Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi Komunikasi

KEPERCAYAAN
DALAM KOMUNIKASI POLITIK:
TINJAUAN PSIKOLOGI
KOMUNIKASI

Dr. ISKANDAR ZULKARNAIN, M.Si.

DITERBITKAN OLEH USUPRESS BEKERJASAMA DENGAN
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

2016

USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU
Jl. Universitas No. 9 Medan 20155, Indonesia
Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

usupress.usu.ac.id
© USU Press 2016
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak
menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa
atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
ISBN 979 458 897 0
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Zulkarnain, Iskandar
Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi
Komunikasi / Iskandar Zulkarnain -- Medan: USU Press 2016.
v, 321 p.; ilus.: 24 cm
Bibliografi
ISBN: 979-458-897-0
1. Komunikasi - Politik
II. Zulkarnain, Iskandar

Dicetak di Medan, Indonesia

I. Judul


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan berkah,
nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
penulisan buku ini. Shalawat berangkaikan salam mari kita hadiahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Buku ini terinspirasi dari satu point materi dalam mata kuliah
Psikologi Komunikasi yang saya asuh, yakni Trust (Kepercayaan) dalam
proses komunikasi. Secara filsafat, kepercayaan dalam proses komunikasi
memegang peran yang sangat penting, khususnya bila diterapkan dalam
proses komunikasi politik. Kepercayaan akan menentukan, berhasil atau
gagalnya sebuah proses komunikasi politik. Berangkat dari inspirasi itu,
buku ini diberi judul: Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan
Psikologi Komunikasi. Untuk melengkapi isi buku ini, saya tambahkan
resume makalah-makalah “trust” yang juga merupakan tugas dalam mata
kuliah Filsafat dan Etika komunikasi yang juga saya asuh pada
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan Pascasarjana UINSU
Medan. Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa,
khususnya Sdr. Badrul Helmi, Lc., M.Kom. yang banyak membantu saya
dalam mewujudkan terbitnya buku ini.
Akhirnya penulis berharap buku ini bisa membawa manfaat bagi

kita semua. Amin.

Medan, 13 Juli 2016
Penulis,

Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si

iii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
BAB I

PENDAHULUAN ..................................................................... 1

BAB II KOMUNIKASI POLITIK ......................................................... 4
A. Pengertian Komunikasi ......................................................... 4
B. Pengertian Politik .................................................................. 7
C. Pengertian Komunikasi Politik ........................................... 10

D. Sejarah Ilmu Komunikasi Politik ........................................ 14
E. Unsur-unsur Komunikasi Politik ........................................ 19
F. Tujuan Komunikasi Politik ................................................. 26
G. Teori-teori dalam Komunikasi Politik ................................ 27
H. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik ........................... 33
I. Komunikasi Politik di Indonesia ......................................... 37
J. Pemilihan Umum ................................................................ 41
K. Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung ..................... 44
L. Dinamisasi Komunikasi Politik .......................................... 67
BAB III PSIKOLOGI KOMUNIKASI .................................................. 76
A. Pengertian Psikologi dan Sejarahnya .................................. 76
B. Perkembangan Manusia ...................................................... 83
C. Pengertian Komunikasi menurut Psikologi......................... 86
D. Pengertian Psikologi Komunikasi ....................................... 89
E. Karakteristik Komunikator ................................................. 91
F. Komunikasi Efektif ............................................................. 93
G. Karakteristik Manusia Komunikan ................................... 100
H. Sistem Komunikasi Intrapersonal ..................................... 128
BAB IV KEPERCAYAAN DALAM KOMUNIKASI POLITIK:
TINJAUAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI ........................... 139

A. Kepercayaan dalam Psikologi Komunikasi ...................... 139
B. Kepercayaan dalam Komunikasi Politik ........................... 151
C. Membangun Kepercayaan Publik ..................................... 159

iv

BAB V PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA MEDAN ........... 189
A. Sekilas Pilkada Serentak ................................................... 189
B. Proses Pemilihan Wali Kota Medan ................................. 197
C. Konflik dalam Pemilihan Wali Kota Medan .................... 231
D. Evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan:
Pendekatan Psikologi Komunikasi Mengenai Krisis
Kepercayaan Rakyat Terhadap Kepala Daerah ................ 238
BAB VI PENUTUP ............................................................................. 279
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 284

v

BAB I


PENDAHULUAN
Komunikasi politik sangat erat kaitannya dengan psikologi
komunikasi, di mana di antara kajian psikologi komunikasi adalah
persepsi yang merupakan inti komunikasi, termasuk komunikasi politik.
Dari persepsi, dibangunlah kepercayaan publik yang merupakan tujuan
utama komunikasi politik.
Pada tanggal 10 November 2010, mata pemerintah, masyarakat
Indonesia, bahkan dunia internasional tertuju ke Indonesia. Indonesia
menerima kehormatan sebagai salah satu negara yang menjadi tujuan
kunjungan politik Presiden AS Barack Obama. Seluruh perhatian tertuju
pada kunjungan Presidan AS itu. Media massa seakan dibombardir
dengan pidato kepresidenan Barack Obama yang terus diputar. Sebagai
pemimpin negara adikuasa, wajar jika kunjungan Presiden Barack Obama
memberi pengaruh secara luas.
Banyak hal yang terjadi selama 18 jam kunjungan Presiden
Obama. Pemberitaan di media elektronik hingga media cetak dihiasi
pernyataan-pernyataan Obama sebagai presiden. Banyak rencana-rencana
yang dirumuskan untuk hubungan kerjasama antara Indonesia dengan
Amerika Serikat. Secara jelas Presidan AS tersebut langsung menyatakan
bahwa ingin menjadi negara nomor satu untuk Indonesia dalam hal

kerjasama.
Fenomena tersebut tidak sekali saja terjadi di Indonesia.
Berdasarkan tinjauan psikologi komunikasi, terjadi perubahan opini di
masyarakat hanya dalam kurun waktu 18 jam saja saat kunjungan
Presiden Barack Obama. Pengaruh yang begitu besar, bahkan salah satu
media menyatakan bahwa kehadiran Presiden AS di Masjid Istiqlal akan
membawa pesan khusus mengenai kerukunan umat beragama di dunia.
Waktu yang begitu singkat tetapi berhasil membawa pengaruh yang
signifikan.

