Hubungan Kondisi Ekosistem Mangrove Dengan Struktur Komunitas Udang Di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara Chapter III V

19

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Mei 2017, bertempat di
ekosistem mangrove Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten
Asahan Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi jenis mangrove dan sampel udang
dilakukan di Laboratorium Terpadu, Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Pertanian. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan
dilakukan langsung di lapangan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar
3.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, DO meter,
refraktometer, pH meter, keping secchi, botol winkler 250 ml, labu erlenmeyer
100 ml, suntik, pipet tetes, Global Positioning System (GPS), toolbox, tali rafia,

Universitas Sumatera Utara


20

plastik bening, meteran, alat tulis, kamera, kertas millimeter, pukat hela, buku
identifikasi udang, dan botol sampel.
Sedangkan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian dari
pohon mangrove sebagai sampel, sampel udang, kertas label, tally sheet, larutan
MnSO4, larutan KOH-KI, larutan H2SO4 , larutan Na2S2O3, larutan amilum,
tissue, karet, alkohol 96%, buku identifikasi mangrove (Noor dkk.,1999) dan
kunci identifikasi udang (Carpenter dan Neim, 1998).

Metode Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu penentuan
stasiun sampling dengan melihat pertimbangan kondisi daerah penelitian dan
tujuan penelitian. Stasiun sampling ditetapkan sebanyak 3 stasiun yakni kawasan
mangrove dekat wisata dan permukiman, daerah muara sungai dan ke arah laut.

Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel
Lokasi penelitian dan pengambilan sampel berada di ekosistem mangrove
Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi
Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi adalah

purposive random sampling yang dibagi menjadi 3 stasiun yang berbeda
berdasarkan aktivitas wisata dan permukiman, daerah muara sungai dan kearah
pantai.
Stasiun I
Stasiun ini merupakan ekosistem mangrove di daerah muara sungai.
Lokasi ini bersebelahan dengan aktivitas wisata dan permukiman. Stasiun I

Universitas Sumatera Utara

21

terletak pada koordinat 03°01 27,36 LU dan 099°51 34,42 BT. Foto lokasi stasiun
I dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Lokasi Stasiun I

Stasiun II
Stasiun ini merupakan daerah ekosistem mangrove yang terdapat di muara
sungai. Stasiun ini didominasi oleh kondisi mangrove alami. Stasiun II terletak
pada koordinat 03°01 39,73 LU dan 099°51 35,95 BT. Foto lokasi stasiun 2 dapat

dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lokasi Stasiun II

Universitas Sumatera Utara

22

Stasiun III
Lokasi pengambilan sampel pada stasiun III dapat di lihat pada Gambar 6.
Stasiun III terletak pada koordinat 03°02 09,66 LU dan 099°51 31,27 BT. Stasiun
ini merupakan kawasan mangrove alami yang paling dekat dengan pantai.

Gambar 6. Lokasi Stasiun III
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah berupa kerapatan mangrove, frekuensi
jenis mangrove, penutupan jenis mangrove, indeks nilai penting, keanekaragaman
mangrove, komposisi jenis udang, keanekaragaman udang, keseragaman udang,
dominansi udang, serta kualitas perairan. Pengumpulan data dilakukan secara
langsung dan pengamatan di laboratorium.

Pengamatan Mangrove
Pengamatan mangrove menggunakan metode Line Transect. Transek garis
ditarik dari titik acuan (pohon mangrove terluar) dengan arah tegak lurus garis
pantai sampai ke daratan. Identifikasi jenis mangrove dapat langsung ditentukan
di lapangan dan jenis mangrove yang belum diketahui jenisnya diidentifikasi di
Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan dengan mengacu pada

Universitas Sumatera Utara

23

buku identifikasi Noor dkk (2006). Pada transek pengamatan dibuat petak-petak
contoh untuk pengamatan dan identifikasi mangrove dengan mengacu pada
Fachrul (2007) yakni pohon memiliki diameter batang lebih besar dari 10-20 cm
pada petak contoh 10 x 10 meter. Pancang yaitu anakan yang memiliki diameter
batang kurang dari 10 cm dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 x
5 meter. Semai yaitu anakan mangrove yang memiliki tinggi kurang dari 1,5
meter pada petak contoh 2 x 2 meter.
Bentuk transek dan petak contoh untuk analisis vegetasi mangrove dapat
dilihat pada Gambar 7.


10 m
5m
2m
5m
10 m
2m
10 m

2m

2m

5m

2m
10
m

\


Arah rintis

10 m

2m
5m
10 m

Gambar 7. Metode Transek
Pengambilan Contoh Biota
Pengambilan sampel udang dilakukan pada tiga lokasi stasiun yakni
daerah dekat wisata, daerah muara sungai dan kearah pantai. Pembagian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh kondisi mangrove yang berbeda terhadap

Universitas Sumatera Utara

24

struktur komunitas udang di masing-masing stasiun penelitian. Pengambilan

contoh ditiap stasiun dengan menggunakan alat tangkap pukat hela. Pukat hela
memiliki panjang 12 m dan lebar/tinggi 2 m dengan memiliki 200 mata jaring
dengan ukuran mata jaring 0,5 cm. Sampel udang yang diperoleh dikelompokkan
berdasarkan ciri-ciri morfologinya yang sama lalu dihitung jumlah masing-masing
jenis. Contoh udang yang diperoleh diawetkan dalam alkohol 96% secara terpisah
berdasarkan stasiun pengambilan contoh. Selanjutnya dilakukan identifikasi jenis
udang dengan kunci identifikasi Wowor (2004) dan Carpenter dan Niem (1998)
serta dilakukan penghitungan keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi.

Pengambilan Data Parameter Fisika Kimia Perairan
Variabel lingkungan yang diukur meliputi kecerahan, suhu, pH, salinitas,
dan oksigen terlarut (DO). Kecerahan diukur menggunakan keping secchi, suhu
diukur menggunakan termometer, salinitas diukur menggunakan refraktometer,
dan pH diukur dengan pH meter dan DO diukur dengan menggunakan DO meter.
Pengukuran parameter fisika kimia perairan dilakukan sebanyak 3 kali selama 3
bulan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Fisikia dan Kimia Perairan yang diukur
Parameter
Fisika
Kecerahan

Suhu
Kimia
DO
Salinitas
pH

Satuan

Alat

Tempat Analisis

Cm
0
C

Keping Secchi
Termometer

In situ

In situ

mg/l

-

DO Meter
Refraktometer
pH meter

In situ
In situ
In situ

Universitas Sumatera Utara

25

Analisis Data
Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove

Hasil pengukuran data vegetasi mangrove di Desa Bagan Asahan
Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara yang telah
dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis sebagai berikut:
Kerapatan Jenis
Kerapatan jenis merupakan jumlah tegakan jenis ke-i dalam suatu unit
area. Kerapatan masing-masing jenis pada setiap stasiun dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Odum, 1998):
Kerapatan (Ki)

