HUBUNGAN TEKS HUKUM WARIS ADAT REJANG DE (1)

1
HUBUNGAN TEKS HUKUM WARIS ADAT REJANG DENGAN KONTEKS
HUKUM WARIS MENURUT PANDANGAN ISLAM
Naskur

Abstract
The aim of this paper is to introduce the principle and techniques of the
systemic functional approach to language, in order to analyze and explain
how meanings are made in everyday linguistic interactions. The systemic
approach is increasingly being recognized as providing a very useful
descriptive and interpretative framework for viewing language as a
strategic, meaning making resource. This paper focuses on the analysis of
authentic products of social interaction in this case texts, considered in
relation to the cultural and social context. Consequently, the most
generalize application of this study is to understand the quality of texts: why
a text means what it does, and why it is valued as it is.

Key words: systemic functional approach, language as strategic meaning.

Pendahuluan
Suku bangsa Rejang terkenal dengan Adat dan Hukum Adatnya sendiri. Kearifan

Adat Rejang telah mampu memesoan perhatian dunia ilmu pengetahuan. Di dalam
penjelmaan dan pelaksanaannya, Adat Rejang telah menjadi dasar hukum dan tata tertib
kehidupan suku bangsa Rejang. Adat Rejang mengatur bukan saja hubungan orang
perorangan dengan keluarga, tetapi juga hubungan masyarakat dengan masyarakat hukum
adatnya.
Meskipun adat lazimnya tidak tertulis dan hanya disampaikan secara lisan dari
generasi ke generasi, namun adat mampu memperlihatkan kekokohan jati dirinya sebagai
adat yang ditaati. Pertanyaan yang dapat diajukan sekarang : Apa yang dimaksud dengan
Adat? Adat merupakan cara hidup manusia yang terus mengalami perkembangan
menurut zaman dan oleh kaena itu adat harus disimak dari masa ke masa. Untuk
mengetahui adat Rejang, maka perlu diketahui tentang sejarah sukubangsa Rejang.
Suku bangsa Rejang terdapat di pulau Sumatra bagian Selatan Barat, tepatnya di
perbatasan Propinsi Bengkulu dan Propinsi Sumatra Selatan. Sekarang ini suku bangsa
Rejang tersebut mendiami wilayah Kabupaten Rejang Lebong da Kabupaten Bengkulu

2
Utara di Propinsi Bengkulu dan Kabupaten Lahat dan Kabupaten Musi Ulu di Propinsi
Sumatra Selatan.
Menurut sumber tertulis J.W van Royen1 suku bangsa Rejang tinggal di Lebong.
Lebong adalah suatu wilayah di propinsi Bengkulu yang terletak 100 kilometer darikota

Bengkulu arah ke gunung. Lebong merupakan suatu daerah dataran tinggi yang letaknya
sangat strategis, dilingkari oleh bukit-bukit dan gunung-gunung serta mempunyai
lembah-lembah yang luas, subur dan indah; tempat asal yaitu ulu dusun Tapus dan dua
sungai yaitu sungai Musi dan sungai Ketahun.
Untuk membahas kearifan lokal suku Rejang yang berupa Hukum Waris Adat
Rejang penulis artikel menggunakan pendekatan Sistemik

Fungsional yakni sebuah

pendekatan yang mengkaji bahasa dengan memfokuskan dua cara yaitu:1) bagaimana
orang menggunakan bahasa; dan 2) bagaimana struktur bahasa itu digunakan. Pendekatan
ini menggambarkan bagaimana orang menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan yang
tepat sesuai dengan konteks budaya pemakainya, melalui konsep genre. Genre adalah
suatu langkah, yang berorientasi kepada tujuan, kegiatan yang mempunyai tujuan di
mana si pembicara terlibat dalam budayanya. Genre juga merujuk pada pengertian
bagaimana sesuatu pekerjaan dilakukan dan bahasa digunakan untuk mencapai tujuan.
Dalam mengkaji penggunaan bahasa, pendekatan sistemik fungsional (selanjutnya
disingkat PSF) melihat bahwa ada dua hal penting yaitu:
1) perilaku berbahasa itu ada orientasi tujuan
2) dalam perilaku berbahasa terkandung adanya situasi dan budaya yang satu

sama lain saling berkaitan.
Contoh Situasi 1: Hukum Waris Menurut Adat Rejang2
Di kalangan suku bangsa Rejang di wilayah Lebong, jika si suami atau suami istri
mati, maka anak lelaki yang tertua mempusakai harta peninggalan mendiang. Jika tidak
ada anak lelaki yang tertua, maka harta peninggalan itu jatuh kepada anak perempuan
tertua, jika sama sekali tidak ada anak, maka harta peninggalan itu jatuh kepada ahli
waris si suami. Lazimnya di wilayah Lebong anak-anak mendiang ahli waris dan
Van Royen, “ De Palembangsche Marga en haar grond” dalam Hukum Adat Rejang oleh Siddik
Abdullah. (Jakarta : Balai Pustaka, 1980), h. 29
2
Siddik Abdullah. Hukum Adat Rejang . (Jakarta: Balai Pustaka), h. 314-315
1

