Gambaran Pengetahuan dan Sikap Terhadap Pencegahan Penyakit Gastritis Pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

(1)

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010).

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dari pada tidak didasari oleh pengetahuan .

Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu :

- Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumya. Termasuk kedalam tingkatan ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.


(2)

- Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, yang dapat menginterpretasiakan materi tersebut secara benar.

- Aplikasi (Apllication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk mengunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

- Analisis. (Analysis)

Analisis atau kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitanya satu sama lain.

- Sintesis (Synthesis).

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam sutu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada.

- Evaluasi

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan austisfikasi atau penilaian terhadap suatu materi objek. Penilaian-penilaian itu beradasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau mengunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmojo, 2010).


(3)

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah : a. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

b. Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

c. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.

d. Fasilitas

Fasilitas–fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuann seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, Koran, dan buku.

e. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia


(4)

akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

f. Sosial Budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

g. Umur

Umur adalah lamanya tahun dihitung sejak dilahirkan hingga penelitian ini dilakukan. Umur merupakan periode penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan baru. Pada masa ini merupakan usia reproduktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosi, masa ketrampilan, sosial, masa komitmen, masa ketergantungan, masa perubahan nilai, masa penyesuaian dengan hidup baru, masa kreatif. Pada dewasa ini ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental, semakin bertambah umur seseorang maka akan semakin bertambah keinginan dan pengetahuannya tentang kesehatan. Umur yang lebih cepat menerima pengetahuan adalah 18-40 tahun.

h. Sumber Informasi

Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang memperoleh informasi, maka ia cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Sumber informasi adalah segala sesuatu yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi, merangsang pikiran dan keamanan


(5)

(Notoatmodjo, 2010).

Oleh sebab itu, untuk mengukur pengetahuan kesehatan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan – pertanyaan tertulis atau angket.

2.2 Sikap

Menurut Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Ahmadi (1990) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) sikap dibedakan menjadi :

a. Sikap positif, yaitu : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima atau mengakui, menyetujui terhadap norma – norma yang berlaku dimana individu itu berbeda.

b. Sikap negatif, yaitu : sikap yang menunjukkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma – norma yang berlaku dimana individu itu berbeda.

Sikap bila dilihat dari strukturnya mempunyai tiga komponen pokok yaitu: - Komponen kognitif ( kepercayaan/keyakinan ) yaitu segala sesuatu

idea tau gagasan tentang sifat atau karateristik umum suatu objek. - Komponen afektif ( kehidupan emosional atau evaluasi terhadap

suatu objek ) biasanya merupakan perasaan terhadap suatu objek - Komponen psikomotorik (kecenderungan untuk bertindak)

Ketiga komponen ini secara bersama – sama membentuk sikap yang utuh (total attitude)


(6)

2.2.1 Tingkatan Sikap

Adapun tingkatan sikap yaitu :

a. Menerima (receiving) diartikan bahwa orang atau subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

b. Merespon (responding) memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari suatu sikap, karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan terlepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

c. Bertanggungjawab (responsible), bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko atau merupakan sikap yang paling tinggi.

d. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek, secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan – pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden(Notoatmodjo, 2010)


(7)

2.3 Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :

1. Persepsi

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon terpimpin

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.

3. Mekanisme

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4. Adopsi

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2005).


(8)

Pengukuran atau cara mengamati tindakan dapat dilakukan melalui dua cara, secara langsung, maupun secara tidak langsung. Pengukuran tindakan yang paling baik adalah secara langsung, yakni dengan pengamatan (observasi), yaitu mengamati tindakan subjek dalam rangka memelihara kesehatannya. Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan – pertanyaan terhadap subjek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan kesehatan.

2.4 Determinan Perilaku Kesehatan

Seperti telah diuraikan terdahulu, bahwa perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus ( faktor eksternal) dengan respons ( faktor internal ) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan perkataan lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor – faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan. Banyak teori tentang determinan perilaku ini, masing – masing mendasarkan pada asumsi – asumsi yang dibangun. Dalam bidang perilaku kesehatan, ada 3 teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian – penelitian kesehatan masyarakat. Ketiga teori tersebut adalah :

a. Teori Lawrence Green

Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non-behavioral factors atau faktor non-perilaku. Selanjutnya Green menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :


(9)

1. Faktor predisposisi ( predisposing factor ). Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini termasuk karateristik, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai – nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosio-demografi.

