Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Chapter III IV

56

BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
ABORSI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG
KESEHATAN

A. Unsur Kemampuan Bertanggungjawab dalam Tindak Pidana Aborsi
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah di
tentukan dalam undang-undang. Di lihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang
terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakantindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum (dan tidak ada
peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsground atau alasan
pemaaf) untuk orang itu dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka
hanya

seseorang

yang


mampu

bertanggung

jawab

yang

dapat

dipertanggungjawabkan pidanakan.
Menurut Roeslan Saleh, beliau mengatakan bahwa : 43
“Dalam
pengertian
perbuatan
pidana
tidak
termasuk
hal
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada

dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu
kemudian juga di pidana, tergantung pada soal apakah dia dalam
melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak.
Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai
kesalahan, maka tentu dia akan di pidana”.

43

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, hlm.75

Universitas Sumatera Utara

57

Berdasarkan pasal di didalam KUHP, unsur-unsur delik dan unsur
pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga
dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur
keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan dengan delik,
oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah

dapat dibuktikan juga dalam persidangan.
Dalam bukunya asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya,
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi menjelaskan bahwa unsur-unsur mampu bertanggung
jawab mencakup :30
a. Keadaanjiwanya:
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
(temporair)
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, limbecile, dan
sebagainya),dan
3. Tidak terganggunya karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel,
mengganggu karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya.
Dengan perkataan lain dia dalam keadaansadar.
b. Kemampuanjiwanya
1. Dapat menginsyafi hakekattindakannya;
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak;dan
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakantersebut.
Kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan
“jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan

“berfikir” (verstanddelijke vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah
yang resmi digunakan dalam pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke vermogens,
untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan istilah
“keadaan dan kemampuan jiwa seseorang.

Universitas Sumatera Utara

58

Pertanggungjawaban
dimaksudkan

untuk

pidana

menentukan

disebut
apakah


sebagai

“toerekenbaarheid”

seseorang

tersangka/terdakwa

dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.
Pertindak disini adalah orang, bukan makhluk lain. Untuk membunuh, mencuri,
menghina dan sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja. Lain halnya jika
tindakan merupakan menerima suap, menarik kapal dari pemilik/pengusahanya
dan memakainya untuk keuntungan sendiri.
Unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana, Seseorang atau pelaku
tindak pidana tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana atau dijatuhi pidana
apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah
melawan hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah
selalu dia dapat dipidana.
Orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan, tidaklah ada gunanya
untuk

mempertanggungjawabkan

terdakwa

atas

perbuatannya

apabila

perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat
pula di katakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya
perbuatan pidana, dan kemudian unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula
dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang
mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:
a. Melakukan perbuatan pidana;
b. Mampu bertanggung jawab;

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan

Universitas Sumatera Utara

59

d. Tidak adanya alasan pemaaf.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika keempat unsur tersebut diatas ada
maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat
dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.
Bahwa

bilamana

kita

hendak

menghubungkan


petindak

dengan

tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab-pidanakan petindak atas
tindakannya, agar supaya dapat ditentukan pemidanaan kepada petindak harus
diteliti dan dibuktikan bahwa:
a. Subjek harus sesuai dengan perumudan undang-undang;
b. Terdapat kesalahan pada petindak;
c. Tindakan itu bersifat melawan hukum;
d. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang
(dalam arti luas);
e. Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan
lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung
jawab harus ada:
a. Kemapuan untuk mebeda-bedakan antar perbuatan yang baik dan yang
buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal);
b. Kemapuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak);

c. Tegasnya

bahwa,

pertanggungjawaban

pidana

adalah

merupakan

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.

Universitas Sumatera Utara

60

Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ketahui bawhwa terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang. Dimana masyarkat telah sepakat menolak suatu perbuatan tertentu
yang diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Sebagai
konsekuensi penolakan masyarakat tersebut, sehingga orang yang melakukan
perbuatan tersebut akan dicela, karena dalam kejadian tersebut sebenarnya
pembuat dapat berbuat lain.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Subyek pertanggungjawaban pidana merupakan subyek tindak pidana,
karena berdasarkan uraian-uraian diatas telah dibahas bahwa yang akan
mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana adalah pelaku tindak pidana itu
sendiri sehingga sudah barang tentu subyeknya haruslah sama antara pelaku
tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.
Sedangkan yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah manusia
(naturlijke

personen),

sedangkan


hewan

dan

badan-badan

hukum

(rechtspersonen) tidak dianggap sebagai subjek. Bahwa hanya manusialah yang
dianggap sebagai subjek tindak pidana.
Tindak pidana aborsi itu sendiri merupakan salah satu dari berbagai
macam abortus. Dalam kamus Latin –Indonesia sendiri, abortus diartikan sebagai
wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pada dasarnya kata abortus dalam