3
bahagian masing-masing sama, kecuali anak lelaki yang tertua yang mendapat lebih dari
yang lain-lain. Dasar pemberian di atas adalah sesuai dengan cara berpikir mereka; di
tempat anak yang tertua itulah mereka adik beradik berkumpul untuk membicarakan dan
memupakatkan segala sesuatu yang penting mengenai suku mereka; ke sana pulalah
mereka kembali, jika di kemudian hari mereka tidak mempunyai tempat lain lagi.
Kedudukan istimewa anak yang tertua tersebut di dalam istilah adat Rejang

dinamakan tuban beun ’bagian lebih’. Lazimnya ahli waris yang lain tidak menaruh
keberatan terhadap tuban beun tersebut, karena siapa di antara mereka keberatan, maka si
anak tertua menurut adat dapat menuntut pelapin baw ’upah’ dengan meminta uang
sejumlah 24 rial dari tiap-tiap ahli waris yang keberatan. Pelapin baw ini merupakan
upah dari adik-adiknya mendukung kakak yang tertua.
Pada contoh 1 kelompok etnis Rejang di Bengkulu akan cepat mengidentifikasi
aspek dalam teks tentang hukum waris ini.
I)

Mereka akan dapat mengidentifikasi topik, yakni teks ini membicarakan
tentang apa. Dalam contoh 1 teks tentang pembagian hukum waris terjadi
apabila salah satu dari orang tua atau orang tua meninggal dunia maka harta
jatuh ke tangan anak tertua. Ketika kita bicara tentang suatu ”teks
membicarakan tentang apa” ( a text is about) itu artinya kita sedang bicara
tentang bidang (field) dari teks itu. Bidang dalam suatu teks dapat dikenali
secara langsung melalui unsur-unsur leksikal yang digunakan di dalam teks
yang dipertuturkan itu. Pada contoh 1, kata-kata tuban beun dan pelapin baw,
menunjukkan kepada pembaca atau pendengar bahwa teks itu hanya dipahami
oleh etnis Rejang yang menggunakan bahasa Rejang dalam pembagian harta
warisan. Sebuah unsur leksikal indeks (indexical item) yaitu sebuah kata yang

menunjukkan suatu tempat yang disebut di dalam teks, ditunjukkan dengan
kata-kata: Di kalangan suku bangsa Rejang di wilayah Lebong, jika si suami
atau suami istri mati, maka anak lelaki yang tertua mempusakai harta
peninggalan mendiang.

II)

Dari contoh 1, Kita dapat mengidentifikasi peranan bahasa dalam suatu
interaksi pertuturan, kita dapat pula mengetahui jarak antara pembicara dan
mitra bicara, dan pada contoh 1 itu pula; kita dapat cepat mengetahui bahwa

4
pembicara dan mitra bicara tidak berbicara langsung saling berhadapan, tetapi
mereka sedang berbicara melalui teks hukum tertulis meskipun ada juga teks
hukum itu tidak selalu hadir dalam bentuk tulisan. Ketika kita bicara tentang
peran bahasa, artinya kita sedang bicara tentang mode teks (the mode of text).
III)

Ada aspek hubungan antara pembicara dan mitra bicara. Contoh 1
menunjukkan adat dan pendukung adat yang tinggal di wilayah Rejang

Bengkulu akan menyelesaikan masalah warisan. Ketika kita membahas
hubungan

antara

pembicara

dan

mitra

bicara

berarti

kita

sedang

membicarakan tenor (tenor of text). Dalam bahasa Rejang, tenor ditunjukkan

dengan penggunaan ungkapan sopan antar adat dan pendukung adat ketika
melakukan pembagian harta warisan (politeness expression). Kedudukan
istimewa anak yang tertua tersebut di dalam istilah adat Reja ng dinamakan

tuban beun ’bagian lebih’.
IV)

Apa yang sudah kita bahas di atas adalah gambaran register dari suatu teks.
Register menggambarkan secara langsung konteks situasional di mana teks
dihasilkan. Register yang telah digambarkan pada contoh 1 adalah register
yang menggambarkan pembagian harta warisan dari suatu keluarga yang
kedua orang tuanya sudah wafat. Meskipun kita telah mengetahui teks dari
sudut pandang pada ”situasi tertentu peristiwa itu terjadi” tetapi masih ada hal
lain yang dapat kita bicarakan di dalamnya, yaitu genre. Martin (1984: 25)
sebagaimana dikutip oleh Eggins (1994: 26) mengemukakan a genre is a
staged, goal oriented, purposeful activity in which speakers engage as
members of our culture. Genres are how things get done, when langua ge is
used to accomplish them.

