Profil Tindakan Laparoskopi yang Dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.Dr.Pirngadi Medan Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2013

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Laparoskopi adalah suatu alat operasi yang penting dalam bidang
diagnostik dan terapeutik.6 Istilah laparoskopi digunakan sebagai cara untuk
melihat rongga perut dengan bantuan laparoskop melalui dinding perut
depan, yang sebelumnya telah dilakukan pneumoperitonium. Laparoskopi
sebenarnya telah lama dikenal dengan istilah yang beraneka ragam, antara
lain ventroscopy, peritoneoscopy, celioscopy, pelviscopy. Istilah yang
terkenal pada saat ini adalah laparoskopi atau pelviscopy. Istilah pelviscopy
lebih dikenal di Jerman dibanding dengan negara lainnya, khusus dalam
bidang ginekologi. Selain untuk tujuan diagnostik, dengan kemajuan
mutakhir dalam bidang teknik sumber cahaya dingin, sistem optik,
instrumentasi, otomatisasi alat (CO2-pneu); teknik operasi yang lebih
disempurnakan, antara lain teknik hemostasis dengan koagulasi (heat
coagulation) tanpa aliran listrik frekwensi tinggi, endoloop serta endosuture;
saat ini dimungkinkan melakukan operasi ginekologi dengan teknik
laparoskopi. Bagi mereka yang sudah sangat berpengalaman dalam
melakukan operasi laparoskopi, hampir semua operasi ginekologi pada saat
ini telah dapat digantikan dengan teknik laparoskopi. Saat ini operasi
histerektomi pun telah dapat dilakukan dengan teknik laparoskopi.
Sedangkan aspirasi kista ovarium, salpingolisis pada perlengketan ringan

atau sedang, biopsi ovarium, fulgurasi susukan endometriosis, merupakan
tindakan yang tidak begitu sukar, dan dapat dilakukan sekaligus pada saat
operasi laparoskopi diagnostik.7
Abulkasim dari Kordoba (980 – 1037) dan selanjutnya Guilio Cesare
Aranzi (1530 – 1589) telah mengembangkan suatu alat untuk dapat melihat
dengan terang dalam rongga tubuh melalui refleksi cahaya alamiah atau
dengan menggunakan kamera.1
Phillip Bozzini (1905) dengan menggunakan pipa dan cahaya lilin,
melakukan pemeriksaan dalam uretra. Selanjutnya alat ini dimodifikasi oleh
Frechman Desormeaux (1853) yang dikenal dengan orang pertama sekali
dan sangat berjasa dalam memperkenalkan sistoskop sederhana (tanpa
sistem lensa).1

Universitas Sumatera Utara

Sejalan dengan perkembangan zaman, dengan ditemukannya lampu
listrik maka NItze (1879) merupakan orang yang pertama sekali
mengkombinasikan alat sistoskopi dengan menggunakan sumber cahaya
listrik.1
Von Ott (1909) merupakan orang yang pertama sekali melakukan

pemeriksaan inspeksi dengan endoskopi kedalam rongga abdomen dengan
cara membuat suatu mini laparotomi.1
Semm (1978) memperkenalkan dilakukan endokoagulasi dan
penggunaan teknik khusus seperti penjahitan didalam rongga perut. Semm
(1980) mulai memakai elektronik pada pneumoperitonium dan merupakan
orang yang pertama sekali melakukan appendiktomi dengan laparoskopi
pada tahun 1982.1
Kelling (1901) merupakan orang yang pertama sekali menggunakan
alat sistoskopi Nitze yang telah ia kembangkan untuk memeriksa organ
dalam rongga abdomen. Selanjutnya Kelling mendemonstrasikan pada
hewan percobaan dengan melakukan pneumoperitonium. Pada waktu itu
alat tersebut disebut dengan Celioskopi. Pada saat itu metode Kelling ini
hanya sedikit mendapat perhatian, tetapi kemudian Swede Jakobadeus
(1910)

mengembangkan

kembali

ide


Kelling

ini

dan

kemudian

memperkenalkan suatu teknik baru yang dapat melihat rongga peritoneum
dengan alat optik yang disebut Laparoskopi.1
Nordentoft (1912), memperkenalkan suatu alat trokar endoskopi,
selanjutnya Korbsh (1921) memperkenalkan suatu jarum untuk induksi
pneumoperitonium.1
Goetz (1921), merupakan orang yang pertama membuat dan
memperkenalkan insuflator.1
Unverrich (1923), memperkenalkan metode laparoskopi dengan
sudut pandang yang lebih luas. Semenjak tahun 1920, laparoskopi sangat
menarik perhatian para klinikus, Kalk (1962) ahli hepatologi dari Jerman
merupakan orang yang pertama sekali membuat standarisasi laparoskopi

berdasarkan pengalaman pribadinya dan berhasil menetapkan sebagai
suatu prosedur rutin dalam ilmu penyakit dalam.1
Fervers (1933), merupakan orang yang pertama mendeskripsikan
operasional laparoskopi, kemudian tahun berikutnya Stolze mendemontrasi

