Pemertahanan Bahasa Melayu Di Kota Tanjung balai

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

2.1 Kontak Bahasa
Kontak bahasa adalah ketika beberapa bahasa berkomunikasi dalam satu waktu
yang sama, Thomason (dalam Sitorus, 2014:7) mengatakan bahwa kontak bahasa adalah
peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama. Jika
Bloomfield (dalam Mukhamdanah 2005:8) menyatakan bahwa bilingualisme adalah
kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya
namun dalam hal ini kontak bahasa pada masyarakat bilingual atau multi lingual tidak
dituntut untuk dapat berbahasa sama baiknya.
Kontak bahasa yang terjadi pada masyarakat sosial sering menyebabkan
komunikan untuk melakukan alih kode bahkan campur kode kondisi ini jika dibiarkan
maka menyebabkan bahasa mengalami masalah atau kasus kebahasaan seperti
pergeseran bahasa, kepunahan bahasa, pilihan bahasa, pemertahanan bahasa dan
beberapa masalah lainnya. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui tentang
pemertahanan bahasa pada masyarakat Kota Tanjungbalai sebab melihat kondisi latar
budaya masyarakat Kota Tanjungbalai yang sangat majemuk maka

rentan dengan


gejala kebahasaan yang terjadi.
Kemajemukan latar belakang budaya yang ada pada Kota Tanjungbalai maka
membawa masyarakat tersebut berkomunikasi memakai tiga kategori bentuk, yang
pertama Intra Language Variation yang kedua Code Switcing dan yang ke tiga Code
Mixing (Rokhman, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Pertama : Pemilihan bentuk bahasa yang pertama (Intra language Variation)
menggunakan dan memilih satu variasi dari bahasa yang sama contohnya masyarakat
tertentu memakai bahasa dengan satu atau eka bahasa saja dalam berkomunikasi, seperti
bahasa Indonesia saja, atau bahasa daerah tertentu saja.
Kedua : merupakan alih kode (Code Switcing) contohnya seperti dalam sebuah
rapat formal di sebuah desa yang latar belakang masyarakat desa tersebut berbahasa
daerah tertentu dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun dalam kondisi rapat formal
yang dihadiri beberapa elemen dari pemerintahan maka terjadi alih kode bahasa pada
situasi ini menjadi bahasa yang formal yaitu bahasa Indonesia agar pesan yang
disampaikan dimengerti oleh peserta rapat.
Hudson (1996:52) membagi dua jenis alih kode yaitu Situasional CodeSwitching dan Metaphorical Code Switching. Situasional Code-Switching adalah
perubahan bahasa yang terjadi karena perubahan situasi. Istiati (1985:44) menyatakan

penyebab terjadinya alih bahasa jenis ini dilatar belakangi oleh topik, status, sosial, dan
kesukuan menentukan pula terjadinya alih kode. Dengan demikian faktor sosial budaya
merupakan faktor yang mendominasi dalam masalah ini. Yang kedua Metaphorical
Code Switching adalah ketika sebuah topik membutuhkan sebuah perubahan bahasa
yang digunakan (Wardaugh, 1986:103). Alih kode ini terjadi biasanya ketika penutur
berkeinginan agar kalimat yang diungkapkannya diperhatikan oleh pendengarnya
karena ada kalimat penekanan yang diutarakan oleh penutur.
Ketiga : adalah campur kode (Code Mixing) artinya menggunakan suatu bahasa
tertentu yang bercampur dengan serpihan – serpihan dari bahasa lain dan dapat
dipastikan bahwa pada contoh yang digunakan pada alih kode akan terjadi campur kode

Universitas Sumatera Utara

dalam perjalanan rapat berlangsung terjadinya campur kode ini menurut Istiati
(1985:18) dilatar belakangi oleh sebab – sebab yang bersifat kebahasaan seperti
kemampuan berbahasa penutur atau tingkah laku penutur. Tiga bentuk komunikasi
diatas sangat dimungkinkan terjadi apalagi pada daerah yang berlatar belakang
heterogen yang di huni oleh banyak suku, ras, dan agama seperti pada daerah Kota
Tanjungbalai di Sumatera Utara.


2.2 Bilingualisme
Bilingualisme diartikan sebagai pengguna dua bahasa, bilingualisme atau yang
disebut juga dengan kedwibahaan merupakan kondisi yang sering terjadi pada
masyarakat sosial yang multietnis, orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut
orang yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas atau kedwibahasaan (Chaer dan Agustina, 2004:84).
Bloomfield (dalam Mukhamdanah 2005:8) menyatakan bahwa bilingualisme adalah
kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya,
yang dimaksud adalah bahasa ibu dan bahasa kedua (B1 dan B2).
Terjadinya bilingual pada masyarakat sosial biasanya didorong oleh hasrat
pengguna bahasa untuk mempertahankan bahasanya di luar ranah bahasanya sendiri.
Kebiasaan menggunakan bahasa daerah di luar wilayah bahasa itu merupakan
problematika bahasa yang sering terjadi, ini menyebabkan terjadinya masyarakat yang
duwibahasa, dan jika kondisi ini terus menerus terjadi ditiap daerah bukan tidak
mungkin akan menjadi multilingual.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Multilingualisme
Multilingualisme merupakan hasil dari dinamika kebahasaan yang terjadi pada

masyarakat yang multilingual, intensitas terjadinya kontak bahasa merupakan salah satu
penyebab terciptanya multilingualisme. Kemampuan masyarakat tutur menggunakan
bahasa tergantung pada situasi dimana masing-masing bahasa digunakan sebab situasi
kebahasaan sangat mempengaruhi komunikasi yang digunakan.
Multilingualisme merupakan

tindakan

menggunakan

banyak bahasa oleh

individu atau masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa yang multilingual lebih banyak
dari pada yang monolingual di dunia ini. Multilingualisme menjadi salah satu
fenomena sosial bahasa yang disebabkan oleh pengaruh perkembangan zaman,
globalisasi dan keterbukaan budaya. kemudian kemajuan teknologi seperti kemudahan
akses informasi yang difasilitasi oleh Internet semakin memperbanyak orang menjadi
multilingual, Seseorang yang mampu untuk berbicara dalam berbagai bahasa
disebut poliglot.


