Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional Melalui Online Dispute Resolution (ODR)

BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS BERDASARKAN HUKUM DI
INDONESIA
A. Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Bisnis
1. Bentuk - Bentuk Sengketa Bisnis
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai
macam bentuk kerjasama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin
meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak
yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang
melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest diantara para
pihak. Jadi, sederhananya segala permasalahan yang timbul diantara para pihak
ketika sedang menjalankan hubungan bisnis atau perdagangan disebut sengketa
bisnis.
Yang merupakan sengketa bisnis adalah ; 52
a. Sengketa Perburuhan
Sengketa Perburuhan atau perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan
Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (selanjutnya disingkat “UU Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial”) adalah perbedaan pendapat

yang mengakibatkan


pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
52

Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia (Bandung : Mondar Jaya, 2010) hlm 1.

17

Universitas Sumatera Utara

antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

53

Yang dimana yang

dimaksud dengan buruh ialah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah

atau imbalan dalam bentuk lain.54 Dan yang dimaksud pengusaha ialah Pengusaha
adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri atau perusahaan bukan miliknya atau orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia. 55

b. Sengketa Kontrak
Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,56 pengertian
perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Subekti
berpendapat bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.57 Pada dasarnya setiap kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak
harus dapat dilaksanakan dengan dengan itikad baik. Namun, dalam praktiknya,
kontrak yang dibuatnya seringkali dilanggar.58

53


Indonesia, Penyelesaian Perselisishan Hubungan Industrial (Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisishan Hubungan
Industrial) LN Tahun 2004 Nmor 6, TLN Nomor 4356.
54
Ibid
55
Ibid
56
R. Subekti – R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta :
Pradnya Paramita cetak XXIV, 1992)
57
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT Intermasa, 2005) hlm 10.
58
Hariadi,
Penyelesaian
Sengketa
Dalam
Kontrak
Bisnis,
http://www.gresnews.com/berita/tips/1451112-tips-penyelesaian-sengketa-dalam-kontrak-bisnis/0/

, diakses Pada Tanggal 1 Juli 2017, Pukul 13.38 WIB

18

Universitas Sumatera Utara

Sengketa kontrak disebabkan setidakya karena 2 (dua) hal :
1. Pelanggaran kontrak (wanprestasi) yang melputi tidak melaksanakan
prestasi sesuai kontrak, melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat
waktu, melaksanakan prestasi tetapi tidak sesuai dengan syarat yang
diperjanjikan. 59
2. Sengketa yang bersumber dari penafsiran kontrak yang berbeda.
b.1 E – Contract
Berdasarkan Pasal 1 ayat (17) Undang –Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Terhadap Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat “UU ITE”), kontrak
elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.60
Istilah online contract sebenarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum
yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari
sistem informasi berbasiskan komputer (computer based information system)

dengan

sistem

komunikasi

yang

berdasarkan

atas

jaringan

dan

jasa

telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh
keberadaan jaringan komputer global internet (network of network).61

Dalam praktek, terdapat dua macam kontrak Elektronik, yaitu : 62

59

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hlm 17
Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik) LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 5952.
61
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004).
Hal 223.
62
Paustinus Siburian, op cit, hlm 69.
60

19

Universitas Sumatera Utara


1. Kontrak yang biasanya ada di dalam websites dan jasa online.
Kontrak jenis ini terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu ;
a. Perjanjian yang ditutup dengan cara mengklik (clickwrap
agreement). Clikwrap agreement adalah suatu kontrak untuk
pembelian atau penggunaan barang atau jasa yang ditawarkan
oleh pedagang online. Pembeli online harus menyetujui
persyaratan persyaratan yang disebutkan dalam kontrak dengan
mengklik icon (yang biasanya berisi tulisan I agree, I accept,
Ok, Setuju) sebelum melengkanpi transaksinya.
b. Perjanjian yang ditutup dengan cara mem-browse (browsewrap
agreement). Browsewrap agreement ini berbeda dengan
clickwraps agreement, pengguna tidak diwajibkan mengklik
apapun sebelum melengkapi transaksinya. Dalam browsewrap
agreement,

pembeli

atau

pengguna


online

menyetujui

persyaratan dalam kontrak dengan melihat isi dari situs yang
bersangkutan. Persyaratan biasanya dapat dibaca pada link yang
bertuliskan “Terms, Terms and Condition, Term og Service,
Ketentuan, Persyaratan)
2. Kontrak yang dibentuk secara sah melalui email. Jadi, disni para
pihak dalam hal ini melakukan perjanjian dengan memanfaatkan
komunikasi melalui email. Yang kemudian dalam hal ini dapat
dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya,
dokumen tertulis, fax dan lain-lain.

20

Universitas Sumatera Utara

Kegiatan bisnis yang dilakukan baik dalam satu negara maupun yang

dilakukan antar negara ini tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan
para pihak sesuai dengan asas kesepakatan. Pada Pasal 1338 KUHPerdata
dikataka bahwa

kesepakatan yang telah disetujui para pihak tentunya akan

mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.63
Namun demikian dalam prakteknya apa yang telah mereka sepakati itu,
kerapkali menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian bagi
salah satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka terdapat
dua jalan yang dapat ditempuh, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui jalur
alternatif.