Universitas Sumatera Utara

untuk pertama kali peranan laparoskopi pada berbagai macam aplikasi
operasi.1
Dalam bidang ginekologi Palmer (Perancis), Decker (USA), dan
Frangenheim (Jerman) merupakan orang-orang yang sangat berjasa dalam
penetapan prosedur laparoskopi diagnostik dan terapeutik. Selanjutnya
Lindenschmidt (1963) mengembangkan teknik operasi digestif dengan
laparoskopi. Hopkin (1976) mengembangkan penggunaan sistem optik.
Hirschowitz (1958) mulai memakai teknik “fiber glass”.1
Di Jerman, Semm (1987) sejak tahun 1960 sampai dengan 1977,
dengan

teknik


yang

lebih

disempurnakan,

melaporkan

penurunan

morbiditas dan mortalitas yang bermakna pada operasi laparoskopi. Pada
tahun 1960 tercatat 834 prosedur operasi laparoskopi dengan tingkat
mortalitas 10%, dan kemudian di antara tahun 1975 – 1977 dengan
104.578 prosedur operasi laparoskopi tercatat tingkat mortalitas turun
menjadi 0,0009%. Penurunan angka mortalitas yang bermakna ini
disebabkan teknik operasi dan peralatan yang lebih sempurna. Beberapa
keuntungan yang diperoleh dengan melakukan teknik operasi laparoskopi
ini antara lain: sedikitnya hari perawatan, luka operasi kecil sehingga resiko
infeksi kecil dan kemungkinan terjadinya perlengketan lebih sedikit, dengan
demikian penyembuhan dapat lebih cepat, nyeri pasca operasi lebih ringan,

sisi kosmetik lebih baik dan lebih sedikit biaya.6,7,8,9
Pada umumnya perawatan pasca operasi laparoskopi lebih singkat
dibandingkan dengan operasi konvensional. Lama perawatan berkisar
antara 1 hingga 3 hari. Pada sterilisasi atau laparoskopi diagnostik dan
tindakan ringan lainnya pasien dapat pulang pada hari yang sama.8
Kerugiannya ialah operasi ini memerlukan instrumentasi khusus,
operasi ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman
melakukan operasi laparoskopi, dan terlatih untuk melakukan operasi ini.7
Istilah pelviscopy dipilih oleh Kurt SEMM pada tahun 1970 untuk
membedakan antara prosedur laparoskopi ginekologi dengan internis yang
melakukan laparoskopi dengan skrining perut bagian atas dan biopsi hati.
SEMM berharap bahwa pengenalan istilah bedah baru akan membujuk
perusahaan asuransi kesehatan untuk membayar biaya yang lebih tinggi
untuk

prosedur

pelviscopic

yang


berbeda.

Pembedaan

ini

tetap

Universitas Sumatera Utara

berlangsung dalam German Society of Gynecology and Obstetrics selama
lebih dari 30 tahun dari 1965 hingga 1995. Ginekolog sekarang ini telah
memperpanjang prosedur bedah mereka keluar dari panggul kecil ke
seluruh perut, dengan lymphadenectomi dan prosedur lainnya, laparoskopi
adalah istilah yang lebih tepat.9
Pada awal 1960-an, Kurt SEMM, sebagai asisten universitas
berbakat, telah mengabdikan hidupnya untuk laparoskopi. Dia telah
mengakui potensi teknik bedah ini untuk mengatasi keterbatasan dan efek
samping dari operasi laparotomi. Pada tahun 1958 ia menulis risalah