1

Jika disimak dengan seksama dengan kajian ilmu komunikasi,
secara psikologis terjadi perubahan pola pikir, sikap, hingga perilaku.
Kunjungan kepresidenan Barack Obama mengantarkan kepada
pembentukan pola pikir baru, sikap, perilaku mengenai pribadinya hingga
kedudukannya sebagai Presiden AS.
Terjadi proses komunikasi dalam kunjungan Presiden Barack
Obama. pidato kepresidenan, perilaku, dan ekspresi dari seorang
Pemimpin Negara AS adalah pesan. Pesan tersebut kemudian ditangkap

oleh pihak media massa yang menjadi saluran komunikasi massa. Setelah
pesan disebarluaskan dalam bentuk pemberitaan kemudian di tangkap
oleh masyarakat secara meluas, maka terbentuklah opini masyarakat,
sikap, perilaku, dan penentuan pilihan untuk mengambil keputusan.
Proses yang terjadi adalah proses komunikasi yang membawa
pengaruh terhadap psikologi massa. Pesan-pesan politik yang dibawa
melalui berbagai simbo-simbol tertentu diteruskan melalui media massa
dan kemudian sampai ke penerima pesan. Pesan yang diterima
memberikan pengaruh terhadap persepsi penerima pesan. Pesan yang
diterima dan sesuai dengan tujuan dari pengirim pesan akan berbuah pada
keefektifan suatu proses komunikasi. Poin penting adalah komunikasi
politik terjadi dalam proses yang singkat dengan pengaruh yang besar.
Komunikasi politik secara sadar maupun tidak sadar terus terjadi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai kebijakan politik
disampaikan untuk merubah pandangan terhadap suatu kepentingan.
Simbol-simbol tertentu dari sebuah partai politik bisa menjadi bagian dari
komunikasi politik. Begitu banyak hal yang terjadi dalam proses
komunikasi politik. Memandang besarnya pengaruh komunikasi politik,
komunikasi politik menjadi salah satu bidang ilmu yang berkembang.
Ilmu komukasi politik mengkaji unsur-unsur yang terlibat dalam proses

komunikasi.
Secara umum, isi buku ini membahas kepercayaan dalam
komunikasi politik menurut perspektif psikologi komunikasi.
Pembahasan dimulai dengan komunikasi politik yang meliputi pengertian
komunikasi, pengertian politik, pengertian komunikasi politik, sejarah
ilmu komunikasi politik, unsur-unsur komunikasi politik, tujuan
komunikasi politik, teori-teori dalam komunikasi politik, komunikasi
politik dalam sistem politik, komunikasi politik di Indonesia, pemilihan
umum, komunikasi politik dalam Pilkada langsung, dan dinamisasi
komunikasi politik.

2

Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan psikologi komunikasi
yang meliputi pengertian psikologi dan sejarahnya, perkembangan
manusia, pengertian komunikasi menurut psikologi, pengertian psikologi
komunikasi, karakteristik komunikator, komunikasi efektif, karakteristik
manusia komunikan, dan sistem komunikasi intrapersonal.
Pembahasan dilanjutkan dengan kepercayaan dalam komunikasi
politik: tinjauan psikologi komunikasi yang meliputi kepercayaan dalam

psikologi komunikasi, kepercayaan dalam komunikasi politik, dan
membangun kepercayaan publik.
Pembahasan berikutnya adalah pemilihan kepala daerah Kota
Medan (sebagai contoh komunikasi politik: tinjauan psikologi
komunikasi) yang meliputi pembahasan-pembahasan mengenai sekilas
Pilkada serentak, proses pemilihan Wali Kota Medan, konflik dalam
pemilihan Wali Kota Medan, dan evaluasi pemilihan Kepala Daerah Kota
Medan: pendekatan psikologi komunikasi mengenai krisis kepercayaan
rakyat terhadap Kepala Daerah. Pembahasan ditutup dengan Bab Penutup
yang berisi kesimpulan.

3

BAB II

KOMUNIKASI POLITIK
A. Pengertian Komunikasi
Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa Latin
communico yang berarti membagi. Yang dimaksud membagi adalah
membagi gagasan, ide, atau pikiran antara seseorang dan orang lain.

Communico berakar dari kata communis yang berarti sama, sama arti atau
sama makna. Dalam komunikasi, hakikatnya harus terkandung kesamaan
makna atau kesamaan pengertian. Jika tidak ada kesamaan pengertian di
antara mereka yang melakukan komunikasi, maka komunikasi tidak akan
berlangsung. Tegasnya tidak ada komunikasi(Shoelhi:2009:2).
Komunikasi manusia itu dapat dipahami sebagai interaksi
antarpribadi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik, misalnya
simbol verbal dan nonverbal. Seperti kata Mehrabian, 55% dari
komunikasi manusia dinyatakan dalam simbol nonverbal, 38% melalui
nada suara, dan 7% komunikasi yang efektif dinyatakan melalui katakata. Simbol-simbol itu dinyatakan melalui sistem yang langsung seperti
tatap muka atau media (tulisan, visual dan aural). Melalui pertukaran
simbol-simbol yang sama dalam menjelaskan informasi, gagasan dan
emosi di antara mereka itulah, akan lahir kesamaan makna atas pikiran,
perasaan dan perbuatan.
Manusia harus berkomunikasi, karena itu ia harus bicara, seperti
kata Knapp dan Vangelisti:
1. Orang bicara tentang relasi mereka dalam pekerjaan, bagaimana
mereka terlibat, bagaimana kebutuhan untuk menyatakan
tenaganya.
2. Orang bicara tentang komitmen yang berkaitan dengan relasi.
Komitmen merupakan kondisi awal dari sebuah relasi.

4

3.