2. Faktor pendorong ( enabling factor ). Faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan. Hal ini berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber – sumber khusus yang mendukung dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan.

3. Faktor penguat ( reinforcing factor ). Faktor yang memperkuat terjadinya perilaku. Kadang – kadang meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor – faktor yang termasuk faktor penguat adalah sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan tokoh masyarakat (Notoatmodjo, 2010)

b. Teori Snehandu B. Karr

Karr seorang staf pengajar Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Universitas Kalifornia di Los Angeles, mengidentifikasi adanya 5 determinan perilaku, yaitu :

1. Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus diluar dirinya.

2. Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Di dalam kehidupan seseorang di masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung memerlukan legitimasi dari masyarakat di sekitarnya.


(10)

Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak nyaman. Demikian untuk berperilaku kesehatan orang memerlukan dukungan masyarakat sekitarnya, paling tidak, tidak mendapat gunjingan atau bahan pembicaraan masyarakat.

3. Terjangkaunya informasi ( accessibility of information ), adalah tersedianya informasi – informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil seseorang.

4. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi ( personnal autonomy ) untuk mengambil keputusan. Di Indonesia, terutama ibu – ibu, kebebasan pribadinya masih terbatas, terutama lagi di pedesaan. Seorang istri dalam pengambilan keputusannya masih sangat tergantung kepada suami.

5. Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan ( action situation ). Untuk bertindak apa pun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat. Kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia serta kemampuan yang ada.

c. Teori WHO

Tim kerja pendidikan kesehatan dari WHO merumuskan determinan perilaku ini sangat sederhana. Mereka mengatakan, bahwa mengapa seseorang berperilaku, karena adanya 4 alasan pokok (determinan), yaitu :


(11)

1. Pemikiran dan perasaan ( thoughts and feeling ). Hasil pemikiran – pemikiran dan perasaan – perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan – pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus, merupakan modal awal untuk bertindak atau berperilaku.

2. Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai ( personnal references ). Di dalam masyarakat, dimana sikap paternalistic masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat tergantung dari perilaku acuan (referensi) yang pada umumnya adalah para tokoh masyarakat setempat.

3. Sumber day (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.

4. Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010)

2.5 Gastritis

2.5.1 Definisi Gastritis

Gastritis atau yang dikenal sebagai maag berasal dari bahasa Yunani yaitu gastro yang berarti lambung dan itis yang berarti inflamasi / peradangan . Menurut Hirlan dalam Suyono (2001), gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakter atau bahan iritan lain. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya inflitrasi sel-sel radang pada daerah tersebut.

Gastritis merupakan radang pada jaringan dinding lambung sering diakibatkan oleh ketidak teraturan diet, misalnya makan terlalu banyak, terlalu


(12)

cepat, makan makanan terlalu banyak bumbu atau makanan yang terinfeksi penyebab lain termasuk alkohol, aspirin, refluk empedu atau terapi radiasi (Brunner & Suddart, 2000). Selain itu gastritis juga dapat timbul akibat infeksi virus atau bakteri patogen yang masuk kedalam saluran pencernaan. Gastritis yang sering disebut radang lambung, dapat menyerang orang dengan segala usia (Endang, 2001).

2.5.2 Klasifikasi Gastritis

Berdasarkan tingkat keparahan gastritis dibagi menjadi dua jenis, yaitu : a. Gastritis Akut

Gastritis akut adalah jenis gastritis yang sering ditemukan dan biasanya bersifat jinak dan sembuh sempurna (Suratum, 2010). Menurut Wibowo dalam Prio (2009) gastritis akut merupakan kelainan klinis akut yang menyebabkan perubahan mukosa lambung antara lain ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil. Ditemukan pula mukosa endema, merah, dan terjadi erosi kecil dan pendarahan. Gastritis akut terdiri dari beberapa tipe, yaitu gastritis stress akut, gastritis erosif kronis, dan gastritis eosinofilik.

b. Gastritis Kronik

Gastritis kronik merupakan peradangan bagian mukosa lambung yang menahun. Penyakit gastritis kronik menimpa kepada orang yang mempunyai penyakit gastritis yang tidak disembuhkan. Awalnya sudah mempunyai penyakit gastritis dan tidak disembuhkan, maka penyakit gastritis menjadi kronik dan susah untuk disembuhkan. Gastritis kronik


