Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Debt to Equity Ratio pada Perusahaan Otomotif yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori
2.1.1 Struktur Modal
Istilah modal yang secara umum mengacu kepada uang, sangat dibutuhkan
oleh setiap perusahaan guna membiayai pengadaaan aset dan operasi perusahaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modal adalah harta benda (uang, barang,
dan lain-lain) yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang
menambah kekayaan. Oxford Advanced Learner’s Dictionary mendefinisikan
modal sebagai “a large amount of money that is invested or is used to start a
business”. Rusdin (2006) mendefinsikan modal sebagai sejumlah dana yang
menjadi dasar untuk mendirikan suatu perusahaan. Modal dapat juga didefinisikan
sebagai hak atau bagian yang dimiliki perusahaan yang ditujukan dalam pos
modal (modal saham), surplus dan laba yang ditahan, atau kelebihan nilai aktiva
yang dimiliki oleh perusahaan terhadap seluruh utangnya (Munawair, 2010).
Modal dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni modal sendiri dan modal
asing. Modal sendiri merupakan modal yang berasal dari pihak perusahaan
(pemegang saham) maupun laba yang tidak bagi (laba ditahan). Modal sendiri
tidak melibatkan kewajiban langsung untuk pengembalian dana. Para investor
modal akan menerima status kepemilikan dalam perusahaan dalam bentuk saham.

Menurut Prawirosentono (2002), modal sendiri dalam perusahaan dapat dalam
bentuk saham, cadangan penyusutan dan laba yang ditahan.
16

Universitas Sumatera Utara

17

Modal asing merupakan modal yang berasal dari pinjaman dari para
kreditur, supplier, dan perbankan. Berbeda dengan modal sendiri, modal asing
memerlukan pembayaran dana (yang biasanya beserta bunga) di masa mendatang.
Umumnya, alasan perusahaan menggunakan modal asing adalah dikarenakan
modal sendiri yang dimiliki perusahaan tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan seluruh modal yang diperlukan oleh perusahaan. Berdasarkan jangka
waktu jatuh temponya, modal asing dalam bentuk pinjaman dapat diklasifikan ke
dalam tiga golongan, yakni modal utang jangka pendek, modal utang jangka
menengah dan modal utang jangka panjang (Prawirosentono, 2002).
Struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan suatu perusahaan
yang digunakan dalam mendanai aset yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut
Rodoni dan Ali (2010), struktur modal adalah proporsi dalam menentukan

pemenuhan kebutuhan belanja perusahaan, dimana dana yang diperoleh
menggunakan kombinasi atau panduan sumber yang berasal dari dana jangka
panjang yang terdiri dari dua sumber utama, yakni yang berasal dari dalam dan
luar perusahaan. Higgins (2004) mendefinisikan struktur modal sebagai komposisi
pada sisi utang di neraca perusahaan atau paduan sumber pendanaan perusahaan
yang digunakan untuk membiayai operasionalnya. Fabozzi and Peterson (2000)
menyatakan bahwa “capital structure is the combination of debt and equity used
to finance a firm’s projects. The capital structure of a firm is some mix of debt,
internally generated equity, and new equity”.
Berkaitan dengan struktur modal suatu perusahaan, Husnan dan
Pudjiastuti (2004) menyatakan bahwa struktur modal yang terbaik adalah struktur
modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan atau harga saham.

Universitas Sumatera Utara

18

Perusahaan akan memilih sumber dana yang paling rendah biayanya diantara
berbagai alternatif sumber dana yang tersedia. Komposisi utang dan modal yang
tidak optimal akan mengurangi profitabilitas perusahaan begitu juga sebaliknya.

Oleh karena itu pengambilan keputusan tentang sumber pendanaan yang tepat
yang terdiri dari utang dan modal sendiri sangat penting bagi perusahaan.
Keputusan struktur modal atau pendanaan ini merupakan keputusan keuangan
yang berkaitan dengan komposisi utang, saham preferen dan saham biasa yang
digunakan oleh perusahaan.
Penentuan struktur modal perusahaan merupakan kebijakan yang diambil
oleh pihak manajemen dalam rangka memperoleh sumber dana sehingga dapat
digunakan dalam aktivitas operasional perusahaan. Keputusan yang diambil oleh
manajemen dalam mendapatkan sumber dana tersebut sangat dipengaruhi oleh
pemilik atau pemegang saham. Hal ini sesuai dengan tujuan utama perusahaan
yakni untuk meningkatkan kemakmuran para pemegang saham maka setiap
kebijakan yang akan diambil oleh pihak manajemen selalu dipengaruhi oleh
keinginan para pemegang saham (Brigham, 1983).
Brigham dan Houston (2001) menunjukkan ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan oleh perusahaan ketika mengambil keputusan mengenai struktur
modal yaitu antara lain:
1. Stabilitas Penjualan; perusahaan dengan stabilitas penjualan yang relatif stabil
dapat lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung beban
tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya
tidak stabil;


Universitas Sumatera Utara

19

2. Struktur Aset; perusahaan yang asetnya sesuai untuk dijadikan jaminan kredit
cenderung lebih banyak menggunakan utang;
3. Leverage Operasi; perusahaan dengan leverage operasi yang lebih kecil
cenderung lebih mampu untuk memperbesar leverage keuangan karena akan
mempunyai risiko bisnis yang lebih kecil;
4. Tingkat Pertumbuhan; perusahaan yang mengalami peningkatan pertumbuhan
penjualan yang relatif stabil akan menaikkan ukuran perusahaan tersebut, yang
mana hal ini mengakibatkan naiknya kepercayaan kreditor akan kinerja
perusahaan tersebut, sehingga dapat meningkatkan dana untuk operasional
perusahaan;
5. Profitabilitas; perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi akan
memungkinkan perusahaan tersebut membiayai sebagian besar kebutuhan
pendanaan mereka dengan dana yang dihasilkan secara internal;
6. Pajak; perusahaan yang terkena tarif pajak yang tinggi akan memperoleh
manfaat yang tinggi jika memiliki beban yang dapat dikurangkan untuk tujuan

perpajakan (misalnya beban bunga);
7. Pengendalian; perusahaan akan mempertimbangkan situasi pengendalian
perusahaan jika posisi manajemen sangat rawan. Pertimbangan pengendalian
tidak selalu menghendaki penggunaan utang atau ekuitas karena jenis modal
yang memberi perlindungan terbaik bagi manajemen bervariasi dari suatu
situasi ke situasi lain. Pengaruh utang melawan saham terhadap posisi
pengendalian manajemen dapat mempengaruhi struktur modal;
8. Sikap Manajemen; perusahaan yang memiliki pihak manajemen yang bersikap
konservatif akan cenderung menggunakan jumlah utang yang lebih kecil