Orang bicara tentang relasi sebagai keterlibatan, terlibat bersama
secara kuantitatif maupun kualitatif dalam percakapan, dialog,
dan membagi pengalaman.
4. Orang bicara tentang relasi dalam istilah manipulasi, misalnya
bagaimana saling mengawasi.
5. Orang bicara tentang relasi dalam istilah untuk
mempertimbangkan dan memperhatikan.
Dari sini akan muncul "sebab" dan "akibat" bagi lahirnya sebuah
komunitas bersama, karena kesamaan latar belakang sosial dan
kebudayaan.
Sekelompok orang yang mengikuti arisan atau sekelompok
mahasiswa, hanya bisa tumbuh dan berkembang sebagai sebuah
komunitas atau bahkan masyarakat, kalau setiap anggotanya saling
bertukar pengalaman, makin hari makin mendalam dan terjadi berulangulang. Sebagaimana dikatakan para ahli komunikasi, bahwa komunikasi
itu meliputi usaha untuk menciptakan pesan, mengalihkan pesan,
memberikan diri kita sebagai sebuah tempat yakni di hati dan otak orang
lain untuk menerima pesan. Hasil dari komunikasi bersama itu adalah
interpersonal understanding (pemahaman atas hubungan antarpribadi)
karena ada kesamaan orientasi perseptual, kesamaan sistem kepercayaan
dan keyakinan, serta kesamaan gaya berkomunikasi.
Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi,
setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah
peristiwa komunikasi. Jadi, kalau satu komponen kurang maka
komunikasi tidak akan terjadi. Ia menyatakan bahwa komunikasi
merupakan:
1. Transmisi informasi.
2. Transmisi pengertian.
3. Menggunakan simbol-simbol yang sama.
Bernardo Attias menyatakan bahwa definisi komunikasi itu harus
mempertimbangkan tiga model komunikasi (model retorikal dan
perspektif dramaturgi, model transmisi, dan model ritual). Jadi
komunikasi itu:
1. Membuat orang lain mengambil bagian, menanamkan,
mengalihkan berita atau gagasan.
2. Mengatur kebersamaan untuk kepentingan bersama.
3. Membuat orang yang terlibat berkomunikasi.
4. Membuat orang saling berhubungan.
5. Mengambil bagian dalam kebersamaan (Liliweri:2003:6-8).

5

Definisi komunikasi secara terminologi banyak diperdebatkan
dan diperselisihkan oleh para pakar komunikasi, karena para pakar
komunikasi berasal dari berbagai disiplin ilmu. Definisi komunikasi dari
pakar politik dan sosiologi seperti Harold Dwight Lasswell berbeda
dengan definisi komunikasi dari pakar elektronik seperti Claude Shannon
yang mendefinisikan komunikasi dengan pendekatan scientific. Ia
menyatakan “Communication is the transmission and reception of
information” (Taufik:2012:30), dan Harold Dwight Lasswell dalam
artikelnya “The Structure and Function of Communication in Society,”
menulis: “Convenient way to describe an act of communication is to
answer the following questions: “Who says what in which channel to
whom and with what effects?”(Lasswell:1948:117).
Everett M. Rogers, seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika
yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi,
khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa
“Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber
kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah
tingkah laku mereka”(Cangara:2014:22).
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari satu
pihak kepada pihak lain untuk mendapatkan saling pengertian
(Wursanto:2005:157).
Walstrom – dari pelbagai sumber – menampilkan beberapa
definisi komunikasi, yakni:
1. Komunikasi antarmanusia sering diartikan dengan pernyataan diri
yang paling efektif.
2. Komunikasi merupakan pertukaran pesan-pesan secara tertulis
dan lisan melalui percakapan, atau bahkan melalui penggambaran
yang imajiner.
3. Komunikasi merupakan pembagian informasi atau pemberian
hiburan melalui kata-kata secara lisan atau tertulis dengan metode
lainnya.
4. Komunikasi merupakan pengalihan informasi dari seseorang
kepada orang lain
5. Komunikasi adalah pertukaran makna antarindividu dengan
menggunakan sistem simbol yang sama.
6. Komunikasi adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan
seseorang melalui suatu saluran tertentu kepada orang lain
dengan efek tertentu.

6

7. Komunikasi adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan
atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis,
melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi,
atau hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna
(Liliweri:2003:8).
Dari definisi-definisi komunikasi di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikan dengan menggunakan media komunikasi yang mana
penyampaian pesan itu menimbulkan pengaruh.

B. Pengertian Politik
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics
atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik.
Di Indonesia terkenal pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani
Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia
atau the good life. Politik dalam arti ini begitu penting karena sejak
dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik
mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber daya alam,
atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga
merasa bahagia dan puas. Ini adalah politik.
Usaha untuk menggapai kebahagiaan itu dapat ditempuh melalui
berbagai cara, yang kadang-kadang bertentangan satu dengan lainnya.
Akan tetapi semua pengamat setuju bahwa tujuan itu hanya dapat dicapai
jika memiliki kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem
politik). Kekuasaan itu perlu dijabarkan dalam keputusan mengenai
kebijakan yang akan menentukan pembagian atau alokasi dari sumber
daya yang ada. Para sarjana politik cenderung untuk menekankan salah
satu saja dari konsep-konsep ini, akan tetapi selalu sadar akan pentingnya
konsep-konsep lainnya.
Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa politik
dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik
(publicpolicy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).
Jika dianggap bahwa ilmu politik mempelajari politik, maka
perlu kiranya dibahas dulu istilah ‘politik’ itu. Pemikiran mengenai
politik (politics) di dunia Barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani
Kuno abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap

7

politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity)
yang terbaik. Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia
karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan
rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas
yang tinggi. Pandangan normatif ini berlangsung sampai abad ke-19.
Dewasa ini definisi mengenai politik yang sangat normatif itu
telah terdesak oleh definisi-definisi lain yang lebih menekankan pada
upaya (means) untuk mencapai masyarakat yang baik, seperti kekuasaan,
pembuatan keputusan, kebijakan, alokasi nilai, dan sebagainya. Namun
demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu
masyarakat yang lebih baik daripada yang dihadapinya, atau yang disebut
Peter Merkl: “Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha
mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at its
best is a noble quest for a good order and justice)” betapa samar-samar
pun tetap hadir sebagai latar belakang serta tujuan kegiatan politik.
Dalam pada itu tentu perlu disadari bahwa persepsi mengenai baik dan
adil dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi masing-masing dan zaman
yang bersangkutan.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah
usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik
oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah
kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini
menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut
proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan
itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apa yang menjadi tujuan
dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut pilihan antara beberapa
alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan
itu.
Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies)
yang menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation) dari sumber daya
alam, perlu dimiliki kekuasaan (power) serta wewenang (authority).
Kekuasaan ini diperlukan baik untuk membina kerja sama maupun untuk
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara
yang dipakainya bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu bersifat
paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan ini hanya merupakan
perumusan keinginan (statement). Akan tetapi, kegiatan-kegiatan ini
dapat menimbulkan konflik karena nilai-nilai (baik yang materil maupun
yang mental) yang dikejar biasanya langka sifatnya. Di pihak lain, di
negara demokrasi, kegiatan ini juga memerlukan kerja sama karena

