Hubungan Usia Ibu dan Paritas Ibu dengan Kejadian Abortus di RSUD Dr.Pirngadi Medan

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Abortus

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, sebelum janin dapat hidup diluar kandungan (Nugroho, 2011).

Di Amerika Serikat, defenisi abortus terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 minggu, didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Defenisi lain yang sering digunakan adalah pelahiran janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 gram (Leveno, Cuningham, Gant, Alexander, Bloom, Casey, Dashe, Shefield & Yost, 2009).

B. Etiologi dan Faktor Resiko Abortus 1. Etiologi

Harlap dan Shiono (1980, dalam Cuningham, dkk, 2006) mengatakan bahwa lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama, dan setelah itu angka ini cepat menurun. Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas dan usia ibu. Frekuensi abortus yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12 persen pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 persen pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun .

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009), Abortus dapat disebabkan antara lain sebagai berikut :

a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi


(2)

c. Lingkungan endometrium kurang sempurna sehingga suplai zat makanan terganggu

d. Pengaruh teratogenik : radiasi, virus, obat-obatan

e. Kelainan plasenta (oksigenasi, plasenta terganggu, gangguan pertumbuhan janin, kematian)

f. Penyakit Ibu :Pneumonia akut, thypus abdominalis. Kronis : Toksoplasmosis, gangguan endokrin, malnutrisi, keracunan obat, pengaruh toksin, gangguan hormonal yang tidak terkendali, misalnya diabetes mellitus, tirotoksikosis, defisiensi korpus luteum, hipotiroid, kelainan anatomi alat reproduksi : kista ovarium, mioma uteri, faktor psikologis dan stress emosional (Maryunani & Yulianingsih, 2009).

2.Faktor Resiko

Faktor resiko adalah keadaan ibu baik berupa faktor biologis maupun non biologis yang biasanya sudah dimiliki ibu sejak sebelum hamil dan dalam kehamilan mungkin memudahkan timbulnya gangguan lain (Depkes, 2006).

Beberapa faktor resiko diduga merupakan faktor resiko dari kejadian abortus yaitu (Cunningham et al 2006, Prawirohardjo, 2010).

1) Usia Ibu

Usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun merupakan usia resiko untuk hamil dan melahirkan. Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum matangnya alat reproduksi untuk hamil. Penyulit pada kehamilan remaja (<20 tahun) lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara 20-35 tahun. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan


(3)

tekanan (stress) psikologis, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya abortus (Manuaba,1998).

Menurut Catanzarite (19 sering kali mengalami kondisi kesehatan yang kronik (resiko tinggi). Tentu saja hal itu akan sangat berpengaruh jika wanita tersebut hamil.

Menurut Samsulhadi (2 umur wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur juga semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin lanjut usia wanita, maka resiko terjadi abortus makin meningkat karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya resiko kejadian kelainan kromosom.

Menurut Dr.Nyol (2008, ibu berpengaruh terhadap fungsi ovarium, dimana sel telur yang berkualitas akan semakin sedikit, yang berakibat abnormalitas kromosom hasil konsepsi yang selanjutnya akan sulit berkembang.

Resiko terjadinya abortus spontan meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah paritas, usia ibu, jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya. Abortus meningkat sebesar 12% pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26% pada usia lebih dari 40 tahun. Insiden terjadinya abortus meningkat jika jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya 3 bulan (Cunningham et al, 2006).

Menurut Prawirohardjo (2010) risiko ibu terkena aneoploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2003, dalam Firman 2011) di Lima Rumah Sakit di Jakarta mendapatkan bahwa terdapat hubungan


(4)

bermakna (p=0,004) antara usia ibu dengan kejadian abortus serta ibu dengan kelompok usia <20 dan >35 tahun memiliki resiko 1,9 kali lebih besar dibanding kelompok usia 20-35 tahun.