Masalah kontraksi persalinan di bawah pengaruh "oksitosin-oxytocinase"
metabolisme di bawah naungan pemenang Hadiah Nobel, Profesor Adolf
Butenandt. Tak lama setelah ini, Kurt SEMM meninggalkan lapangan
endokrinologis dan berdedikasi dalam banyak makalah ilmiah untuk
diagnosis dan terapi infertilitas.9
Berdasarkan pelatihan ganda Kurt SEMM sebagai pembuat alat dan
dokter, upaya pertamanya untuk mengatasi laparotomi difokuskan pada
pengembangan insufflator elektronik untuk CO2, manipulator uterus dan
patensi alat uji tuba. Presentasi pertama penemuannya pada pertemuan
ginekologi Jerman, Austria dan Swiss pada awal tahun 1960.9
SEMM terus menyajikan tekniknya ini di Jerman, Eropa dan di
Amerika Serikat. Pada awal 1970-an, meskipun sterilisasi dengan
laparoskopi diterima di Amerika Serikat, laparoskopi masih dianggap hanya
sebuah prosedur diagnostik. Di Departemen Obstetri dan Ginekologi,
Universitas Kiel, Jerman operasi bedah laparoskopi ginekologi, seperti
enukleasi kista ovarium, miomektomi, penatalaksanaan kehamilan ektopik,
adhesiolysis dan histeroskopi, secara rutin dilakukan. Hans Lindemann dan
Kurt SEMM mempraktekkan CO2 histeroskopi selama pertengahan tahun
tujuh puluhan (1973-1976).9
Operasi laparoskopi pada kehamilan ektopik pertama sekali

dilaporkan oleh Bruhart dkk. pada tahun 1980. Secara tradisional,
penatalaksanaan bedah pada kehamilan ektopik dilakukan dengan
laparotomi, namun pada saat ini laparoskopi mendapatkan popularitas yang
signifikan dalam diagnosis dan pengelolaan kehamilan ektopik. Peran
laparoskopi dalam pengelolaan bedah kehamilan ektopik juga diakui dan

Universitas Sumatera Utara

telah menambahkan pendekatan baru dalam modalitas diagnostik dan
terapeutik.10
Telah dilakukan penelitian cross sectional di Departement Obstetri
dan Ginekologi, Kathmandu Medical College Teaching Hospital, selama
jangka waktu setahun, dari 15 Oktober 2009 sampai 14 Oktober 2010.
Semua pasien dengan Kehamilan Ektopik diikutsertakan dalam penelitian
ini.

Penelitian

ini


dilakukan

untuk

membandingkan

penatalaksaan

Laparotomi dan Laparoskopi pada pasien dengan Kehamilan Ektopik.
Didapati hasil tidak ada komplikasi intraoperatif selama dilakukannya
laparoskopi, begitu juga sama halnya dengan laparotomi. Laparoskopi
sukses dilakukan tanpa ada satupun subjek penelitian yang dialihkan
menjadi laparotomi. Lamanya masa perawatan lebih singkat pada grup
pasien yang dilakukan laparoskopi dibandingkan pasien yang dilakukan
laparotomi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwasanya laparoskopi
merupakan tindakan yang aman pada penatalaksaan dari kehamilan
ektopik.10
Di negara Denmark, sekitar 94% Kehamilan Ektopik dilakukakan
tindakan


operasi

dengan

menggunakan

laparoskopi.

Laparoskopi

salfingektomi adalah tindakan yang paling sering dilakukan.5
Tindakan laparoskopi telah banyak digunakan dalam penanganan
massa jinak di adneksa selama lebih dari 10 tahun (Canis dkk., 2002). Ada
beberapa penelitian prospektif yang membandingkan teknik laparoskopi ini
dengan laparotomi klasik hasilnya adalah laparoskopi dapat menggantikan
posisi operasi terbuka pada penanganan massa jinak adneksa (Yuen dkk,
1997). Selain itu, ada juga dilaporkan terdapatnya biaya yang lebih tinggi
pada laparoskopi oleh karena alat-alat laparoskopi, waktu operasi yang
lebih lama, tidak ada perbedaan yang bermakna pada biaya rumah sakit
pada laparoskopi dan laparotomi (Carley dkk, 2003).11
Meskipun

demikian, ada

beberapa

keuntungan

spesifik

dari

laparoskopi seperti waktu operasi yang lebih singkat (Carley dkk, 2003),
tidak adanya pneumoperitonium, dimana hal ini menjadi kontraindikasi pada
pasien obesitas atau pada pasien dengan status fisik yang kritis (Marana,
dkk, 2003) haruslah dipertimbangkan.11

