Fetishisasi Komoditas Kapitalisme Global. pdf

KATA PENGANTAR
Fetishisasi Komoditas, Kapitalisme Global, dan Rasialisasi Kecantikan Perempuan
dalam Budaya Popular

Apa jadinya ketika sebuah metafora mengalami literalisasi, yakni ketika sebuah asosiasi
manasuka antara dua objek atau ide—yang secara langsung tak punya saling kaitan apapun—
kemudian termaterialisasi dalam wujud fisikal berupa sebuah objek atau laku konkret? Kita tak
hanya menyaksikan lahirnya sebuah pemaknaan baru atas objek atau laku itu, melainkan juga
kelahiran sebuah fetish, yang efeknya jauh lebih dahsyat daripada ide atau objek dasar yang
semestinya diwakilinya. Fetish, dalam hal ini bergeser statusnya menjadi yang utama, sementara
ide atau objek dasar yang semula diwakilinya justru seolah surut menjadi sebuah ketidakhadiran
(absence). Inilah kunci proses komodifikasi yang menyulap sebuah ide atau objek menjadi
sebuah komoditas dan, lebih jauh lagi, jika kita mengikuti paradigma pemikiran Marxian,
menyebabkan terjadinya fetishisme atas komoditas tersebut. Fungsi guna objek atau tujuan laku
tersebut, dengan demikian, menjadi sekunder dibandingkan dengan makna baru yang
diperolehnya sebagai sebuah fetish, yang boleh dikata kini praktis bersifat independen.
Sabun, yang utamanya berasosiasi dengan kebersihan badan, pun lalu dapat berfungsi pula
mewakili kecantikan, keunggulan, dan bahkan, kemurnian/kesucian. Paling tidak, inilah cara
memahami operasi metafora dari kaca mata konvensional. Namun, jika kita memakai perspektif
Marxian yang memahami komoditas sebagai fetish, maka ide-ide abstrak seperti kecantikan dan,
dalam kasus buku Aquarini Prabasmoro ini, ke-putih-an, itulah yang sesungguhnya termodifikasi

sehingga mewujud sebagai fetish dalam rupa sabun. Pada tataran diskursif yang berbeda namun
bisa terjadi bebarengan, fetish itu bisa juga merupakan hasil materialisasi dari blending antara
gagasan tentang kecantikan serta ke-putih-an yang bersifat konseptual di satu pihak, dan sabun
sebagai sebuah produk komoditas di pihak lain. Maka, dalam hal ini kita tidak berhadapan
langsung dengan sabun itu sebagai sebuah produk, tetapi dengan iklannya, dan iklan inipun tidak
terbebas dari fetishisasi.
Iklan, dalam hal ini, bisa menjadi lebih sentral daripada produk komoditas yang sedang
dipromosikannya. Iklan sabun pun, pada gilirannya, menjadi hasil blending antara konsep
kecantikan serta keputihan dan sabun sebagai objek komoditas. Pesan yang tersurat dan tersirat
dalam iklan itu merupakan sebuah hasrat (desire) yang hanya dapat menubuh lewat konstruksi
kenyataan inderawi yang dibangun oleh iklan sekaligus berfungsi sebagai substitusi bagi hasrat
tersebut. Oleh sebab itu, ia pun lalu disebut fetish. Dalam kajian-kajian kritis atas budaya popular
dan budaya massa sebagai produk komodifikasi, proses terjadinya fetishisme inilah yang menjadi
fokus investigasi alih-alih komoditasnya per se. Seperti apa trajektori hasrat menuju ke fetishnya terjadi, dan apa yang diproyeksikan oleh perjalanan tersebut ke bawah sadar konsumennya;
inilah pertanyaan yang mesti dijawab para peneliti budaya di bidang ini.
Dalam teori blending, yang dikembangkan mula-mula oleh Gilles Fauconnier dan Mark Turner
pada awal 1990an lewat karya seminal mereka, The Way We Think, proses blending pada tataran
konseptual terjadi ketika bawah sadar kita menciptakan relasi-relasi antara dua atau lebih domain
dalam otak kita sehingga terciptalah sebuah konsep baru. Teori berbasis kognitif ini mampu