Penelitian lainnya oleh Nurjaya, Muliaty dan Saniah (2006) di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2006 menyatakan bahwa ibu hamil dengan usia <20 tahun dan >35 tahun mempunyai resiko abortus 3,808 kali lebih besar dibanding ibu hamil dengan usia 20-35 tahun, dan terdapat hubungan bermakna usia terhadap kejadian abortus

2) Paritas Ibu

Menurut Wikjasastro (1999, dalam Taharuddin, 2012, ¶ 6) setiap kehamilan yang disusul dengan persalinan akan menyebabkan kelainan-kelainan pada uterus, dalam hal ini kehamilan yang berulang-ulang menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi kejanin dimana jumlah nutrisi akan semakin berkurang dibanding kehamilan sebelumnya.

Menurut Prawirohardjo (1999, dalam Taharuddin, 2012, ¶ 8) paritas <1 dan paritas >3 memiliki kompilikasi persalinan. Kehamilan yang berulang (paritas tinggi) akan membuat uterus menjadi renggang, sehingga dapat menyebabkan kelainan letak janin dan plasenta yang akhirnya akan berpengaruh buruk pada kesehatan janin dan pada proses persalinan. Hal–hal tersebut dapat menimbulkan komplikasi yang dapat menjadi penyulit dalam persalinan dan menjadi indikasi dilakukannya operasi caesar. Paritas 2 –3 merupakan paritas paling aman di tinjau dari sudut kesehatan dan kematian maternal, tetapi ini akan berkurang tingkat keamanannya apabila persalinan


(5)

sebelumnya telah melalui bedah caesar sehingga masih perlu untuk tetap memperhatikan kondisi kesehatan ibu selama kehamilan dan saat persalinan.

Menurut Mulyati (2003, dalam Firman, 2011) semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami seorang ibu semakin tinggi resikonya untuk mengalami komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Persalinan kedua dan ketiga merupakan persalinan yang aman, sedangkan risiko terjadinya komplikasi meningkat pada kehamilan, persalinan, dan nifas setelah yang ketiga dan seterusnya. Demikian juga dengan paritas 0 dan lebih dari 4 merupakan kehamilan risiko tinggi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2003, dalam firman 2011) di Lima Rumah Sakit di Jakarta mendapatkan ibu hamil yang paritasnya <1 dan >3 mempunyai resiko abortus 1,2 kali dibanding ibu hamil yang paritasnya 1-3 kali, tetapi secara statistik tidak bermakna (p=0,447).

Hasil penelitian lainnya oleh Nurjaya, et al. (2006) di RSIA Siti Fatimah Makassar menyatakan bahwa ibu hamil yang paritasnya >3 mempunyai resiko abortus 5,534 kali lebih besar dibanding ibu hamil yang paritasnya <3 kali, dan terdapat hubungan bermakna paritas terhadap kejadian abortus.

C. Patofisiologi

Kebanyakan abortus spontan terjadi setelah kematian janin yang kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam. Hasil konsepsi terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi perdorongan benda asing itu keluar rahim (ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada abortus


(6)

spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling lama 2 minggu sebelum perdarahan. Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak dilakukan jika telah terjadi perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari.

Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke-10-12 korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus.

Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk, ada kalanya kantung amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum), mungkin pula janin telah mati lama (missed aborted). Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses modifikasi janin mengering dank arena cairan amnion menjadi kurang oleh karena diserap (Maryunani & Yulianingsih, 2009)

D. Klasifikasi Abortus

Menurut terjadinya abortus dibagi atas :

1. Abortus Spontan (abortus yang berlangsung tanpa tindakan) a. Abortus Imminens

1) Definisi

Menurut Sastrawinata, Martaadisoebrata dan Wirakusumah (2005) abortus imminens didiagnosis bila seseorang wanita hamil <20 minggu mengeluarkan darah sedikit pervaginam, perdarahan dapat berlanjut beberapa hari atau dapat berulang, dan dapat pula disertai sedikit nyeri perut bawah.


(7)

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009) penentuan kehidupan janin dilakukan ideal dengan ultrasonografi, dilihat gerakan denyut jantung janin dan gerakan janin. Keadaan janin sebaiknya segera ditentukan karena mempengaruhi rencana pelaksanaan.