64

Pada umumnya di dalam sebuah kontrak yang telah ditandatangani

bersama terdapat sebuah klausula yang menyatakan mengenai bagaimana
melakukan suatu penyelesaian atas suatu perselisihan atau sengketa yang akan
timbul dikemudian hari.

c. Persaingan Usaha
Pengertian persaingan usaha secara yuridis selalu dikaitkan dengan
persaingan dalam arti ekonomi yang berbasis pada pasar, dimana pelaku usaha
baik itu perusahaan maupun penjual dengan bebas berupaya untuk mendapatkan
konsumen guna mencapai tujuan usaha atau perusahaan yang didirikannya.65
Menurut kamus bisnis, yang dimaksud persaingan atau kompetisi adalah adalah
kondisi

yang

terjadi

ketika

sejumlah

besar

pembeli


dan

penjual

63

R . Subekti – R. Tjitrosudibjo, op cit, Pasal 1338.

64

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar

Grafika, 2015) hlm 77
65
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks.
(Jakarta:Creative Media,2009), hlm.21

21

Universitas Sumatera Utara

memperdagangkan barang atau jasa.

66

Dalam kegiatan usaha, persaingan usaha

merupakan hal yang wajar terjadi, namun dalam kegiatan usaha, sering terjadi
persaingan usaha tidak sehat antara sesama pelaku usaha dalam menjalannkan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan
cara – cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
67

Hal tersebut berdampak pada munculnya berbagai masalah atau perkara dalam

kegiatan usaha yang disebut dengan sengketa persaingan usaha.
d. Sengketa Konsumen
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) tidak dijelaskan
mengenai pengertian sengketa konsumen. Namun definisi sengketa konsumen
dapat ditemui pada Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yaitu Surat
Keputusan Nomor: 350 / MPP / Kep / 12 / 2001 tanggal 10 Desember 2001,
dimana pada Pasaal 1 ayat (8) dikatakan yang dimaksud dengan sengketa
konsumen adalah : 68
“Sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat
mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.”

66

Kamus Bisnis http://kamusbisnis.com/arti/persaingan/ diakses Pada tanggal 04 Mei
2017 Pukul 07.00 WIB.
67
Indonesia, (Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat) Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, LN Tahun 1999 Nomor 33,TLN Nomor 3817.
68
Mentri Perindustrian dan Perdagangan, Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (Peraturan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 350/Mpp/Kep/12/2001) tanggal 10 Desember 2001.

22

Universitas Sumatera Utara

Menurut Praditya yang dimaksud sengketa konsumen adalah sengketa
berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen.69
Pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut “UU Konsumen”) gugatan atas
pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :70
a)

Seorang

konsumen

yang

dirugikan

atau

ahli

waris

yang

bersangkutan.
b)

Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

c)

Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya

organisasi

tersebut

adalah

untuk

kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
d)

Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

e. Sengketa Perbankan
Sengketa perbankan merupakan sengketa antara bank dengan pihak
nasabah.71 Sengketa yang terjadi antara bank dengan nasabahnya mencakup
69

Praditya, Penyelesaian Sengketa Konsumen, (Jakarta : Grafindo,2008), hlm 135
Indonesia, Undang Undang Perlindungan Konsumen (Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) LN Tahun 1999 Nomor 42,
TLN Nomor 3821.
70

23

Universitas Sumatera Utara

sengketa di bidang finansial, yakni tidak dipenuhinya tuntutan finansial dari
nasabah oleh bank. Pada Pasal 2 PBI Nomor 8/5/PBI/2006

yang dimaksud

tuntutan finansial adalah : 72
“Yang dimaksud dengan tuntutan finansial adalah potensi kerugian
finansial nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian bank
sebagaimana dimaksud pada Peraturan Bank Indonesia tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah”.
Pada dasarnya sengketa bisnis antar para pihak umumnya terjadi
disebabkan 2 (dua) hal :
1. Pelanggaran Kontrak (wanprestasi). Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan
bahwa “wanprestsi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4
macam yaitu ;
a. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai
mana yang diperjanjikan.
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
d. Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat
dilakukan.73
2. Salah

satu

pihak

melakukan

perbuatan

melawan

hukum

yang

mengakibatkan kerugian material kepada pihak lain.74

71

Penyelesaian
Sengketa
Perbankan
Melalui
Mediasi
Perbankan,
https://www.academia.edu/21529772/PENYELESAIAN_SENGKETA_PERBANKAN_MELAL
UI_MEDIASI_PERBANKAN?auto=download, diakses Pada tanggal 06 Mei 2017 Pukul 03.37.
72
Indonesia (Mediasi Perbankan), Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/5/PBI/2006
tentang Mediasi Perbankan
73
R. Subekti, op cit, hlm 50

24

Universitas Sumatera Utara

Menurut Priyatna Abdurrasyid, sengketa juga berhubungan dengan soal
sederhana atau kompleks dan melibatkan berbagai jenis persoalan, misalnya ;75
a. kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu
sendiri, atau dari data yang diberikan oleh pihak termasuk penjelasan
penjelasan tentang kenyataan data tersebut;
b. masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran
menyesatkan yang diberikan oleh para ahli hukum;
c. akibat perbedaan teknis, termasuk oerbedaan pendapat dari ahli teknik
dan orofesional dari para pihak;
d. perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalya dalla
penggunaan kata – katayang membingungkan atau adanya perbedaan
asumsi;
e. perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan, dan moralitas,
budaya, nilai - nilai dan sikap.
Konflik umumnya berawal dari perbedaan pandangan atau kepentingan
yang terjadi antara para pihak, yang kemudian dipertajam sehingga memunculkan
konflik yang sebenarnya.76 Didalam dunia bisnis, konflik berawal dari adanya
pertentagan kepentingan antara para pelaku bisnis. Konflik dalam dunia bisnis
selalu tidak menguntungkan dan kontra produktif dengan tujuan bisnis.77 Terlau
banyak energi dan sumber daya mubazir yang dikeluarkan para pihak untuk
mempertahankan kepentingan masing masing. Oleh karenanya sangatlah penting
74
Retnowulan Sutantio, Iskandar Oerip. Hukum Acara Perdata dalam Teori Dan
Praktek, (Bandung : Alumni. 2000) hlm 23.
75
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Suatu
Pengantar), (Jakarta ; PT Fikahati dan BANI, 2002), hlm 5-6
76
Candra Irawan, op cit, hlm 2.
77
Ibid.

25

Universitas Sumatera Utara

untuk menyelsaikan sengketa bisnis secara cepat dengan menggunakan lemabaga
atau paranata yang ada, baik itu secara formal (litigasi) ataupun non formal (non
litigasi).
2. Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan
Pada
menggunakan

zaman

dahulu,

paranata

adat

masyarakat
yang

dalam

tersedia,

menyelesaikan

melalui

sengketa

musyawarah

adat,

menggunakan tetua adat sebagai mediator dan perdamaian adat.78 Pada zamannya
pranata adat sangatlah efektif. Namun seiring perkembangan zaman dan
perubahan perilaku masyarakat serta perpindahan masyarakat yang akhirnya
menyebabkan suatu suku, etnis, budaya berbaur dengan suatu yang suku, etnis,
dan budaya yang berbeda beda, maka cara penyelesaian sengketa dengan cara adat
ini mulai ditinggalkan. Yang dimana perubahan itu akibat logis dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan dalam segala
bidang dan tuntutan kehidupan dunia modern.79
Cara penyelesaian sengketa pasca pranata adat yang selama ini dikenal dan
digunakan masyarakat adalah Pengadilan. Dari sengketa keluarga (seperti
perceraian, pewarisan) sampai sengketa bisnis (seperti kontrak dan perbankan)
diserahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikannya atau disebut proses litigasi
Litigasi merupakan sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan. Peradilan merupakan lembaga resmi kenegaraan yang diberi
kewenangan untuk mengadili (menerima, memeriksa dan memutus) perkara

78
79

Ibid, hlm 4.
Ibid.

26

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan kompetensi yang dimiliki.80 Dimana dalam proses mengadili,
pengadilan harus tunduk pada ketentuan hukum acara peradilan yang telah
ditetapkan secara pasti oleh perundang-undangan. Pada umumnya, sengketa bisnis
dilakukan dengan pengajuan gugatan perdata dan dan mengikuti prosedur
berperkara sesuai dengan ketentuan acara perdata.
Penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan sering didasarkan pada
perjanjian antara para pihak. Biasanya saat menjalin kerjasama bisnis para pihak
akan membuat sebuah kontrak. Dan di dalam kontrak tersebut akan terkandung
klausula mengenai usulan penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi baik
itu melalui pengadilan maupun lewat jalan lain.
Ketika terjadi suatu sengketa dalam kegiatan bisnis maupun perdagangan,
umumnya langkah pertama yang dilakukan adalah negosiasi.81 Kedua belah pihak
membicarakan sengketa tersebut dan mencoba mencari jalan keluar. Ketika proses
negosiasi ini gagal barulah ditempuh cara lain seperti penyelesaian melalui
pengadilan, arbitrase, maupun jalan alternatif lainnya.
Namun dalam prakteknya, para pihak yang mengalami sengketa langkah
pertama yang digunakan adalah dengan negoisasi. Apabila dalam negoisasi tidak
menemukan jalan keluar, maka para pihak akan menggunakan Penyelesaian
Sengketa Alternatif. Dan pengadilan adalah cara penyelesaian terakhir apabila di
dalam Penyelesaian Sengketa Alternatif tetap tidak menemukan jalan tengah
untuk para pihak.
“Penyelesaian
Sengketa
Dagang
secara
Litigasi”
https://www.academia.edu/5253455/HUKUM_DAGANG__Penyelesaian_Sengketa_Dagang_seca
ra_Litigasi diakses Pada tanggal 02 Juni 2017, Pukul 04.13 WIB)
80

81

Ibid.

27

Universitas Sumatera Utara

3. Cara - Cara Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan
Pada hakikatnya, penyeesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua
proses yaitu proses litigasi di dalam pengadilan dan proses penyelesaian sengketa
melalui kerjasama (koperatif) di luar pengadilan. 82
Namun perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Pengadilan ternyata
bukan lembaga penyelesaian sengketa yang tepat dan memiliki banyak
kelemahan, terutama menurut para pelaku bisnis.83

Tujuan APS adalah

terwujudnya “win-win solution” sebagai bentuk penyelesaian perkara, sementara
dalam hukum positif di Indonesia masih menganut sifat “win-lose solution”.
Dengan melihat fakta tersebut, maka peluang alternatif untuk penyelesaian
sengketa sangat diperlukan.84
Tetapi APS yang telah memasyarakat di kalangan praktisi secara
internasional juga menimbulkan pro dan kontra mengenai fungsi dan kewenangan
dari peradilan yang sebenarnya. Terdapat anggapan bahwa APS dapat menjadi
kompetisi dari sistem peradilan yang sudah ada. Namun sebagian kalangan
melihatnya APS sebagai peluang bagi kaum yang tidak mampu untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dimana menelan banyak biaya, dan APS
dianggap sangat cocok terutama untuk sengketa bisnis dimana prosesnya tidak
serumit dan memakan banyak waktu seperti di pengadilan. 85

82

Nugroho Susanti Adi, op cit, hlm 3
Candra Irawan, op cit, hlm 3.
84
Huala Adolf, Arbitase Komersial Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993)

83

hlm 13
85

Nugroho Susanti Adi, loc.it, hlm 3

28

Universitas Sumatera Utara

Menurut Phillip D. BOSTWICK ADR itu adalah :86
“Sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan (A set of
pratices and legal techniques that aim) :

B.

a) Menyelesaikan sengketa hukum di luar Pengadilan semi
keuntungan para pihak (To permit legal disputes to be resolved
outside the courts for the benefits of all disputants)
b) Mengurangi biaya litigasi konvesional dan pengunduran waktu
yang biasa terjadi (To reduce the cost of conventional litigation
and the delay which it is ordinarily subjected)
c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke
Pengadilan (To prevent legal disputes that would otherwise likely
be brought to the courts)”
Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan Berdasarkan
Hukum di Indonesia
1. Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan di
Indonesia
a. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Sumber hukum penyelesaian sengketa dagang melalui pengadilan
terdapat pada Pasal Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan
Kehakiman), tersebut yang mengatakan ; 87
”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

86

Bostwick, Gosing Private With the Judicial System, (New York : McGraw-Hill,1995),

hlm. 16.

Indonesia, (Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2009 Nomor 157
TLN Nomor 5076
87

29

Universitas Sumatera Utara

Yang artinya keadilan merupakan hak bagi setiap orang dan
pengadilan wajib untuk memeriksa serta mengadili setiap sengketa yang
diajukan ke pengadilan, termasuk pula halnya dengan sengketa bisnis.
b. PERMA No 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana.
Pada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana (selanjutnya disebut “Perma Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana”) dikatakan bahwa ;88
“Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam lingkup
kewenangan peradilan umum”
Dalam PERMA Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana ini dijelaskan
Pada Pasal 1 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian gugatan
sederhana; 89
“Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di
persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling
banyak 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata
cara dan pembuktian sederhana”
Yang artinya, dalam hal sengketa bisnis dengan nilai gugatan materil
dengan nominal maksimal Rp 200,000,000 dapat mengajukan gugatannya ke
pengadilan dengan cara penyelesaian gugatan sederhana.

88

Mahkamah Agung, (Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana) Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian
Gugatan Sederhana
89
Ibid

30

Universitas Sumatera Utara

3. Undang Undang

2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.
Pada Pasal 5 Undang Undang

2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaia

Perselisihan Hubungan Industrial dikatakan bahwa ;90
“Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.”
Seperti yang diketahui bahwa sengketa perburuhan merupakan salah satu
sengketa bisnis, di mana di dalam undang undang ini jelas dikatakan bahwa
apabila melalui konsiliasi atau mediasi tidak mendapatkan mufakat, maka dalam
hal ini baik pihak buruh atau perusahaan yang bersengketa dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
4. Kontrak yang Dibuat Oleh Para Pihak
Di dalam KUHPerdata dikatakan bahwa kontrak yang dibuat sesuai secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.91 Pada
umumnya sebuah kontrak akan mencantumkan klausula yang menyatakan apabila
terjadi persengketaan dalam pelaksanaan kontrak akan diselesaikan melalui jalur
tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama. Jadi apabila di dalam kontrak para
pihak setuju untuk menggunakan jalur pengadilan, maka apabila terjadi sengketa
hal tersebut menjadi kewenangan pengadilan untuk menyelesaikannya.

90

Indonesia, (Undang Undang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan), Undang
Undang Republik Indoneia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
LN Tahun 2004 Nomor 6, LTN Nomor 4356
91
R. Subekti – R. Tjitrosudibjo, op cit, Pasal 1338.

31

Universitas Sumatera Utara

Dan dalam hal ini M Yahya Harahap mengatakan mengenai pemilihan
penggunaan arbitrase harus diperhatikan betul mengenai rumusan klausulanya.
Apabila perjanjian ditetapkan terbatas pada sengketa sengketa tertentu yang
disebutkan secara rinci, maka arbitrase hanya berwenang terhadap sengketa yang
disebutkan dalam perjanjian, selebihnya segala bentuk sengketa di luar yang
disebutkan tetap menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.92 Dapat dilihat bahwa
Pengadilan Negeri memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa kontrak yang
merupakan bagian dari sengketa bisnis. Yang artinya, apabila sebuah kontrak
tidak menetapkan klausul mengenai jalur yang dipilih, apabila terjadi sengketa
maka pengadilan negeri lah yang berhak untuk memeriksa dan memutus perkara
tersebut.
5. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Di dalam Pasal 45 ayat (1) UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut “UU Perlindungan Konsumen”) dikatakan
bahwa;93
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum.”
Sengketa konsumen merupakan bagian dari bentuk sengketa bisnis. Akhir
akhir ini sengketa konsumen sering kita dengar seiring dengan meningkatnya

92

Candra Irawan, op cit, hlm 16
Indonesia (Undang – Undang Perlindungan Konsumen) Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. LN Tahun 1999 Nomor 42 ,
TLN Nomor 3821.
93