menjelaskah kelahiran sebuah metafora secara lebih embodied atau berbasis pada ketubuhan
yang konkret dan bisa diamati secara ilmiah alih-alih sekadar didasari oleh asumsi-asumsi
naluriah belaka yang sering kita jumpai dalam banyak penjelasan tentang apa yang disebut
dengan ‘proses kreatif’. Jadi, berbeda dengan cara ilmu-ilmu humaniora dan sebagian dari ilmuilmu sosial berbasis konstruktivisme sosial dalam memahami kreatifitas, yang kerapkali lebih
merupakan penjelasan etis ataupun estetis, studi kognitif atas blending sepenuhnya berbasis pada
tubuh dan bahwa proses kreatif adalah proses yang menubuh alih-alih imajinatif.
Dalam konteks psikologi Freudian yang memandang kreatifitas sebagai sebuah bentuk
‘kegilaan’, ketika sebuah fetish tercipta lewat proses yang diulas Fauconnier dan Turner di atas,
maka yang sesungguhnya sedang berlangsung adalah literalisasi atas metafora, seperti yang telah
disebutkan pada awal Pengantar ini. Yang membuat masalah bertambah pelik adalah Freud lalu
menjelaskan fenomena tersebut sebagai sebentuk kelainan kejiwaan yang lazim disebut dengan
hysteria. Dalam salah satu karya monumentalnya, Das Unbehagen in der Kultur (1930, kerap
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Civilization and Its Discontents), bapak
psikoanalisis itu mengajukan proposisi bahwa semakin tinggi peradaban zaman, semakin
berlapis pula represi yang dikenakan oleh zaman itu pada individu-individu yang hidup di
dalamnya. Hysteria adalah simptom dari represi yang menubuh, hasil akhir dari literalisasi
sebuah metafora. Maka, orang melihat, merasa, dan mengalami sesuatu lewat tubuhnya yang
sebetulnya hanyalah produk imajinasinya belaka, sebagaimana diteliti oleh Freud dalam Studien
über Hysterie (Studies of Hysteria, terbit pertama kali pada 1895) bersama Joseph Breuer.
Dalam kaitan dengan kajian budaya popular dan budaya massa, atau secara khusus dengan

penelitian atas iklan sabun dan pemutih yang dilakukan Aquarini dalam buku ini, gagasan
Freudian itu dapat dipakai untuk memahami mengapa fetishisme kultural menggejala secara
endemik. Jika benar bahwa sebuah fetish merupakan simptom dari suatu hasrat yang mustahil
dapat terpenuhi dalam tataran real, maka bisa jadi kita memang sedang menyaksikan dominasi
sebuah era yang represif tetapi menampilkan dirinya seolah-olah penuh dengan tawaran pilihan
dan kebebasan yang disimbolkan oleh fetish-fetish. Inilah proses genetik fetishisme yang kini
sedang merajai kenyataan sehari-hari hidup kita dalam wujud budaya popular dan budaya massa.
Represi bertopengkan kemajemukan pilihan ini tidak menampakkan dirinya sebagai suatu
kekerasan kasat mata, yang hampir selalu berujung pada perlawanan atau penolakan. Sebaliknya,
represi itu beroperasi melalui kekerasan simbolik yang berupaya menanamkan ide-ide dominan
tentang superioritas, kemurnian dan keindahan lewat pesona fetish-fetish. Apa yang di
permukaan tampak sebagai pilihan dan kebebasan sesungguhnya adalah kedok bagi kekerasan,
yang merupakan bagian dari mekanisme represif zaman untuk menghomogenkan acuan utama
selera dan citarasa.
Bab kedua buku Becoming White ini mengupas secara kritis bagaimana kekerasan simbolik itu
bekerja dengan ditopang oleh fetish-fetish, yang dalam hal ini berupa iklan sabun. Acuan
utamanya adalah konsepsi dominan tentang apa yang baik, bersih dan superior, yang berasosiasi
dengan ke-putih-an. Berangkat dari acuan ini, maka suatu kemustahilan, yakni kulit bukan putih
bisa secara magis disulap menjadi putih, dihadirkan tidak hanya sebagai suatu kemungkinan
namun bahkan suatu keniscayaan asalkan konsumsi atas fetish (iklan) dapat menghasilkan laku