2.4 Diglosia
Diglosia sama seperti bilingualisme, namun istilah diglosia lebih cenderung
digunakan untuk menunjukkan keadaan atau kondisi masyarakat tutur, yakni terjadinya
alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam.
Diglosia adalah suatu situasi bahasa dimana terdapat pembagian fungsional atas
variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat yaitu bahwa terdapat
perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya
misalkan pada masyarakat yang ada di Kota Tanjungbalai terdapat beberapa etnis, suku,

Universitas Sumatera Utara

dan budaya, sehingga memiliki beberapa jenis bahasa, beberapa jenis bahasa ini
masing-masing mempunyai fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial
seperti bahasa Indonesia biasanya digunakan saat guru mengajar murid.
Pada dasarnya setiap bahasa memiliki ranahnya masing-masing ketika salah-satu
bahasa melampaui ranahnya maka terjadi bilingualisme atau multi lingualisme maka
kecenderungan terjadinya kebocoran diglosia semakin besar.

2.5 Pemertahanan Bahasa
Pemertahanan


bahasa

merupakan

sebuah

perwujutan

usaha

untuk

melestarikan, memelihara, dan mempertahankan sebuah identitas budaya. Downes
(dalam Mukhamdanah, 2005:16) mengemukakan beberapa

faktor yang juga

mempengaruhi pemertahanan bahasa antara lain adalah :
a. Keluarga : Diharapkan dalam perilaku tersebut perilakunya memperihatkan

bahwa yang bersangkutan mempergunakan bahasa sesuai dengan ranah
bahasa.
b. Pergaulan : Jika bahasa tersebut masih digunakan dengan siapa pun, maka hal
ini menunjukkan adanya kebanggaan terhadap bahasa tersebut.
c. Intensitas komunikasi : Dapat dilihat misalnya dari kebiasaan penutur
mendengarkan musik dalam bahasa tertentu.
d. Kegiatan : Keikutsertaan/keanggotaan dibidang seni, adat, dan lain-lain
e. Keinginan : Harapannya terhadap bahasa tersebut, apakah ia bercita-cita agar
anaknya pandai berbahasa tesebut, serta membiasakan anaknya berbahasa
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Jika penutur berkomunikasi dengan orang yang satu suku dengannya dan
mengerti bahasa daerahnya maka penutur juga berbahasa daerahnya pula dalam
berkomunikasi agar lebih terasa kehangatan dalam berkomunikasi sedangkan jika
penutur berkomunikasi dengan lawan tutur yang latar belakang budayanya berbeda
dengan sipenutur, maka penutur juga memakai bahasa yang lain dengan tujuan agar
komunikasi berjalan dengan baik inilah yang disebut dengan alih kode.
Keanekaragaman bahasa pada sebuah daerah yang heterogen merupakan dan

mungkin saja menjadi gejala yang dapat menumbuhkan persaingan antarbahasa
sehingga selalu saja ada kemungkinan bahasa-bahasa tertentu yang tidak sanggup
bertahan dalam persaingan sehingga menjadi punah untuk itu pemertahan bahasa sangat
perlu dilakukan pada kondisi daerah seperti ini bisa kita lihat pada daerah Kota
Tanjungbalai yang mana Kota Tanjungbalai dihuni oleh masyarakat yang berlatar
belakang kehidupan serta budaya yang berbeda.
Masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu pada ranah tertentu merupakan
hal yang lumrah terjadi pada daerah yang heterogen. Persoalan keanekaragaman bahasa
yang

ada

pada

masyarakat

yang

multikultural


menarik

pemerhati

peneliti

sosiolinguistik, yang berkaitan dengan pemertahanan dan kepunahan bahasa. Jika
meneliti pemertahanan bahasa tidak menutup kemungkinan ditemukan bahasa yang
punah atau bahasa yang bergeser, berasimilasi, teradopsi dari bahasa sekitarnya ini
terjadi dikarenakan fungsi komunikasi tertentu yang mengharuskan penutur untuk
memakai bahasa yang telah terinterpensi, bergeser, berasimilasi, teradopsi agar
kenyamanan berkomunikasi tetap terjaga.

Universitas Sumatera Utara

Deliana (2002:15) meyatakan bahwa berhasil atau tidak sebuah pemertahanan
bahasa tergantung pada dinamika masyarakat pemakai bahasa tersebut dalam kaitannya
terhadap perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat tersebut,
kemudia Deliana juga mennyatakan bahwa pemertahanan bahasa banyak di tentukan
oleh kerentanan masyarakat terhadap proses industrialisasi, urbanisasi, politik, bahasa

nasional, dan tingkat mobilitas anggota masyarakat bahasa itu, Kepunahan bahasa tejadi
apabila penutur tidak mengalihkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka (Martono,
2007:26).