Universitas Sumatera Utara

20

daripada rata-rata perusahaan dalam industri yang sama. Sementara pihak
manajemen lain lebih cenderung menggunakan banyak utang dalam usaha
mengejar laba yang tinggi;
9. Sikap Pemberi Pinjaman dan Lembaga Penilai Peringkat; perusahaan sering
kali mempertimbangkan sikap para pemberi pinjaman dan perusahaan penilai
peringkat (Rating Agency) pada saat menentukan keputusan struktur

keuangan;
10. Kondisi Pasar; kondisi pasar saham dan obligasi yang mengalami perubahan
jangka panjang dan jangka pendek turut berpengaruh terhadap keputusan
struktur modal perusahaan yang optimal;
11. Kondisi Internal Perusahaan; perusahaan pada suatu saat perlu menanti waktu
yang tepat untuk mengeluarkan saham atau obligasi tergantung dari kondisi
internnya;
12. Fleksibilitas Keuangan; mempertahankan fleksibilitas keuangan dilihat dari
sudut pandang operasional berarti mempertahankan kapasitas cadangan yang
memadai untuk melakukan pinjaman.

2.1.2 Teori Struktur Modal
2.1.2.1 Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional yang dominan sampai dengan awal tahun 1950-an,
berpendapat bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak, nilai
perusahaan atau biaya modal perusahaan dapat diubah dengan merubah struktur
modalnya. Menurut Sartono (2001:230), pendekatan tradisional mengasumsikan
bahwa hingga tingkat leverage tertentu, risiko perusahaan tidak mengalami

Universitas Sumatera Utara


21

perubahan, sehingga baik biaya modal sendiri maupun biaya utang relatif konstan.
Menurut Husnan (1998:328) keadaan perusahaan menjadi lebih baik setelah
perusahaan menggunakan utang karena nilai perusahaan meningkat atau biaya
modal perusahaan menurun.
Namun demikian setelah tingkat rasio leverage tertentu, biaya utang dan
biaya modal sendiri akan meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri akan
semakin besar dan bahkan akan semakin besar daripada penurunan biaya karena
penggunaan utang yang lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang
pada awalnya menurun tetapi setelah tingkat leverage tertentu akan meningkat.
Oleh karena itu nilai perusahaan mula-mula meningkat dan akan menurun sebagai
akibat dari penggunaan utang yang semakin besar. Dengan demikian menurut
pendekatan tradisional ini, terdapat struktur modal yang optimal untuk setiap
perusahaan. Struktur modal yang optimal tersebut terjadi pada saat nilai
perusahaan maksimum atau struktur modal yang mengakibatkan biaya modal ratarata modal tertimbang minimum.

2.1.2.2 Pendekatan Laba Bersih
Pendekatan laba bersih mengasumsikan bahwa investor mengkapitalisasi

atau menilai laba perusahaan dengan tingkat kapitalisasi yang konstan dan
perusahaan dapat meningkatkan jumlah utangnya dengan tingkat biaya utang yang
konstan pula (Sartono, 2001:228). Karena tingkat kapitalisasi dan tingkat biaya
utang konstan maka semakin besar jumlah utang yang digunakan perusahaan
menyebabkan biaya modal rata-rata tertimbang menjadi semakin kecil, ini

Universitas Sumatera Utara

22

dikarenakan biaya utang lebih rendah daripada biaya modal sendiri. Dalam
pendekatan ini, biaya modal rata-rata tertimbang dirumuskan sebagai berikut:
Ko =

K 1−T +

+

+


K

Dimana: Ko = biaya modal rata-rata tertimbang
Kd = biaya utang
Ke = biaya modal sendiri
D

= nilai pasar utang perusahaan

E

= nilai pasar saham biasa perusahaan

T

= tingkat pajak perusahaan

2.1.2.3 Pendekatan Laba Operasi Besih
Pendekatan laba operasi bersih mengasumsikan investor memiliki reaksi
yang berbeda terhadap penggunaan utang oleh perusahaan (Sartono, 2001:229).

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa biaya modal rata-rata tertimbang konstan
berapapun tingkat utang yang digunakan oleh perusahaan. Pertama diasumsikan
bahwa biaya utang konstan seperti halnya dalam pendekatan laba bersih. Kedua,
penggunaan utang yang semakin besar oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai
peningkatan risiko perusahaan. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang
diisyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai akibat
meningkatnya risiko perusahaan. Konsekuensinya biaya modal rata-rata
tertimbang tidak mengalami perubahan dan keputusan struktur modal menjadi
tidak penting.

Universitas Sumatera Utara

23

2.1.2.4 Model Modigliani dan Miller
Dalam model Modigliani dan Miller, dimungkinkan munculnya proses
arbitrase yang membuat harga saham atau nilai perusahaan yang tidak
menggunakan utang maupun yang menggunakan utang akhirnya sama (Husnan,
1998:330). Proses arbitrase muncul karena investor selalu lebih menyukai
investasi yang memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan

penghasilan bersih yang sama dengan tingkat risiko yang sama pula.
Modigliani dan Miller beranggapan bahwa dalam keadaan pasar modal
sempurrna dan tidak ada pajak, maka keputusan pendanaan menjadi tidak relevan,
artinya penggunaan utang atau modal sendiri akan memberikan dampak yang
sama bagi kemakmuran pemilik perusahaan. Dalam keadaan pasar yang sempurna
dan tidak ada pajak, Modigliani dan Miller merumuskan bahwa biaya modal
sendiri akan berperilaku sebagai berikut:
K =K

u

+ K

u

−K

B
( )
S

Dimana: Ke = Biaya modal sendiri setelah menggunakan utang
Keu = biaya modal sendiri sebelum menggunakan utang
Kd = Biaya utang
B

= Nilai pasar utang

S

= Nilai modal sendiri

Dalam keadaan ada pajak, Modigliani dan Miller berpendapat bahwa
keputusan pendanaan menjadi tidak relevan. Karena pada umumnya bunga yang
dibayarkan dapat dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang dikenakan
pajak (bersifat tax deductible). Dengan kata lain apabila ada dua perusahaan yang
memperoleh laba operasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan utang

Universitas Sumatera Utara

24

sedangkan yang satunya tidak, maka perusahaan yang membayar bunga akan
membayar pajak penghasilan yang lebih kecil. Penghematan membayar pajak
merupakan manfaat bagi pemilik perusahaan, maka sudah tentu nilai perusahaan
yang menggunakan utang akan lebih besar dari pada perusahaan yang tidak
menggunakan utang.
Pada prakteknya terdapat berbagai kritik berkenaan dengan model
Modigliani dan Miller ini antara lain:
1. Modigliani dan Miller mengasumsikan bahwa tidak adanya biaya transaksi,
maka poses arbitrase boleh dikatakan tanpa biaya, namun dalam realita bahwa
komisi untuk para broker itu cukup tinggi;
2. Pada awalnya Modigliani dan Miller mengasumsikan bahwa investor dan
perusahaan memiliki akses yang sama terhadap lembaga keuangan. Akan
tetapi para investor besar dimungkinkan memperoleh utang dengan bunga
yang lebih rendah sedangkan investor individu mungkin harus meminjam
dengan tingkat bunga yang tinggi;
3. Modigliani dan Miller juga mengasumsikan tidak ada konflik antar pihak
dalam perusahaan (agency problem) yang dapat menimbulkan agency cost
yang sangat besar;
4. Tidak adanya pertimbangan adanya financial distress yang mungkin dihadapi
perusahaan.