konsumsi atas komoditas (sabun). Agar hal ini dapat terjadi, maka peran terbesar harus
diletakkan pada iklan, bukan pada objek yang diiklankannya. Iklan sebagai fetish menjadi primer

fungsinya, sementara sabun yang merupakan objek konkretnya justru harus digeser ke posisi
sekunder, mengingat hidup mati komoditas itu terletak pada sejauh mana iklannya mampu
mempengaruhi perilaku konsumsi massa. Iklan bekerja secara independen sebab apa yang
ditampilkannya tidak harus sesuai dengan realitas objek komoditasnya: dibuat dari bahan
kimiawi apa, bagaimana proses pembuatannya, adakah efek sampingnya bagi kulit atau
kesehatan, atau bahkan, betulkah ia dapat bekerja secara mujarab sebagaimana dipromosikan
dalam iklan itu.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah kita sedang melihat suatu ‘hysteria massal’ dalam
konsumsi besar-besaran atas budaya popular oleh masyarakat konsumeristik pada tahapan
mutakhir evolusi kapitalisme global ini? Konsep ke-putih-an yang tidak kompatibel dengan
warna kulit orang-orang bukan putih menjadi dominan, lewat proses-proses yang telah dijelaskan
dengan rinci oleh Edward Said dalam Orientalism (1978) yang monumental itu, dan ditanamkan
sebagai konsep superior dalam bawah sadar orang-orang bukan putih, sehingga mereka pun
kemudian mengidentifikasi diri dengan ke-putih-an. Di sinilah imaji cermin yang diangkat oleh
Aquarini dalam Bab II menjadi bermanfaat untuk membantu kita memahami proses identifikasi
berbau ‘magis’ itu, yang melibatkan aktifitas memandang dan dipandang pada subjek. Agar
sebuah fetish dapat berfungsi efektif sebagai fetish, ia harus mampu menyediakan kemungkinan

kepada subjek untuk memandang pada dirinya sendiri dan dipandang oleh orang lain, yang saling
mengukuhkan dan sama-sama berujung pada identifikasi antara kedua subjek yang terbelah (oleh
cermin) itu.
Dalam ilustrasi iklan sabun Lux yang menampilkan model aktris Susan Hayward, misalnya,
Aquarini dengan efektif menjelaskan bagaimana posisi subjek (Susan Hayward) menjadi
sekunder dalam relasinya dengan patung marmer yang menggambarkan dirinya sendiri.
Kehadiran patung marmer yang mestinya manasuka itu menjadi masuk akal dan integral dalam
konteks iklan sabun Lux sebab diciptakan asosiasi antara marmer (domain 1) dan sabun yang
menjadi fetish (domain 2) bagi kecantikan dan ke-putih-an (blending antara domain 1 dan 2).
Lalu apa peran Hayward di situ? Ia menjadi domain ke-3 yang mementahkan makna blending
antara domain 1 dan 2 sekaligus memberinya makna baru, sehingga terjadi proses blending
tingkat dua, yang hanya dapat hadir sebagai akibat adanya blending tingkat pertama namun
kemudian menggantikan posisi sentral blending tingkat pertama tersebut. Dari titik inilah
konsumsi dipicu. Dari sini pulalah terjadi identifikasi lain, yaitu antara konsumen dan sosok
Hayward dalam iklan, sementara kita ingat bahwa pada tahapan identifikasi pertama, yang terjadi
adalah identifikasi antara patung marmer (atau sabun) Hayward dengan subjek Susan Hayward.
Maka, pilihan konsumen atas sabun Lux untuk menambah kecantikan dan ke-putih-an dirinya
adalah momen saat represi diterima tak hanya sebagai realitas yang tak bisa ditolak namun juga
sebagai apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan.
Persoalan memandang dan dipandang ini pula yang menjadi fokus Bab III. Baik laku

memandang yang Liyan sebagai acuan superior akan keindahan dan kecantikan maupun hasrat
untuk dipandang sebagai akibat dari ilusi bahwa self kini identik dengan Liyan yang unggul tadi
sama-sama membentuk suatu identitas diri yang narsisistik. Dalam hal iklan sabun Lux dan Giv,
yang dipromosikan oleh model Tamara Blezinsky dan Sophia Latjuba, semakin identifikasi itu
lebur dan total, semakin alamiah (“apa adanya”) narsisisme yang sesungguhnya merupakan
simptom neurosis itu diterima oleh kesadaran. Proses penyimpangan yang diterima sebagai