2) Tanda dan Gejala

a) Perdarahan sedikit/bercak

b) Kadang disertai rasa mulas/kontraksi c) Periksa dalam belum ada pembukaan

d) Palpasi : tinggi fundus uteri sesuai usia kehamilan (uterus membesar sebagaimana usia kehamilan)

e) Hasil Tes Kehamilan (+)/positif 3) Penatalaksanaan

a) Tirah baring untuk menambah aliran darah ke uterus dan mengurangi perangsangan mekanis.

b) Periksa tanda-tanda vital

c) Kolaborasi dalam pemberian sedative (untuk mengurangi rasa sakit dan cemas).

d) Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C

e) Bersihkan vulva minimal 2 kali sehari untuk mencegah infeksi. b. Abortus Insipiens

1) Definisi

Menurut Maryunani dan Yulianingsih, (2009) abortus Insipiens adalah perdarahan ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih berada dalam cavum uteri. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit.


(8)

2) Tanda dan Gejala

a) Perdarahan banyak disertai bekuan

b) Mulas hebat (kontraksi makin lama makin kuat dan makin sering) c) Ostium uteri eksternum mulai terbuka (serviks terbuka)

d) Pada palpasi : tinggi fundus uteri sesuai usia kehamilan 3) Penatalaksanaan

a) Apabila bidan menghadapi kasus abortus insipiens, segera berkonsultasi dengan dokter kebidanan sehingga pasien mendapat penanganan yang tepat dan cepat.

b) Pada kehamilan >12 minggu, bahaya perforasi terhadap kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dioercepat.

c) Pada kehamilan <12 minggu yang disertai perdarahan adalah pengeluaran janin (kuretase)

d) Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal. Lakukan manual plasenta.

c. Abortus Inkompletus 1) Definisi

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009) abortus Inkompletus adalah perdarahan kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi telah keluar cavum uteri melalui kanalis servikalis.

2) Tanda dan Gejala

a) Perdarahan bisa sedikit atau banyak b) Rasa mulas (kontraksi) tambah hebat


(9)

d) Pada pemeriksaan vaginal, jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari eksternum atau sebagian jaringan keluar

e) Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin dikeluarkan dapat menyebabkan syok.

3) Penatalaksanaan

a) Bila disertai syok karena perdarahan, diberikan infuse cairan fisiologis NaCl atau Ringer Laktat dan transfusi darah segera mungkin.

b) Setelah syok diatasi, dilakukan kerokan dengan kuret tajam dan diberikan suntikan untuk mempertahankan kontraksi otot uterus. c) Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, dilakukan

pengeluaran plasenta secara manual.

d) Diberikan antibiotika untuk mencegah infeksi. d. Abortus Kompletus

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009) mengatakan bahwa abortus komplet adalah abortus dimana seluruh hasil konsepsi telah keluar melalui jalan lahir.

2) Tanda dan Gejala a) Perdarahan banyak

b) Mulas sedikit atau tidak ada (kontraksi uterus) c) Ostium uteri telah menutup

d) Uterus sudah mengecil


(10)

3) Penatalaksanaan

a) Berkonsultasi dengan dokter sehingga tidak merugikan pasien

b) Tidak memerlukan terapi khusus, tetapi untuk membantu involusi uterus dapat diberikan methergin tablet

c) Bila pasien anemia dapat diberikan sulfas ferosus (zat besi) atau transfusi darah

d) Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi vitamin dan mineral e. Missed Abortion

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009, hal. 29) mengatakan bahwa missed abortion adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum 20 minggu, namun keseluruhan hasil konsepsi tersebut tertahan dalam uterus selama 6 minggu atau lebih.

2) Tanda dan Gejala a) Djj tidak terdengar

b) Mulas sedikit, ada keluaran dari vagina c) Uterus tidak membesar tetapi mengecil d) Tes kehamilan negatif

e) Amenhore berlangsung terus f) Biasanya terjadi pembekuan darah 3) Penatalaksanaan

a) Yang harus diperhatikan adalah bahaya adanya hipofibrinogenemia sehingga sulit untuk mengatasi perdarahan yang terjadi.


