Buku dan Krisis Dunia Islam (1)

Buku dan Krisis Dunia Islam

Buku melambangkan peradaban. Hampir tidak ada peradaban tanpa buku. Peradaban
Mesir kuno pun digerakkan oleh buku-buku yang ditulis para pendeta dan cendekiawannya.
Konon, Fir’aun mempunyai perpustakaan yang berisi perkamen yang sangat banyak
jumlahnya. Peradaban Yunani Kuno yang terkenal dengan para filsufnya juga menuliskan
sejarah dan pemikiraan tokoh-tokoh besar mereka dalam buku-buku yang tak terhitung
banyaknya.
Peradaban China kuno mempunyai khazanah yang tak kalah luasnya. Pada masa
dahulu masyarakat China menggunakan lembaran-lembaran bambu untuk menyimpan
kekayaan sastra dan budayanya. Sampai Tsai Lun membuat kertas yang terbuat dari kulit
pohon murbei. Penemuan kertas menandai sebuah revolusi di dunia ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam kemudian mencuri teknologi pembuatan kertas ini dan mengembangkannya
di dunia Islam dan Eropa.
Apa arti buku bagi peradaban Islam kini? Ketika kita membicarakan peradaban Islam,
jangan terjebak hanya pembicaraan di masa lampau, tetapi juga di masa kini. Peradaban
Islam belum mati, hanya mati suri. Peradaban Islam masih menunggu saat yang tepat untuk
bangkit. Di sini buku memegang peranan yang penting. Buku mendokumentasikan sejarah
pergerakan umat Islam dari masa ke masa. Buku mewariskan pengetahuan dan kearifan yang
tak kan ada habis-habisnya dari segala masa.
Buku jelas artefak yang penting dari peradaban Islam. Ketika kita berbicara mengenai

peninggalan peradaban Islam yang penting, kita mungkin membicarakan masjid-masjid kuno,
istana-istana seperti istana Topkapi dan Al-Hambra, rumah sakit, pemandian umum, sampai
perpustakaan. Perpustakaan? Mungkin kita sudah lupa dengan hal ini. Perpustakaan di dunia
Islam mengalami pasang surut.

Pada masa dahulu para khalifah mendirikan banyak

perpustakaan seperti Baitul Hikmah di Baghdad, Darul Ilmi di Kairo yang didirikan oleh para
khalifah Fathimiyah (1005 M) yang mempunyai dua juta buku, perpustakaan di Tripoli yang
mempunyai lima juta judul buku dan perpustakaan Umayyah di Kordoba. Perpustakaanperpustakaan ini tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan buku, tetapi juga lembaga
penelitian ilmiah. Setiap perpustakaan dilengkapi dengan laboratorium, observatorium,
tempat menulis dan berdiskusi. Perpustakaan-perpustakaan tersebut dihias dengan sangat
1

mewah. Menjadi sarjana pada masa kejayaan peradaban Islam merupakan kedudukan dan
status sosial yang tinggi.
Kini perpustakaan-perpustakaan tersebut telah musnah. Baitul Hikmah dihancurkan
tentara Mongol pada abad pertengahan. Buku-buku Islam dibuang ke sungai Tigris hingga
airnya menghitam. Etos ilmiah di dunia Islam kemudian meredup akibat munculnya
fanatisme (ta’ashub) dalam beragama dan aliran teologi yang tidak menghargai kemerdekaan

akal. Memang masih ada beberapa perpustakaan di dunia Islam seperti yang didirikan di Arab
Saudi namun etos ilmiah di dunia Islam belum bersinar kembali akibat kondisi politik yang
tidak memungkinkan.
Namun buku-buku klasik Islam tetap abadi. Buku-buku tersebut masih ada dan
menerangi pemikiran umat. Islam dimulai dari sebuah buku suci, Al-Qur’an yang
daripadanya muncul buku-buku lain.

Tuhan sendiri di dalam al-Qur’an mewartakan

kehadiran dan kata-kata-Nya dalam kitab suci itu. Pada mulanya Tuhan menciptakan akal dan
daripaadanya muncul sejumlah buku dan kemudian perpustakaan.
Buku dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari gagasan tentang ‘ilm (ilmu) yang sering
diterjemahkan sebagai pengetahuan. ‘Ilm merupakan kata ketiga yang sering disebut alQur’an selain Allah dan Rabb. Ini artinya Tuhan juga dapat dicapai dengan pengetahuan.
Menurut Ziauddin Sardar, bagi umat Islam klasik, Islam sinonim dengan ‘ilm, dan tanpanya
sebuah peradaban Islam tidak akan terbayangkan.
‘Ilm berarti lebih dari sekadar pengetahuan. Di dalam terkandung gagasan tentang
komunikasi. ‘Ilm tidak bisa menjadi monopoli kelas, kelompok, atau jenis kelamin tertentu.
Ia harus bisa diakses secara bebas oleh semua anggota masyarakat. Jadi, komunikasi
pengetahuan, gagasan, dan informasi dalam segenap aktivitas manusia merupakan bagian
integral dari konsep ‘ilm. Ia merupakan upaya mencari pengetahuan dan menyebarkan serta

mentransmisikannya. Ia juga merupakan data, informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan
yang berkelindan menjadi satu. Dengan kata lain, ‘ilm merupakan tenaga penggerak utama
budaya Islam.