Universitas Sumatera Utara

Laparoskopi telah banyak digunakan pada penanganan tumor
ovarium sejak bertahun-tahun yang lalu. Telah dilaporkan keuntungan dari
laparoskopi adalah penurunan dari angka morbiditas, lama perawatan lebih
sedikit dan waktu penyembuhan yang lebih singkat. Meskipun demikian
masih sangat sedikit sekali penelitian yang membandingkan laparoskopi
dengan laparotomi. Meskipun ada penelitian acak tentang laparoskopi yang
dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil luaran,
tindakan pasca operasi, dan komplikasi antara laparoskopi dengan
laparotomi pada penelitian acak dan prospektif ini.12

Laparoskopi diagnostik

telah

digunakan oleh

ahli ginekologi

reproduktif sekitar 87% di negara Amerika Serikat sebagai metode pilihan
dalam diagnosa infertilitas.13
Peraturan pada laparoskopi diagnostik pada infertilitas berdasarkan
dua hal utama. Yang pertama, apakah perlu dilakukan laparoskopi
diagnostik sebagai pilihan akhir selain terapi pengobatan dan apakah
meningkatkan

tingkat

kejadian

kehamilan?.

Yang

kedua,

apakah

laparoskopi di indikasikan setelah induksi ovulasi yang berkali-kali gagal
atau apakah perlu dilakukan teknik reproduksi buatan untuk meningkatkan
kejadian kehamilan?.13
Laparoskopi diagnostik pada lesi tuba dapat dilakukan dengan
laparoskopi sebagai terapeutik. Johhnson, dkk, melakukan dua penelitian
sistemik Cochrane merekomendasikan laparoskopi salfingektomi sebelum
dilakukannya tindakan IVF (In Vitro Fertilization), baik unilateral ataupun
bilateral, tergantung dari organ yang terlibat proses, dimana setelah itu
probabilitas untuk terjadinya kehamilan intra uterine meningkat sampai
95%.13
Munculnya kembali adhesi setelah laparoskopi adhesiolisis dapat
terjadi sekitar 12% sementara pada laparotomi dapat terjadi kembali sekitar
50%. Penelitian acak pertama oleh kelompok Canadian Collaboration
membandingkan kejadian infertilitas dengan endometriosis. Pada grup
pertama, laparoskopi reseksi atau ablasi dilakukan pada kasus minimal
atau mild endometriosis, sementara pada grup kedua hanya dilakukan

Universitas Sumatera Utara

laparoskopi

diagnostik.

Pada

grup

pertama

mempunyai

kenaikan

peningkatan terjadinya kehamilan sekitar 31% sementara pada grup kedua
hanya 18%.13
The European Society for Human Reproduction and Endocrinology
(ESHRE), merekomendasikan tindakan laparoskopi sebagai protokol pada
tindakan bedah pada kasus wanita yang infertil dengan minimal atau mild
endometriosis.13
Selama lebih dari 20 tahun yang lalu tindakan laparoskopi untuk
koagulasi kortek ovarium pada pasien-pasien PCOS yang resisten clomifen
akan terjadi peningkatan ovulasi sekitar 92% dan terjadi peningkatan
kesempatan untuk terjadinya kehamilan sekitar 69%.13
Sebuah grup peneliti di Jerman meneliti wanita-wanita yang telah
menjalani laparoskopi miomektomi pada kasus-kasus infertilitas, didapati
peningkatan untuk terjadinyanya kehamilan setelah miomektomi sekitar
46%, tanpa ada kejadian rupture uteri yang terjadi ketika persalinan.
Mereka menyimpulkan bahwa laparoskopi dapat diikatakan mempunyai
komplikasi pasca operasi yang lebih sedikit dan laparoskopi merupakan
terapi pilihan pada pasien-pasien infertil dengan mioma uteri. Miomektomi
laparoskopi merupakan teknik operasi pada operasi reproduksi yang dapat
diterima diseluruh dunia.13
Nakagawa dkk. telah melakukan penelitian pada penggunaan
tindakan bedah laparoskopi pada pasien-pasien yang didiagnosa dengan
idiopatik infertilitas, dengan membandingkan dua grup : grup pertama,
pasien yang telah melakukan terapi reproduksi buatan tanpa dilakukannya
laparoskopi terlebih dahulu dan grup kedua dilakukan pada pasien-pasien
yang menjalani reproduksi buatan yang sebelumnya dilakukan laparoskopi
terlebih dahulu. Mereka menyatakan bahwasanya pada 87,2% dari seluruh
jumlah wanita tersebut pada laparoskopi didapati adanya suatu kelainan,
seperti: endometriosis, adhesi perituba dan obstruksi tuba. Setelah
dilakukannya laparoskopi sekitar 48,9% dari jumlah pasien mengalami
kehamilan, dengan jumlah peningkatan terjadinya kehamilan berkisar
antara 27,2% sampai 100%

tergantung dari grup

umur. Penulis

merekomendasikan laparoskopi haruslah dilakukan pada wanita-wanita
dengan infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya.13

