BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Tinjauan Medis A. Pengertian - Ary Foraria Rela Utami BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Tinjauan Medis A. Pengertian

  1. Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan/sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten) (Nugroho, 2010).

  2. Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum inpartu (Saifuddin, 2002).

  3. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda mulai persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu (Manuaba, 2009).

  4. Ketuban Pecah Dini (KPD) atau spontaneous/early/premature rupture

  of the membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu,

  yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multi para kurang dari 5 cm (2006).

B. Etiologi

  Menurut Sujiyatini dkk (2009), penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa penelitian menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi adalah :

  1. Infeksi Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Servik yang inkompetensia, kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curettage). Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemeli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisposisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.

  2. Keadaan sosial ekonomi Merupakan faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya KPD, seperti faktor multi graviditas.

  Sebagian besar kasus penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok dan perdarahan selama kehamilan.

  Beberapa faktor resiko dari KPD yaitu: a) Polihidramnion (cairan ketuban berlebih).

  b) Riwayat KPD sebelumnya.

  c) Kelainan atau kerusakan selaput ketuban.

  d) Kehamilan kembar.

C. Patofisiologi

  Menurut Sujiyatini dkk (2009), menjelaskan bahwa KPD biasanya terjadi karena berkurangnya kekuatan membran dan peningkatan tekanan intra uterin ataupun karena sebab keduanya. Kemungkinan tekanan intra uterin yang kuat adalah penyebab dari KPD dan selaput ketuban yang tidak kuat dikarenakan kurangnya jaringan ikat dan faskularisasi akan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban. Hubungan serviks inkompeten dengan kejadian KPD adalah bahwa servik yang inkompeten adalah leher rahim yang tidak mempunyai kelenturan, sehingga tidak kuat menahan kehamilan.

  Selain karena infeksi dan tekanan intra uterin yang kuat, hubungan seksual pada kehamilam tua berpengaruh terhadap terjadinya KPD karena pengaruh prostaglandin yang terdapat dalam sperma dapat menimbulkan kontraksi, tetapi bisa juga karena faktor trauma saat hubungan seksual. Kehamilan ganda dapat menyebabkan KPD karena uterus meregang berlebihan yang disebabkan oleh besarnya janin, dua plasenta dan jumlah air ketuban yang lebih banyak (Oxorn, 2003).

  Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda, tetapi pada trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungan dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim dan gerakan janin. KPD pada trimester terakhir terjadi karena perubahan biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. KPD pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. KPD prematur sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks dan solusio plasenta (Wiknjosastro, 2008).

D. Tanda dan gejala

  Sujiyatini dkk (2009), menjelaskan bahwa tanda yang terjadi pada KPD adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Menurut Dini Kasdu (2005), menjelaskan bahwa ketuban yang pecah ditandai dengan adanya air yang mengalir dari vagina yang tidak bisa dibendung lagi. Perbedaan antara air ketuban dengan air seni dapat diketahui dari bentuk dan warnanya. Air seni berwarna kekuning-kuningan dan bening, sedangkan air ketuban keruh dan bercampur dengan lanugo (rambut halus dari janin) dan mengandung fenik kaseosa (lemak pada kulit janin). Cairan ketuban adalah cairan putih jernih kadang keruh mengandung gumpalan halus lemak dan berbau amis.

E. Pemeriksaan penunjang

  1. Pemeriksaan laboratorium Dengan melakukan :

  a) Tes lakmus (tes nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya cairan ketuban (alkalis). Darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu.

  b) Tes pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukan kristal cairan amnion dan gambaran daun pakis (Saifuddin, 2002).

  2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit pada kasus KPD. Sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion. Pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sederhana (Sujiyatini dkk, 2009).

  Menurut Nugroho (2010), pada saat anamnesa penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir. Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna keluarnya cairan tersebut, his belum teratur atau belum ada dan belum ada pengeluaran lendir darah. USG dilakukan jika umur kehamilan tidak dilakukan secara pasti, serta untuk mengetahui letak janin.

F. Komplikasi

  Menurut Sujiyatini dkk (2009) dan Chrisdiono (2004) komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Resiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Kejadian prolaps atau keluarnya tali pusat dapat terjadi pada kasus KPD.

  Resiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.

  1. Infeksi intra uterin.

  2. Tali pusat menumbung.

  3. Prematuritas.

  4. Ruptur uteri.

  5. Distosia.

  6. Kematian janin.

G. Penatalaksanaan medis 1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm ( > 37 minggu).

  Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode laten. Makin muda umur kehamilan makin memanjang periode latennya. Hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan dan bila gagal dilakukan bedah sesar.

  Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Antibiotik tidak berguna untuk janin dalam uterus namum pencegahan terhadap chorioamnionitis lebih penting dari pada pengobatannya, sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakkan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam. Beberapa penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Mempersingkat periode laten dapat dilakukan dengan memperpendek durasi KPD sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.

  Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat).

  2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm ( < 37 minggu).

  Kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaannya bersifat konservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksis. Penderita perlu dirawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tokolitik agent diberikan juga dengan tujuan untuk menunda proses persalinan.

  Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konsevatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan.

  Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, ruptur uteri dan emboli air ketuban.

  Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedah sesar. Pengelolaan KPD yang cukup bulan pada tindakan bedah sesar dikerjakan bukan karena infeksi intra uterin saja tetapi sebaiknya ada indikasi obstetrik yang lain misalnya kelainan letak, gawat janin dan partus tak maju.

  Selain komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif, ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Pengelolaan konservatif yaitu dengan menunggu penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intra uterin.

  Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leukosit darah tepi setiap hari, pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jantung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya setiap 6 jam.

  Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian Respiratory Down Syndrom (RDS). The National Institutes of Healt (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intraamnion. Terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg IM tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.

  (Sujiyatini dkk, 2009).

  1. Konservatif a) Rawat ibu di Rumah Sakit.

  b) Jika ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi (Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam ditambah gentamisin 5 mg/kg BB IV setiap 24 jam).

  c) Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu : (1) Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin

  : Ampisilin 4 x 500 mg selama 7 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali per hari selama 7 hari.

  (2) Berikan kortikosteroid kepada ibu untuk memperbaiki kematangan paru janin : Betametason 12 mg IM dalam 2 dosis setiap 12 jam, atau Deksametason 6 mg IM dalam 4 dosis setiap 6 jam.

  (3) Lakukan persalinan pada kehamilan 37 minggu. (4) Jika terdapat his dan lendir darah, kemungkinan terjadi persalinan preterm.

  2. Aktif

  a) Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat juga diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.

  b) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan diakhiri : (1) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. (2) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.

  (Saifuddin, 2002).

Tabel 2.1 Tabel Skor Bishop

  TABEL SKOR BISHOP SKOR

  1

  2

  3 Pembukaan 1-2 3-4 5-6 Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80% Station -3 -2 -1 +1 +2 Konsistensi Keras Sedang Lunak Amat lunak Posisi os Posterior Tengah Anterior Anterior CARA PEMAKAIAN : Tambah satu angka untuk : Kurangi satu angka untuk : Pre eklampsia Post date Setiap normal partus Nullipara

  Ketuban negatif/lama Kemungkinan :

  Bila Skor Total : Berhasil Gagal

  0-4 50-60 % 40-50 % 5-9 90 % 10 %

  10-13 100 % 0 % Sumber : Chrisdiono (2003).

II. Tinjauan Asuhan Kebidanan

  Penerapan Manajemen Kebidanan menurut varney (2007) meliputi pengkajian, interpretasi data, diagnose potensial dan tindakan antisipasi segera untuk mencegahnya, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan dan evaluasi.

  A. Pengkajian Merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan metode wawancara dan pemeriksaan fisik.

  1. Data Subjektif

  a) Identitas Pasien Nama : Mengetahui nama pasien yang harus dituliskan dengan jelas agar tidak keliru dengan pasien lain, mengingat banyak sekali nama yang sama (Latief, 2003). Umur : Mengetahui usia reproduksi (20-35 tahun) yang sehat, karena pada usia lebih dari 35 tahun temasuk resiko tinggi dalam kehamilan, pesalinan dan nifas (Wiknjosastro, 2005).