(Ziauddin Sardar, “Kertas, Percetakan, “Compac Disc”: Penciptaan dan

Penggusuran Budaya Islam” dalam Kembali ke Masa Depan: Syariat sebagai Metodologi
Pemecahan Masalah, Serambi, 2010).
Lebih lanjut, Sardar menulis, “Pena” yang disebut Tuhan sebagai cara-Nya mengajar
manusia memantapkan gagasan tentang komunikasi. Ia bukan saja simbol bagi keterampilan
2

menulis, tapi juga simbol penyampaian ilmu dengan berbagai sarana teknologi. Pena sebagai
simbol komunikasi -merupakan alat guna memenuhi seruan Al-Qur’an kepada komunitas
muslim untuk “membaca”.
Penelitian dan penemuan dinilai penting dalam rangka membaca –meminjam istilah
Al-Qur’an- “ayat-ayat” (tanda-tanda) kebesaran Tuhan”, dan kemampuan berkomunikasi
serta menyampaikan pikiran, pengalaman, dan pemahaman, dengan alat tulis, dari generasi ke
generasi, dan dari satu lingkungan budaya ke lingkungan budaya lainnya, dipandang sangat
penting jika setiap manusia ingin memetik manfaat dari akumulasi pengetahuan yang

berkesinambungan.
Ayat-ayat pertama Al-Qur’an (Surah al-Alaq 1-5) telah meletakkan fondasi bagi
sebuah budaya dan masyarakat di atas budaya membaca dan menulis, penelitian dan seni
tulis, serta penyampaian dan penyebaran pengetahuan dan informasi. Setiap masyarakat yang
tidak memperlihatkan karakteristik-karakteristik tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
masyarakat menjunjung cita-cita Islam.
Al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm lebih dari 800 kali, meluangkan sekitar sepertiga
kandungannya untuk memuji gagasan-gagasan seperti akal, perenungan, penelitian,
pengkajian, kesarjanaan, perjalanan (mencari ilmu) –yang semuanya pada akhirnya
bergantung pada ssemacam komunikasi. Dalam beberapa kasus, dorongan Al-Qur’an bersifat
umum, seperti “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Q.S Thaha [20]:
114).
Dalam kasus lainnya, Al-Qur’an memberikan perintah yang spesifik. Ia mengatakan
kepada para penulis agar mereka “tidak enggan menuliskannya” (Q.S al-Baqarah [2]: 282),
karena jika tidak, maka hal ini berarti penolakan terhadap anugerah Tuhan yang diberikan
kepada mereka. Ia meminta umat Islam untuk menuliskan semua kontrak yang melibatkan
transaksi bisnis, mencatat semua hal yang berkaitan dengan warisan, wasiat, dan kesaksian,
serta mendokumentasikan sejarah generasi masa lalu dan sekarang. Dengan kata lain,
sampaikanlah pemikiran, keinginan, dan aktivitas generasimu dan generasi masa lalu (Sardar,
2010)

Islam sangat mementingkan kegiatan membaca dan menulis. Keduanya dicatat
sebagai aktivitas yang mulia, walau tak semua mampu melakukannya. Islam juga tidak
menolak budaya lisan. Banyak ceramah atau kuliah disampaikan secara lisan. Ini tak
3

mengapa. Akan tetapi budaya membaca dan menulis adalah budaya unggul.

Tradisi

membaca dan menulis telah mentransformasi masyarakat Islam di gurun pasir menjadi
peradaban yang disegani dunia.
Ketika ayat-ayat pertama al-Qur’an diturunkan, yakni surat al-Alaq 1-5 terasa ada
yang aneh. Pertama, masyarakat jahiliyyah tidak menganggap penting budaya membaca dan
menulis. Mereka sangat menekankan pada hafalan. Membaca dan menulis dianggap sebagai
pekerjaan tukang tenung dan sihir. Seorang penyair Arab Kuno, Dzu Ar-Rummah pernah
kepergok sedang menulis di atas batu. Lalu meminta agar peristiwa itu tidak diberitahukan
kepada kaum lainnya. Menulis dianggap sebuah aib karena mereka yang menulis dianggap
tidak mempunyai hafalan yang kuat. Kedua, masyarakat Arab kuno tidak mempunyai
peradaban yang maju padahal mereka dikelilingi dua super power kerajaan besar yang sedang
berkonflik, yakni Romawi dan Persia. Mereka hidup relatif sederhana tanpa keinginan untuk

