Peranan Kepemimpinan Klinik (Clinical Leadership) Dalam Implementasi Patient Safety Di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan

10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan telah ada sejak dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak
manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kelebihankelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut
dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai
keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu (Darwito, 2008).
Menurut Siagian (2013) kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk
mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan
tertentu yang mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah
kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut.
Dari berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat diketahui bahwa
konsepsi kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang yang ingin
mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan
pengalaman.
Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik kesamaan
kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita menemukan bahwa

konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda. Perbedaan dalam hal

11

“siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya mempengaruhi, cara-cara
menggunakan pengaruh tersebut” (Darwito, 2008).
Menurut W.A. Gerungan (1999) bahwa setiap pemimpin sekurang-kurangnya
memiliki tiga syarat, yakni :
1. Memiliki Persepsi Sosial (Social Perception)
Persepsi sosial ialah kecakapan untuk cepat melihat dan memahami perasaan,
sikap, dan kebutuhan anggota kelompok.
2. Kemampuan Berpikir Abstrak (Ability in Abstract Thinking)
Kemampuan berabstraksi dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk dapat
menafsirkan kecenderungan-kecenderungan kegiatan, baik di dalam maupun di
luar kelompok, dalam kaitannya dengan tujuan kelompok. Kemampuan tersebut
memerlukan taraf intelegensia yang tinggi pada seorang pemimpin.
3. Keseimbangan Emosional (Emotional Stability)
Pada diri seorang pemimpin harus terdapat kematangan emosional yang
berdasarkan kesadaran yang mendalam akan kebutuhan, keinginan, cita-cita dan
suasana hati, serta pengintegrasian kesemua hal tersebut ke dalam suatu

kepribadian yang harmonis sehingga seorang pemimpin dapat turut merasakan
keinginan dan cita-cita anggota kelompoknya.
Kepemimpinan tergantung kepada banyak faktor dan tiap-tiap pimpinan
senantiasa dapat memperbaiki dan mempertinggi kemampuannya dalam bidang
kepemimpinannya dengan jalan mengimitasi cara-cara yang ditempuh oleh pemimpin
yang berhasil dalam tugas-tugas mereka atau mempelajari dan menerapkan prinsip-

12

prinsip yang mendasari kepemimpinan yang baik. Definisi kepemimpinan seperti
yang diungkapkan sebelumnya, berimplikasi pada tiga hal utama seperti
dikemukakan oleh Locke, yaitu: Pertama, kepemimpinan menyangkut ‘orang lain’,
bawahan atau pengikut, kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari
pemimpin. Jika tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa
bawahan semua kualitas kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak relevan.
Terkandung makna bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana
membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikut mereka.

2.2 Kepemimpinan Klinik (Clinical Leadership) dalam Program Keselamatan
Pasien

Kepemimpinan klinis bukan merupakan konsep baru dalam dunia layanan
kesehatan. Ia bahkan merupakan sebuah kebutuhan untuk mengoptimalkan potensi
seluruh profesi di bidang layanan kesehatan. Tujuannya adalah untuk memberi
pelayanan kesehatan yang sempurna dan meningkatkan keluaran pasien. Saat ini,
dorongan bagi klinisi untuk jadi pemimpin dan manajer semakin meningkat diseluruh
dunia. Kondisi ini mendorong upaya agar tema kepemimpinan klinis dapat
dikembangkan dan didukung oleh agenda kebijakan seperti tema keselamatan pasien
dan peningkatan kualitas (Rahma, 2013).
Kepemimpinan dalam program keselamatan pasien diperlukan untuk
menjamin kelangsungan program mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penetapan
visi dan misi berorientasi keselamatan pasien dalam pelayanan RS menjadi indikator