(11)

c) Bila kadar fibrinogen normal, segera lakukan pengeluaran jaringan konsepsi dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam

d) Pada kehamilan < 12 minggu dilakukan pembukaan serviks uteri dengan laminaria selama kurang lebih 12 jam ke dalam kavum uteri e) Pada kehamilan > 12 minggu pengeluaran janin dengan pemberian

infus intravena oksitosin

f. Abortus Infeksius dan Abortus Septik 1) Definisi

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009) abortus infeksius adalah suatu abortus yang telah disertai komplikasi berupa infeksi, baik yang diperoleh dari luar rumah sakit maupun yang terjadi setelah tindakan di rumah sakit.

Abortus septik adalah adanya abortus yang merupakan komplikasi disertai infeksi genitalia, sering dikaitkan dengan tindakan abortus tidak aman sehingga dapat menyebabkan perdarahan hebat.

2) Tanda dan Gejala

a) Kanalis servikalis terbuka b) Ada perdarahan

c) Demam

d) Takhikardia (denyut jantung cepat) e) Perdarahan berbau

f) Uterus membesar dan lembek g) Nyeri tekan


(12)

3) Penatalaksanaan

a) Perbaiki keadaan umum

b) Pemberian terapi antibiotika (penisilin, metronidazol, ampisilin, streptomycin dan lain-lain) untuk menanggulangi infeksi

c) Peningkatan asupan cairan

d) Bila perdarahan banyak, dilakukan pemberian transfuse darah g. Abortus Habitualis

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009, hal. 29) mengatakan bahwa abortus habitualis adalah abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih oleh sebab apapun.

2) Penatalaksanaan

a) Memperbaiki keadaan umum b) Istirahat yang cukup

c) Terapi hormone progesteron, vitamin

d) Kolaborasi untuk mengetahui faktor penyebab 2. Abortus Provokatus (abortus yang sengaja dibuat)

a. Abortus Provokatus Medisinalis 1) Definisi

Abortus Provokatus Medisinalis adalah abortus yang dilakukan dengan indikasi medis yaitu demi menyelamatkan nyawa ibu.

2) Syarat-syaratnya

a) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.


(13)

b) Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi)

c) Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

d) Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.

e) Prosedur tidak dirahasiakan f) Dokumen medik harus lengkap. b. Abortus Provokatus Kriminalis

1) Definisi

Aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (illegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu.

E. Komplikasi Abortus

Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi dan syok.

1. Perdarahan

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.

2. Perforasi

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiper retrofleksi, jika terjadi peristiwa ini penderita perlu diamati dengan teliti jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, melakukan penjahitan pada luka perforasi jika


(14)

perlu lakukan histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luas cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan – tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi

3. Infeksi

Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan teknik asepsis dan anti septic. Pada aboortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti dengan syok.

4. Syok

Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan atau syok hemoragik dan karena infeksi atau syok endoseptik (Manuaba, 1998)


(1)

atau kadang-kadang sudah menonjol dari eksternum atau sebagian jaringan keluar

e) Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin dikeluarkan dapat menyebabkan syok.

3) Penatalaksanaan

a) Bila disertai syok karena perdarahan, diberikan infuse cairan fisiologis NaCl atau Ringer Laktat dan transfusi darah segera mungkin.

b) Setelah syok diatasi, dilakukan kerokan dengan kuret tajam dan diberikan suntikan untuk mempertahankan kontraksi otot uterus. c) Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, dilakukan

pengeluaran plasenta secara manual.

d) Diberikan antibiotika untuk mencegah infeksi.

d. Abortus Kompletus

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009) mengatakan bahwa abortus komplet adalah abortus dimana seluruh hasil konsepsi telah keluar melalui jalan lahir.