alamiah dan ‘waras’ ini dibuat lebih mudah terjadinya oleh pemilihan dua model iklan yang
memiliki identitas hibrid. Sebagai orang Indo (blasteran antara ‘pribumi’ dan Kaukasian),
Tamara dan Sophia berada di lokasi yang ambigu antara yang putih dan yang bukan putih.
Hibriditas mereka membuka pintu bagi self untuk menerima ilusi bahwa tidak mustahil untuk
bisa menjadi Liyan yang superior, yang kini telah tertanam sebagai acuan kecantikan dan keputih-an dalam bawah sadar. Liyan ini, meskipun absen, memainkan peranan dominan dalam
relasi narsisistik ini.
Maka, sekalipun Anne M. Cronin, yang pendapatnya tentang iklan banyak dikutip oleh Aquarini
dalam bab ini, berpandangan bahwa iklan-iklan yang terkait dengan perempuan cenderung
“mengajari” dan “tidak refleksif”, boleh jadi proses penyampaian ‘pelajaran’ tersebut kepada
perempuan yang menjadi targetnya tidak sesederhana sebagaimana yang mungkin dikesankan
oleh kata “mengajari”. Dengan kata lain, suatu doktrin tidak sedemikian cepat dan serta-merta
akan diterima oleb subjeknya seandainya doktrin itu tidak mengandung suatu demonstrasi yang
meyakinkan akan kedekatannya dengan realitas atau apa yang disebut dengan yang “apa adanya”

oleh Aquarini. Yang menarik sekaligus ironis adalah bahwa strategi pendekatan ilusi dan
kenyataan yang efektif justru adalah yang berandal pada ambiguitas dan ketidakpastian, bukan
pada demarkasi tegas antara yang putih dan yang bukan putih, atau antara self dan yang Liyan.
Kedua iklan sabun di atas tidak berisi terstimoni seseorang selebritas yang terbukti berhasil
membuat kulitnya yang tadinya tidak putih menjadi putih dan, dengan demikian, yang tadinya
tidak cantik menjadi cantik. Model yang dipakai adalah selebritas yang sudah putih dan sudah
cantik, meskipun mereka tidak seratus persen dapat disebut sebagai putih (dalam artian ras
Kaukasian). Mereka harus ambigu agar dapat meyakinkan, dan agar dapat menyulap yang
mustahil menjadi mungkin, serta yang mungkin menjadi niscaya.
Sekali ambiguitas ini menjadi landasan logika, maka tak sulit bagi rangkaian ambiguitas dan
kontradiksi lainnya untuk hadir dan secara bahu-membahu bersama-sama membentuk realitas
baru yang fetishistik. Diperlukan kupasan kritis, rinci dan panjang lebar dari Aquarini untuk bisa
menguak landasan tersebut sehingga kita dapat melihat dalam segi apa saja representasi
kecantikan yang dibangun oleh dua sosok Tamara yang berbeda namun identik itu. Demikian
pula dalam iklan Giv yang menghadirkan Sophia Latjuba. Dalam iklan ini, ambiguitas dan
kontradiksi dibangun oleh kontras antara dua halaman majalah yang masing-masing
menyampaikan pesan yang saling berbenturan: pada sisi kanan kita tak melihat sosok model,
melainkan sosok sabun yang dilatarbelakangi oleh warna putih, yang sesungguhnya adalah
bagian dari gaun Sophia. Pada sisi kiri, kita melihat sosok Sophia dengan gaun putih yang
menampakkan bahu dan lengannya. Yang dominan pada sisi kini bukanlah warna putih yang

