Studi Keanekaragaman Bivalvia di Perairan Tanjungbalai Provinsi Sumatera Utara Chapter III V

25

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada Bulan Oktober 2016 sampai
November 2016 di perairan Tanjung Balai. Pengambilan Sampel dilakukan
dengan menggunakan alat tangkap kerang yaitu garuk kerang. Pengidentifikasian
dilakukan di Laboratorium Terpadu Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dengan panduan buku
Dharma (2005) “Recent and Fossil Indonesian Shells”. Pengukuran parameter
fisika dan kimia perairan dilakukan langsung di lapangan, analisis nitrat, nitrit dan
fosfat dilakukan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan serta analisis
substrat dan bahan organik dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dalam
dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

Universitas Sumatera Utara


26

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah garuk kerang, Global
Position System (GPS), refraktometer, DO meter, pH meter, secchi disk, tali rafia,
meteran, gunting, kamera digital, kantong plastik, karet, tool box, ember, kayu
berskala, botol gelap 300 ml, alat tulis, nampan, cool box, termometer dan buku
penuntun identifikasi bivalvia Dharma (2005) “Recent and Fossil Indonesian
Shells”.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini bivalvia sebagai sampel,
aquadest, alkohol 96%, tissue, serbet dan software SPSS ver 23.

Penentuan Lokasi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi penelitian adalah
purposive sampling. Stasiun pengambilan sampel sebanyak 3 (tiga) stasiun
dengan pengulangan setiap stasiun sebanyak 3 (tiga)

kali.

Stasiun pertama


terletak di muara sungai berdekatan dengan mangrove, stasiun kedua merupakan
wilayah laut dan stasiun ketiga merupakan perairan laut yang lebih dekat ke
daratan. Pengambilan sampel dilakukan dengan jarak setiap pengambilan selama
3 (tiga) minggu.

Deskripsi Area
Stasiun 1
Stasiun ini memiliki kondisi perairan yang lebih keruh dibandingkan
stasiun 2 dan stasiun 3 serta ditemukan kegiatan masyarakat untuk melakukan
penangkapan. Lokasi ini terletak diantara daerah perbatasan antara muara sungai

Universitas Sumatera Utara

27

dan perairan Selat

alaka.


okasi ini juga merupakan lokasi yang berdekatan

dengan wilayah mangrove. okasi ini berada pada koordinat 03 01 25,47 U dan
099 51 44,32 BT. okasi dapat dilihat pada ambar 4.

Gambar 4. Lokasi Stasiun I

Stasiun II
Stasiun ini memiliki jarak
pada Perairan Selat
menangkap kerang.

1 mil dari stasiun 1. okasi ini sudah berada

alaka dimana terdapat beberapa nelayan yang sedang
okasi ini berada pada koordinat 03 0655.48

U dan

099 49 03.86 BT. okasi dapat dilihat pada Gambar 5.


Gambar 5. Lokasi Stasiun II

Universitas Sumatera Utara

28

Stasiun III
Stasiun ini memiliki jarak ± 100 m dari stasiun 2. Lokasi ini masih berada
pada Perairan Selat Malaka dimana terdapat lebih banyak nelayan yang sedang
menangkap kerang dibandingkan dengan stasiun 2. Lokasi ini juga merupakan
lokasi yang lebih dekat dengan daratan. Lokasi ini berada pada koordinat
03 07 12,47 U dan 099 48 09,67 BT. okasi dapat dilihat pada ambar 6.

Gambar 6. Lokasi Stasiun III
Pengambilan Sampel Bivalvia
Sampel bivalvia diambil menggunakan alat penangkap kerang (garuk
kerang) dengan berukuran 0,39 m × 0,24 m. Setiap stasiun lokasi pengambilan
sampel bivalvia dilakukan pengulangan sebanyak 3 (tiga) kali. Garuk kerang
dimasukkan kedalam dasar perairan, garuk kerang yang telah berisi bivalvia

diangkat keatas perairan kemudian diayak agar sampel bivalvia terpisah dari
substrat perairan. Garuk kerang

kemudian diletakkan diatas kapal lalu

dibersihkan dan disortir dari sampah lalu sampel bivalvia dimasukkan kedalam
kantong plastik berisi alkohol 96% sebagai pengawet dan diberi label penanda.
Sampel

bivalvia

dibawa

ke

laboratorium

untuk

diidentifikasi


dengan

Universitas Sumatera Utara

29

menggunakan buku acuan kerang Dharma (2005) “Recent and Fossil Indonesian
Shells”. Garuk kerang dapat dilihat pada Gambar 7.

24 cm

39 cm

Gambar 7. Alat Tangkap Garuk Kerang
Pengambilan Data Parameter Lingkungan
Parameter data lingkungan diambil secara bersamaan dengan pengambian
sampel bivalvia. Parameter yang diambil merupakan parameter yang mencakup
faktor fisika perairan, faktor kimia perairan dan jenis substrat perairan. Data suhu,
kedalaman, kecerahan, pH, DO, salinitas dilakukan langsung dengan pengukuran

pada permukaan perairan, data nitrat, nitrit dan fosfat dilakukan dengan
mengambil sampel air perairan untuk kemudian dianalisis di Balai Riset dan
Standarisasi Industri Medan, data bahan organik dan jenis substrat dilakukan
dengan mengambil sampel sedimen dari dasar perairan untuk kemudian dianalisis
di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara. Parameter lingkungan diambil sebanyak 3 kali sesuai dengan pengambilan
sampel bivalvia dan dilakukan pada setiap pengulangan pada masing-masing
stasiun penelitian. Parameter lingkungan dan metode analisis pengukuran dapat
dilihat pada Tabel 2.