8

kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada
dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik (conflict
resolution) atau konsensus (consensus).
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaannya,
kegiatan politik, di samping segi-segi yang baik, juga mencakup segi-segi
yang negatif. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat
manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk.
Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan
sering saling bertentangan, mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga,
malu, dan marah. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita acapkali
berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji, atau seperti
dirumuskan oleh Peter Merkl sebagai berikut: “Politik, dalam bentuk
yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan
kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (Politics at its worst is a selfish
grab for power, glory and riches)!” Singkatnya, politik adalah perebutan
kuasa, takhta, dan harta (Budiardjo:2008:13-15).
Di bawah ini ada tiga sarjana yang menguraikan definisi politik
yang berkaitan dengan masalah konflik dan consensus:
1. Menurut Rod Hague dan kawan-kawan: “Politik adalah kegiatan
yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai
keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui
usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara
anggota-anggotanya (Politics is the activity by which groups
reach binding collective decisions through attempting to
reconcile differences among their members).”
2. Menurut Andrew Heywood: “Politik adalah kegiatan suatu
bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan
mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur
kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala
konflik dan kerja sama (Politics is the activity through which a
people make, preserve and amend the general rules under which
they live and as such is inextricaly linked to the phenomen of
conflict and cooperation)”(Budiardjo:2008:15-16).
3. Dalam pandangan Dye, politics didefinisikan sebagai "the
management of conflict" (Dye:1988:1).
Definisi ini didasarkan pada satu anggapan bahwa salah satu
tujuan pokok pemerintahan adalah untuk mengatur konflik. Jadi,
pemerintahan sendiri pada dasarnya diperlukan untuk
memberikan jaminan kehidupan yang tenteram bagi

9

masyarakatnya, terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik di
antara individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Seperti
dikatakan Dye, "the management of conflict is one of the basic
purposes of government." Untuk bisa mengatur konflik tentu
tidak bisa menghindari pentingnya kekuasaan dan otoritas formal
seperti dinyatakan dalam pengertian sebelumnya. Penguasa yang
tidak memiliki kekuasaan tidak akan pernah mampu mengatasi
masalah-masalah yang sewaktu-waktu muncul di masyarakat.
Konsekuensinya, ia dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi
dan dianggap tidak berfungsi. Bahkan pada tingkat tertentu,
terutama jika tetap bertahan berkuasa, penguasa seperti itu
memiliki potensi otoriter, dan berakibat pada situasi semakin
melemahnya kedaulatan rakyat. Dalam keadaan seperti ini,
komunikasi politik akan semakin kehilangan fungsi yang
sesungguhnya (Muhtadi: 2008b:29).
Di samping itu ada definisi-definisi lain yang lebih bersifat
pragmatis. Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang dijumpai
disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau
unsur dari politik. Unsur ini diperlukannya sebagai konsep pokok yang
akan dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lain. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep pokok itu adalah:
1. Negara (state).
2. Kekuasaan (power).
3. Pengambilan keputusan (decision making).
4. Kebijakan (policy, beleid).
5. Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) (Budiardjo:
2008:16-17).

C. Pengertian Komunikasi Politik
Dengan menggunakan konsep dasar komunikasi dan kebudayaan,
komunikasi politik juga pada dasarnya merupakan bagian dari, dan
dipengaruhi oleh, budaya politik suatu masyarakat. Pada saat yang sama,
komunikasi politik juga dapat melahirkan, memelihara dan mewariskan
budaya politik. Sehingga dengan memperhatikan struktur pesan serta
pola-pola komunikasi politik yang diperankannya, maka dapat dianalisis
budaya politik suatu masyarakat (Muhtadi: 2008b:27).

10

Menurut Rush dan Althoff, komunikasi politik adalah transmisi
informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik
kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem
publik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik; dan proses
sosialisasi, partisipasi, serta rekrutmen politik bergantung pada
komunikasi (Althoff dan Rush: 1997:255).
Secara sederhana unsur-unsur tersebut digambarkan seperti
berikut:
BUDAYA POLITIK

SISTEM POLITIK

KOMUNIKASI POLITIK

Gambar 1. Unsur-unsur Politik (Muhtadi: 2008b:28).
Sampai saat ini, sudah banyak definisi tentang komunikasi
politik. Berikut ini adalah beberapa diantaranya:
1. Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada
dalam setiap sistem politik. Komunikasi politik merupakan
proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat enam
fungsi lainnya itu dijalankan, yaitu sosialisasi dan rekrutmen
politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, membuat
peraturan, aplikasi peraturan, dan ajudikasi peraturan. Hal ini
berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren
di dalam setiap fungsi sistem politik.
2. Process by which a nation's leadership, media, and citizenry
exchange and confer meaning upon messages that relate to the
conduct of public policy (Komunikasi politik adalah proses di
mana pemimpin bangsa, media, dan warga negara mengubah dan
memberi makna pada pesan-pesan yang berhubungan dengan
pelaksanaan kebijakan umum).
3. Communicatory activity considered political by virtue of its
conse-quences, actual, and potential, that it has for the
funcioning of political system (Aktivitas komunikasi dikatakan
bersifat politik berdasarkan konsekuensi, kebenaran, dan
potensinya yang memiliki fungsi pada sistem politik).

