Gambaran Perilaku Ibu Rumah Tangga terhadap Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Janin di Kelurahan Tanjung Morawa Pekan Tahun 2013

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku
2.1.1. Pengertian Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon
ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif
(melakukan tindakan) (Sarwono, 2007).
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan
manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing.
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Sunaryo, 2004).
Skinner (1938) dalam Soekidjo (2003), merumuskan bahwa perilaku manusia
pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri, yang mempunyai
bentangan yang sangat luas mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpikir, persepsi
dan emosi. Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas organisme, baik yang dapat

diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Perilaku manusia sebenarnya merupakan pencerminan dari berbagai faktor
kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, sikap, motivasi dan sebagainya.
Akan tetapi, pada kenyataannya sulit untuk membedakan faktor kejiwaan yang mana
menentuan perilaku seseorang. Bila ditelusuri lebih lanjut, faktor kejiwaan tersebut
ternyata ditentukan pula oleh berbagai faktor lain, diantaranya ialah faktor
pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosial budaya masyarakat dan sebagainya.
2.1.2

Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seseorang
Sunaryo

(2004)

menyebutkan

beberapa


faktor

yang

memengaruhi

pembentukan perilaku dalam diri individu, yaitu :
1.

Faktor genetik atau faktor endogen
Faktor genetik atau faktor keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal
untuk kelanjutan perkembangan perilaku makhluk hidup itu. Faktor genetk
berasal dari dalam diri individu (endogen), antara lain :
- Jenis ras, setiap ras di dunia memiliki perilaku yang spesifik, saling berbeda
satu dengan yang lainnya.
- Jenis kelamin, perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara
berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari.
- Sifat fisik, kalau kita amati perilaku individu akan berbeda-beda karena sifat
fisiknya, misalnya perilaku individu yang memiliki fisik pendek dan gemuk

berbeda dengan individu yang memiliki fisik tinggi kurus.
- Sifat kepribadian, perilaku individu adalah manifestasi dari kepribadian yang
dimilikinya sebagai perpaduan antara faktor genetik dan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

- Bakat pembawaan, merupakan interaksi dari faktor genetik dan lingkungan
serta bergantung pada adanya kesempatan pengembangan.
- Inteligensi, merupakan kemampuan untuk berpikir abstrak sehingga sangat
berpengaruh terhadap pembentukan perilaku individu.
2.

Faktor eksogen atau faktor dari luar indvidu
- Faktor lingkungan, menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu,
baik fisik, biologis maupun sosial. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap
perilaku individu karena merupakan lahan untuk perkembangan perilaku.
- Pendidikan, mencakup seluruh proses kehidupan individu sejak dalam ayunan
hingga liang lahat, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara
formal maupun informal. Proses dan kegiatan pendidikan pada dasarnya
melibatkan masalah perilaku individu maupun kelompok. Tujuannya agar

terjadi perubahan perilaku, yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
mengerti menjadi mengerti dan tidak dapat menjadi dapat.
- Agama, sangat berpengaruh dalam cara berpikir, bersikap, bereaksi, dan
berperilaku individu.
- Sosial ekonomi, salah satu lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku
seseorang adalah lingkungan sosial ; sosial budaya dan ekonomi.
- Kebudayaan, ekspresi jiwa terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir,
pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi, dan hiburan.

Universitas Sumatera Utara

3.

Faktor-faktor lain
- Susunan saraf pusat memegang peranan penting karena merupakan sarana
untuk memindahkan energi ysng berasal dari stimulus melalui neuron ke simpul
saraf tepi yang seterusnya akan berubah menjadi perilaku.
- Persepsi merupakan proses diterimanya rangsang melalui pancaindra, yang
didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu
yang ada di dalam maupun di luar dirinya.

- Emosi, perilaku individu dapat dipengaruhi emosi. Perilaku individu yang
sedang marah, kelihatan mukanya merah.

2.1.3. Domain Perilaku
Menurut Benyamin Bloom yang dipaparkan oleh Notoatmodjo (1997),
perilaku manusia dapat dibagi ke dalam tiga domain.

