BAB I PRIHARTINI AULIA RAHMAWATI PAI'18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk

  meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (Garis-garis Besar Haluan Negara/GBHN, bidang pendidikan).Supaya lebih memberi gambaran yang dimaksud, hendaknya dapat diperiksa dalam GBHN tentang tujuan pendidikan Nasional Indonesia.

  Aspek-aspek kepribadian yang hendak dibangun, tidak berbeda dengan ciri-ciri yang dikehendaki bagi pribadi seorang muslim. Oleh karena itu, dasar pembentukan pribadi muslim adalah ajaran Islam dan aspek-aspek kepribadian yang dibangunnya sudah tentu dilandasi dengan versi ajaran Islam.

  Pada saat akanmengkaji dengan teliti, sebenarnya konsep pribadi muslim yang seutuhnya hendak dibangun oleh bangsa Indonesia tidak berbeda secara konsepsional, hanya berbeda dalam nilai-nilai yang membentuk pribadi tersebut. Bagi pribadi muslim, nilai-nilai yang membentuknya ialah nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam (Zuhairini, dkk. 2009: 199).

  Fenomena sosial yang telah diteliti oleh para ahli perencanaan kebijaksanaan pendidikan (tahun 2009-2018) menunjukkan bukti bahwa setiap

  1 tahap kemajuan ilmu dan teknologi canggih, selalu membawa perubahan sosial yang sepadan dan bahkan lebih besar daripada perkiraan serta peramalannya.

  Dampak positif dan negatifnya terhadap kehidupan manusia terkadang tidak dapat terkontrol, terarah oleh lembaga sosial dan kultural serta moral yang sengaja dibangun oleh masyarakat seperti sekolah (Arifin, 2009: 34).

  Teknologi pendidikan sebagai suatu cara mengajar yang dihasilkan khusus untuk keperluan pendidikan dan dapat dimanfaatkan dalam pendidikan, seperti internet, tv, radio, dan telepon genggam. Pada satu sisi, perkembangan dunia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang demikian mengagumkan itu memang membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin- mesin otomatis. Demikian juga ditemukannya formulasi-formulasi baru kapasitas komputer, seolah-olah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktifitas manusia. Ringkas kata kemajuan IPTEK yang telah kita capai sekarang benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan umat manusia. Sumbangan IPTEK terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri. Namun manusia tidak bisa pula menipu diri sendiri akan kenyataan bahwa IPTEK mendatangkan dampak negatif dan positif bagi manusia (Nasution. 2012: 2).

  Akibat dari dampak negatif iptek, dalam bidang moral dan spiritual menimbulkan keresahan batin yang menyakitkan, karena kejutan-kejutan tidak terkendali lagi. Oleh karena itu, masyarakat kini sedang dihinggapi kerawanan sosial dan kultural yang obat penyembuhannnya sedang dicari oleh para ahli dari berbagai bidang keilmuan yang sedang melakukan diagnosis, namun proses diagnosisnya kalah cepat dari serbuan penyakit baru yang saling menyusul, sehingga kronitas penyakit tersebut tidak dapat dibendung lagi. Sehingga semakin membengkaklah akumulasi virus teknososial yang ditularkan oleh kepesatan kemajuan iptek itu sendiri.

  Iptek telah menjadi tumpuan harapan manusia, sehingga dapat mengharapkan suatu bentuk kehidupan yang paling baik berkat kemajuan yang telah diraih, namun pada gilirannya justru menanggung risiko yang makin kompleks dan mencemaskan batin. Itulah peta kehidupan umat manusia masa kini dan masa depan yang hanya mengandalkan kemampuan intelektualitas dan logika, tanpa memperhatikan perkembangan mental-spiritual dan nilai-nilai agama.

  Menurut ahli sosial fotorologi, Teodore Roszak yang dikutip oleh Arifin(2011: 35), bahwa:

  Seperti dikutip Agustian (2001: 8) “Tampaknya hidup normal tapi sebenarnya kita berada di dalam keadaan sakit. (State of sick normality )”.

  Masyarakat sedang mengalami krisis transisi, yang makin diperkacau oleh pertikaian dan permusuhan serta dissosiasi.

  Zohar dan Marshall mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk menfungsikanIntelligence Ouotient (IQ) dan Emotional

  

Quotient (EQ) secara efektif sehingga Spiritual Quotient (SQ) merupakan

  kecerdasan tertinggi.Sedangkan di dalamEmotional Spiritual Quotient (ESQ), kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.

  Menurut Pasiak (2012: 8), kecerdasan spiritual menjadi penting sekali dimiliki oleh tiap jiwa. Meskipun dalam rentang sejarah dan waktu yang panjang, manusia pernah mengagungkan kemampuan otak dan daya nalar (IQ). Kemampuan berpikir dianggap sebagai primadona. Potensi diri yang lain dimarginalkan. Pola pikir dan cara pandang yang demikian telah melahirkan akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Sehingga memiliki kepribadian yang terbelah (split personalty) dimana tidak terjadi integrasi antara otak dan hati.Membicarakan spiritual dalam pandangan Islam, spirit dalam bahasa Arabnya ruh dan spiritual (ruhaniyah), tidak pernah dilepaskan dengan aspek Ketuhanan (Ulfa Rahmawati: Jurnal Penelitian).

  Ramadhan adalah bulan penggemblengan diri dan bulan yang dipilih Allah SWT untuk menempa jiwa hamba-Nya yang beriman dengan beragam perintah. Puasa ramadhan menempa jiwa agar tidak kalah oleh nafsu. Perintah zakat fitrah menempa hati agar memiliki kepedulian sosial. Ada momentum Nuzulul Qur’an supaya kembali mencerna kedahsyatan Al-Qur’an serta beragam keutamaan lain yang bertebaran di dalam bulan suci Ramadhan.

