menghindari pembicaraan masyarakat tentang anak saya yang terlibat penyalahgunaan narkoba


(39)

Kategori ini menggambarkan usaha individu untuk mengontrol perasaan atau tindakannya. Contoh: saya menahan diri untuk tidak marah atas pembicaraan masyarakat tentang anak saya yang kecanduan narkoba

3. Accepting Responsibility

Kategori ini menggambarkan pengakuan individu bahwa ia berperan dalam masalah yang timbul dan juga meliputi usaha untuk meletakkan segala sesuatunya dengan benar. Contoh: saya mengakui bahwa saya ikut berperan dalam penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak saya

4. Escape avoidance

Kategori ini menggambarkan harapan dan usaha-usaha untuk menghindar atau melarikan diri dari aktivitas orang lain. Contoh: saya pergi ke suatu tempat dimana keluarga dan orang-orang disekitar saya tidak dapat menemukan dan mengganggu saya.

5. Positive reappraisal

Kategori ini menggambarkan usaha-usaha untuk menciptakan hal-hal yang positif dengan memfokuskan dalam pengembangan pribadi dan juga lebih taat mendalami agama. Contoh : saya mengambil hikmah atas apa yang sudah terjadi dengan anak saya

Selain beberapa sub-kategori yang telah disebutkan di atas, ada sub-kategori terakhir yang termasuk dalam kedua strategi yang ada yaitu strategi coping terpusat


(40)

pada masalah (problem-focused coping) dan strategi coping terpusat pada emosi (emotion-focused coping), yaitu:

- Seeking social support

Kategori ini menggambarkan usaha-usaha untuk mencari informasi mengenai situasi yang dapat menimbulkan stress dan juga usaha untuk mendapatkan dukungan yang nyata (problem focused) atau dukungan emosional (emotional focused) dari orang lain. Contoh : saya ceritakan masalah saya pada sahabat saya mengenai anak saya yang terlibat penyalahgunaan narkotika.

Strategi coping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi. Selain beberapa strategi di atas ada beberapa hal yang menjadikan sukses tidaknya seseorang mengatasi kondisi yang stressful. Sebagaimana yang diutarakan oleh Rosanthi (2004) bahwa cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :

1. Kesehatan fisik, kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres, individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar

2. Keyakinan atau pandangan positif, keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (Eksternal Locus of Control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (Helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi


(41)

3. Keterampilan memecahkan masalah, keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat

4. Keterampilan sosial, keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat

5. Dukungan sosial, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitar 6. Materi, dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang, atau

layanan yang biasanya dapat dibeli.

2.2 Narkoba

2.2.1 Pengertian narkoba

Ahmadi Sofyan (2007) berpendapat, narkotika atau dalam istilah disebut sebagai drug adalah sejenis zat yang memiliki ciri-ciri tertentu. Narkoba adalah segolongan obat, bahan, atau zat yang jika masuk ke dalam tubuh berpengaruh terutama pada


(42)

fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif), terjadi perubahan pada kesadaran, pikiran, perasaan, dan perilaku pemakainya.

Pramono U. Thantawi (2003) berpendapat bahwa narkoba terdiri dari dua zat, yakni narkotika dan psikotropika. Dan secara khusus dua zat ini memiliki pengertian, jenis (golongan), serta diatur dengan undang-undang no.22 tahun 1997, sedangkan Psikotropika diatur dengan undang-undang no.5 tahun 1997. dua undang-undang ini merupakan langkah pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika tahun 1988.

Narkotika, sebagaimana bunyi pasal I UU no. 22 didefinisikan sebagai zat obat yang berasal dari tanaman/bukan, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan/perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.

2.2.2 Faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba

Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan seorang remaja menggunakan narkoba, salah satunya adalah kondisi keluarga yang kurang kondusif (Disfungsi Keluarga) merupakan faktor kontribusi bagi terjadinya penyalahgunaan Naza.


(43)

Ada beberapa pendapat yang dikemukakan, mengapa seseorang dapat menggunakan narkotika. Rutter 1980 (dalam Dadang Hawari, 1997) mengemukakan penyebab seseorang menggunakan narkotika, diantaranya:

a. Kematian orang tua (Broken Home by death)

b. Kedua orang tua bercerai atau pisah (broken by separation)

c. Hubungan kedua orang tua (ayah dan ibu) tidak harmonis (poor marriage) d. Hubungan antara orang tua dan anak tidak baik (poor parent-child

relationship)

e. Suasana rumah tangga yang tegang (high tension) f. Suasana rumah tanpa kehangatan (low warmth) g. Orang tua sibuk dan jarang dirumah (absence)

h. Orang tua mempunyai kelainan kepribadian (personality disorder)

Kemudian pendapat lain dikemukakan oleh Roebyantho (1991) yang mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan remaja menggunakan narkotika diantaranya:

1. Faktor intern, dimana faktor ini datang dari dalam diri remaja itu sendiri yang diartikan sebagai kepribadian remaja. dalam masa perkembangannya remaja banyak memiliki kebutuhan dibanding masa kanak-kanaknya, bergitu pula dalam hal proses penyesuaian diri mereka pada lingkungan masyarakat. Terkadang dalam bersosialisasi mereka dihadapkan pada beberapa masalah. Yaitu apa yang mereka pelajari dan mereka terima dari orangtua terkadang


(44)

tidak sesuai dengan kenyataan dimasyarakat, sehingga mereka merasa bimbang bahwa ada sesuatu yang kurang dan merasa salah satu dari kebutuhan mereka gagal dipenuhi. Akibatnya remaja mengalami suatu perasaan tertekan, sehingga mereka berusaha melepaskan diri dari rasa tertekan itu dengan jalan mengadakan kompensasi.