seputih gaun ataupun sabun, melainkan ‘putih’ yang dihasratkan dan yang tidak sepenuhnya
putih tetapi, bagaimanapun juga, tetap dilihat sebagai putih, khususnya dalam kontras antara
warna kulit Sophia dan warna kulit perempuan bukan putih yang menjadi target iklan sabun itu.
Proses identifikasi narsisistik lebih muda terjadi dibandingkan apabila model yang digunakan
adalah perempuan Kaukasian tulen yang warna kulitnya putih pasi dan terkesan ‘tidak alamiah’
bagi subjek bukan putih yang menjadi target iklan.
Dalam Bab IV Aquarini memperlihatkan bagaimana ke-indo-an berfungsi sebagai ‘jembatan’
yang menghubungkan antara global dan lokal dalam konteks bagaimana superioritas perempuan
‘global’ yang putih sebenarnya bukanlah sebuah kemustahilan bagi perempuan ‘lokal’ yang

bukan putih untuk, paling tidak, ditiru jika tidak disejajari. Lagi-lagi kita memperoleh
pengukuhan atas bagaimana ambiguitas—lokasi antara yang tidak dapat didefinisikan—justru
menyediakan solusi magis bagi suatu ketidakmungkinan. Dengan kata lain, kepada kita kini
disodorkan pasangan blending konseptual baru antara ‘bukan-putih’ dan ‘bukan bukan-putih’
sebagai alternatif bagi dikotomi ‘putih’ dan ‘bukan putih’. Apa yang berbeda dalam tawaran baru
ini? Pasangan konseptual baru itu tidak didirikan di atas oposisi, meskipun masih berkerangka
binerisme. ‘Bukan-putih’ dan ‘bukan bukan-putih’ lebih merupakan suatu titik pertemuan alihalih pemisahan, sebagaimana yang lazimnya dihasilkan oleh binerisme-binerisme lain. Indo
adalah posisi strategis tempat pertemuan itu terjadi dan, dengan demikian menjadi Indo adalah,
meminjam istilah Pierre Bourdieu, sebuah kapital simbolik yang penting. Tamara dan Sophia
sebagai perempuan Indo adalah sosok-sosok perempuan yang diidealkan dalam asosiasi dengan

ke-putih-an, tetapi jelas juga bahwa mereka bukanlah perempuan (ras) putih. Adakah alat lain
yang lebih ideal dan efektif untuk mengalamiahkan yang sejatinya manasuka dan sama sekali tak
alami, yakni, untuk meyakinkan perempuan bukan putih bahwa menjadi putih adalah sebuah
hasrat yang realistis, dan bukan sekadar sebuah fantasi yang hadir sebagai pengganti dari yang
tak mungkin?
Kembali ke konsep fetish yang telah diulas sebelumnya, maka kita pun melihat adanya
kesejajaran di sini. Sebuah ide atau objek hanya dapat berfungsi efektif sebagai fetish jika orang
yang memberikan status fetish kepada objek tersebut percaya bahwa objek itu punya kemampuan
menggantikan objek utama yang menjadi pemicu lahirnya hasrat. Relevansi fetish bagi realitas
orang pemujanya jauh lebih besar dan lebih penting daripada sumber hasratnya, karena di balik
kesadarannya ia tahu bahwa objek utama tersebut mustahil dapat dimilikinya. Fetishisme adalah
penyangkalan terhadap kenyataan itu, dan ini dimungkinkan karena fetish dapat mengambil alih
kedudukan objek utama. Dalam pasangan ‘bukan-putih’ dan ‘bukan bukan-putih’, ke-indo-an
memainkan peranan fetish karena ia mengandung dua realitas yang saling tidak kompatibel:
pertama, ke-indo-an menjadi proyeksi tak sadar dari hasrat untuk menjadi putih, baik dari segi
warna kulit maupun dari segi rasial. Di lain pihak, ke-indo-an juga secara simbolik berfungsi
sebagai penerimaan terhadap kenyataan bahwa seseorang bukan putih tak akan pernah bisa
menjadi putih dari segi rasial. Namun, ia masih bisa memiliki kulit berwarna putih, sesuai
dengan parameter baru (sekaligus peluang baru) yang telah ditetapkan oleh metafora yang dipilih
untuk merepresentasikan ke-putih-an itu (Tamara Blezinsky dan Sophia Latjuba).