  Semua itu mengerucut pada satu tujuan, yaitu agar orang beriman memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi, yaitu takwa (Rif’an. 2010: v).

  Pada saat meneladani sifat Tuhan Yang Maha Mengetahui, orang yang berpuasa hendaknya terus menerus berupaya menambah ilmunya, dalam upaya tersebut dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh potensi yang dianugrahkan Allah SWT kepadanya untuk meraih sebanyak mungkin ilmu yang berkaitan dengan benda tetapi juga ilmu yang bersifat non empiris yang hanya dapat diraih dengan kesucian jiwa dan kejernihan kalbu. Seorang ilmuan harus mengantarkannnya kepada iman yang akan mendorongnya memberi nilai-nilai spiritual terhadap ilmu yang diraihnya, mulai dari motivasi hingga tujuan dan pemanfaatannya. Melalui meneladani sifat-sifat Allah SWT dengan puasa akan dapat membentuk kepribadian yang berilmu dan membingkainya dalam perilaku positif karena puasa bisa menjadikan seseorang bukan hanya cerdas secara spiritual, dan emosional, tetapi juga kecerdasan secara intelektual.

  Kecerdasan spiritual melahirkan kemampuan untuk menemukan makna hidup serta memperhalus budi pekerti kemudian akan melahirkan indra keenam bagi manusia. Dimensi spiritual mengantarkan manusia percaya kepada yang gaib dan merupakan tangga agar harus dilalui untuk meningkatkan diri dari tingkat binatang yang tidak mengetahui kecuali dapat dijangkau oleh pancaindranya menuju ke tingkat kemanusiaan yang menyadari tentang wujud akan jauh lebih besar, lebih luas daripada wilayah kecil dan terbatas yang hanya dapat dijangkau oleh indra. Kecerdasan inilah yang mengatur manusia menuju sesuatu realitas yang maha sempurna, tanpa cacat, tanpa batas dan tanpa akhir yakni Allah Yang Maha Agung (Willya: 2015).

  Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan suatu lembaga pemdidikan yang unik, karena kehidupan di pesantrean mempunyai keistimewaan tersendiri, kharisma seorang kiai dijadikan tauladan dan pembentukan tersendiri. Peran dan sosok seorang kiai ikut berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan karakter bagi santrinya. Karena pesantren itu yang merumuskan tentang eksistensi masa depan pesantren yang bersangkutan. Kiai sebagai pemimpin berperan banyak dalam menentukan pendidikan yang dikehendaki di masa depan dan disisi lain pembelajaran pesantren mengarah pada pengembangan intelektualitas berpadu dengan pembangunan akhlak. Pada dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian pendirinya, maka tidak heran kalau timbul anggapan bahwa hampir semua pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual (Madjid, 1997: 6).

  Menurut Mastuhu yang dikutip oleh Nafi (2007: 49) bahwa: “Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang dirumuskan dengan jelas sebagai acuan program pendidikan yang diselenggarakannya. Tujuan utama pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau wisdom(kebijaksanaan) berdasarkan ajaran Islam yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta realisasi dari peran dan tanggung jawab sosial” Pondok pesantren Al-Iksan Beji adalah salah satu lembaga pendidikan nonformal yang mendidik santrinya dalam belajar ilmu agama. Pendidikan di Pondok Pesantren Al-Ikhsan dipimpin oleh seorang kiai dan dibantu oleh pengasuh yang bertugas membimbing dan mengawasi semua kegiatan santri.

  Secara sistematis santri terbiasa hidup dengan nilai dan etika yang berlaku sertaharus dipatuhi. Hubungan pengasuh dan santri yang erat akan menumbuhkan suatu ikatan persaudaraan yang kuat, hal tersebut dapat membantu pengasuh dalam merealisasikan suatu program yang telah direncanakan untuk membentuk pribadi santri sebagai seorang muslim yangberilmu, berbudi luhur, dan mandiri serta memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.

  Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti tertarik untuk mengambil judul tentang “Membangun Kecerdasan Spiritual Melalui Kegiatan Pada Bulan Ramadhan di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji Banyumas ”.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa saja kegiatan pada bulan Ramadhan di pondok pesantren Al-Ikhsan Beji, Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas?

  2. Bagaimana langkah-langkah membangunan kecerdasan spiritual melalui kegiatan di bulan Ramadhan pada santri pondok pesantren Al-Ikhsan Beji, Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas? C.

   Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui kegiatan amaliah Ramadhan di pondok pesantren Al- Ikhsan Beji Banyumas.

  2. Untuk mengetahui langkah-langkah membangunan kecerdasan spiritual melalui kegiatan dibulan Ramadhan pada santri pondok pesantren Al- Ikhsan Beji Banyumas.

D. Manfaat Penelitian

  Melalui penelitian inidiharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis dan praktis:

  1. SecaraTeoritis Dapat memberi pengetahuan atau informasi secara teori, sehingga dapat digunakan sebagai wacana dalam membangun kecerdasan spiritual.

  2. SecaraPraktis

  a. BagiSantri Santri dapat menjadikan skripsi ini sebagai wahana informasi dan motivasi mereka untuk membangun kecerdasan spiritual.

  b. BagiGuru Guru dapat menjadikan sebagai tolak ukur dalam pembangunan kecerdasan spiritual santri.

  c. BagiPondok Pesantren Dapat dijadikan sebagai wacana atau gambaran bagi pondok pesantren dalam membangun kecerdasan spiritual santri.

  d. BagiPeneliti Menambah pengetahuan dan pengalaman baru khususnya dibidang penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat partisipatif.