1. Cognitive Domain
(Ranah Kognitif)

3. Affective Domain
(Ranah Afektif)

Perilaku

2. Psychomotor Domain
(Ranah Psikomotor)

Gambar 2.1. Domain perilaku menurut Benyamin Bloom yang dipaparkan oleh
Notoatmodjo (1997).


Universitas Sumatera Utara

Pengukuran domain perilaku :
a. Conitive domain, diukur dari knowledge (pengetahuan)
b. Affective domain, diukur dari attitude (sikap)
c. Psychomotor domain, diukur dari psychomotor/practice (keterampilan)
2.1.3.1. Pengetahuan
Notoatmodjo (2005), menyebutkan bahwa pengetahuan adalah hasil
penginderaan manusia, hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang
dimilikinya. Waktu penginderaan sampai pengetahuan dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat
pengetahuan, yaitu:
a.

Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya
setelah mengamati sesuatu.

b.


Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar

dapat

menyebutkan,

tetapi

orang

tersebut

harus

dapar

mengintepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

c.

Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami obyek yang dimaksud
dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada
situasi lain.

Universitas Sumatera Utara

d.

Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen
pengetahuan yang dimilikinya.

e.

Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimilikinya.

f.

Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek tertentu.

2.1.3.2. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat atau emosi yang bersangkutan
(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya).
Sikap memiliki tingkatan berdasarkan intensitasnya, yaitu:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan oleh objek.
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.


Universitas Sumatera Utara

c. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan sesuatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga
(kecenderungan untuk bertindak).
d. Bertanggung jawab (responsible )
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa
yang telah diyakininya
2.1.3.3.Tindakan
Tindakan adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu
terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu
sarana dalam prasarana.
Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
a. Persepsi
Persepsi yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sesuai dengan tindakan
yang akan dilakukan.
b. Respon terpimpin
Individu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai contoh.

c. Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subyek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikan sesuatu
dengan benar secara otomatis.
d. Adaptasi (adoption)

Universitas Sumatera Utara

Adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang, artinya apa yang
sudah dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah
dilakukan modifikasi, atau tindakan yang berkualitas.
2.2. Teori Stimulus – Organisme – Respons
Perilaku individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat adanya
rangsangan (stimulus), baik dari dalam diri individu (faktor internal) maupun dari
luar diri individu (faktor eksternal).
Skinner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa
perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses; Stimulus – Organisme – Respons,
sehingga teori Skinner ini disebut teori “S-O-R”.
Berdasarkan teori „S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a) Perilaku Tertutup (Convert behaviour )
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum
dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap
terhadap stimulus bersangkutan.
b) Perilaku Terbuka (Overt behaviour ) Perilaku terbuka ini terjadi bila respons
terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat
diamati orang lain dari luar atau disebut juga observable behavior.

Universitas Sumatera Utara

RESPON
TERTUTUP
Pengetahuan
Sikap
ORGANISME

STIMULUS

RESPON
TERBUKA
Tindakan /
Praktik

Gambar 2.2. Teori S-O-R
2.3. Teori Lawrence Green
Lawrence Green (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempunyai
potensi dalam memengaruhi perilaku kesehatan seseorang.
1.

Faktor predisposisi (Predisposing factors)
Faktor predisposisi adalah faktor yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,

kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi seseorang yang merupakan faktor yang
memudahkan atau menghambat motivasi pribadi untuk berubah. Berbagai faktor
demografis seperti status sosial ekonomi, usia, pekerjaan, jenis kelamin, dan ukuran
keluarga juga penting sebagai faktor predisposisi.
Dalam

Kamus

Besar

Bahasa

Indonesia,

predisposisi

juga

berarti

kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu berdasarkan
pengalaman dan norma yg dimilikinya.
Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku,
namun asosiasi positif antara kedua variabel telah dapat dibuktikan melalui studi

Universitas Sumatera Utara

kemasyarakatan yang telah dilakukan. Pengetahuan tentang kesehatan mungkin
diperlukan sebelum tindakan kesehatan pribadi akan terjadi, tapi tindakan kesehatan
yang diinginkan mungkin tidak akan terjadi kecuali seseorang menerima isyarat
cukup kuat untuk memotivasi dia untuk bertindak atas pengetahuan yang dia punya.
Mucchielli dalam Lawrence menggambarkan sikap sebagai kecenderungan
pikiran atau perasaan relatif konstan terhadap kategori tertentu benda, orang atau
situasi. Kirscht menunjukkan bahwa sikap merupakan kumpulan keyakinan yang
selalu mencakup aspek evaluatif, yaitu, sikap selalu dapat dinilai dari segi baik dan
buruk atau possitive dan negatif.
2.