Selvia (2014:7) menyatakan bahwa ada tiga penghambat pemertahanan

bahasa yaitu perpindahan penduduk urbanisasi/transmigrasi, faktor ekonomi, dan faktor
pernikahan antaretnis yang berbeda.
Berangkat dari pernyataan di atas maka sudah jelas bahwa pergeseran bahkan
kepunahan bahasa tidak dapat terelakkan lagi khususnya pada daerah yang multi etnis
seperti pada Kota Tanjungbalai. Mbete (2010) dalam artikelnya yang berjudul Strategi
Pemertahanan Bahasa-Bahasa Nusantara pada Seminar Nasional Pemertahanan
Bahasa Nusantara mengusulkan lima langkah dan upaya yang dapat dipertimbangkan
demi kebertahanan bahasa bahasa Nusantara (Daerah) yaitu :
1.

Pemantapan Kedwibahasaan sebagai Pilihan Utama.
Penyebaran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara dengan

fungsi-fungsinya itu, telah memperkaya khasanah kebahasaan guyub tutur bahasa –

bahasa nusantara. Demikian pula bahasa Melayu sebagai linguafranca sebelumnya
menambah kekayaan bahasa pula. Sebahagian besar guyub tutur di berbagai daerah
yang

sebelumnya

ekabahasa

(Monolingualism)

berubah

menjadi

dwibahasa

(Bilingualism) dalam arti menguasai dan menggunakan dua bahasa atau lebih .

Universitas Sumatera Utara

kedwibahasa perorangan semakin bertambah banyak dan intensif sehingga menjadi
kedwibahasaan masyarakat. Seiring dengan itu bahasa lokal yang juga menjadi bahasa
ibu menjadi ditinggalkan, dengan demikian

upaya pemantapan kedwibahasaan

merupakan pilihan yang tepat penting dan sangat strategis jika kita berikhtiar
menyelamatkan sejumlah besar bahasa Nusantara. Setidaknya bahasa bahasa yang
masih didukung oleh jumlah penutur dalam jumlah cukup besar, strategi pemantapan
kedwibahasaan merupakan pilihan sangat penting .
2.

Keterjalinan Substansi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kebahasaaan.
Pilihan kedua ini ditawarkan pada perguruan tinggi kebahasaan, lembaga

Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sastra, Fakultas
Pendidikan Ilmu Bahasa dan Seni dengan Program-Program Studi Kebahasaannya,
perlu mengembangkan kerjasama, keterkaitan fungsi tridarma dalam arti ada jalinan
substansi darma pendidikan linguistik, penelitian linguistik dan pengabdian kebahasaan
merupakan pilihan yang layak ditawarkan demi kebertahanan hidup bahasa-bahasa
Nusantara.
3.

Kerjasama Kelembagaan dan Pemberdayaan Lembaga-Lembaga Tradisonal.
Bahasa yang hidup adalah bahasa yang digunakan, tidak juga sebagai sarana

komunikasi praktis, sejumlah ranah sangat menentukan kehidupan bahasa. Secara
fungsional bahasa yang benar-benar hidup secara taat asas digunakan dalam ranah
keluarga, ranah ketetanggaan, ranah adat dan tradisi serta ranah agama. Sedangkan
bahasa Indonesia mendominasi pada ranah perkantoran dan lingkungan perkotaan
diseluruh wilayah tanah air. Jika ini terjadi berarti ada perimbangan penggunaan fungsi
bahasa antara bahasa Nusantara dan bahasa Indonesia. Fungsi sosial budaya bahasa

Universitas Sumatera Utara

Nusantara pada ranah adat dan agama perlu di wujutkan kembali dalam hal lembaga
lembaga tradisonal dan keagamaan diberbagai wilayah di seluruh tanah air ini, sangat
memungkinkan untuk pemantik semangat agar menyegarkan

nafas bahasa-bahasa

Nusantara dihabitat aslinya.
4.

Penerjemahan, Penulisan dan Teknologi Khasana Budaya Nusantara.
Penerjemahan kekayaan budaya lokal kedalam bahasa Indonesia,

bertujuan untuk menyebar luaskan

selalu

dan memperkeya budaya Indonesia, juga

meningkatkan apresiasi terhadap budaya lokal akan tetapi arah penerjemahan ilmu-ilmu
pengetahuan dan teknologi mutahir kedalam bahasa Indonesia baik ilmu pengetahuan
praktis maupun teknologi dari negeri maju kedalam bahasa –bahasa daerah merupakan
pilihan lain yang tidak kalah penting, dengan seperti ini maka bahasa lokal akan sangat
terbantu dalam pemertahanannya dan ini merupakan langkah nyata dalam pelestarian
bahasa-bahasa Nusantara.
5.

Reoriantasi Kebahasaan dan Kebudayaan Nasional.
Jati diri manusia dan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk tidak

hanya dimarkahi secara lingual dengan bahasa Indonesia dan simbol-simbol lain nya
melainkan juga dengan bahasa, sastra dan kekayaan budaya nusantara yang hidup dan
berfungsi. Pemahaman warga bangsa akan keberadaan dan terlebih akan fungsi dan
makna bahasa Indonesia maupun bahasa lokal atau bahasa ibu dengan kandungan
bahasa-bahasa leluhur adalah kesadaran jati diri sebagai manusia dan bangsa Indonesia.
Betapapun mahirnya seseorang menguasai bahasa asing patut disadari pula bahwa
bahasa, sastra dan budaya asing itu tidaklah membentuk, memarkahi, dan memperkuat
jati diri manusia dan bangsa Indonesia, justru karna itu pemertahanan bahasa daerah