2. Faktor ekstern, faktor yang datangnya dari luar diri remaja yaitu faktor sekolah, keluarga, dan masyarakat. Keluarga juga bisa menyebabkan remaja menggunakan narkotika, yaitu karena anggota keluarga (ayah, ibu atau saudara kandung) gagal menjalankan peran dan kewajiban mereka di dalam keluarga, sehingga menyebabkan kekacauan di dalamnya. Contohnya perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antara orangtua dengan anak dsb.

Muchlis Catio (2006) dari Badan Narkotika Nasional mengemukakan, jika dicari informasi mengapa seseorang bisa ikut terlibat ke dalam pemakaian narkoba maka ditemukan beberapa faktor, yaitu :

• Rasa ingin tahu / coba-coba,

• Ikut-ikutan teman yang mengunakan narkoba • Solidaritas kelompok

• Biar terlihat gaya (terpengaruh oleh gaya hidup yang modern yang salah) • Mencari kegairahan atau excitemen


(45)

• Agar merasa lebih enak

• Bisa melupakan masalah dan menghilangkan stres • Menunjukkan kehebatan/kekuasaan

• Ingin tampil menonjol dari teman-teman yang lain • Merasa sudah dewasa

• Menunjukkan sikap berontak • Untuk mengurangi rasa sakit • Mengikuti tokoh idola

Selain beberapa hal yang telah dikemukakan di atas, pola asuh keluarga yang salah ternyata bisa menyebabkan anak menggunakan narkotika. Anny. A Affandi (1991) mengungkapkan pola asuh yang bersifat permisif menyebabkan anak menggunakan narkotika, karena pola asuh seperti ini memberi kebebasan pada anak tanpa batas untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, dan orangtua tidak pernah memberikan arahan ataupun aturan juga penilaian benar atau salah yang dilakukan anak. Sehingga yang terjadi anak bertindak sendiri sesuai keinginannya, tidak peduli apakah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.

Masih ada banyak faktor yang menyebabkan seorang anak menggunakan narkoba, yang terkadang tidak disadari khususnya bagi para orang tua. Kecenderungan anak menyalahgunakan narkoba atau menjauhinya, tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab orang tua.


(46)

Bagi orang tua yang tidak mengetahui keadaan anaknya yang memakai narkotika sulit untuk percaya dan menerima kenyataan bahwa anaknya memang menggunakan narkotika, mereka (orangtua) tidak menyadari bahwa sesungguhnya anak-anak juga manusia yang membutuhkan cinta dan kasih sayang, serta bahwa yang terjadi dalam hubungan orang tua-anak juga sama dengan yang berlaku pada semua hubungan antar manusia lain.

Kebanyakan sikap orang tua ketika dihadapkan pada seorang anak yang mempunyai masalah, adalah mengatakan sesuatu berupa : memberi perintah, mengingatkan, sok moralis, menggurui, memberi nasehat, mengkritik, mengejek, menganalisis, membesarkan hati, memuji, mengusut atau mengalihkan perhatian. Reaksi atau tanggapan seperti itu menjadi pembuntu komunikasi karena reaksi tersebut sering menghalangi komunikasi lebih lanjut dengan anak. Kalau sudah begitu, bisa jadi orang tua salah memperlakukan anak. (Supriyono, 2008)

Oleh karena itu orang tua dituntut untuk mampu menjalin komunikasi yang baik dengan anak, bukan hanya itu saja tetapi juga harus bisa meluangkan waktu bersama anak, lalu memberikan perhatian lebih kepada anak, memberikan pujian, mengajak anak berdiskusi dan menyelesaikan masalah yang ada pada anak karena dengan demikian seorang anak tidak hanya menganggap orang tua sebagai seorang yang harus dihormati tetapi juga bisa menjadi seorang sahabat, guru dan tumpuan hidupnya. (Muchlis Catio. 2006)


(47)

2.2.4 Karakteristik pecandu narkoba

Tiap-tiap jenis narkoba mempunyai sifat yang berbeda. Oleh karena itu dampaknya terhadap pemakai juga berbeda-beda. Namun demikian pemakai narkoba umumnya lama-lama kelamaan mengonsumsi semua jenis narkoba. Oleh karena itu ciri-ciri pecandu narkoba dapat dikenali secara umum.