Dengan terjemahan bebas genre adalah suatu langkah, berorientasi tujuan,

aktivitas yang mempunyai tujuan di mana para penutur itu merupakan anggota suatu
kelompok budaya. Genre adalah bagaimana melakukan sesuatu dan bahasa digunakan
untuk menjalankan aktivitas yang dijalankan itu. Dengan mendefinisikan konsep genre
ini, maka genre dibedakan berdasarkan kegiatan sosial dalam suatu budaya, misalnya
dalam budaya Australia genre dibedakan:

5
1) Genre kesusasteraan (literary genre) : cerpen, novel, roman, autobiografi, balada,
soneta, fabel, tragedi.
2) Genre tulisan populer (popular written genre) : artikel surat kabar, laporan dalam
majalah, resep makanan
3) Genre pendidikan (eductional genre): perkuliahan, laporan essay, seminar, buku
teks
4) Genre kegiatan sehari-hari (everyday genre) : jual-beli; mencari informasi;
menceritakan kisah cerita; gosip; membuat janji; bertukar pendapat; wawancara;
chating dengan teman.

Dengan mempelajari bagaimana orang menggunakan bahasa maka kita dapat
mengetahui :
a) perilaku bahasa yang berorientasi pada tujuan (linguistic behavior is goal

oriented)

b) perilaku bahasa yang terjadi dalam koteks situasi dan konteks budaya, yang
berhubungan dengan penilaian sesuai atau tidak sesuai dengan budaya (linguistic
behavior takes place within both a situation and a culture , in relation to which it
can be evaluated as appropriate or appropriate).

2. Konteks Situasi dan Konteks Budaya Rejang
Apa dan bagaimana konteks situasi dan konteks budaya? Konteks situasi dan
konteks budaya dapat digunakan untuk memahami bagaimana orang menggunakan
bahasa untuk menjalankan kegiatan kehidupannya sehari-hari. Konteks budaya lebih
sering dipakai untuk menggambarkan konteks situasi atau suatu perisitwa.
Contoh Situasi 2: Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Rejang
Lazimnya kalau seorang lelaki kawin semendo beradat atau kawin semendo rajorajo meninggal dunia dan mempunyai anak, harta tidak dibagi tetapi tetap tinggal pada

istri dan anak-anak. Demikian juga kalau dalam hal di atas si istri meninggal dunia dan
mempunyai anak, harta juga tetap tinggal pada suami dan anak-anaknya dan tidak dibagibagikan. Jika kedua suami istri meninggal dunia, barulah harta itu dibagi oleh anakanaknya. Dan jika suami istri yang meninggal itu tidak mempunyai anak, maka harta itu
jatuh kepada keluarga mendiang.

6

Dalam kawin jujur, kita dapati keadaan yang hampir serupa seperti yang
diterangkan di atas, walaupun pada dasarnya anak-anak mereka hanya merupakan ahli
waris dari pamili bapaknya. Jika anak itu menetap di dusun ibunya, maka ia merupakan
ahli waris pula dari harta peninggalan dari pamili ibunya. Tetapi apabila ia kembali lagi
berdiam di dusun ayahnya, maka harta pusaka yang diperolehnya dari pihak pamili
ibunya itu harus ditinggalkannya di dusun ibunya, jika harta itu masih ada.3
Contoh 2 ini mudah dikenali oleh penutur jati bahasa Rejang yang menganut
hukum adat Rejang sebagai teks tentang pembagian harta waris atau dapat disebut
sebagai genre hukum waris dalam budaya orang Rejang. Secara deduktif teks ini dapat
ditafsirkan sebagai teks dalam kebudayaan Rejang, hal itu dapat diketahui melalui bahasa
dan istilah yang digunakan, dan tujuan yang hendak dicapai, serta konteks situasi
peristiwa itu terjadi. Di dalam peristiwa ini ada dua tenor variabel, yaitu P1 (Hukum
Adat) dan P2 (penganut hukum adat dalam hal ini masyarakat).
Contoh 1 dan contoh 2 memperlihatkan genre dan register merupakan dua tingkat
abstraksi yang berbeda. Genre atau konteks budaya dilihat secara lebih abstrak dan
umum – kita dapat mengenali sebuah genre khusus bahkan dapat juga kita tidak secara
yakin mengetahui suatu konteks situasi.
Genre dapat dipikirkan sebagai kerangka umum yang dapat memberi gambaran
interaksi khusus yang bersesuaian dengan konteks situasi tertentu yang digunakan di
dalamnya. Berikut ini, kita dapat mempertimbangkan teks yang lengkap, dengan 3 kata

yang dihilangkan dan semua unsur teks dihadirkan. Ketika membaca teks ini kita
langsung dapat menyebutkan secara tepat situasi yang sedang berlangsung.
Contoh Situasi 3:
Penjelasan Hukum Adat tentang warisan

:

Hubungan hukum waris dengan hukum perkawinan mempengaruhi susunan ahli
waris dan hubungan dengan hukum kesanaksaudaraan yang menjadi pangkal bertolak
bagi susunan ahli waris, yaitu di sanak mewarisi hanya dari orang-orang yang sesuku
dengannya.