Kerapatan Relatif (KR)

Frekuensi Jenis
Frekuensi jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis pada suatu area.
Frekuensi spesies dapat dihitung dengan rumus (Odum, 1998):
Frekuensi (Fi)

Frekuensi Relatif (KR)

Universitas Sumatera Utara


26

Dominansi (Penutupan Jenis)
Dominansi (D) adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit area
tertentu. Dominansi dapat dihitung dengan menggunakan rumus Odum (1998):
Dominansi (Di)

Dominansi Relatif (DR)

Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai
untuk menyatakan tingkat dominansi spesies dalam komunitas tumbuhan.
Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki
indeks nilai penting (INP) yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan
tentu memilki INP yang paling besar (Indriyanto, 2006). Rumus Indeks Nilai
Penting (INP) adalah sebagai berikut (Odum, 1998):
INP = Kerapatan Relatif (%) + Frekuensi Relatif (%) + Dominansi Relatif (%)

Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener diperoleh dengan parameter
kekayaan jenis dan proporsi kelimpahan masing-masing jenis pada suatu habitat.
Berikut ini rumus keanekaragaman Shannon Wiener (Odum, 1998):


Universitas Sumatera Utara

27

Keterangan :
H′ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
Pi : Peluang kepentingan untuk tiap spesies (ni/N)

Analisis Biota Udang
Komposisi Jenis dan Kelimpahan Relatif Udang
Komposisi jenis dan kelimpahan relatif udang digunakan untuk melihat
persebaran jumlah masing-masing spesies di stasiun penelitian. Kelimpahan
relatif udang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
P

: Kelimpahan relatif udang yang tertangkap

ni

: Jumlah total individu spesies

N

: Jumlah total individu semua spesies yang tertangkap

Struktur komunitas udang
Indeks keanekaragaman (H′)
Keanekaragaman diperlukan untuk menjelaskan kehadiran jumlah individu
antar genus dalam suatu komunitas. Keanekaragaman udang dihitung berdasarkan
Odum (1998) dengan persamaan:


Universitas Sumatera Utara

28

Keterangan:
H' : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
Pi : Peluang kepentingan untuk tiap spesies (ni/N)
Kriteria:

H' < 1

= keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu
tiap spesies rendah dan komunitas biota rendah (tidak
stabil).

1 < H' < 3

= keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu
tiap spesies rendah dan komunitas biota sedang.

H' > 3

= keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap
spesies tinggi dan komunitas biota tinggi (stabil).

Indeks kemerataan (E)
Indeks kemeretaan (E) digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan
penyebaran jumlah individu setiap genus pada tingkat komunitas dan dihitung
berdasarkan Odum (1998) sebagai berikut:

Keterangan:
E

: Indeks keseragaman (Evennes)



: Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner

S

: Jumlah spesies

Universitas Sumatera Utara

29

Indeks dominansi (C)
Indeks dominansi jenis dapat diperoleh dengan menggunakan indeks
dominansi Simpson dengan rumus sebagai berikut (Odum, 1998):



Keterangan:
C : Indeks dominansi

ni : Nilai kepentingan untuk tiap spesies
N : Total jumlah spesies
Keterangan :

D=0

: berarti tidak terdapat spesies yang mendominasi
spesies lainnya atau struktur komunitas dalam
keadaan stabil.

D=1

: berarti tedapat spesies yang mendominansi spesies
lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi
tekanan ekologi (stres).

Keterkaitan Kondisi Mangrove dengan Struktur Komunitas Udang
Analisis Regresi
Untuk mengetahui hubungan antara ekosistem mangrove terhadap struktur
komunitas udang, digunakan perhitungan dengan analisis regresi. Analisis regresi
digunakan untuk menguji berapa besar variasi variabel tak bebas dapat
diterangkan oleh variable bebas dan menguji apakah estimasi parameter tersebut
signifikan atau tidak. Rumus yang digunakan Steel dan Torrie (1980) adalah:
Y = a + bX

Universitas Sumatera Utara

30

Keterangan :
Y = Kelimpahan udang
X = Kerapatan Mangrove
a = Konstanta
b = Slope

Uji korelasi
Uji korelasi dimaksudkan untuk mengetahui keeratan hubungan antara
struktur komunitas udang dengan kondisi ekosistem mangrove sebagai habitat
(nursery ground, spawning ground and feeding ground) bagi biota udang. Uji
korelasi yang digunakan pada penelitian ini, merupakan uji korelasi pearson (r).
Nilai r, berkisar antara 0.0 (ada korelasi), sampai dengan 1.0 (korelasi yang
sempurna). Selain berdasarkan angka korelasi, tanda juga berpengaruh pada
penafsiran hasil. Tanda – (negatif) pada output menunjukkan adanya korelasi
yang berlawanan arah, sedangkan tanda + (positif) menunjukkan arah korelasi
yang searah. Tingkat Hubungan Nilai Indeks Korelasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Hubungan Nilai Indeks Korelasi
No.

Koefisien

Tingkat Hubungan

1.

0,00 – 0,199

Sangat Rendah

2.

0,20 – 0,399

Rendah

3.

0,40 – 0,599

Sedang

4.

0,60 – 0,799

Kuat

5.

0,80 – 1,000

Sangat Kuat

Universitas Sumatera Utara

31

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Kondisi Ekosistem Mangrove
Kerapatan
Stasiun I untuk kategori semai ditemukan 5 jenis mangrove yaitu
Avicennia alba, Ceriops decandra, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata
dan Scyphiphora hydrophyllacea. Pada stasiun II kategori semai terdapat 8 jenis
mangrove yaitu A. alba, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Excoecaria
agallocha, Nypa fruticans, R. apiculata, R. mucronata dan Xylocarpus granatum.
Dan pada stasiun III terdapat jenis Nypa fruticans dan Rhizophora apiculata.
Kerapatan tertinggi kategori semai yaitu B. gymnorrhiza yang terdapat pada
stasiun II dan kerapatan terendah semai terdapat pada stasiun II yaitu A.alba.
Kerapatan tingkat semai setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kerapatan Tingkat Semai (Ind/ha)

Universitas Sumatera Utara

32

Stasiun I untuk kategori pancang terdapat 5 spesies yaitu A. alba, C.
decandra, C. tagal, R. apiculata dan X. granatum. Pada stasiun II terdapat 8
spesies yaitu Avicennia officinalis, B. gymnorrhiza, C. decandra, C. tagal, N.
fruticans, R. apiculata, R. mucronata dan X. granatum. Sedangkan pada stasiun 3
terdapat jenis Bruguiera sexangula, E. agallocha, N. fruticans dan R.apiculata.
Kategori pancang tertinggi pada stasiun II yaitu C. tagal dan terendah terdapat
pada stasiun I dengan jenis A. alba, C. decandra dan C. tagal. Kerapatan setiap
jenis pancang mangrove dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kerapatan Pancang (Ind/ha)
Stasiun III untuk kategori pohon terdapat 8 jenis yaitu A. marina, A. alba,
B. gymnorrhiza, C. decandra, C. tagal, R. apiculata, R. mucronata, X. granatum.
Pada stasiun II terdapat 6 jenis yaitu