  Agama : Mengetahui perilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit yang berhubungan dengan agama, kebiasaan dan kepercayaan dapat menunjang namun tidak jarang dapat menghambat perilaku hidup sehat (Latief, 2003). Pendidikan : Mengetahui berapa jauh pengetahuan pasien mengenai kesehatan (Latief, 2003).

  Pekerjaan : Berkaitan dengan kasus KPD atau ketuban pecah dini, maka pekerjaan perlu dikaji, apakah terlalu berat sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya KPD (Dony, 2010).

  Alamat : Mengetahui lingkungan tempat tinggal pasien (Varney, 2007).

  Identitas suami Nama : Mengetahui nama suami harus dituliskan dengan jelas agar tidak keliru dengan orang lain, mengingat banyak sekali nama yang sama (Latief, 2003). Umur : Mengetahui usia reproduksi (20-35 tahun) suami (Wiknjosastro, 2005).

  Agama : Mengetahui perilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit yang berhubungan dengan agama, kebiasaan dan kepercayaan dapat menunjang namun tidak jarang dapat menghambat perilaku hidup sehat (Latief, 2003).

  Pendidikan : Mengetahui tingkat pendidikan yang penting dalam memberikan pendidikan kesehatan

  (Saifuddin, 2002). Pekerjaan : Mengetahui pendapatan suami (Latief, 2003). Alamat : Mengetahui lingkungan tempat tinggal pasien (Varney, 2007).

  b) Keluhan utama Ibu mangatakan adanya air yang mengalir dari Vagina yang tidak bisa dibendung lagi, keruh dan bercampur dengan lanugo

  (Rambut halus dari janin) dan mengandung fenik kaseossa (lemak pada kulit janin) (Dini kasdu, 2007).

  Ketuban pecah tiba-tiba cairan tampak di introitus tidak ada his dalam 1 jam (Saifuddin, 2002).

  c) Riwayat kesehatan (1) Riwayat kesehatan dahulu :

  Menanyakan pada ibu apakah ibu pernah mengalami kehamilan dengan polihidramnion (kelebihan cairan). Hal ini disebabkan karena bayi mengalami kesulitan atau gangguan dalam menelan, seperti sumbatan pada usu halus janin, kelainan genetik karena spina bifida atau meningo ensefalitis, diabetes mellitus yang diderita ibu, anemia dan tekanan darah tinggi atau pre eklampsia (Dini Kasdu, 2005).

  Menanyakan pada ibu apakah ibu pernah mengalami kehamilan dengan solusio plasenta (Wiknjosastro, 2008). Solusio plasenta terjadi perdarahan yang berlangsung terus menerus karena otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan tidak mampu lebih berkontraksi untuk menghentikan perdarahan. Sebagian darah akan menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina, atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban (Sujiyatini dkk, 2009). (2) Riwayat kesehatan sekarang :

  Ditanyakan untuk mengetahui apakah ibu pernah mengalami kehamilan dengan polihidramnion (kelebihan cairan). Hal ini disebabkan karena bayi mengalami kesulitan atau gangguan dalam menelan, seperti sumbatan pada usus halus janin, kelainan genetik karena spina bifida atau meningo ensefalitis, diabetes mellitus yang diderita ibu, anemia dan tekanan darah tinggi atau pre eklampsia (Dini Kasdu, 2005).

  Menanyakan pada ibu apakah ibu sedang mengalami kehamilan dengan solusio plasenta (Wiknjosastro, 2008).

  Solusio plasenta terjadi perdarahan yang berlangsung terus menerus karena otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan tidak mampu lebih berkontraksi untuk menghentikan perdarahan. Sebagian darah akan menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina, atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban (Sujiyatini, 2009). (3) Riwayat kesehatan keluarga :

  Ditanyakan untuk mengetahui status kesehatan keluarga apakah ada yang mempunyai kelainan genetik karena spina bifida (kelainan tulang belakang) atau meningoensefalitis (gangguan selaput otak) yang dapat mengakibatkan kelebihan cairan atau polihidramnion (Dini kasdu, 2007).

  d) Riwayat Obstetri (1) Riwayat Haid :

  Riwayat haid perlu dikaji untuk mengetahui umur kehamilan, karena pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas (Sujiyatini dkk, 2009).