Faktor pemungkin (Enabling factors)
Faktor pemungkin merupakan faktor yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedia atau tidaknya sarana atau fasilitas, memadai atau tidaknya tenaga atau SDM,
dan tingkat pendapatan.
3.

Faktor penguat (Reinforcing factors)
Faktor penguat merupakan faktor yang terwujud dalam sikap dan perilaku

petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok acuan, panutan atau
referensi dan dukungan dari perilaku individu, keluarga dan masyarakat.
2.4. Konsep Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan salah satu fungsi pertalian/ikatan sosial yang segi
fungsionalnya mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan
perasaan, memberi nasihat atau informasi, pemberian bantuan material (Ritter, 1988
dikutip Smet, 1994).

Universitas Sumatera Utara

Beberapa pendapat mengatakan bahwa dukungan sosial terutama dalam
konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga
barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting (Rodin dan
Salovery, 1989 dikutip Nursalam, 2007).
Dukungan sosial sangat diperlukan terutama pada kondisi yang sudah sangat
parah. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan
(suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan
konselor.
Dukungan sosial terdiri atas informasi atau nasihat verbal atau nonverbal,
bantuan nyata atau tindakan yag diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena
kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak
penerima (Gottlieb, 1983 dikutip Nursalam, 2007).
Jenis dukungan sosial menurut Depkes (2002) :
1. Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang
bersangkutan.
2. Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang itu kurang
mampu atau lebih buruk keadaannya (menmbah harga diri).
3. Dukungan Instrumental

Universitas Sumatera Utara

Mencakup bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang kepada
orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada
orang yang tidak punya pekerjaan.
4. Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta
petunjuk.
2.5. Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno-Deficiency Syndrome
(HIV/AIDS)
2.5.1. Pengertian HIV/AIDS
HIV

dalam

bahasa

Inggris

merupakan

singkatan

dari

Human

Immunodeficiency Virus, dalam bahasa Indonesia berarti virus penyebab menurunnya

kekebalan tubuh manusia. Virus adalah jasad renik hidup yang amat kecil sehingga
dapat lolos melalui jaringan yang teramat halus atau ultrafilter. Jadi HIV adalah virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS.
Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berfungsi untuk kekebalan
tubuh (Maryunani, 2009).
AIDS adalah kependekan dari Acquired Immuno-Deficiency Syndrome.
Acquired berarti didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem kekebalan

tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit
dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala
akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah
lahir, atau dengan kata lain AIDS merupakan sekumpulan gejala penyakit yang

Universitas Sumatera Utara

timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh
virus HIV (Maryunani. 2009).
Menurunnya sistem kekebalan tubuh itu sendiri disebabkan berkurangnya sel
limfosit CD4 karena diserang oleh HIV. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai
dengan adanya berbagai infeksi, baik itu akibat bakteri, virus, parasit atau jamur.
Keadaan infeksi ini yang disebut dengan infeksi oportunistik (Zein, 2007).
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel lymfosit T dan sel
otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati di luar
tubuh. Sebagai vetikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan
menularkan kepada orang lain adalah berbagai csairan tubuh. Cairan tubuh yang
terbukti menularkannya di antaranya semen, cairan vagina atau serviks, dan darah
penderita (WHO, 2004).
2.5.2. Etiologi
HIV pada mulanya dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV).
Virus ini ditemukan oleh ilmuan Institute Pasteur Paris, Barre Sinoussi Montagnier
dan kolega-koleganya pada tahun 1983. Pada tahun 1984, Popovic, Gallo dan rekan
kerjanya dari National Institute of Helath , dari Amerika Serikat menemukan virus
lain yang disebut Human T Lymphotropic Virus Type III ( HTLV-III). Penyelidikan
lebih lanjut membuktikan bahwa kedua virus ini sama dan data ini dinamakan HIV-1
(Murtiastutik, 2011).
Sekitar tahun 1985 ditemukan retrovirus yang berbeda dari HIV-1 pada
penderita yang berasal dari Afrika Barat. Virus ini disebut LAV-2 yang terbaru