(13)

didefinisikan secara histology sebagai peningkatan jumlah limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung (Suratum,2010)

Sebagian besar kasus gastritis kronik merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu tipe A yang merupakan gastritis autoimun. Perubahan – perubahan histologi terjadi terutama pada korpus dan fundus lambung bentuk ini jarang dijumpai, sering dihubungkan dengan autoimun dan berlanjut menjadi anemia pernisiosa, sel paritel yang mengandung kelenjer mengalami kerusakan sehingga sekresi asam lambung menurun. Pada manusia sel parietal juga berfungsi menghasilkan faktor intrinsic oleh karena itu menyebabkan terjadi gangguan absorbs vitamin B12 yang menyebabkan timbulnya anemia pernisiosa.

Tipe kedua yang sering dijumpai pada kasus gastritis kronik adalah tipe B. Gastritis kronik tipe B paling sering dijumpai dan mempunyai hubungan yang erat dengan kuman Helicobacter Pylori. Sehingga dengan meningkatnya keasaman lambung menyebabkan pertumbuhan bakteri berlebihan. Selanjutnya terjadi metaplasia akibat langsung dari trauma oleh bakteri tersebut, kemungkinan diperparah oleh meningkatnya produksi kompleks nitrat dan N-nitroso (Surya,2009).

2.5.3 Gejala Gastritis

Severance dalam Anggita (2012) menyatakan bahwa walaupun banyak kondisi yang dapat menyebabkan gastritis, gejala dan tanda – tanda penyakit ini sama satu dengani yang lainnya. Gejala – gejala tersebut antara lain perih atau


(14)

sakit seperti terbakar pada perut bagian atas dan dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk ketika makan, mual, muntah, kehilangan selera makan, kembung, terasa penuh pada bagian atas setelah makan, dan kehilangan berat badan.

Beberapa perbedaan gejala yang terjadi pada gastritis akut dan gastritis kronik. Pada gastritis akut gejala yang sering terlihat adalah mual – mual dan rasa terbakar di lambung serta adanya rasa tidak enak di lambung bagian atas. Sedangkan pada gastritis kronik gejala yang sering terlihat adalah adanya rasa perih dan rasa penuh di lambung serta kehilangan nafsu makan sehingga hanya mampu makan dalam jumlah sedikit.

Pada beberapa kasus gastritis akan menyebabkan lambung berdarah, tetapi tidak parah. Perdarahan lambung dapat dikeluarkan lewat mulut (muntah darah) ataupun terjadi berak darah. Apabila pertolongan terlambat dilakukan maka hal fatal akan terjadi (Yuliarti, 2009)

2.5.4 Faktor – Faktor Penyebab Gastritis

Menurut Brunner & Suddarth dalam Pratiwi (2013) penyebab timbulnya gastritis diantaranya :

1. Konsumsi obat – obatan kimia digitalis (Asetamenofen/Aspirin, steroid kortikosteroid). Asetamenofen dan kortikosteroid dapat mengakibatkan iritasi pada mukosa lambung. Non Steroid Anti Inflamasi Drugs (NSAIDS) dan kortikosteroid menghambat sintesis prostaglandin, sehingga sekresi HCL meningkat dan menyebabkan suasana lambung menjadi sangat asam dan menimbulkan iritasi mukosa lambung.


(15)

2. Terapi radiasi, refluk empedu, zat-zat korosif (cuka dan lada) dapat menyebabkan kerusakan mukosa gaster dan menimbulkan edema serta pendarahan.

3. Kondisi stress atau tertekan (trauma, luka bakar, kemoterapi, dan kerusakan susunan saraf pusat) merangsang peningkatan produksi HCL lambung.

4. Infeksi oleh bakteri, seperti Helicobacter pylori, Esobericia coli, Salmonella, dan lain – lain. Helicobacter pylori adalah kuman gram negative, basil yang berbentuk kurva dan batang. Helicobacter pylori adalah suatu bakteri yang menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis (gastritis) pada manusia. Infeksi Helicobacter pylori merupakan penyebab tersering terjadinya gastritis.