Universitas Sumatera Utara

serta budayanya merupakan sala-satu kunci agar jati diri bangsa Indonesia terjaga, jati
diri itu sudah ada dari apa yang selama ini diwariskan oleh nenek moyang kita terhadap
kita, sekarang saatnya buat kita agar tetap mempertahankan, melestarikan dan
mendokumentasikan seluruh warisan budaya tersebut sebagai apresiasi bahwa bangsa
Indonesia sudah memiliki jati diri sendiri yang telah diwarisi dari nenek moyangnya.
Daerah yang multikultur menimbulkan adanya upaya pemertahanan. Jika hal
tersebut gagal, maka bahasa yang mengalami pergeseran

itu akan perlahan-lahan

menjadi punah Sumarsono (1995:173). dengan kondisi tersebut maka peneliti berharap
dapat menemukan solusi dari setiap fenomena bahasa yang sedang di teliti khususnya
fenomena kebahasaan mengenai pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai
agar tidak punah.
Sumarsono (dalam Chaer dan Agustina 2004:194) menjelaskan bahwa bahasa
Melayu Loloan di desa Loloan memiliki beberapa faktor yang menyebabkan bahasa itu
dapat bertahan dan sepertinya faktor-faktor tersebut layak diadopsi agar bahasa Melayu
Tanjungbalai bertahan adapun faktor faktor tersebut adalah.
Pertama: Wilayah pemukiman pemakai bahasa terkonsentrasi pada satu tempat
yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat yang lain.
Kedua: Adanya toleransi dari masyarakat mayoritas bersangkutan yang mau
menggunakan bahasa daerah tertentu dalam berinteraksi dengan golongan minoritas,
meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Indonesia.
Ketiga: Anggota masyarakat pemakai bahasa mempunyai sikap agama yang
tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa daerah yang mereka
tuturkan. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat

Universitas Sumatera Utara

tutur ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyarakat lain yang minoritas
dan masyarakat penutur yang mayoritas. Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya
bahasa yang lain dalam interaksi intrakelompok dalam masyaraka tutur.
Keempat adanya loyalitas yang tinggi dari anggota masyarakat tutur terhadap
bahasa tertentu sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi
lambang identitas diri masyarakat tertentu yang beragama tertentu pula; sedangkan
bahasa lain dianggap sebagai lambang identitas dari masyarakat lain yang beragama lain
pula oleh karena itu, penggunaan bahasa minoritas ditolak untuk kegiatan-kegiatan
intrakelompok, terutama dalam ranah agama.
Kelima: Adanya kesinambungan pengalihan bahasa daerah tertentu dari generasi
terdahulu ke generasi berikutnya. Dibutuhkan sebuah komitmen dalam pemertahanan
sebuah bahasa. Hal ini karena tingkat kemajuan ilmu pengetahuan masyarakat yang
semakin maju, serta semakin banyak bahasa–bahasa asing masuk ke dalam kehidupan
masyarakat. Hal tersebut bisa kita lihat dari maraknya perusahaan yang menyertakan
kemampuan bahasa asing sebagai persyaratan utama untuk menjadi pegawai ditempat
tersebut. Hal sama juga terjadi di dalam dunia pendidikan, bahasa asing juga menjadi
mata pelajaran wajib, serta sebagai syarat utama kelulusan.
Dari kelima faktor di atas sudah cukup memungkinkan bahwa sebuah bahasa
tidak akan punah atau hilang ditelan arus zaman yang terus berkembang.

2.6 Beberapa Hasil Penelitian yang Relevan
Mukhamdanah (2005) dalam tesis yang berjudul Pemertahanan Dan Sikap
Bahasa Dikalangan Mahasiswa Warga Negara Indonesia Keturunan Cina Di Medan

Universitas Sumatera Utara

Dalam Konteks Kedwibahasaan yang membahas dua rumusan masalah dalam kajiannya
adapun rumusan masalahnya sebagai berikut (1) bagaimanakanh pemertahanan bahasa
dikalangan mahasiswa WNI keturunan Cina di Medan dalam konteks ke dwibahasaan,
yang mana pembahasan ini lebih mengarah pada kecenderungan atau kebiasaan, aktif
atau tidaknya menggunakan bahasa yang sedang di teliti. (2) bagaimana sikap bahasa
mahasiswa WNI Cina terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Cina (Hokkian). Yang
mana pembahasan ini lebih mengarah kepada kecenderungan sikap bahasa tentang
positif atau tidak terhadap bahasa yang diteliti.
Dalam kajian ini Mukhamdanah menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif
untuk memperoleh dan menganalisis data. Untuk menjawab rumusan masalah
Mukhamdanan menggunakan kuesioner dalam pengumpulan data yang sebelunmnya
telah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ranah, yaitu ranah ketetanggaan, ranah
kekaripan, ranah transaksi, ranah Agama dan ranah pendidikan.
Untuk mengetahui pengetahuan bahasa responden Mukhamdanah juga
membahas penggunaan bahasa sampai pada peristiwa bahasa saat bersendagurau,
berdiskusi, bermusyawarah bahkan berhitung dalam hati. Pertimbangan mengenai faktor
yang mempengaruhi pemertahanan bahasa seperti mendengar lagu masakini, menonton
televisi serta kemajuan teknologi juga dibahas, apakah mempengaruhi responden dalam
menghayal, merenung, marah, bahkan saat bermimpi.
Hasil penelitian Mukhamdanah ini menyimpulkan bahwa responden wanita
lebih banyak menggunakan bahasa Hokkian sedangkan responden laki-laki hanya
menggunakan bahasa hokkian hanya menggunakan bahasa Hokkian pada ranah tertentu
saja sedangkan saat bergurau, bermusyawarah, berhitung dalam hati, berdiskusi dan