Walaupun dalam pembahasannya Aquarini masih berangkat dari dikotomi putih dan bukan putih,
analisisnya sebetulnya sudah mengarah pada problematisasi atas binerisme tersebut dan mencoba
melampauinya. Kendati demikian, logika binerisme ini menyebabkan analisisnya atas persoalan
memandang dan dipandang masih mengedepankan oposisi jender antara perempuan dan lakilaki, dengan memosisikan perempuan sebagai yang dipandang dan laki-laki sebagai yang
memandang. Dalam konteks iklan sabun maupun sampul majalah perempuan seperti Femina,
dinamika memandang dan dipandang ini malah dikehendaki untuk terjadi secara antarperempuan. Ini membawa kita kembali pada jantung kehidupan kapitalisme global, yakni
konsumerisme, yang menjadi raison d’etre bagi fetishisasi komoditas, dan yang memungkinkan
imaji seperti Susan Hayward yang memandang sosok marmernya sendiri menjadi masuk akal
dan tak sulit untuk menjadi berterima. Jika ada sesuatu yang seksual dalam imaji tersebut, maka
ia bukanlah seksualitas yang didikte oleh heteronormatifitas melainkan seksualitas yang sifatnya

homo-erotik. Itu sebabnya, elemen narsisistik kerap hadir secara kuat dalam berbagai konfigurasi
advertorial komoditas, baik sabun kecantikan maupun sampul majalah perempuan.
Proses memandang dan dipandang, oleh karena itu, perlu diletakkan dalam kerangka pemahaman
bahwa perempuan sebagai subjek, yang menjadi target komoditas, adalah pada saat bersamaan
objek bagi pandangannya sendiri. Bila Narsissus bercermin pada pantulan wajahnya di atas air,
maka Susan Hayward bercermin pada patung marmer dirinya. Pada tahapan selanjutnya, para
perempuan yang mengonsumsi iklan tersebut menemukan refleksi dirinya pada sosok Susan
Hayward yang telah terbelah menjadi dua sosok itu. Cukup masuk akal apabila lalu kita
berasumsi bahwa Tamara Blezinsky dan Sophia Latjuba berfungsi menjadi semacam cermin pula

bagi konsumen perempuan yang mencoba mencari-cari kelebat dirinya sendiri pada sosok kedua
selebritas itu. Ketika itu terjadi, diharapkan momen konsumsi atas produk (sabun dan majalah)
dapat mulai bergulir. Ini, tentu saja, tidak untuk menyanggah adanya kemungkinan disrupsi oleh
pandangan mata laki-laki, tetapi cukup beralasan untuk mengatakan bahwa laki-laki bukanlah
target utama kedua merek sabun kecantikan serta majalah gaya hidup perempuan seperti Femina
dan Kartini. Akan lebih menarik, misalnya, jika dipersoalkan apakah isu memandang dan
dipandang antar-perempuan ini melibatkan pandangan maskulin, sehingga bisa dikatakan ada
intervensi maskulinitas dalam sebuah interaksi yang di permukaan tampak terjadi secara
eksklusif antar-perempuan alih-alih meliteralkan maskulinitas sebagai laki-laki yang
memandang.
Bab kelima buku ini mencoba menempatkan Lux dan Giv dalam dikotomi global-lokal, dan
Aquarini memosisikan Lux sebagai representasi yang global, sedangkan Giv merupakan
kebalikannya. Ada yang perlu diwaspadai saat asosiasi-asosiasi seperti ini diletakkan dalam
bingkai binerisme. Bila baik Tamara maupun Sophie adalah representasi perempuan global lewat
ke-indo-an mereka, sembari sekaligus menjadi lokal—juga karena ke-indo-an mereka, janganjangan kita sedang menghadapi suatu persoalan yang lebih pelik daripada sekadar mencoba
menentukan lokasi yang pas bagi kedua selebritas itu dalam binerisme. Makin problematik lagi
ketika yang satu (Giv) dipahami sebagai bentuk resistensi atas yang lain (Lux), khususnya dalam
konteks dominasi dan marjinalisasi. Pemosisian dan pemahaman seperti ini mengancam berbagai
tesis yang telah diajukan dan diberi argumentasi baik pada bab-bab sebelumnya. Terlepas dari
Lux terkesan internasional dan mewah, sementara Giv lebih ambigu posisinya dan agak berbau
lokal, keduanya ada dan bersaing untuk kepentingan kapital, lebih daripada soal relasi kuasa
kolonial yang timpang, yang lalu memicu terjadinya mimikri oleh yang satu atas yang lain.
Persoalannya bukanlah apakah Lux merupakan tiruan atas Barat (otentik), dan apakah Giv
adalah tiruan kelas dua atas Barat via Lux sebagai cermin / mediator. Agar pemikiran seperti ini
dapat bekerja, akan diperlukan suatu asumsi esensialis bahwa seolah-olah yang otentik itu ada
dan nyata sehingga dapat dijadikan sebagai tolok ukur bagi bermacam kelas tiruan yang
diturunkannya. Juga akan timbul kesan bahwa ‘global’ secara ekslusif berorientasi pada Barat /
putih, sedangkan lokal adalah sisanya (bukan Barat / bukan putih). Masalah lebih sentral dalam
penempatan Lux dan Giv dalam konteks global – lokal adalah bagaimana keduanya
mengaburkan demarkasi lama Barat dan bukan Barat dan, dengan demikian, berpotensi membuat
dikotomi global – lokal menjadi tak lagi stabil (yakni, apabila yang global diasosiasikan dengan
Barat dan, sebaliknya, yang lokal dengan bukan Barat). Pintu masuk strategis untuk mulai bisa
memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan ini lagi-lagi disediakan oleh sosok Indo yang