Ada beberapa pendapat yang dikemukakan dalam mengenali pecandu narkoba, Ibnu (2008) mengungkapkan beberapa ciri-ciri seseorang yang menggunakan narkoba:

• Perubahan fisik dan lingkungan sehari-hari

• Jalan sempoyongan, bicara pelo, tampak terkantuk-kantuk • Kamar tidak mau diperiksa atau selalu dikunci

• Sering didatangi atau menerima telepon orang-orang tidak dikenal

• Ditemukan obat-obatan, kertas timah, jarum suntik, korek api di kamar/di dalam tas

• Terdapat tanda-tanda bekas suntkan atau sayatan • Sering kehilangan uang/barang di rumah

• Perubahan psikologis • Malas belajar

Selain itu ada pendapat lain yang diungkapkan salah satu lembaga sosial masyarakat (LSM) yakni Klub Partisipasi Kemanusiaan, (dalam Witarsa, 2006) terdapat enam belas tanda pecandu narkoba yaitu: Terlalu sensitif, cepat bosan, suka


(48)

berbohong, bicaranya tidak nyambung, kadang tertawa atau menangis tanpa alasan, tidak peduli pada kebersihan tubuh dan penampilan, malas mandi, prestasi belajar menurun, menjadi kasar dan tidak sopan, gampang curiga pada setiap orang/paranoid, suka menyendiri dan penuh rahasia, ekspresi wajah kuyu (lesu) muka pucat dan mata merah, sering batuk pilek dan menguap, nafsu makan hilang atau meningkat (tidak teratur), terkadang hiperaktif atau menarik perhatian, kebutuhan uang meningkat tapi sering pula kehabisan uang hingga mencuri.

Adapun tahapan seseorang yang memakai narkoba dapat diidentifikasi melalui beberapatahapan, seperti yang diungkapkan dr. Subagyo (2006) tentang tahapan seseorang menggunakan narkoba, yaitu :

• Tahap awal (coba-coba), dimana pada awalnya hanya coba-coba, kemudian karena terjebak oleh sifat-sifat jahat narkoba, ia menjadi mau lagi dan lagi.

• Kemudian tahap kedua: yaitu adanya peningkatan dari coba-coba menjadi terbiasa karena pemakai sudah merasakan kenikmatan dari narkoba tersebut.

• Tahap ketiga (tahap berkala), setelah beberapa kali memakai narkoba, pemakai terdorong untuk memakai lebih sering lagi, selain merasakan adanya kenikmatan ia juga mulai merasa sakaw kalau terlambat atau berhenti mengkonsumsi narkoba. • Tahap keempat tahap tetap (madat), setelah menjadi pemakai narkoba secara

berkala, pemakai narkoba akan dituntut oleh tubuhnya sendiri untuk semakin sering memakai narkoba dengan dosis yang semakin tinggi. Pada tahap ini pemakai sama sekali tidak bisa lepas dari narkoba atau disebut juga Junkies.


(49)

Jadi secara umum penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kondisi kesehatan jasmani (fisik dan kejiwaaan) dan psikis bagi pemakainya. Perubahan psikis sering menimbulkan kendala hubungan sosial dari pengguna tersebut.

2.3 Orang Tua Anak Penyalahguna Narkoba

Orang tua berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian seseorang setelah dewasa, gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seorang remaja, banyak ditentukan oleh keadaan dan proses-proses yang ada dan terjadi sebelumnya yang dialami dalam lingkungan keluarganya. (Ahmadi Sofyan, 2007:93)

Senada dengan yang diungkapkan oleh Ahmadi Sofyan, Roebyantho (1986) (dalam Danny I Yatim dan Irwanto) mengatakan, Orang tua mempunyai peranan penting dalam proses sosialisasi anak sebagai anggota keluarga. Dari orang tualah anak belajar tentang nilai-nilai dan sikap yang terdapat dan dianut masyarakat di sekitar mereka, jadi pada dasarnya watak dan sikap seorang individu untuk pertama kali dibentuk oleh orang tua.

Hurlock, 1975 (dalam Danny i yatim dan irwanto) mengemukakan, pada masa remaja anak mengalami perubahan secara fisik, emosi, dan pengetahuan. Saat itulah anak sangat membutuhkan perhatian dan bimbingan orangtua karena banyak sekali


(50)

perubahan yang terjadi pada diri mereka. Karena adanya perubahan seperti ini maka kebutuhan akan bimbingan dan petunjuk dari orangtua tentang norma-norma dan nilai yang berlaku di masyarakat sangat diperlukan.

Jika bimbingan dan juga petunjuk dari orangtua tidak dapat terlaksana maka bisa menyebabkan hambatan bagi perkembangan kepribadian para remaja, dan biasanya mereka akan mencari sesuatu untuk dapat menghilangkan perasaan itu, salah satunya bisa dengan mengkonsumsi narkoba.

Kedekatan antara orang tua dan anak merupakan salah satu faktor yang mendukung terhindarnya anak dari penyalahgunaan narkoba, perhatian dan kepedulian orangtua berperan besar bagi kehidupan mereka. Akan tetapi jika anak terlanjur menggunakan narkotika maka sebagai orangtua hendaknya mengoreksi diri dan tidak langsung menuduh anak bersalah.

Ahmadi Sofyan (2007) mengemukakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan orangtua jika anaknya menyalahgunakan narkoba, diantaranya adalah: tenang dalam menghadapi masalah, hadapi kenyataan dan ajak anak untuk berdialog, hargai kejujuran anak atas sebab ia menggunakan narkoba, cari pertolongan tenaga profesi seperti panti rehabilitasi, kemudian ajak anak untuk berobat atau mendatangi panti rehabilitasi yang sudah didapat.

Pada dasarnya sebagai orangtua hendaknya bisa memahami gejolak emosi seorang anak. Sering kali yang terjadi orangtua memberikan kritik ataupun saran serta respon negatif terhadap apa yang sedang anak lakukan, padahal seorang anak


(51)

memberikan respon yang baik jika hal itu disampaikan oleh orangtua, guru ataupun orang dewasa lain dengan cara yang positif dan dengan cinta dan kasih sayang.