menciptakan peradaban yang terkemuka.
Oleh karena itu buku memegang peranan penting dalam sejarah Islam. Buku pertama
yang dijilid dalam sejarah Islam adalah al-Qur’an yang pertama kali dilakukan pada masa
Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Kemudian disempurnakan kembali pada masa Khalifah
Umar dan kemudian disempurnakan lagi pada masa Khalifah Utsman bin Affan yang
kemudian dikenaal dengan mushaf ‘Utsmani. Pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an dilakuakan
dengan mengecek hafalan Al-Qur’an dari para sahabat yang masih hidup. Kemudian dengan
mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an yang ditulis di pelepah kurma, kulit kambing,
papirus, dan perkamen.
Tak lama kemudian, saat tentara Islam mulai membebaskan Syiria, Irak, Persia,
hingga ke perbatasan China, para penguasa memperlakukan rakyat taklukannya dengan
hormat. Para penguasa Islam memerintahkan penerjemahan karya-karya ilmuwan terdahulu
dalam berbagai bahasa seperti Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab. Terjemahan ini
kemudian mewarnai tradisi intelektual Islam. Peradaban Islam menjadi kaya dengan jutaan
buku-buku baik terjemahan dari masa lampau maupun buku-buku yang ditulis pada
zamannya.
Kini sebagian buku-buku itu telah musnah, namun masih banyak lagi yang mewarnai
perjalanan Islam masa kini. Banyak buku Islam yang masih selamat dari perusakan dan
pemberangusan yang dilakukan oleh para orang kafir maupun kaum muslim sendiri. Bahkan
sebagian dari buku itu berada di perpustakaan universitas-universitas Barat. Tradisi membaca

4

kitab masih terus dijalankan umat Islam dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Banyak
buku-buku Islam masa lampau yang masih kita baca hingga masa kini. Buku-buku
peninggalan abad lampau tersebut disebut sebagai “al-turats” atau warisan dari masa lampau
terutama para ulama yang hidup pada abad 13 dan 14.

Buku dan Krisis Dunia Islam
Dunia pemikiran Islam kontemporer kini tampak meredup dibandingkan beberapa
dekade lampau. Tuduhan terorisme menyebabkan umat Islam tidak mampu mengembangkan
pemikiran seperti beberapa dasawarsa sebelumnya. Islam kini sinonim dengan gerakan teror.
Para tokoh Islam sedang berusaha mati-matian untuk menjelaskan kepada dunia, khususnya
Barat, bahwa umat Islam bukan teroris. Hal ini menyebabkan dunia pemikiran Islam tampak
sendu. Para pemikir tidak tumbuh lagi.
Hal ini berbeda jauh dengan beberapa dekade lalu ketika dunia pemikiran Islam
sempat semarak dengan tampilnya pemikir-pemikir alternatif. Sejak era 80-an, gerakan Islam
di kalangan anak-anak muda dan mahasiswa menunjukkan kegairahan yang luar biasa. Islam
menjadi wacana yang didiskusikan dalam banyak forum. Dinamika pemikiran Islam dimulai
sejak terbitnya buku-buku Islam secara masif. Para penulis dari berbagai negara Muslim
ramai diperbincangkan pada waktu itu. Buku-buku yang ditulis oleh Sayyid Quthb, Abu A’la

al-Maududi, Muhammad Natsir Muhammad Quthb, Muhammad al-Ghazali, Yusuf alQardhawi, Hasan al-Banna, Taqiyuddin an-Nabhani, Mustafa As-Siba’i dan Hamka dan para
pemikir progresif seperti Hasan Hanafi, Nasr Muhammad Abu Zaid, Mohammed Arkoun,
Abdul Karim Soroush, Ali Syariati, Murtadha Muttahhari mewarnai gejolak pemikiran di
dunia Islam.

Gerakan-gerakan Islam yang muncul membawa pencerahan bagi umat,

walaupun tidak sedikit dari mereka yang bersuara keras. Banyak pakar mengatakan Islam
tengah bangkit.
Buku-buku Islam jelas memainkan peran besar dalam kebangkitan ini. Para ulama dan
cendekiawan kontemporer memegang peranan penting dalam menuliskan pemikiran,
pencerahan, wawasan, dan ilmu pengetahuan bagi umat dalam bentuk buku. Peran buku-buku
Islam sangat krusial dalam menstimulasi dinamika pemikiran Islam. Islam tidak lagi
dipandang agama yang jumud (membeku). Banyak ulama dan cendekiawan Islam yang
berusaha menjelaskan Islam dalam konteks zaman. Gagasan tentang pembaharuan Islam
5

yang sudah dimulai sejak awal abad ke-20 pun bergema di mana-mana. Di Asia Tenggara,
para cendekiawan seperti Mukti Ali, Munawwir Sjadzali, Nurcholish Madjid, Jalaluddin
Rakhmat, Abdurrahman Wahid, Ulil Abshar Abdalla, Azyumardi Azra, Chandra Muzaffar,

dan Anwar Ibrahim menyemarakkan diskusi tentang Islam dalam konteks modernisasi dan
ke-Melayu-an.

Ribuan judul buku Islam terbit dan laris dibeli masyarakat Muslim,

khususnya kelas menengah.
Hal ini tidak lepas dari kemunculan print culture (budaya cetak) di dunia Islam.
Transmisi dan penyebaran buku-buku menyebar dengan cepat berkat mesin cetak yang
berasal dari Barat. Padahal beberapa dekade sebelumnya, ulama-ulama Usmani
mengharamkan mesin cetak. Membaca buku-buku Islam bukan lagi monopoli pelajar agama
dan ulama. Buku-buku Islam bebas dibaca siapa saja, bahkan oleh orang awam, pelajar dan
mahasiswa di perguruan tinggi sekular
Dalam hal ini, terjadi demokratisasi pengetahuan di dunia Islam. Para cendekiawan
dan penulis-penulis Islam bermunculan. Mereka menyemarakkan musyawarah buku-buku
Islam. Banyak di antara mereka tidak memiliki ijazah pendidikan Islam secara formal.
Berbekal belajar secara otodidak, pemikiran keislaman mereka turut meramaikan diskusi
publik. Sedangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lebih tradisional, kitab-kitab
kuning karangan ulama masa lampau masih terus dipelajari. Para santri meneruskan tradisi
menyimak kitab-kitab kuning tersebut dan menyampaikan kepada umat.


At-Turats atau

warisan Islam masa lampau terus dilestarikan hingga kini. Bahkan ada upaya untuk
menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam masa lampau.
Para orientalis turut pula menulis buku-buku tentang Islam. Orientalis di era modern
tak selamanya mengkritik dan menjelek-jelekkan Islam, banyak di antaranya yang simpati
terhadap Islam seperti Annemarie Schimmel, Karen Amstrong, John O. Voll, dan John L.
Esposito. Kritik terhadap tradisi Islam tradisional dilancarkan oleh para cendekiawan Muslim
khususnya berkaitan dengan isu-isu seperti demokratisasi, hak-hak perempuan, ortodoksi
Islam, kemerdekaan berpikir, dan modernisasi. Para umumnya para cendekiawan Islam ini
berpendidikan Barat dan berusaha melakukan otokritik terhadap kebudayaan yang
membesarkannya.
Peran buku-buku Islam menjadi jauh lebih penting era ini. Buku-buku Islam garis
keras juga muncul di era ini. Namun kemudian, dunia Islam dilanda kegairahan luar biasa
berkat terbitnya buku-buku Islam tersebut. Pamor Islam yang tadinya tampak meredup
6

menjadi hidup kembali. Berkat keberadaan buku-buku, Islam menjadi

kembali baru


menghadapi tantangan zaman.
Gerakan-gerakan Islam bermunculan bak cendawan di musim hujan. Gelombang
Islamisasi berkembang di mana-mana. Tradisi membaca buku Islam di negara-negara
berkembang hidup kembali. Hal ini tidak lepas dari kemunculan kelas menengah Muslim
yang memiliki pendidikan tinggi.
Semarak keislaman pada era 80-90an ini tiba-tiba redup sejak kejadian penabrakan
World Trade Center (WTC) di New York pada 2001. Sejak itu gaung keislaman tiba-tiba
padam. Umat disibukkan dengan gerakan teror yang menyebar ke seluruh dunia. Berbagai
buku tentang terorisme banyak diterbitkan. Akan tetapi dunia tetap mengalami krisis akut.
Kebangkitan Islam belum cukup untuk menyelesaikan krisis tersebut. Berbagai buku telah
menjelaskan krisis yang dihadapi oleh umat. Tapi krisis tersebut masih berlangsung hingga
kini di abad millenium ini. Tradisi berpikir kritis dan bebas belum menjadi tradisi intelektual
Islam, khususnya yang berbasis di lembaga-lembaga tradisional. Budaya abad pertengahan
masih dipertahankan dengan kukuh. Sedangkan gerakan pembaharuan Islam dicurigai dan
dituding sebagai agen zionis atau Barat oleh sebagian ulama-ulama tradisional. Akibat terjadi
ketegangan antara kaum modernis dan tradisionalis.
Perdebatan ini tidak hanya terjadi secara terbuka di depan publik, tetapi juga di
media-media Islam seperti majalah, koran, dan buletin. Saling serang pun terjadi.
Pertentangan ini sungguh tidak menyehatkan. Seharusnya yang terjadi adalah ketegangan
kreatif yang saling membangun. Dengan semangat saling mengingatkan dan saling
menasehati. Saling kritik dan berdebat dalam Islam tidak diharamkan. Tradisi ini sudah
berlangsung sejak zaman keemasan Islam. Namun etika atau adab saling mengkritik dan
debat tidak diperhatikan lagi. Semua berlangsung dengan kasar.
Para ulama terdahulu pun terlibat dalam debat. Ulama-ulama Syafi’i mengkritik
mazhab Hanafi. Ibnu Rusyd terlibat debat post-humous dengan Imam Al-Ghazali. Ibnu Rusyd
mengkritik buku Imam Al-Ghazali Tahafut al-Falasifah dengan menulis buku Tahafut atTahafut. Diskusi, debat, dan saling kritik dalam nuansa ilmiah yang terjaga menjadi ciri khas
peradaban Islam. Para ulama menulis buku yang kemudian dikritik atau dibenarkan oleh
ulama lain, baik yang masih sezaman dan berbeda zaman. Tradisi membaca dan menulis
benar-benar hidup di masa kejayaan Islam.

7

Namun kini, ada upaya untuk memberangus dinamika pemikiran umat yang
mencerahkan itu. Gerakan-gerakan radikal di dunia Islam sangat tidak suka dengan gerakan
pembaharuan Islam. Mereka menganggapnya lebih berbahaya dari pemerintahan thagut.
Ulama-ulama konservatif berupaya menghancurkan tradisi intelektual Islam modern. Mereka
selalu merujuk kepada ulama-ulama klasik. Namun penafsiran mereka sangat tidak toleran
dan terlalu keras. Gerakan Islam konservatif ini sebenarnya dipelihara oleh rezim-rezim
otoriter dan totaliter di dunia Islam karena menguntungkan mereka.
Sementara di lapis bawah, umat Islam dilanda obskurantisme atau kemasabodohan
intelektual. Islam kembali menjadi agama yang beku dan dinamika pemikiran umat tidak
terjadi lagi karena larangan mereka yang dianggap rijaluddin (tokoh-tokoh agama). Mereka
melarang umat membaca buku-buku tertentu yang mereka anggap sebagai racun. Gerakan
Islam radikal membungkam tradisi berpikir di dunia Islam. Mereka tanpa menstigma siapa
saja yang berusaha menjalankan tradisi berpikir di dunia Islam. Mereka dilabel sebagai agen
Barat, sekular, agen zionis, sampai murtad. Para tokoh agama konservatif ini terbatas
bacaannya. Mereka tidak membaca buku-buku Islam kontemporer. Rujukan mereka hanya
kitab-kitab karangan ulama klasik di masa lampau. Mereka berusaha menyebarkan paham
mereka lewat buku-buku, internet, facebook, youtube, maupun media-media konvensional
lainnya.
Seorang pemikir Islam progresif dari Mesir, Nasr Muhammad Abu Zaid, menulis
buku At-Takfir fi zamani Tafkir (Pengkafiran di zaman Pemikiran).

Beberapa –hanya

sebagian kecil sebenarnya- tokoh agama berusaha mengkafirkan para intelektual muslim,
sementara negara-negara lain berlomba-lomba meningkatkaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Praktis, umat Islam di seluruh dunia tertinggal dalam ilmu dan teknologi dibanding
negara India, China, dan Barat. Ini jelas kondisi yang tidak sehat.
Umat Islam harus disadarkan akan konspirasi global yang melanda mereka. Jelas ada
pihak-pihak yang tak ingin Islam bangkit menjadi kekuatan peradaban global. Islam progresif
lebih ditakuti daripada Islam radikal. Untuk membasmi Islam radikal cukup dengan tindakan
represif. Tapi untuk membasmi sebuah gagasan adalah sebuah hal yang tidak mudah.

Peranan Kaum Intelektual

8

Peranan kaum intelektual amat penting dalam merumuskan jalan keluar dari
kebuntuan yang dialami peradaban Islam masa kini. Peradaban Islam masih hadir di masa
kini walaupun terkesan compang-camping dan lusuh. Dalam hal ini, buku-buku karangan
intelektual muslim perlu dibaca oleh generasi muda Islam untuk memecahkan persoalan yang
meliliti peradaban Islam masa kini. Intelektual Islam sering dibedakan dengan ulama yang
terkesan lebih tradisional. Seorang ulama boleh jadi seorang intelektual, yaitu orang yang
menggunakan inteleknya atau daya nalar. Di dunia Islam, pembedaan ini sering terjadi. Bisa
jadi seorang intelektual Islam berpendidikan Barat tetapi mempunyai dasar-dasar pemikiran
Islam yang kuat. Muhammad Iqbal, adalah salah-satu contohnya. Pemikir Islam ini
menempuh pendidikan sarjana hingga doktoralnya dalam bidang hukum dan filsafat di
Oxford, Inggris, namun sejak kecil ia dididik dalam tradisi Islam yang kuat dalam
keluarganya. Muhammad Iqbal sering menulis mengenai kebangkitan Islam dalam karyakaryanya. Iqbal menulis bahwa umat Islam harus merebut obor ilmu pengetahuan dari Barat
agar Islam jaya kembali.
Muhammad Iqbal adalah seorang tokoh intelektual Muslim paripurna. Ia menganalisis
sebab-sebab kejatuhan Islam dan memberikan resep-resep bagaimana Islam harus bangkit.
Puisi-puisi dan tulisannya menginspirasi kaum muda Muslim di berbagai wilayah. Di
Indonesia, kita mengenal banyak tokoh intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid, Gus
Dur, Syafi’i Maarif, Jalaluddin Rakhmat, Malik Fajar, Ulil Abshar Abdalla, Azyumardi Azra,
dan lain sebagainnya.
Sebenarnya kalau kita mau mencermati sudah banyak cendekiawan Muslim yang
berhasil lulus dari universitas-universitas terkemuka di berbagai belahan dunia. Namun gaung
mereka tidak terdengar di kalangan muslim awam. Sudah banyak di antara mereka yang
menulis buku mengenai dunia Islam. Namun ada jarak antara mereka dengan masyarakat
muslim kebanyakan. Gagasan mereka hanya mengena di kalangan segelintir mahasiswa dan
kelas menengah muslim. Masyarakat muslim hanya mengenal guru-guru agama lokal atau
ustadz untuk mempelajari agama. Mereka tidak terbiasa membaca buku. Keberadaan kaum
intelektual Muslim ini terasa elitis dan ekslusif. Menurut Toety Heradi dari Universitas
Indonesia bahwa komunikasi antargolongan tersekat akibat penggunaan bahasa semu (metalanguage). Karena komunikasi tersekat, maka timbullah budaya kekerasan (violence culture).
Penggunaan bahasa antargolongan masyarakat jelas tidak sama. Bahasa pertama
hanya dapat dimengerti oleh mahasiswa, LSM, dan intelektual. Bahasa kedua oleh para
9

birokrat saja, seperti pemakaian istilah diamankan bagi tindakan menangkap. Sedangkan
bahasa ketiga digunakan antargolongan rakyat atau kelompok masyarakat umum.
Menurut Ziauddin Sardar, mengutip Syed Hussein Alatas intelektual adalah seseorang
yang terlibat memikirkan gagasan-gagasan dan persoalan nonmaterial dengan menggunakan
rasio. Sardar mengatakan bahwa keberadaan kaum intelektual yang berdedikasi di dunia
Islam sangat sedikit. Memang banyak sekali doktor, magister, dan sarjana tapi mereka bukan
intelektual dan tidak terlibat dalam diskusi-diskusi keislaman.
Keberadaan intelektual sebenarnya sangat untuk melontarkan kritik atau otoritik,
analisis dan solusi terhadap permasalahan umat sekarang secara logis. Sardar melanjutkan
bahwa kaum intelektual merupakan satu-satunya kelompok masyarakat yang secara
sistematis dan berkelanjutan berusaha melihat segala sesuatu dari perspektif yang lebih luas.
Itulah sebabnya kaum intelektual selalu berada di barisan terdepan dalam setiap pemikiran
dan sistesisi baru.
Di setiap peradaban, pasti kelompok intelektual yang menjadi penopangnya.
Renaissance Barat tidak akan muncul tanpa keberadaan intelektual seperti Montesquieu,
Fontenelle, Diderot, dan Voltaire.
Budaya baca dan menulis di dunia Islam sangat rendah. Dalam daftar Most Literate
Nations yang dirilis Connecticut State University, AS, hanya Malaysia dan Indonesia yang
masuk daftar. Budaya membaca dan menulis di Malaysia lebih baik daripada di Indonesia
yang hanya menempati urutan 60 dari 61 yang diteliti. Sedang peringkat pertama, menurut
survey itu, ditempati Finlandia diikuti oleh negara-negara Eropa Skandinavia lainnya, seperti
Norwegia, Denmark, dan Swedia.
Budaya membaca dan menulis di dunia terhalang olen rezim-rezim otokratik yang
melarang penerbitan buku-buku jenis tertentu, khususnya yang ditulis oleh intelektual
progresif. Rezim-rezim ini bahkan menyensor buku-buku tersebut. Mereka tidak ingin
kondisi status-quo berubah. Buku dapat membahayakan suatu rezim.
Berkembangnya internet telah memulai tradisi membaca baru di dunia Islam, yakni
memahami Islam lewat internet. Situs-situs Islam bermunculan. Namun informasi dan
pengetahuan yang mereka sebarkan tidak lengkap dan tidak menyeluruh. Situs-situs Islam
radikal banyak bermunculan di internet. Foto-foto pembantaian umat Islam di seluruh dunia

10

banyak beredar di internet. Internet memang menyajikan informasi tanpa batas. Banyak buku
Islam, baik klasik maupun kontemporer dapat diunduh dari internet.
Internet menjadi forum diskusi, tempat menyalurkan aspirasi yang ampuh. Banyak
wacana bertebaran di internet.. Diskusi, debat, bahkan caci-maki pun bertebaran di dunia
maya. Kondisi ini jelas tidak sehat. Penyebaran Islam di internet berjalan secara masif.
Namun saling caci-maki dan saling serang tanpa adanya netiket jelas membuat internet tidak
nyaman dibaca.
Internet telah menurunkan budaya baca secara keseluruhan. Orang lebih suka
membaca internet yang informasinya sepotong-potong itu karena lebih murah dan mudah.
Tak perlu membeli buku yang harganya mahal. Namun belajar di internet ada
konsekuensinya, yakni tidak ada kedalaman. Informasi di internet cenderung dangkal.
Membaca informasi di internet tidak sama dengan membaca buku yang penuh keheningan
dan penginsafan.
Internet bagai buah simalakama. Di satu sisi, ia memberikan informasi tanpa batas,
namun di sisi lain berbagai konten negatif dapat ditemui di internet seperti hoax (berita
bohong), caci-maki, dan pornografi. Memang di satu sisi, internet dapat menumbuhkan
tradisi menulis. Kini tradisi membaca di internet lebih disukai daripada membaca buku-buku
berbobot.

Buku dan Peranan Kaum Intelektual
Buku jelas merupakan sarana bagi kaum intelektual untuk menyebarluaskan
pemikiran dan gagasannya. Buku merupakan puncak karya seorang intelektual. Seorang
intelektual akan lebih dihargai kalau ia menulis buku yang memuat jejak rekam hidupnya. Di
situ, ia bisa menularkan kegelisahan dan kegusarannya melihat kondisi masyarakat.
Beberapa penulis Islam berhasil menulis buku yang menggoncangkan masyarakat.
Pro kontra pun timbul di tengah-tengah publik. Penerbitan buku karangan intelektual tersebut
bertahan selama beberapa dekade dan berhasil mempengaruhi wacana publik. Sebut saja
seperti Hasan Hanafi seorang pemikir Mesir dengan

bukunya “Oksidentalisme” atau

Mohammed Arkoun seorang pemikir besar Aljazair yang mengajar di Perancis. Di Indonesia,
Nurcholish Madjid mnggemparkan dunia pemikiran Islam dengan berbagai mahakaryanya.
11

Walaupun pada dekade 1980 sampai 1990-an, penjualan buku-buku Islam
menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun demikian hal itu belum mencukupi.
Penerbitan buku-buku Islam tidak sebanding dengan jumlah masyarakat muslim. Artinya
penerbitan buku-buku Islam jumlah masih amat kecil dibandingkan dengan jumlah buku
yang diterbitkan di dunia Barat. Walaupun dunia Islam sempat bergairah dengan penerbitan
buku-buku Islam, minat baca dan menulis di dunia Islam masih lebih rendah dibandingkan di
Barat. Banyak masyarakat yang tidak memiliki akses ke dunia penerbitan. Budaya intelektual
dan ilmiah belum berkembang di dunia Islam masa kini.
Dunia Islam masih terus membutuhkan buku-buku yang mencerahkan. Baik ditulis
oleh

intelektual muslim sendiri maupun bukan. Khazanah keilmuan Islam pada zaman

keemasan diwarnai oleh banyak cendekiawan, baik Muslim maupun Yahudi dan Nasrani.
Umat Islam membutuhkan banyak buku ilmu pengetahuan modern yang membebaskan umat
dari kegelapan menuju cahaya benderang.
Keberadaan buku-buku amat penting untuk membangkitkan kreativitas umat,
terutama generasi muda, untuk menelurkan gagasan-gagasan baru yang brilian. Hendaknya
kita tak usah membatasi pada buku-buku Islam tetapi juga buku-buku yang ditulis oleh para
cendekiawan dari berbagai bangsa. Peradaban Islam membutuhkan suntikan segar berupa
gagasan dari generasi muda, khususnya para intelektual. Gagasan-gagasan brilian itu tak
mesti datang dari para santri, tetapi juga para pelajar dan mahasiswa Islam yang belajar di
perguruan tinggi non-agama.
Dunia Islam kini krisis buku. Jumlah buku mengenai Islam yang diterbitkan semakin
sedikit. Umat Islam tidak terbiasa membaca. Kontribusi dari kaum intelektual Muslim amat
penting dalam hal ini. Mereka harus menghidupkan Islam kembali. Terorisme telah
mencederai wajah Islam. Namun kita tidak bisa mengingkari bahwa umat Islam ditindas oleh
banyak rezim otoriter. Tradisi intelektual Islam harus kita bangkitkan lagi. Hal ini tidak
mudah. Diperlukan kerja ekstra keras untuk menghidupkan kembali peradaban Islam.

Menghidupkan Kembali Tradisi Membaca dan Menulis di Dunia Islam
Untuk menghidupkan tradisi membaca dan menulis di dunia Islam bukan sesuatu
yang sulit, asalkan ada kemauan politik dari pemerintah. Pada masa keemasan Islam, tradisi
membaca dan menulis ini didukung oleh pemerintah atau kerajaan. Sayangnya, negara-negara
12

Muslim lebih mementingkan membeli senjata atau peralatan militer dari mendukung tradisi
intelektual ini. Di Timur Tengah, misalnya, negara-negara Muslim dilanda peperangan yang
dahsyat seperti Syiria, Irak, dan Libya. Sedangkan di negara-negara muslim lainnya, gejolak
politik sangat keras. Pemerintah tidak mendukung gerakan-gerakan Islam garis keras, bahkan
memberangusnya. Situasi politik tidak kondusif bagi pengembangan intelektualitas. Maroko,
misalnya, dilanda gelombang demonstrasi dan protes dilakukan warga negaranya. Maroko
yang dipimpin rezim Monarki ini tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi warganya.
Di negara-negara Timur Tengah tidak ada kebebasan yang intelektual. Ada negaranegara yang dipimpin oleh rezim kerajaan yang anti-kritik, anti-demokrasi, dan otokratik.
Dan ada rezim-rezim yang mengaku demokratis namun dipimpin penguasa militer yang
otoriter. Mesir yang dulu dianggap sebagai pusat intelektual Timur Tengah kini dipimpin
rezim militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Fatah al-Sisi setelah menggulingkan
pemerintahan demokratis sebelumnya yang dipimpin Presiden Mursi. Sejak era Presiden
Hosni Mubarak berkuasa banyak aktivis dan intelektual yang dipenjara. Tidak hanya,
pemerintah Mesir pun ikut campur dalam kurikulum Universitas Al-Azhar.
Rezim-rezim otokratik ini berusaha melarang dan membatasi penggunaan internet di
kalangan muda. Rezim-rezim tersebut tahu bahwa internet merupakan saluran yang efektif
untuk mengorganisasi massa dan menyebarkan gagasan tentang demokrasi dan kebebasan.
Internet bisa mengancam keberadaan rezim-rezim status-quo ini.
Dalam revolusi semi Arab (Arab Springs) peranan internet sangat kentara. Internet
menjadi saluran komunikasi dan informasi bagi rakyat untuk berdiskusi mengenai ide-ide
politik. Rezim-rezim otokratik itu tidak ingin rakyatnya cerdas. Mereka tahu arus informasi
yang masuk dapat menstimulasi pemikiran masyarakat. Perubahan sosial dan politik inilah
yang tidak diinginkan.
Rezim-rezim ini tidak tertarik untuk membangun riset dan teknologinya. Untuk
membangun riset dan teknologi dibutuhkan situasi politik yang kondusif serta dana yang
besar. Sedangkan mereka lebih suka mengimpor peralatan militer mahal yang disediakan
sekutu-sekutu Barat mereka.
Tokoh-tokoh agama yang ortodoks juga berusaha memberangus kebebasan berpikir.
Mereka menolak kemajuan dan menganggap Barat tak lebih dari setan. Banyak dari mereka
yang menolak teknologi impor dari Barat. Metode pengajaran Islam di negara-negara Timur
13

Tengah masih mengikuti model pendidikan abad pertengahan yang mementingkan hafalan
dan menolak dialog di ruang-ruang kelas. Kebebasan akademik tidak ada. Mahasiswa tidak
diberi kebebasan untuk mengembangkan pemikiran kritis di dalam kelas.
Sistem pendidikan Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam harus direformasi.
Sebenarnya usaha ini pernah dilakukan oleh Muhammad Abduh lebih dari seabad lampau.
Namun kini reformasi itu seakan tidak ada gaungnya lagi. Pemerintah tidak tertarik untuk
mengembangkan pendidikan lebih lanjut karena tidak bernilai politis.
Untuk menghidupkan kembali budaya membaca dan menulis di dunia Islam
diperlukan upaya yang berkesinambungan. Ulama dan pendidik di dunia Islam harus
disadarkan mengenai krisis di dunia Islam. Buku-buku menjadi penting untuk mendidik
generasi muda Islam. Memang hal ini tidak mudah. Namun beberapa percobaan telah
dilakukan. Di beberapa universitas di pelbagai dunia Islam mulai mengembangkan kebebasan
akademik. Sayangnya, penerbitan buku-buku di dunia Islam saat ini mengalami stagnasi.
Agaknya, perlawanan terhadap rezim-rezim yang menindas baik atas nama ideologi dan
agama harus terus dilakukan. Peradaban Islam tidak akan kembali jaya kalau penerbitan
buku-buku yang mencerahkan tidak dilakukan. Wallahu a’lam bisshowab.

14