Universitas Sumatera Utara

bersenandung responden laki-laki maupun perempuan cenderung menggunakan bahasa
Hokkian dan saat menulis surat/pesan sering menggunakan bahasa Indonesia.
Responden lebih sering menonton siaran Televisi yang berbahasa Indonesia atau yang
berbahasa Inggris begitu juga kebiasaan mendengarkan lagu-lagu yang berbahasa
Indonesia dan Inggris. Mengenai sikap bahasa yang di tunjukkan oleh responden adalah
positif.
Kontribusi yang dapat di ambil dari penelitian yang di ini yaitu informasi dan
wawasan mengenai jenis ranah yang digunakan dalam pemertanahan bahasa Melayu di
Kota Tanjungbalai. Begitu juga dengan faktor-faktor yang mempertahankan bahasa
Melayu di Kota Tanjungbalai.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang di rujuk membahas tentang
pemertahanan bahasa dan sikap bahasa terhadap lapisan masyarakat tertentu yaitu
mahasiswa yang notabenenya remaja atau dewasa.sedangkan dalam penelitian ini tidak
hanya meneliti remaja atau dewasa melainkan juga anak anak dan orang tua.
Damanik (2009) dalam tesis yang berjudul Pemertahanan Bahasa Simalungun
Di Kabupaten Simalungun mengkaji tiga rumusan masalah yaitu (1) diranah manakah
bahasa Simalungun digunakan. (2) faktor-faktor apa yang mempengaruhi penggunaan
bahasa Simalungun. (3) bagaimana pemertahanan bahasa Simalungun sebagai lingua
Franca pada masyarakat penuturnya. Dalam kajian ini Damanik menggunakan metode
deskriftif dalam pengumpulan data dengan memaparkan data yang diambil dari 60
responden. Pemaparan data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif

untuk

mendapatkan frekuensi penggunaan bahasa di ikuti pendeskripsian penggunaan data
pemertahanan bahasa dari hasil kuesioner yang telah di sebar kepada responden.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitiannya Damanik mendeskrifsikan diranah manasaja pemertahanan
bahasa Simalungun itu ada, adapun ranahnya antara lain ranah keluarga, ranah
pergaulan, ranah pekerjaan, ranah transaksi, ranah pendidikan dan ranah tetangga.
Adapun kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa masyarakat Simalungun masih
mempertahankan bahasa Simalungun ini di buktikan dari data yang telah terhimpun
yaitu berkisar 70% sikap penutur terhadap bahasa Simalungun pada setiap ranah, namun
ada yang 50% sikap penutur bahasa yaitu hanya pada ranah pemerintahan. Sedangkan
pada ranah keluarga, ranah transaksi, ranah pedidikan, ranah tetangga, ranah pekerjaan
mencapai 70% sikap penutur terhadap bahasa Simalungun.
Penelitian ini sangat berkontribusi menambah informasi dan wawasan tentang
ranah pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai begitu juga dengan faktorfaktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang di rujuk adalah bahwa
penelitian yang dirujuk hanya membahas kondisi pemertahanan bahasa Simalungun
sedangkan dalam penelitian ini membahas tentang Faktor – faktor penunjang dan
penghambat upaya pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai.
Tubiyono (2010) dalam Makalah seminar

yang berjudul Matinya Bahasa

Nusantara di Tangan Pemerintah : sebuah kajian Awal tentang peraturan pemerintah
dalam negeri nomor 40 tahun 2007 dalam makalahnya ini Tubiyono membahas
pemertahanan bahasa (linguistic maintenence) nusantara dari proses kematiannya
(linguistic death) peran pemerintah daerah dalam memproteksi bahasa nusantara yang
sarat dengan kearifan lokal yang secara eksplisit melekat pada aktivitas masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kajian ini Tubiyono menyimpulkan bahwa pemertahanan bahasa daerah
merupakan satu keharusan dan diperlukan legitimasi dari pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan dalam pemerintahan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang bersifat nasional yang berupa undangundang. Peraturan menteri dan keputusan-keputusan pejabat dibawah seperti Direktorat
kementrian terkait, hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana implementasi
kebijakan di daerah oleh para aktor yang bersangkutan. Hal yang diperlukan adalah
kemampuan dan kemauan sumber daya manusia, utamanya kepala daerah yang peduli
terhadap eksisitensi bahasa dan budaya daerah.
Kontribusi yang diberikan penelitian yang diacu ini adalah memahami wawasan
keilmuan tentang pengarus sebuah kebijakan pemerintah terhadap pemertahanan
bahasa. Lewat kebijakannya pemerintah mampu mempengaruhi pemertahanan bahasa
agar tetap bertahan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang diacu adalah bahwa
penelitian ini focus kepada kajian mengenai pengaruh pemerintah terhadap
pemertahanan bahasa ini di dukung dengan peraturan Mentri No 40 Tahun 2007
sedangkan dalam penelitian ini membahas ranah pemertahanan bahasa, faktor
penunjang, dan penghambat pemertahanan bahasa serta bentuk pemertahanan bahasa
Melayu di Kota Tanjungbalai.
Setyaningsih (2010) dalam Makalah Seminar yang berjudul Pemertahanan
Bahasa Jawa Samin Di Kabuaten Blora kajian setya ningsing lebih terfokus membahas
faktor – faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Jawa Samin Blora dari aspek
sosiolinguistik, jenis kajian ini adalah analisis deskriftif, dalam kajian ini Setyaningsih
menyimpulkan bahwa komunitas Samin Blora mempertahankan penggunaan bahasa

Universitas Sumatera Utara

Jawa karena penuturnya loyal, penggunanya sangat loyal terhadap bahasa terutama
untuk menjaga tradisi dan menurut Setyaningsih latar belakang sejarah juga
mempengaruhi pemertahanan bahasa begitu juga dengan ideologi dan saminisme yang
berperan pula dalam pemertahanan bahasa.
Penelitian ini memberikan kontribusi informasi dan wawasan tentang faktorfaktor pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai namun penelitian ini juga
berbeda dengan penelitian yang diacu sebab penelitian yang diacu hanya meneliti faktor
– faktor pemertahanan bahasa sedangkan dalam penelitian ini bukan saja hanya
membahas faktor – faktor bahkan meluaskan kajian pembahasan sampai pada ranah
pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjunbalai.
Alim