2.3.1 Peran dan fungsi pada orangtua

Berbicara tentang peran dan fungsi orang tua berarti kita berbicara tentang salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa madya. Hurlock (1980) ciri pertama dari usia madya adalah bahwa masa tersebut merupakan periode yang sangat menakutkan. semakin mendekati usia tua periode usia madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan manusia.

Havighurst (dalam Hurlock 1980) mengemukakan tugas perkembangan masa dewasa madya dibagi menjadi empat kategori utama yaitu:

a. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik

Tugas ini meliputi agar mau melakukan penerimaan dan penyesuaian dengan berbagai perubahan fisik yang normal terjadi pada usia madya,

b. Tugas yang berkaitan dengan perubahan minat

Orang yang berusia madya seringkali mengasumsikan tanggung jawab warga negara dan sosial, serta mengembangkan minat pada waktu luang yang berorientasi pada kedewasaan pada tempat kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada keluarga yang biasa dilakukan pada masa dewasa ini.


(52)

tugas ini berkisar pada pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan.

d. Tugas-tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.

tugas yang penting dalam kategori ini meliputi hal-hal yang berkaitan dengan seseorang sebagai pasangan, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia, dan membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

Dalam hal yang berkaitan dengan keluarga, usia madya memiliki tugas yang salah satunya adalah mendidik anak-anak mereka terutama yang sudah menginjak masa remaja agar mampu menjadi anak yang bertanggung jawab dalam berbagai hal ketika dewasa nanti.

Penerapan pola asuh orang tua berkaitan erat bagi perkembangan anak. Hoffman, 1989 (dalam Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2004) mengemukakan tiga jenis pola asuh orang tua, yaitu :

1. Pola asuh bina kasih (induction)

Adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi anaknya.


(53)

Pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat menerimanya.

3. Pola asuh lepas kasih (love withdrawal)

Pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya, tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orang tuanya maka cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakala

Dalam konteks pengembangan kepribadian remaja, pola asuh bina kasih (induction) sangat cocok digunakan karena dalam pola asuh bina kasih setiap keputusan yang diambil oleh orang tua tentang anak remajanya atau setiap perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak remajanya harus senantiasa disertai dengan penjelasan atau alasan yang rasional. Sehingga remaja dapat mengembangkan pemikirannya untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak perlakuan orang tuanya (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2004)

Kemudian interaksi antara orangtua dan anak juga sangat penting agar anak betul-betul mendapatkan kenyamanan di dalam keluarga. Interaksi yang baik antara orangtua dan anak harus dimiliki oleh setiap keluarga karena keluarga adalah tempat pembelajaran pertama bagi mereka, sedangkan lingkungan teman-teman sebaya adalah “rumah” kedua setelah keluarga. Jersild, Brook dan Brook (1998) dalam Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2004) mengatakan bahwa interaksi antara


(54)

remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama tiga tindakan (three act drama).

a. Drama tindakan pertama (the first act drama), interaksi remaja dengan orang tua berlangsung sebagaimana yang terjadi pada interaksi antara masa anak-anak dengan orang tua.

b. Drama tindakan kedua (the second act drama), disebut dengan istilah perjuangan untuk emansipasi, remaja memiliki perjuangan kuat untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan dengan orang tuanya seperti pada masa anak-anak untuk mencapai status dewasa.

c. Drama tindakan ketiga (the third act drama), remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan orang dewasa dan berinteraksi secara lancar dengan mereka.

Dalam hal lain yakni komunikasi, suatu hal sederhana tapi memiliki peran penting dalam menciptakan suasana hangat di dalam keluarga. Danny I Yatim dan Irwanto (1986) mengemukakan beberapa faktor penting yang menentukan jelas tidaknya informasi yang dikomunikasikan orangtua kepada anak, yaitu:

1. Konsistensi

artinya informasi yang dikomunikasikan konsisten, jelas dan dapat dipercaya. Contoh: jika orangtua mengatakan bahwa “narkoba itu tidak baik bagi kesehatan”, tetapi mereka sendiri memakai narkoba, maka ia menyajikan informasi yang tidak konsisten.


(55)

2. Keterbukaan

Suatu komunikasi selalu terbuka untuk segala penafsiran. Keterbukaan untuk berdialog, membicarakan isi informasi mempunyai arti yang sangat penting dalam dalam mengarahkan perilaku penerima informasi sesuai dengan yang dikehendaki. Inilah esensi dari komunikasi dua arah.

3. Ketegasan

Suatu ketegasan yang terbuka dengan contoh perilaku konsisten akan memperjelas nilai-nilai, sikap, dan harapan-harapan orangtua yang dikenakan pada anak-anaknya. Ketegasan tidak selalu bersifat otoriter, tetapi hanya meyakinkan anak bahwa si komunikator (orangtua) benar-benar yakin dengan sikapnya. Contoh: seorang ayah ingin agar anaknya tidak memakai narkoba seperti sang ayah, maka sang ayah harus memberi tahu bahaya dari narkoba.