3

Ibid., h. 316

7
Jika seseorang meninggal dunia, maka pada umumnya ia meninggalkan harta
dan harta itu disebut dalam hukum adat Rejang diberi istilah hartoa pusako atau sako.
Harto pusako ini pada umumnya terdiri dari ladang, sebidang kebun atau sebidang
sawah, sebuah rumah dengan pekarangannya, perkakas rumah tangga, perkakas dapur,
beberapa ternak dan barang-barang perhiasan.
.

Kata-kata yang digunakan dalam paparan di atas dapat menjadi petunjuk bahwa

interaksi itu terjadi antara Hukum Adat dan pemegan hukum adat itu, dengan demikian
spesifikasi variabel register yang dapat digambarkan sbb:
Field : tentang pembagian warisan
Mode : keterangan adat bisa tertulis bisa tidak tertulis, pengatur dan yang diatur
tidak berhadapan muka
Tenor : adat/masyarakat
Dengan cara menganalisis teks seperti itu kita dapat mengetahui tujuan teks,
situasi teks dan budaya yang ada dalam teks- melalui bahasa yang digunakan oleh orang.
Analisis teks tentang hukum waris menurut Hukum Adat Rejang:
Hukum Adat memberitakan bahwa: Hubungan hukum waris dengan hukum
perkawinan mempengaruhi susunan ahli waris dan hubungan dengan hukum
kesanaksaudaraan yang menjadi pangkal bertolak bagi susunan ahli waris, yaitu di
sanak mewarisi hanya dari orang-orang yang sesuku dengannya.
Jika seseorang meninggal dunia, maka pada umumnya ia meninggalkan harta
dan harta itu disebut dalam hukum adat Rejang diberi istilah hartoa pusako atau sako.
Harto pusako

Masyarakat yang diberi penjelasan

: menyimak dengan seksama dan patuh

Penjelasan Adat tentang harta pusaka
Hukum Adat

: Harto pusako ini pada umumnya terdiri dari ladang, sebidang
kebun atau sebidang sawah, sebuah rumah dengan pekarangannya,
perkakas rumah tangga, perkakas dapur, beberapa ternak dan
barang-barang perhiasan.

Masyarakat

: Memahami yang termasuk harta pusaka

8
Hukum Adat : Pembagian Harto Pusako
Untuk menentukan siapa ahli waris dari sipewaris, hukum waris adapt Rejang
memakai pedoman:
a) garis pokok keutamaan artinya garis hukum yang menunjukkan perikutan
kelompok-kelompok keluarga dari si pewaris perikutan menurut keutamaannya
dan,
b) garis pokok penggantian
Garis Pokok Keutamaan pembagian harto pusako seperti berikut:
1) kelompok ke satu yaitu semua keturunan si pewaris menurut sistim garis
keturunan di tempat yang besangkutan. Jika semuanya ini telah dipanggil dan
dihimpunkan, maka dipakailah garis pokok penggantian untuk menetukan siapa
ahli waris. Jika tidak ada terdapat kelompok ke satu ini yang berarti bahwa semua
keturunannya sudah mati, maka pindah ke:
2) kelompok kedua yaitu orang tua si pewaris, yaitu ayah ibunya. Kelompok kedua
ini sebanyak-banyakya terdiri dari dua orang dan baru diperlukan apabila
kelompok ke satu telah punah; pada kelompok ini tidak diperlukan garis pokok
penggantian. Jika kelompok kedua ini tidak ada lagi, maka pindah ke
3) kelompok ke tiga
4) kelompok ke empat
5) kelompok ke lima
Yang dimaksud dengan garis pokok penggantian ialah menyaring orang-orang
yang termasuk sekelompok keutamaan itu. Dengan menghimpun orang-orang
sekelompok tersebut, masih belum diketahui siapa ahli waris yang sebenarnya; baru
setelah memakai garis pokok penggantian dapat diketahui siapa ahli waris yang
sebenarnya yang akan mewarisi harto pusako. Cara menyaring itu adalah dengan
mengambil setiap orang yang tidak mempunyai penghubung dengan si pewaris atau
orang yang tidak lagi penghubung dengan si pewaris.
Gambaran teks di atas secara struktur generik dapat dicapai dengan menuliskan
setiap tahap yang berkaitan itu secara linear dan berurutan. Nantinya teks ”harta pusaka”
itu dapat digambarkan secara struktur skematik sbb: ”Pembagian harto pusako^ahli waris

9
dari si pewaris^harta apa saja yang dapat diwariskanharga^penjelasan hukum adat
rejang^masyarakat rejang^pedoman pembagian harta waris”.
Pernyataan struktur skematik ini merupakan gambaran sebuah struktur skematik
khusus mengenai teks pembagian harta waris, yang bersifat aktual, merupakan contoh
genre khusus. Simbol untuk menggambarkan struktur skematik.
Simbol