(2011)

dalam

makalah

seminarnya

yang

berjudul

Perubahan

Bahasa:(Pemahaman Karakteristik dan Upaya Pemertahanannya) dalam kajiannya
Alim meyatakan bahwa perubahan bahasa dan tata bahasa terjadi pada hampir semua
bahasa di dunia dan mengarah pada penyederhanaan baik secar fonologis, morfologis,
dan sintaksis perubahan bahasa merupakan sebuah keniscayaan dan tidak dapat
dielakkan cepat atau lambat semua bahasa akan mengalaminya. Pergeseran bahasa yang
terjadi pada masyarakat dapat mengantarkan bahasa kearah kematian bahas. Kematian
sebuah bahasa dapat diartikan sebagai kematian sala-satu unsur budaya.
Kontribusi yang dapat diambil dari penelitian ini adalah informasi dan tambahan
wawasan mengenai pemertahan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai dan perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang diacu adalah terletak pada kajiannya. Yang mana
pada penelitian ini juga membahas ranah pemertahanan bahasa pada bahasa Melayu di
Kota Tanjungbalai.

Universitas Sumatera Utara

Ola (2012) dalam Jurnal Logat berjudul Pencitraan Bahasa Lokal Dalam
Konteks Politik Bahasa dalam kajian ini Ola menyinggung perubahan bahasa berkaitan
dengan lesapnya unsur-unsur kebahasaan tertentu begitu pula munculnya unsur – unsur
kebahasaan yang baru dalam bentuk subtitusi atau merger. pergeseran bahasa yang juga
dialami bahasa-bahasa di dunia tidak terlepas dari peran petuturnya.
Ola dalam kajian ini menyimpulkan bahwa pemerthanan bahasa itu perlu adanya
nenumbuhkan kesadaran tentang bahasa lokal, sebab bahasa lokal telah menjadi
pembelajaran dan pemahaman nilai lokal. Ketika nilai lokal itu sudah mengakar maka
sangat bermanfaat bagi kehidupan modern jangan menikmati isi/ substansi lalu
melupakan kemasannya.
Egoisme etnik dapat memupuk rasa percaya diri dan emperkuat ketahanan
bahasa lokal. Kesadaran etnik/ entitas sehingga mendorong untuk melestarikan bahwa
bahasa lokal (bahasa etnik) dan menjadi jati diri serta perekat individu-individu yang
merasa satu etnik. Egoisme itu harus dikelola sedemikian rupa agar tidak berpotensi
menimbulkan dan perpecahan.
Penelitinan ini memeberikan kontribusi informasi dan wawasan mengenai faktor
yang dapat mempengaruhi dan penunjang serta penghambat pemertahanan bahasa
Melayu di Kota Tanjungbalai. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang diacu
adalah bahwa penelitian ini hanya memaparkan faktor-faktor

yang dapat

mempertahankan bahasa tanpa membahas di ranah mana bahasa itu bertahan.
Bramono dan Rahman (2012) dalam Jurnal diglosia yang berjudul Pergeseran
Dan Pemertahanan Bahasa, Brahmono dan Rahman membuat rumusan masalah
tentang kepunahan bahasa karna interaksi yang intens serta dominasi komunikasi yang

Universitas Sumatera Utara

lebih aktif, bergeser atau bertahannya sebuah bahasa dapat disebab kan oleh beberapa
faktor seperti industrialisasi dan imigrasi. Sedangkan faktor pemertahanan bahasa
adalah loyalitas masyarakat pendukungnya, pemertahanan bahasa merupakan sala-satu
fator untuk pelestarian bahasa.
Kontribusi yang dapat diambil dari penelitian yang daacu adalah informasi dan
tambahan wawasan mengenai faktor-faktor yang membuat bahasa bertahan dan tidak
bertahan terhadap bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai. Sedangkan perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang diacu terlihat pada cakupan kajian nya yaitu jika
kajian ini hanya terfokus pada faktor –faktor pemertahanan bahasa dan faktor – faktor
yang membuat bahasa tidak bertahan atau punah dan bergeser, sedangkan dalam
penelitian ini lebih dikembangkan dengan membahas masalah ranah pemertahanan
bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai.
Mulyono dan Triana (2013) dalam laporan penelitian nya yang berjudul
Pemertahanan Bahasa Jawa Pada Ranah Keluarga Di Desa Munjungagung,
Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal dalam kajian ini Mulyono dan Triana fokus
membahas pemertahanan bahasa dalam ranah keluarga yang mana dalam kajiannya
memakai dua pendekatan yaitu pendekatan teoritis dan metodologis dan hasil dari
penelitian ini adalah bahwa keluarga di Desa Munjung Agung Kecamatan Keramat
Kabupaten Tegal mayoritas masih menggunakan bahasa Jawa dan bahasa jawa
didominasi di gunakan oleh keluarga petani, pedagang, buruh, nelayan, pegawai negeri
sipil, dan bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa jawa ngoko