2.3.2 Peran dan fungsi orangtua ketika anak terlibat penyalahgunaan narkoba Tidak semua orangtua mampu menciptakan kebahagiaan bagi anggota keluarganya, sering terjadinya konflik dan juga problem tertentu menjadikan keluarga tidak lagi harmonis sehingga menyebabkan perubahan komunikasi yang tadinya baik berubah menjadi buruk. Berhadapan dengan situasi seperti ini, anak merasa bimbang, bingung dan ketiadaan pegangan dalam hidupnya, sehingga anak pada akhirnya menjadi takut dan mencari sendiri pegangan hidupnya. Dalam pencaharian inilah, tidak mustahil seorang anak remaja menceburkan diri ke dalam kelompok narkotika.


(56)

Alfarisi (2008) dalam sebuah situs mengatakan, Keluarga berperan sangat penting dalam menciptakan suasana yang dapat menghindarkan atau setidaknya meminimalkan penyalahgunaan narkoba pada remaja. Dalam keluarga ada beberapa hal yang menjadi sumber kelemahan anggota keluarga dalam menghadapi penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Di antaranya yaitu kurangnya keakraban emosional, konflik dalam keluarga serta kurang lancarnya komunikasi yang berdampak pada kurangnya pemahaman disiplin dan norma-norma religius dalam keluarga.

Jika anak sudah terlibat dalam penyalahgunaan narkotika sebagai orangtua hendaknya mengoreksi diri dan tidak langsung menuduh bahwa anaklah yang bersalah. Sebaliknya, orangtua harus memberikan dorongan terutama moriil dan juga bimbingan intensif untuk mengembalikan rasa percaya diri mereka. Banyak orangtua yang kurang paham bahkan cenderung tidak mengerti bagaimana harus bertindak ketika anaknya terlibat penyalahgunaan narkotika.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua jika anak mereka telah kecanduan narkotika. Seperti yang diungkapkan oleh Ahmadi Sofyan (2006), yang mengatakan jika anak telah menyalahgunakan narkotika berusahalah untuk tenang dan yang terpenting adalah mengendalikan emosi, bicaralah pada anak dan dengarkan semua keluhannya usahakan agar anak betul-betul merasa aman dan nyaman dekat orangtua, bagi orangtua berusahalah untuk jujur terhadap diri sendiri dengan mengakui kelemahan dan kesalahan orangtua dalam mendidik anak agar tidak selalu


(57)

merasa benar sendiri, kemudian mintalah bantuan kepada tenaga ahli dibidang narkotika seperti panti rehabilitasi dsb.

Yayasan Cinta Anak Bangsa dalam situsnya, mengemukakan beberapa hal untuk dapat membantu memulihkan anak bagi orangtua yang memiliki anak pengguna narkoba:

1. Berbicaralah pada anak dengan penuh kasih sayang, kemudian katakan pada mereka bahwa apapun yang telah mereka lakukan orangtua tetap menyayangi mereka dan ingin membantu mereka keluar dari masalah.

2. Meminta pada anak untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah ini

3. Membawa anak ke dokter atau rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan.

2.4 Kerangka Berpikir

Orangtua bijak adalah orangtua yang dapat memberikan pendidikan yang baik dan benar bagi anak-anaknya. Pendidikan tersebut baru bisa diberikan jika orangtua memahami makna dan fungsi sebagai orangtua. Namun demikian orangtua seringkali lalai dalam memperhatikan perkembangan yang terjadi pada anak sehingga perubahan yang terjadi pada anak orangtuapun tidak mengetahuinya.

Maraknya kriminalitas, seperti pelecehan sexual, tawuran dan narkotika yang dilakukan oleh banyak kalangan remaja merupakan kesalahan orangtua yang kurang memahami dan memperhatikan anak. Hal ini disebabkan karena sebagian orangtua sibuk mengejar karier, harta , popularitas, jabatan, politik, usaha dsb. Mereka terlalu


(58)

asik dengan kesibukkan mereka padahal sebetulnya anak mereka membutuhkan bimbingan dan pendidikan dari orangtuanya.

Pada akhirnya tak jarang di saat-saat tertentu orangtua menjadi korban dari ulah anak mereka sendiri. Terlebih lagi saat anak memasuki usia remaja dimana masa remaja adalah masa-masa penuh keingintahuan, gejolak emosi yang selalu berubah-ubah, juga rentan pengaruh pergaulan. Yang paling dikhawatirkan bagi para orangtua adalah masalah pemakaian narkotika. Dikarenakan penggunaan narkotika saat ini kebanyakan adalah usia remaja yang terpengaruh oleh teman sebaya atau mereka adalah korban broken home yang melampiaskan rasa kekecewaan mereka terhadap orangtua mereka sendiri.

Saat ini di kota-kota besar seperti Jakarta khususnya banyak orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba. Mereka para orangtua merasa sangat menyesal karena kelalaian mereka dalam mendidik dan memperhatikan anak-anak mereka, sehingga mereka tumbuh tanpa bimbingan yang baik dari orangtua.

Dalam kondisi yang penuh stress dan kekhawatiran akan anak, mereka (orangtua) memaksa terjadinya suatu perubahan-perubahan dalam berbagai hal, seperti komunikasi dan juga perhatian pada anak. Jika sebelumnya jarang terjadi komunikasi yang baik pada anak sehingga membuat anak merasa tidak diperhatikan dan tidak diakui keberadaannya yang akhirnya menyebabkan anak mencari perhatian dan kesenangan di luar hingga sampai memakai narkotika, maka komunikasi menjadi


(59)

lebih intensif pada anak agar anak merasa benar-benar diakui keberadaannya dan diperhatikan.