Makna

X^Y

Langkah X permulaan langkah Y (siapa ahli waris)

*Y

Langkah Y sebuah langkah sebelum pembagian harta warisan

(X)

Langkah X yang bersifat pilihan

┘X

Langkah X adalah langkah kegiatan

┘{X^Y}

Langkah X dan Y keduanya adalah langkah kegiatan yang sesuai dengan
yang dipedoman X dan Y

3. Hubungan antara Genre/Register/Bahasa

genre

Konteks situasi atau register

Diagram di atas menunjukkan bahwa genre adalah satu dari dua tingkat konteks: konteks
budaya (genre), bersifat lebih abstrak, lebih umum dari pada konteks situasi (register);
genre direalisasikan melalui bahasa (encoded); proses realisasi genre dalam bahasa
disaranakan melalui realisasi register.
Salah satu dimana register disaranakan dalam realisasi genre adalah dengan cara
mengisi hal-hal khusus yang berhubungan dengan penggunaan situasi yang khusus dan
genre khusus. Contoh: genre essay universitas (the expository genre) dapat dikenali
melalui penilaian bentuk budaya lintas disiplin ilmu. Kita dapat menemukan bahwa essay
dalam sosiologi memiliki ciri umum dengan essay dalam psikologi, atau linguistik, atau

10
sejarah. Singkatnya, semua essay itu memperlihatkan tingkatan khusus atau struktur
skematik (schematic structure).
Perhatian yang kedua adalah genre yang disaranakan melalui register dalam
istilah genre potensial dari suatu budaya tertentu (genre potential of a particular culture).
Genre potential mengacu semua kegiatan kebahasaan (linguistically-achieved activity)
yang dikenal dengan kebermaknaan (kesesuaian) dalam suatu kebudayaan. Genre
potensial dapat digambarkan sebagai kemungkinan konfigurasi variabel-variable register
yang terdapat dalam suatu kebudayaan di suatu waktu tertentu. Contoh, berikut ini adalah
konfigurasi variabel-variabel register yang menggambarkan register yang berterima
dalam kebudayaan Rejang;
Field

Pembagian harta waris

Tenor

Hukum Adat/masyarakat

Mode

Berhadapan (face-to-face)

Dalam kebudayaan Rejang, dan kebudayaan Islam ada konfigurasi register yang
tidak sama yaitu genre pembagian harta waris. Genre yang lain yang dapat digambarkan
dengan cara yang tidak sama itu ialah genre pembagian hukum waris menurut pandangan
agama Islam.
Implikasi penting dalam skema di atas adalah bahwa baik register maupun genre
direalisasikan melalui bahasa. Artinya bahwa kita hanya akan tahu bahwa kita
mempunyai register atau genre dengan melihat bagaimana cara bahasa digunakan,
misalnya melalui pola-pola makna, kata struktur kalimat dan bunyi bahasa sebagai
dimensi kontekstual yang diekspresikan.
Sebuah teks dapat diidentifikasi kedalam suatu genre khusus, atau genre yang
dikarateristisasikan, melalui acara-cara analisis genre yang direalisasikan dalam bahasa.
Dua dimensi untuk merealisasikan genre adalah sebagai berikut:
1) struktur skematik adalah tingkat dan orientasi tujuan genre diungkapkan secara
lingusitik melalui suatu unsur struktur secara fungsional di dalam teks
2) pola-pola realisasi, adalah batas-batas antar tingkat dan fungsi masing-masing
tingkat dari suatu genre dan diekspresikan melalui pilihan bahasa (wacanasemantik dan leksiko-gramatikal) yang ada di dalam sebuah teks.

11
3. Struktur Skematik
Dengan merujuk teks 3, di kalangan masyarakat Rejang hukum waris mempunyai
hubungan dengan hukum perkawinan. Karena dengan adanya perkawinan akan terbentuk
susunan ahli waris. Di dalam budaya Rejang jika seseorang meninggal dunia umumnya ia
meninggalkan harta pusaka. Menurut adat Rejang harta pusaka meliputi sebidang ladang,
kebun, sawah rumah, perkakas rumah tangga, ternak dan barang perhiasan. Misalnya,
kalau kita hendak membagi harta pusaka itu kita tidak boleh sembarangan tetapi diatur
oleh hukum adat tentang warisan.
Konvensi sosial masyarakat Rejang telah menentukan setiap anggota masyarakat
dalam menjalankan suatu aktivitas harus selalu melalui tahap-tahap dan tahu adat. Tata
cara adat atau

tahap-tahap ini disebut dengan struktur skematik dari sebuah genre

(schematic structure of a genre). Istilah schematic structure ini secara sederhana merujuk
kepada susunan tahap-tahap genre, yang dalam istilah Martin (1985b:251) sebagai
berikut:
Schematic structure represents the positive contribution genre makes to a text: a
way of getting from A to B in the way a given culture accomplishes whatever the genre in
question in functioning to do in that culture.