11

4. Political communication refers to any exchange of symbols or
messages that to a significant extent have been shaped by or have
consequences for the political system (Komunikasi politik
memiliki makna setiap perubahan simbol-simbol dan pesan-pesan
yang signifikan terhadap suatu keadaan politik atau memiliki
konsekuensi terhadap sistem politik).
5. Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik,
yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi
masyarakat serta mengaturnya sedemikian rupa "penggabungan
kepentingan"
(interest
aggregation)
dan
"perumusan
kepentingan" (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi
kebijakan politik.
6. Komunikasi politik merupakan penyebaran aksi, makna, atau
pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik,
melibatkan unsur-unsur komunikasi, seperti komunikator, pesan,
dan lainnya.
7. Political communication is a field of communications that is
concerned with politics (Komunikasi politik merupakan area
komunikasi yang memiliki perhatian khusus terhadap aspek
politik).
8. Komunikasi politik adalah aktivitas komunikasi yang bermuatan
politik untuk tujuan kebajikan dengan berbagai konsekuensi yang
mengatur tingkah laku manusia dalam keadaan konflik.
9. Komunikasi politik adalah yang diarahkan pada pencapaian suatu
pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh
jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya
melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembagalembaga politik.
10. Komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesanpesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan
kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah.
Pendapat ilmuwan politik (dalam hal ini adalah ilmuwan politik
behavioralis) agak berbeda dengan pandangan ilmuwan komunikasi
dalam melihat komunikasi politik. Apabila ilmuwan komunikasi lebih
banyak membahas peranan media massa dalam komunikasi politik
(dengan sedikit perhatian pada komunikasi antarpribadi), para ilmuwan
politik mengartikan komunikasi politik sebagai proses komunikasi yang
melibatkan pesan politik dan aktor politik dalam setiap kegiatan
kemasyarakatan. Ilmuwan komunikasi menilai saluran komunikasi dalam

12

bentuk media massa merupakan saluran komunikasi politik yang sangat
urgen. Sebaliknya ilmuwan politik menilai saluran media massa dan
saluran tatap muka memainkan peranan yang sama pentingnya. Namun,
ilmuwan politik dan ilmuwan komunikasi sama-sama memandang bahwa
pesan dan media memiliki peranan yang penting dalam proses
komunikasi politik. Keduanya memberikan makna terhadap sebuah
aktivitas komunikasi politik. Pesan dan media senantiasa ada serta
berkembang seiring dengan kemajuan kajian dan aktivitas komunikasi
politik pada tataran praktis. Di antara prasyarat yang lain, pesan dan
media membuat komunikasi politik memiliki fungsi strategis.
Menurut Ardial (2010), fungsi komunikasi politik dapat dilihat di
dalam fungsi-fungsi sistem politik yang lainnya. Komunikasi politik
merupakan proses yang menentukan keberhasilan fungsi-fungsi lainnya,
sedangkan keberhasilan penyampaian pesan dalam setiap fungsi
menentukan keberhasilan pelaksanakaan fungsi bersangkutan.
Artikulasi kepentingan misalnya, sangat bergantung pada
komunikasi politik. Tanpa adanya komunikasi politik, arlikulasi
kepentingan adalah benda mati karena artikulasi itu sendiri tidak ada.
Menurut Almond, artikulasi kepentingan dijalankan oleh organisasi
politik dalam bentuk penyampaian kepentingan yang terdapat di dalam
masyarakat kepada penguasa politik. Proses komunikasinya terletak pada
penyampaian. Keberhasilan penyampaian pesan memainkan peranan
yang amat penting dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi
artikulasi kepentingan.
Contoh lain tentang pentingnya komunikasi politik dapat
diperhatikan dalam proses pembuatan peraturan (rule making) atau fungsi
kelima dari sistem politik. Komunikasi memainkan peran yang sangat
penting dalam proses pembuatan peraturan (undang-undang ataupun
bentuk ketentuan peraturan lainnya). Pihak yang membuat peraturan
dituntut untuk menjalin kerja sama, hubungan dan komunikasi yang baik
antara sesama mereka. Absennya hal-hal tersebut tentu saja akan sangat
menghambat keberhasilan fungsi pembuat peraturan.Selain itu, para
pengambil kebijakan sangat perlu membangun komunikasi dengan
masyarakat. Sebagai negara dengan sistem demokrasi, suara rakyat harus
sangat didengar oleh para penguasa atau pengambil kebijakan. Rakyat
memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya dengan berbagai
bentuk komunikasi. Dalam proses penyampaian aspirasi, komunikasi
politik sangatlah penting dan tidak bisa dipisahkan keberadaannya.

13

Dalam perkembangannya, komunikasi politik menjadi tidak
terpisahkan dalam proses kampanye politik. Sistem demokrasi di
Indonesia yang mengatur proses pemilihan secara langsung, baik
legislatif, presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur,bupati/wakil
bupati, dan walikota/wakil walikota, menjadikan komunikasi politik
semakin fungsional. Setelah reformasi, proses sosialisasi kandidat
pemimpin semakin variatif dan menarik. Kemasan kampanye politik kini
sudah berubah layaknya kemasan produk makanan atau pakaian.
Kampanye politik tidak lagi hanya pada persoalan visi misi, tetapi juga
memoles kandidat, menciptakan pesan dan mengatur ritme kemunculan
di media adalah bagian penting yang harus disentuh. Jika tidak dapat
melakukannya sendiri, para kandidat akan menyewa agen iklan
profesional untuk membantu mengemas proses kampanye politiknya.
Inilah abad citra di mana politik tidak cukup dengan substansi, tetapi juga
harus memperhatikan citra sebagai tuntutan dari kepentingan politikus
yang sedang "dijajakan" dan "ditawarkan" kepada publik sebagai calon
pemilihnya (Tabroni:2012:18-20).