Universitas Sumatera Utara

61

bahasa Latin artinya sama dengan kata aborsi dalam bahasa Indonesia yang
merupakan terjemahan dari kata abortion dalam bahasa Inggris.
Jika ditelusuri dalam kamus Inggris–Indonesia, kata abortion memang
mengandung arti keguguran anak. 44 Maka pengertian dari tindak pidana aborsi
adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan
manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak di inginkan dengan
melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Tindak pidana aborsi yang
dikategorikan sebagai kejahatan, baik kejahatan terhadap kesusilaan maupun
kejahatan terhadap nyawa, dapat diancam dengan sanksi pidana penjara atau
denda. Sedangkan tindak pidana aborsi yang dikategorikan sebagai pelanggaran
diancam dengan pidana kurungan atau denda seperti yang dituangkan dalam pasal
535 KUHP. 45
Mengenai bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan terdakwa
harus menjalankan pidana penjara akibat perbuatannya yang dilakukan
terdakwaharus mempertanggungkan perbuatannya baik itu berupa pidana denda,
sebab perbuatan yang dilakukannya secara terang – terangan telah dilarang oleh
perundang undangan. Di dalam hal pertanggung pidana ada beberapa macam
tanggung gugat antara lain:
1. contractual liability tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak
dipenuhimya kewajiban dan hubungan kontraktual yang sudah disepakati.
Di lapangan kewajiban yang harus dilaksankan adalah

daya upaya

maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider
44

http://id. Wikipedia.org/wiki/Gugur Kandungan, diakses pada tanggal 24 Juli 2017
Adami Chazami, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada: 2007), hal. 111
45

Universitas Sumatera Utara

62

2. Vicarius liability atau respondent superior ialah tanggung gugat yang
timbul atas kesalahan yang dibuat oleh pelaku yang ada dalam tanggung
jawabnya (sub ordinate)misalnya pelaku akan bertanggung gugat atas
kerugian yang diakibatkan kelalaiannya.
3. Liability in tort liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan
melawan hukum (ontechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak
terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum. Kewajiban hukum baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Akan tetapi termasuk
juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan
ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain
atau benda orang lain
Menurut Professor W.L yang dikutip oleh Dagi menyatakan apabila
seorang telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan kesalahan maka ia akan
dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.
Pengguguran kandungan yang dilakukan oleh terdakwa walaupun dengan
mendapatkan persetujuan dari si korban pada dasarnya juga merupakan kesalahan
karena mengenakan resiko yang tidak perlu dan tidak rasional kepada korban. Jika
ternyata memang terdapat indikasi kesalahan yang dilakukan oleh seorang pelaku
maka pemerintah yang berwenang dapat memberikan sanksi kepada yang
bersangkutan. Begitupun secara hukum pidana seperti masyarakat yang merasa
dirugikan dapat mengajukan gugatan pidana ke Pengadilan Negeri. Manakalah
kesalahan orang tersebut sudah memenuhi unsur-unsur pidana , maka perkaranya

Universitas Sumatera Utara

63

akan sampai ketangan pihak kepolisian untuk selanjutnya diproses sampai ke
Pengadilan.
Kemampuan bertanggungjawab terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP
yangberbunyi:

“Barangsiapa

melakukan

perbuatan

yang

tidak

dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Bila tidak dipertanggungjawabkan itu
disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda,
maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan. Apabila hakim akan menjalankan
Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan dua syarat yaitu: praktik
aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana
disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal
diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi; "setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak Rp1 miliar."
Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau
tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak
perempuan yang dengan sengaja melakukannya.
Pada

dasarnya

masalah

aborsi

(pengguguran

kandungan)

yang

dikualifikasikan sebagai perbuatan kejahatan atau tindak pidana telah terdapat di
dalam KUHP, namun di dasarkan pada berbagai faktor serta alasan-alasan tertentu
dimana salah satunya berdasarkan alasan keselamatan serta terkait permasalahan
HAM dan perlindungan anak, sehingga pengaturan mengenai tindak pidana aborsi