5. Jamur dari spesies Candida, seperti Histoplasma capsulaptum dapat menginfeksi mukosa gaster hanya pada pasien immunocompromezad. Pada pasien yang sistem imunnya baik, biasanya tidak dapat terinfeksi oleh jamur.

2.5.5 Faktor – faktor Resiko Gastritis

Menurut Brunner & Suddarth (2000) faktor – faktor resiko yang sering menyebabkan gastritis diantaranya :

1. Frekuensi makan

Orang yang memiliki frekuensi makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Menurut Rahmawati (2010) juga menyatakan bahwa sikap dan tindakan makan, salah satunya frekuensi makan,


(16)

berpengaruh signifikan terhadap kekambuhan gastritis. Hal tersebut sejalan dengan Uripi (2001) yang menyatakan bahwa kasus gastritis diawali dengan pola makan yang tidak teratur sehingga asam lambung meningkat, produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul nyeri epigastrum.

2. Rokok

Nikotin dalam rokok dapat menghilangkan rasa lapar, itu sebabnya seseorang menjadi tidak lapar karena merokok. Sehingga akan meningkatkan asam lambung dan dapat menyebabkan gastritis.

3. Kopi

Zat yang terkandung dalam kopi adalah kafein, kafein ternyata dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem pernafasan, sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak heran setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar, bergairah, daya piker lebih cepat, tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat sehingga dapat meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormone gastrin pada lambung dan pepsin. Sekresi asam yang meningkatkan dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung sehingga menjadi gastritis.


(17)

4. Alkohol

Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal.

5. Terlambat makan

Secara alami lambung terus memproduksi lambung setiap waktu dalam jumlah yang kecil. Setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam lambung terstimulus. Bila seseorang telat makan 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri disekitar epigastrium ( Sediaoetama, 2004 ).

6. Makanan pedas

Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut membuat penderita semakin berkurang nafsu makannnya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari 1x dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan gastritis( Sediaoetama, 2004 ).


(18)

7. Makanan beresiko

Makanan beresiko yang dimaksud adalah makanan yang terbukti berhubungan dengan kejadian gastritis, yaitu makanan asam, makanan yang digoreng, makanan berlemak, dan makanan yang menggunakan bahan penyedap yang berlebihan. Makanan beresiko ini dapat memperlambat pengosongan lambung karena susah dicerna. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan peregangan di lambung yang akhirnya dapat meningkatkan asam lambung. Selain itu makanan yang digoreng dan berlemak dapat melemahkan klep kerongkongan bawah sehingga menyebabkan cairan lambung dapat naik ke kerongkongan (Sherwood, 2001)

2.5.6 Pengobatan Gastritis

Menurut Endang Lanywati (2001) pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit gastritis, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Pengobatan umum

a. Usahakan dapat beristirahat cukup

b. Hindari stress, dan usahakanlah untuk menghilangkan ketegangan ataupun kecemasan

c. Diet makan yang sesuai, jangan minum alkohol, dan hentikan kebiasaan merokok

2. Pengobatan khusus

Macam atau jenis obat yang diberikan dalam pengobatan para penderita gastritis, adalah sebagai berikut :


(19)

a. Antasid, merupakan obat yang umum yang paling banyak digunakan dalam terapi penyakit gastritis, meskipun sebenarnya bukanlah merupakan obat penyembuh tukak yang ada, namun hanya berfungsi sebagai pengurang rasa nyeri. Antasida berfungsi untuk mempertahankan pH cairan lambung antara 3 – 5.

b. Simetidin dan Ranitidin, kedua obat yang tergolong dalam jenis anti-histamin ini, merupakan obat – obatan yang tergolong baru jika dibandingkan dengan antasida. Kedua obat tersebut berfungsi untuk menghalangi secara selektif efek histamin terhadap reseptornya dalam jaringan lambung. Sehingga dengan demikian, sekresi asam lambung dan pepsin dapat ditekan, nilai pH cairan lambung akan bertambah, tukak lambung berkurang dan keluhan nyeri dapat berkurang atau bahkan hilang.

c. Obat tradisional, rimpang kunyit dan rimpang temulawak dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk mengatasi gangguan pencernaan.

