Studi Keanekaragaman Bivalvia di Perairan Tanjungbalai Provinsi Sumatera Utara

6

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Perairan Tanjungbalai
Estuaria yang merupakan daerah peralihan antara darat dan laut paling
besar terkena dampaknya akibat dari pencemaran tersebut. Hal ini karena bahanbahan tercemar baik yang

berasal dari sungai sebagai akibat dari kegiatan

manusia di darat misalnya perindustrian, pertambangan, limbah rumah tangga,
pembuangan sampah dan sebagainya. Biasanya sungai yang menjadi tempat
alternatif untuk pembuangan bahan-bahan tersebut. Sedangkan dari laut misalnya
akitivitas di pelabuhan maupun tumpahan-tumpahan minyak dari kapal tangker,
akan terakumulasi di daerah estuaria. Akibatnya estuaria yang sebelumnya
mempunyai fungsi yang sangat penting untuk mendukung berbagai kehidupan
baik organisme (sebagai tempat pemijahan, tempat tinggal dan mencari makan)
maupun sebagai pendukung ekosistem lain tidak dapat berperan penting lagi.
Estuaria ini dicirikan dengan daerah yang mempunyai kekeruhan cukup tinggi
yang disebabkan karena adanya masukan air sungai dan resuspensi sedimen
(Maslukah, 2013).

Sungai Asahan juga dijadikan tempat pembuangan limbah dari kegiatan
rumah tangga dan industri. Peningkatan tersebut akan mempengaruhi tingkat
penggunaan perairan sungai, baik sebagai sarana dan prasana kegiatan maupun
sebagai tempat buangan akhir dari kegiatan-kegiatan tersebut, yang akhirnya
perairan sungai akan mengalami degradasi baik secara kualitas yaitu fisik, kimia,
dan biologi maupun perubahan kuantitas. Kondisi perairan Sungai Asahan dapat
mengalami perubahan baik fisik maupun kimia yang disebabkan oleh faktor alami

Universitas Sumatera Utara

7
dan aktivitas manusia seperti kegiatan domestik, pembuangan limbah industri, dan
aktivitas pelelangan ikan (Hasibuan, dkk., 2013).
Selat Malaka merupakan perairan yang sangat penting dalam menunjang
perkembangan perikanan laut di perairan teritorial maupun di perairan ZEE.
Perairan ini sangat subur mengingat banyaknya sungai besar dan kecil yang
bermuara serta banyaknya hutan mangrove di daerah pantainya. Di pandang dari
sudut geografis daerah ini sangat strategis bagi perkembangan komoditas
perikanan karena wilayah ini dibatasi oleh Indonesia, Malaysia, Thailand, dan
Singapura (Sumiono, 2002).


Pengertian Bivalvia
Salah satu anggota Mollusca yaitu Bivalvia dapat digunakan sebagai
bioindikator kualitas perairan karena Bivalvia menghabiskan seluruh hidupnya di
kawasan tersebut sehingga apabila terjadi pecemaran lingkungan maka tubuh
Bivalvia akan terpapar oleh bahan pencemar dan terjadi penimbunan/akumulasi.
Sehingga jika ada bahan tercemar yang masuk di tubuh spesies tersebut, maka
tubuh dari spesies yang tidak toleran tidak dapat bertahan hidup, dengan demikian
keberadaannya dapat digunakan sebagai bioindikator. Bivalvia yang banyak
terdapat di area ekosistem pesisir biasanya didominasi oleh kelas Bivalvia
penggali di permukaan pantai (Nybakken, 1992).
Kelas bivalvia merupakan moluska yang bercangkang setangkup yang ada
pada umumnya simetri bilateral dengan kaki berbentuk seperti kapak
(pelecypoda). Kedua cangkangnya dapat dibuka tutup dengan memfungsikan otot
aduktor dan reduktornya. Pada bagian dorsal terdapat gigi engsel dan ligamen,