A. alba, E. agallocha, L. littorea, R.

mucronata, S. alba, X. granatum. Dan pada stasiun III terdapat 3 jenis yaitu

E.

agallocha, R.apiculata dan B. gymnorrhiza. Nilai kerapatan pohon tertinggi
terdapat pada stasiun III yaitu E. agallocha dan kerapatan terendah pada stasiun

Universitas Sumatera Utara

33

II dan III yaitu jenis A. alba dan B. gymnorrhiza. Kerapatan tingkat pohon pada
setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Kerapatan Tingkat Pohon (Ind/ha)
Frekuensi
Kategori semai pada stasiun I memilki frekuensi tertinggi yaitu 0,667 pada
jenis A. alba dan R. apiculata. Kedua jenis tersebut terdapat pada 2 plot dari total
tiga plot pengamatan . Pada stasiun II memiliki frekuensi tertinggi yaitu 0.4 untuk
jenis C. tagal, R.apiculata, X. granatum yang mana ketiga jenis mangrove
tersebut terdapat pada 2 plot dari total 5 plot. Jenis mangrove R. apiculata pada
stasiun III memiliki frekuensi tertinggi sebesar 0,4 yang menunjukkan bahwa
jenis ini terdapat pada 2 plot dari total 5 plot. Frekuensi masing-masing jenis
semai dapat dilihat pada Gambar 11 .

Universitas Sumatera Utara

34

Gambar 11. Frekuensi Tingkat Semai
Kategori pancang pada stasiun I memiliki frekuensi 1 pada spesies
R. apiculata yang mana jenis ini terdapat setiap plot di stasiun ini. Pada stasiun II,
jenis C. tagal memiliki frekuensi tertinggi yaitu 0,6 yang berarti jenis ini terdapat
pada 3 plot dari total 5 plot pengamatan. Sedangkan pada stasiun III, jenis N.
fruticans merupakan frekuensi tertinggi dengan nilai 0,8. Frekuensi untuk setiap
pancang dapat dilihat pada Gambar 12 .

Gambar 12. Frekuensi Tingkat Pancang

Universitas Sumatera Utara

35

Stasiun I untuk kategori pohon memiliki frekuensi tertinggi yaitu jenis
R.apiculata yang berarti jenis ini terdapat pada setiap plot pengamatan pada
stasiun ini, sedangkan pada stasiun II jenis R. mucronata memiliki frekuensi
tertinggi dengan nilai 0,8. Jenis ini terdapat pada 4 plot dari total 5 plot
pengamatan. Pada stasiun III, frekuensi tertinggi terdapat pada jenis E. agallocha
dan R. apiculata dengan nilai 1. Kedua jenis ini terdapat pada setiap plot pada
stasiun III. Frekuensi setiap pancang dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Frekeunsi Tingkat Pohon
Dominansi (Penutupan Jenis)
Pada stasiun I, nilai dominansi tertinggi yaitu jenis A. marina sebesar 4,8.
Pada stasiun II nilai dominansi tertinggi yaitu jenis X. granatum dengan nilai 6,78.
Pada stasiun yaitu III dengan jenis R. apiculata sebesar 9,5 dan jenis ini menjadi
nilai dominansi tertinggi diantara jenis lain pada setiap stasiun. Perbandingan nilai
dominansi jenis mangrove disajikan pada Gambar 14 .

Universitas Sumatera Utara

36

Gambar 14. Dominansi Jenis Mangrove

Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan parameter kuantitatif yang dapat
dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi spesies dalam komunitas tumbuhan.
Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan
suatu jenis mangrove dalam ekosistem. Semakin banyak jumlah vegetasi yang
ditemukan, semakin tinggi frekuensi ditemukannya suatu jenis, semakin besar
diameter batang yang dimiliki suatu jenis tentu akan memperbesar nilai dari INP
tersebut. Nilai Indeks Nilai Penting dari jenis semai, pancang, dan pohon dapat
dilihat pada Tabel 3 , Tabel 4, dan Tabel 5.

Universitas Sumatera Utara

37

Tabel 3 . Indeks Nilai Penting Semai
No

Spesies

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

A. alba
B. gymnorrhiza
C. decandra
C. tagal
E. agallocha
N. fruticans
R. apiculata
R. mucronata
S. hydrophyllacea
X. granatum

I
43,975
21,965
90,129
21,965
21,965
200

Stasiun
II
10,758
39,091
23,182
22,424
12,424
36,515
34,424
23,182
200

III
60,606
139,394
200

Stasiun
II
11,196
30,144
22,775
62,009
11,196
24,881
11,196
26,603
200

III
17,463
49,851
74,328
58,358
200

Tabel 4 . Indeks Nilai Penting Pancang
No

Spesies

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

A. alba
A. officinalis
B. gymnorrhiza
B. sexangula
C. decandra
C. tagal
E. agallocha
N. fruticans
R. apiculata
R. mucronata
S. hydrophyllacea
X. granatum

I
20,53
20,53
20,53
92,881
45,53
200

Universitas Sumatera Utara

38

Tabel 5 . Nilai Indeks Nilai Penting Pohon
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Spesies
A. alba
A.marina
B. gymnorrhiza
C. decandra
C. tagal
E. agallocha
R. apiculata
L. littorea
R. mucronata
S. alba
X. granatum

I
28,308
47,096
28,829
38,922
38,529
68,277
24,113
25,926
300

Stasiun
II
14,547
22,742
34,79
111.276
18,909
97,736
300

III
21,347
130,125
148,528
300

Indeks Keanekaragaman
Nilai keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I pada kategori
pohon. Nilai keanekaragaman paling rendah yaitu pada stasiun III pada kategori
semai. Nilai Indeks Keanekaragaman pada setiap stasiun dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Indeks Keanekaragaman Jenis Mangrove

Stasiun I

Stasiun II

Stasiun III

Semai
Pancang
Pohon
Semai
Pancang
Pohon
Semai
Pancang
Pohon

Indeks
Keanekaragaman
1,178
1,225
1,955
1,757
1,709
1,429
0,586
1,279
0,803

Universitas Sumatera Utara

39

2. Karakteristik Fisika Kimia Perairan
Kisaran dari hasil pengukuran parameter fisika dan kimia yang dilakukan
dilapangan dapat dilihat pada Tabel 7 dengan menyesuaikan pada baku mutu air
laut untuk biota laut menurut Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.
Tabel 7. Data Kisaran Kualitas Air
Stasiun I
Parameter

Kisaran

Rata-

Stasiun II
Kisaran

Rata
DO (mg/l)