Universitas Sumatera Utara

disebut HIV-2. Virus HIV-2 kurang virulen berbanding HIV-1, tetapi sejumlah besar
individu yang terinfeksi virus HIV-2 akan terinfeksi oleh virus HIV-1.
2.5.3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun.
Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala AIDS
dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat
AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama (WHO,2004).
2.5.4. Gejala infeksi HIV
Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala
infeksi primer. Biasanya gejala ini timbul setelah beberapa hari terinfeksi dan gejala
ini berlangsung selama 2-6 minggu, setelah terinfeksi. Gejala ini dapat ringan sampai
berat dan sekitar 42% penderita memerlukan perawatan di rumah sakit (Samsuridjal,
2002).
Menurut Maryunani dan Aeman, yang dikutip dari Depkes,2003 gejala infeksi
HIV pada ibu atau orang dewasa berdasarkan pada klasifikasi stadium penyakit AIDS
adalah sebagai berikut :

1.

Stadium awal infeksi HIV, gejala-gejalanya:
a. Demam
b. Kelelahan
c. Nyeri sendi

Universitas Sumatera Utara

d. Pembesaran kelenjar getah bening (di leher, ketiak, lipatan paha). Gejala
ini menyerupai influenza/monokleosis
2.

Stadium tanpa gejala:
Stadium dimana penderita tampak sehat, namun dapat merupakan sumber
penularan infeksi HIV.

3.

Stadium ARC (AIDS Related Complex) dengan gejala:
a. Demam >28 derajat Celcius secara berkala/terus menerus dalam waktu
yang lama (lebih dari 1 bulan) tanpa sebab yang jelas
b. Kelemahan tubuh yang menurunkan aktivitas fisik
c. Keringat malam

4.

Stadium AIDS, gejala-gejalanya :
a. Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut sarcoma
Kaposi (tampak bercak merah kebiruan di kulit
b. Kanker kelenjar getah bening
c. Infeksi penyakit penyerta, misalnya: pneumonia yang disebabkan oleh
Pneumocystis carinii , TBC

d. Peradangan otak/selaput otak
Sementara itu, pada bayi dan anak dengan infeksi HIV juga terdapat gejalagejala umum yang sering ditemukan, yaitu:
a. Gangguan tumbuh kembang
b. Berat badan menurun
c. Demam
d. Diare kronik

Universitas Sumatera Utara

e. Candidias oral yang sering kambuh (merupakan tanda yang muncul
pertama pada infeksi HIV)
f. Hepatosplenomegali (pembesaran kelenjar getah bening dan hati)
g. Gangguan neurologis seperti keterlambatan perkembangan mental, infeksi
otak dan oportunistik bersamaan dengan penurunan imunitas
AIDS merupakan gejala/gambaran klinis infeksi HIV yang berat. Karena
kebanyakan AIDS pada anak mendapat infeksi secara congenital dari ibu, maka
kebanyakan penyakit AIDS pada anak terlihat pada anak-anak kecil (masa bayi).
Lima puluh persen didiagnosa pada umur kurang dari 1 tahun dan 82% pada umur
kurang dari 3 tahun. Gejala klinis yang ditemukan pada anak agak berbeda dengan
apa yang terdapat pada orang dewasa. Infeksi dengan bakteri atau virus lebih sering
ditemukan dan jenis mikroorganismenya sesuai dengan pemaparannya. Sarkoma
Kaposi hampir tidak ditemukan pada anak. Kebanyakan anak dengan AIDS
menunjukkan gambaran/gejala spesifik yang juga ditemukan pada penyakit lain
seperti gagal tumbuh kembang, berat badan menurun, panas, anemia, limfadenopati,
hepatosplenomegali, pembesaran kelenjar parotis, kandidiasis mulut dan diare
(Tjokronegoro, 1992).
2.5.5. Diagnosa HIV
Diagnosis ditunjukkan pada dua hal yaitu pada keadaan terinfeksi HIV dan
dalam keadaan AIDS. Hal ini dilakukan karena terdapat perbedaan langkah – langkah
penting dalam menghadapi kedua keadaaan itu, baik dari sudut epidemiologi,
pengobatan – perawatan – konseling maupun prognosis.