13

penilaian proses kepemimpinan berjalan efektif. Pemilihan strategi untuk pencapaian
tujuan dari program juga perlu ditentukan. Strategi-strategi yang dipilih berdasarkan
kondisi yang ada di organisasi dan tujuan yang ingin dicapai serta memenuhi semua
unsur yang terdapat dalam struktur dan sistem. Kepemimpinan di tingkat rumah sakit
seperti : (1) ada anggota direksi yang bertanggung jawab atas keselamatan pasien;
(2) di beberapa bagian ada yang menjadi “penggerak” (champion) keselamatan

pasien; (3) prioritaskan keselamatan pasien dalam agenda rapat direksi/manajemen;
(4) masukkan keselamatan pasien dalam program pelatihan staf.
Kegiatan di tingkat tim keselamatan pasien dapat berupa: (1) ada “penggerak”
dalam tim yang memimpin gerakan keselamatan pasien; (2) menjelaskan relevansi
dan manfaat keselamatan pasien bagi setiap staf; (3) menumbuhkan sikap kesatria
yang menghargai pelaporan insiden. Kegiatan di tingkat tim ini harus terintegrasi
dengan upaya yang dilakukan di tingkat organisasi (Lestari, 2014).
Kepemimpinan (leadership) dapat dikatakan sebagai cara dari seorang
pemimpin (leader) dalam mengarahkan, mendorong dan mengatur seluruh unsurunsur di dalam kelompok atau organisasi untuk mencapai suatu tujuan organisasi
yang diinginkan sehingga menghasilkan kinerja pegawai yang maksimal. Sehingga
pemimpin dapat meningkatkan kinerja agar tercapainya hasil kerja dalam
mewujudkan tujuan organisasi. Pemberian imbalan jasa akan meningkatkan kinerja,
maka jika instansi ingin meningkatkan kinerja harus menambah imbalan jasa yang
diterima (Nugroho, 2004).

14

Dalam jurnal yang disusun oleh Tim Swanwick dan Judy McKimm,
dipaparkan bahwa, saat ini, dorongan bagi klinisi untuk jadi pemimpin dan manajer
semakin meningkat di seluruh dunia. Kondisi ini mendorong upaya agar tema

kepemimpinan klinis dapat dikembangkan dan didukung oleh agenda kebijakan
seperti tema keselamatan pasien dan peningkatan kualitas. Terkait kepemimpinan
klinis, para pendidik di sekolah kedokteran memiliki peran kunci untuk
mengembangkan potensi kepemimpinan anak didiknya. Para pendidik tidak hanya
mengajar dan melakukan praktek klinis tapi juga harus mampu memberi contoh
sebagai pimpinan yang baik (Rahma, 2013).
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien adalah :
1.

Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit ”.

2.

Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko
keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi Kejadian Tidak
Diharapkan.

3.


Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit
dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan
pasien.

4.

Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji,

dan

keselamatan pasien.

meningkatkan kinerja rumah sakit serta

meningkatkan

15


5.

Pimpinan

mengukur

dan

mengkaji

efektifitas

kontribusinya

dalam

meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kerangka kepemimpinan dibentuk melalui riset dan konsultasi sehingga dapat
menyesuaikan kebutuhan dan lingkungan yang spesifik pada bidang layanan
kesehatan. Kerangka ini juga dapat diaplikasikan kepada semua klinisi pada berbagai

tahapan karir mereka. Dalam kerangka kepemimpinan terdapat 7 domain yang
ditunjukkan untuk proses pengembangan kepemimpinan klinis. Dalam masingmasing domain, terdapat 4 aspek pengembangan yang harus dimiliki. Dalam tiap
aspek tersebut terdapat juga 4 tahapan yang membantu proses pengembangan
kepemimpinan yaitu tahapan pribadi/internal tim, tahapan seluruh pelayanan/ lintas
tim, tahapan lintas pelayanan/organisasi yang lebih luas dan tahapan seluruh
organisasi/ sistem layanan kesehatan yang lebih luas. Adapun tujuh domain yang
terdapat dalam kerangka kepemimpinan yaitu (Rahma, 2013):
1.

Menunjukkan Kualitas Pribadi
Dalam domain ini, ada 4 aspek yang harus diperhatikan, yaitu: mengembangkan
kesadaran diri, mengelola diri sendiri, pengembangan pribadi berkelanjutan dan
bertindak dengan integritas.

2.

Bekerja dengan Orang Lain
Dalam domain ini, 4 aspek yang harus diperhatikan, yaitu: pengembangan
jejaring, membangun dan memelihara hubungan, mendorong kontribusi dan
bekerja di dalam tim.


16

3.

Mengelola Pelayanan
Empat aspek yang harus diperhatikan dalam domain ini, yaitu: perencanaan,
mengelola sumber daya, mengelola orang dan mengelola kinerja.

4.