Rata-

Stasiun III
Kisaran

Rata

Baku

Rata-

Mutu

Rata

**

6-7

6,6*

4,8-8

6,93*

3,5-8

6,5*

>5

19,5-28,5

22,76*

23,8-30

27,43*

19,5-21

20,33*

-

6,7-7,4

7,16*

6,9-7,4

7,23*

6,9-7,6

7,36*

7-8,5

Salinitas

3-9

5,66*

3-10

6*

5-10

7,66*

s/d 34

Suhu (0C)

29-32

30,33*

30-31

30,33*

30-31

30,33*

28-31

Kecerahan(cm)
pH

Keterangan : * Memenuhi Baku Mutu
**Baku Mutu Menurut Kepmen LH No.51 Tahun 2004
3. Struktur Komunitas Udang
Komposisi Jenis dan Kelimpahan Relatif Udang
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun
penelitian diperoleh jenis udang Metapenaeus lysianassa memiliki kelimpahan
relatif sebesar 38% dari seluruh spesies udang yang tertangkap. Penaeus
merguiensis dengan nilai 33%. Metapenaeus affinis memiliki kelimpahan relative
sebesar 16%. Spesies Macrobrachium equidens memiliki kelimpahan relative
sebesar 9%. Leptocarpus potamiscus dan Squilla mantis memiliki nilai
kelimpahan relative yakni 1%. Spesies dengan kelimpahan relative terendah
adalah Penaeus monodon dan Exopalaeomon styliferus sebesar 0% dapat dilihat
pada Tabel 8.

Universitas Sumatera Utara

40

Tabel 8. Komposisi Spesies dan Kelimpahan Relatif Udang pada Setiap Stasiun
Pengamatan
No.

Nama Spesies

Jumlah

Rata-Rata

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Metapenaeus affinis
Metapenaeus lysianassa
Macrobrachium equidens
Leptocarpus potamiscus
Exopalaeomon styliferus
Penaeus monodon
Penaeus merguiensis
Squilla mantis

74
178
41
5
4
2
155
4

24,667
59,333
13,667
1,667
1,333
0,667
51,667
1,333

Kelimpahan
Relatif (%)
16
38
9
1
0
0
33
1

Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Udang
Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Udang di
perairan muara sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan
Provinsi

Sumatera

Utara

dapat

dilihat

pada

Tabel

9.

Nilai

Indeks

Keanekaragaman tertinggi yaitu pada stasiun I sebesar 1,443 dan Nilai Indeks
Keanekaragaman terendah terdapat pada sasiun III dengan nilai 1,026. Nilai
Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai 2,219 dan
Nilai Indeks Keseragaman terendah terdapat pada sasiun III sebesar 1,704. Stasiun
III memiliki nilai Indeks Dominansi tertinggi sebesar 0,402 dari setiap stasiun dan
stasiun II memiliki nilai Indeks Dominansi terendah sebesar 0,269.
Tabel 9. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Udang
Indeks
H' (Keanekaragaman)
E (Keseragaman)
D (Dominansi)

I
1,443
1,708
0,279

Stasiun
II
1,336
2,219
0,269

III
1,026
1,704
0,402

Universitas Sumatera Utara

41

3. Keterkaitan Kondisi Mangrove dengan Struktur Komunitas Udang
Hubungan antara kerapatan spesies mangrove dengan kelimpahan udang
di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan
Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 15. Model hubungan antara
kerapatan spesies mangrove dengan kelimpahan udang ditunjukkan pada
persamaan y = 0,09x + 6,908 dengan koefisien determinasi R2 sebesar 0,567 dan
koefisien korelasi r = 0,753.

Kelimpahan Udang (Ind/100m2)

40

y = 0,09 + 6,908
R² = 0,5677
r = 0,753

35
30

28

26

25
20

34

26

19

18

15

35

14

14

10
5
0
0

50

100
150
200
250
Kerapatan Mangrove (Ind/ha)

300

350

Gambar 15. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Kelimpahan
Udang
Hubungan

antara

kerapatan

spesies

mangrove

dengan

keanekaragaman udang di Perairan Muara Sungai Asahan

indeks

Kecamatan

Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada
Gambar 16. Model hubungan antara kerapatan spesies mangrove dengan Indeks
Keanekaragaman udang ditunjukkan pada persamaan y = 0,0012x + 0,0976
dengan koefisien determinasi R2 sebesar 0,687 dan koefisien korelasi r = 0,829

Universitas Sumatera Utara

42

Indeks Keanekaragaman Udang

0,6
y = 0,0012x + 0,0976
R² = 0,687
r = 0,829

0,5
0,4

0,231

0,2

0,458

0,371
0,344

0,322

0,3

0,48

0,302

0,22

0,213

0,1
0
0

50

100
150
200
250
Kerapatan Mangrove (Ind/ha)

300

350

Gambar 16 . Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Indeks
Keanekaragaman Udang
Hubungan

antara

kerapatan

spesies

mangrove

dengan

Indeks

Keseragaman udang di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai
Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 17. Model
hubungan antara kerapatan spesies mangrove dengan Indeks Keseragaman udang
ditunjukkan pada persamaan y = 0,0002x + 0.286 dengan koefisien determinasi
R2 sebesar 0,105 dan koefisien korelasi r = 0,324.

Indeks Keseragaman Udang

0,45
0,4

0,384

y = 0,0002x + 0,2863
R² = 0,1055
r = 0.324

0,347
0,312
0,308 0,315
0,294

0,357

100
150
200
250
Kerapatan Mangrove (Ind/ha)

300

0,35
0,3

0,323

0,252

0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0

50

350

Gambar 17. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Indeks
Keseragaman Udang

Universitas Sumatera Utara

43

Hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap Indeks Dominansi
udang di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten
Asahan Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 18. Model hubungan
antara kerapatan spesies mangrove dengan Indeks dominansi udang ditunjukkan
pada persamaan y = 0,00004x – 0,0006 dengan koefisien determinasi R2 sebesar
0,69 dan koefisien korelasi r = 0,830.

Indeks Dominansi Udang

0,012
0,011

y = 0,00004x - 0,0006
R² = 0,69
r = 0,830

0,01

0,01

0,008
0,006

0,007
0,006

0,006
0,005

0,004

0,004
0,003 0,003

0,002
0
0

50

100
150
200
250
Kerapatan Mangrove (Ind/ha)

300

350

Gambar 18. Grafik Regresi Kerapatan Spesies Mangrove terhadap Indeks
Dominansi Udang
Pembahasan
1. Kondisi Ekosistem Mangrove
Kerapatan
Kerapatan jenis mangrove pada stasiun I menunjukkan bahwa jenis R.
apiculata memiliki nilai kerapatan tertinggi baik itu pada kategori semai, pancang,
maupun pohon dengan nilai kerapatan sebesar 6666,67 Ind/ha, 1066,667 Ind/ha,
dan 200 Ind/ha (Gambar 8,9 dan 10). Hal ini mengindikasikan bahwa jenis
mangrove R. apiculata mampu beradapasti dan tumbuh dengan baik di setiap
stasiun penelitian.