Universitas Sumatera Utara

30

Tabel 2. Parameter Lingkungan dan Metode Analisis
Satuan

Parameter
Fisika
Suhu

Kedalaman
Kecerahan
Kimia
pH
DO
Salinitas
Nitrat
Nitrit
Fosfat
Bahan Organik
Jenis Substrat

Metode Analisis/Alat

Lokasi

C
meter
meter


Termometer
Kayu berskala
Secchi disk

In situ
In situ
In situ

mg/l
Ppt
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l

pH meter
DO meter
Refraktometer
Spektrofotometri
Spektrofotometri

Spektrofotometri
Titrasi
Eckman grab

In situ
In situ
In Situ
Ex Situ
Ex Situ
Ex Situ
Ex Situ
Ex Situ

o

-

Analisis Data
Indeks Nilai Penting
Jumlah dari Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (FR) dinyatakan

sebagai Indeks Nilai Penting (INP) diacu Dibyowati (2009).
Kerapatan

=

Kerapatan Relatif

=

Frekuensi

=

Frekuensi Relatif

=

Indeks Nilai Penting = Kerapatan relatif + Frekuensi Relatif

Kelimpahan
Kelimpahan suatu organisme dalam suatu perairan dapat dinyatakan
sebagai jumlah individu/area. Menurut Odum (1993) rumus kelimpahan (A)
adalah:

Universitas Sumatera Utara

31

A
Keterangan : A
Xi
ni

Xi
ni

: Kelimpahan (Individu/ m2)
: Jumlah individu dari jenis ke-i
: Luasan area

Keanekaragaman
Keanekaragaman jenis disebut juga keheteregonenan jenis. Indeks
keanekaragaman menunjukkan kekayaan spesies dalam suatu komunitas dan juga
memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah per individu per spesies.
Indeks keanekaragaman dapat dihitung dengan indeks Shannon Wiener
(Krebs, 1989) dengan persamaan :

Keterangan :
H
= indeks keanekaragaman
Pi
= ni/N
Ni
= jumlah individu spesies ke-i
N
= jumlah individu total
Menurut Wilhm dan Dorris (1986), kriteria indeks keanekaragaman dibagi
dalam 3 kategori yaitu:
H’ < 1
1 < H’ < 3
H’ > 3

: Keanekaragaman jenis rendah
: Keanekaragaman jenis sedang
: Keanekaragaman jenis tinggi

Pengelompokan kondisi keanekaragaman perairan yang lebih rinci dibagi
dalam empat kategori yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Perairan Berdasarkan Indeks Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman
Kondisi Perairan
3,0 - 4,5
Polusi sangat ringan
2,0 - 3,0
Polusi ringan
1,0 - 2,0
Polusi sedang
0,0 - 1,0
Polusi berat
Sumber : Krebs (1989).

Universitas Sumatera Utara

32

Keseragaman
Untuk

mengetahui

keseimbangan

komunitas

digunakan

indeks

keseragaman, yaitu ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu
komunitas. Semakin mirip jumlah individu antar spesies (semakin merata
penyebarannya) maka semakin besar derajat keseimbangan. Indeks keseragaman
adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam sutu komunitas
(Krebs, 1989) dengan perhitungan sebagai berikut :

Keterangan :
E
= indeks keseragaman
H
= indeks keanekaragaman
Hmaks = ln S
S
= jumlah spesies
Nilai indeks keseragaman ini berkisar antara 0-1. Indeks keseragaman
mendekati nol berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan
dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominasi spesies, yang
disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi.
Bila indeks keseragaman mendekati satu maka ekosistem tersebut dalam kondisi
yang stabil, yaitu tiap spesies relatif sama.
Menurut Krebs (1989) besarnya indeks keseragaman jenis berkisar antara
0 sampai dengan 1.
Keterangan:
e < 0,4
: Keseragaman jenis rendah
0,4 < e < 0,6 : Keseragaman jenis sedang
e > 0,6
: Keseragaman jenis tinggi

Universitas Sumatera Utara

33

Dominansi
Indeks dominansi dihitung untuk mengetahui dominansi suatu spesies
dalam suatu komunitas (Krebs, 1989) dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :

Keterangan :
C
= indeks dominansi
Pi
= jumlah spesies ke-i per jumlah total (ni/N)
Nilai dominansi berkisar antara 0-1. Indeks dominansi nol berarti hampir
tidak ada individu yang mendominasi, sedangkan indeks dominasi satu berarti ada
salah satu jenis yang mendominasi.
Kriteria indeks dominansi menurut Odum (1993) :
0 < C < 0,5
0,5 < C < 1

: Tidak ada jenis yang mendominansi
: Terdapat jenis yang mendominansi

Jenis Substrat
Contoh substrat dasar perairan diambil satu kali pada setiap stasiun dengan
menggunakan eckman grab yang kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik
hitam berlabel.
Contoh substrat tersebut dianalisa di Laboratorium Riset dan Teknologi
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penentuan tekstur substrat
dilakukan dengan mencocokkan persentase pasir, debu dan liat dengan gambar
segitiga USDA (LPT, 1979) dapat dilihat pada Gambar 7.