  (2) Riwayat kehamilan, persalinan, nifas yang lalu : Riwayat persalinan preterm sebelumnya, perdarahan pervaginam atau distensi uteri (misal polihidramnion dan gemelli) memiliki risiko tinggi terjadinya KPD. Tindakan prosedural seperti amniosentesis juga dapat memicu ketuban pecah dini (2006). (3) Riwayat kehamilan sekarang :

  Keluhan yang dialami pada trimester I, II dan III. Seperti hidramnion, kehamilan ganda, disproporsi cevalopelvic kehamilan letak lintang, serta sungsang (Manuaba, 2009).

  e) Pola kebutuhan sehari-hari (1) Pola nutrisi

  Menggambarkan tentang kebutuhan nutrisi ibu selama hamil, apakah sudah memenuhi kebutuhan tumbuh kembang janin dan pemeliharaan kesehatan ibu (Yulaikhah, 2009). (2) Pola eliminasi

  Mengkaji pola fungsi ekskresi. Kebiasaan BAB (terakhir BAB, warna, konsistensi, keluhan) dan kebiasaan BAK (terakhir BAK, warna, konsistensi dan keluhan). Karena jika ibu mengalami kesulitan BAB maka kemungkinan ibu sering mengejan sehingga uterus berkontraksi (Irmayanti, 2009).

  (3) Pola aktivitas Mengetahui apakah pekerjaan ibu sehari-hari terlalu berat, sehingga dapat mempengaruhi terjadinya KPD (Dony,

  2010). (4) Pola istirahat

  Istirahat total dapat dilakukan untuk mencegah keluarmya air ketuban dalam jumlah yang banyak (Dini Kasdu, 2005). (5) Pola personal hygiene

  Mandi diperlukan untuk menjaga kebersihan atau hygiene terutama perawatan kulit, karena fungsi ekskresi dan keringat bertambah (Yulaikhah, 2009). (6) Pola seksual

  Hubungan seksual pada kehamilam tua berpengaruh terhadap terjadinya KPD karena pengaruh prostaglandin yang terdapat dalam sperma dapat menimbulkan kontraksi, tetapi bisa juga karena faktor trauma saat hubungan seksual (Oxorn, 2003).

  Hubungan seksual dapat mengakibatkan trauma pada ibu karena biasanya disertai infeksi yang menyebabkan KPD (Nugroho, 2010).

  f) Psikososial dan kultural (1) Psikososial

  Kepercayaan atau adat istiadat dapat mempengaruhi proses persalinan (Saifuddin, 2001).

  (2) Kultural Pasien yang memiliki kebiasaan merokok dapat mengakibatkan terjadinya KPD (2006).

  2. Data Objektif

  a) Keadaan umum Dikaji untuk mengetahui keadaan umum ibu (Dony, 2010).

  b) Tingkat kesadaran Untuk menilai status kesadaran ibu, ini dilakukan dengan menilai composmentis, apatis, somnolen, sopor, koma, delirium.

  c) Tanda Vital Terdapat tanda infeksi intra uterine suhu meningkat lebih dari 38 °C (Manuaba, 2009).

  Jika selaput ketuban telah pecah beberapa jam sebelum persalinan atau jika terjadi peningkatan suhu ringan maka suhu diperiksa setiap jam (Williams, 2004).

  d) Status present (1) Kepala

  Warna rambut, ada lesi atau tidak dan tekstur rambut apakah distribusi penuh di atas kulit kepala atau tidak. Hal ini digunakan untuk mengetahui tingkat pemenuhan kebutuhan gizi (Morton, 2003).

  (2) Muka Ekspresi wajah yang menunjukkan kecemasan (Dony, 2010).

  (3) Mata Keadaan konjungtiva dan skleranya ada kelainan atau tidak, untuk mengetahui konjungtivitis dan perubahan sklera yang dapat terjadi karena adanya ganggaun sistemik (Morton, 2003).