Hasil penelitian mengenai kerapatan mangrove di Pulau

Universitas Sumatera Utara

44

Panikiang Kabupaten Baru Sulawesi Selatan oleh Suwardi dkk (2013) juga
menunjukkan bahwa genera Rhizophora termasuk R.apiculata memiliki kerapatan
jenis tertinggi baik itu tingkat bibit, pancang maupun pohon. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kamalia dkk (2012) yang mana jenis Avicennia sp
memiliki kerapatan tertinggi baik pada pohon, pancang dan semai. Perbedaan ini
disebabkan adanya perbedaan substrat di masing-masing lokasi penelitian
Tingginya kerapatan dari jenis R. apiculata dikarenakan mangrove dari genara
Rhizophora umumnya dapat tumbuh di daerah yang bersubstrat lunak dan
memiliki penyebaran yang luas (Arief, 2003). Aidil dkk (2010) menyatakan
bahwa jenis Rhizophora sp memiliki kemamampuan untuk beradaptasi pada
keadaan lingkungan yang ekstrim dengan kondisi tanah berlumpur.
Stasiun I merupakan daerah mangrove yang berdekatan dengan aktivitas
masyarakat dan wisata. Stasiun ini memiliki total

kerapatan pohon sebesar

766,667 ind/ha yang beradasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004 tergolong
pada kategori jarang. Nilai kerapatan pohon tertinggi terdapat pada jenis

R.

apiculata dengan nilai sebesar 200 Ind/ha dan kerapatan terendah terdapat pada
spesies mangrove R. mucronata dengan jumlah kerapatan sebesar 33,333 Ind/ha.
Nilai kerapatan pohon tertinggi pada stasiun II terdapat pada spesies
R. mucronata dengan nilai sebesar 220 Ind/ha. Kerapatan pohon spesies mangrove
terendah yaitu jenis A. alba dengan nilai sebesar 20 Ind/ha (Gambar 10). Jumlah
total kerapatan pohon di stasiun II sebesar 540 Ind/ha dan berdasarkan Kepmen
LH No 201 tahun 2004, nilai total kerapatan pohon termasuk pada kategori
jarang.

Universitas Sumatera Utara

45

Stasiun II yang merupakan stasiun dengan kondisi mangrove alami
memiliki nilai total kerapatan pohon yang paling rendah yakni sebesar 540 Ind/ha
(Lampiran 1). Namun stasiun ini memiliki nilai total kerapatan tertinggi untuk
kategori pancang dan semai dengan nilai sebesar 30000 Ind/ha dan 7600 Ind/Ha.
Hal ini disebabkan karena adanya kegiatan penebangan pohon mangrove untuk
bahan bangunan dan kayu bakar yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Akan
tetapi, dengan tingginya nilai kerapatan pancang dan semai mangrove pada
stasiun ini menandakan proses regenerasi mangrove berlangsung relatif baik.
Regenerasi yang baik pada lokasi penelitian menunjukkan mangrove dapat
bertahan dengan kondisi yang ada, walaupun secara umum tingkat kerapatan pada
tingkat pohon sebesar 540 Ind/ha masuk dalam kategori rusak akibat pemanfaatan
berlebihan. Menurut Jamili dkk (2009) yang diacu oleh Hidayatullah dan Pujiono
(2014), keberhasilan proses regenerasi sangat tergantung oleh kondisi lingkungan
mendukung, faktor ombak yang kuat akibat tiupan angin yang cukup kencang
juga berpengaruh terhadap keberhasilan propagul semai.
Stasiun III adalah stasiun yang paling dekat dengan laut dan terletak paling
ujung ekosistem mangrove. Berdasarkan Kepmen LH No 201 tahun 2004, nilai
kerapatan total pohon di stasiun III sebesar 680 Ind/ha mengakategorikan stasiun
ini memiliki kerapatan yang jarang. Nilai kerapatan pohon tertinggi terdapat pada
jenis E. agallocha dengan nilai 340 Ind/ha, kerapatan tertinggi untuk kategori
semai terdapat pada jenis R. apiculata sebesar 4000 Ind/ha dan kerapatan tertinggi
untuk kategori pancang yaitu N. fruticans sebesar 1840 Ind/ha.
Kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda dan memiliki jenis yang
bervariasi pada setiap stasiun penelitian dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan

Universitas Sumatera Utara

46

terhadap jenis mangrove serta kegiatan yang terjadi di setiap lokasi stasiun.
Menurut Monk dkk (2000) yang diacu oleh Kordi (2012), komposisi komunitas
mangrove ditentukan oleh beberapa faktor utama yaitu substrat (bentuk tekstur
dan kemantapan), kondisi pasang surut (frekuensi, kedalaman, waktu tergenang),
dan salinitas (variasi harian dan musiman).

Frekuensi
Jenis R. apiculata pada stasiun I memiliki nilai frekuensi tertinggi pada
semua kategori baik itu tingkat semai, pancang maupun pohon dengan 0,667, 1
dan 1 yang berarti jenis ini hampir selalu ditemukan disetiap pada stasiun I
(Gambar 11, 12 dan 13). Hal ini disebabkan selain karena kemampuan Jenis R.
apiculata untuk beradaptasi dengan

baik, juga karena jenis ini terdistribusi

hamper merata di masing-masing plot pada stasiun I. Penelitian yang dilakukan
oleh Haya dkk (2015) di Desa Kukupang Kecamatan Kepulauan Joronga
menunjukkan jenis R.apiculata memiliki nilai frekuensi tertinggi dibanding
spesies yang lain karena jenis ini terdistribusi pada setiap kuadran penelitian.
Menurut Abu Bakar (2006), distribusi individu jenis mangrove sangat dikontrol
oleh

variasi

faktor

lingkungan

yang

berpengaruh.

Keadaan

ini

akan

mengakibatkan jenis mangrove berkumpul dalam jumlah yang banyak pada suatu
daerah yang mana interaksi faktor yang ada memberikan hasil yang paling cocok
untuk kehidupannya.
Stasiun II untuk kategori semai memiliki nilai frekuensi tertinggi pada
jenis C. tagal, R. apiculata dan X. granatum sebesar 0,4 (Gambar 11). Frekuensi
tertinggi untuk kategori pancang yaitu jenis C. tagal sebesar 0,6 (Gambar 12).

Universitas Sumatera Utara

47

serta pada frekuensi tertinggi untuk kategori pohon terdapat pada jenis R.
mucronata dengan nilai sebesar 0,8 (Gambar 13). Secara keseluruhan, jenis C.
tagal, R. apiculata, X. granatum dan R. mucronata hamper dapat ditemukan pada
setiap plot pengamatan pada stasiun II.