2.1.2.5 Teori Pecking Order
Teori Pecking Order berasumsi bahwa para manajer konsisten dengan
tujuan utama perusahaan yaitu memakmurkan kekayaan pemegang saham dan

Universitas Sumatera Utara

25

diasumsikan juga bahwa perusahaan lebih cenderung memilih pendanaan yang
berasal dari internal dari pada eksternal perusahaan. Teori Pecking Order
menunjukkan bahwa urutan pendanaan dimulai dari laba ditahan, utang dan
terakhir adalah penerbitan saham atau ekuitas (Kaaro, 2003). Pemilihan urutan
pendanaan ini menunjukkan bahwa pendanaan ini didasarkan oleh tingkat resiko
atas keputusan untuk menggunakan pendanaan tersebut. Pemilihan ini juga
dikaitkan dengan biaya atas sumber pendanaan dari mulai yang termurah hingga
termahal.
Penetapan struktur modal perusahaan menurut teori Pecking Order adalah
sebagai berikut:
1. Perusahaan lebih menyukai mempergunakan sumber pendanaan internal (laba
ditahan) dalam keputusan pendanaannya;
2. Penetapan

target

rasio

pembayaran

deviden

dilakukan

berdasarkan

kesempatan investasi masa depan dan arus kas yang akan diperoleh dimasa
depan;
3. Dividend is "sticky", perusahaan enggan untuk meningkatkan dan menurunkan
pembayaran devidennya kecuali dengan alasan-alasan tertentu;
4. Jika masih terdapat kelebihan dana dari sumber dana internal setelah
digunakan untuk kegiatan investasi, maka akan digunakan untuk investasi di
sekuritas, pembayaran utang, meningkatkan pembayaran deviden, buyback
saham atau akuisisi perusahaan.
Dalam bentuk yang paling sederhana dari teori Pecking Order dalam
pendanaan perusahaan adalah bahwa ketika arus kas internal perusahaan tidak
cukup untuk mendanai investasi real dan dividen, perusahaan akan menerbitkan

Universitas Sumatera Utara

26

utang. Penggunaan sumber dana eksternal melalui utang hanya digunakan jika
kebutuhan dana lebih tinggi dari sumber dana internal yang ada. Saham tidak akan
pernah diterbitkan, kecuali biaya financial distress perusahaan tinggi.
Teori Pecking Order menjelaskan bahwa perusahan-perusahaan yang
profitabel umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit bukan karena
mempunyai debt ratio yang rendah, tapi dikarenakan memerlukan pembiayaan
eksternal yang sedikit. Sementara perusahaan dengan profitable yang rendah akan
cenderung meminjam dalam jumlah yang lebih besar karena dana internal tidak
cukup dan utang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai (Husnan, 1996:
325).

2.1.2.6 Teori Balanced
Asumsi yang digunakan dalam teori Balanced adalah perusahaan berusaha
menciptakan struktur modal yang optimal dengan tujuan memaksimumkan nilai
perusahaan. Struktur modal yang optimal diperoleh dengan menyeimbangkan
antara keuntungan penggunaan utang dengan biaya kebangkrutan dan biaya
keagenan, yang disebut dengan teori Trade-Off (Mayangsari, 2001).
Sundjaya dan Barlian (2002) mengatakan, teori struktur modal yang
optimal didasarkan atas keseimbangan antara manfaat dan biaya dari pembiayaan
dengan pinjaman. Manfaat terbesar dari satu pembiayaan dengan pinjaman adalah
pengurangan pajak yang diperoleh dari pemerintah yang mengijinkan bahwa
bunga atas pinjaman dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena
pajak. Husnan (1996, 324) mengungkapkan bahwa esensi teori Balanced adalah
menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat

Universitas Sumatera Utara

27

penggunaan utang, apabila manfaat penggunaan utang masih lebih besar daripada
pengorbanan atas penggunaan utang, maka utang masih akan ditambah, namun
apabila pengorbanan atas penggunaan utang sudah lebih besar dari manfaatnya
maka utang tidak boleh ditambah lagi.

2.1.2.7 Teori Trade-Off
Teori Trade-Off merupakan salah satu teori sehubungan dengan masalah
keagenan (agency problem) yang berkaitan dengan saling tukar (trade off) antara
keuntungan menggunakan utang (berupa tax benefit) dengan biaya kepailitan
(bankruptcy cost) sehubungan dengan penggunaan utang tersebut. Asumsi dasar
yang digunakan dalam teori Trade-Off adalah adanya informasi asimetris yang
menjelaskan keputusan struktur modal yang diambil oleh suatu perusahaan, yaitu
adanya informasi yang dimiliki oleh pihak manajemen suatu perusahaan dimana
perusahaan dapat menyampaikan informasi tersebut kepada publik.
Pembiayaan dengan utang mempunyai biaya yang lebih rendah daripada
ekuitas karena adanya tax benefit. Akan tetapi, apabila telah melampaui suatu titik
tertentu (titik yang merupakan struktur modal yang optimal) maka tax benefit
yang diperoleh semakin tidak berarti karena pada saat yang bersamaan biayabiaya lainnya juga akan bertambah besar. Biaya ini akan menjadi lebih besar
karena kreditur akan lebih selektif dalam memberikan pinjaman dan akan
menerapkan bunga yang lebih tinggi seiring dengan semakin tingginya risiko
perusahaan. Selain itu, biaya kebangkrutan (bankruptcy cost), ageny cost dan
financial distress cost juga akan semakin besar, sehingga jumlah biaya-biaya
tersebut akan melebihi tax benefit itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

28

Struktur modal yang optimal akan diperoleh jika terjadi keseimbangan
antara keuntungan tax shield of leverage dengan financial destress dan agency
cost of leverage. Teori Trade-Off mengembangkan model yang dapat
menghasilkan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian atas penggunaan
utang, dimana dalam keadaan pajak nilai perusahaan akan naik minimal dengan
biaya modal yang minimal.