  (4) Mulut Pemeriksaan pada mulut dilakukan pada bibir apakah sianosis atau tidak, apakah ada lesi atau stomatitis, warna gusi, lidah dan pada gigi apakah terdapat caries (Morton, 2003). (5) Telinga

  Simetris atau tidak, terdapat lesi dan serumen atau tidak (Morton, 2003).

  (6) Hidung Mengetahui apakah terdapat kotoran/lendir atau tidak (Farrer, 2001).

  (7) Leher Mengetahui kesimetrisan dan terdapat kartilago atau tidak (Farrer, 2001).

  (8) Dada dan axilla Perhatikan bentuk payudara, ukuran dan kesimetrisannya.

  Apakah putting payudara menonjol atau masuk kedalam, apakah ada kolostrum atau cairan yang keluar. Lakukan pemeriksaan palpasi untuk mengetahui apakah ada masa dan pembesaran kelenjar limfe (Pusdiknakes, 2003).

  (9) Abdomen Mengetahui apakah ada bekas operasi SC, pembesaran uterus, apakah ada ketegangan perut karena kehamilan (Dony,

  2010). (10) Genetalia Bau cairan ketuban yang khas (Saifuddin, 2002).

  (11) Ekstremitas Pemeriksaan ekstremitas dilakukan untuk mengetahui apakah ada oedem pada jari tangan, kuku jari pucat atau tidak, memeriksa apakah ada varises, dan memeriksa reflek patella untuk mengetahui apakah terjadi gerakan hypo atau hyper pada kaki (Pusdiknakes, 2003).

  e) Status Obstetrikus Inspeksi : (1) Dada

  Memperhatikan bentuk payudara, putting payudara menonjol atau masuk kedalam, kolostrum atau cairan yang keluar, hiperpigmentasi pada areola (Pusdiknakes, 2003).

  (2) Abdomen Melakukan palpasi dengan menilai presentasi, letak, posisi, penurunan kepala janin pada umur kehamilan lebih dari

  36 minggu. Tinggi fundus uteri, taksiran berat janin dan auskultasi dapat diketahui keadaan janin melalui DJJ (Pusdiknakes, 2003). (3) Genitalia

  Keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu yang tampak di introitus (Saifuddin, 2002). Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas (Sujiyatini dkk, 2002).

  (4) Pemeriksaan dalam Jumlah pemeriksaan vagina selama persalinan berkorelasi dengan morbiditas infeksi terutama pada kasus

  KPD oleh karena itu pemeriksaan ini dilakukan jika informasi yang diperoleh bermanfaat (Williams, 2004). Tanda dan gejala in partu menurut Depkes RI (2008) yaitu terjadi penipisan dan pembukaan serviks, terdapat kontraksi uterus yang mengakibatkan pembukaan serviks (frekuensi minimal 2 kali dalam 10 menit), keluar cairan lendir bercampur darah melalui vagina.

  Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan dalam VT perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin (Sujiyatini dkk, 2002). (5) Pemeriksaan penunjang

  Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri, yaitu terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion. Pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sederhana (Sujiyatini dkk, 2009).

  B. Interpretasi data

  1. Diagnosa :

  Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan oleh bidan dalam lingkup praktek kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa kebidanan.

  Standar nomenklatur diagnosa kebidanan adalah

  a. Diakui dan telah disahkan oleh profesi

  b. Berhubungan langsung dengan praktek kebidanan

  c. Memiliki ciri khas kebidanan

  d. Didukung oleh clinical judgement dalam praktek kebidanan e. Dapat diselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan.

  Menurut Varney (1997) yang dikutip oleh Sujiyatini dkk (2009) menjelaskan bahwa diagnosa kebidanan dibuat berdasarkan analisa data yang telah dikumpulkan dan dibuat sesuai dengan kesenjangan yang dihadapi oleh pasien.

  NY…umur…tahun G..P..A.. hamil...minggu dengan ketuban pecah dini.

  1) Data dasar

  a) Data Subjektif Ibu mengatakan hamil ke…belum pernah keguguran dan hari pertama haid terkhir…Ibu mengatakan cemas karena mengeluarkan cairan dari jalan lahir dan belum merasa mules- mules. b) Data Objektif Keluar air ketuban sejak pukul…, belum keluar lendir darah, pembukaan …cm, hari perkiraan lahir…. (Sujiyatini dkk, 2009).