Universitas Sumatera Utara

34

Gambar 7. Segitiga USDA (LPT, 1979)

Analisis Korelasi
Untuk mengetahui hubungan kelimpahan bivalvia terhadap parameter
lingkungan, digunakan suatu pendekatan analisis statistik didasarkan pada analisis
korelasi dengan menggunakan perangkat lunak program SPSS ver 23.
Hasil nilai korelasi yang didapatkan akan di sesuaikan dengan tabel
Intrepetasi Koefisien Korealasi yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Interpretasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien

Tingkat Hubungan

0.800 – 1.000

Sangat tinggi

0.600 – 0.800

Kuat

0.400 – 0.600

Cukup

0.200 – 0.400

Rendah

0.000 – 0.100

Sangat rendah

Sumber : Riduwan (2003).

Universitas Sumatera Utara

35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Bivalvia
Bivalvia yang ditemukan pada perairan Tanjungalai diperoleh sebanyak
2393 individu terdiri dari 6 famili dan 14 spesies. Pada stasiun I ditemukan
sebanyak 5 spesies dengan jumlah 994 individu, stasiun II ditemukan sebanyak 11
spesies dengan jumlah 663 individu dan pada stasiun III ditemukan sebanyak 11
spesies dengan jumlah 736 individu. Komposisi bivalvia dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Komposisi Bivalvia Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian.
Stasiun
Jenis bivalvia
No
Jumlah
I
II
III
1
Anadara granosa
+
+
55
2
Anadara gubernaculum
+
+
220
3
Anadara inaequivalvis
+
+
82
4
Donax faba
+
+
+
226
5
Mactra grandis
+
288
6
Modiolus micropterus
+
2
7
Actrina pectinata
+
+
2
8
Calista erycina
+
4
9
Calista lilacina
+
38
10 Dosinia dilecta
+
+
8
11 Meretrix meretrix
+
+
+
821
12 Paphia gallus
+
+
20
13 Paphia undulata
+
+
200
14 Tapes sulcarius
+
+
+
427
Keterangan : (+) ditemukan; (-) tidak ditemukan
Indeks Nilai Penting (INP)
Perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) pada setiap jenis bivalvia di
perairan Tanjungbalai memiliki nilai yang cukup bervariasi dengan nilai INP
tertinggi ke terendah yaitu Meretrix meretrix sebesar 48.371 %, Tapes sulcarius

Universitas Sumatera Utara

36

sebesar 28.781 %, Donax faba sebesar 20.382 %, Anadara gubernaculum sebesar
18.568 %, Paphia undulata sebesar 17.733 %, Mactra grandis sebesar 16.723 %,
Anadara inaequivalvis sebesar 12.802 %, Anadara granosa sebesar 11.673 %,
Dosinia dilecta sebesar 8.147 %, Calista lilacina sebesar 4.713 %, Paphia gallus
sebesar 3.961 %, Modiolus micropterus sebesar 3.209 %, Actrina pectinata
sebesar 3.209 %, Calista erycina sebesar 1.730 %. Perhitungan Indeks Nilai
Penting (INP) dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Indeks Nilai Penting (INP) Setiap Jenis Bivalvia
No
Jenis bivalvia
INP (%)
1
11.673
Anadara granosa
2
18.568
Anadara gubernaculum
3
12.802
Anadara inaequivalvis
4
Donax faba
20.382
5
Mactra grandis
16.723
6
3.209
Modiolus micropterus
7
3.209
Actrina pectinata
8
1.730
Calista erycina
9
4.713
Calista lilacina
10 Dosinia dilecta
8.147
11 Meretrix meretrix
48.371
12 Paphia gallus
3.961
13 Paphia undulata
17.733
14 Tapes sulcarius
28.781

Kelimpahan
Kelimpahan bivalvia dari hasil penelitian didapatkan hasil yang cukup
beragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kelimpahan tertinggi yaitu
pada stasiun I sebesar 110 ind/m2, kemudian diikuti dengan stasiun III sebesar 82
ind/m2 dan nilai kelimpahan yang terendah pada stasiun II sebesar 71 ind/m2.
Grafik kelimpahan bivalvia dapat dillihat pada Gambar 8.