2.1.3 Debt to Equity Ratio
Debt to Equity Ratio (DER) atau rasio utang terhadap modal adalah rasio
atau perbandingan antara modal sendiri dan modal yang diperoleh dari luar
perusahaan atau kreditur. DER diukur dari perbandingan antara utang terhadap
ekuitas. Utang yang diperhitungkan dalam rasio ini terdiri dari utang jangka
pendek dan jangka panjang, sedangkan ekuitas adalah total ekuitas per laporan
keuangan. Rasio ini memberikan gambaran mengenai struktur modal yang
dimiliki perusahaan, sehingga dapat diamati tingkat risiko tak tertagihnya suatu
utang. Hal ini sejalan pernyataan Husnan (1998) yang menyatakan bahwa
perbandingan utang dan modal sendiri dalam struktur keuangan perusahaan
disebut dengan struktur modal.
Syamsuddin (2007:54) mengemukakan DER menunjukkan hubungan
antara jumlah pinjaman yang diberikan oleh para kreditur dengan jumlah modal
sendiri yang diberikan oleh pemilik modal perusahaan. Menurut Kasmir
(2010:156), DER merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dan
ekuitas. DER juga dapat menggambarkan sampai sejauh mana modal pemilik
dapat menutupi utang-utang kepada pihak luar (Harahap, 2010:303). DER dapat

Universitas Sumatera Utara

29

mengindikasikan proporsi utang dan ekuitas perusahaan dalam membiayai
aktivitas bisnisnya. Karena mencerminkan komposisi dari utang dan modal yang
dimiliki perusahaan, DER sering dijadikan sebagai ukuran dari kapasitas pinjaman
perusahaan.
DER merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat
solvabilitas perusahaan, hal ini berkaitan dengan keputusan pembiayaan dan
menghitung bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk
keseluruhan utang. Rasio ini memberikan petunjuk umum tentang kelayakan dan
risiko keuangan. DER yang semakin besar menunjukkan bahwa struktur modal
yang berasal dari utang semakin besar digunakan untuk mendanai ekuitas yang
ada. Kreditor memandang, semakin besar rasio ini akan semakin tidak
menguntungkan karena akan semakin besar risiko yang ditanggung atas kegagalan
yang mungkin terjadi di perusahaan. Semakin kecil rasio ini semakin baik.

2.1.4 Ukuran Perusahaan
Ukuran Perusahaan (Firm’s Size) merupakan salah satu variabel yang
paling sering digunakan untuk menjelaskan tingkat utang perusahaan. Menurut
teori Trade-Off, perusahaan-perusahaan besar diharapkan memiliki kapasitas
pinjaman yang besar dan mampu mencapai lebih dari yang diharapkan itu.
Beberapa literatur memberikan beberapa argumen tentang adanya hubungan
positif antara ukuran perusahaan dengan rasio tingkat utang. Perusahaan besar
memiliki arus kas yang lebih stabil atau sedikit lebih stabil dan mungkin dapat
memanfaatkan skala ekonomi atas penerbitan sekuritas (Gaud et al., 2005).
Perusahaan besar mungkin memiliki keunggulan dibandingkan perusahaan-

Universitas Sumatera Utara

30

perusahaan yang lebih kecil dalam mengakses pasar kredit dan dapat meminjam
dalam kondisi yang lebih baik (Wiwattanakantang, 1999) dan mungkin memiliki
kepemilikan bersifat lentur, dan dengan demikian manajer secara individu tidak
terlalu dikendalikan. Manajer kemudian dapat menerbitkan utang untuk
mengurangi risiko kerugian secara pribadi akibat kebangkrutan (Chen, 2003).
Semakin besar suatu perusahaan maka semakin banyak informasi yang diharapkan
akan tersedia tentang hal itu, yang mana hal tersebut dapat mengurangi tingkat
asimetri informasi di pasar, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan sumber
daya keuangan dari kreditur. Menurut Padron et al. (2005), karena asimetri
informasi, perusahaan-perusahaan kecil juga cenderung menghadapi biaya yang
lebih tinggi untuk mendapatkan dana eksternal.
Namun, terdapat pertentangan hasil mengenai hubungan antara ukuran
perusahaan dengan tingkat utang. Konsisten dengan asumsi teori Trade-Off, hasil
penelitian Sabir and Malik (2012), Nanok (2008), Gaud et al. (2005), Prabansari
dan Kusuma (2005) serta Wiwattanakantang (1999) memperjelas hubungan
positif antara ukuran perusahaan dengan penggunaan utang sebagai sumber
pembiayaan perusahaan. Namun sebaliknya, hasil penelitian Hadianto (2008) dan
Chen (2004) menunjukkan adanya hubungan negatif antara ukuran perusahaan
dengan rasio utang. Chen (2004) beragumen bahwa hubungan negatif antara
ukuran perusahaan dan utang jangka panjang mungkin dilandasi fakta bahwa
perusahaan-perusahaan besar memiliki akses yang lebih baik ke pasar modal
untuk pembiayaan ekuitas karena reputasi mereka di pasar dan daya tarik capital
gain di pasar sekunder. Menurut Marsh (1982), dikarenakan terbatasnya akses
mereka ke pasar modal, perusahaan-perusahaan kecil cenderung sangat

Universitas Sumatera Utara

31

bergantung pada pinjaman bank untuk kebutuhan dana mereka, yang mana hal ini
mengakibatkan perusahaan kecil menjadi lebih dililit utang daripada perusahaan
besar. Di sisi yang lain, hasil penelitian Narita (2012), Joni dan Lina (2010),
Karadeniz et al. (2009) dan Ozkan (2001) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan
tidak berpengaruh signifikan terhadap rasio total utang, yang mana hal ini
mengindikasikan pengaruh ukuran perusahaan terhadap equilibrium leverage
masih ambigu.
Beberapa indikator seperti nilai penjualan (Narita, 2012), nilai natural
logaritma dari aset (Ting and Lean, 2011; Joni dan Lina, 2010; Prabansari dan
Kusuma, 2005; Chen, 2004), nilai logaritma natural dari penjualan (Hadianto,
2008; Gaud et al., 2005; Ozkan, 2001; Wiwattanakantang, 1999) dan nilai
penjualan bersih yang telah disesuaikan dengan tingkat inflasi (Karadeniz et al.,
2009) telah digunakan sebagai proksi dari ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan
juga merupakan indikator kapasitas pinjaman bagi perusahaan. Perusahaan yang
lebih besar memiliki kapasitas pinjaman yang lebih tinggi dan biaya pinjaman
yang lebih kecil dengan akses yang lebih baik ke pasar modal. Umumnya
pemerintah setempat lebih melindungi perusahaan besar dan bank cenderung
menyalurkan modal kepada mereka daripada ke perusahaan kecil.