2) Tanda dan Gejala a) Perdarahan banyak

b) Mulas sedikit atau tidak ada (kontraksi uterus) c) Ostium uteri telah menutup

d) Uterus sudah mengecil


(2)

3) Penatalaksanaan

a) Berkonsultasi dengan dokter sehingga tidak merugikan pasien

b) Tidak memerlukan terapi khusus, tetapi untuk membantu involusi uterus dapat diberikan methergin tablet

c) Bila pasien anemia dapat diberikan sulfas ferosus (zat besi) atau transfusi darah

d) Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi vitamin dan mineral

e. Missed Abortion

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009, hal. 29) mengatakan bahwa missed abortion adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum 20 minggu, namun keseluruhan hasil konsepsi tersebut tertahan dalam uterus selama 6 minggu atau lebih.

2) Tanda dan Gejala a) Djj tidak terdengar

b) Mulas sedikit, ada keluaran dari vagina c) Uterus tidak membesar tetapi mengecil d) Tes kehamilan negatif

e) Amenhore berlangsung terus f) Biasanya terjadi pembekuan darah 3) Penatalaksanaan

a) Yang harus diperhatikan adalah bahaya adanya hipofibrinogenemia sehingga sulit untuk mengatasi perdarahan yang terjadi.


(3)

konsepsi dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam

d) Pada kehamilan < 12 minggu dilakukan pembukaan serviks uteri dengan laminaria selama kurang lebih 12 jam ke dalam kavum uteri e) Pada kehamilan > 12 minggu pengeluaran janin dengan pemberian

infus intravena oksitosin

f. Abortus Infeksius dan Abortus Septik

1) Definisi

Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009) abortus infeksius adalah suatu abortus yang telah disertai komplikasi berupa infeksi, baik yang diperoleh dari luar rumah sakit maupun yang terjadi setelah tindakan di rumah sakit.

Abortus septik adalah adanya abortus yang merupakan komplikasi disertai infeksi genitalia, sering dikaitkan dengan tindakan abortus tidak aman sehingga dapat menyebabkan perdarahan hebat.

2) Tanda dan Gejala

a) Kanalis servikalis terbuka b) Ada perdarahan

c) Demam

d) Takhikardia (denyut jantung cepat) e) Perdarahan berbau

f) Uterus membesar dan lembek g) Nyeri tekan


(4)

3) Penatalaksanaan

a) Perbaiki keadaan umum

b) Pemberian terapi antibiotika (penisilin, metronidazol, ampisilin, streptomycin dan lain-lain) untuk menanggulangi infeksi

c) Peningkatan asupan cairan

d) Bila perdarahan banyak, dilakukan pemberian transfuse darah

g. Abortus Habitualis

1) Definisi

Achadiat (2004, dalam Maryunani & Yulianingsih, 2009, hal. 29) mengatakan bahwa abortus habitualis adalah abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih oleh sebab apapun.

2) Penatalaksanaan

a) Memperbaiki keadaan umum b) Istirahat yang cukup

c) Terapi hormone progesteron, vitamin

d) Kolaborasi untuk mengetahui faktor penyebab

2. Abortus Provokatus (abortus yang sengaja dibuat)

a. Abortus Provokatus Medisinalis 1) Definisi

Abortus Provokatus Medisinalis adalah abortus yang dilakukan dengan indikasi medis yaitu demi menyelamatkan nyawa ibu.

2) Syarat-syaratnya

a) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.


(5)

hukum, psikologi)

c) Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

d) Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.

e) Prosedur tidak dirahasiakan f) Dokumen medik harus lengkap. b. Abortus Provokatus Kriminalis

1) Definisi

Aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (illegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu.

E. Komplikasi Abortus

Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi dan syok.

1. Perdarahan

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.

2. Perforasi

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiper retrofleksi, jika terjadi peristiwa ini penderita perlu diamati dengan teliti jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, melakukan penjahitan pada luka perforasi jika


(6)

perlu lakukan histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luas cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan – tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi

3. Infeksi

Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan teknik asepsis dan anti septic. Pada aboortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti dengan syok.

4. Syok

Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan atau syok hemoragik dan karena infeksi atau syok endoseptik (Manuaba, 1998)