32

Universitas Sumatera Utara

penjualan melalui elektronik (e-commerce). Dalam Pasal 45 ayat (1) di atas
dijelaskan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan sengketanya
ke pengadilan.
2. Keunggulan dan Kelemahan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui
Pengadilan
a. Keunggulan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan
1. Pengadilan Lebih Memberikan Kepastian Hukum
Pengadilan merupakan lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan
untuk mengadili (menerima, memeriksa dan memutus) perkara . Hakim di dalam
proses peradilan memiliki tanggung jawab untuk melahirkan putusan – putusan
yang mencerminkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan94
2. Asas Persamaan di Mata Hukum
Susanti Adi Nugroho dalam bukunya mengatakan bahwa salah satu
kekurangan dari proses APS (mediasi) adalah mediasi sulit berjalan baik karena
para pihak sering berada dalam situasi atau posisi yang tidak seimbang atau berat
sebelah (misal jika salah satu pihak mempunyai posisi kedudukan yang jauh lebih
besar). Dalam hal ini mediator dihadapkan dalam posisi dilema ketika ia
mengetahui bahwa dengan posisi yang tidak seimbang ini maka arah penyelesaian
sengketa akan sangat tidak adil bagi salah satu pihak.95

Fence M Wantu, “Kendala Hakim Dalam Menciptakan Kepastian Hukm, Keadilan,
dan
Kemanfaatan
Di
Peradilan
Perdata”
https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16092/10638, diakses Jumat 23 Juni 2017, Pk 15.32
WIB
95
Susanti Adi Nugroho, op cit, hlm 30
94

33

Universitas Sumatera Utara

Pada Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman di katakan bahwa ;

orang.”

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
Peradilan di Indonesia mengenal asas “equality before the law” atau

persamaan di mata hukum yang artinya setiap orang sama di muka pengadilan.
Sehingga setiap orang yang membawa perkaranya ke muka pengadilan akan
mendapatkan perlakuan yang sama.
3. Small Claim Court
Peradilan telah memiliki suatu sistem yang kompatibel untuk sengketa
bisnis yaitu dengan menghadirkan small claim court. Dalam Black’s Law
Dictionary, Small Claim Court diartikan sebagai pengadilan yang bersifat
informal (di luar mekanisme peradilan pada umumnya) dengan pemeriksaan yang
cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang
yang nilai gugatannya kecil.96
Pada tanggal 7 Agustus 2015 ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana. Tujuan dikeluarkan PERMA ini adalah untuk mewujudkan
penyelesaian perkara dengan cepat, sederhana dan biaya ringan. Seperti yang
dijelaskan pada Pasal 1 ayat (1) PERMA tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana, dikatakan bahwa ;
“Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di
persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling
Henry Champell Black, Black’s Law Dicitionary, Eight Edition, (St Paul : West
Publishing Co, 2004), hlm 264
96

34

Universitas Sumatera Utara

banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan
tata cara dan pembuktian sederhana”97
Yang artinya, dalam hal sengketa bisnis dengan nilai gugatan materil dengan
nominal maksimal Rp 200,000,000 dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan
dengan cara penyelesaian gugatan sederhana.
Pada Pasal 5 ayat (3) PERMA Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
diakatakan bahwa ;
“Penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari
sejak hari sidang pertama.”
Yang artinya

proses pengadilan dengan gugatan materil maksimal Rp

200,000,000 dapat diselesaikan dengan cepat sehingga tidak memakan waktu dan
biaya.
b. Kelemahan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan
Pada dasarnya pengadilan harus mampu mewujudkan harapan masyarakat
untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, namun dalam prakteknya
masyarakat merasakan ketidakpuasaan dan kekecewaan terhadap lembaga
keadilan khususnya kalangan masyarakat bisnis yang mengeluh dengan kinerja
pengadilan.
Banyak sengketa bisnis yang diajukan ke pengadilan tidak menyelesaikan
masalah, bahkan justru memunculkan masalah baru, misalnya dengan sifat
pengadilan yang terbuka untuk umum malah menyebabkan tercemarnya nama

97
Indonesia (Mahkamah Agung), Peraturan Mahkamah Agung Tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana, PERMA NO 02 TAHUN 2015, Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1172

35

Universitas Sumatera Utara

perusahaan kepada publik.98 Dan juga kelemahan pengadilan lainnya adalah
pemborosan biaya selama proses pengadilan berlangsung karena proses yang
lambat, dan tercium adanya indikasi ketidaknetralan hakim dalam mengadili
karena kolusi, korupsi, dan nepotisme.99
M. Yahya Harahap mengatakan beberapa kritik terhadap pengadilan yang
terjadi di beberapa negara, yaitu ;100
1. Penyelesaian sengketa lamabat.
Lambatnya pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tergambar seperti
yang terjadi di Jepang, rata- rata berlangsung antara 10 – 15 tahun, di Korea
Selatan antara 5 – 7 tahun, demikian juga di Indonesia, adri tingkat pertama
hingga kasasi rata – rata antara 7 – 12 tahun. Hal ini terjadi karena akibat tidak
adanya pembatasan mengenai jenis “perkara yang boleh diajukan kasasi, sehingga
semua perkara yang sudah diputus pada tingkat pertama, diajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Maka tidak terhindarkan terjadinya penumpukan perkara di
MA, yang mengakibatkan semakin lama suatu perkara dapat diselesaikan.
2. Biaya berperkara mahal
Berkaitan dengan lambatnya proses pengadilan, maka akan semakin besar
juga biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak yang bersengketa. Biaya yang
harus dikeluarkan terdiri dari penasihat hukum (lawyer), transportasi, pendaftaran
perkara, succes fee dan biaya lainnya

98

Candra Irawan, op cit, hlm 4
Ibid
100
M Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997) hlm 3
99

36

Universitas Sumatera Utara

3. Peradilan pada umumnya tidak responsif
Tidak responsifnya pengadilan terhadap kepentingan umum ditandai
dengan ;
a. Seiring pengadilan mengabaikan kepentingan umum dan kebutuhan
masyarakat banyak ;
b. Pengadilan sering memberi perlakuan yag tidak adil atau unfair, karena
cenderung memberi kesempatan dan keleluasaan kepada lembaga besar
dan orang-orang kaya ;
c. Pengadilan kurang anggap (unresponsive) dalam melayani kepentingan
rakyat biasa dan kalangan orang miskin.101
4. Kemampuan hakim bersifat generalis
Hakim adalah sarjana hukum, dan memang itulah persyaratan yang harus
dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi hakim. Sarjana hukum tentu saja
menguasai ilmu hukum, namun tentu juga tidak menguasai ilmu – ilmu lain yang
kurang relevansinya dengan hukum, seperti ilmu teknik, pertanian, kehutanan,
kimia, dan lainnya. Sementara itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah mendorong terjadinya permasalahan yang kompleks yang membutuhkan
cara penyelesaian berdasarkan keahlian profesional.102 Bagi hakim yang bertitel
sarjana hukum, pengetahuannya mengenai suatu sengketa hanya bersifat umum.
Meskipun hakim dapat memanggil saksi ahli, itu belum cukup, karena secara

101
102

Candra Irawan, op ci, hlm 5
Ibid, hlm 7

37

Universitas Sumatera Utara

substansial orang yang bukan mendalami ilmu tersebut tetap akan mengalami
kesulitan memahaminya.
Kekurangan lainnya adalah Pengadilan memposisikan para pihak sebagai
lawan bukan kawan, yang dimana para pihak akan menyerang dan saling
mempertahankan kepentinganya masing masing. Bukan titik temu yang saling
menguntungkan

yang

diharapkan,

tetapi

kemenangan

yang diharapkan.

Pengadilan pada saat memutus perkara, menggunakan terminologi “win – lose”,
sehingga “win – win solution” tidak akan mungkin tercapai.103
3. Proses Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Pengadilan di Indonesia
A. Pengadilan Biasa
Sengketa bisnis umumnya dilakukan melalui gugatan perdata dan
mengikuti prosedur berperkara sesuai ketentuan hukum acara perdata.
Tata cara berperkara perdata melalui beberapa tahap antara lain :104
1. Tahap pertama, menerima perkara :
a. Pengajuan (perkara) gugatan (Pasal 118 HIR)
Gugatan perdata dapat berbentuk ;
1) Gugatan wanprestasi (cidera janji) adalah gugatan yang disebabkan
salah satu pihak ingkar janji. Dasar dari gugatan wanprestasi adalah adanya
pelanggaran terhadap perjanjian (Pasal 1238 KUH Perdata). Jadi pertama harus
adanya kesepakatan perjanjian baik lisan atau tulisan (kontrak) yang disepakati

103

Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya...

hlm 2
104

Roy R. Pangkey, Proses Beracara Perdata Dalam Pengadilan Negeri
https://www.slideshare.net/roypangkey/prosedur-beracara-p-dalam-peangadilannegeri?from_action=save, diakses pada tanggal 24 Juni 2017, Pk 08:00 WIB

38

Universitas Sumatera Utara

kedua belah pihak sebelumnya.105 Lalu salah satu pihak ada yang melanggar
perjanjian yang telah disepakati tersebut baik karena sengaja ataupun karena lalai.
Materi gugatan adalah ; a. menyatakan terjadi wanprestasi dan/atau b. Memenuhi /
melaksanakan perjanjian dan/atau c. Keharusan membayar ganti rugi terdiri
dari biaya, rugi, dan bunga (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata)106 dan/atau d.
Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi dan e. Membayar biaya
perkara.
2). Perbuatan melawan hukum adalah gugatan yang didasarkan karena
adanya tindakan dari pihak lain yang melakukan pelanggaran terhadap suatu
ketentuan/aturan hukum yang berakibat merugikan orang lain (Pasal 1365 KUH
Perdata). Seseorang dianggap melawan hukum apabila perbuatannya bertentangan
dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,
atau bertentangan dengan kesusilaan.107 Materi gugatan adalah tuntutan ganti
rugi.108

b. Pembayaran panjar biaya perkara

c. Pendaftaran perkara

d. Penetapan majelis hakim

e. Pengajuan panitera sidang

105

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 1966), hlm

39
106

Efendi Dumai, Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi sebagai Dasar Gugatan ,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasisebagai-dasar-gugatan, diakses Pada Tanggal 24 Juni 2017, Pk 08:10 WIB
107
Ibid
108
Ibid

39

Universitas Sumatera Utara

f. Penetapan hari sidang (Pasal 122 HIR)

g. Pemangilan pengugat dan tergugat

2. Tahap kedua memeriksa perkara (Pasal 372 HIR) :

a. Pemeriksaan pendahuluan
b. Pembacaan gugatan
c. Jawaban gugatan
d. Replik
e. Duplik
f. Pembuktian (Pasal 137, 172 & 176 HIR)

3. Tahap ketiga menyelesaikan perkara (Pasal 178 HIR) :

a. Kesimpulan
b. Putusan hakim

B. Pemeriksaan Gugatan Sederhana (Small Claim Court)
Syarat penyelesaian gugatan sederhana adalah ;109
1. Sengketa cidera janji/wanprestasi dan atau Gugatan Perbuatan melawan
Hukum yang nilai gugatan materil maksimal 200 juta (Pasal 3 ayat (1) ;
2. Bukan perkara yang masuk dalam kompetensi Pengadilan Khusus;
(Pasal 3 ayat (2) huruf a) ;
3. Bukan sengketa hak atas tanah (Pasal 3 ayat (2) huruf b);
109

Indonesia (Mahkamah Agung), Peraturan Mahkamah Agung Tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana, op cit

40

Universitas Sumatera Utara

4. Penggugat dan Tergugat masing-masing tidak lebih dari satu, kecuali
memiliki kepentingan hukum yang sama (Pasal 4 ayat (1));
5. Tempat tinggal Tergugat harus diketahui (Pasal 4 ayat (2));
6. Penggugat dan Tergugat harus berdomisili di Daerah Hukum
Pengadilan yang sama (Pasal 4 ayat (3)).
Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi maka perkara
tersebut tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme small claim court.
Prosedur penyelesaian Perkara Gugatan Sederhana menurut PERMA No.
2 Tahun 2015 :110
1. Pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan (Pasal 6 ayat (1));
a. Pendaftaran bisa dilakukan dengan pengisian blanko mengenai (Pasal
6 ayat (3)) ;
1) Identitas Penggugat dan Tergugat;
2) Penjelasan ringkas duduk perkara (Posita);
3) Tuntutan Penggugat (Petitum).
b. Penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah didelegasi
pada saat mendaftarkan gugatan sederhana (Pasal 6 ayat (4) ;
2. Pemeriksaan Kelengkapan Gugatan Sederhana ;
a. Panitera memeriksa berkas. Jika tidak memenuhi syarat, gugatan
dikembalikan (Pasal 7 ayat (2)).

110

Ibid

41

Universitas Sumatera Utara

b. Pendaftaran Gugatan dicatat dalam Buku Register Khusus Gugatan
Sederhana (Pasal 7 ayat (3)).
3. Membayar Panjar Biaya Perkara;
a. Panjar Biaya Perkara ditetapkan oleh ketua pengadilan (Pasal 8 ayat
(1));
b. Penggugat yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan bercara
secara cuma-cuma atau Prodeo (Pasal 8 ayat (3));
4. Penetapan Hakim Tunggal (Pasal 9 ayat (1)) dan penunjukan panitera
pengganti oleh panitera (Pasal 9 ayat (2)) (paling lambat 2 hari sejak
pendaftaran gugatan sederhana diterima dan dicatat dalam buku register
khusus gugatan sederhana (Pasal 10);
5. Pemeriksaan Pendahuluan:
a. Pemeriksaan materi Gugatan Sederhana oleh Hakim Tunggal (Pasal
11 ayat (1));
b. Hakim Tunggal menilai sederhana atau tidaknya pembuktian.
Apabila ; (Pasal 11 ayat (3))
1) Sederhana = Penetapan Hari Sidang;
2) Tidak Sederhana = Perkara dicoret dari Buku Register.
6. Penetapan hari sidang pertama oleh Hakim tunggal (Pasal 12);
7. Pemanggilan Para Pihak;

42

Universitas Sumatera Utara

a. Penggugat dan Tergugat harus hadir pada setiap Persidangan ;
1) Pada Persidangan Pertama Hakim wajib mengupayakan
perdamaian (Pasal 15 ayat (1)). Apabila pada persidangan pertama
;
a. Penggugat tidak hadir = gugatan gugur (Pasal 13 ayat (1));
b. Tergugat tidak hadir = dilakukan pemanggilan kedua (Pasal
13 ayat (2));
2) Pada Hari Sidang Kedua
a. Tergugat tidak hadir = Hakim memutus perkara tersebut
(Pasal 13 ayat (3)). Tergugat dapat ajukan keberatan (Pasal
13 ayat (5) )
3) Tergugat hadir pada sidang pertama, namun tidak hadir pada
sidang kedua tanpa alasan yang sah = gugatan diperiksa dan
diputus secara contradictoir (Pasal 13 ayat (4));
8. Mengenai Perdamaian, apabila ;
a. Damai tercapai = Hakim membuat putusan akta perdamaian
(berkekuatan hukum tetap) (Pasal 15 ayat (3));
b. Damai tidak tercapai = dilanjutkan dengan pembacaan gugatan
dam jawaban Tergugat (Pasal 16);
9. Pembuktian (Pasal 18);

43

Universitas Sumatera Utara

10. Putusan (Pasal 19)
11. Keberatan (Pasal 21)
12. Putusan Keberatan (berkekuatan hukum tetap) Putusan Keberatan
tidak dapat diajukan Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali (Pasal
30)
Yang membedakan persidangan Perkara Gugatan Sederhana dengan
Persidangan Biasa adalah :
1) Penyelesaian Gugatan Sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari
dihitung sejak hari sidang pertama (Pasal 5 ayat (3))
2) Hakim wajib berperan Aktif yang dilakukan dipersidangan (Pasal 14).
Kewajiban bagi Hakim untuk berperan aktif itu dalam bentuk ;
a. Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana
secara berimbang kepada para pihak;
b. Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk
menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian
di luar persidangan;
c. Menuntun para pihak dalam pembuktian, dan
d. Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.
3) Dalam proses Pemeriksaan Gugatan Sederhana para pihak tidak dapat
mengajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik,
duplik, atau kesimpulan (Pasal 17).