2.1.5 Profitabilitas
Teori Trade-Off memprediksi bahwa perusahaan yang profitabel akan
lebih memberdayakan utang karena mereka lebih cenderung memiliki beban pajak
yang tinggi dan risiko kebangkrutan yang rendah. Profitabilitas (Profitability)
masa lalu merupakan proksi yang bagus untuk profitabilitas masa depan,

Universitas Sumatera Utara

32

perusahaan yang profitabel dapat meminjam lagi karena memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam membayar utang (Gaud et al., 2005). Di sisi lain yang lain,
teori Pecking Order memprediksi adanya hubungan negatif antara profitabilitas
dengan utang berdasarkan asumsi bahwa perusahaan besar tidak perlu terlalu
bergantung kepada sumber pendanaan dari pihak eskternal perusahaan.
Sebaliknya, mereka dapat lebih memilih membiayai aktivitas operasi bisnisnya
dengan dana yang berasal dari akumulasi laba periode-periode sebelumnya.
Hasil penelitian Narita (2012), Sabir and Malik (2012), Ting and Lean
(2011), Joni dan Lina (2010), Karadeniz et al. (2009), Indahningrum dan
Handayani (2009), Gaud et al. (2005), Chen (2004), Ozkan (2001) dan
Wiwattanakantang (1999) menunjukkan profitabilitas berhubungan negatif
dengan rasio utang, dimana hasil ini mendukung teori Pecking Order yang
menyatakan

bahwa

perusahaan

dengan

keuntungan

yang

besar

lebih

menggunakan dana internal, sementara perusahaan dengan keuntungan yang kecil
menggunakan lebih banyak utang karena tidak memadainya dana internal
perusahaan. Di sisi lain, hasil penelitian Hadianto (2008) serta Prabansari dan
Kusuma (2005) menunjukkan adanya hubungan positif antara profitabilitas
dengan rasio utang, sedangkan hasil penelitian Nanok (2008) menunjukkan bahwa
profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap struktur modal yang
diproksikan dengan rasio utang terhadap modal.
Beberapa indikator seperti Return on Assets (Narita, 2012), rasio laba
sebelum beban penyusutan, bunga dan pajak terhadap total aset (Ting and Lean,
2011; Gaud et al., 2005; Chen, 2004; Ozkan, 2001), rasio laba setelah pajak
terhadap total aset (Joni dan Lina, 2010), rasio laba operasi terhadap total aset

Universitas Sumatera Utara

33

(Indahningrum dan Handayani, 2009), rasio laba bersih terhadap total aset
(Karadeniz et al., 2009), rasio profit margin (Hadianto, 2008), rasio laba setelah
pajak terhadap penjualan neto (Prabansari dan Kusuma, 2005), rasio laba sebelum
bunga dan pajak terhadap total aset (Wiwattanakantang, 1999) telah digunakan
sebagai proksi dari profitabilitas.

2.1.6 Peluang Pertumbuhan
Peluang pertumbuhan (Growth Opportunities) dapat diartikan sebagai opsi
beli atas aset riil. Bagian dari nilai perusahaan diperhitungkan kepada nilai
sekarang dari opsi beli (peluang pertumbuhan di masa depan) atas investasi ke
dalam proyek-proyek yang profitabel. Perusahaan yang dibiayai dengan utang
akan beresiko melewatkan peluang investasi yang bisa memberikan kontribusi
positif bersih untuk nilai pasar perusahaan.dan bahkan mereka akan mereduksi
nilai pasar sekarang dari opsi riil mereka, yang mana jika hal tersebut dilakukan
maka diprediksi akan terjadinya hubungan terbalik antara utang perusahaan
dengan proporsi nilai sekarang yang diperhitungkan ke dalam opsi riil atau
peluang pertumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pertumbuhan dapat
menjadi aset berharga yang dapat menambah nilai perusahaan. Beban yang terkait
dengan agency relationship ini mungkin lebih besar bagi perusahaan-perusahaan
dalam industri yang berkembang, yang mana hal ini dikarenakan kefleksibilitasan
dalam pilihan investasi masa depan mereka. Dengan demikian, pertumbuhan di
masa depan diharapkan berhubungan negatif kepada tingkat utang jangka panjang.
Konsisten dengan argumen di atas, hasil penelitian oleh Gaud et al. (2005)
dan Ozkan (2001) menunjukkan peluang pertumbuhan berhubungan negatif

Universitas Sumatera Utara

34

dengan tingkat utang. Sebaliknya Chen (2004), Joni dan Lina (2010) serta
Prabansari dan Kusuma (2005) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil
penelitian mereka, peluang pertumbuhan berhubungan positif dengan tingkat
utang. Kontras dengan hasil penelitian kelima peneliti tersebut yang berbeda
hanya dalam arah hubungan peluang pertumbuhan dengan tingkat utang, hasil
penelitian Ting and Lean (2011), Karadeniz et al. (2009), Nanok (2008) serta
Indahningrum dan Handayani (2009) justru menunjukkan bahwa peluang
pertumbuhan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat utang.
Beberapa indikator seperti rasio persentase perubahan dalam total aset
(Ting and Lean, 2011; Joni dan Lina, 2010; Indahningrum dan Handayani, 2009;
Prabansari dan Kusuma, 2005), rasio nilai pasar perusahaan terhadap nilai buku
perusahaan (Karadeniz et al., 2009), rasio pertumbuhan penjualan terhadap
pertumbuhan total aset Chen (2004), market-to-book ratio (Gaud et al., 2005 dan
Ozkan, 2001) dan pertumbuhan penjualan (Nanok, 2008) telah digunakan sebagai
proksi dari peluang pertumbuhan.
Sebagai tambahan, Price Earning Ratio (PER) dapat dijadikan proksi dari
peluang pertumbuhan karena rasio tersebut mencerminkan nilai yang diharapkan
atas laba perusahaan di masa depan (Pietrovito, 2009). PER atau earnings
multiplier merupakan salah satu pendekatan yang sering digunakan analisis
sekuritas dalam menilai suatu saham. Pendekatan ini berdasarkan perhitungan atas
resiko harga saham per lembar dengan laba bersih tiap lembar sahamnya. PER
sering digunakan para investor untuk menilai tingkat kewajaran harga saham
suatu emiten. PER akan memberikan informasi berapa harga yang harus dibayar
investor untuk memperoleh setiap satuan laba bersih perusahaan. Pendekatan ini

Universitas Sumatera Utara

35

diharapkan akan membantu investor menentukan keputusan yang tepat dalam
membeli, menahan, ataupun menjual saham. Di sisi lain, dengan mengetahui
tingkat kewajaran harga saham perusahaan, manajer dapat mengekstrak informasi
tentang perspektif pertumbuhan perusahaan di masa depan dan membuat
keputusan perusahaan, seperti keputusan investasi (Chen et al., 2006). Semakin
besar nilai PER sebuah saham, maka semakin mahal saham tersebut. Hasil
penelitian Bhayani (2009) mengungkapkan bahwa PER tidak berasosiasi secara
signifikan dengan struktur modal perusahaan.