D. Sejarah Ilmu Komunikasi Politik
Sebenarnya, karya tentang komunikasi politik sudah ada sejak
zaman Aristoteles pada tahun 350 SM. Saat itu, Aristoteles sudah
mengkaji bagaimana sebuah pesan politik disampaikan kepada khalayak.
Dalam perkembangannya, komunikasi politik pun menjadi sebuah
disiplin ilmu tersendiri. Penetapan komunikasi politik sebagai ilmu,
terhitung sejak dibentuknya divisi komunikasi politik oleh International
Communication Association (ICA) dan American Political Science
Association (APSA) pada awal tahun 70-an.
Studi komunikasi politik mulai marak sejak Perang Dunia I.
Sejarah komunikasi politik seperti dijelaskan Lynda Lee Kaid (2004)
tidak lepas dari dua tokoh ternama, yaitu Walter Lippmann (1922) dan
Harold Dwight Lasswell (1927).
Lippmann menyatakan peran media massa dalam membentuk
opini publik. Yang menjadi konsentrasi Lippmann adalah kebutuhan akan
kebebasan media massa yang secara normatif dan publik yang
terinformasikan. Sedangkan Lasswell konsen di bidang analisis
propaganda (propaganda analysis). Disertasinya sendiri tentang analisis
isi pesan propaganda yang dilakukan Jerman VS Perancis, Inggris, dan

14

Amerika Serikat pada Perang Dunia I. Analisisnya menggunakan model
lima pertanyaan yang sangat terkenal dalam ilmu komunikasi, yaitu “Who
says what in which channel to whom and with what effects?” Dua tokoh
ini hidup pada masa Perang Dunia I, di mana pada masa itu propaganda
(istilah "komunikasi massa" yang secara umum kita kenal) belum
dikenal. Pada saat itu yang digunakan adalah istilah public opinion and
propaganda.
Dalam praktiknya, proses opini publik dan propaganda selalu
menggunakan media sebagai saluran komunikasinya. Dengan
menggunakan media massa diharapkan dapat berdampak lebih luas
kepada publik seiring dengan tuntutan massa dan perkembangan
teknologi informasi. Sesuai dengan kajian komunikasi, di mana media
massa selalu memiliki efek yang cukup kuat kepada publik.
Paul F. Lazarsfeld (13 Februari 1901 - 30 Agustus 1976) dengan
Communication Effect and the Erie County Study lebih dikenal dengan
fokus kajiannya pada efek media massa. Ia juga dikenal sebagai ilmuwan
sosial yang menggunakan metodologi kuantitatif dalam melakukan studi
tentang perilaku pemilih yang dikenal dengan Erie County Study dalam
kasus pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1940. Dalam
penelitian itu, Lazarsfeld melihat bagaimana efek media massa
mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan presiden. Penelitiannya
tersebut menemukan bahwa media massa tidak banyak berpengaruh
terhadap perilaku pemilih waktu itu, kebanyakan pemilih (followers)
sudah menentukan pilihan melalui opinion leaders sebelum masa
kampanye dimulai. Hasil penelitian ini dikenal dengan two step flow
model.
Pada Abad 21, politik mulai dilihat sebagai persaingan untuk
memperoleh sumber daya yang terbatas. Bentley berpandangan bahwa
esensi politik adalah tindakan kelompok. Bentley membedakan kelompok
berdasarkan kepentingannya, dan melihat bagaimana interaksi
antarkelompok tersebut. Ini dikenal juga dengan model pluralis. Selain
Bentley, ada David Truman dan Robert Dahl. Hal ini terkait dengan studi
tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan kampanye.
Studi komunikasi politik juga berkembang menjadi kajian
tentang efek dan dampak. Di sini studi komunikasi politik terfokus pada
kajian tentang peran media massa dalam politik, seperti agenda setting
dan framing sehingga keberadaan media dalam kajian komunikasi politik
menjadi tidak bisa dipisahkan. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap
proses komunikasi politik mensyaratkan keberadaan media massa kendati

15

tidak setiap komunikasi politik dalam praktiknya menggunakan media
massa (Tabroni:2012:20-22).
Menurut Lely Arrianie, komunikasi politik kian hari kian menjadi
kajian yang menarik perhatian. Dalam perkembangannya, komunikasi
politik tidak hanya menarik bagi mereka yang fokus pada kajian ini,
tetapi juga bagi mereka yang fokus pada kajian komunikasi dan politik
secara akademis. Selain itu, komunikasi politik juga menjadi menarik
bagi para aktivis, politikus, serta profesional di bidang komunikasi dan
politik. Komunikasi politik sebagai disiplin ilmu pada dasarnya masih
relatif baru, terlebih di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat dalam Lely
menyatakan bahwa di Amerika sekalipun komunikasi politik masih
mencari bentuk. Namun dalam realitasnya, komunikasi dan politik
sekaligus pemanfaatan komunikasi untuk kepentingan politik sebetulnya
telah berlangsung sangat lama (Arrianie:2006:12).
Walaupun banyak pakar yang telah berkontribusi terhadap
penemuan dan pengembangan komunikasi politik, Arrianie menyebutkan
paling tidak ada empat orang yang dianggapnya sebagai funding fathers
komunikasi studi komunikasi politik di Amerika Serikat. Pada dasarnya,
mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Kurt Lewin, Paul F.
Lazarsfeld dan Carl I. Hovland memiliki latar belakang pendidikan
psikologi, sedangkan Harold Dwight Lasswell memiliki latar belakang
ilmu politik. Pada tahun 1927, Lasswell menulis buku Propaganda
Technique in the Word War. Dalam bukunya yang berjudul The Structure
and Functions of Communication in Society dengan formula who says
what in wich channel to whom with what effect, Lasswell menghadirkan
sebuah karya monumental yang terus dikembangkannya dan menjadi
rujukan para pakar dan mahasiswa termasuk di Indonesia. Pada tahun
1936, Lasswell pun menulis buku hasil penelitiannya yang lain tentang
politik yang sangat populer, yaitu Politics: Who Gets What, When, How.
Selain Lasswell, beberapa muridnya, seperti Ithiel de Sola Pool,
V.O.Key dan Gabriel Almond, juga memiliki minat yang sama dalam
pengembangan komunikasi politik. Key misalnya dengan detail
mempertemukan komunikasi dan politik dalam bukunya Public Opinion
and American Democracy. Pool menulis buku The People Look at
Educational Television: Candidates, Issue, and Strategies; a Computer
Simulation of the 1960 Election Campaign, dan Trend in Content
Analysis. Almond juga telah mengkaji berbagai konsep untuk memahami
fungsi komunikasi dan sistem politik.