Hal ini menunjukkan keempat jenis

tersebut mempunyai penyebaran jenis dan keberadaan yang lebih tinggi
disbanding jenis lainnya pada stasiun II. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Agustini dkk (2016) di Desa Kahyapu Pulau Enggano juga memiliki nilai
frekuensi tertinggi dari jenis mangrove yang berbeda di lokasi penelitian. Selain
itu, adanya perbedaan jenis dan nilai frekuensi dapat ditentukan oleh banyak nya
nilai petak ketika analisis vegetasi mangrove dilapangan. Hal ini didukung oleh
Fachrul (2007) yang menyatakan bahwa nilai frekuensi dipengaruhi oleh nilai
petak dimana ditemukannya spesies mangrove. Semakin banyak jumlah kuadrat
ditemukannya jenis mangrove, maka nilai frekuensi kehadiran jenis mangrove
semakin tinggi.
Pada stasiun III, nilai frekuensi tertinggi untuk kategori semai terdapat
pada jenis

R. apiculata dengan nilai 0,4. Untuk kategori pancang, jenis N.

fruticans memiliki frekuensi tertinggi sebesar 0,8 dan jenis E. agallocha dan R.
apiculata memiliki nilai frekuensi tertinggi sebesar 1 untuk kategori pohon.

Dominansi (Penutupan Jenis)
Jenis mangrove A, marina memiliki nilai penutupan jenis tertinggi pada
stasiun I sebesar 4,8. Pada stasiun II, nilai penutupan jenis tertinggi terdapat pada
jenis X. granatum dengan nilai 6,78 dan jenis R. apiculata memiliki nilai tertinggi
sebesar 9,5 di stasiun III (Gambar 14). Secara keseluruhan, jenis R. apiculata

Universitas Sumatera Utara

48

memiliki nilai penutupan jenis tertinggi pada stasiun III. Tingginya nilai
penutupan jenis R. apiculata disebabkan karena kondisi pohon jenis ini yang
memiliki diameter yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya yang
memiliki diameter pohon yang lebih kecil. Substrat yang lumpur berpasir pada
stasiun III juga mendukung pertumbuhan dari mangrove jenis ini. Hasil penelitian
yang sama juga ditunjukkan oleh Romadhon (2008) yang melakukan penelitian di
Kepualuan Kangean. Jenis R.apiculata memiliki nilai penutupan jenis tertinggi di
stasiun II dan III dari total tiga stasiun pengamatan. Hal ini dipertegas oleh Noor
dkk (2006) bahwa jenis R. apiculata tumbuh pada tanah berlumpur halus, dalam
dan tergenang pada saat pasang, tingkat dominansi dapat mencapai 90% dari
vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi dan menyukai perairan pasang surut yang
memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen.
Nilai perhitungan penutupan jenis total dan disesuikan dengan Kepmen
LH No. 201 tahun 2004 dapat diketahui tingkat kerusakan mangrove yang
terdapat pada masing-masing stasiun. Pada stasiun I dengan nilai penutupan jenis
total sebesar 21,79 termasuk pada kondisi ekosistem mangrove dalam kategori
jarang. Pada stasiun II dengan nilai 18,26 termasuk pada kondisi

ekosistem

mangrove kategori jarang serta stasiun III sebesar 16,96 termasuk pada kondisi
ekosistem yang sama.

Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan parameter kuantitatif yang
digunakan untuk menggambarkan pengaruh atau peranan suatu jenis mangrove
dalam ekosistem. Untuk mengetahui Indeks Nilai Penting pada pohon, pancang

Universitas Sumatera Utara

49

dan semai vegetasi dalam suatu komunitas tumbuhan diperoleh dari penjumlahan
frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan penutupan relatif suatu vegetasi.
Jenis R. apiculata memiliki nilai INP untuk kategori semai tertinggi pada
stasiun I dengan nilai sebesar 69,299%. Pada stasiun II nilai nilai INP tertinggi
terdapat pada jenis B. gymnorrhiza sebesar 39,091% dan pada stasiun III jenis
R.apiculata memiliki nilai INP tertinggi yakni sebesar 139,394% (Tabel 3).
Masing-masing stasiun penelitian memiliki jenis mangrove serta nilai INP yang
berbeda bergantung pada kondisi lingkungan yang mempengaruhi kehidupan jenis
mangrove tersebut. Secara keseluruhan jenis R. apiculata dan B. gymnorhhiza
yang termasuk dalam family Rhizophoraceae berpengaruh dan memberikan
peranan yang cukup besar terhadap ekosistem mangrove di Desa Bagan Asahan
Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara. Penelitian
ini sama dengan penelitian yang pernah dilakukan yang mana jenis R. apiculata
merupakan spesies mangrove yang paling tinggi nilai INP nya di Kawasan Kuala
Idi, Kabupaten Aceh Timur (Parmadi dkk, 2016). Selain itu, Onrizal (2008)
menyatakan bahwa jenis Rhizophora sp. termasuk dalam kelompok vivipari yang
mana embrio keluar dari pericarp selagi masih menempel pada ranting pohon dan
kadang berlangsung pada pohon induknya, sehingga tingkat keberhasilan
pertumbuhan jenis ini menjadi lebih besar.
Nilai Indeks Nilai Penting tertinggi untuk kategori pancang pada stasiun I
terdapat pada jenis R.apiculata sebesar 92,881%. Pada stasiun II yaitu jenis
C.tagal sebesar 62,009% dan pada stasiun III terdapat pada jenis N. fruticans
sebesar 74,328% (Tabel 4). Adanya perbedaan indeks nilai penting vegetasi
mangrove ini dikarenakan adanya kompetisi pada setiap jenis untuk mendapatkan

Universitas Sumatera Utara

50

unsur hara dan sinar cahaya matahari. Selain unsur hara dan matahari, faktor lain
yang menyebabkan perbedaan kerapatan vegetasi mangrove ini adalah jenis
substrat dan pasang surut air laut (Parmadi dkk., 2016). Nilai INP terendah di
stasiun I yaitu jenis A. alba, C. decandra dan C. tagal, pada stasiun II jenis A.
officinalis, N. fruticans, dan R. mucronata serta pada tasiun III yaitu jenis B.
sexangula.
Jenis

R. apiculata memilki INP tertinggi pada kategori pohon yaitu

sebesar 68,277%, pada stasiun II jenis R. mucronata memiliki INP tertinggi serta
jenis R. apiculata yakni 111,276 % serta jenis R. apiculata memiliki nilai INP
tertinggi sebesar 148,528% di stasiun III (Tabel 5). Tingginya INP jenis R.
apiculata dan R. mucronata yang terdapat di lokasi penelitian tidak terlepas dari
daya dukung lingkungan di lokasi penelitian yang mana jenis substrat di Desa
Bagan Asahan adalah lumpur berpasir yang hampir menyebar di seluruh stasiun
penelitian dan hal ini menandakan kedua jenis tersebut memberikan pengaruh
yang besar pada lokasi penelitian. Nilai INP terendah pada stasiun I yaitu jenis A.
alba sebesar 24,113%, pada stasiun II jenis A. alba sebesar 14,547 % dan jenis B.
gymnorrhiza sebesar 21,347%.