2.1.7 Struktur Aset
Aset berwujud (Tangibility) sebagai bagian dari Struktur Aset (Asset
Structure) perusahaan, merupakan aset yang dianggap sebagai jaminan riil bagi
para kreditur. Aset ini penting dalam mempengaruhi tingkat utang perusahaan.
Aset berwujud cenderung berdampak pada keputusan peminjaman perusahaan
karena menurut Gaud et al. (2005) aset ini “less subject to informational
asymmetriesy”, dan dalam kasus kepailitan perusahan, aset berwujud lebih
berharga daripada aset tak berwujud. Selain itu, risiko moral hazard akan
berkurang ketika perusahaan menggunakan aset berwujud sebagai jaminan atas
pinjaman, karena ini merupakan sinyal positif kepada para kreditur yang dapat
meminta penjualan aset tersebut jika perusahaan mengalami kepailitan. Oleh
karena itu, semakin besar proporsi aset berwujud dalam neraca perusahaan (aset
tetap dibagi dengan total aset), maka semakin besar pinjaman yang harus
diberikan kreditur kepada perusahaan peminjam, dan akhirnya tingkat utang juga
akan naik. Pada umumnya, perusahaan dengan bisnis yang berisiko rendah akan

Universitas Sumatera Utara

36

memiliki nilai rasio aset tetap terhadap total aset yang lebih tinggi, dimana mereka
memilik proporsi aset tetap yang lebih besar dibandingkan aset lainnya dalam
neraca. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aset berwujud berdampak kepada
pembuatan keputusan utang dari perusahaan tersebut, karena dalam kasus
kepailitan perusahaan, aset berwujud lebih memberikan nilai tambah bagi
perusahaan daripada aset tak berwujud.
Konsisten dengan prediksi diatas, hasil penelitian Joni dan Lina (2010),
Hadianto (2008), Nanok (2008), Gaud et al. (2005), Chen (2004) dan
Wiwattanakantang (1999) menunjukkan struktur aset bahwa berpengaruh positif
terhadap tingkat utang perusahaan. Di sisi lain, hasil penelitian Karadeniz et al.
(2009) menunjukkan struktur aset berpengaruh negatif terhadap tingkat utang
sedangkan hasil penelitian Sabir and Malik (2012) menunjukkan struktur aset
tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat utang perusahaan.
Beberapa indikator seperti rasio total aset tetap terhadap total aset (Joni
dan Lina, 2010; Karadeniz et al., 2009; Hadianto, 2008), rasio aset tetap ditambah
persediaan terhadap total aset (Chen, 2004; Gaud et al., 2005), rasio properti,
pabrik, dan peralatan terhadap total aset (Wiwattanakantang, 1999) telah
digunakan sebagai proksi dari struktur aset.

2.1.8 Likuiditas
Likuiditas (Liquidity) dapat memberikan sinyal yang berbeda bagi para
pengguna informasi tersebut. Dari sudut pandang investor institusional, sinyal itu
dapat diartikan situasi negatif yang dihadapi perusahaan sehubungan dengan
permasalahan kesempatan jangka panjang. Selain itu, rasio likuiditas yang tinggi

Universitas Sumatera Utara

37

dapat ditafsirkan pesimistis sebagai terlalu banyak kas yang menganggur, atau
terlalu besar saldo piutang usaha tak tertagih yang dapat menjadi beban piutang
tak tertagih. Secara berbeda, rasio likuiditas yang tinggi dapat ditafsirkan
rendahnya risiko gagal bayar perusahaan dalam melunasi utang jangka
pendeknya. Karena memiliki banyak aset lancar yang dapat dengan segera
dikonversi ke kas, perusahaan dengan likuiditas yang tinggi dapat dengan mudah
meminjam dengan menggadaikan aset lancar untuk mendanai investasi masa
depan atau untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang.
Oleh karena itu, perusahaan dengan rasio likuiditas yang tinggi cenderung
memiliki risiko gagal bayar yang rendah sehingga mereka dapat memiliki tingkat
utang yang tinggi. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa rasio likuiditas
memiliki hubungan positif dengan tingkat utang perusahaan (Karadeniz et al.
2009). Konsisten dengan pernyataan tersebut, hasil penelitian Sabir and Malik
(2012) menunjukkan bahwa likuiditas berpengaruh positif terhadap tingkat utang
perusahaan.
Namun terdapat perdebatan mengenai hubungan negatif antara rasio
likuiditas dengan tingkat utang. Pertama, rasio likuiditas yang tinggi dapat
memberikan

sinyal

akan

buruknya

kinerja

perusahaan

dikarenakan

ketidaktertagihan piutang usaha yang dapat menjadi beban piutang tak tertagih.
Kedua, utang lancar dapat menimbulkan konflik keagenan tersendiri, dan ketika
tingkat konflik keagenan tersebut terlalu tinggi, kreditur dapat menolak atau
membatasi pinjaman yang diajukan oleh perusahaan. Pernyataan tersebut sejalan
dengan hasil penelitian Narita (2012) dan Ozkan (2001) yang menunjukkan
bahwa likuiditas berpengaruh negatif terhadap tingkat utang perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

38

Likuiditas dapat diproksikan dengan rasio lancar (Current Ratio) maupun
rasio cepat (Quick Ratio atau Acid Test Ratio). Rasio lancar diukur melalui
perbandingan antara total aset lancar dengan total utang lancar. Rasio cepat diukur
melalui perbandingan antara aset lancar (setelah dikurangi persediaan) dengan
utang lancar. Namun dari kedua rasio likuiditas tersebut, rasio cepat lebih baik
sebagai indikator dari likuiditas. Hal ini dikarenakan, meskipun tingkat persediaan
yang tinggi dapat meningkatkan aset lancar perusahaan, namun persediaan tidak
berkontribusi terhadap likuiditas perusahaan. Dengan kata lain, karena persediaan
dianggap sebagai aset paling likuid, disarankan untuk tidak memasukkan
persediaan ke dalam perhitungan tingkat likuiditas supaya diperoleh hasil yang
lebih akurat. Narita (2012) dan Ozkan (2001) telah menggunakan rasio lancar
sebagai proksi dari likuiditas.

2.1.9 Kepemilikan Institusional
Struktur kepemilikan saham dapat diartikan sebagai proporsi kepemilikan
saham institusional dan kepemilikan saham manajemen dalam kepemilikan saham
perusahaan

(Sujono

dan

Soebiantoro,

2007).