Meningkatkan Pelayanan
Dalam domain ini, ada 4 aspek yang harus diperhatikan, yaitu: menjamin
keselamatan pasien, evaluasi kritis, mendorong inovasi dan memfasilitasi
transformasi.

5.

Menetapkan Arah
Dalam domain ini, 4 aspek yang harus diperhatikan, yaitu: pengembangan

jejaring, membangun dan memelihara hubungan, mendorong kontribusi serta
bekerja didalam tim.

6.

Membentuk Visi
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam domain ini, yaitu: mengembangkan
visi organisasi, mempengaruhi visi pada sistem kesehatan yang lebih luas,
mengkomunikasikan visi dan menempelkan visi.

7.

Menyampaikan Strategi
Dalam domain ini, 4 aspek yang harus diperhatikan, yaitu: membingkai strategi,
mengembangkan strategi, implementasi strategi dan menempelkan strategi.

Lebih jelasnya sebagaimana digambarkan berikut ini.

17


Gambar 2.1 Kerangka Kepemimpinan Klinis
Adapun kriteria kepemimpinan menurut Depkes RI (2006) terdiri dari:
1. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
2. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis kejadian yang memerlukan
perhatian, mulai dari Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) sampai dengan
Kejadian Tidak Diharapkan (Adverse event).
3. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
4. Tersedia prosedur cepat-tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien

yang terkena

penyampaian informasi

musibah,

membatasi

risiko

pada orang

lain

yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.

dan

18

5. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan
insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis
Akar Masalah (RCA), Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) dan Kejadian
Sentinel pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan.
6. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya
menangani Kejadian Sentinel (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk
memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan
dengan Kejadian Sentinel.
7. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar

pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar

disiplin.
8. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan
perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk
evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
9. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
Mengikutsertakan aspek kepemimpinan dan manajemen dalam sistem
pelayanan kesehatan dalam skala tim, departemen, rumah sakit atau pemerintah
dibidang kesehatan bukanlah merupakan sebuah pilihan, namun kewajiban bagi
semua klinisi. Dalam aspek pendidikan klinis dan medis, kata Tim Swanwick dan
Judy McKimm, pendidik memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa klinisi pada

19

generasi mendatang cukup terlibat dan memiliki pengetahuan, kemampuan dan
perilaku organisasi yang memadai untuk meningkatkan sistem pelayanan kesehatan.
Karena, upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan sangat bergantung pada
perubahan sistem, bukan hanya perubahan di dalam tim (Rahma, 2013).

2.3 Rumah Sakit
2.3.1

Definisi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

dinyatakan bahwa rumah sakit

adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (pelayanan
kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat bagi masyarakat
dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan kesehatan,
kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap
mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat
agar terwujud derajat kesehatan yang baik.
Rumah sakit adalah suatu tempat yang teroganisasi dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien, baik yang bersifat dasar, spesialistik, maupun
subspesialistik. Selain itu, rumah sakit juga dapat digunakan

sebagai lembaga

pendidikan bagi tenaga profesi kesehatan. World Health Organization (WHO)
memberikan pengertian mengenai rumah sakit dan peranannya: “The hospital is an
integral part of social and medical organization, the function of which is to provide

20

for population complete health care both curatie and preventive, and whose out
patient services reach out to the family and its home environment; the training of
health workers and for bio-social research” (Adisasmito, 2009).
Rumah sakit adalah suatu bagian menyeluruh (integral) dari organisasi sosial
dan medis; berfungsi memberikan pelayanan kesehatan yang lengkap kepada
masyarakat, baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana pelayanan keluarnya
menjangkau keluarga dan lingkungan; dan rumah sakit juga merupakan pusat untuk
latihan tenaga kesehatan serta untuk latihan biososial (Ilyas, 2012).
2.3.2

Kewajiban Rumah Sakit
Adapun kewajiban rumah sakit dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu:
1. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada
masyarakat.
2. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan
Rumah Sakit.
3. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya.
4. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai
dengan kemampuan pelayanannya.
5. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin.