16

Menurut Arrianie, di Eropa juga dikembangkan beberapa
penelitian komunikasi politik berkaitan dengan studi opini publik,
perkembangan arus sosiokultural, telaah hubungan antara media dengan
pemerintah, juga sistem informasi yang berlangsung pada institusi
birokratis. Fenomena ini ternyata memiliki relevansi dominan pada
penelitian komunikasi politik di Indonesia sampai sekarang.
Sebagian besar penelitian komunikasi yang menyentuh bidang
politik umumya lebih banyak tersajikan dalam bentuk penelitian tentang
pemberian suara (voting), serta pengaruh komunikasi terhadap responden
khalayak tentang kampanye. Penelitian tentang pemberian suara dalam
Pemilu dilakukan oleh Paul L. Lazarsfeld dalam The People's of Opinion
Formation in a Presidential Campaign. Bersama Elihu Katz, Lazarsfeld
juga meneliti tentang Personal Influence: the Part Played by People in
the Flow or Mass Communications. Kemudian Campbell, Converse,
Miller dan Stokes meneliti tentang The Voters Decides (Tabroni:2012:2223).
Menurut Ardial, Lazarsfeld dan kawan-kawan menyimpulkan
bahwa kontak tatap muka adalah faktor penyebab terpenting dalam
perubahan pilihan para pemilih. Hubungan yang erat dengan sesama
anggota masyarakat yang dikenal baik dan dipercaya merupakan jaminan
bahwa informasi yang disampaikan oleh tokoh tersebut layak diikuti.
Sifat-sifat hubungan tatap muka langsung memungkinkan komunikan
(followers) untuk mendapat lebih banyak informasi dari pemuka pendapat
(opinion leaders) (Ardial:2010:6).
Model dua tahap penyebaran arus komunikasi ini (two step flow
model) menganut pandangan bahwa media massa sebelumnya
memainkan peranan yang penting dalam penyebaran informasi. Tanpa
penyebaran media massa yang cukup luas, model dua tahap penyebaran
arus komunikasi tersebut tidak akan banyak berarti. Studi Lazarsfeld,
Berelson dan Gaudet, menurut Ardial, juga menemukan bahwa media
massa telah memainkan peranan penting sebagai penyalur informasi pada
waktu penelitian mereka berlangsung. Sejak awal surat kabar memainkan
peranan terpenting di antara berbagai bentuk media massa sebagai
penyalur informasi.
Kaitan antara media massa dan tingkah laku pemilih dalam
Pemilu telah banyak dikaji terutama oleh ilmuwan komunikasi. Dalam
bukunya yang berjudul The Effects of Mass Communication on Political
Behavior, Sidney Kraus dan Dennis Davis (1976) berpendapat bahwa
media massa memainkan peranan penting dalam kampanye Pemilu.

17

Bahkan, mereka berpendapat bahwa semenjak tahun 1950-an di Amerika
Serikat televisi berkembang pesat dan telah berhasil menggeser kontak
tatap muka sebagai saluran terpenting dalam penyampaian informasi
politik.
Dengan membandingkan studi Lazarsfeld dan kawan-kawan
yang diadakan pada tahun 1940 dengan tulisan Kraus dan Davis terlihat
bahwa model dua tahap penyebaran arus komunikasi menjadi kurang
relevan dengan meningkatnya peranan televisi sebagai media massa.
Televisi menjadi media massa yang paling banyak dikaji oleh para
ilmuwan sosial mengingat daya tariknya yang hebat sebagai sarana
hiburan yang relatif murah. Daya tarik kuat yang dimiliki oleh televisi
sebagai sarana hiburan membuat banyak pihak (termasuk pemerintah)
memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat
karena jangkauan audiensnya yang jauh lebih luas dibandingkan dengan
media massa lainnya.
Menyadari pentingnya dampak televisi, pada tahun 1976,
pemerintah Indonesia (Departemen Penerangan) bekerja sama dengan
LRKN-LIPI (pada waktu itu) dan East West Center mengadakan
penelitian tentang dampak televisi bagi masyarakat Indonesia. Arti
penting penyelenggaraan penelitian ini juga didorong oleh pemakaian
sistem satelit domestik Palapa untuk menyiarkan televisi ke seluruh
wilayah Indonesia. Penelitian tersebut telah menghasilkan sejumlah
laporan penelitian yang telah dimanfaatkan oleh Departemen Penerangan
dalam perumusan kebijakannya.
Studi tingkah laku pemilih berkaitan erat dengan studi dampak
komunikasi dan studi sikap mental (attitude). Studi dampak komunikasi
mempelajari dampak komunikasi terhadap orang yang terkena arus
komunikasi tersebut. Asumsinya, pesan yang disampaikan melalui komunikasi ditangkap oleh alam pikiran si penerima yang pada gilirannya
dapat mempengaruhi cara berpikir dan tingkah laku orang bersangkutan.
Dampak yang diperkirakan terjadi adalah bertambahnya informasi.
Informasi tersebut dapat mengakibatkan terciptanya alam pikiran dan
tingkah laku yang diinginkan oleh masyarakat maupun tingkah laku yang
bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat bersangkutan. Sedangkan
para sarjana psikologi sosial tidak hanya menekankan pada faktor aksi
diri yang menentukan perilaku komunikasi manusia dalam penelitiannya,
melainkan juga mempertimbangkan faktor interaksi antara individu
dengan lingkungan sosialnya. Artinya, selain oleh faktor internal,
perilaku komunikasi manusia juga ditentukan oleh faktor eksternal.