Universitas Sumatera Utara

8
mulut dilengkapi dengan labial-palp, tanpa rahang dan radula. Habitatnya adalah

perairan laut, payau, danau, sungai, kolam serta rawa (Astuti, 2009).
Bivalvia adalah moluska yang secara tipikal mempunyai dua katup, dan
kedua bagiannya lebih kurang simetris. Kerangkanya disusun oleh klasifikasi
katup yang ada di sisi kanan dan kiri tubuh. Katupnya dikatupkan di sepanjang
tepi dorsal yang disebut hinge, dan dihubungkan oleh stuktur kapur yang elastis
yang disebut ligamen. Mereka ditutup dengan aksi menarik satu atau dua (kadang
tiga) otot aduktor. Byssus atau kaki menonjol keluar dari anterior kerangkanya,
dimana posterior dari kerangkanya adalah dimana ada tonjolan siphon.
Kebanyakan kerang adalah filter feeder, tetapi ada beberapa yang scavenger
(pemakan bangkai) atau bahkan predator. Di dunia, ada 10.0000 spesies kerang
(Poutiers, 1998 diacu Insafitri, 2010).
Tubuh bivalvia pada dasarnya berbentuk pipih secara lateral dan seluruh
tubuh tertutup dua keping cangkang yang berhubungan di bagian dorsal dengan
adanya hinge ligamen yaitu semacam pita elastik yang terdiri dari bahan organik
seperti zat tanduk (conchiolin) sama dengan periostrakum, bersambungan dengan
cangkang. Kedua keping cangkang pada bagian dalamnya juga ditautkan oleh
sebuah otot aduktor anterior dan sebuah otot aduktor posterior, yang bekerja
secara antagonis dengan hinge ligamen. Bila otot aduktor rileks, ligamen
berkerut, maka kedua keping cangkang akan terbuka, demikian pula sebaliknya
(Suwignyo, dkk., 2005).

Moluska memiliki beberapa manfaat bagi manusia diantaranya sebagai
sumber protein, bahan pakan ternak, bahan industri dan perhiasan, bahan pupuk
serta untuk obat-obatan (Dibyowati, 2009). Salah satu moluska yang sering

Universitas Sumatera Utara

9
dimanfaatkan sebagai sumber protein diantaranya kerang darah (Anadara
granosa), kerang hijau (Perna viridis), dan kerang tahu (Meretrix meretrix).
Kerang tahu merupakan bivalvia yang banyak tersebar di wilayah pantai
bersubstrat pasir dan mempunyai nilai ekonomis tinggi (Apriliani, 2012). Di alam,
bivalvia berperan menjaga keseimbangan ekosistem sebagai pemakan detritus
organik dan membantu menyuburkan daerah perairan pantai (Imamah, 2016).
Meretrix meretrix termasuk salah satu bivalvia yang bernilai ekonomis
tinggi. Di beberapa tempat M. meretrix menjadi sumber penghasilan bagi
penduduk sekitar. Kerang M.

meretrix dikenal dengan beberapa nama lokal

seperti kerang susu, kerang putih, kerang lamis. Keberadaan dan distribusi

M. meretrix dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan tingkat eksploitasi. Kondisi
lingkungan yang rusak karena berbagai kegiatan manusia seperti pembukaan
lahan dan kegiatan tambak serta efek kegiatan urban (perkotaan) mengakibatkan
menurunnya daya dukung lingkungan (Setyobudiandi, dkk., 2004).
Dalam upaya mepertahankan kelangsungan hidupnya, makhluk hidup
dengan lingkungan dan cenderung untuk memilih kondisi lingkungan serta tipe
habitat yang terbaik untuk tetap tumbuh dan berkembang biak. Salah satu indikasi
yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi biota adalah rendahnya
kelimpahan biota tersebut pada suatu area ataupun ketidakmampuannya
berdistribusi mencapai area tersebut (Dodi, 1998 diacu Pratama, 2015).

Habitat Bivalvia
Habitat dari moluska tergantung pada ketersediaan makanan yang berupa
detritus dan makroalgae serta kondisi lingkungan yang terlindung oleh gerakan

Universitas Sumatera Utara

10
air. Ketidakmerataan penyebaran dan variasi tertentu kelimpahan serta komposisi
spesies infauna di daerah subtidal merupakan akibat gangguan secara terusmenerus yang disebabkan oleh gerakan air atau aktivitas biologis seperti