44

Universitas Sumatera Utara

C. Putusan Sidang Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan
Berdasarkan Hukum di Indonesia
1. Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan di
Indonesia
a. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1851
Penyelesaian sengketa melalui APS pada dasarnya adalah perdamaian.111
Oleh karena itu perlunya untuk memperhatikan ketentuan KUHPerdata mengenai
perdamaian pada Bab XVIII Pasal 1851 – 1864. Pada pasal 1851 dikatakan ;
“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak
dengan

menyerahkan,

menjanjikan

atau

menahan

suatu

barang,

mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah
timbulnya suatu perkara.”112
Oleh karena perdamaian merupakan kehendak para pihak sendiri, maka
terhadap perdamaian tersebut sifatnya final. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
1858 ayat (1) KUHPerdata ;
“Segala perdamaian mempunyai di antara para pihak suatu kekuatan
seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan”113
Berdasarkan Pasal 1859 Perdamaian dapat batal apabila ;
“Namun perdamaian dapat dibatalkan bila telah terjadi suatu kekeliruan
mengenai orang yang bersangkutan atau pokok perselisihan. Perdamaian
dapat dibatalkan dalam segala hal, bila telah dilakukan penipuan atau
paksaan.”
111

Candra Irawan, op cit, hlm 15
R Subekti dan R.Tjitrosubdi, op cit
113
Ibid
112

45

Universitas Sumatera Utara

2. Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentangg Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pasal 1 ayat (10) UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dikatakan ;
“Alternatif Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”114
Dan pada Pasal 6 ayat UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ;
“(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para
pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada
itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di
Pengadilan Negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam
suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para
pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak
114

Indonesia, Arbitrase dan Alternatif Penyelsaian Sengketa, op cit

46

Universitas Sumatera Utara

dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
semua pihak yang terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan
itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.”115
Dengan kehadiran undang-undang ini semakin mengukuhkan keberadaan
APS sebagai lembaga/paranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan (extra
judicial)116
3. Undang Undang No 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Indonesia atas
Konvensi ICSID
115
116

Ibid
Candra Irawan, op cit, hlm 17

47

Universitas Sumatera Utara

Indonesia meratifikasi konvensi ICSID (Convention on the Settlement OF
Investment

Disputes

Between

States

and

National

of

Other

States)

dilatarbelakangi oleh situasi nasional ketika itu. Dimana Indonesia sedang giat
untuk mengundang Penanam Modal Asing (PMA) untuk meningkatkan
perekonomian negara. Demi meningkatkan kepercayaan investor asing terhadap
iklim investasi dan kepastian hukum dalam berusaha, terutama dalam
menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul, maka diratifikasilah konvensi
ICSID ini.
Pengakuan dan persetujuan Pemerintah Indonesia atas konvensi ICSID,
sekaligus merupakan upaya meyakinkan Bank Dunia (World Bank) dan Bank
Internasional untuk rekonstruksi dan pembangunan (International Bank for
Reconstruction and Development) akan kesungguhan Pemerintah Indonesia untuk
menyelesaiakan sengketa penanaman modal melalui forum arbitrase, hal ini
memberi citra bahwa dalam masalah penanaman modal asing pihak Indonesia
tidak bermaksud untuk mau menang sendiri dengan mempertahankan dan
memberlakukan sistem tata hukum Indonesia.117
4. Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing di Indonesia
Keppres Nomor 34 Tahun 1981 memiliki jangkauan yang lebih luas
dengan mengakui seluruh putusan putusan arbitrase asing dan pelaksanaanya di
wilayah hukum Indonesia. Keppres ini

pada dasarnya merupakan ratifikasi

terhadap isi konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan Dan Pelaksanaan

117

M. Yahya Harahap, 2001, Arbitrase,( Jakarta : Sinar Grafika, 2001) hlm 6

48

Universitas Sumatera Utara

Putusan Arbitrase Asing Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertujuan mendorong
kerja sama internasional dalam meningkatkan kepedulian terhadap arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa, mengakui dan melaksanakan setiap putusan arbitrase
asing di wilayah negara masing masing.
5. PERMA RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung ini dikeluarkan adalah untuk mengefektifkan
dan mengefisiensikan penyelesaian sengketa di pengadilan. Para pihak yang
bersengketa diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan persengketaanya
secara damai. Pada Pasal 4 UU Prosedur Mediasi di Pengadilan mengatakan
bahwa ;
“Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara
perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara
(partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini”118
Dalam hal ini pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di
pengadilan dipercaya dapat menjadi sebuah instrumen efektif untuk mengatasi
penumpukan perkara di pengadilan dan mediasi merupakan salah satu model
penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat dan murah, serta dapat

118

Indonesia (Mahkamah Agung), PERMA Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
Nomor 1 Tahun 2016, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 175.

49

Universitas Sumatera Utara

memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh
keadilan atau penyelesaian yang memuaskan.119
6. Kontrak yang Dibuat Para Pihak
Di dalam Pasal 1338 KUHPerdata dikatakan bahwa kontrak yang dibuat
sesuai secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Pada umumnya sebuah kontrak akan mencantumkan klausula yang menyatakan
apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan kontrak akan diselesaikan
melalui arbitrase, maka para pihak yang terikat untuk mematuhinya. Hal ini juga
yang dinyatakan dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal
3 bahwa ;
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”120
Dan dikuatkan dengan Pasal 11 bahwa ;
“(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak
untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”
“(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di
dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini.”121
Artinya apabila isi kontrak menyebutkan untuk menggunakan arbitrase,
maka sengketa yang terjadi menjadi kewenangan APS (arbitrase) untuk

119

Candra Irawan, op cit ,hlm 22.
Indonesia, Arbitrase dan Alternatif Penyelsaian Sengketa, op cit.
121
Ibid
120

50

Universitas Sumatera Utara

menyelesaikannya. Dalam hal ada pihak yang mengajukan sengketa tersebut ke
Pengadilan Negeri, maka hakim dengan berdasarkan pada pasal diatas wajib
menolak dan menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili.
Namun menurut M Yahya Harahap kewenangan arbitrase harus dilihat
dari rumusan perja