18

Penelitian dan kajian semacam ini bahkan terus dikaji oleh para tokoh
psikologi khususnya psikologi sosial dalam memahami komunikasi
politik.
Para sosiolog juga menurut Arrianie, memberikan sumbangan
yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan studi komunikasi
politik. Salah satunya adalah Herbert Blumer yang selalu menegaskan
dalam teorinya bahwa manusia sebetulnya bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna yang ada pada sesuatu tersebut. Pandangan inilah
yang memunculkan perspektif interaksionis simbolik bahwa makna dan
tindakan itu sesungguhnya saling mempengaruhi, dan penginterpretasian
yang terjadi di dalamnya melibatkan kelangsungan, gabungan, saling
menukar makna kelakuan, suatu transaksi di mana sebab akibat tidak
dapat dibedakan.
Manusia bertindak dengan mempertimbangkan segala hal yang
diamati dan mengarahkan perilakunya pada suatu perbuatan sebagaimana
ia menginterpretasikannya. Sebuah pendekatan yang jika diketengahkan
dalam konteks komunikasi politik akan sangat menentukan bagaimana
para pelakunya bermain dengan sangat cair di panggung politik termasuk
interpretasinya terhadap wilayah panggung politik yang menjadi tempat
pementasan skenario politik.
Komunikasi politik juga mempelajari mata rantai antara
komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara disiplin
komunikasi dan politik (hybrid interdisipliner). Jika disimak dari
berbagai literatur yang ada, ternyata komunikasi politik telah menjadi
kajian tersendiri (field inquiry) sejak tergabung dalam organisasi ilmiah
International Communication Association bersama dengan divisi lain,
seperti divisi sistem informasi, komunikasi antarpribadi, komunikasi
massa, komunikasi organisasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi
instruksional, dan komunikasi kesehatan (Tabroni:2012:23-25).

E. Unsur-unsur Komunikasi Politik
Karena komunikasi politik pada dasarnya merupakan salah satu
dari banyak bentuk komunikasi, baik dari sisi jumlah pelakunya yang
relatif sederhana seperti halnya komunikasi antarpribadi (interpersonal
communication) maupun dalam bentuk yang lebih kompleks seperti
halnya komunikasi yang dilakukan oleh sesuatu lembaga (institutional
communication) maka dalam prosesnya ia tidak terlepas dari dimensi-

19

dimensi komunikasi pada umumnya. Seperti dalam bentuk-bentuk
komunikasi lainnya, komunikasi politik berlangsung dalam suatu proses
penyampaian pesan-pesan tertentu yang berasal dari sumber, selaku pihak
yang memprakarsai komunikasi, kepada khalayak dengan menggunakan
media tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu pula. Dimensidimensi inilah pada dasarnya yang memungkinkan terjadinya suatu
kegiatan komunikasi politik dalam suatu masyarakat. Sehingga keluaran
(output) komunikasi politik pada akhirnya akan ditentukan oleh dimensidimensi tersebut secara keseluruhan.
Ada lima unsur penting yang terlibat dalam proses komunikasi
politik:
1. Komunikator
Komunikator dalam komunikasi politik yaitu pihak yang
memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi. Seperti
dalam peristiwa komunikasi pada umumnya, komunikator dalam
komunikasi politik dapat dibedakan dalam wujud individu,
lembaga, ataupun berupa kumpulan orang. Jika seorang tokoh,
pejabat ataupun rakyat biasa, misalnya, bertindak sebagai sumber
dalam suatu kegiatan komunikasi politik, maka dalam beberapa
hal ia dapat dilihat sebagai sumber individual (individual source).
Sedang pada momentum yang lain, meskipun individu-individu
itu yang berbicara tapi karena ia mewakili suatu lembaga atau
menjadi juru bicara dari suatu organisasi, maka pada saat itu ia
dapat dipandang sebagai sumber kolektif (collective sourve)
(Muhtadi: 2008b:31-32).
Dalam pandangan Nimmo, komunikator politik ini
memainkan peran-peran sosial yang utama, terutama dalam
proses pembentukan opini publik. Para pemimpin organisasi
ataupun juru bicara partai-partai politik adalah pihak-pihak yang
menciptakan opini publik, karena mereka berhasil membuat
sejumlah gagasan yang mula-mula ditolak, kemudian
dipertimbangkan,
dan
akhirnya
diterima
publik
(Nimmo:1993:29). Karena itu, lanjut Nimmo, sikapnya terhadap
khalayak serta martabat yang diberikannya kepada mereka
sebagai manusia dapat mempengaruhi komunikasi yang
dihasilkannya. Baik sebagai sumber individual maupun kolektif,
setiap komunikator politik merupakan pihak potensial yang ikut
menentukan arah sosialisasi, bentuk-bentuk partisipasi, serta
pola-pola rekrutmen massa politik untuk mencapai tujuan yang

20

telah ditentukan sebelumnya. Pada masa Orde Lama, misalnya,
Soekarno telah berhasil membentuk opini masyarakat dalam
berbagai sikap politik yang diambilnya baik menyangkut
kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri; demikian
pula Soeharto selama masa Orde Baru, melalui langkah-langkah
komunikasi politik yang diperankannya telah berhasil
membentuk sedemikian rupa opini masyarakat terutama tentang
pentingnya stabilitas politik untuk membangun ekonomi; dan
bagi warga nahdhiyyin, Gus Dur adalah komunikator utama yang
telah berhasil memainkan unsur-unsur ethos, pathos dan logos
yang dimilikinya.
Secara rinci, contoh kelompok-kelompok komunikator
politik yang termasuk pada kategori individual ataupun kolektif
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Sumber (Komunikator) Individual dan Kolektif dalam
Komunikasi Politik
Sumber Individual
Sumber Kolektif
Pejabat (birokrat)
Pemerintah (birokrasi)
Politisi
Partai politik
Pemimpin opini
Organisasi kemasyarakatan/LSM
Jurnalis
Media massa
Aktivis
Kelompok penekan
Lobbyis
Kelompok elit
Pemimpin
Badan/perusahaan komunikasi
Komunikator profesional
Mungkin saja masih ada kelompok komunikator politik
lain yang belum termasuk dalam tabel di atas. Tapi secara umum,
paling tidak di Indonesia, mereka itulah sumber-sumber yang
dominan dalam percaturan komunikasi politik sehari-hari.
Bahkan, dalam hal tertentu, mereka adalah komunikator kunci
(key communicators) dalam kegiatan komunikasi politik. Partaipartai politik dan organisasi massa, seperti halnya NU dan
Muhammadiyah untuk kasus di Indonesia, dengan para politisi
sebagai salah satu unsur elitnya dipandang sebagai artikulator
kepentingan yang bersifat institusional. Lebih-lebih pada
masyarakat yang tingkat ketaatannya kepada pemimpin masih
sangat tinggi, dan konsekuensinya, efektifitas pesan menjadi

21

sangat rendah. Komunikator kunci ini merupakan penentu yang
sangat dominan dalam proses pencapaian tujuan politik suatu
partai