Universitas Sumatera Utara

37

KELIMPAHAN
120

110

100

82
71

80
ind/m2 60
40
20
0
I

II
Stasiun

III

Gambar 8. Grafik Kelimpahan Bivalvia
Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai
Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) memiliki
hasil yang berbeda pada setiap stasiun. Indeks keanekaragaman tertinggi yaitu
pada stasiun III sebesar 1,926 dan yang terendah pada stasiun I sebesar 0,980.
Indeks keseragaman tertinggi yaitu pada stasiun III sebesar 0,803 dan yang
terendah pada stasiun I sebesar 0,609. Dominansi tertinggi yaitu pada stasiun I
sebesar 0,467 dan yang terendah pada stasiun III sebesar 0,169. Indeks
Keanekeragaman (H’), Dominansi (C) dan Keseragaman (E) dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Indeks Keanekaragaman (H’), Dominansi (C) dan Keseragaman (E)
Bivalvia perairan Tanjungbalai
STASIUN
Index
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
0.980
1.747
1.926
H'
0.609
0.728
0.803
E
0.467
0.219
0.169
C

Universitas Sumatera Utara

38

Parameter Lingkungan
Dari hasil penelitian parameter lingkungan dari masing-masing stasiun
yang telah didapatkan bahwa kondisi perairan layak bagi organisme perairan
sesuai dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup
dengan Surat Keputusan No.51 Tahun 2004. Hasil pengukuran dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil pengukuran parameter lingkungan perairan Tanjungbalai.
Stasiun Pengamatan
Baku
Parameter
Satuan
Mutu
I
II
III
surut
surut
surut
Kondisi
Fisika
o
C
Suhu
28-32
29.5
29.5
30.75
Salinitas
%
0.56
3.62
3.71
Kecerahan
Meter
0.61
1.02
1.03
Kedalaman
Meter
4.82
2.71
1.15
Kimia
pH
7-8.5
7.22
7.63
7.73
DO
mg/l
>5
5.1
5.64
5.62
Nitrat
mg/l
0.008
3.01
1.64
2.58
Nitrit (NO2)
mg/l
0.006-1
0.03
0.06
0.06
Fosfat
mg/l
0.015
0.06
0.02
0.03
Bahan Organik
%
0.88
0.91
0.47
Lempung
Pasir
Pasir
Jenis Substrat
berpasir
berlempung berlempung

Analisis Korelasi Pearson
Hasil perhitungan analisis korelasi antara kelimpahan bivalvia terhadap
faktor lingkungan didapatkan hasil yang berbeda. Nilai korelasi negatif (-) maka
hubungan kedua variabel bernilai negatif ataupun dikatakan tidak searah
(berlawanan) dan apabila nilai korelasi positif maka hubungan kedua variabel
bernilai positif ataupun dikatakan searah. Nilai korelasi

bernilai negatif (-)

ditunjukkan pada parameter lingkungan suhu, kecerahan, pH, DO, salinitas dan

Universitas Sumatera Utara

39

nitrit, sedangkan nilai korelasi

bernilai positif ditunjukkan pada parameter

lingkungan kedalaman, fosfat dan bahan orgainik. Hasil perhitungan analisis
korelasi dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Korelasi Kelimpahan Bivalvia Terhadap Faktor Lingkungan
Perairan
Parameter
Nilai Korelasi Pearson
Suhu
-0.371
Kedalaman
0.836
Kecerahan
-0.987
pH
-0.946
DO
-0.994
Salinitas
-0.986
Nitrat
0.830
Nitrit
-0.990
Fosfat
0.929
Bahan Organik
0.314

Pembahasan
Dari hasil penelitian pada stasiun I terdapat 5 spesies bivalvia, pada stasiun
II terdapat 11 spesies bivalvia dan pada stasiun III terdapat 11 spesies bivalvia.
Namun, pada keseluruhan stasiun hanya ada 3 spesies yang sama ditemukan. Pada
stasiun I spesies bivalvia yang ditemukan adalah Donax faba, Mactra grandis,
Calista lilacina, Meretrix meretrix, Tapes sulcarius, Pada stasiun II spesies
bivalvia yang ditemukan adalah Anadara granosa, Anadara gubernaculum,
Anadara inaequivalvis, Donax faba, Modiolus micropterus, Actrina pectinata,
Dosinia dilecta, Meretrix meretrix, Paphia gallus, Paphia undulata, Tapes
sulcarius. Pada stasiun III spesies bivalvia yang ditemukan adalah Anadara
granosa, Anadara gubernaculum, Anadara inaequivalvis, Donax faba, Actrina
pectinata, Calista erycina Dosinia dilecta, Meretrix meretrix, Paphia gallus,
Paphia undulata, Tapes sulcarius. Sedangkan spesies yang sama yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

40

pada keseluruhan stasiun adalah Donax faba, Meretrix meretrix

dan Tapes

sulcarius. Bivalvia yang ditemukan berada pada daerah pesisir yang masih
dipengaruhi oleh adanya air tawar dari sungai seperti pada stasiun I. Perbedaan
komposisi bivalvia pada setiap stasiun dipengaruhi oleh perbedaan faktor
lingkungan yang dibutuhkan untuk kehidupan bivalvia di perairan oleh setiap
spesies yang berbeda. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
kehidupan bivalvia yaitu substrat perairan. Substrat perairan yang berbeda
berpengaruh terhadap keberadaan bivalvia dikarenakan setiap spesies bivalvia
memiliki tipe substrat berbeda yang sesuai dengan faktor hidup bivalvia. Hal ini
sesuai dengan Setyono (2006) yang menyatakan kekerangan ada yang hidup di air
tawar, darat, maupun di perairan pesisir dan laut. Namun demikian, mayoritas
kekerangan hidup di perairan laut, baik di perairan pantai (dangkal) maupun di
laut dalam. Selanjutnya