Universitas Sumatera Utara

64

juga diatur pula dalam Undamg-Undang No. 36 tahun 2009 memuat juga sanksi
terhadap perbuatan aborsi tersebut, dengan anacaman hukuman yang lebih berat
ketimbang yang diancamkan dalam KUHP.
Ketentuan mengenai tindak pidana aborsi dapat dijumpai dalam Bab XIV
Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan yaitu pada Pasal 299,
Bab XIX Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa yaitu pada Pasal
346-349 KUHP. Adapun rumusan selengkapnya pasal- pasal tersebut :
Pasal 299 KUHP mengatur :
“Barang

siapa

dengan

sengaja

mengobati

seorang

wanita

atau

menyuruhnya supaya diobati, dengan memberitahukan atau ditimbulkan
harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,
diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling
banyak tiga ribu rupiah.”
Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atau jika ia
seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian,
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346 KUHP mengatur :
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.”

Universitas Sumatera Utara

65

Pasal 347 KUHP mengatur :
“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau

mematikan kandungan

seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.”
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 KUHP mengatur :
“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau

mematikan kandungan

seorang wanita dengan persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun enam bulan.”
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 KUHP mengatur :
“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang
tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa tindak
pidana aborsi itu dilarang dalam hukum pidana Indonesia, dan merupakan
tindakan yang illegal tanpa kecuali, Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa
anak dalam kandungan merupakan subjek hukum sehingga berhak menerima
perlindungan hukum.

Universitas Sumatera Utara

66

Sebagaimana yang telah dirumuskan pasal-pasal diatas, maka dalam kasus
aborsi, minimal ada dua orang yang terkena ancaman pidana, yakni si wanita
sendiri yang hamil serta barangsiapa yang sengaja membantu si perempuan
tersebut menggugurkan kandungannya (Pasal 346). Seorang perempuan yang
hamil dapat terkena ancaman pidana kalau

ia

sengaja

menggugurkan

kandungan dengan atau tanpa bantuan orang lain. la juga dapat terkena ancaman
pidana kalau ia minta bantuan orang lain dengan cara menyuruh orang itu untuk
menggugurkan kandungannya. Khusus untuk orang lain yang disuruh untuk
menggugurkan kandungan dan ia benar-benar melakukannya, maka baginya
berlaku rumusan Pasal 347 dan 348 KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya

dalam Kode Etik

Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pada
pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka
penegakan implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari
panitia etik di masingmasing RS (Rumah Sakit) hingga Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK). Sanksi tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa
“pengucilan” anggota dari profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif
tertinggi adalah pemecatan anggota profesi dari komunitasnya. 46
Kebijakan yang telah ada dan kebijakan yang akan dibuat pada dasarnya
dalam pembuatannya menurut A. Mulder untuk menentukan :
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlakuperlu
46

Notoatmodjo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
2010, hlm. 168.

Universitas Sumatera Utara

67

diubah atau diperbaharui.
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3. Cara

bagaimana

penyidikan,

penuntutan,

peradilandanpelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 47

B. Unsur Kesengajaan dan Kealpaan dalam Tindak Pidana Aborsi
Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu dapat
dipidana. Hal ini tergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak pidana
tersebut mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana
terhadap seseorang tidak cukup dengan dilakukan tindak pidana saja, tetapi selain
dari itu harus ada pula kesalahan atau menurut Moeljatno sikap bathin yang
tercela. Siapa yang melakukan kesalahan, maka dia lah yang bertanggung jawab.
Dalam hal ini dikenal suatu asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (qeen straf zonder
shuld). 48
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus
non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan,
maka

pengertian

tindak

pidana

itu

terpisah

dengan

yang

dimaksud

pertanggungjawaban tindak pidana.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan
perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat

47

Munder. Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. KDT. 2017, diunduh 20 Juni 2017,
Pukul 23.30 WIB, hlm. 28
48
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), hal 153

Universitas Sumatera Utara

68

tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga
mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur
kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang
terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam
suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut
dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua
unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa
perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung
pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en
wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah
menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah
mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Apabila dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von
Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah
kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu
akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud
dari dilakukannya perbuatan itu. Jika unsur kehendak atau menghendaki dan
mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan
dengan jelas secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang itu
sulit untuk dibuktikan secara materiil maka pembuktian adanya unsur kesengajaan

Universitas Sumatera Utara

69

dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu
dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan
keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar
hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur
kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut
sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari
atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku
dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhatihati. Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan.
Kelalaian ini dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan
sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu
tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga
tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat
tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku
mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat
membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau
dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu
akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undangundang.