Universitas Sumatera Utara

a. Diagnosis dini infeksi HIV
Ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari gejalagejala klinis atau dari adanya perilaku resiko tinggi individu tertentu. untuk
dignosis HIV ada beberapa tes yaitu ELISA dengan sensitifitasnya 98,1 –
100%, Wester Blot dengan sensitifitas 99% - 100%, dan PCR (Polymerase
Chain Reaction ) antara lain digunakan untuk tes pada bayi, menetapkan status
individu yang seronegatif ,pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi
serokonversi, tes konfirmasi untuk HIV-2. Dari beberapa tes tersebut yang
paling lazim digunakan adalah tes ELISA.
b. Diagnosis AIDS
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV, Penderita dinyatakan sebagai
AIDS bila dalam perkembangan HIV selanjutnya menunjukan infeksi –
infeksi dan kanker opurtunistik yang mengancam jiwa penderita. Selain
infeksi dan kanker dalam penetapan CDC juga termasuk : enselopati sindrom
kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dengan hitungan CD4 < 200/ml CD4
menetapkan dimana infeksi HIV sudah dinyatakan sebagai AIDS (Djoerban,
2001).
2.5.6 Cara Penularan
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga
kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui:
1. Transmisi seksual, penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual
maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering
terjadi. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama

Universitas Sumatera Utara

laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti
kontak seksual penetrasi vaginal, anal (anus/dubur), oral (mulut) antara dua
individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual langsung mulut
ke penis (zakar) atau mulut ke vagina, merupakan risiko rendah tertular HIV.
Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang keluar dan masuk ke
dalam tubuh seseorang melalui ”pintu masuknya”, seperti adanya luka kecil
pada alat kelamin, mulut, gusi, dan atau penyakit gigi dan mulut yang diderita.
2. Transmisi non seksual, ada dua yaitu transmisi parental yaitu akibat
penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Dapat juga
terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan. Sedangkan
transmisi transplasental yaitu penularan dari ibu yang mengandung HIV
positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi
sewaktu hamil, melahirkan, dan sewaktu menyusui. Penularan melalui Air
Susu Ibu (ASI) termasuk penularan dengan risiko rendah. Selain itu juga
penularan HIV/AIDS dapat melalui transfuse darah atau produk darah yang
sudah tercemar.
Pada penularan HIV dari ibu ke bayi, lebih dari 90% merupakan akibat
penularan HIV dari ibu ke bayi selama kehamilan (saat bayi dalam uterus), saat
dilahirkan atau setelah dilahirkan (selama menyusui ASI) yang sering dikenal dengan
istilah “penularan perinatal”. Jika tidak dilakukan intervensi, sekitar sepertiga ibu

Universitas Sumatera Utara

dengan HIV positif (25 – 45%) akan mengantarkan virus ke janinnya melalui ketiga
jalan ini, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini berdasarkan penelitian De Cock,
dan kawan-kawan pada tahun 2000 (Maryunani, 2009)
Tabel 2.1 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Waktu

Risiko

Selama Kehamilan

5 – 10%

Selama Kelahiran/Persalinan

10 – 20%

Selama Menyusui ASI

10 – 15%

Keseluruhan Risiko Penularan

25 – 45 %

Sumber: (Depkes, 2005)
2.5.7. Faktor Risiko Penularan HIV Dari Ibu ke Bayi
Terdapat berbagai faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi, yaitu:
1. Selama kehamilan
a. Tingginya muatan virus (Viral Load) Ibu
Muatan virus HIV yang tinggi merupakan faktor utama yang memengaruhi
risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.
b. Infeksi plasenta (virus, bakteri, parasit)
Kekuatan plasenta dalam melindungi janin terhadap infeksi HIV
mengalami gangguan bila ada infeksi virus, bakteri, maupun parasit
sehingga memudahkan virus HIV menembus plasenta untuk menginfeksi
bayi, serta daya tahan tubuh ibu sangat rendah.
c. Ibu memiliki Infeksi Menular Seksual (IMS)
2. Selama kelahiran/persalinan