Nybakken (1992) berpendapat bahwa pola sebaran

beberapa jenis moluska yang dominan dipengaruhi oleh substrat tempat hidup,
frekuensi, serta lama ketergenangan terhadap pasang surut.
Dari hasil perhitungan INP ditemukan bahwa Meretrix meretrix memilki
nilai INP tertinggi yaitu 48,371 % dan yang terendah yaitu Calista erycina sebesar
1.730 %. INP yang diketahui menggambarkan suatu jenis bivalvia berpengaruh
terhadap komunitas perairan ataupun memiliki dominansi di perairan tersebut.
Nilai INP diperoleh dengan menjumlahkan nilai dari kerapatan relatif dan
frekuensi relatif. Meretrix meretrix yang diketahui memiliki nilai INP tertinggi
diduga mendominasi perairan tersebut begitupun sebaliknya dengan Calista
erycina yang diketahui nilai INP terendah diduga tidak mendominasi perairan
tersebut dan akan diikuti dari nilai INP setiap spesies yang telah diketahui. Hal ini

Universitas Sumatera Utara

41

sesuai dengan Soerianegara dan Indrawan (2005) yang berpendapat bahwa Indeks
Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis
terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan
kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung
berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR).
Indeks Keanekaragaman (H’) pada stasiun I yaitu 0.980, pada stasiun II
yaitu 1.747 dan pada stasiun III yaitu 1,926. Secara keseluruhan nilai H’ berkisar
0.980 – 1,926 dikategorikan rendah ke sedang. Hal ini sesuai dengan Odum
(1993) serta Wilhm dan Dorris (1986) bahwa H’ < 1 : Keanekaragaman jenis
rendah, 1 < H’ < 3 : Keanekaragaman jenis sedang.
Nilai H’ yang didapatkan dapat dijadikan sebagai pendugaan bagaimana
kondisi perairan tersebut. Pada stasiun I yaitu 0.980 dapat diduga bahwa kondisi
perairan berpolusi berat namun lebih mendekati nilai 1 dengan kriteria kondisi
perairan berpolusi sedang. Pada stasiun II yaitu 1.747 dan pada stasiun III yaitu
1,926 dapat diduga dengan kondisi perairan berpolusi sedang. Hal ini sesusai
dengan Krebs (1989) yang menyatakan kategori H’ terhadap kondisi perairan
yaitu nilai H’ 1,0 - 2,0 : polusi sedang; 0,0 - 1,0: polusi berat.
Dari hasil penelitian dapat diketahui perairan masih terdapat limbah plastik
akibat buangan limbah rumah tangga oleh masyarakat sekitar yang membuang
limbah ke perairan karena beranggapan bahwa perairan tersebut digunakan
sebagai alternatif tempat pembuangan limbah. Kapal-kapal yang bertengker di
pinggiran perairan juga menyumbangkan bahan-bahan tercemar seperti buangan
bahan bakar kapal ke perairan. Hal inilah yang dapat menyebabkan turunnya
keanekaragaman biota akuatik seperti halnya bivalvia di perairan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

42

Nilai dominansi pada stasiun I sebesar 0,467, stasiun II sebesar 0,219
stasiun III sebesar 0,169. Nilai dominansi dapat menentukan indikasi suatu jenis
organisme mendominasi perairan tersebut maupun tidak. Nilai dominansi 1
merupakan indikasi bahwa adanya spesies yang mendominasi perairan tersebut
dan nilai dominansi akan meningkat apabila adanya spesies tertentu yang
mendominasi suatu perairan. Pada stasiun I spesies Meretrix meretrix memiliki
nilai dominansi tertinggi sebesar 0,380 sebagai spesies dengan jumlah individu
tertinggi di stasiun I sebanyak 613 individu. Pada stasiun II spesies Tapes
sulcarius memiliki nilai dominansi tertinggi sebesar 0,128 sebagai spesies dengan
jumlah individu tertinggi di stasiun II sebanyak 238 individu. Pada stasiun III
spesies Paphia undulata memiliki nilai dominansi tertinggi sebesar 0,050 sebagai
spesies dengan jumlah individu tertinggi di stasiun II sebanyak 166 individu.
Spesies dengan nilai dominansi tertinggi pada setiap stasiun merupakan spesies
yang mendominansi di habitatnya. Hal ini sesuai dengan Ariska (2012) yaitu
indeks dominansi digunakan untuk melihat jenis tertentu yang jumlahnya
mendominansi di suatu habitat. Soerianegara dan Indrawa (2005) juga
menyatakan indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan
penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu
jenis, nilai indeks dominansi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis
mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominansi akan rendah.
Indeks keseragaman (E) setiap stasiun cukup berbeda. Nilai pada stasiun 1
yaitu 0,609 stasiun II yaitu 0.728 dan stasiun III yaitu 0.803. Secara keseluruhan
berkisar 0,609 – 0.803. Nilai E merupakan komposisi organisme tertentu pada
suatu komunitas yaitu mengenai penyebaran orgnisme itu . Nilai E yaitu berkisar