pemangsaan. Pola sebaran beberapa jenis moluska yang dominan dipengaruhi
oleh substrat tempat hidup, frekuensi, serta lama ketergenangan terhadap pasang
surut (Nybakken, 1992).
Beberapa faktor yang membatasi distribusi dan kepadatan jenis bivalvia di
alam dapat dikategorikan ke dalam dua faktor yaitu faktor alam berupa sifat
genetik dan tingkah laku ataupun kecenderungan suatu biota untuk memilih tipe
habitat yang disenangi serta faktor dari luar yakni segala sesuatu yang
berhubungan dengan interaksi biota dengan lingkungannya, oleh karena itu
distribusi serta kepadatan bivalvia di alam dapat dijadikan indikasi cocok tidaknya
suatu habitat terhadap biota tertentu (Doddy, 1998 diacu Akhrianti, dkk., 2014).
Kekerangan ada yang hidup di air tawar, darat, maupun di perairan pesisir
dan laut. Namun demikian, mayoritas kekerangan hidup di perairan laut, baik di
perairan pantai (dangkal) maupun di laut dalam. Jenis-jenis kekerangan laut ada
yang hidup di dasar perairan (benthic) maupun di permukaan (pelagic). Mayoritas
kekerangan adalah benthic, baik hidup diperairan dangkal, (littoral) maupun
perairan dalam (deep zone) (Setyono, 2006).

Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) menunjukan peranan spesies tersebut dalam
suatu komunitas (Agussalim dan Hartoni, 2013). Indeks Nilai Penting (INP)

ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis

Universitas Sumatera Utara

11
lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan
ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung
berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR)
(Soerianegara dan Indrawan, 2005).

Kelimpahan Bivalvia
Potensi kerang di suatu perairan dapat dilihat dari kelimpahan, sebaran
jenisnya. Adapun kelimpahan, sebaran dan keragaman jenis spesies tersebut
dipengaruhi oleh karakteristik habitat seperti kondisi perairan dan jenis substrat.
Habitat memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup biota perairan. Selain
sebagai tempat hidup, habitat berperan sebagai tempat berkembang biak dan
pemasok makanan. Oleh karena itu kondisi suatu habitat memiliki pengaruh yang
besar terhadap kestabilan komunitas yang ada didalamnya (Simangunsong, 2010).
Kelimpahan suatu organisme dalam suatu perairan dapat dinyatakan
sebagai jumlah individu persatuan luas atau volume. Sedangkan kepadatan relatif

adalah perbandingan antara kelimpahan individu tiap jenis dengan keseluruhan
individu yang tertangkap dalam suatu komunitas. Dengan diketahuinya nilai
kepadatan relatif maka akan didapat juga nilai indeks dominansi. Sementara
kepadatan jenis adalah sifat suatu komunitas yang menggambarkan tingkat
keanekaragaman jenis organisme yang terdapat dalam komunitas tersebut.
Kepadatan jenis tergantung dari pemerataan individu dalam tiap jenisnya.
Kepadatan jenis dalam suatu komunitas dinilai rendah jika pemerataannya tidak
merata (Odum, 1971).

Universitas Sumatera Utara

12
Kelimpahan organisme di dalam perairan dapat dinyatakan sebagai jumlah
individu per satuan volume atau umumnya dinyatakan sebagai individu per liter.
Sedangkan kelimpahannya dapat diketahui melalui analisis densitas. Densitas
dapat diartikan sebagai jumlah individu per stuan area. Kelimpahan relatif adalah
persentase dari jumlah individu dari suatu spesies terhadap jumlah individu dalam
suatu daerah tertentu (Odum, 1993).
Menurut Russel-Hunter (1983) diacu Nybakken (1992) bivalvia tersebar
di perairan pesisir seperti estuari, dengan dasar perairan lumpur bercampur pasir.

Beberapa diantaranya hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung, kayu
atau batu, air tawar serta sedikit yang hidup di daratan seperti, mussels (kepah),
clamp (kerang) dan tiram yang merupakan anggota Bivalvia yang hidup di laut.
Bivalvia yang hidup di daerah estuari, yaitu beberapa jenis kerang seperti
Anadara granosa, Anadara gubernaculum, Scrombicularia plana, Macoma
balthica, Rangia flexosa dan tiram jenis Crassostrea.
Kepadatan populasi suatu habitat sangat dipengaruhi oleh imigrasi dan
natalitas yang memberikan penambahan jumlah ke dalam populasi. Emigrasi dan
mortalitas akan mengurangi jumlah ke dalam populasi. Kerang dengan kepadatan
50-100 ind/m2 disebut kepadatan maksimum, kepadatan 16-50 ind/m2 disebut
kepadatan sedang, dan kepadatan 7-16 ind/m2 disebut kepadatan minimum
(Tuan, 2000 diacu Apriliani, 2012).