Universitas Sumatera Utara

Kemudian Faktor-faktor yang menyebabkan pemertahanan bahasa Jawa pada
ranah keluarga di Desa Munjungagung, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal antara
lain :
a. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu, sehingga penggunaan bahasa Jawa sangat
dominan pada keluarga dari semua profesi.
b. Takut dikatakan sombong/sok.
c. Hanya menguasai bahasa Jawa.
d. Hubungan yang akrab dan tidak ada jarak antara peserta tutur menyebabkan
digunakannya bahasa Jawa.
e. Mengajarkan kesantunan berbahasa kepada anak.
Kajian ini sangat berkontribusi menambah informasi dan wawasan mengenai
ranah yang digunakan oleh masyarakat Melayu di Kota Tanjungbalai. Begitu juga
dengan faktor-faktor penyebab pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai.
penelitian ini sangat menarik namun ada perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang diacu sebab dalam penelitian ini mendeskripsikan kondisi pemertahanan bahasa
juga mendeskripsikan faktor-faktor penghambat pemertahanan bahasa Melayu di
Tanjungbalai.
Selvia (2014) dalam Jurnal linguistik yang berjudul Sikap Pemertahanan
Bahasa Sunda Dalam Konteks Pendidikan Anak Usia Dini (Kajian Sosiolinguistik di
Desa Sarireja, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang) membahas rumusan
masalah tentang sikap bahasa anak PAUD di Desa Sarireja Kecamatan Jalan Gagak
Kabupaten Subang terhadap bahasa Sunda kemudian tentang frekuensi penggunaan

Universitas Sumatera Utara

bahasa sudan dan faktor pendukung dan penghambat pemertahanan bahasa sunda,
penelitian ini menggunakan metode deskriftif kuantitatif.
Dalam kajian ini Sivia menyimpulkan bahwa ada dua faktor pendukung
pemertahanan bahasa Sunda di Desa Sarireja, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten
Subang meliputi (1) loyalitas terhadap bahasa ibu dan (2) lingkungan keluarga.
Sementara itu, terdapat tiga faktor penghambat pemertahanan bahasa Sunda di Desa
Sarireja, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang meliputi (1) perpindahan
penduduk, (2) faktor ekonomi, dan (3) faktor pernikahan antaretnis yang berbeda.
Kajian ini member kontribusi tentang informasi dan wawasan mengenai faktorfaktor pendukung pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai, adapun
perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang diacu adalah mengenai cakupan
pembahasannya yang mana penelitian ini lebih luas dalam pembahasannya yaitu
mengenai kondisi pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai, serta faktorfaktor penunjang dan penghambat pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai.
Sitorus (2014) dalam tesis yang berjudul Pemertahanan Bahasa Papak Dairi di
Kabupaten Dairi menyimpulkan bahwa pemertahanan bahasa Pakapak Dairi sekarang
pada kelompok remaja sudah tidak bertahan lagi di semua ranah, baik ranah rumah,
ranah luar rumah, ranah peribadatan, dan ranah sekolah, sedangkan pada kelompok
dewasa pemertahanan bahasa Pakpak Dairi hanyalah di tempat tertentu saja yaitu ranah
peribatan, sedangkan pada ranah rumah, ranah luar rumah, dan ranah pekerjaan sudah
tidak bertahan lagi.
Kajian ini memberikan kontribusi mengenai informasi kondisi kebahasaan yang
terjadi pada masyarakat Pakapak Dairi dalam mempertahan bahasanya, dari penelitian

Universitas Sumatera Utara

yang diacu memberikan wawasan kebahasaan tentang penelitian pemertahanan bahasa
Melayu di Kota Tanjungbalai sebab dalam penelitian yang di acu masyarakat yang di
teliti bisa dikatakan masyarakat miniritas yaitu hanya 12.20% dari seluruh penduduk
yang berhuni di kabupaten Pakpak Dairi sedangkan penelitian ini justru sebaliknya
karna masyarakat Melayu merupakan penduduk mayoritas yang ada di Kota
Tanjungbalai.

2.7 Kerangka Teori Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah ilmu antardisiplin dan salah satu kajiannya tentang
pemertahanan bahasa. Kajian mengenai pemertahanan bahasa sudah banyak dilakukan
oleh para ahli Sosiolinguistik dengan beragam isu-isu yang terjadi di belahan dunia ini.
Para Linguis di Indonesia juga membuat beberapa kajian mengenai pemertahanan
bahasa baik itu berbentuk Desertasi, Tesis maupun Artikel dan ini merupakan sebagai
bahan acuan untuk melakukan penelitian bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai,
beberapa teori juga bermunculan dalam pemecahan masalah pemertahanan bahasa guna
menjawab segala fenomena kebahasaan yang sedang diteliti.
Teori merupakan unsur sentral yang selalu memberikan pencerahan terhadap
upaya perumusan masalah termasuk jawaban tentatif terhadap masalah (disebut juga
hipotesis) (Mahsun, 2005:18). Dalam penulisan ini teori digunakan untuk memudahkan
dalam pengorganisasian data atau membantu menelaah hasil penelitian. Uraian
selanjutnya tentang pemertahanan bahasa Melayu di Kota Tanjungbalai akan memakai
teori sosiolinguistik sebagai ancangan. Artinya teori sosiolinguistik yang memayungi
berbagai teori di bawahnya misalnya sebagai ilmu antardisiplin, sosiolinguistik