ambigu dan menolak pemosisian apapun kecuali keberantaraan. Dalam konteks ini, maka bisa
dikatakan bahwa baik Lux maupun Giv punya kontribusi dalam destabilisasi atas binerisme lama
itu.
Pada poskrip-nya, Aquarini mendiskusikan ke-putih-an yang telah menjadi patokan norma secara
global, dan perempuan bukan putih dari ras dan kelas sosial apapun kini harus mengukur
kecantikan dirinya—dan gagal atau suksesnya proses ‘pembudayaan’ atas dirinya—berdasarkan
patokan tersebut. Di mata Aquarini, kunci keberhasilan penjualan produk-produk pemutih
dewasa ini tampaknya disebabkan oleh normalisasi ke-putih-an sebagai hasil pembudayaan.
Konsekuensinya adalah, lepas dari apakah produk pemutih itu secara cepat dan efektif dapat
sungguh-sungguh memutihkan kulit, setiap perempuan bukan putih seakan-akan merasa wajib
untuk mengonsumsi produk-produk pemutih itu demi konformitas mereka dengan norma
dominan. Konsumsi (produk pemutih) mejadi ide sentralnya alih-alih transformasi (warna kulit)
karena, bagaimanapun juga, cermin yang disediakan oleh iklan-iklan itu adalah personifikasi
hasrat lewat model Indo, yang dalam kenyataannya hampir mustahil dapat diwujudkan. Jika
pengamatan ini benar adanya, maka ada sesuatu yang signifikan yang terjadi pada fetish, dan
barangkali pengertian fetishisme dalam budaya popular dan budaya massa perlu ditinjau
kembali.
Menjadi putih dalam artian harfiah tetap diinginkan, tetapi dalam atmosfer kapitalisme global
yang berbasis pada konsumerisme, mengonsumsi fetish (Aquarini memakai istilah lebih harfiah,
yakni “memakan”) adalah laku pemenuhan simbolik atas hasrat tersebut dan, oleh karena itu,
haru dilakukan secara berulang kali serta dalam kuantitas yang terus meningkat. Artinya pula,
bahkan ketika transformasi warna kulit dari bukan putih menjadi lebih putih belum atau tidak
terjadi, seseorang tetap dituntut untuk berlaku seolah-olah dia telah menjadi relatif lebih putih.
Namun demkian, agar laku ini dapat meyakinkan tidak hanya orang lain yang memandang
namun juga diri sendiri, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah konsumsi. Ini mengingatkan
pada teori performatifitas jender yang ditelurkan oleh Judith Butler. Karena menjadi feminin
sudah menjadi norma sosial dominan bagi perempuan, dan ada kuasa yang menetapkan normanorma itu serta mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari perempuan, maka subjek
perempuan pun seakan-akan tak punya pilihan selain memerankan lakon feminin yang
dibebankan di atas pundaknya. Menjadi putih, dengan demikian, lebih masuk akal untuk
dipahami sebagai sebuah performatifitas daripada suatu hasrat atau ambisi untuk benar-benar
secara harfiah menjadi putih. Jika acuan ini yang beroperasi dalam bawah sadar para perempuan
konsumen produk sabun kecantikan dan pemutih kulit, maka tidak mengherankan apabila
aktifitas konsumsi terus berlangsung intens, meskipun bukti nyata bahwa kulit menjadi lebih
putih, sebagaimana warna kulit model iklan, masih sangat bisa diperdebatkan.
Buku ini, meskipun edisi pertamanya sudah muncul pada 2003, tetap memiliki relevansi tinggi
dengan kondisi masa kini. Cetak ulang dengan revisi yang dilakukan oleh pengarang dan
penerbit patut disambut dengan gembira, mengingat hingga saat ini belum banyak dilakukan riset
mendalam yang kritis atas produk-produk budaya popular untuk perempuan serta konsumsinya.
Sementara itu, setiap hari kita menyaksikan bagaimana pasar kian dibanjiri oleh aneka macam
produk kecantikan yang ditopang oleh industri periklanan dan tren dominan pemakaian selebritas
Indo sebagai model-modelnya. Nyaris tidak ada bagian tubuh perempuan dari ujung rambut
hingga kuku kaki yang tak tersentuh oleh norma-norma feminin dominan yang dibentuk dan

didiseminasikan oleh globalisasi: pewarna rambut, soft lens berwarna, bulu mata sintetik, operasi
plastik, penghilang kerut wajah, pelangsing tubuh, penghilang bulu, dan seterusnya adalah
bagian dari mekanisme kompleks regulasi dan dominasi pemaknaan atas tubuh perempuan.
Membaca Becoming White memang tidak serta-merta menjadi eksorsisme terhadap ‘hantu
kolonial’ yang tak juga mau melepaskan cengkeramannya atas tubuh dan jiwa perempuan, tetapi
ini bisa jadi sebuah langkah awal untuk membongkar tabir mitis fetish-fetish komoditas, serta
memperlihatkan bahwa tidak ada sesuatu yang magis di balik itu semua. Transformasi kesadaran,
dalam dirinya sendiri, sudah merupakan sebuah awal dari suatu revolusi kebudayaan, yang
diangankan akan dapat mengakhiri objektifikasi perempuan oleh kapitalisme global sebagai fase
tercanggih kolonialisme, sebagaimana dikemukakan buku ini.
Tidak sering kita menjumpai sebuah buku yang dapat membuka mata dan mengasah daya kritis
kita, di tengah semaraknya dunia penerbitan buku pada saat ini. Becoming White adalah salah
satu dari buku langka itu. Kompleksitas persoalan yang hendak dijelajahi oleh buku ini demikian
pelik—walaupun materi budaya yang dibahas seringkali dianggap banal, yakni iklan sabun dan
sampul majalah perempuan, serta krim pemutih kulit—sehingga memang tidak semua aspek
dapat digali dengan sama dalamnya atau terbahas secara sama tuntas. Dalam hal ini, Aquarini
Prabasmoro telah membukakan pintu-pintu kemungkinan dan peluang bagi banyak orang lain
yang tergerak untuk melakukan riset di bidang yang sama, atau untuk lebih lanjut makin
mendalami segala persoalan kultural yang telah diangkat oleh Aquarini dalam edisi kedua
bukunya ini. Namun, pelajaran terpenting yang bisa dipetik dari buku ini adalah bahwa tidak
perlu tebal untuk dapat menyampaikan gagasan-gagasan bermutu secara padat. Dalam kurang
dari seratus halaman, pengarang telah berhasil mengusung banyak permasalahan penting dan
membantu kita memahami semua itu dengan lebih baik lewat argumen-argumennya yang bernas.
Saya menyambut kehadiran edisi kedua ini sembari memberikan penghargaan tinggi kepada baik
pengarang maupun penerbitnya, yang telah berkenan memberikan yang terbaik bagi kerja
intelektual dan kultural yang tak selalu memberikan imbalan material dan keuntungan yang layak
mereka terima.

Manneke Budiman
Pengajar, Fakultas Ilmu Budaya UI