Universitas Sumatera Utara

a. Tingginya muatan virus (Viral Load) Ibu
Ibu yang baru terinveksi HIV menularkan ke bayinya selama persalinan
karena jumlah virus ibu sangat tinggi bila dibandingkan dengan jumlah
virus pada ibu sebelum atau selama kehamilan.
b. Ibu mengalami pecah ketuban dini
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan
risiko penularan sampai 2 kali lipat bila dibandingkan kurang dari 4 jam
sebelum persalinan. Hal ini disebabka karena proses persalinan yang
berlangsung lama dapat meningkatkan lamaya kontak antara bayi dengan
darah dan lendir ibu.
c. Persalinan yang invasif
Persalinan yang invasive seperti penggunaan elektroda, forceps dan
episiotomi dapat meningkatkan risiko penularan.
d. Khoriomnionitis yang disebabkan penyakit Infeksi Menular Seksual yang
tidak diobati atau infeksi lainnya.
3. Selama menyusui ASI
a. Ibu yang baru terinfeksi HIV
b. Durasi menyusui yang lama
c. Pemberian makanan campuran pada tahap awal , yaitu pemberian ASI yang
yang diberikan bersamaan dengan susu formula dan makanan padat lainnya
terutama yang telah terkontaminasi karena dapat merusak usus bayi
sehingga HIV dari ASI dapat masuk ke tubuh bayi.
d. Ibu yang mengalami mastitis/abses pada payudara

Universitas Sumatera Utara

e. Penyakit mulut pada bayi
Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dikurangi (dari 25 – 45 %)
menjadi 2% jika:
a. Saat dalam kandungan, diberikan obat ARV
b. Saat persalinan, dilakukan layanan persalinan yang aman (operasi caesar)
c. Pemberian makanan pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif dengan cara
yang tepat
2.6.

Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) HIV/AIDS

2.6.1. Definisi
Definisi atau pengertian dari pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi yang
dikandungnya atau yang popular dalam istilah bahasa Inggris Prevention of Mother to
Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan upaya untuk mencegah HIV pada

perempuan serta mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi (Maryunani, 2009).
2.6.2. Strategi Pelaksanaan PMTCT
Menurut WHO, pencegahan yang efektif dari ibu-ke-anak (PMTCT)
memerlukan tiga lapisan strategi, yaitu :
1.

Mencegah infeksi HIV di kalangan calon orang tua.

2.

Melakukan tes HIV dan intervensi pencegahan lain yang tersedia di layanan
yang berkaitan dengan kesehatan seksual seperti perawatan antenatal dan
postpartum.

3.

Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan di antara perempuan HIV
positif, memberikan konseling yang tepat dan dukungan bagi perempuan yang

Universitas Sumatera Utara

hidup dengan HIV untuk memungkinkan mereka membuat keputusan tentang
kehidupan reproduksi mereka.
WHO mengupayakan 4 prong/pilar untuk mencegah terjadinya penularan HIV
dari ibu ke bayi, yang dilaksanakan secara komprehensif yaitu:
1.

Pencegahan penularan HIV kepada perempuan usia reproduksi (Prong 1).
Aktifitas di prong 1 disebut juga dengan aktifitas pencegahan primer yang
bertujuan untuk menghindari penularan HIV pada perempuan usia
reproduktif. Kegiatan-kegiatan antara lain:
a. Menyebarluaskan informasi (Komunikasi Informasi Edukasi/KIE) tentang
HIV/AIDS
- Meningkatkan

kesadaran

perempuan

tentang

bagaimana

cara

menghindari penularan HIV dan IMS
- Menjelaskan manfaat dari konseling dan tes HIV secara sukarela
b. Mengadakan penyuluhan HIV/AIDS secara kelompok (Peer Group
Education)
- Mempelajari tentang pengurangan risiko penularan HIV dan IMS
(termasuk penggunaan kondom)
- Bagaimana bernegosiasi seks aman (penggunaan kondom) dengan
pasangan
c. Mobilisasi masyarakat
- Melibatkan petugas lapangan (Kader PKK, bidan, dan lain-lain) untuk
memberikan informasi pencegahan HIV dan IMS

Universitas Sumatera Utara

d. Konseling untuk perempuan negatif HIV
- Ibu hamil yang hasil tes nya negatif perlu didukung agar status dirinya
tetap negatif
- Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV
e. Layanan yang bersahabat untuk pria
- Layanan yang bersahabat untuk pria sehingga mudah diakses oleh
suami/pasangan ibu hamil.
- Mengadakan kegiatan kunjungan pasangan
2.

Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan terinfeksi
HIV (Prong 2). Aktifitas di prong 2 antara lain :
a. Mengadakan KIE tentang HIV/AIDS dan praktek seks yang aman
b. Menjalankan konseling dan tes HIV sukarela untuk pasangan
c. Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan Infeksi Menular Seksual
(IMS)
d. Melakukan promosi kondom
e. Menganjurkan ibu HIV positif mengikuti Keluarga Berencana yang
tepat
f. Senantiasa menerapkan kewaspadaan universal (Universal Access)
g. Membentuk dan menjalankan layanan rujukan

3.

Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil terinfeksi HIV ke bayi yang
dikandungnya, aktifitasnya antara lain:
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif meliputi layanan
pra persalinan, pasca persalinan serta kesehatan anak.

Universitas Sumatera Utara

b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela
Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan
keputusannya sendiri untuk melahirkan bayi secara operasi seksio
caesaria ataupun persalinan normal

c. Pemberian obat Antiretriviral
- Protokol pemberian ARV mrngikuti Pedoman Nasional Pengobatan
ARV di Indonesia (CD4/Limfosit)
- Untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, semua ibu hamil
diberi ARV pencegahan tanpa melihat CD4/Limfosit
- Pemberian ARV melalui jalur RS Rujukan ODHA
d. Konsultasi tentang makanan bayi
Menurut rekomendasi dari WHO dan UNICEF, bagi ibu yang HIV
positif, maka nutrisi bayi yang direkomendasikan adalah pengganti ASI
dengan syarat pengganti ASI tersebut harus mudah diterima,mudah
dilakukan, terjangkau, berkelanjutan, dan aman penggunaannya.
Pemberian ASI eksklusif hanya diizinkan untuk jangka pemberian yang
singkat.
e. Layanan persalinan yang aman (operasi caesar)
Untuk mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi yang terjadi
pada saat persalinan, maka operasi seksio caesaria berencana sebelum
saat persalinan tiba (atas dasar pilihan, bukan karena tindakan
emergensi) akan dapat menghindari bayi terkena kontak dengan darah

Universitas Sumatera Utara

dan lendir ibu. Operasi ini akan mengurangi risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi sebesar 50% hingga 66%.
4.

Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu terinfeksi
HIV beserta bayi dan keluarganya. Aktifitasnya antara lain :
a. Perawatan medis
- Pengobatan ARV jangka panjang
- Pengobatan gejala penyakitnya, pengobatan profilaksis, pengobatan
infeksi oportunistik
- Perawatan paliatif
- Bantuan pemeriksaan kondisi kesehatan (termasuk CD4 atau kadar
HIV/VL)
- Layanan klinik dari rumah sakit yang bersahabat jika anak sakit
b. Dukungan psikologis
- Konseling; penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara
pencegahan penularan HIV
- Dukungan dari pasangan
- Dukungan spiritual dari pemuka agama
- Dampingan sahabat
- Dukungan masyarakat
c. Dukungan HAM (Hak Azasi Manusia) dan Hukum
- Mengurangi stigma/diskriminasi
- Dukungan teman-teman sesama HIV positif
d. Dukungan sosioekonomis