21

6. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan
pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa buang muka, ambulan
gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi
misi kemanusiaan.
7. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.
8. Menyelenggarakan rekam medis.
9. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah,
parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui,anak-anak,
lanjut usia.
10. Melaksanakan sistem rujukan.
11. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika
serta peraturan perundang-undangan.
12. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban
pasien.
13. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien.
14. Melaksanakan etika rumah sakit.
15. Melaksanakan etika rumah sakit.
16. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana.
17. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional
maupun nasional.

22

18. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.
19. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws).
20. Melindungi dan memberikan bantuan hokum bagi semua petugas RumahSakit
dalam melaksanakan tugas.
21. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
2.3.3

Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut Permenkes RI No. 1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang Pedoman

Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan, tugas rumah sakit
adalah melaksanakan pelayanan kesehatan paripurna, dan pendidikan dan pelatihan.
Selanjutnya dalam melaksanakan tugas di atas, rumah sakit menyelenggarakan
fungsi-fungsi:
1. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan
paripurna tingkat sekunder dan tersier.
2. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan dalam rangka
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam pemberian pelayanan
kesehatan.
3. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan.
4. Pelaksanaan administrasi rumah sakit.

23

2.3.4

Kesalahan Medis di Rumah Sakit
Kelalaian medik dapat digolongkan sebagai malpraktek, tetapi di dalam

malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian medik, dengan perkataan lain
malpraktek mempunyai cakupan yang lebih luas daripada kelalaian medik (Siswoyo,
2010).
Menurut Institute of Medicine, medical error didefinisikan sebagai: The
failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or
the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). Artinya
kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu kegagalan tindakan medis yang
telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan, kesalahan
tindakan atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan. Kesalahan
yang terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event
(Kejadian

Tidak

Diharapkan /KTD).

Hal

ini sangat

merugikan

dan

membahayakan, pasien dapat mengalami hal buruk dan pemberi tindakan juga dapat
terkena pasal pelanggaran hukum (Pontoh, 2013).
Hampir setiap tindakan medik berpotensi risiko yang dibuktikan dari laporan
IOM (Institute of Medicine). Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 48.000-100.000
pasien meninggal akibat kesalahan medik diberbagai pusat pelayanan kesehatan. Data
pasti kesalahan medik di Indonesia sulit diperoleh, karena sebagian tidak dikenali,
dianggap biasa, atau tidak dicatat. Pengetahuan dan kemampuan yang kurang

24

mengenal serta sikap takut pada atasan menyebabkan insiden yang terjadi tidak
dicatat dan dilaporkan. Berdasarkan beberapa studi dalam laporan IOM diketahui
bahwa, kesalahan medik dengan konsekuensi serius paling sering terjadi di ICU
(Intensive Care Unit), ruang operasi, dan unit gawat darurat (Nasution, 2009).
2.3.5

Cedera pada Pasien di Rumah Sakit
Risiko klinis bisa mengakibatkan atau berpotensi cedera pada pasien, bisa

berupa near miss atau

adverse event (Kejadian Tidak Diharapkan atau KTD)

(Samiyah, 2012). Near miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian
akibat pelaksanaan suatu tindakan (commission) atau tidak melaksanakan tindakan
yang seharusnya diambil (omission). Kejadian tersebut dapat mencederai pasien,
tetapi cedera serius tidak terjadi karena keberuntungan (misal: pasien menerima suatu
obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat). Kejadian nyaris cedera juga
akibat pencegahan, dan peringanan (suatu obat dengan dosis lethal diberikan,
diketahui secara dini lalu diberikan antidot-nya).
(KTD merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak
diharapkan pada pasien karena commission atau omission, dan bukan karena
underlying disease atau kondisi pasien. Kejadian risiko yang mengakibatkan pasien
tidak aman sebagian besar masih dapat dicegah dengan beberapa cara, antara lain,
meningkatkan kompetensi diri, kewaspadaan dini dan komunikasi aktif dengan pasien
(Samiyah, 2012).

25

2.4 Implementasi Program Patient Safety di Rumah Sakit
Menurut Permenkes Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 bahwa rumah sakit
dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program
keselamatan pasien (patient safety) dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Untuk itu, setiap rumah sakit wajib
membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh
kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan pasien. TKPRS yang
dimaksud bertanggung jawab kepada kepala rumah sakit.
Keanggotaan TKPRS terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur dari
profesi kesehatan di rumah sakit. TKPRS melaksanakan tugas:
1. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan
kekhususan rumah sakit tersebut.
2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien
rumah sakit.
3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan
(monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan (implementasi) program
keselamatan pasien rumah sakit.
4. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk
melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit.
5. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta mengembangkan
solusi untuk pembelajaran.