Keanekaragaman Bivalvia
Bivalvia (kerang-kerangan) adalah biota yang biasa hidup di dalam
substrat dasar perairan (biota bentik) yang relatif lama sehingga biasa digunakan

Universitas Sumatera Utara

13

sebagai bioindikator untuk menduga kualitas perairan dan merupakan salah satu
komunitas yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman yang
tinggi di dalam komunitas manggambarkan beragamnya komunitas ini
(Stowe, 1987 diacu Insafitri 2010).
Indeks keanekaragaman (H’) dapat diartikan sebagai suatu penggambaran
secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan dapat memudahkan
proses analisa informasi-informasi mengenai macam dan jumlah organisme.
Selain itu keanekaragaman dan keseragaman biota dalam suatu perairan
sangat tergantung pada banyaknya spesies dalam komunitasnya. Semakin
banyak jenis yang ditemukan maka keanekaragaman akan semakin besar,
meskipun nilai ini sangat tergantung dari jumlah inividu masing-masing jenis
(Wilhm dan Doris, 1986).
Indeks keanekaragaman (H’) merupakan suatu angka yang tidak memiliki
satuan dengan kisaran 0 – 3. Tingkat keanekaragaman akan tinggi jika nilai H’
mendekati 3, sehingga hal ini menunjukkan kondisi perairan baik. Sebaliknya jika
nilai H’ mendekati 0 maka keanekaragaman rendah dan kondisi perairan kurang
baik (Odum, 1993).

Dominansi
Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran

jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai
indeks dominansi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis
mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominansi akan rendah

Universitas Sumatera Utara

14
(Soerianegara dan Indrawan, 2005). Indeks dominansi digunakan untuk melihat
jenis tertentu yang jumlahnya mendominasi di suatu habitat (Ariska, 2012).

Keseragaman Bivalvia
Menurut Leviton (1982) diacu Insafitri (2010) yang dimaksud dengan
indeks keseragaman adalah komposisi tiap individu pada suatu spesies yang
terdapat dalam suatu komunitas. Indeks keseragaman (E) merupakan pendugaan
yang baik untuk menentukan dominansi dalam suatu area. Apabila satu atau
beberapa jenis melimpah dari yang lainnya, maka indeks keseragaman akan
rendah.
Pola sebaran beberapa jenis Bivalvia yang dominan dipengaruhi oleh
substrat tempat hidup, frekuensi, serta lama ketergenangan pasang surut. Dalam
suatu habitat perairan, kondisi substrat dan kualitas perairan yang baik akan
mendukung keanekaragaman Bivalvia dan adanya keseimbangan distribusi
spesies (Budiman, 1985 diacu Pratami, 2005).

Parameter Lingkungan Perairan
Untuk mempertahankan hidup makhluk hidup berinteraksi dengan
lingkungan dan cenderung untuk memilih kondisi lingkungan serta tipe habitat
yang terbaik untuk tetap tumbuh dan berkembangbiak. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan kerang yaitu musim, suhu, salinitas, substrat,
makanan, dan faktor kimia lainnya yang berbeda-beda pada masing-masing
daerah (Lindawaty, dkk., 2016).

Universitas Sumatera Utara

15
Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude),
ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat
berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki
kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya
(Effendi, 2003).
Keanekaragaman jenis dan keadaan seluruh kehidupan pantai cenderung
bervariasi dengan berubahnya suhu. Distribusi suhu di perairan estuari sebagian
besar dipengaruhi oleh kedalaman yang merupakan efek masukan dari sungai dan
pengaruh perubahan pasang surut. Pengaruh suhu ini dapat terjadi pada proses
metabolisme, distribusi dan kelimpahan beberapa jenis, sedangkan secara tidak
langsung terjadi pada proses kematian organisme akibat kehabisan air disebabkan
oleh meningkatnya suhu di perairan (Nybakken, 1992).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen
yang terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos
adalah yang lebih kurang dari 35oC (Retnowati, 2003).
Suhu secara langsung mempengaruhi kehidupan organisme. Suhu yang
tinggi akan mempengaruhi, meningkatkan sistem metabolisme organisme. Daerah
tropis memiliki kisaran suhu yang sempit dan cenderung stabil. Menurut
Setyawati (1986) diacu Apriliani (2012) kerang tahu mampu hidup pada kisaran
suhu 26-31oC.