Kepemilikan

institusional

(Institutional Ownership) merupakan proporsi kepemilikan saham oleh investor
institusi, sedangkan kepemilikan saham manajerial merupakan

proporsi

kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan. Investor institusional diyakini
memiliki kemampuan untuk memonitor tindakan manajemen lebih baik
dibandingkan investor individual. Institusi sebagai pemilik saham dianggap lebih
mampu dalam mendeteksi kesalahan yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara

39

Menurut Lee et al. (1992) ada perbedaan pendapat mengenai investor
institusional. Pendapat pertama berasumsi bahwa investor institusional adalah
pemilik sementara, sehingga hanya terfokus pada laba sekarang (current
earnings). Jika perubahan pada laba sekarang tidak dirasakan menguntungkan
oleh investor, maka investor dapat melikuidasi sahamnya. Investor institusional
biasanya memiliki saham dalam jumlah besar, sehingga jika mereka melikuidasi
sahamnya akan mempengaruhi nilai saham secara keseluruhan. Untuk
menghindari tindakan likuidasi dari investor, manajer akan melakukan manajemen
laba. Pendapat kedua memandang investor institusional sebagai investor yang
berpengalaman (sophisticated). Menurut pendapat ini, investor lebih terfokus pada
laba masa datang (future earnings) yang lebih besar relatif dari laba sekarang.
Investor institusional menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan analisis
investasi dan mereka memiliki akses atas informasi yang terlalu mahal
perolehannya bagi investor lain (Shiller and Pound, 1989). Investor institusional
akan melakukan monitoring secara efektif dan tidak akan mudah diperdaya
dengan tindakan manipulasi yang dilakukan oleh manajer.
Barnae and Rubin (2005) menyatakan bahwa institutional shareholders,
dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau
pengambilan keputusan perusahaan. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi
akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor
institusional sehingga dapat menghalangi perilaku oportunistik manajer. Bathala,
et al. (1994) menyatakan bahwa aktivitas investor institusional yang semakin
tinggi dalam pengawasan dapat memaksa manajer untuk mengurangi hutang
secara optimal sehingga dapat mengurangi konflik keagenan atas hutang (agency

Universitas Sumatera Utara

40

cost of debt). Aktivitas pengawasan yang dilakukan investor institusional juga
mampu mengubah struktur pengelolaan perusahaan sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kemakmuran para pemegang saham. Sebagai tambahan, aktivitas
pengawasan yang dilakukan investor institusional juga akan berdampak kepada
tersubstitusikannya konflik keagenan lainnya sehingga konflik keagenan akan
menurun dan nilai perusahaan akan meningkat.
Hasil penelitian Indahningrum dan Handayani (2009) serta Nanok (2008)
mengungkapkan adanya hubungan positif antara kepemilikan saham institusional
dengan tingkat utang. Di sisi lain, Narita (2012) mengungkapkan berdasarkan
hasil penelitiannya, kepemilikan saham institusional tidak berpengaruh signifikan
terhadap tingkat utang.

2.2 Review Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu yang
relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
1. Narita (2012) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
hutang (yang diproksikan dengan DER) 82 perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI pada periode 2009-2010 dengan menggunakan metode
Analisis Regresi Linier Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Size
(yang diukur dengan nilai penjualan) berpengaruh positif tetapi tidak
signifikan terhadap DER, sedangkan Likuiditas (yang diproksikan dengan
rasio lancar) dan Profitabilitas (yang diproksikan dengan Return on Assets)
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap DER. Kepemilikan Institusional
dan Free Cash Flow (yang diukur dengan penjumlahan aliran kas operasi,

Universitas Sumatera Utara

41

pengeluaran modal dan moda kerja bersih) berpengaruh negatif tetapi tidak
signifikan terhadap DER.
2. Sabir and Malik (2012) mengungkapkan berdasarkan hasil penelitiannya
dengan mengaplikasikan Pooled Least Square (PLS) pada data struktur modal
dari 5 (lima) perusahaan minyak dan gas yang ada di Pakistan untuk periode
2005-2010, bahwa Liquidity dan Size berpengaruh positif dan signifikan
terhadap struktur modal, sedangkan Profitability berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap struktur modal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
walaupun Tangibility berpengaruh positif dan memiliki nilai koefisien regresi
yang paling besar, namun variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan pada
α = 5%.
3. Ting and Lean (2011) menguji pengaruh Firms’ Size (yang diproksikan
dengan nilai logaritma dari aset), Tangibility of Assets (yang diproksikan
dengan rasio aset tetap ditambah persediaan terhadap total aset), Profitability
(rasio laba sebelum penyusutan, bunga dan pajak terhadap total aset), Growth
Opportunities (yang diproksikan dengan rasio persentase perubahan dalam
total aset secara tahunan) dan Cash Flow (yang diproksikan dengan rasio arus
kas operasi terhadap total penjualan) terhadap struktur modal (yang
diproksikan dengan rasio utang, rasio utang jangka pendek dan rasio utang
jangka panjang) perusahaan yang terdaftar di Bursa Malaysia pada periode
1997-2008 dengan sampel sebanyak 22 Government Linked Companies dan
22 non-Government Linked Companies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Growth Opportunities dan Cash Flow tidak berpengaruh signfikan terhadap
rasio utang jangka pendek maupun rasio utang jangka panjang. Tangibility of

Universitas Sumatera Utara

42

Assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio utang, sedangkan
Profitability berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio utang baik
untuk Government Linked Companies maupun non-Government Linked
Companies. Firms’ Size berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio
utang Government Linked Companies dan berpengaruh positif dan signifikan
(α=10%)

terhadap

rasio

utang

non-Government

Linked

Companies.

Tangibility of Assets dan Profitability berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap rasio utang jangka pendek. Tangibility of Assets berpengaruh positif
dan signifikan terhadap rasio utang jangka panjang. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa Profitability berpengaruh positif tetapi tidak signifikan
terhadap rasio utang jangka panjang Government Linked Companies, namun
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio utang jangka panjang nonGovernment Linked Companies.
4. Joni dan Lina (2010) telah menguji beberapa faktor yang diduga
mempengaruhi struktur modal (yang diproksikan dengan rasio total hutang
jangka panjang terhadap total aset) perusahaan yang terdaftar di BEI pada
periode 2005-2007 dengan jumlah sampel sebesar 43 perusahaan. Berdasarkan
hasil Analisis Regresi Linier Berganda, hasil penelitian menunjukkan bahwa
pertumbuhan aset dan struktur aset (yang diproksikan dengan rasio total aset
tetap terhadap total aset) berpengaruh positif dan signifikan terhadap struktur
modal, sedangkan profitabilitas (yang diproksikan dengan rasio laba setelah
pajak terhadap total aset) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur
modal. Ukuran perusahaan (yang diproksikan dengan nilai natural logaritma
dari total aset), risiko bisnis (yang diproksikan dengan nilai natural logaritma

Universitas Sumatera Utara

43

dari standar deviasi laba operasional perusahaan) dan dividen (yang
diproksikan dengan rasio dividen tunai terhadap laba bersih) tidak
berpengaruh signifikan terhadap struktur modal.
5. Indahningrum dan Handayani (2009) telah menguji beberapa faktor yang
diduga mempengaruhi struktur modal (yang diproksikan dengan rasio total
hutang jangka panjang terhadap total ekuitas akhir tahun) perusahaan
manufaktur dan perusahaan non-manufaktur yang terdaftar di BEI pada
periode 2005-2007 dengan jumlah sampel sebesar 31 perusahaan. Berdasarkan
hasil Analisis Regresi Linier Berganda, hasil penelitian menunjukkan bahwa
kepemilikan institusional (yang diukur dalam persentase saham yang dimiliki
oleh investor institusional dalam perusahaan) dan free cash flow (yang
merupakan kelebihan yang diperlukan untuk mendanai semua proyek yang
memiliki net present value positif) berpengaruh positif dan signifikan,
sedangkan profitabilitas (yang diproksikan dengan rasio laba operasi terhadap
total aset) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur modal.
Kepemilikan manajerial (yang dihitung dengan menggunakan persentase
saham yang dimiliki oleh pihak manajemen perusahaan yang secara aktif ikut
serta dalam pengambilan keputusan perusahaan, termasuk komisaris dan
direksi), dividen (yang diproksikan dengan rasio pembayaran dividen terhadap
earning after tax atau Dividen Payout Ratio) dan pertumbuhan aset (diukur
dengan menggunakan presentase pertumbuhan perubahan dalam total aset)
tidak berpengaruh signifikan terhadap struktur modal.
6. Karadeniz et al. (2009) mengungkapkan berdasarkan hasil penelitiannya
dengan mengaplikasikan Generalized Method of Moments (GMM) pada data

Universitas Sumatera Utara

44

struktur modal (yang diproksikan dengan rasio total utang terhadap total aset)
dari 5 (lima) perusahaan yang bergerak dalam bidang Jasa Penginapan yang
ada di Turki untuk periode 1994-2006, bahwa Effective Tax Rates (yang
diproksikan dengan rasio total pajak perusahaan terhadap pajak penghasilan),
Tangibility (yang diproksikan dengan rasio nilai bersih aset tetap terhadap
total aset) dan Profitability (yang diproksikan dengan rasio laba bersih
terhadap total aset) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur
modal. Free Cash Flows (yang diukur melalui penjumlahan pembayaran
bunga dan beban penyusutan kepada laba sebelum pajak), Non-Debt Tax
Shields (yang diproksikan dengan rasio beban penyusutan terhadap total aset),
Growth opportunities (yang diproksikan dengan rasio nilai pasar perusahaan
terhadap nilai buku perusahaan, market-to-book ratio), Firms’ Size (yang
diproksikan dengan penjualan bersih yang telah disesuaikan dengan tingkat
inflasi) dan Net Commercial Trade Position atau Inter-Enterprise Debt (yang
diukur melalui perbedaan piutang komersial dengan utang dibagikan kepada
total aset) tidak berpengaruh signifikan terhadap struktur modal.
7. Hadianto (2008) mengaplikasikan analisis data panel untuk menguji perngaruh
struktur aset, profitabilitas dan ukuran perusahaan terhadap struktur modal
(yang diproksikan dengan rasio total utang berdasarkan nilai buku terhadap
total aset perusahaan pada akhir tahun tertentu) emiten sektor telekomunikasi
yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada periode 2000-2006 dengan jumlah
sampel sebanyak dua perusahaan (PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. dan dan
PT Indosat, Tbk.) yang dipilih dengan menggunakan metode purposive
sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur aset (yang

Universitas Sumatera Utara

45

diproksikan dengan rasio antara aset tetap dengan total aset yang dimiliki
perusahaan pada akhir tahun tertentu) dan profitabilitas (yang diproksikan
dengan rasio profit margin pada akhir tahun tertentu) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap strukur modal, sedangkan ukuran perusahaan (yang
diproksikan dengan nilai logaritma natural dari penjualan selama satu tahun
tertentu) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur modal.
8. Nanok (2008) menguji beberapa faktor penentu keputusan struktur modal
(yang diproksikan dengan rasio hutang terhadap modal, DER) dengan
mengaplikasikan metode Analisis Regresi Linier Berganda menggunakan data
sekunder yang berasal dari Indonesia Capital Market Directory berupa laporan
keuangan tahun 2002 dari 326 perusahaan (dengan populasi penelitian sebesar
329 perusahaan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur aset, ukuran
perusahaan, dan struktur kepemilikan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap struktur modal, sedangkan pertumbuhan penjualan, profitabilitas
(yang diproksikan dengan pendapatan tahun lalu perusahaan) dan jenis
industri tidak berpengaruh signifikan terhadap struktur modal.
9. Gaud et al. (2005) telah menguji pengaruh Size (yang diproksikan dengan nilai
logaritma natural dari penjualan), Profitability (yang diproksikan dengan rasio
laba sebelum beban penyusutan, bunga dan pajak terhadap total aset), Growth
Opportunities (yang diproksikan dengan rasio market-to-book value of assets)
dan Tangible Assets (yang diproksikan dengan perbandingan antara jumlah
aset tetap dan persediaan dengan total aset) terhadap struktur modal (yang
diproksikan dengan dua ukuran yakni, pertama adalah rasio total utang
terhadap total aset dan kedua adalah market capitalisation of equity)

Universitas Sumatera Utara

46

perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Saham Swiss pada periode
1991–2000 dengan jumlah sampel sebesar 104 perusahaan. Berdasarkan hasil
Dynamic Tests, hasil penelitian menunjukkan bahwa Size dan Tangible Assets
berpengaruh positif dan signifikan terhadap struktur modal, sedangkan
Growth Opportunities dan Profitability berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap struktur modal. Hanya financial distress costs yang tidak
berpengaruh signifikan terhadap struktur modal. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa proses penyesuaian target rasio utang dari perusahaanperusahaan Swiss jauh lebih lambat daripada di kebanyakan negara-negara
lain.
10. Prabansari dan Kusuma (2005) telah menguji pengaruh ukuran perusahaan
(yang diproksikan dengan nilai logaritma dari total aset), profitabilitas (yang
diproksikan dengan rasio laba setelah pajak terhadap penjualan neto),
pertumbuhan aset (yang diproksikan dengan persentase perubahan asset pada
tahun tertentu terhadap tahun sebelumnya), struktur kepemilikan (yang
diproksikan dengan perbandingan antara jumlah saham yang dimiliki oleh
"orang dalam" atau insiders dengan jumla