Terjadinya beberapa perubahan baik komunikasi, perhatian dsb dalam keluarga belum cukup untuk memberikan kesembuhan bagi anak yang kecanduan narkotika. Keadaan stress yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut membuat orangtua harus melakukan berbagai macam usaha penanganan (coping) agar mampu keluar dari kondisi stress itu.

Dalam menangani kondisi stress tindakan penanganan (coping) yang dilakukan oleh tiap orang melibatkan beberapa aspek emosi, perasaan dan juga pikiran. Karena dalam penanganan (coping) tersebut memiliki strategi yang biasanya banyak digunakan. Strategi yang dimaksud adalah coping (penanganan) berpusat pada emosi dan coping (penanganan) yang berpusat pada masalah.

Ketika orangtua mengetahui bahwa anak mereka pecandu narkotika tentu saja orangtua berusaha untuk mengurangi dan menghilangkan perasaan cemas atau stressnya dengan menggunakan beberapa mekanisme yang mereka lakukan seperti penyangkalan (denial) bahwa anak mereka tidak terlibat penyalahgunaan narkotika dengan harapan hal tersebut dapat mengurangi kondisi stress, lalu memunculkan harapan-harapan positif agar reaksi stress bisa terus berkurang.


(60)

Setelah melakukan usaha dengan kontrol emosi atau perasaan, orangtua tentunya akan melakukan suatu tindakan yang lebih nyata untuk menyembuhkan anak dari ketergantungan narkotika Seperti mencari informasi mengenai tempat-tempat rehabilitasi narkotika, lalu mengajak anak untuk pergi ketempat rehabilitasi sampai dengan menjalani proses rehabilitasi tersebut.

Dengan demikian coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba perlu diteliti dan dikaji. Dalam hal ini penanganan yang seperti apa yang dilakukan oleh orangtua ketika anak kecanduan narkotika. Sehingga nantinya masyarakat juga mengetahui apa yang seharusnya dilakukan jika memiliki anak pecandu narkotika.


(61)

B

Bagan Ke

erangka Be

erpikir

S


(62)

Metodologi adalah model yang mencakup prinsip-prinsip teoritis maupun kerangka pandang yang menjadi pedoman mengenai bagaimana riset akan dilaksanakan dalam konteks paradigma tertentu, jadi metodologi penelitian adalah, metode/tekhnik yang berisi standard dan prinsip-prinsip yang digunakan (Poerwandari, 1998)

Sesuai dengan permasalahan yang diajukan yaitu coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba, maka pada bagian ini peneliti akan merinci jenis penelitian, subyek penelitian, metode pengumpulan data, prosedur penelitian dan tekhnik pengolahan data.

3.1 Jenis Penelitian

3.1.1 Pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif seperti wawancara, observasi, catatan lapangan dan lain sebagainya. (Poerwandari, 2001). Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic


(63)

(utuh). Individu atau subyek penelitian dipandang sebagai bagian dari suatu keutuhan. Pendekatan ini juga dikenal dengan istilah inkuiri naturalistic atau alamiah.

Dengan dasar penelitian kualitatif tersebut maka untuk mengetahui coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba diperlukan data-data deskriptif yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam.

3.1.2 Metode penelitian

Pada penelitian ini peneliti berusaha untuk menggali dan mengetahui strategi coping stress apa yang dilakukan, kenapa strategi coping stress tersebut yang dipilih, bagaimana coping stress itu dilakukan, dan bagaimana hasil dari strategi coping tersebut dari orang tua yang memiliki anak kecanduan narkoba.

Dimana kondisi di atas merupakan suatu kasus yang perlu diungkap secara mendalam. Dengan demikian peneliti memutuskan untuk menggunakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi kasus.

Patton (dalam Kristi Poerwandari, 2001) mengemukakan bahwa studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam. Dan dapat menggambarkan secara lengkap berbagai gejala dan proses perilaku manusia serta peristiwa-peristiwa khusus yang tidak mudah dijelaskan melalui pendekatan kuantitatif.


(64)

3.2 Subjek Penelitian

3.2.1 Karakteristik subjek

Subjek atau responden yang dilibatkan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. - Subjek penelitian adalah orangtua (Ibu dan Bapak) yang anaknya kecanduan narkoba

- Anak dari subjek penelitian telah kecanduan narkoba untuk jangka waktu yang lama atau lebih dari satu tahun

b. Subjek bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya, hal ini agar memudahkan peneliti memperoleh data.

3.2.2 Jumlah subjek

Jumlah subjek sangat bergantung pada apa yang ingin diketahui peneliti, tujuan peneliti, konteks saat itu, apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia (Poerwandari, 2001).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam penelitian ini ditetapkan jumlah subjek sebanyak 6 orang (3 pasangan orangtua).

3.2.3 Tehnik pengambilan sampel

Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu sample yang bertujuan, maksud sampling dalam penelitian


(65)

kualitatif adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul (Moleong, 2005). Dengan demikian tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Tetapi merinci kekhususan yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik.