Universitas Sumatera Utara

16
Kedalaman
Pelecypoda memilih habitat dalam lumpur dan pasir dalam laut serta
danau tersebar pada kedalaman 0,01 sampai 5000 meter dan termasuk organisme
dominan yang menyusun makrofauna di dasar lunak (Nybakken, 1992).
Menurut Narasimham dkk., (1988) diacu Apriliani (2012), kerang tahu
mampu hidup di daerah intertidal sampai daerah subtidal dengan kedalaman
sekitar 20 m. Kerang tahu menyukai habitat berupa pasir halus. Pasir halus
memudahkan kerang tahu membenamkan diri. Kedalaman pembenaman diri
kerang tahu tidak terlalu dalam karena kerang ini memiliki siphon yang pendek.
Sehingga hal ini akan membantu dalam menyaring makanan.

Kecerahan
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan
merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai
ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan
padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
Pengukuran

kecerahan

sebaiknya

dilakukan

pada

saat

cuaca

cerah

(Effendi, 2003).

pH
Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam mentolerir pH
perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi
banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas. Sebagian besar biota

Universitas Sumatera Utara

17
akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini menunjukkan adanya
kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana sebagian besar organisme
dasar perairan seperti polychaeta, moluska dan bivalvia memiliki tingkat asosiasi
terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda (Marpaung, 2013).
Tabel 1. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan.
Nilai pH

Pengaruh Umum
Keanekaragaman
benthos
sedikit
menurun
6,0 – 6,5
Kelimpahan total, biomassa, dan produktifitas tidak
mengalami perubahan
Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak
5,5 – 6,0
Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum
mengalami perubahan yang berarti
Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis benthos
semakin besar.
5,0 – 5,5
Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos
semakin besar
4,5 – 5,0
Penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
Sumber : Effendi (2003).

Oksigen Terlarut (DO)
DO adalah kandungan oksigen yang terlarut pada perairan. Oksigen sangat
diperlukan oleh semua makhluk hidup aerob. Kerang tahu mampu hidup pada
perairan dengan kandungan DO 2.01-9.24 mg/l (Setyobudiandi, dkk., 2004).
Kadar oksigen terlarut juga berflukuasi secara harian (diurnal) dan musiman,
tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air,
aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air
(Effendi, 2003).
Oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis oleh fitoplankton
atau tanaman air lainnya dan difusi dari udara. Oksigen terlarut merupakan unsur

Universitas Sumatera Utara

18
senyawa kimia yang sangat penting untuk mendukung kehidupan organisme di
dalam suatu perairan. Oksigen terlarut digunakan oleh organisme perairan dalam
proses respirasi. Secara alami senyawa kimia ini terdapat dalam air laut pada
kadar yang sesuai. Perubahan kadar yang terjadi tentu akan mempengaruhi
kehidupan organisme yang hidup dalam perairan. Rendahnya kadar oksigen di
perairan ini diduga karena masuknya bahan-bahan organik ke perairan, sehingga
memerlukan banyak oksigen untuk menguraikannya. Semakin banyak buangan
organik yang ada di dalam air, semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang
terlarut di dalamnya (Patty, 2015).
Oksigen terlarut dalam laut dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk
respirasi dan penguraian zat-zat organik oleh mikro-organisme. Menurunnya
kadar oksigen terlarut di perairan menyebabkan terganggunya ekosistem perairan
dan mengakibatkan semakin berkurangnya populasi biota (Patty, dkk., 2015).
Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi keanekaragaman organisme
dalam suatu ekosistem perairan. Perairan dengan kandungan oksigen terlarutnya
sebesar 1,0-2,0 ppm maka organisme moluska masih dapat bertahan hidup karena
mereka mampu beradaptasi pada kandungan oksigen yang rendah seperti halnya
bivalvia dari famili Osteridae pada pasang surut mereka akan menutup cangkang
dan melaakukan respirasi anaerob, karena kandungan oksigen yang rendah
(Aksornkoae, 1993).