Universitas Sumatera Utara

43

antar 0-1. Jika nilai E mendekati 0 maka terjadi ketidakseimbangan penyebaran
organisme perairan dan diduga adanya satu jenis bivalvia yang mendominasi
perairan tersebut begitu juga sebaliknya apabila nilai E mendekati 1 maka tejadi
penyebaran yang merata. Dari hasil penelitian nilai E yang didapatkan
menunjukkan bahwa nilai E mendekati 1 maka adanya penyebaran yang cukup
merata di perairan dan tergolong dalam keseragaman tinggi. Hal ini sesuai dengan
Krebs (1989) yaitu nilai indeks keseragaman ini berkisar antara 0-1. Bila indeks
keseragaman mendekati satu maka ekosistem tersebut dalam kondisi yang stabil,
yaitu tiap spesies relatif sama dengan kriteria e > 0,6 : keseragaman jenis tinggi.
Namun, jika dilihat secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan
bahwa Meretrix meretrix ataupun disebut kerang tahu merupakan jenis kerang
yang mendominasi perairan Tanjungbalai dengan jumlah pada keseluruhan stasiun
yaitu 821 individu. Meretrix meretrix

hidup di perairan dipengaruhi oleh

beberapa faktor lingkungan yang akan mendukung kehidupan Meretrix meretrix
seperti suhu, DO, kedalaman, substrat perairan. Dari hasil penelitian suhu secara
keseluruhan pada setiap stasiun berkisar 29,5-30,75 C, nilai DO berkisar 5,1-5,62
mg/l, kedalaman 1,15-4,82 m dan substrat lempung berpasir hingga pasir
berlempung masih sesuai dengan faktor lingkungan yang mendukung kehidupan
kerang Meretrix meretrix. Hal ini sesuai dengan Setyawati (1986) diacu Apriliani
(2012) bahwa kerang tahu mampu hidup pada kisaran suhu 26-31oC kemudian
Setyobudiandi, dkk (2004) bahwa kerang tahu mampu hidup pada perairan dengan
kandungan DO 2.01-9.24 mg/l dan Narasimham, dkk (1988) diacu Apriliani
(2012) yaitu kerang tahu mampu hidup di daerah intertidal sampai daerah subtidal
dengan kedalaman sekitar 20 m. Kerang tahu menyukai habitat berupa pasir halus

Universitas Sumatera Utara

44

Pasir halus memudahkan kerang tahu membenamkan diri. Kedalaman
pembenaman diri kerang tahu tidak terlalu dalam karena kerang ini memiliki
siphon yang pendek.
Hasil perhitungan nilai dominansi (C) dan keseragaman (E) didapatkan
bahwa keduanya memunyai hubungan ya berbanding terbalik yaitu apabila nilai C
mendekati 1 maka nilai E menjauhi 1 (mendekati nol) begitu juga sebaliknya.
Nilai E yang didapatkan akan menggambarkan ada tidaknya spesies mendominasi
di suatu perairan (nilai C). Hal ini sesuai dengan Leviton (1982) diacu Insafitri
(2010) bahwa yang dimaksud dengan indeks keseragaman adalah komposisi tiap
individu pada suatu spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Indeks
keseragaman (E) merupakan pendugaan yang baik untuk menentukan dominasi
dalam suatu area.
Kelimpahan dapat juga dikatakan sebagai kepadatan suatu individu per
satuan luas. Secara keseluruhan nilai kelimpahan bivalvia yang didapatkan yaitu
berkisar dari 71-110 ind/m2 dan dapat dikategorikan bahwa keimpahan kerang di
perairan Tanjungbalai tergolong maksimum. Hal ini sesuai dengan Tuan (2000)
diacu Apriliani (2012) bahwa kerang dengan kepadatan 50-100 ind/m2 disebut
kepadatan maksimum.
Kelimpahan juga dipengaruhi oleh habitat yang dibutuhkan oleh bivalvia
untuk dapat hidup. Pada stasiun I ditemukan kelimpahan yang lebih tinggi dapat
diduga faktor lingkungan sebagai habitat bivalvia sudah sesuai dengan kategori
bivalvia yang ditemukan pada stasiun I. Substrat perairan juga secara keseluruhan
mendukung kehidupan bivalvia di perairan Tanjungbalai. Hal ini sesuai dengan
Simangunsong (2010) yaitu potensi kerang di suatu perairan dapat dilihat dari

Universitas Sumatera Utara

45

kelimpahan, sebaran jenisnya. Adapun kelimpahan, sebaran dan keragaman jenis
spesies tersebut dipengaruhi oleh karakteristik habitat seperti kondisi perairan dan
jenis substrat. Habitat memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup biota
perairan. Selain sebagai tempat hidup, habitat berperan sebagai tempat
berkembang biak dan pemasok makanan. Oleh karena itu kondisi suatu habitat
memiliki pengaruh yang besar terhadap kestabilan komunitas yang ada
didalamnya.