Dengan terjemahan bebas sebagai berikut; struktur skematik merepresentsikan
genre kontribusi positif yang ada dalam teks: cara mendapatkan sesuatu dari A ke B
dengan cara yang ditentukan oleh suatu budaya genre apapun yang difungsikan untuk
menjalankan suatu aktivitas dalam budaya itu.
Martin menunjukkan bahwa alasan bahwa setiap genre memiliki langkah karena
kita tidak selalu dapat membuat semua makna yang kita inginkan. Setiap langkah dalam
genre memberi kontribusi sebagian dari semua makna yang harus dibuat untuk
mendapatkan genre yang lengkap.
Dengan menggambarkan struktur skematik genre kita sampai pada konsep dasar
analisis linguistik: yaitu constituency dan labelling. Dua konsep ini penting ketika kita
mulai menggambarkan :
1) susunan leksiko-grammar suatu bahasa,
2) untuk memahami bagaimana genre disusun
3) untuk menganalisa struktur generik suatu teks.

12
3.1 Konstituensi (Constituency)
Konstituensi merujuk pada pengertian bahwa sesuatu itu dibangun dari sesuatu
yang lain. Konstituensi mengacu kepada satu bagian atau unsur atau seluruh bagian atau
unsur yang berhubungan satu sama lain. Misalnya dalam hukum waris adat Rejang
”Jika si pewaris pada waktu matinya meninggalkan anak yang semuanya masih hidup,
maka anak-anak itulah satu-satunya ahli waris. Cucu, piut, buyut dan seterusnya tidak
merupakan ahli waris karena masih ada penghubungnya dengan si pewaris, yaitu anakanak yang masih hidup itu. Pembahagian untuk semua anak itu, baik lelaki maupun
perempuan tertua atau pun bungsu pada dasarnya adalah sama rata. Anak perempuan
yang kawin jujur selama masa perkawinannya, harus melepaskan hak warinya atas
bagiannya sedang bila ia kawin semendo tambik anak beradat atau semendo rajo-rajo,
ia tetap menjadi ahli waris.

Pembagian harta warisan menurut hukum ada Rejang dapat dipahami sebagai
pembagian yang dipilah ke dalam sejumlah konstituen atau bagian. Dengan cara yang
sama, sebuah genre dibangun oleh beberapa lapisan. Ketika kita menggambarkan struktur
skematik dari sebuah genre, maka yang kita gambarkan itu tidak lain adalah struktur
konstituent itu sendiri – struktur secara keseluruhan, interaksi yang lengkap terdiri dari
beberapa bagian. Secara umum dapat digambarkan bahwa sebuah genre terdiri dari
konstituent awal (beginning), tengah (middle), dan akhir (end).
Tujuan deskripsi ini adalah untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang
berhubungan sebagai satu kesatuan, satu kesatuan itu hanya dapat dicapai functional
labelling. Berikut ini penjelasan tentang functional labelling.

2.4.2 Fungsi Penamaan (Functional Labelling)
Teks tentang pembagian harta waris dapat dipahami sebagai dua unsur dasar
berdasarkan kriteria berikut:
1) Kriteria formal, kita dapat membagi teks dalam beberapa bagian berdasarkan
perbedaan bentuk unsur-unsurnya. Pendekatan ini menekankan adanya kesamaan
setiap unit konstituen
2) Kriteria fungsional, kita dapat membagi genre kedalam beberapa tingkat
berdasarkan perbedaan fungsi. Pendekatan ini menekankan adanya perbedaan,

13
teks dibagi ke dalam perbedaan fungsi masing-masing tingkat. Uraian ini dapat
dilihat ke dalam bentuk tabel sbb:
Tingkat Formal (Formal Stages) Pembagian harta waris menurut hukum adat Rejang

P

An1

An 2

C



F

An 4

An3

I

X

J

A

B

Y



K

E
D

G

H

Sumber: Abdullah Siddik ,1980: 339
Keterangan Bagan
P



orang tua

An1



anak pertama

Jika si pewaris di waktu matinya meninggalkan anak dan di antara anak-anaknya
itu, ada yang telah mendahuluinya dan mempunyai keturunan, maka yang menjadi ahli
waris dari si pewaris P adalah An1 dan An2, yaitu anak-anak dari P yang masih hidup;
cucu X dan piut Y tidak merupakan ahli waris karena tertutup atau terdinding oleh An 1
dan demikian juga dengan cucu I dan J dan piut-piut G dan H karena terdinding oleh An
3. Dengan meninggalnya An 2, maka menurut garis pokok penggantian cucu-cucu C dan
F dari si pewaris menjadi hali warisnya, demikian juga halnya dengan cucu si pewaris K
disebabkan matinya An 4, sedang piut-piutnya A, B, C, D, E, G, dan H terdinding oleh
semua oleh cucu-cucunya yang masih hidup. Sehingga yang merupakan ahli waris yang
sebenarnya dari P di atas berjumlah 5 orang, yaitu An 1, An 2, C, F dan K jadi dua anak
dan tiga cucu. Pembagian untuk anak sama rata, jadi An 1 mendapat ¼, An 3 mendapat
¼, C dan F mendapat mendiang ayah mereka, ¼ dan K mendapat bahagian mendiang