2.5.7 Pencegahan Gastritis

Walaupun kita tidak selalu bisa menghilangkan Helicobacter pylori, tetapi timbulnya gastritis dapat dicegah dengan hal – hal berikut :

a. Makan teratur dan tepat waktu

b. Menurut sejumlah penelitian, makan dalam jumlah kecil tetapi sering serta memperbanyak makan makanan yang mengandung tepung, seperti nasi, jagung, dan roti akan menormalkan produksi asam


(20)

lambung. Kurangilah makanan yang dapat mengiritasi lambung, misalkan makanan yang pedas, asam, digoreng, dan berlemak.

c. Hilangkan kebiasaan mengkonsumsi alkohol. d. Jangan merokok.

e. Ganti obat penghilang rasa sakit. Jika memungkinkan, jangan gunakan obat penghilang rasa sakit dari golongan NSAIDs, seperti aspirin, ibuprofen, dan naproxen. Obat – obatan tersebut dapat mengiritasi lambung.

f. Berkonsultasi dengan dokter. Jika menemui gejala sakit maag maka sebaiknya berkonsultasi dengandokter untuk mendapatkan solusi terbaik.

g. Manajemen stress. Stress dapat meningkatkan produksi asam lambung dan menekan pencernaan. Tingkat stress pada setiap orangnya berbeda. Untuk menurunkan tingkat stress disarankan banyak mengkonsumsi makanan bergizi, cukup istirahat, berolahraga secara teratur, serta menenangkan pikiran (Yuliarti, 2009)

2.5.8 Gastritis Pada Mahasiswa

Penyakit gastritis pada awalnya hanya diderita oleh orang tua, tetapi dengan seiring perubahan zaman penyakit gastritis sekarang juga banyak diderita pada kalangan remaja (Soetjiningsih, 2004). Carson membagi remaja menjadi 3 fase, yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun), remaja akhir (19-22 tahun).


(21)

Menurut Potter (2005), masa remaja adalah masa mencari identitas diri, adanya keinginan untuk dapat diterima oleh teman sebaya dan mulai tertarik oleh lawan jenis menyebabkan remaja sanggat menjaga penampilan. Semua itu sangat mempengaruhi pola makan, termasuk pemilihan bahan makanan dan frekuensi makan. Remaja takut merasa gemuk sehingga menghindari sarapan dan makan siang atau hanya makan sehari sekali. Hal itu menyebabkan remaja rentan terkena penyakit gastritis.

Penyakit gastritis meningkat pada kalangan mahasiswa yang merupakan golongan remaja akhir. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sebayang (2011), dalam penelitiannya jumlah penderita gastritis dari 88 orang responden mayoritas berusia antara 18 sampai 23 tahun yaitu 74 orang (84,1%).

Pola makan mahasiswa salah satunya dipengaruhi oleh isu yang sedang marak dikalangannya yaitu body image. Hasil penelitian Kusumajaya, dkk (2007) menjelaskan bahwa persepsi remaja terhadap body image dapat menentukan pola makan serta status gizinya. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara persepsi body image terhadap frekuensi makan, dimana semakin negative persepsi

body image (menganggap diri gemuk) maka akan cenderung mengurangi

frekuensi makannya. Diketahui bahwa 41,1% responden merasa memiliki berat badan yang lebih dibandingkan dengan keadaan yang sebenarnya, yaitu merasa diri gemuk tapi sebenarnya kurus, merasa normal tapi sebenarnya kurus dan merasa gemuk tapi sebenarnya normal. Kejadian ini cenderung terjadi pada remaja putri, yaitu sekitar 45,2%. Sedangkan pada remaja putra sekitar 35%.


(22)

Keinginan untuk menurunkan berat badan lebih banyak terjadi pada remaja putri (37,6%) dibandingkan remaja putra (37%).

Kebanyakan dari mahasiswa sering menunda waktu makan demi penyelesaian tugas – tugas perkuliahan, sehingga waktu yang seharusnya digunakan untuk makan tidak menjadi rutinitas penting, akibatnya lambung menjadi sakit (Sebayang, 2011). Selain frekuensi makan, jenis makanan juga dapat memicu terjadinya penyakit gastritis. Menurut Okviani (2011) dalam penelitiannya, mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan meransang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut membuat penderita makin berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus – menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan gastritis.