  2) Masalah : Menurut Supriyadi (2003) yang dikutip oleh Sujiyatini dkk (2009) menyebutkan bahwa masalah yang dialami ibu bersalin dengan KPD yaitu ibu merasa cemas karena kurang pengetahuan dan informasi tentang KPD.

  C. Diagnosa potensial dan antisipasi Menurut Sujiyatini dkk (2009) dan Chrisdiono (2004) diagnosa potensial yang akan terjadi yaitu :

  1. Pada Ibu a) Infeksi prenatal.

  b) Ruptur uteri.

  c) Infeksi nifas.

  2. Pada Janin a) IUFD (Intra Uteri Foetal Death).

  b) Sindrom distress pernapasan pada bayi baru lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu.

  c) Prematuritas.

  d) Infeksi intra uterin.

  D. Tindakan segera dan kolaborasi yang dilakukan pada pasien dengan Ketuban Pecah Dini, antara lain : menurut Sujiyatini dkk (2009) dan Wiknjosastro (2008) yaitu dengan melakukan pemberian antibiotik, persalinan pervaginam dan bila gagal seksio sesarea, rujukan ke rumah sakit.

  E. Perencanaan Perencanaan yang dilakukan menurut Saifuddin (2002), yaitu :

  1. Konservatif a) Rawat ibu di Rumah Sakit.

  b) Jika ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi (Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam ditambah gentamisin 5 mg/kg BB IV setiap 24 jam).

  c) Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu : (1) Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin : Ampisilin 4 x 500 mg selama 7 hari atau eritromisin

  250 mg per oral 3 kali per hari selama 7 hari. (2) Berikan kortikosteroid kepada ibu untuk memperbaiki kematangan paru janin : Betametason 12 mg IM dalam 2 dosis setiap 12 jam, atau Deksametason 6 mg IM dalam 4 dosis setiap 6 jam.

  d) Lakukan persalinan pada kehamilan 37 minggu.

  e) Jika terdapat his dan lendir darah, kemungkinan terjadi persalinan preterm.

  2. Aktif

  a) Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat juga diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. b) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan diakhiri : (1) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. (2) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.

  F. Pelaksanaan Pelaksanaan yang dilakukan menurut Saifuddin (2002), yaitu :

  1. Konservatif a) Rawat ibu di Rumah Sakit.

  b) Jika ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi (Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam ditambah gentamisin 5 mg/kg BB IV setiap 24 jam).

  c) Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu : (1) Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin

  : Ampisilin 4 x 500 mg selama 7 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali per hari selama 7 hari.

  (2) Berikan kortikosteroid kepada ibu untuk memperbaiki kematangan paru janin : Betametason 12 mg IM dalam 2 dosis setiap 12 jam, atau Deksametason 6 mg IM dalam 4 dosis setiap 6 jam.

  d) Lakukan persalinan pada kehamilan 37 minggu. e) Jika terdapat his dan lendir darah, kemungkinan terjadi persalinan preterm.

  2. Aktif

  a) Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat juga diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.

  b) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan diakhiri : (1) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. (2) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam. Protap penatalaksanaan KPD di RSUD Wonosobo baik pada umur kehamilan prematur maupun pada umur kehamilan aterm dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik dan melakukan induksi persalinan.

  G. Evaluasi Langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar- benar telah terpenuhi sesaui dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi di dalam diagnosa dan masalah. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar efektif dalam pelaksanaannya (Pusdiknakes, 2003).

  Data Perkembangan I Subyektif : 1. Ibu merasa ingin BAB dan tidak kuat ingin meneran.

  2. Ibu mengatakan kenceng-kenceng semakin lama semakin kuat. Obyektif : 1. Tampak tekanan pada anus, vulva membuka, dan perineum menonjol.

  2. Hasil pemeriksaan dalam : dilatasi servis 10 cm, effement 100 %, penurunan kepala H III +.

  3. Kontrasi uterus baik.

  4. Periksaan DJJ (+). Assesment : Ny.... G... P... A..., umur kehamilan (dalam minggu), keadaan janin dalam uterus, dalam persalinan kala II dengan KPD.