3.3 Tehnik dan Instrumen Pengumpulan Data

3.3.1 Metode pengumpulan data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi.

Wawancara

Adapun tujuan wawancara adalah untuk mengetahui strategi coping apa yang dilakukan oleh orang tua untuk menangani anaknya yang kecanduan narkoba.

Oleh sebab itu tekhnik pengambilan data pada penelitian ini menggunakan wawancara. Adapun tekhnik wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam. Dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam.

Observasi

Tujuan diadakannya observasi agar peneliti mendapatkan data tambahan berupa; gambaran fisik dan psikis dari setiap subyek (Bapak dan Ibu yang memiliki


(66)

anak kecanduan narkotika), respon subyek terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, orang-orang yang terlibat selama proses wawancara, kenyamanan suasana dan lingkungan wawancara dan lain sebagainya.

Ada beberapa alasan mengapa observasi sangat diperlukan dalam sebuah penelitian kualitatif. Lincoln dan Guba 1981 (dalam Moleong, 2005) mengemukakan sebagai berikut.

1. Tehnik observasi didasarkan atas pengalaman secara langsung

2. Tehnik observasi juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.

3. Observasi memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposisional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.

4. Sering terjadi ada keraguan pada peneliti. Ada kekhawatiran bahwa data yang telah diperoleh keliru atau bias yang disebabkan karena kurang dapat mengingat peristiwa atau hasil wawancara, kemudian ada jarak antara peneliti dan yang diwawancarai atau bisa jadi karena reaksi peneliti yang emosional pada suatu saat.

5. Tehnik observasi memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yaang rumit.


(67)

Jadi bisa disimpulkan bahwa secara metodologis observasi mampu mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan lain-lain.

3.3.2 Instrumen Pengumpulan Data

Adapun instrument pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, observasi dan juga alat bantu untuk merekam setiap pembicaraan yaitu Tape Recorder dan Kaset. Karena tiap alat ini bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data-data penelitian di lapangan.


(68)

(69)

(70)

3.4 Prosedur Penelitian

Dalam setiap penelitian harus memiliki prosedur penelitian. Demikian juga pada penelitian ini, peneliti membuat rancangan prosedur penelitian. Dimana hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman atau batasan dalam pelaksanaan penelitian. Selain itu rancangan prosedur penelitian ini membantu agar peneliti tetap fokus pada inti permasalahan penelitian, dan memberikan batasan yang jelas terhadap tindakan penelitian yang harus dilakukan oleh peneliti.

Ada pun prosedur penelitian tersebut terdiri dari; tahap pra-lapangan (tahap perencanaan) yang di dalamnya mencakup pembuatan per-izinan sampai tahap persiapan penelitian. Tahap Penelitian (pelaksanaan) yang di dalamnya terkait dengan kesedian subyek untuk diwawancara sampai analisa data hasil penelitian, ada pun penjelasan dari kedua tahapan tersebut sebagai berikut;

A. Tahapan Pertama

1. Meminta izin melakukan penelitian kepada salah satu intansi (rumah sakit atau panti rehabilitasi) yang dapat memberikan bantuan dalam menyediakan subyek penelitian.

2. Meminta izin (kesediaan) dari setiap subyek penelitian. Menentukan sample penelitian dan melakukan konfirmasi dengan pihak yang bersangkutan

3. Menyiapkan instrument pengumpulan data yang berupa pedoman wawancara dan pedoman observasi; Menyiapkan perlengkapan penelitian seperti; surat izin penelitian dari kampus, pensil, ballpoint, daftar pertanyaan, buku catatan,


(71)

alat perekam atau tape recorder dan beberapa hal lain yang berkaitan untuk melaksanakan penelitian

B. Tahap Penelitian (pelaksanaan)

1. Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta kesediaan subjek untuk dijadikan responden penelitian

2. Membuat janji dan meminta kesedian kepada subyek untuk menentukan hari pelaksanaan wawancara yang akan dilakukan lebih dari satu kali. 3. Melaksanakn pengambilan data dengan menggunakan dan merealisasikan

hal-hal dalam pedoman wawancara dan observasi.

4. Melakukan tahapan verbatim atau pembuatan data mentah dari hasil wawancara dan observasi pada setiap sesi penelitan dengan setiap subyek. 5. Menganalisa dan memverifikasi data mentah untuk mendapatkan

gambaran dari hasil penelitian, yang pada akhirnya akan ditarik atau dijadikan kesimpulan dari penelitian.

3.5. Tehnik Analisa Data

Data yang di dapatkan dari penelitian kualitatif adalah berupa tulisan atau hasil rekaman dari tape recorder (data mentah) yang perlu disusun sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan gambaran jawaban dari hasil penelitian. Selanjutnya data tersebut perlu dianalisa dan diverifikasi agar dapat ditarik kesimpulan dari hasil


(1)

Lembar Observasi

Tanggal :

Jam : s/d

Subjek : 1,2,3,... Wawancara ke : 1,2,3,... Tempat :

Catatan Observasi

1. Keadaan tempat wawancara, cuaca dan kehadiran pihak lain selama proses wawancara.

2. Gambaran fisik, dan penilain kondisi psikis subjek

3. Ringkasan awal dan akhir proses wawancara (suara, intonasi, sikap, bahasa tubuh, antusiasme selama proses wawancara dsb).

4. Ringkasan sikap subjek selama proses wawancara (kegiatan atau perilaku yang dimunculkan selama proses wawancara).

5. Gangguan dan Hambatan yang muncul selama proses wawancara 6. Catatan selama proses wawancara

a. Observasi umum. b. Observasi khusus.