Selanjutnya

Russel-Hunter

(1983)

diacu

Nybakken

(1992)

mengatakan bahwa bivalvia tersebar di perairan pesisir seperti estuari, dengan
dasar perairan lumpur bercampur pasir. Beberapa diantaranya hidup pada substrat
yang lebih keras seperti lempung, kayu atau batu, air tawar serta sedikit yang
hidup di daratan seperti, mussels (kepah), clamp (kerang) dan tiram yang
merupakan anggota Bivalvia yang hidup di laut.
Hasil penelitian didapatkan suhu rata-rata perairan pada stasiun I dan
stasiun II sebesar 29,5 oC serta stasiun III sebesar 30.75 oC. Suhu tertinggi yaitu
pada stasiun III sebesar 30,75 oC. Namun, secara keseluruhan suhu hasil penelitian
yang didapatkan hampir merata. Suhu pada stasiun III tinggi disebabkan
banyaknya buangan limbah bahan bakar yang dikeluarkan dari kapal-kapal
nelayan. Buangan limbah ini akan memicu proses penguapan di perairan yang
lebih tinggi sehingga suhu perairan menjadi lebih meningkat. Pada lokasi stasiun
III dapat diketahui bahwa ditemukan lebih banyak nelayan melakukan
penangkapan bivalvia dibanding stasiun I dan stasiun II. Pengukuran juga
dilakukan terakhir kali disebabkan stasiun III merupakan lokasi terjauh dari lokasi
keberangkatan sehingga waktu pengukuran dilakukan pada saat terik matahari
yaitu pukul 12:12-12:40 WIB sehingga suhu menjadi lebih tinggi dibandingkan

Universitas Sumatera Utara

46

stasiun lainnya. Hal ini sesuai dengan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa
suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari
permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan
aliran serta kedalaman badan air kemudian suhu hasil penelitian masih sesuai
dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan
Surat Keputusan No.51 Tahun 2004 yaitu 28-32 oC.
Salinitas rata-rata hasil penelitian pada stasiun I sebesar 0,56 %, stasiun II
sebesar 3,62 % dan stasiun III sebesar 3,71 %. Nilai kisaran salinitas tertinggi
pada stasiun III dan terendah pada stasiun I. Pada stasiun I kisaran salinitas
terendah dikarenakan stasiun I merupakan wilayah estuari yang masih dipengaruhi
air tawar yang berasal dari aliran sungai dibandingkan stasiun II dan III. Hal ini
sesuai dengan pendapat Arinardi, dkk (1997) yaitu salinitas perairan estuari
biasanya lebih rendah daripada salinitas perairan sekelilingnya dan Nybakken
(1992) yaitu distribusi suhu di perairan estuari sebagian besar dipengaruhi oleh
kedalaman yang merupakan efek masukan dari sungai dan pengaruh perubahan
pasang surut. Pola gradien salinitas bergantung pada musim, topografis, pasang
surut dan jumlah air tawar yang masuk. Salinitas berbeda tiap stasiun juga
disebabkan perbedaan dari suhu pada setiap stasiun, suhu yang tinggi
memungkinkan terjadi penguapan yang tinggi sehingga kisaran suhu tertinggi
pada stasiun III memiliki nilai salinitas lebih tinggi dari stasiun I dan II. Hal ini
sesuai dengan Nybakken (1992) yaitu semakin tinggi tingkat penguapan air laut di
suatu wilayah, maka salinitasnya semakin tinggi, dan sebaliknya pada daerah yang
rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.

Universitas Sumatera Utara

47

Nilai kecerahan rata-rata pada stasiun I yaitu 0,61 m, stasiun II yaitu
1,02 m dan stasiun III yaitu 1,03 m. Adanya perbedaan nilai kecerahan pada setiap
stasiun salah satunya disebabkan pada saat pengamatan dilakukan pada waktu
yang berbeda dan kekeruhan perairan itu sendiri. Kecerahan dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari sehingga pada stasiun III ditemukan nilai kecerahan
tertinggi dengan waktu pengamatan pukul 12:12-12:40 WIB. Dari hasil
pengamatan bahwa stasiun I merupakan stasiun yang lebih keruh dibanding
dengan stasiun lainnya disebabkan buangan limbah yang dilakukan masyarakat
setempat ke aliran sungai Asahan dan akan bermuara di muara sungai yang
merupakan stasiun I yang secara langsung mempengaruhi tingkat kecerahan
perairan. Hal ini sesuai dengan Effendi (2003) yaitu kecerahan air tergantung pada
warna dan kekeruhan. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini
sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan
padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Maslukah
(2013) juga menegaskan bahwa estuari ini dicirikan dengan daerah yang
mempunyai kekeruhan cukup tinggi yang disebabkan karena adanya masukan air
sungai dan tersuspensi sedimen. Estuaria yang merupakan daerah peralihan antara
darat dan laut paling besar terkena dampaknya akibat dari pencemaran tersebut.
Kemudian Hasibuan, dkk (2013) menegaskan bahwa

Sungai Asahan juga

dijadikan tempat pembuangan limbah dari kegiatan rumah tangga dan industri.
Kedalaman pada setiap stasiun penelitian memiliki nilai yang beragam
yaitu stasiun I sebesar 4.82 m, stasiun II sebesar 2,71 m dan stasiun III sebesar
1,15 m. Kedalaman setiap organisme perairan berbeda. Nilai kedalaman setiap
stasiun penelitian merupakan kisaran kedalaman yang sesuai dengan habitat