Salinitas
Salinitas menggambarkan padatan total ion di dalam air, stelah semua
karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh

Universitas Sumatera Utara

19
klorida dan semua bahan organik telah dioksida. Salinitas dinyatakan dalam g/kg
atau promil (‰). Nilai salinitas perairan tawar kurang dari 0,5‰, perairan payau
antara 0,5‰ -30‰ dan perairan laut 30‰-40‰. Pada perairan hipersaline, nilai
salinitas dapat menapai 40‰-80‰. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat
dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi, 2003).
Salinitas perairan estuari biasanya lebih rendah daripada salinitas perairan
sekelilingnya. Di mulut sungai, salinitas bervariasi sangat besar pada saat
pergantian musim yaitu musim hujan dan musim kemarau (Arinardi, dkk., 1997).
Di perairan estuari terjadi dinamika suhu yang kompleks dimana kisaran salinitas
di perairan payau sekitar 0‰ sampai 25‰ atau lebih; konsentrasi dari garam
terlarut meningkat maka suhu di perairan mengalami penurunan (Reid, 1961).
Pola gradien salinitas bergantung pada musim, topografis, pasang surut
dan jumlah air tawar yang masuk. Semakin tinggi tingkat penguapan air laut di
suatu wilayah, maka salinitasnya semakin tinggi, dan sebaliknya pada daerah yang
rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya
(Nybakken, 1992).
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik
secara horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. Gastropoda yang bersifat
mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang
terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika
pengaruh air tawar berlangsung lama. Kisaran salinitas yang masih mampu
mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos
adalah 15 - 35‰ (Syamsurisal, 2011).

Universitas Sumatera Utara

20
Nitrat, Nitrit dan Fosfat
Pada peraian alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang
sangat sedikit dibandingkan dengan nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan
keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antar amonia dan nitrat
(nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Denitrifikasi
berlangsung pada kondisi anaerob (Effendi, 2003).
Keberadaan senyawa nitrogen dalam perairan dengan kadar yang
berlebihan dapat menimbulkan permasalahan pencemaran. Kandungan nitrogen
yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah domestik, pertanian,
peternakan dan industri. Hal ini berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton
sebagai pakan alami makrozoobentos (Sinaga, 2009).
Kandungan fosfat dan nitrat secara alamiah berasal dari perairan itu sendiri
yaitu melalui proses-proses penguraian, pelapukan ataupun dekomposisi tumbuhtumbuhan dan sisa-sisa organisme mati. Selain itu juga tergantung pada keadaan
sekeliling diantaranya sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke
perairan, seperti buangan limbah ataupun sisa pakan dengan adanya bakteri terurai
menjadi zat hara (Wattayakorn, 1988 diacu Patty, 2015).
Salah satu fungsi dari ekosistem muara yaitu sebagai perangkap zat hara
seperti nitrat, fosfat, dan bahan organik yang berasal dari perairan disekitarnya.
Nitrat di perairan merupakan makro nutrien yang mengontrol produktivitas primer
di daerah eufotik. Kadar nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh asupan nitrat
dari badan sungai. Sumber utama nitrat berasal dari buangan rumah tangga dan
pertanian termasuk kotoran hewan dan manusia. Nitrit di perairan biasanya
ditemukan dalam jumlah sedikit karena bersifat tidak stabil. Senyawa nitrit yang

Universitas Sumatera Utara

21
terdapat di perairan merupakan hasil reduksi senyawa nitrat atau oksidasi amonia
oleh mikroorganisme dan berasal dari hasil ekskresi fitoplankton. Fosfat
merupakan nutrisi yang esensial bagi pertumbuhan suatu organisme perairan,
namun tingginya konsentrasi fosfat di perairan mengindikasikan adanya zat
pencemar. Senyawa fosfat umumnya berasal dari limbah industri, pupuk, limbah
domestik dan penguraian bahan organik lainnya (Makmur, dkk., 2012).
Fosfat, nitrat dan oksigen terlarut merupakan tiga unsur senyawa kimia
yang sangat penting untuk mendukung kehidupan organisme dalam suatu
perairan. Fosfat dan nitrat dibutuhkan untuk mendukung organisme dalam
pertumbuhan dan perkembangan hidupnya terutama fitoplankton, sedangkan
oksigen terlarut digunakan oleh organisme perairan dalam proses respirasi. Secara
alami ketiga senyawa kimia ini terdapat dalam air laut pada kadar yang sesuai.
Perubahan kadar yang terjadi tentu akan mempengaruhi kehidupan organisme
yang hidup dalam perairan (Patty, 2015).