Universitas Sumatera Utara

Di Amerika Serikat, tuba sterilisasi secara laparoskopi biasanya
dilakukan dengan koagulasi bipolar. Metode lainnya pada sterilisasi tuba
secara laparoskopi adalah koagulasi unipolar, parsial salfingektomi, dan
teknik mekanik dengan menggunakan spring clips atau silastic rings. Jika
dilakukan secara benar, teknik bipolar koagulasi lah yang memiliki
efektifitas paling tinggi dan dengan angka kegagalan jangka panjang yang
rendah.14
Operasi laparoskopi telah berevolusi menjadi konsep operasi invasif
yang minimal selama 3 dekade terakhir ini. Operasi dengan bantuan robotik
adalah inovasi paling akhir pada ranah operasi minimal invasif ini. Operasi
dengan bantuan robotik ini telah dilakukan pada operasi guinekologi,
operasi urologi, operasi jantung, dan operasi lainnya.15
Operasi laparoskopi dengan bantuan robotik memiliki beberapa
keuntungan antara lain: menampilkan gambaran secara 3 dimensi dan
menurunkan tingkat kelelahan operator. Kekurangannya ialah termasuk
biaya yang mahal dan waktu operasi relatif lebih lama.15
2.1. Indikasi
Dengan telah berkembangnya inovasi instrumentasi dan teknik operasi
seperti yang telah diutarakan diatas, indikasi untuk melakukan operasi
dengan teknik laparoskopi menjadi lebih luas. Tindakan operasi diagnostik
dengan hasil diagnosis yang jelas, yang telah didiskusikan dengan pasien
sebelumnya, dapat dilanjutkan dengan tindakan operatif tertentu.7
Indikasi pada laparoskopi diagnostik adalah :3
1. Infertilitas.
Adalah salah satu indikasi tersering pada laparoskopi diagnostik.
Dapat melihat kelainan struktural dari uterus, termasuk kelainan kongenital
(seperti uterus bikornu). Untuk diagnosa pasti endometriosis. Untuk melihat
apakah ada oklusi dari tuba fallopi. Laparoskopi diagnostik dapat membuat
suatu diagnosa dan penatalaksaan untuk operasi rekonstruksif.
2, Nyeri pelvis kronis
3. Chronic Pelvic Inflammatory Disease (PID)
4. Pelvic mass

Universitas Sumatera Utara

Indikasi pada laparoskopi diagnostik urgent : 3
1. Acute Pelvic Inflammatory Disease
2. Kehamilan Ektopik
3. Kista ovarium terpelintir
2.2. Tujuan diagnostik7,16
1. Diagnosis diferensiasi patologi genitalia interna
2. Infertilitas primer dan sekunder
3. Second look operation, apabila diperlukan berdasarkan operasi
sebelumnya
4. Mencari dan mengangkat translokasi AKDR
5. Pemantauan pada saat dilakukan tindakan histeroskopi
2.3. Tujuan terapi7,16,17
1. Miomektomi, histerektomi
2.

Hemostasis

perdarahan

pada

perforasi

uterus

akibat

tindakan

sebelumnya
3. Penanganan PCOS
4. Penanganan Endometriosis
2.4. Tujuan operatif terhadap adnexa7,16
1. Fimbrioplasti, salpingostomi, salpingolisis
2. Endometriosis
3. Aspirasi cairan untuk diagnostik dan terapeutik
4. Salpingektomi pada kehamilan ektopik
5. Kontrasepsi mantap (penutupan tuba)
6. Rekonstruksi tuba atau reanastomosis tuba pasca tubektomi
2.5. Tujuan operatif terhadap ovarium7,8,16
1. Punksi folikel matang pada program fertilisasi in-vitro
2. Biopsi ovarium pada keadaan tertentu (kelainan kromososm atau
bawaan, curiga keganasan)
3. Kistektomi antara lain pada kista coklat (endometrioma), kista dermoid,
dan kista ovarium lain

Universitas Sumatera Utara

4. Ovariolisis, pada perlengketan ovarium
5. Ovarian drilling

2.6. Tujuan operatif terhadap organ dalam rongga pelvis7
1. Lisis perlekatan oleh omentum dan usus
2.7. Kontraindikasi absolut 3,7
1. Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukan anastesi
2. Kelainan darah berat, sehingga mengganggu fungsi pembekuan darah
3. Peritonitis akut, terutama yang mengenai abdomen bagian atas, disertai
dengan distensi dinding perut. Kelainan ini merupakan kontraindikasi
untuk melakukan pneumoperitonium.
4. Pasien dengan shok hipovolemik
5. Operator yang tidak berpengalaman atau kurangnya peralatan
2.8. Kontraindikasi relatif 3,7,17
1. Tumor abdomen yang telah sangat membesar, sehingga sulit untuk
memasukkan trokar kedalam rongga pelvis. Trokar dapat melukai tumor
tersebut.
2. Hernia abdominalis, ditakutkan melukai usus pada saat memasukkan
trokar kedalam rongga pelvis, atau memperberat hernia pada saat
dilakukan pneumo-peritonium. Pada saat ini, dengan modifikasi alat
pneumo-peritonium otomatik, ketakutan ini dapat dihilangkan.
3. Hernia diafragmatika
4. Kelainan atau insufisiensi paru-paru, jantung, hepar atau kelainan
pembuluh darah vena porta, goiter atau kelainan metabolisme lain yang
sulit menyerap gas CO2.
5. Riwayat operasi sebelumnya yang berkali-kali.
6. Obstruksi usus atau ileus.
7. Pelvic abses
8. Obesitas yang ekstrim

Universitas Sumatera Utara

2.9. Komplikasi
Teknik laparoskopi dapat menimbulkan komplikasi yang sama
dengan operasi konvensional, misalnya perdarahan, cedera pada organ
dalam perut, komplikasi akibat proses pembiusan, infeksi (lebih kecil
dibandingkan konvensional), dan pada beberapa pasien harus dilanjutkan
dengan operasi konvensional.8
Sebuah

meta-analisis

dari

27

uji

klinis

secara

acak

yang

membandingkan laparoskopi operatif dengan laparotomi untuk kondisi
ginekologi jinak menemukan keseluruhan risiko komplikasi kecil (misalnya,
demam, luka atau infeksi saluran kemih) lebih rendah pada wanita yang
menjalani prosedur laparoskopi (RR 0,55, 95% CI 0,45-0,66). Sebagai
perbandingan, kedua kelompok memiliki risiko komplikasi utama yang
sama, seperti pulmonary embolus, transfusi, fistula, operasi tambahan yang
tidak direncanakan.6
Secara umum komplikasi dari tindakan laparoskopi, antara lain
adalah : komplikasi intestinal, komplikasi kandung kemih, komplikasi ureter,
komplikasi vascular, perubahan dari laparoskopi menjadi laparotomi.17

Universitas Sumatera Utara

2.10 Kerangka Teori14,18

Laparoskopi

Infertilitas

Histeroskopi

Pelvic Mass
(mioma uteri,
Kista ovarium)

Laparoskopi
miomektomi,
Laparoskopi
histerektomi
(TLH, SLH,
LAVH),
kistektomi

Kehamilan
Ektopik

Salfingektomi,
salfingotomi

PCOS

Ovarian drilling

Endometriosis

Laser laparoskopi,
reseksi ovarian
endometriosis

Chronic pelvic
pain

Sterilisasi/kontap

Suspek Ca
Ovarium

Laparoskopi
presacral neurectomy

Koagulasi unipolar,
koagulasi bipolar, parsial
salfingektomi, teknik
mekanik dengan spring
clips/silactic rings

Aspirasi/ biopsi

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Policystic Ovarian dengan
pembuluh darah dipermukaannya

Gambar 3. Endometriosis pada

Gambar 5. Mioma uteri di enalulasi

Gambar 2. Permukaan ovarium
setelah drilling

Gambar 4. Endometriosis pada

Gambar 6. Morselasi mioma

Gambar dikutip dari Nezhat’s Operative Gynecologic Laparoscopy and Hysteroscopy

Universitas Sumatera Utara