26

6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam rangka
pengambilan kebijakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
7. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.
2.4.1

Standar Keselamatan Pasien
Setiap rumah sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien. Standar

Keselamatan pasien menurut Permenkes Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011
meliputi:
a. Hak pasien.
b. Mendidik pasien dan keluarga.
c. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan.
d. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien.
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
2.4.2

Sasaran Keselamatan Pasien
Dalam Permenkes Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 dinyatakan bahwa

setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien
(SKP). SKP ini merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang
diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu
kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari World Health Organization
(WHO) Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien

27

Rumah Sakit PERSI (KKP-RS, PERSI), dan dari Joint Commission International
(JCI). Keenem SKP dan maksud dari setiap sasaran diuraikan berikut ini:
1. SKP I: Ketepatan Identifikasi Pasien
a. Standar SKP I
Bahwa

rumah

sakit

mengembangkan

pendekatan

untuk

memperbaiki/meningkatkan ketelitian identifikasi pasien.
b. Maksud dan tujuan SKP I
Bahwa kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat
terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan
identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi,
mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah
sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah
untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien
sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua,
untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk
memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi
pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan
lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk
mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis,

28

tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Nomor
kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi.
Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas
berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan,
unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma
tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan
kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi
untuk dapat diidentifikasi.
c. Elemen Penilaian SKP I
1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis.
4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.
5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten
pada semua situasi dan lokasi.
2. SKP II: Peningkatan Komunikasi yang Efektif
a. Standar SKP II
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas
komunikasi antar para pemberi layanan.

29

b. Maksud dan tujuan SKP II
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang
dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan,
atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada
saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah
terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis,
seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit
pelayanan.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (atau memasukkan
ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima
perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah
atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan
dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian
juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali
(read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat
darurat di Instalasi Gawat Darurat atau Intensive Care Unit.
c. Elemen Penilaian SKP II
1) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.

30

2) Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali
secara lengkap oleh penerima perintah.
3) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasil pemeriksaan.
4) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
3. SKP III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
a. Standar SKP III
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki
keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert).
b. Maksud dan tujuan SKP III
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien,
manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien.
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang
sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang
berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/ NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah
pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2
meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari

31

0.9%, dan magnesium sulfat sama dengan 50% atau lebih pekat). Kesalahan ini
bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit
pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak diorientasikan terlebih dahulu
sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif
untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan
meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk
memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data
yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area
mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di Instalasi Gawat
Darurat atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan
bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk
mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati.
c. Elemen Penilaian SKP III
1) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2) Implementasi kebijakan dan prosedur.
3) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.

32

4) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi
label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).
4. SKP IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi
a. Standar SKP IV
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepatlokasi, tepat-prosedur, dan tepat- pasien.
b. Maksud dan tujuan SKP IV
Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien pada operasi, adalah sesuatu
yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini
adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara
anggota tim bedah, kurang/ tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi
(site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping
itu, asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim
bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca
(illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi
yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang
mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang
digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di

33

The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong
Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan
pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus
digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator/orang
yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi
operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur
(jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses
verifikasi praoperatif adalah untuk :
1) Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
2) Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang
relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; dan
3) Verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant-implant yang
dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau
kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan
dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi.
Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas,
misalnya menggunakan checklist.
c. Elemen Penilaian SKP IV
1) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.

34

2) Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien
dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan
fungsional.
3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum
insisi/time-out”

tepat

sebelum

dimulainya

suatu

prosedur/tindakan

pembedahan.
4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang
seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien,
termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.
5. SKP V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
a. Standar SKP V
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko
infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
b. Maksud dan tujuan SKP V
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai
dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi
pada aliran darah (bloodstream infections) dan pneumonia (sering kali

35

dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun
infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.
Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai
organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif
untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau
mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk
implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
c. Elemen Penilaian Sasaran V
1) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru
yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (antara lain dari WHO
Patient Safety).
2) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
6. SKP VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
a. Standar SKP VI
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko
pasien dari cedera karena jatuh.
b. Maksud dan tujuan SKP VI
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien
rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang

36

disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh
dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol,
gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.
c. Elemen Penilaian SKP VI
Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko
jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan
kondisi atau pengobatan, dan lain-lain.
1) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang
pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.
2) Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.
3) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
2.4.3

Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Menurut Permenkes Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, rumah Sakit harus

merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan
pasien. Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan rumah

37

sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik
bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien.
Untuk itu, dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, rumah
sakit melaksanakan 7 (tujuh) langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit dan
penjelasannya terdiri dari:
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Memimpin dan mendukung staf
3. Mengintegrasikan aktivitas penegelolaan risiko
4. Mengembangkan sistem pelaporan
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.
2.4.4

Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
Permenkes Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 menyatakan bahwa sistem

pelaporan insiden dilakukan di internal rumah sakit dan kepada Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Pelaporan insiden kepada Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit mencakup KTD, KNC dan KTC dilakukan setelah
analisis dan mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS. Sistem pelaporan
insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus dijamin
keamanannya, bersifat rahasia, anonim (tanpa identitas), tidak mudah diakses oleh
yang tidak berhak. Pelaporan insiden ditujukan untuk menurunkan insiden dan

38

mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk
menyalahkan orang (non blaming).
Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam waktu
paling lambat 2 x 24 jam sesuai format laporan yang ada. TKPRS melakukan analisis
dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden yang dilaporkan. TKPRS
melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit. Rumah sakit harus
melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan
memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan secara nasional
(Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).

2.5 Landasan Teori
Kepemimpinan (leadership) dapat dikatakan sebagai cara dari seorang
pemimpin (leader) dalam mengarahkan, mendorong dan mengatur seluruh unsurunsur di dalam kelompok atau organisasi untuk mencapai suatu tujuan organisasi
yang diinginkan sehingga menghasilkan kinerja pegawai yang maksimal. Sehingga
pemimpin dapat meningkatkan kinerja agar tercapainya hasil kerja dalam
mewujudkan tujuan organisasi.
Kepemimpinan klinis bukan merupakan konsep baru dalam dunia layanan
kesehatan. Kepemimpinan klinis bahkan merupakan sebuah kebutuhan untuk
mengoptimalkan potensi seluruh profesi dibidang layanan kesehatan. Tujuannya

39

adalah untuk memberi pelayanan kesehatan yang sempurna dan meningkatkan
keluaran pasien.
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi: assessmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan
dan analis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta

implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.

Sistem tersebut

diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukan (Depkes RI, 2006).
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien adalah :
1.

Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit ”.

2.

Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko
keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi Kejadian Tidak
Diharapkan.

3.

Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit
dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan
pasien.

40

4.

Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji,

dan

meningkatkan kinerja rumah sakit serta

meningkatkan

keselamatan pasien.
5.

Pimpinan

mengukur

dan

mengkaji

efektifitas

kontribusinya

dalam

meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.

2.6 Kerangka Berpikir
Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori tersebut, maka kerangka
berpikir penelitian adalah sebagai berikut :
INPUT

PROSES

Peran Kepemimpinan Klinis:
1. Mendorong dan
menjamin implementasi
program KP
2. Menjamin
berlangsungnya program
proaktif untuk identifikasi
risiko KP dan program
menekan atau mengurangi
KTD.
3. Mendorong dan
menumbuhkan
komunikasi dan
koordinasi antar unit dan
individu
4. Mengalokasikan sumber
daya yang adekuat
5. Mengukur dan mengkaji
efektifitas kontribusinya

Implementasi Patient Safety:
1. Membangun kesadaran
akan nilai keselamatan
pasien
2. Memimpin dan
mendukung staf
3. Mengintegrasikan
aktivitas penegelolaan
risiko
4. Mengembangkan sistem
pelaporan
5. Melibatkan dan
berkomunikasi dengan
pasien
6. Belajar dan berbagi
pengalaman tentang
keselamatan pasien
7. Mencegah cedera melalui
implementasi sistem
keselamatan pasien

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

OUTPUT

1. Terjadi
pencegahan
insiden terhadap
pasien di RS
2. Meningkatnya
kepercayaan
masyarakat
terhadap RS