Universitas Sumatera Utara

70

Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan,
akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan
sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali
tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan
yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus
dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang
secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah
kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya
merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan
pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja. 49
Dalam hukum pidana, kesalahan dibagi menjadi kesengajaan dan
kealpaan. Kesengajaan terbagi atas tiga, yaitu : 50
a.

kesengajaan sebagai maksud ( opzet als oogmerk);

b.

kesengajaan

c.

kepastian sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn, of

sebagaikepastian(opzet bijzekerheidsbewuztzijn);

voorwaardelijk opzet, og dolus eventualis).
Kesengajaan

sebagai

maksud,

si

pelaku

memang

benar-benar

menghendaki perbuatan dan akibatnya. Kesengajaan sebagai sadar kemungkinan
baru dianggap ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk

49

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/malpraktek-dan-pertanggu ngjawabanhukumnya/, Law, Pertanggungjawaban Malpraktek
50
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,1992, hlm.
159.

Universitas Sumatera Utara

71

mencapai akibat yang menjadi dasar dari tindak pidana, tetapi dia tahu bahwa
akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya. Kesengajaan sebagai kemungkinan
adalah keadaan tertentu yang semua mungkin terjadi, kemudian benar-benar
terjadi.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak terdapat dalam KUHP, juga tidak
terdapat dalam perundang - undangan lainnya, melainkan terdapat dalam hukum
yang tidak tertulis. Meskipun tidak tertulis asas ini hidup dalam anggapan
masyarakat dan diterima oleh hukum pidana disamping asas - asas yang tertulis
dalam Undang - undang. 51
Kealpaan terbagi atas dua D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH.
Sutorius yaitu :
a. Kealpaan yang disadari, dan;
b. Kealpaan yang tidak disadari.
Sebuah tindak pidana dapat dijatuhi pidana apabila telah memenuhi tiga
unsur perbuatan pidana, yaitu;
(1) perbuatan,
(2) unsur melawan hukum obyektif, dan
(3) unsur melawan hukum subyektif.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 346 dan 348, untuk kasus tindak
pidana aborsi tersebut diatas dapat dirumuskan unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur subjektif :

51

Moeljatno, Ibid, hal 154

Universitas Sumatera Utara

72

a. Dengan disengaja
b. Dengan menyuruh orang lain
c. Dengan adanya persetujuan
Unsur Objektif :
a. Menggugurkan atau mematikan
b. Kandungan atau janin
Dapat disimpulkan telah memenuhi tiga unsur perbuatan pidana dan
dengan hal ini dapat dijatuhi pidana. Unsur-unsur tersebut dapat dijabarkan dalam
penjelasan contoh kasus sebagai berikut :
Unsur perbuatan terpenuhi dengan adanya tindakan dari pelaku (1) yang
melakukan aborsi terhadap kandungan pelaku (2) dengan persetujuan pelaku (2),
dalam hal ini pelaku (2) juga melakukan tindak pidana yaitu dengan sengaja
menggugurkan kandungannya dengan meminta bantuan pelaku (1)
Unsur melawan hukum obyektif juga telah terpenuhi. Karena tindakan
pelaku (1) dan pelaku (2) telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
tercantum dalam pasal 346 dan 348 KUHP, yaitu “sengaja”, “dengan
persetujuan”, dan “menggugurkan kandungan”.
“Sengaja” dibuktikan dalam perbuatan tersebut dengan adanya permintaan
dari pelaku (2) kepada pelaku (1) untuk menggugurkan kandungannya sendiri.
“dengan persetujuan” dibuktikan dengan adanya persetujuan antara pelaku (1) dan
pelaku (2) untuk menggurkan kandungan pelaku (2) “menggugurkan kandungan”
maksudnya mematikan janin dalam kandungan, yang merupakan delik materiil.
Dalam hal ini diperlukan adanya akibat, bukan hanya perbuatan. Tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

73

aborsi yang mengakibatkan kematian bagi janin dalam kandungan. Maka dengan
demikian unsur-unsur tersebut telah terpenuhi.
Unsur ketiga, yaitu unsur melawan hukum subjektif, dalam hal ini, yaitu
pertanggungjawaban dan kesalahan. Pertanggungjawaban maksudnya adalah
kemampuan para pelaku untuk bertanggungjawab, dan tidak memenuhi pasal 44
KUHP. Dalam kasus ini para pelaku memenuhi unsur pertanggungjawaban
tersebut. Kesalahan dalam hal ini adalah kesengajaan dan kelalaian, dan dalam
contoh kasus ini para pelaku dinilai melakukan kesengajaan.
C. Unsur Tiada Alasan Pemaaf dalam Tindak Pidana Aborsi
Roeslan saleh menyatakan bahwa : 52
Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat
di lepaskan dari satu dua aspek yang harus di lihat dengan pandangan
pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga
pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur
yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana
terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat.
Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.
Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang
yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga di pidana tergantung pada
soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak
apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai
kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia mempunyai
kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan terlarang dan tercela, dia

52

Roeslan Saleh. Pikiran Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta. 1982.hlm .10

Universitas Sumatera Utara

74

tidak di pidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”,
merupakan tentu dasar daripada dipidananya si pembuat. 53
Pepatah mengatakan “tangan menjingjing, bahu memikul”, artinya
seseorang harus menangung segala akibat dari tindakan atau kelakuannya. Dalam
hukum

pidana

juga

di

tentukan

hal

seperti

itu,

yang

dinamakan

pertanggungjawaban pidana. Bedanya, jika pepatah tadi mengandung suatu
pengertian yang luas sekali, dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidana
dibatasi dengan ketentuan di dalam undang-undang. 54
KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar atau alasan
pemaaf. Buku pertama hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan
pidana.
Alasan penghapusan pidana terdiri dari alasan pemaaf dan alasan
pembenar. Alasan pemaaf ditujukan kepada keadaan diri si pelaku, sedangkan
alasan pembenar ditujukan kepada keadaan perbuatan pelaku.
1) Alasan pemaaf.
a. Mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)
Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, pembentuk undang-undang membuat
peraturan khusus untuk pembuat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP dirumuskan sebagai berikut :
1. Yang cacat dalam pertumbuhannya;
2. Yang terganggu karena penyakit
53

Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm.75

54

Op.Cit , E.Y. Kanter dan S. R .Sianturi..hlm.249

Universitas Sumatera Utara

75

b. Daya paksa (Pasal 48 KUHP).
c. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP.
d. Perintah jabatan yang tidaksah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).
2) Alasan pembenar.
a. Keadaan darurat.
b. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP).
c. Melaksanakan perintah perundang-undangan (Pasal 50 KUHP).
d. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat 1) KUHP)
Apabila terdakwa/pelaku sehat jasmani dan rohani sehingga dianggap
mampu bertanggung jawab. Terdakwa melakukan perbuatannya dengan unsur
kesengajaan, dan perbuatannya secara sah dan meyakinkan bersifat melawan
hukum, dan hakim tidak melihat adanya alasan penghapusan pidana, baik
terhadap diri pelaku, maupun terhadap perbuatan pelaku.
Atas dasar tersebut, hakim dapat berkesimpulan bahwa unsur-unsur pasal
yang didakwakan/dituntutkan telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Unsurunsur tersebut adalah :
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja menyebabkan gugur atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya.
Berdasarkan hal tersebut, hakim dapat berkeyakinan bahwa terdakwa
secara sah dan meyakinkan telah bersalah melanggar Pasal 348 KUHP.Setelah
unsur-unsur tersebut dianggap secara sah dan meyakinkan telah terbukti, maka
dalam putusan hakim, harus juga memuat hal-hal apasaja yang dapat meringankan
atau memberatkan terdakwa selama persidangan berlangsung.

Universitas Sumatera Utara

76

Hal-hal yang memberatkan adalah terdakwa tidak mendukung program
pemerintah,

terdakwa

sudah

pernah

dipidana

sebelumnya,

dan

lain

sebagainya.Hal-hal yang bersifat meringankan adalah terdakwa belum pernah
dipidana, terdakwa bersikap baik selama persidangan, terdakwa mengakui
kesalahannya, terdakwa masih muda, dan lain sebagainya.
Jika selama pemeriksaan di persidangan majelis hakim tidak menemukan
hal-hal yang dapat di pergunakam sebagai alasan pemaaf maupun alasan
pembenar dan perbuatan terdakwa tersebut dengan demikian maka perbuatan
terdakwa tersebut harus dipertanggungjawabkan kepadanya untuk itu kepada
terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan
tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dan harus pula dijatuhi pidana
sesuai dengan kesalahanya.
Tindak pidana aborsi itu dilarang dalam hukum pidana Indonesia, dan
merupakan tindakan yang illegal tanpa kecuali, Hal ini tidak terlepas dari
pandangan bahwa anak dalam kandungan merupakan subjek hukum sehingga
berhak menerima perlindungan hukum.
Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam
kondisi berikut:
1) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau

Universitas Sumatera Utara

77

2) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
Namun tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan
itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompeten dan berwenang. Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Dengan
memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, Undang-Undang Nomor
8 tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2009 serta peraturan perundangundangan. Indonesia termasuk salah satu negara yang menentang pelegalan
aborsi.
Hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin

Universitas Sumatera Utara

78

dikategorikan sebagai kejahatan yang dikenal dengan istilah „Abortus Provocatus
Criminalis‟, dalam KUHP misalnya, larangan aborsi ditegaskan dengan ancaman
pidana bagi ibu yang melakukan aborsi, dokter atau bidan atau dukun yang
membantu melakukan aborsi serta orang-orang yang mendukung terlaksananya
aborsi.
Sementara itu, dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992
pasal 15 (1), ditegaskan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk
menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis
tertentu, namun tidak ada penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud
tindakan medis tertentu. Sementara dalam penjelasannya dinyatakan bahwa
tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun
dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan.
Darisiniterlihatbahwaundangundanginimasihmemberipengertianyangmembingungkan soal aborsi, tidak ada
penjelasan tegas bahwa yang dimaksud tindakan medis tertentu itu adalah
aborsi.Kedua Undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa aborsi tak berpeluang
diperbolehkan sedikitpun dalam hukum Indonesia.
D. Pertanggungjawaban

Pidana

terhadap

Tindak

Pidana

Aborsi

Berdasarkan KITAB Undang-Undang Hukum Pidana dan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Hukum (pidana) dalam memandang praktik aborsi dapat disimak dari tiga
pasal, yakni pasal 346, 347, dan 348 KUHP. Jika praktik aborsi dilakukan dokter

Universitas Sumatera Utara

79

atau tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan maka pertanggung jawaban
pidananya diperberat dan dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang
terdapat pada masing-masing pasal yang terbukti. Serta dapat dicabut hak
menjalankan pencarian, in casu SIP atau STR dokter sebagai jantungnya praktik
kedokteran.
a. Pasal 346 KUHP
Tindak pidana dalam pasal ini merumuskan: 55
Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun
Jika rumusan itu dirinci terdapat unsur berikut: 56
Unsur-unsur objektif:
1. Pembuatnya: seorang perempuan
2. Perbuatan:
a. menggugurkan; atau
b. Mematikan/membunuh
c. Menyuruh orang lain untuk itu
1.

Objeknya: kandungannya Unsur subjektif

2.

Dengan sengaja
Dalam ketentuan diatas dokter dapat tersangkut apabila perempuan

meminta (menyuruh orang lain untuk itu) dokter untuk melaksanakan aborsi
tersebut. Jelas disini dokter bukan subjek hukum sebagai pembuat tunggal (dader)
55

Adami chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, Bayu media publishing, Malang,

Hal.118
56

Andi Hamzah, Op.Cit., Hal. 62

Universitas Sumatera Utara

80

karena disebutkan dalam rumusan subjek hukumnya adalah seorang wanita (de
vrouw).Akan tetapi dokter dapat melakukan malpraktik menurut pasal ini jika
dokter tersebut diminta untuk melaksanakan pengguguran atau pembunuhan
kandungannya. Lalu dokter sebagai apa atau melanggar pasal mana, kiranya ada
dua pendapat mengenai hal ini: 57
1. Sebagai pembuat pelaksana (pleger) menurut pasal 55 ayat 1 KUHP.
Jika dokter sendiri yang melaksanakan aborsi tersebut sedangkan
perempuan pemilik kandungan terlibat sebagai pembuat penganjur atau
pembuat peserta, bergantung pada apa yang meliputi perbuatan tersebut.
Pelaku peserta jika perempuan pemilik kandungan juga ikut terlibat
perbuatan fisik besar atau kecil. Boleh sebagai pembuat penganjur jika
dokter mendapatkan pembayaran untuk itu.
2. Dokter dapat dipertanggungjawabkan melalui pasal 348 KUHP. Alasan
pendapat ini yakni subjek hukum pasal 346 ialah harus seorang
perempuan, in casu perempuan pemilik kandungan. Subjek hukum yang
disebut dalam rumusan tindak pidana adalah pembuat tunggal (dader)
dan tidak termasuk bentuk-bentuk penyertaan dalam pasal 55 dan 56
KUHP.

Sementara

itu,

unsur

tiga

perbuatan

(menggugurkan,

mematikan, dan menyuruh orang lain untuk itu) dikhususkan pada
perbuatan dader in casu perempuan tersebut. Dalam halini, dokter juga
bukan dader. Dader harus si perempuan pemilik kandungan. Dengan
demikian tidak mungkin dokter dapat melakukan tiga perbuatan

57

Adami chazawi, Op.Cit., Hal.119

Universitas Sumatera Utara

81

tersebut. Jika demikian, dokter tidak mungkin dipidana menurut pasal
ini, tetapi dokter dapat dipidana sebagai dader berdasarkan pasal 348.
Sementara itu, perempuan yang menyuruh dokter dipidana sebagai
dader menurutpasal346. Perbuatan perempuan bukan mengugurkan atau
mematikan

kandungannya tetapi perbuatan menyuruh orang lain

(dokter) untuk itu.
b. Pasal 347 KUH
pasal ini merumuskan: 58
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurakn atau mematikan kandungan
seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun
2. Jika perbuatan itu menyebabkan matinya perempuan tersebut diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belsa tahun.
Rumusan tersebut terdiri atas unsur-unsur berikut.
Ayat 1
Unsur-unsur obkektif
1. Perbuatan : menggurkan atau mematikan
2. Objeknya : kandungan perempuan
3. Tanpa persetujuan perempuan itu Unsur subjektif
4. Dengan sengaja
Ayat 2: Mengakibatkan kematian perempuan tersebut

58

Ibid., Hal. 121

Universitas Sumatera Utara

82

Inilah

aborsi

tanpa

persetujuan

perempuan

pemilik

kandungan.

Tanggungjawab pidananya lebih berat (penjara paling lama 12 tahun) daripada
aborsi atas persetujuan (penjara paling lama lima tahun enam bulan, pasal 348).
Jika menimbulkan kematian perempuan itu sama dengan pembunuhan (pasal
338). Walaupun kesengajaan tidak ditujukan pada kematian perempuan yang
mengandung seperti pada pembunuhan.Tanpa persetujuan harus diartikan pada
akibat, bukan pada perbuatan tertentu.
Bisa jadi perempuan setuju pada wujud perbuatan tertentu yang dikatakan
pembuat berupa pengobatan atau perawatan. Namun sesungguhnya perbuatan
tersebut oleh pembuatnya ditujukan pada gugr atau matinya kandungan. Kejadian
ini juga masuk pasal 347. Kesengajaan pembuat harus ditujukan baik pada
perbuatannya maupun akibat gugur atau matinya kandungan. Kesengajaan ini
harus diartikan tiga bentuk kesengajaan, yakni sebagai maksud, kemungkinan,
atau kesengjaan sebagaikepastian.
c. Pasal348
Pasal ini merumuskkan: 59
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enambulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuhtahun.
Mengenai tindak pidana dirumuskan dalam ayat 1. Ayat 2 memuat alasan
pemberatan pidana yang dilekatkan pada timbulnya akibat kematian perempuan
yang mengandung. Rumusan ayat 1 terdapat unsur-unsur berikut:
Unsur-unsur objektif:
59

Ibid., Hal.125

Universitas Sumatera Utara

83

1. Perbuatan:
a. menggugurkan atau
b. mematikan
2. Objeknya: kandungan seorang perempuan
3. Dengan persetujuannya Unsur subjektif
4. Dengan sengaja
Perbedaan pokok dengan aborsi pasal 348 terletak pada aborsi terhadap
perempuan yang mengandung disetujui oleh pemilik kandungan sendiri.Dari
unsur persetujuannya, berarti inisiatif tindakan aborsi itu bukan berasala dari
perempuan. Alasannya didasarkan dari unsur perbuatan ketiga, yakni menyuruh
orang lain untuk itu. Disinilah letak perbedaan antara aborsi perbuatan menyuruh
mematikan atau menggugurkan kandungan menurut pasal 346 dengan aborsi yang
dilakukan orang lain atas persetujuan perempuan yang mengandung (pasal 348).
Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu: tindak
pidana, pertanggung jawaban pidana, pidana pemidanaan. Ketentuan pidana yang
terdapat dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan dirumuskan dalam Bab
XX Ketentuan Pidana Pasal 190 sampai dengan pasal 200 adalah sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal
194)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
Tindak pidana ini terdapat unsur-unsur berikut.
Unsur-unsur objektif
1) perbuatan: melakukan tindakan medis tertentu

Universitas Sumatera Utara

84

2) objek: terhadap ibu hamil
3) yang tidak memenuhi ketentuan yang dimaksud dalam pasal 75 ayat (2)
Unsur subjektif
4) dengan sengaja
Unsur perbuatan yang dilarang disebutkan melakukan tindakan medis
tertentu.Suatu penyebutan perbuatan yang abstrak dan tidak jelas wujud
konkretnya.
Tanggung jawab publik rumah sakit sebagai penyelenggara
pelayanan publik diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25
tahun 2009, tentang pelayanan publik yaitu mengatur tentang tujuan pelaksanaan
pelayanan publik , antara lain :
a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak,
tanggung jawab, kewajiban dan kewenangan seluruh pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan yang layak sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik
c. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Selain pengaturan tanggung jawab rumah sakit dalam UU No.25/2009,
juga diatur dalam ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 ,
tentang rumah sakit ,yang mengatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab
secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Tanggung jawab hukum rumah
sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat dilihat dari
aspek etika profesi, hukum adminstrasi, hukum perdata dan hukum pidana.

Universitas Sumatera Utara

85

Dasar hukum pertanggungjawaban rumah sakit dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan terhadap pasien yaitu adanya hubungan hukum antara rumah
sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dan pasien sebagai pengguna
pelayanan kesehatan. Hubungan hukum tersebut lahir dari sebuah perikatan atau
perjanjian tentang pelayanan kesehatan, sehingga lazim disebut perjanjian
terapeutik.
Sanksi pidana yang diatur didalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009
adalah sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal
194) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
b. Tindak Pidana Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau Tenaga
Kesehatan yang Tidak Memberikan Pertolongan Pertama Terhadap
Pasien yang Dalam Keadaan Gawat Darurat (Pasal 190)
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Universitas Sumatera Utara

86

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran
kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku kedua Bab
XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX Pasal
346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap
nyawa. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun
1992, maka permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara
eksplisit, dalam Undang-Undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur
mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi
dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat.Meskipun
Undang-Undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu
terdapat kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194.
2. Pelaku Tindak Pidana Aborsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
karena pelaku Tindak Pidana Aborsi memenuhi semua syarat-syarat di dalam
pertanggungjawaban pidana. Unsur Kesalahan dari tindak pidana aborsi yaitu
sudah melanggar ketentuan KUHP pasal 348. Unsur kesengajaan pelaku tindak
pidan aborsi juga terpenuhi karena dengan sengaja untuk menggugurkan
kandungan dan unsur tidak alasan pemaaf dari tindak pidana aborsi juga

Universitas Sumatera Utara

87

terpenuhi karena pelaku tindak pidana aborsi sudah cakap hukum dan mampu
untuk nertanggung jawab.
A. Saran
1. Di dalam melakukan praktek kedokteran sebaiknya semua belah pihak
yang terlibat di dalamnya agar lebih memeperhatikan segala prosesnya
baik itu pihak rumah sakit, dokter maupun pasien. Hal ini harus dilakukan
berdasarkan kesadaran semua pihak agar tidak terjadi Tindak kriminal
seperti aborsi yang dimana itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar
hukum dan dapat meminimalisir kegiatan aborsi untuk hal-hal yang
memiliki tujuan tertentu.
2. Penerapan sanksi bagi pihak yang melakukan aborsi baik itu dokter
ataupun rumah sakit agar dipertegas lagi penerapan sanksinya. Jangan
hanya berupa peringatan saja atupun teguran, karena hal tersebut tidaklah
membuat efek jera bagi si pelaku aborsi illegal. Karena kebanyakan dari
kasus aborsi yang terjadi sekarang apabila ketahuan hanya dilakukan saja
peringatan yang dimana para pelaku aborsi tidaklah takut untuk melakukan
aborsi yang illegal dan kemudian menjadikan kegiatan aborsi illegal
menjadi suatu perbuatan yang mudah untuk dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pemalsuan Surat Dalam Perkawinan Dihubungkan Dengan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Dan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974

0 30 80

PERBANDINGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI.

0 1 8

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENGOBATAN TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN.

0 0 12

SINKRONISASI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN UNDANG-UNDANG NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK MENGENAI TINDAK PIDANA ABORTUS PROVOKATUS OLEH KORBAN PERKOSAAN.

0 0 14

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 0 8

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 3 26

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 0 29

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 0 3

ANALISIS TENTANG KETENTUAN TINDAK PIDANA PERTANAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

0 0 15