Universitas Sumatera Utara

48

bivalvia (pelecypoda). Hal ini sesuai dengan Nybakken (1992) yaitu pelecypoda
memilih habitat dalam lumpur dan pasir dalam laut serta danau tersebar pada
kedalaman 0,01 sampai 5000 meter dan termasuk organisme dominan yang
menyusun makrofauna di dasar lunak.
Kisaran pH hasil penelitian tidak memiliki perbedaan yang besar yaitu
pada stasiun I yaitu 7,22, pada stasiun II yaitu 7,63 dan stasiun III yaitu 7.73. Nilai
pH ketiga stasiun mendukung kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu
yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan Surat Keputusan No.51
Tahun 2004 yaitu 7-8.5. Selanjutnya Marpaung (2013) juga berpendapat bahwa
sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini
menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana
sebagian besar organisme dasar perairan seperti polychaeta, moluska dan bivalvia
memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda.
Hasil penelitian oksigen terlarut yang didapatkan pada setiap stasiun
berbeda-beda. Stasiun I yaitu 5,1 mg/l , stasiun II yaitu 5,64 mg/l dan stasiun III
yaitu 5,62 mg/l. Secara umum DO masih pada kisaran baku mutu yang
dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan Surat Keputusan No.51
Tahun 2004 yaitu yaitu >5 mg/l. Di perairan nilai DO juga dipengaruhi oleh
adanya pergerakan massa air maupun buangan limbah yang masuk kedalam air.
Hal ini sesuai dengan Patty (2015) berpendapat rendahnya kadar oksigen di
perairan ini diduga karena masuknya bahan-bahan organik ke perairan, sehingga
memerlukan banyak oksigen untuk menguraikannya. Semakin banyak buangan
organik yang ada di dalam air, semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang
terlarut di dalamnya, selaras dengan Effendi (2003), yaitu kadar oksigen terlarut

Universitas Sumatera Utara

49

juga berflukuasi secara harian (diurnal)

dan musiman, tergantung pada

pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas
fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air.
Kandungan rata-rata nitrat dan nitrit di perairan lokasi penelitian
didapatkan hasil nitrat pada stasiun I yaitu 3,01 mg/l, stasiun II yaitu 1,64 mg/l ,
stasiun III yaitu 2,58 mg/l. Nitrit pada stasiun I yaitu 0,03 mg/l, stasiun II yaitu
0,06 mg/l , stasiun III yaitu 0,06 mg/l. Penelitian Hasibuan dkk, (2013) pada
perairan sungai Asahan kadar nitrat yaitu berkisar antara 0,118 – 0,149 mg/l. Pada
stasiun I yang merupakan sungai Asahan mengalami kenaikan kadar nitrat di
perairan. Nilai nitrit yang didapatkan dari hasil penelitian lebih rendah
dibandingkan nilai nitrat. Nitrit merupakan peralihan proses nitrifikasi dan
denitrifikasi. Nitrat perairan merupakan salah satu nutrien yang mengontrol
produktivitas primer perairan. Nitrat di perairan juga dipengaruhi dari kadar nitrat
yang dibawa oleh aliran sungai yang akan menuju muara dan perairan laut yang
dapat bersumber dari buangan limbah rumah tangga. Hal ini sesuai dengan
Effendi (2003) yaitu pada peraian alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam
jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan nitrat, karena bersifat tidak stabil
dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antar amonia dan
nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Denitrifikasi
berlangsung pada kondisi anaerob. Selanjutnya, Makmur dkk (2012) menyatakan
bahwa nitrat di perairan merupakan makro nutrien yang mengontrol produktivitas
primer di daerah eufotik. Kadar nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh asupan
nitrat dari badan sungai. Sumber utama nitrat berasal dari buangan rumah tangga
dan pertanian termasuk kotoran hewan dan manusia.

Universitas Sumatera Utara

50

Nilai fosfat yang didapatkan pada stasiun I yaitu 0,06 mg/l, pada stasiun II
yaitu 0,02 mg/l, pada stasiun yaitu III 0.03 mg/l. Nilai fosfat tertinggi didapatkan
pada stasiun I yaitu pada daerah estuari (muara sungai Asahan). Penelitian
Hasibuan dkk, (2013) pada perairan sungai Asahan kadar fosfat berkisar antara
1,326 – 1,602 mg/l. Pada lokasi penelitian diketahui bahwa adanya buangan
limbah yang dilakukan masyarakat sekitar sungai Asahan yakni limbah rumah
tangga, kegiatan pelelangan ikan, dan tumpahan bahan bakar kapal sehingga
memungkinkan kadar fosfat yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Makmur, dkk
(2012) yaitu fosfat merupakan nutrisi yang esensial bagi pertumbuhan suatu
organisme

perairan,

namun

tingginya

konsentrasi

fosfat

di

perairan

mengindikasikan adanya zat pencemar. Senyawa fosfat umumnya berasal dari
limbah industri, pupuk, limbah domestik dan penguraian bahan organik lainnya.
Bahan organik perairan pada stasiun I yaitu 0.88 %, stasiun II yaitu 0.91 %
dan stasiun III yaitu 0.47 %. Nilai bahan organik dari ketiga stasiun digolongkan
pada kriteria sangat rendah dengan nilai