14
ayahnya ¼. Pembagian semacam ini dinamakan: berbagi menurut jurai dan dasarnya
sama rata, demikian juga dalam cabang jurai pembagiannya sama rata.
2.4.3 Realisasi unsur-unsur struktur skematik
(realization of elements of schematic structure)
Meskipun identifikasi struktur skematik sebuah genre adalah bagian terpenting
dari analisis generic, maka analisis itu tidak dapat ditampilkan secara akurat jika tidak
melakukan analisis realisasi dari setiap element dari struktur skematik itu. Bagan di atas
dapat dikemukakan bahwa realisasi pembagian hukum waris adat Rejang merujuk pada
cara makna pembagian harta itu diekspresikan sebagai sebuah sistem semiotik. Sekarang
kita menghubungkan unsur-unsur skematik itu ke dalam bahasa.
Dalam menganalisa genre bahasa- dalam hal ini kata-kata dan struktur yang
digunakan oleh pembicara sangat penting, karena bahasa menampilkan suatu realisasi.
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan
1) jika genre yang memperlihatkan perbedaan cara bahasa digunakan, itu
menunjukkan bahwa pembicara menggunakan pilihan leksiko-gramatikal sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai. Teks yang berbeda genre akan berbeda leksiko
gramatikalnya, perbedaan kata dan perbedaan struktur. Contoh tipe kata-kata yang
digunakan dalam genre pembagian harta waris tidak akan sama dengan kata-kata
yang digunakan dalam genre yang digunakan dalam

pembagian harta waris

menurut hukum Islam.
2) Setiap genre terdiri dari sejumlah tapahan fungsional yang berbeda, karena
perbedaan pilihan leksikogramatikalnya.
Pola-pola realisasi dapat dicontohkan melalui genre hukum waris menurut Islam
2.4.3.1 Struktur Skematik dan realisasi dalam genre hukum waris menurut Islam
Genre hukum waris menurut Islam adalah salah satu contoh genre yang
memperlihatkan adanya struktur skematik dan realisasi.
Contoh 4: Hukum waris Islam
Harta warisan dibagi-bagi pertama kepada golongan zaul fara’id. Kemudian jika
ada sisanya dibagian kepada golongan asabah. Jika terdapat zaul fara’id, maka asabah

15
mendapat seluruh harta pusaka, baru jika tidak terdapat zaul fara’id ataupun asabah,
golongan zaul arham mendapatnya.
Yang termasuk golongan asabah:
1. asabah bi nafsihi
2. asabah bi’lghairi
3. asabah ma’alghairi

Cara membaginya:
1. asabah bi nafsihi adalah ahli waris yang dengan sendirinya mendapat harta
waris
2. asabah bi’lghairi adalah ahli waris tidak langsung tetapi sebab orang lain
seperti anak perempuan, cucu permpuan seibu sebapak dan saudara
perempuan sebapak.
3. asabah ma’aalghairi, adalah ahli waris tidak langsung, tetapi bersama-sama
dengan orang lain, seperti saudara perempuan seibu-sebapak bersama dengan
anak perempuan atau dengan cucu permpuan, sehingga ia menjadi asabah
ma’alghairi; demikian pula dengan saudara perempuan sebapak
Bila akan dianalisis secara fungsional teks di atas, maka teks ini dapat dipilah-pilah:
Title : Pembagian harta pusaka
(Tahap ini adalah harta pusaka yang akan disiapkan, mungkin persiapan akan
berbeda dari satu adat ke adat yang lain)

Kegiatan yang ditawarkan (enticement):
Pembagian harta pusaka menurut hukum Islam oleh orang Islam di Rejang.
Tujuan: menulis atau membertahukan hukum adat ini untuk mengatur cara
pembagian harta agar tidak ada perselisihan dan mencoba menerapkan pada masyarakat
bagi mereka yang belum mengetahuinya.
Orang-orang yang terlibat dalam pembagian harta pusaka:
Ahli waris: istri yang suaminya wafat,
Anak kandung
Cucu
Saudara kandung seayah