Tertanda


(2)

Nama Bapak/Ibu :________________ Tempat dan Tanggal Lahir :________________

Suku :________________

Agama :________________

Pekerjaan :________________ Pendidikan :________________


(3)

122

Analisis Strategi Coping Stress Antar Kasus

No

Problem focused coping

Subyek Pasangan

A B C

1

Planful Problem Coping Apa yang dilakukan subyek untuk membebaskan anak dari jeratan memakai napza

1. Membuat rencana berobat dan konsultasi ke salah satu dokter yang menangani masalah napza 2. Membawa ke panti

rehabilitasi

1. Merencanakan

pengobatan ke dokter 2. Membawa ke pondok

pesantren di Jawa Tengah untuk diobati

1. Memutus hubungan dengan teman-teman pergaulan dan pindah kuliah ke luar kota. 2. Menyuruh anak dan

istrinya untuk pergi umrah ke tanah suci Makkah

Apa ada kesulitan untuk mengajak berobat dan menjalani pengobatan

Ada, faktor ketakutan anak akan proses pengobatan yang akan di jalani

Ada, karena ada penolakan dari anak untuk menjalani proses pengobatan

Tidak, si anak tetap mau diajak untuk berobat

Dengan adanya rencana dan tindakan mengobati si anak, apa itu membantu persoalan

Sangat membantu Sangat membantu untuk meringankan beban masalah

Sangat membantu

Seeking Social Support - - -

Apakah subyek mencari

dukungan/bantuan orang lain. baik itu tetangga, saudara dan lingkungan sekitar

Ya, walaupun ada beberapa kendala karena banyak

masyarakat yang kurang mengetahui napza

Tidak sama sekali, hanya mengatasi seorang diri

Tidak

Jiika ada orang yang ingin membantu Dukungan. Supaya anak Informasi mengenai Nasihat dari orang-122


(4)

apa yang subyek harapkan bisa tetap diterima di masyarakat

tempat pengobatan dan tempat rehabilitasi. Juga nasihat para tetangga dan teman kerja

orang terdekat. Terutama orangtua

Confrontative Coping - - -

Ketika anak mengalami sakau tindakan yang dilakukan subyek terhadap anak

Hanya memberikan obat untuk meredakan rasa sakit pada bagian kepala

Tidak tau harus berbuat apa. Hanya menangis dan menelepon dokter

Tidak mampu berbuat apapun hanya

menemani sampai rasa sakau hilang

Pernah memberikan napza untuk dikonsumsi pada anak

Tidak pernah Tidak pernah Pernah. Diberikan secara bertahap untuk mengurangi intensitas pemakaiannya. Karena subyek sudah putus asa, obat dari dokter tidak dihiraukan oleh si anak

2

Emotion Focused Coping

- - -

Distancing - - -

Apakah subyek menjaga jarak dengan lingkungan sekitar atau keluarga sendiri

Tidak Tidak Ya Apakah dengan menjaga jarak bisa

menyelesaikan masalah


(5)

124

Self Control

- - -

- Kontrol Perasaan

Cara mengontrol perasaan/emosi menghadapi kondisi sulit anak

Bersabar Berusaha

menghilangkan marah terhadap lingkungan pergaulan anak dan kekecewaan pada anak

Lebih banyak bersabar

- Kontrol Diri

Bagaimana mengontrol diri subyek supaya tetap bisa berpikir positif dan benar dalam bertindak

1. Menggali informasi tentang dunia narkotika 2. Membatasi pergaulan

anak

1. Selektif dalam menyaring informasi tentang narkotika 2. Konsultasi dengan

psikiater

Saling berdiskusi dan bertukar pikiran dengan pasangan dalam segala hal sebelum bertindak khususnya yang

berkaitan dengan anak

Accepting Responsibility

- - - Apakah subyek menerima kondisi anak

mereka yang menjadi pecandu napza

Ya, karena kurangnya kontrol pergaulan dari subyek sebagai orangtua

Ya, karena subyek dalam hal ini terutama bapak sebagai seorang pemimpin tidak bisa memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak

Ya, sebab subyek tidak memberikan perhatian dan komunikasi yang baik pada anak

Escape Avoidance

- - -

Apakah subyek mencoba lepas tanggung jawab dari masalah penyalahgunaan napza pada anak

Tidak pernah Tidak pernah Pernah terpikirkan untuk lepas dari tanggung jawab


(6)

Seandainya melepaskan tangung jawab akankah hal itu menyelesaikan masalah

Tidak akan

menyelesaikan masalah

Tidak Tidak

Positive Reappraisal

- - -

Tindakan yang dilakukan subyek untuk tetap berpikir positif dan mengambil pelajaran berharga dari permasalahan anak

1. Koreksi diri apakah sudah benar menjadi orangtua

2. Memperbaiki setiap hal dalam keluarga baik itu komunikasi dan

bimbingan ke anak

1. Memberikan perhatian lebih pada anak 2. Mendukung setiap

kegiatan dan keinginan anak yang mengarah pada pengambangan diri

1. Memperbaiki komunikasi dan hubungan yang dirasa kurang baik dengan anak

2. Sediakan waktu lebih untuk anak ketika membutuhkan saran dari orangtua