Indeks Keanekaragaman
Keanekaragaman mencakup dua hal pokok yaitu banyaknya spesies yang
terdapat pada suatu komunitas dan kelimpahan dari setiap spesies tersebut. Nilai
indeks keanekaragaman tertinggi kategori semai terdapat pada stasiun II yaitu
sebesar 1,757. Pada tingkat pancang, nilai indeks keanekaragaman tertinggi

Universitas Sumatera Utara

51

terdapat pada stasiun II sebesar 1,709 dan untuk kategori pohon nilai indeks
keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I yakni sebesar 1,955.
Berdasarkan kriteria Shannon wiener, nilai keanekaragaman baik tingkat
semai, pancang dan pohon tergolong pada kategori keanekaragaman sedang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitasnya cukup rendah, ekosistem yang
relatife stabil dan adanya indikasi bahwa terdapat tekanan ekologis yang terjadi
cukup berat. Nilai keanekaragaman suatu komunitas sangat bergantung pada
jumlah jenis dan jumlah individu yang terdapat pada komunitas tersebut.
Keanekaragaman jenis suatu komunitas akan tinggi jika komunitas itu disusun
oleh banyak jenis dan tidak ada species yang mendominasi. Sebaliknya, suatu
komunitas memiliki nilai keanekaragaman jenis yang rendah, jika komunitas itu
disusun oleh sedikit jenis dan ada species yang dominan (Indriyanto, 2006).

3. Karakteristik Fisika Kimia Perairan
Pada stasiun I, hasil pengukuran suhu pada ketiga stasiun pengamatan
berkisar antara 29-32 0C, dan pada stasiun II dan III terdapat pada kisaran suhu
30-31 0C dan 30-31 0C, dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun I dan II (Tabel
7). Suhu pada ketiga stasiun penelitian masih dapat mendukung bagi kehidupan
biota laut sesuai dengan bakur mutu yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan
Hidup No 51 Tahun 2004.
Suhu perairan sangat mempengaruhi kehidupan udang karena makin
tinggi suhu, maka kelarutan oksigen makin rendah (Manik dan Djunaidah, 1980).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2010), bahwa umumnya organisme
memerlukan suhu optimum berkisar 20-300C sedangkan untuk beberapa jenis

Universitas Sumatera Utara

52

crustacea memiliki kisaran suhu optimum 26-30 0C. Guncangan suhu yang bisa
ditoleransi adalah tidak lebih dari 20C. Pertumbuhan mangrove yang baik
memerlukan suhu dengan kisaran 28-32 0C, hal ini sesuai dengan Wantasen
(2013), menyatakan bahwa suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti
fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu
rata-rata minimal lebih besar dari 20º C.
Secara umum, suhu antar stasiun tidak menunjukkan variasi yang besar.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi cuaca pada saat pengukuran. Pola
temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas
cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya,
ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari
pepohonan yang tumbuh di tepi serta factor anthropogen yang disebabkan oleh
kegiatan manusia (Barus, 2004).
Kandungan oksigen terlarut dari ketiga stasiun penelitian adalah berkisar
6-7 mg/l pada stasiun I. Pada stasiun II, nilai DO terdapat pada kisaran 4,8-8 mg/l
dan pada stasiun III pada kisaran 3,5-8 mg/l. Berdasarkan KepMenLH No. 51
tahun 2004, kadar oksigen yang sesuai baku mutu untuk biota laut adalah >5 mg/l.
Dapat dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut pada stasiun II dan III tidak
memenuhi baku mutu perairan. Menurut Effendi (2003),kisaran oksigen terlarut
yang cukup untuk kehidupan biota perairan sebaiknya lebih dari 5 mg/l, namun
beberapa biota perairan masih dapat hidup pada kadar ogsigen terlarut dibawah 4
mg/l walaupun akan mempengaruhi kondisi fisiologis nya.
Hampir seluruh biota perairan menyukai perairan dengan kandungan DO
yang tinggi. Menurut Amri dan Iskandar (2008), kandungan oksigen terlarut yang

Universitas Sumatera Utara

53

baik untuk kehidupan udang adalah >3 ppm dan sebaiknya berada pada kisaran 48 ppm (mg/l). Lebih lanjut, Zulpikar dkk (2016) menyatakan bahwa apabila
kandungan oksigen terlarut < 1 mg/l dalam beberapa jam, maka akan
menyebabkan kematian. Oksigen terlarut memiliki peranan yang penting dalam
tubuh udang.
Pengukuran salinitas perairan pada stasiun I, II, dan III telah memenuhi
baku mutu yaitu dengan nilai rata-rata 5,66 ‰, 6 ‰ dan 7,66 ‰ (Tabel 7).
Salinitas tertinggi terdapat pada stasiun III dan salinitas terendah terdapat pada
stasiun I. Perbedaan salinitas pada masing-masing stasiun penelitian disebabkan
karena lokasi penelitian yang terdapat pada daerah estuary (muara sungai)
sehingga akan terjadi fluktuasi salinitas yang berbeda-beda karena dipengaruhi
oleh pasang surut air laut.
Udang termasuk hewan yang mampu hidup pada salinitas yang kisaran
nya cukup lebar (euryhalin). Berdasarkan keputusan KepMenLH No 51 Tahun
2004, kisaran nilai salinitas di masing-masing lokasi penelitian masih dapat
menopang kehidupan organisme perairan yakni s/d 34‰. Tiap jenis udang
memiliki tingkat toleransi salinitas yang berbeda-beda, namun secara umum,
udang memiliki kisaran salinitas berkisar antara 10-35‰ dan pertumbuhan yang
baik diperoleh pada kisaran salinitas 15-20‰ (Amri dan Iskandar, 2008).
Hasil pengukuran parameter pH (derajat keasaman) pada lokasi penelitian
berkisar antara 6,7-7,4 pada stasiun I, stasiun II berkisar antara 6,9-7,4 dan
stasiun III berada pada kisaran 6,9-7,6 (Tabel 7). Hasil pengukuran pH tersebut
menunjukkan bahwa nilai pH relatif sama dan tidak adanya perbedaan yang
mencolok di setiap lokasi penelitian.