Universitas Sumatera Utara

memiliki masalah atau pokok bahasan yang amat luas. Nababan (1993:3) menyatakan,
ada tiga masalah pokok yang dianalisis dalam sosiolinguistik, yaitu :
a. Masalah bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan
b. Masalah hubungan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri dan ragam bahasa
dengan situasi serta faktor-faktor sosial budaya
c. Masalah fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Kemudian, berdasarkan ketiga masalah di atas Nababan menjabarkan berbagai
topik yang dapat ditinjau dalam sosiolinguistik, seperti :
a. Bahasa, dialek, idiolek dan ragam bahasa
b. Repertoar bahasa
c. Masyarakat bahasa
d. Kedwibahasaan dan kegandaan bahasa
e. Fungsi kemasyarakatan bahasa dan profil sosiolinguistik
f. Penggunaan bahasa (etnografi berbahasa)
g. Sikap bahasa
h. Perencanaan bahasa
i. Interaksi sosiolinguistik
j. Bahasa dan kebudayaan
Jadi, sosiolinguistik lebih luas kajiannya jika dibandingkan dengan kajian
linguistik yang hanya mengkaji internal bahasa saja. Sosiolinguistik tidak hanya
mengkaji tentang bahasa saja, tetapi juga mengkaji aspek-aspek yang melatari peristiwa
kebahasaan. banyak

teori

yang bermunculan pada

ilmu

sosiolinguistik

ini

mengidikasikan bahwa banyak fenomena kebahasaan sehingga menghasilkan teori yang

Universitas Sumatera Utara

banyak, Konferensi sosiolinguistik yang berlangsung di California, Los Angeles pada
tahun 1994, telah merumuskan tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik (Chaer
dan Agustina, 2004:7-8). Ketujuh dimensi yang merupakan masalah dalam
sosiolinguistik adalah :
1. Identitas sosial dari pembicara
2. Identitas sosial dan pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi
3. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi
4. Jangkauan dan tujuan peneliti yang dapat bersifat sinkronis dan diakronis
5. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk – bentuk
ujaran
6. Tingkat variasi dan ragam linguistik
7. Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Berdasarkan penjelasan di atas dalam kesempatan ini peneliti memfokuskan
untuk mengkaji pemertahanan bahasa Melayu Tanjungbalai yang mendalami tentang
lingkungan sosial peristiwa tutur terjadi.

Secara umum penelitian mengenai

pemertahanan bahasa Melayu Tanjungbalai ini menggambarkan multilingualisme yang
terjadi di Kota Tanjungbalai. Masalah utama yang di hadapi oleh masyarakat
multilingual

adalah bagaimana

dapat memperoleh suatu alat

yang mampu

mengkomunikasikan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, disamping
bahasa-bahasa yang telah dipakai sebagai bahasa intra kelompok, semakin dirasakan
perlunya bahasa antar kelompok (Sumarsono dan Partana, 2004:371).
Multilingualisme tidak terlepas dari masyarakat tutur yang heterogen seperti
masyarakat Kota Tanjungbalai, hubungan antara bahasa dan pemakai bahasa dengan

Universitas Sumatera Utara

segala latar belakang kehidupan sosial, suku, dan ras dari pemakai bahasa
memungkinkan terjadinya beragam-ragam bahasa, ragam bahasa ini terjadi karena latar
belakang kehidupan sosial masyarakat penuturnya, justru ini menimbulkan bermacam
sikap bahasa yang satu kepada bahasa yang lain setiap pemakai bahasa mau tidak mau,
harus memilih salah satu bahasa atau diglosia untuk dipakai dalam interaksi tertentu,
pilihan bahasa ini tidak bersifat acak tetapi harus mempertimbangkan berbagai macam
faktor seperti siapa yang berbicara, kepada siapa, dengan bahasa apa, kapan peristiwa
itu berlangsung, dan tujuan apa yang diharapkan (Chaer, 1995:143).
Fisman (1972:442) mendeskripsikan “Ranah” sebagai gambaran abstrak sosial
budaya dari topik komunikasi sesuai dengan struktur sosial lapisan suatu komunitas
tutur. Fisman mengemukakan 4 rahnah yaitu (1) ranah keluarga (2) ranah tetangga (3)
ranah pekerjaan (4) ranah agama, Kemudian Pllat dalam Siregar (1998:53)
mengemukakan bahwa teori domain adalah dimensi sosial dan merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi penggunaan bahasa dalam masyarakat yang multi lingual, dimensi
itu mencakup umur, jenis kelamin, tingkat sarana pendidikan, dan latar belakang
ekonomi.

2.7.1 Ranah Penggunaan Bahasa
Setiap bahasa memiliki ranahnya masing-masing dalam masyarakat sosial,
kebinnekaan bahasa yang ada di kota Tanjungbalai memungkinkan adanya ranah bahasa
pada setiap lini di masyarakat Melayu di Kota Tanjungbalai, semakin tinggi intensitas
penggunaan suatu bahasa pada sebuah ranah maka akan semakin kuat pula

Universitas Sumatera Utara

kebertahanan bahasa tersebut, untuk itu Joshua Fisman mengemukakan teori ranah
(Domain) untuk mengetahui kebertahanan sebuah bahasa.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang di kemukaan oleh
Fisman yang dikembangkan oleh peneliti menjadi 6 ranah yaitu (1) ranah keluarga (2)
ranah tetangga (3) ranah pekerjaan (4) ranah agama (5) ranah sekolah/pendidikan (6)
ranah

transaksi.

Dari

teori

yang

dikemukaan

oleh

Fisman

dan

dengan

mempertimbangkan apa yang di kemukaan oleh Pllat maka peneliti berharap dapat
menjawab fenomena kebahasaan yang sedang di teliti yaitu pemertahanan bahasa
Melayu di Kota Tanjungbalai.

BAGAN RANAH PENGGUNAAN BAHASA

Bahasa Melayu
Kota
Tanjungbalai

Pemertananan
Bahasa

 Kontak Bahasa
 Bilingualisme
 Multi
Lingualisme
 Diglosia

TEORI
Fisman dan Platt








Ranah Rumah
Ranah Tetangga
Ranah Pekerjaan
Ranah Agama
Ranah Sekola
Ranah Transaksi

Universitas Sumatera Utara