Gaya hidup dikalangan mahasiswa juga sangat mempengaruhi kejadian penyakit gastritis. Menurut penelitian Angkow (2014) ada hubungan faktor merokok, faktor minum alkohol dan faktor minum kopi terhadap kejadian penyakit gastritis. Kebiasaan merokok sepertinya sudah menjadi hal yang biasa dikalangan mahasiswa. Padahal efek rokok pada saluran gastrointestinal antara lain melemahkan katup esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan menurunkan pH duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau


(23)

asetilkolin. Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting dalam proses timbulnya peradangan pada mukosa lambung. Rokok dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori (Bayer dalam Angkow, 2014).

Kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung, yang mengakibatkan bagi perokok menderita penyakit lambung (gastritis) sampai tukak lambung. Penyembuhan berbagai penyakit di saluran cerna juga lebih sulit selama orang tersebut tidak berhenti merokok (Nurminda, 2010).

Di kalangan mahasiswa banyak yang mulai mencoba meminum alkohol, dan tak sedikit yang pada akhirnya menggemari minuman beralkohol. Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan


(24)

perubahan morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Bayer dalam Angkow, 2014).

Sebagian besar mahasiswa gemar meminum kopi karena dipercaya dapat menghilangkan rasa kantuk. Padahal mengkonsumsi kopi dapat merangsang lambung sehingga menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi lambung. Ada dua unsur yang bisa memicu tingginya asam lambung, yaitu kafein dan asam chlorogenic (Warianto dalam Riesca, 2007)

Mahasiswa juga memiliki kerentanan terhadap stress yang dapat disebabkan oleh aktivitas perkuliahan, pergaulan, bahkan masalah yang datang dari keluarga. Menurut Murjayanah (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada hubungan antara riwayat stress psikis dengan kejadian penyakit gastritis. Hal ini terlihat dari jumlah penderita gastritis yang stress sebanyak 64,3% (18 orang), sedangkan jumlah penderita gastritis yang tidak stress sebanyak 35,7% (15 orang).

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Vera Uripi (2001:19) menyatakan bahwa stres dapat merangsang peningkatan produksi asam lambung dan gerakan peristaltik lambung. Stres juga akan mendorong gesekan antara makanan dan dinding lambung menjadi bertambah kuat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya peradangan di lambung.


(25)

2.6 Landasan Teori

2.6.1 Teori Lawrence Green (1980)

Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non-behavioral factors atau faktor non-perilaku(Notoatmodjo, 2010).

Dalam menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap perilaku, konsep umum yang sering digunakan dalam berbagai kepentingan program dan beberapa penelitian yang dilakukan adalah teori yang dikemukakan oleh Green (1980). Ia menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor prediposisi, faktor pendorong, dan faktor penguat.

Faktor predisposisi ( predisposing factor ). Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini termasuk karateristik, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai – nilai, norma sosial-budaya, dan faktor sosio-demografi.

Faktor pendorong ( enabling factor ). Faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan. Hal ini berupa lingkungan fisik, sarana dan prasarana atau sumber – sumber khusus yang mendukung dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan.

Faktor penguat ( reinforcing factor ). Faktor yang memperkuat terjadinya perilaku. Kadang – kadang meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor – faktor yang termasuk


(26)

faktor penguat adalah sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan tokoh masyarakat (Maulana, 2009).


(27)

Sumber : Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) Gambar 2.1 Lawrence Green

Predisposing Factor : - Karateristik - Pengetahuan - Sikap

- Kepercayaan - Nilai – nilai - Norma

Reinforcing Factor :

- Sikap dan perilaku petugas - Kelompok referensi

- Tokoh masyarakat Enabling Factor :

- Sarana dan prasarana

- Sumber sumber khusus yang mendukung dan keterjangkauan sumber - Fasilitas


(28)

2.7 Kerangka Konsep

Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian maka kerangka konsepsional dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Predisposing Factors :

 Pengetahuan terhadap gastritis

 Sikap terhadap gastritis

Enabling Factors :

 Akses ke tempat makan

 Kegiatan eksternal

 Pola makan

 Jadwal kuliah Reinforcing Factors :

 Peran orangtua

Pencegahan Gastritis Karateristik :

 Umur

 Jenis kelamin

 Tempat tinggal

 Uang saku

 Merokok

 Minum alkohol


(29)

ketarangan :

Untuk mengetahui gambaran faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong mahasiswa terhadap pencegahan penyakit gastritis, maka kerangka konsep yang digunakan adalah menurut teori Lawrence Green (1980), akan dilihat bagaimana gambaran dari karateristik responden yang mempengaruhi predisposing factors yang meliputi pengetahuan terhadap gastritis dan sikap terhadap gastritis. Kemudian akan dilihat juga gambaran dari enabling factors yang meliputi akses ke tempat makan, kegiatan eksternal, pola makan, dan jadwal kuliah. Serta akan dilihat gambaran dari reinforcing factors meliputi peran orangtua.


(1)

perubahan morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Bayer dalam Angkow, 2014).

Sebagian besar mahasiswa gemar meminum kopi karena dipercaya dapat menghilangkan rasa kantuk. Padahal mengkonsumsi kopi dapat merangsang lambung sehingga menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi lambung. Ada dua unsur yang bisa memicu tingginya asam lambung, yaitu kafein dan asam chlorogenic (Warianto dalam Riesca, 2007)

Mahasiswa juga memiliki kerentanan terhadap stress yang dapat disebabkan oleh aktivitas perkuliahan, pergaulan, bahkan masalah yang datang dari keluarga. Menurut Murjayanah (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada hubungan antara riwayat stress psikis dengan kejadian penyakit gastritis. Hal ini terlihat dari jumlah penderita gastritis yang stress sebanyak 64,3% (18 orang), sedangkan jumlah penderita gastritis yang tidak stress sebanyak 35,7% (15 orang).

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Vera Uripi (2001:19) menyatakan bahwa stres dapat merangsang peningkatan produksi asam lambung dan gerakan peristaltik lambung. Stres juga akan mendorong gesekan antara makanan dan dinding lambung menjadi bertambah kuat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya peradangan di lambung.


(2)

2.6 Landasan Teori

2.6.1 Teori Lawrence Green (1980)

Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non-behavioral factors atau faktor non-perilaku(Notoatmodjo, 2010).

Dalam menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap perilaku, konsep umum yang sering digunakan dalam berbagai kepentingan program dan beberapa penelitian yang dilakukan adalah teori yang dikemukakan oleh Green (1980). Ia menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor prediposisi, faktor pendorong, dan faktor penguat.

Faktor predisposisi ( predisposing factor ). Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini termasuk karateristik, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai – nilai, norma sosial-budaya, dan faktor sosio-demografi.

Faktor pendorong ( enabling factor ). Faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan. Hal ini berupa lingkungan fisik, sarana dan prasarana atau sumber – sumber khusus yang mendukung dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan.

Faktor penguat ( reinforcing factor ). Faktor yang memperkuat terjadinya perilaku. Kadang – kadang meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor – faktor yang termasuk


(3)

faktor penguat adalah sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan tokoh masyarakat (Maulana, 2009).


(4)

Sumber : Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) Gambar 2.1 Lawrence Green

Predisposing Factor : - Karateristik - Pengetahuan - Sikap

- Kepercayaan - Nilai – nilai - Norma

Reinforcing Factor :

- Sikap dan perilaku petugas - Kelompok referensi

- Tokoh masyarakat Enabling Factor :

- Sarana dan prasarana

- Sumber sumber khusus yang mendukung dan keterjangkauan sumber - Fasilitas


(5)

2.7 Kerangka Konsep

Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian maka kerangka konsepsional dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Predisposing Factors :

 Pengetahuan terhadap gastritis  Sikap terhadap

gastritis

Enabling Factors :  Akses ke tempat

makan

 Kegiatan eksternal  Pola makan  Jadwal kuliah Reinforcing Factors :  Peran orangtua

Pencegahan Gastritis Karateristik :

 Umur

 Jenis kelamin  Tempat tinggal  Uang saku  Merokok  Minum alkohol  Minum kopi


(6)

ketarangan :

Untuk mengetahui gambaran faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong mahasiswa terhadap pencegahan penyakit gastritis, maka kerangka konsep yang digunakan adalah menurut teori Lawrence Green (1980), akan dilihat bagaimana gambaran dari karateristik responden yang mempengaruhi predisposing factors yang meliputi pengetahuan terhadap gastritis dan sikap terhadap gastritis. Kemudian akan dilihat juga gambaran dari enabling factors yang meliputi akses ke tempat makan, kegiatan eksternal, pola makan, dan jadwal kuliah. Serta akan dilihat gambaran dari reinforcing factors meliputi peran orangtua.