Universitas Sumatera Utara

- Dukungan material/bantuan finansial
- Dukungan gizi/bantuan dan arahan nutrisi
Keempat prong/pilar tersebut secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh
pemerintah serta dapat dilaksanakan oleh institusi kesehatan swasta dan lembaga
swadaya masyarakat (Depkes, 2005).
Strategi pelaksanaan secara umum dimulai dari (1) pemberian profilaksis
kepada ibu hamil, (2) proses melahirkan melalui operasi caesar , (3) pemberian ASI
eksklusif tiga bulan atau diberikan pengganti ASI. Kalau tidak ada tindakan
intervensi, maka 15-30 persen bayi akan terinfeksi (KPAN, 2007).
Dari strategi tersebut, secara khusus, program PMTCT memiliki 4 sasaran
yakni: (1) mencegah agar para wanita usia reproduktif tinggi tidak terinfeksi HIV. (2)
Kalau ada pasien dengan HIV positif, diharapkan pasien tidak hamil. (3) Jika
terlanjur ibu dengan HIV terlanjur hamil, maka ada program PMTCT untuk
menangani (4) secara khusus, supaya anak yang di lahirkan tidak terinfeksi HIV
2.6.3

Konseling dan Tes HIV Sukarela
Konseling HIV menjadi salah satu komponen dari pelayanan kesehatan ibu

dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan.
Penatalaksanaan konseling dan tes HIV sukarela pencegahan penularan HIV dari ibu
ke bayi mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV Sukarela (Depkes RI,
2007).
Tes HIV sangat penting karena perempuan yang tidak tahu bahwa mereka
HIV positif tidak bisa mendapatkan manfaat dari intervensi jika tidak melakukan tes.
Pada tahun 2009 diperkirakan 125 juta wanita hamil di negara berpenghasilan rendah

Universitas Sumatera Utara

dan menengah sudah melakukan tes HIV. Namun masih banyak wanita yang menolak
untuk diuji karena takut menerima kenyataan jika hasil tes positif karena dapat
mengancam jiwa mereka atau karena mereka tidak percaya bahwa hasil mereka akan
tetap dirahasiakan, serta ketakutan akan stigma dan diskriminasi menyusul hasil
positif yang diterima. (WHO, 2010)
Tes HIV termasuk ke dalam aktivitas prong 2 pada rangkaian upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi secara komprehensif. Keputusan untuk
mengikuti tes / melakukan aktifitas di prong 2 akan mempengaruhi tindakan pada
prong selanjutnya.
Tes HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh
rumah sakit rujukan ODHA (Orang dengan HIV AIDS) yang telah ditetapkan
pemerintah. Ibu hamil menjalani konseling dan diberikan kesempatan untuk
menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV atau tidak. Di daerah
prevalensi HIV tinggi yang tidak terdapat layanan pencegahan penularan HIV dari
ibu ke bayi, untuk menentukan faktor-faktor risiko ibu hamil digunakan beberapa
kriteria, seperti memiliki penyakit menular seksual, berganti-ganti pasangan
pengguna narkoba, dan lain-lain.
Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan
perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi. Pada tiap jenjang pelayanan
kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV sukarela dalam paket pelayanan
kesehatan ibu dan angka dan layanan keluarga berencana, harus terdapat tenaga
petugas yang mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV
(Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.7.

Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Faktor predisposisi:
Pengetahuan
Sikap
Variabel demografi : umur,
pendidikan, dan pekerjaan.

Faktor pendukung:
Ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan
(Puskesmas, Mobile klinik,
LSM)

Faktor penguat:
Dukungan petugas kesehatan
Dukungan suami

Tindakan ibu
rumah
tangga
terhadap
pencegahan
penularan
HIV dari ibu
ke janin di
Kelurahan
Tanjung
Morawa
Pekan

Sumber : Teori Lawrence Green (1980)
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa perilaku ibu rumah tangga terhadap
pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin di Kelurahan Tanjung Morawa Pekan
dipengaruhi oleh adanya faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.
Tiga faktor tersebut mempunyai potensi dalam memengaruhi seseorang untuk
melakukan tindakan pencegahan terhadap penularan HIV dari ibu ke janin.
Dengan menggunakan kerangka konsep ini, maka akan dapat dilihat
bagaimana gambaran perilaku ibu yang meliputi gambaran pengetahuan, sikap,

Universitas Sumatera Utara

variable demografi, ketersediaan sarana/prasarana, sumber daya manusia, dukungan
petugas kesehatan, dukungan suami dan bagaimana tindakan ibu dalam pencegahan
penularan HIV kepada janin di kelurahan Tanjung Morawa Pekan tahun 2013.

Universitas Sumatera Utara