16
Metode Pembagian Harta
Cara membagi
1) suami istri saling mewarisi dan bagiannya bagi suami yang tinggal adalah ½ dari
harta peninggalan mendiang istri jika istri itu tidak mempunyai anak.
2) Jika almarhumah itu mempunyai anak maka bagian si suami adalah ¼ dari harta
peninggalan almarhumah
3) Bagi istri yang ditinggalkan, bagiannya adalah ¼ dari harta peninggalan almarhu
suami, jika lamarhum itu tidak mempunyai anak
4) Jika almarhum mempunyai anak, maka bagian si istri adalah 1/8
5) Jika seorang lelaki mapun perempuan diwarisi secara kalalah dan mempunyai
saudara laki atau perempuan maka bagiannya masing-masing 1/6 dari harta
peninggalan mendiang
6) Jika saudara mendiang itu dua atau lebih maka bagiannya adalah 1/3
Perbedaan Hukum Waris Menurut Pandangan Islam dan Hukum Waris Adat Rejang
No
1

2
3

Hukum Waris Menurut Islam
Hukum Islam mendudukan anak si
pewaris bersama-sama dengan
orang tua si pewaris secara
bersamaan sebagai ahli waris dari
seseorang yang mati
Suami istri saling mewarisi
Pembagian
harta
ditentukan
jumlahnya

Hukum Waris Menurut Adat Rejang
Orang tua si pewaris baru menjadi ahli
waris jika si pewaris mati punah

Suami istri tidak saling mewarisi
Tidak ada pembagian jumlah

4. Tipe-tipe struktur generic (Types of Generic Structure)
Kemampuan kita untuk membuat prediksi tentang ilustrasi genre karena kita
adalah bagian dari kebudayaan ini, kita memperoleh pengetahuan bagaimana orang
menggunakan bahasa untuk memperoleh hal-hal yang berbeda. Contoh-contoh yang
dikemukakan di atas (disebut makro genre), kita menemukan diri kita sendiri yang akrab
tidak hanya struktur skematik genre sehari-hari tetapi juga realisasi: tipe makna yang kita
peroleh dari setiap tahap sebuah genre, tipe kata dan struktur yang digunakan untuk
mengungkapkannya. Teori genre bicara tentang ketidaktahuan pengetahuan budaya
kepada tahu tentang budaya melalui bahasa yang kita gunakan untuk melakukan sesuatu.

17
Ketika bahasa digunakan dengan tujuan untuk mengetahui suatu budaya, maka
kita menamakan itu genre. Meskipun begitu ada hal penting yang harus diperhatikan
bahwa sturktur generik tidak selalu menyatakan unsur-unsur tingkatan struktur yang
digambarkan di sini. Untuk mengenalisis struktur generik harus dibedakan dua macam
fungsi motivasi untuk interaksi linguistik yaitu:
1) Interaksi motivasi pragmatik (pragmatic motivation), contoh pada interaksi di
hukum adat dan masyarakat pendukung adat,
2) interpersonal pragmatik (pragmatic interpersonal)
Kesimpulan
Pendekatan sistemik fungsional mengkaji semua interaksi yang berorientasi
tujuan. Bahasa selalu hadir untuk mengungkapkan sesuatu dan setiap orang yang
melakukan suatu kegiatan akan menggunakan bahasa. Dalam menempatkan sebuah label
pada apa saja yang kita lakukan, dan dalam menganalisis bagaimana kita menggunakan
bahasa dalam mengerjakan sesuatu, maka kita berarti menggambarkan sebuah genre yang
sesuai dengan konteks situasi tertentu.
Genre mengenai hukum adat di tanah Rejang meskipun mengalami banyak
desakan dari hukum modern maupun hukum Islam keberadaanya sampai sekarang masih
bertahan. Hukum adat Rejang sampai saat ini masih dianut oleh masyarakat Rejang untuk
menyelesaikan kasus yang menyangkut harta pusaka. Rejang merupakan salah satu
masyrakat di Indonesia yang memiliki kearifan adat yang menggambarkan tentang
keadaan sosialbudaya dengan tipe ekosistem Rejang yang unik.
Keberadaan hukum adat Rejang yang masih lestari hingga sekarang ini tentu saja
tidak lepas dari pasal 18B poin 2 pada bab VI UUD 1945 tentang pemerintahan daerah
telah menegaskan bahwa: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-keatuan
masyrakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.

18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. ”Aliansi Masyarakat Adat Rejang”. http://www.google.com/ diakses
tanggal 9 Mei 2010.
Austin, J.L. 1962. How to Do Thing with Words. New York : Oxford University Press

Coulthard, Malcomb. 1977. An Introduction to Discourse Analysis. London: Longman
Danet Brenda. 1980. Language in the Legal Process. The Hague: Mouton
Downes, William. 2004. Language and Society. London: Fontana
Eggins, Susan. 1994. An Introduction Systemic Functional Linguistics. London: Pinter
Publisher
Jaspan, M.A. 1968. “Symbols at Works: Aspects of Kinetic and Mnemonic
Representation in Rejang Ritual” Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde No 123 Halaman 476-516; The Hague: Mouton
Sartono Kartodirdjo. 1975. Sejarah Nasional Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka
Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka