Pencemaran Soil Transmitted Helmints Pada Sayuran Di Pasar Tradisional Dan Di Pasar Modern Di Kota Medan Bagian Kota

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Soil Transmitted Helminths (STH)

Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang
sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis
cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya
melalui tanah (Soil Transmitted Helminths), merupakan infeksi paling umum
terjadi di daerah tropis. Infeksi ini dapat terjadi pada manusia apabila manusia
tertelan telur/larva infeksius atau dengan penetrasi bentuk larva yang berada di
tanah, diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada,

2000).

2.1.1. Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
a. Morfologi dan Daur Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Prevalensi askariasis
di Indonesia termasuk dalam kategori tinggi yaitu memiliki frekuensi antara 6090%. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada cacing
jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil
kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm. Tubuh cacing jantan ini berwarna
putih kemerahan (Prasetyo,2003). Pada stadium dewasa hidup dirongga usus
halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri
dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Menurut Onggowaluyo
(2002), cacing dewasa Ascaris lumbricoides mempunyai ukuran paling besar di
antara Nematoda usus lainnya. Bentuk cacing ini adalah silindris (bulat panjang)
dengan ujung anterior lancip.
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu di dalam tanah. Bentuk infektif
cacing ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva

4

tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan

di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian
naik ke trachea melalui bronchiolus dan bronchus. Dari trachea larva menuju ke
faring, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus,

tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses ini memerlukan waktu sekitar 2 bulan
sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, S., 2000).

Gambar 2.1 Daur hidup Ascaris lumbricoides.

Gambar 2.2 Cacing Ascaris lumbricoides dewasa. (a) betina, (b) jantan
(http://www.sodiycxacun.web.id/2010/01/ascaris-lumbricoides.html)

5

Gambar 2.3 Telur cacing Ascaris lumbricoides. (a) telur yang tidak
dibuahi, (b) telur yang dibuahi
(PHIL 411/4821 - CDC/Dr. Mae Melvin)
b. Epidemiologi


Telur cacing Ascaris lumbricoides keluar bersama tinja pada tempat yang
lembab dan tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif.
Infeksi cacing gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama
makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar tanah
dengan

telur

cacing)

(Surat

Keputusan

Menteri

Kesehatan

No:


424/MENKES/SK/VI/, 2006).
2.1.2.Ancylostoma (cacing tambang) dan Necator americanus
a. Morfologi dan Daur Hidup

Terdapat dua spesies cacing tambang yang sangat sering menginfeksi
manusia yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale dan
“The New World Hookworm” yaitu Necator americanus (Qadri,2008). Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang yang

dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus.
Cacing ini berbentuk silindris dan berwarna putih keabuan. Cacing betina
menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang
sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti
huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi, mulut tertutup, ekor
runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan (Prasetyo 2003). Cacing
jantan kedua spesies ini mempunyai bursa kopulatrik pada bagian ekornya dan
cacing betina memiliki ekor yang runcing (Onggowaluyo,2002). Telur cacing
tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai
dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya


6

kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600
mikron.

Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan
keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas
menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi
larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu

di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paruparu. Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke
trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus

dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit
atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).

Gambar 2.4 Cacing Ancylostoma duodenale dewasa
(http://www.An.American.FamilyPhysician.)

Gambar 2.5 Cacing Necator americanus dewasa

(http://www.An.American.FamilyPhysician.)

7

Gambar 2.6 Telur Hookworm
(PHIL 5220 – CDC)
b. Epidemiologi

Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk
yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan dan penduduk yang
bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan. Cacing ini
menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan
berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang
lebih berat.
Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk
kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada,
2000).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir,
humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat
dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.

2.1.3.Trichuris trichiura
a. Morfologi dan Daur Hidup

Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan

sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam
mukosa usus. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5

dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior lebih gemuk. Pada cacing betina
bentuknya membulat tumpul sedangkan pada cacing jantan melingkar dan
terdapat satu spekulum.
Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar
3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti
tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur

8

bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur
yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam
waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah

telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia
(hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus
halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi

cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).

Gambar 2.9 Cacing Trichuris trichiura dewasa. (a) betina, (b) jantan
(http://www.An.American.FamilyPhysician)

Gambar 2.10 Telur cacing Trichuris trichiura
(http://i215.photobucket.com/albums/cc182/ovarelac_bucket_photo/Trichurisova.
b. Epidemiologi

Penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur dapat
tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30
derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
merupakan sumber infeksi.


9

Frekuensi penyebaran di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa
daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah
yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pembuatan jamban yang baik
dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak.
Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan
mentah adalah penting apalagi sayuran yang memakai tinja sebagai pupuk
(Gandahusada, 2000).
2.2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi STH.
Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit

cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain, Hotes (2003) :
2.2.1. Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah
tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah


panas dan lembab. (Onggowaluyo, 2002).
2.2.2. Lingkungan
Lokasi tempat tinggal yang kumuh anak-anak paling sering terserang
penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam
mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan (Oswari, 1991). Penyakit cacingan
biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah
pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003)
bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan
yang masyarakat sebagian besar masih hidup dalam kekurangan.
2.2.3. Tanah
Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan
lewat tanah (Peter J. Hotes, 2003:21). Penyebaran penyakit cacingan dapat
melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris
trichiura , telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu

optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan
suhu yang berkisar antara25ºC-30ºC sangat baik untuk berkembangnya telur
Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada,

10


2000:11). Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu
memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC dan tanah gembur seperti pasir atau
humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 23ºC-25ºC tetapi
umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000).

2.2.4. Air Sumur
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi Soil
Transmitted Helminths adalah terkontaminasinya sumber air dengan parasit

tersebut. Parasit ini dapat mengontaminasi air karena dekatnya sumber air dengan
faeces yang mengandung parasit tersebut. (Soemirat, 2005)
Adapun sumber dan cara pengolahan air yang sering digunakan oleh
masyarakat, yaitu:
a) Sumber air: air hujan, air permukaan (sungai, danau, mata air, air sungai), air
tanah (sumur dangkal dan sumur dalam)
b) Pengolahan air: pengendapan, penyaringan, penyimpanan (Kusnoputranto
dan Susanna, 2000)

2.3.

Higiene dan Sanitasi
Higiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik,

biologis, dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana
lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang
merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Entjang, I., 2000). Ada berbagai usaha
yang dianggap penting agar dapat mencapai tujuan antara lain sanitasi lingkungan
dan higiene perorangan yang merupakan ruang lingkup dari higiene sanitasi
(Slamet, J.S., 2002).
2.3.1. Higiene
Higiene adalah cara orang memelihara dan melindungi kesehatan Brownell
(1986) dalam Jie (2009). Departemen Pendidikan Nasional (2001) higiene adalah

ilmu tentang kesehatan dan berbagai usaha untuk mempertahankan dan
memperbaiki kesehatan. Higiene perorangan dapat tercapai bila seseorang
mengetahui pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan diri, karena pada

11

dasarnya hygiene adalah mengembangkan kebiasaan yang baik untuk menjaga
kesehatan.
Higiene sayuran adalah semua kondisi dan tindakan untuk menjamin
keamanan dan kelayakan sayuran pada semua tahap dalam rantai makanan
(Deptan, 2009; CAC, 2003).
2.3.2. Sanitasi
Sanitasi adalah usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan
yang baik dibidang kesehatan terutama kesehatan masyarakat (Departemen
Pendidikan Nasional, 2001). Sedangkan menurut Budioro.B. (1997), sanitasi
pengawasan terhadap berbagai factor lingkungan yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia. Jadi lebih baik mengutamakan usaha pencegahan terhadap
berbagai faktor lingkungan sedemikian rupa sehingga munculnya penyakit dapat
dihindari.
Terkait
pemeliharaan

makanan, sanitasi
kondisi

yang

didefinisikan

mampu

mencegah

sebagai

penerapan atau

terjadinya

pencemaran

(kontaminasi) makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan
(foodborne illness atau foodborne disease ) (Prabu, 2008). Keamanan pangan
(food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada
saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya. Sedangkan kelayakan
pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk
konsumsi manusia menurut penggunaannya (Deptan, 2009).
2.4.

Pasar

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008,
kesehatan suatu populasi masyarakat ditentukan oleh ketersediaan layanan
masyarakat, salah satu contohnya ialah pasar tradisional. Pasar tradisional
merupakan sarana penting untuk pemenuhan kebutuhan hidup, bagi kalangan
masyarakat menengah ke bawah. Pasar dalam arti sempit adalah tempat
permintaan dan penawaran bertemu, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar
tradisional. Sedangkan dalam arti luas adalah proses transaksi antara permintaan
dan penawaran, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar modern. Permintaan
dan penawaran dapat berupa barang atau jasa. Sedangkan secara umum pasar

12

merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli. Pasar tradisional, pasar
modern, bursa kerja, bursa efek adalah contoh pasar (Lilananda, 2009; Arobaya,

2010).
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta
ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya
ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los
dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.
Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa
ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan
lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya.
Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak
dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar.
Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar Beringharjo
di Jogja, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang (Arifin, 2007; Setiawan et
al, 2008).
Pasar modern bangunan pasar swalayan dan hypermarket, supermarket,
dan minimarket (Arifin, 2007; Setiawan et al, 2008). tidak banyak berbeda dari

pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransakasi
secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam
barang (barcode), berada dalam dan pelayanannya dilakukan secara mandiri
(swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain
bahan makanan makanan seperti, buah, sayuran, daging; sebagian besar barang
lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar
modern adalah pasar swalayan dan hypermarket, supermarket, dan minimarket

(Arifin, 2007; Setiawan et al, 2008).
Pasar dapat dikategorikan dalam beberapa hal. Yaitu menurut jenisnya, jenis
barang yang dijual, lokasi pasar, hari, luas jangkauan dan wujud.
Pasar menurut wujud (Lilananda, 2009):
a) Pasar Konkret adalah pasar yang lokasinya dapat dilihat dengan kasat mata. Misalnya
ada los-los, toko-toko. Di pasar konkret, produk yang dijual dan dibeli juga dapat

13

dilihat dengan kasat mata. Konsumen dan produsen juga dapat dengan mudah
dibedakan.
b) Pasar Abstrak adalah pasar yang lokasinya tidak dapat dilihat dengan kasat mata.
Konsumen dan produsen tidak bertemu secara langsung. Biasanya dapat melalui
internet, pemesanan telepon. Barang yang diperjual belikan tidak dapat dilihat dengan
kasat mata, tapi pada umumnya melalui brosur, rekomendasi. Kita juga tidak dapat
melihat konsumen dan produsen bersamaan, atau bisa dikatakan sulit membedakan
produsen dan konsumen sekaligus.
Pasar menurut jenisnya (Lilananda, 2009):
a) Pasar Konsumsi menjual barang-barang untuk keperluan konsumsi. Misalnya
menjual beras, sandal, lukisan. Contohnya adalah Pasar Mergan di Malang, Pasar
Kramat Jati.
b) Pasar Faktor Produksi menjual barang-barang untuk keperluan produksi. Misalnya
menjual mesin-mesin untuk memproduksi, lahan untuk pabrik.

Pasar menurut jenis barang yang dijual dapat dibagi menjadi pasar ikan,
pasar buah.
Pasar menurut lokasi misalnya Pasar Kebayoran yang berlokasi di
Kebayoran Lama.
Pasar menurut hari dinamakan sesuai hari pasar itu dibuka. Misalnya Pasar
Rabu dibuka khusus hari Rabu.
Pasar menurut luas jangkauan (Lilananda, 2009):
a) Pasar Daerah membeli dan menjual produk dalam satu daerah produk itu dihasilkan.
Bisa juga dikatakan pasar daerah melayani permintaan dan penawaran dalam satu
daerah.
b) Pasar Lokal kayak gaber membeli dan menjual produk dalam satu kota tempat produk
itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar lokal melayani permintaan dan penawaran
dalam satu kota.
c) Pasar Nasional membeli dan menjual produknya yaitu jembut dalam satu negara
tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar nasional melayani
permintaan dan penjualan dari dalam negeri.
d) Pasar Internasional membeli dan menjual produk dari beberapa negara. Bisa juga
dikatakan luas jangkauannya di seluruh dunia.

Beberapa pasar tradisional di Kota Medan (Lilananda, 2009):

14

a) Pusat Pasar merupakan salah satu pasar tradisional tua di Medan yang sudah ada
sejak zaman kolonial. Menyediakan beragam kebutuhan pokok dan sayur mayur.
b) Pasar Petisah menjadi acuan berbelanja yang murah dan berkualitas.
c) Pasar Beruang yang terletak di Jalan Beruang.
d) Pasar Simpang Limun merupakan salah satu pasar tradisonal yang cukup tua dan
menjadi trade mark Kota Medan. Terletak di persimpangan Jalan Sisingamangaraja
dan Jalan Sakti Lubis.
e) Pasar Ramai yang terletak di Jalan Thamrin yang bersebelahan dengan Thamrin
Plaza.
f) Pasar Simpang Melati merupakan pasar yang terkenal sebagai tempat perdagangan
pakaian bekas dan menjadi lokasi favorit baru para pemburu pakaian bekas setelah
Pasar Simalingkar dan Jalan Pancing.

Beberapa pasar modern di Kota Medan (Lilananda, 2009):
a) Brastagi plaza
b) Hypermarket
c) Swalayan
d) Carrefour
e) Supermarket

Berdasarkan data dari Pemerintah Kota Medan (2010) dicatatkan 15 mall/
plaza/ hypermarket, 14 supermarket, 29 pasar swalayan, dan 55 pasar tradisional.

Terdapat pengelompokan dan jenis barang di pasar menurut kebersihan,
yaitu (Lilananda, 2009):
a) Kelompok bersih (kelompok jasa, kelompok warung, toko).
b) Kelompok kotor, tidak bau (kelompok hasil bumi, buah-buahan).
c) Kelompok kotor dan berbau (kelompok sayur dan bumbu).
d) Kelompok kotor, bau, basah (kelompok kelapa).
e) Kelompok bau, basah, kotor, dan busuk (kelompok ikan basah dan daging).

Biasanya kelompok bersih diletakan di depan dan kelompok kotor, bau,
basah, dan busuk di belakang. Pengelompokan ini bertujuan agar tidak tercampur
baur dan juga agar pembeli tidak kebingungan mencari barang. Salah satu hal
yang paling mendasar yang membedakan antara pasar tradisional dan modern
adalah transaksi yang dilakukan dimana pelakunya antara orang per orang. Dan

15

barang yang biasa diperjualbelikan adalah barang kebutuhan pokok (Lilananda,
2009).
Citra atau image pasar tradisional pada saat ini identik sebagai area
perbelanjaan yang kumuh dan kotor dengan sebuah kelebihan yang cukup penting
yaitu harga yang sangat murah. Dengan kelebihan tersebut otomatis pasar
tradisional menjadi tempat favorit bagi seluruh masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Selain sebagai produsen kebutuhan sehari-hari, selama ini
pasar tradisional telah banyak memberi lapangan pekerjaan dan menghidupi
banyak pedagang pasar (Lilananda, 2009).
Modernisasi pasar, atau pusat perbelanjaan modern, menjanjikan suasana

belanja yang jauh lebih nyaman dan higienis sehingga menarik masyarakat untuk
meninggalkan pasar tradisional yang kumuh dan kotor.
Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa pemerintah kurang membatasi
perkembangan pusat perbelanjaan modern (Lilananda, 2009).
Salah satu kunci untuk menjaga keamanan pangan adalah menjaga
kebersihan dengan cara mencuci tangan sebelum mengolah pangan dan sesering
mungkin selama pengolahan pangan, mencuci tangan sesudah dari toilet, mencuci
dan melakukan sanitasi seluruh permukaan yang kontak dengan pangan dan alat
untuk pengolahan pangan, dan menjaga area dapur dan pangan dari serangga
hama dan hewan lainnya (WHO, 2012)
Makanan yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan
tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, diantaranya
(Prabu, 2008):
a) Berada dalam derajat kematangan yang dikehendaki
b) Bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya.
c) Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari
pengaruh enzym, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan kerusakankerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan.
d) Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang
dihantarkan oleh makanan (food borne illness ).