Universitas Sumatera Utara

54

Berdasarkan KepMenLH No 51 Tahun 2004, nilai kisaran pH yang dapat
menopang kehidupan untuk organisme perairan adalah 6,5-8,5. Menurut Odum
(1998), air laut merupakan sistem penyangga yang memiliki pH relatif stabil
yakni sebesar 7,0 – 8,5. Maka dapat disimpulkan bahwa nilai derajat keasaman
pada masing-masing stasiun penelitian sesuai untuk kehidupan organisme udang.
Hasil pengukuran parameter kecerahan pada stasiun penelitian dengan
rata-rata pada stasiun I sebesar 22,76 cm, pada stasiun II 27,43 cm dan pada
stasiun III 20,33 cm. Kecerahan tertinggi tedapat pada stasiun II dan kecerahan
terendah terdapat pada stasiun III. Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari
tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat
terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyaknya
faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun
mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh. Berdasarkan
KepMenLH No 51 Tahun 2004, nilai kecerahan untuk biota laut pada ketiga
stasiun penelitian tergolong pada nilai yang dapat menopang kehidupan biota
udang.

3. Struktur Komunitas Udang
Komposisi Jenis dan Kelimpahan Relatif Udang
Spesies udang yang terdapat di Muara Sungai Asahan Kecamatan
Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 8 jenis yaitu
M. affinis, M. lysianassa, M. equidens, L. potamiscus, . E. styliferus, P. monodon,
P. merguiensis dan S. mantis. Jenis M. affinis tertangkap sebanyak 74 ekor, jenis
M. lysianassa sebanyak 178 ekor, jenis M. equidens sebanyak 41 jenis, L.

Universitas Sumatera Utara

55

potamiscus sebanyak 5 spesies, jenis E. styliferus 4 ekor, P. monodon 2 ekor, P.
merguiensis 155 ekor dan S. mantis sebanyak 4 ekor.
Jenis M. lysiamassa memiliki nilai kelimpahan relative tertinggi yakni
sebesar 38 % dari seluruh spesies udang. Jenis M. affinis

memiliki nilai

kelimpahan relative sebesar 16 %. Jenis M. equidens sebesar 9 %, L. potamiscus
sebesar 1 %, E. styliferus sebesar 0 %, P. monodon sebesar 0 %, P. merguiensis
33 % dam S. mantis sebesar 1 % (Tabel 8). Jenis M. lysianassa merupakan jenis
udang yang dominan dan dapat ditemukan di setiap stasiun penelitian (Lampiran
6). Hal ini di sebabkan jenis ini hidup dengan baik pada ekosistem mangrove
dengan substrat berlumpur yang terdapat di lokasi penelitian. Menurut Carpenter
and Niem (1998), jenis M. lysianassa hidup pada substrat dasar berlumpur di
perairan pantai, sampai kedalaman sekitar 28 m. Ditangkap dengan jaring,
jebakan, jaring, jaring, jala, jaring, dan trawl, udang jenis ini memiliki penyebaran
di wilayah Indo-Pasifik Barat dari India ke Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.
Jenis S. mantis memiliki jumlah sebanyak 4 ekor dengan kelimpahan
sebesar 1 %. Jenis ini hanya terdapat di stasiun III (Lampiran 9) yang merupakan
stasiun yang paling dekat dengan laut dan memiliki substrat lumpur berpasir.
Menurut Astuti dan Ariestyani (2013), udang mantis dapat hidup di air laut
maupun air payau, dan sering dijumpai di daerah pesisir maupun pertambakan.
Habitat sebagian besar udang mantis adalah pantai dan menyukai hidup di dasar
air terutama pasir berlumpur.
Jenis P. monodon merupakan jenis udang dengan nilai kelimpahan relatif
terendah yakni sebesar 0%. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
oleh Asian dkk (2015) di Perairan Kampung Bugis yang mana jenis P. monodon

Universitas Sumatera Utara

56

menjadi spesies ketiga terendah dengan jumlah 2 ekor dengan komposisi 0,29 %.
Hal ini disebabkan karena udang jenis ini merupakan udang laut sehingga tidak
banyak ditemukan di daerah estuary. Menurut Sandoval dkk (2014) P. monodon
matang dan berkembang biak secara dominan pada substrat pasir atau dasar pasir
berlumpur yang dekat dengan habitat laut.
Adanya perbedaan jumlah dan jenis udang dapat disebabkan karena setiap
spesies udang menyukai lingkungan yang ditandai dengan perbedaan faktor fisika
kima lingkungan seperti tipe substrat, kedalaman, kecerahan, suhu dan salinitas.
Menurut Krebs (1978), menyatakan bahwa keberadaan suatu spesies di dalam
suatu perairan dipengaruhi oleh penyebaran, tingkah laku, adanya spesies
predator, dan kompetitor, serta beberapa faktor kimia dan fisika perairan. Selain
itu, hal ini juga dipengaruhi oleh keadaan pasang surut oleh air laut yang mana
pengambilan sampel udang dilakukan pada saat surut. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mumin (2004) di Teluk Bula, Pulau Seram,
Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku yang menunjukkan bahwa hasil
tangkapan udang pada waktu pasang lebih banyak dibandingkan hasil tangkapan
pada saat surut yakni di Muara pada saat pasang tertangkap 67 ekor pada 39 ekor
pada saat surut serta di pantai Tanjung Hol pada saat pasang tertangkap 49 ekor
dan 15 ekor saat surut.

Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Udang
Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) pada ketiga stasiun berkisar antara
1,026-1,443. Indeks Keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar
1,443 dan terendah terdapat pada stasiun III sebesar 1,026 (Tabel 9). Stasiun I

Universitas Sumatera Utara

57

merupakan stasiun dengan mangrove alami yang berdekatan dengan aktivitas
wisata dan permukiman

memiliki

keanekaragaman tertinggi udang karena

terdapat 7 jenis udang pada stasiun ini dengan total 209 udang. Menurut Marbun
(2010), tinggi rendahnya indeks keanekaragaman udang pada setiap stasiun
penelitian disebabkan oleh berbagai faktor fisik kimia perairan dan ketersediaan
nutrisi atau pakan.
Berdasarkan pengkasifikasian nilai Indeks Keanekeragaman Shannon
Wiener, dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keanekaragaman di Muara Sungai
Asahan termasuk kategori sedang karena H’ bernilai 1,026-1,443 serta jika
dihubungkan dengan tingkat pencemaran tergolong pada tercemar sedang yakni
termasuk pada kisaran 1

Dokumen yang terkait

Hubungan Struktur Komunitas Ikan dengan Kualitas Air di Sungai Asahan Kabaupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara

0 68 83

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 1 2

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 5

Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora apiculata di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara Chapter III V

0 0 35

Hubungan Kondisi Ekosistem Mangrove Dengan Struktur Komunitas Udang Di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Hubungan Kondisi Ekosistem Mangrove Dengan Struktur Komunitas Udang Di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Hubungan Kondisi Ekosistem Mangrove Dengan Struktur Komunitas Udang Di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 5

Hubungan Kondisi Ekosistem Mangrove Dengan Struktur Komunitas Udang Di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 13

Hubungan Kondisi Ekosistem Mangrove Dengan Struktur Komunitas Udang Di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 3 5

Hubungan Kondisi Ekosistem Mangrove Dengan Struktur Komunitas Udang Di Perairan Muara Sungai Asahan Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

0 0 21