  Perencanaan :

  1. Menganjurkan ibu untuk didampingi keluarga selama persalinan dan kelahiran bayinya, dukungan dari suami, orang tua, dan kerabat sangat diperluan dalam menjalani proses persalinan dan membantu ibu mengatur posisi yang nyaman, membantu makan/minum (Depkes, 2007).

  2. Tentramkan hati ibu dalam menghadapi proses persalinan, lakukan bimbingan dan tawarkan bantuan jika diperlukan (Depkes, 2007).

  3. Menganjurkan ibu untuk makan dan minum, karena ibu bersalin mudah sekali mengalami dehidrasi selama proses persalinan dan dengan cukupnya asupan cairan dapat mencegah dehidrasi (Depkes, 2007).

  4. Memberi ibu antibiotik dosis tinggi bila ada tanda-tanda infeksi (Saifuddin, 2002).

  5. Induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat juga diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 6 kali (Saifuddin, 2002).

  6. Cuci tangan (menggunakan sabun dan air mengalir) dan keringkan dengan kain yang kering (Depkes, 2007).

  7. Pakai sarung tangan DTT atau steril untuk pemeriksaan dalam karena sarung tangan steril selalu digunakan selama melakukan pemeriksaan dalam, membantu bayi lahir, episiotomi, penjahitan laserasi dan asuhan segera bayi baru lahir untuk mencegah tejadinya infeksi (Depkes, 2007).

  8. Melakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan pembukaan sudah lengkap (10 cm) (Depkes, 2007).

  9. Jika pembukaan sudah lengkap dan ibu merasa ingin mengejan, bantu ibu mengatur posisi yang nyaman karena pada posisi meneran yang nyaman dapat menjaga sirkulasi utero plasenta tetap baik seperti posisi meneran setengah duduk dapat memberikan rasa nyaman bagi ibu, memberi kemudahan ibu untuk istirahat diantara kontraksi dan memberikan gaya grafitasi untuk membantu ibu melahirkan bayinya (Depkes, 2007).

  10. Mengajari ibu cara mengejan yang benar, mengejan jika ada his dan istirahat jika tidak ada his, karena meneran secara berlebihan mmenyebabkan ibu sulit bernafas sehingga terjadi kelelahan dan meningkatkan risiko asfiksi pada bayi sebagai akibat turunnya pasokan oksigen melalui plasenta (Depkes, 2007).

  11. Memantau DJJ setiap 5-10 menit atau setelah tidak ada his untuk memastikan janin mengalami bradikardi ( < 120x/menit) (Saifuddin, 2002).

  12. Menolong kelahiran bayi (Saifuddin, 2002).

  Evaluasi : bayi lahir jam, apgar score, jenis kelamin, menangis / tidak, gerak aktif / tidak Data Perkembangan II Subyektif : 1. Ibu mengatakan lega bayinya sudah lahir.

  2. Ibu mengatakan perunya merasa mules. Obyektif : 1. Bayi telah lahir, menangis / tidak, A / S, jenis kelamin.

  2. TFU setinggi pusat, kontraksi baik.

  3. Terlihat tanda-tanda pelepasan plasenta yaitu , uterus globuler, tali pusat bertambah panjang dengan sendirinya, ada semburan darah mendadak.

  Assesment : Ny. ... P... A..., dalam persalinan kala III.

  Perencanaan : 1. Jepit gunting tali pusat sedini mungkin (Saifuddin, 2002).

  2. Palpasi uterus untuk memastikan janin tunggal karena jika janin lebih dari satu oksitosin menyebabkan uterus berkontraksi yang dapat menurunkan pasokan oksigen kepada bayi (Depkes, 2007).

  3. Memberikan oksitosin karena untuk merangsang uterus berkontraksi dan mempercepat pelepasan plasenta (Saifudin, 2002).

  4. Melakukan penegangan tali pusat terkendali dengan diikuti tekanan dorso kranial secara serentak pada bagian bawah uterus (di atas simpisis pubis) (Depkes, 2007).

  5. Melakukan masase uterus segera setelah plasenta lahir untuk menimbulkan kontraksi karena masase uterus dapat mengurangi pengeluaran darah dan mencegah perdarahan pasca persalnan (Saifuddin, 2002).

  6. Periksa jalan lahir apakah terjadi robekan atau perbaikan episiotomi dan lakukan hetting (Saifudin, 2002).

  Evaluasi : plasenta lahir jam, lengkap / tidak, jumlah kotiledon, insersi tali pusat, laserasi jalan lahir / tidak, perdarahan.

  Data Perkembangan III Subjektif : Ibu mengatakan perutnya masih terasa mules.

  Obyektif : 1. Plasenta sudah lahir.

  2. Evaluasi keadaan umum, tanda-tanda vital.

  3. TFU 2 jari di bawah pusat.

  4. Kotraksi uterus.

  5. Jumlah perdarahan. Assesment : Ny. ... P... A..., dalam persalinan kala IV.

  Perencanaan :

  1. Periksa fundus uterus, tekanan darah, nadi, kandung kemih dan persarahan setiap 15 menit pertama dan dan setiap 30 menit jam kedua karena jika uterus lembek lakukan mesase sampai uterus keras atau uterus berkontraksi baik otot akan menjepit pembuluh darah untuk menghentikan perdarahan dan mencegah perdarahan (Saifuddin, 2002).

  2. Membersihkan perinium dan kenakan pakaian ibu yang bersih dan kering sehingga ibu merasa nyaman (Saifuddin, 2002).

  3. Menganjurkan ibu untuk istirahat dan bantu ibu pada posisi yang nyaman karena ibu telah mengeluarkan banyak tenaga untuk melahirkan (Saifuddin, 2002).

  Evaluasi : ibu dapat massase perut, ibu telah bersih, alat dan tempat telah didekontaminasi.

III. Aspek Hukum

  Bidan dalam memberikan asuhan harus berdasarkan hukum perundang-undangan dan hukum yang berlaku dengan tenaga kesehatan, yaitu klien sebagai penerima jasa kesehatan mempunyai dasar hukum dan merupakan peraturan pemerintah, yang berarti sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Sehingga penyimpangan terhadap hukum dapat dihindarkan (IBI, 2004).

  Landasan hukum yang dipakai seorang bidan dalam melakukan asuhan kebidanan bersalin dengan ketuban pecah dini, adalah : A. KEPMENKES RI No.900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan :

  1. pasal 16 ayat 1 yang berbunyi pelayanan kebidanan kepada ibu, meliputi : a) penyuluhan dan konseling.

  b) Pemeriksaan fisik. c) Pelayanan antenatal pada kehamilan normal.

  d) Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, pre- eklampsi ringan dan anemia ringan.

  e) Pertolongan persalinan normal. f) Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet, kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, postterm dan preterm.

  g) Pelayana ibu nifas normal.

  h) Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta, renjatan dan infeksi ringan. i) Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan, perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.

  2. pasal 18, yaitu bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 berwenang untuk : a) Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan, persalinan dan nifas.

  b) Episiotomi.

  c) Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat II.

  d) Pemberian infus.

  e) Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika, antibiotika dan sedative.

  B. Peran dan fungsi serta kompetensi bidan Kompetensi bidan yang sesuai dengan kasus ini dalam memberikan asuhan kebidanan adalah : peran sebagai pelaksana dalam tugas mandiri pada poin D, bahwa seorang bidan harus mampu memberikan asuhan kebidanan pada klien dalam masa persalinan dengan melibatkan klien/keluarga, diantaranya :

  1. Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada klien dalam masa persalinan.

  2. Menentukan diagnosa dan kebutuhan asuhan kebidanan dalam masa persalinan.

  3. Menyusun rencana asuhan kebidanan bersama klien sesuai dengan prioritas masalah.

  4. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah disusun.

  5. Mengevaluasi bersama klien asuhan yang telah diberikan.

  6. Membuat rencana tindakan pada ibu masa persalinan tersaing dengan prioritas.

  7. Membuat asuhan kebidanan.

  (Sujiyatini, 2009).