Bahan Organik
Kelarutan oksigen di dalam air berpengaruh terhadap kesetimbangan kimia
perairan dan kehidupan biota, dan akan berkurang dengan adanya bahan organik
yang mudah terurai. Sehingga dapat dikatakan, semakin sedikit konsentrasi
oksigen terlarut di dalam air mencirikan adanya pencemaran bahan organik yang
tinggi (Makmur dkk., 2012).
Setiap tipe substrat memiliki kandungan bahan organik yang berbedabeda, oleh karena itu tipe substrat sangat mempengaruhi penyebaran, kepadatan,
dan komposisi hewan bentik. Substrat merupakan tempat tinggal dan pemasok

Universitas Sumatera Utara

22
sumber makanan bagi hewan maupun tumbuhan yang hidup di dasar perairan.
Pada umumnya substrat pasir berlempung memiliki bahan organik yang cukup
(Simangunsong, 2010).
Menurut Djainuddin, dkk (1994) diacu Siahaan (2006) kriteria tinggi
rendahya kandungan organik substrat tanah berdasarkan persentase adalah sebagai
berikut :
5%

= sangat tinggi
Semakin halus sedimen, kemampuan dalam mengakumulasi bahan organik

semakin besar. Kandungan bahan organik berhubungan dengan ukuran partikel
sedimen. Pada sedimen yang halus persentase bahan organik lebih tinggi daripada
dalam sedimen yang kasar. Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang
tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen halus berupa lumpur yang
diikuti oleh akumulasi bahan organiknya lebih tinggi (Maslukah, 2013).
Semua bahan organik mengandung karbon (C) berkombinasi dengan satu
atau lebih elemen lainnya. Bahan organik berasal dari tiga sumber utama sebagai
berikut :
1.

Alam, misalnya fiber, miyak nabati dan hewani, lemak hewani, alkaloid,
selulosa, kanji, gula, da sebagainya.

2.

Sintetis, yang meliputi semua bahan organik yang diproses oleh manusia.

Universitas Sumatera Utara

23
3.

Fermentasi, misalnya alkohol, aseton, gliserol, antibiotik, dan asam : yang
semuanya diperoleh melalui aktivitas mikroorganisme.
Danau dan sungai biasanya memiliki kadar bahan anorganik terlarut

sepuluh kali lebih besar daripada kadar bahan organik. Air tanah memiliki kadar
bahan anorganik terlarut seratus kali lebih besar daripada kadar bahan organik.
Air laut memiliki kadar bahan anorganik terlarut 30.000 kali lebih besar daripada
kadar bahan organik. Bahan organik dapat berasal dari pembusukan tumbuhan dan
hewan yang mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri
(Effendi, 2003).

Substrat Perairan
Jenis dan ukuran substrat salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi
kandungan bahan organik dan distribusi bentos. Semakin halus tekstur substrat
semakin besar kemampuannya menjebak bahan organik. Daerah yang kandungan
bahan organiknya sangat tinggi berhubungan dengan daerah dimana banyak
pemeliharaan kerang-kerangan (mussel), karena berhubungan erat dengan jumlah
feses yang banyak dari mussel yang dipelihara (Nybakken,1992).
Substrat sangat berperan penting bagi kehidupan hewan bentik. Peranan
substrat antara lain sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, dan tempat
berlindung dari ancaman predator serta perubahan faktor fisika dan kimia
terhadap hewan infauna (Apriliani, 2012).
Kerang–kerangan membenamkan diri dalam pasir atau lumpur umumnya
mempunyai tabung yang di sebut sifon yang terdiri dari saluran untuk

Universitas Sumatera Utara

24
memasukkan air dan saluran lainnya untuk mengeluarkan. Makin dalam kerang
membenamkan diri, makin panjang sifonnya (Nontji, 2007).
Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang
mempengaruhi

struktur

komunitas

makrozoobenthos.

Penyebaran

makrozoobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat.
Makrozoobenthos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung
melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang
mengandung bahan organik yang tinggi. Substrat dasar atau tekstur tanah
merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat di
dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan
bentos. Komposisi dan kelimpahan fauna invertebrata yang berasosiasi dengan
mangrove berhubungan dengan variasi salinitas dan kompleksitas substrat
(Susiana, 2011).
Tipe-tipe substrat berpasir dibagi menjadi dua, yaitu tipe substrat berpasir
halus dan tipe substrat berpasir kasar. Tipe substrat berpasir kasar memiliki laju
pertukaran air yang cepat dan kandungan bahan organik yang rendah, sehingga
oksigen terlarut selalu tersedia, proses dekmposisi di substrat dapat berlangsung
secara aerob serta terhindar dari toksik (Nybakken, 1992).

Universitas Sumatera Utara