Pengaruh Pengawas Menelan Obat terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan secara umum sering diartikan sebagai upaya multidimensi
untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak
negara, pembangunan kesehatan dimaknakan sebagai proses yang terus-menerus dan
progresif untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan nasional
di Indonesia, termasuk dibidang kesehatan berkembang semakin kompleks, berubah
dengan cepat dan sering kurang menentu. Perkembangan ini memerlukan pemikiran
dasar pembangunan kesehatan yang kuat. Pemikiran dasar ini pada hakikatnya
merupakan makna dari pelaksanaan paradigma sehat yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Agar pembangunan kesehatan
dapat lebih ditingkatkan akselerasi dan mutunya, maka diperlukan penguatan
pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan tersebut.
Pembangunan kesehatan di Indonesia pada hakikatnya adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara social dan ekonomis.
Pembangunan kesehatan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini telah
menunjukkan berbagai perkembangan, tetapi dalam awal millennium ke-3 ini


1
Universitas Sumatera Utara

pembangunan kesehatan menghadapi tantangan strategis yang mendasar, baik
eksternal maupun internal. Berbagai tantangan tersebut pada akhirnya mempengaruhi
percepatan pembangunan kesehatan yang diharapkan (Hapsara, 2013).
Perkembangan pembangunan kesehatan terutama tampak dari peningkatan
derajat kesehatan masyarakat, penyelenggaraan pembangunan kesehatan dan
dukungan lingkungan strategis pembangunan kesehatan yang juga tampak meningkat.
Dalam lima tahun terakhir terdapat program unggulan/terobosan kementerian
kesehatan, antara lain penanggulangan Penyakit Menular salah satunya adalah
Tuberkulosis Paru.
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang
kemerdekaan, Tuberkulosis ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit ParuParu (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui
Puskesmas. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar
INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para Amino
Salisilat (PAS), kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan
paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan

Ethambutol selama 6 bulan (Kemenkes,2011).
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian Tuberkulosis mulai
menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan
dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS

Universitas Sumatera Utara

dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan terutama
Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. (Kemenkes,2011)
Pada tahun 2009 Indonesia merupakan negara dengan pasien Tuberkulosis
terbanyak ke -5 di dunia setelah India, Cina, Afrika selatan dan Nigeria. Diperkirakan
jumlah pasien Tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien
Tuberkulosis di dunia. Insidensi kasus Tuberkulosis BTA positif sekitar 102 per
100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2012 Indonesia menduduki peringkat ke -4
setelah India, Cina, dan Afrika Selatan.
Hasil survey prevalensi Tuberkulosis di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.
Secara regional prevalensi TB BTA di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah,
yaitu : 1) wilayah sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2)
wilayah jawa dan bali angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 3)

wilayah Indonesia timur angka prevalensi TB adalah 120 per 100.000 penduduk.
Khusus untuk provinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000
penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan
insiden TB BTA positif secara nasional 3-4 % setiap tahunnya. Sampai tahun 2009,
keterlibatan dalam program pengendalian TB dengan strategi DOTS meliputi 98 %
Puskesmas, sementara rumah sakit umum, Balai Kesehatan Paru masyarakat
mencapai sekitar 50% (Kemenkes, 2011).
Penurunan ini terjadi karena ketekunan dan kerja keras terutama tenaga
kesehatan yang ada di Puskesmas-puskesmas serta dukungan tenaga kesehatan di

Universitas Sumatera Utara

Program Nasional Tuberkulosis Departemen Kesehatan RI, serta bantuan berbagai
pihak seperti WHO, LSM misalnya PPTI, KNCV dan USAID serta beberapa Negara
penyandang dana yang tergabung dalam GF-ATM ( Global Fund to AIDS, TB and
Malaria ) angka kejadian TB dapat diturunkan secara bermakna ( Hudoyo,2008).
Penyakit Tuberkulosis menjadi masalah sosial karena sebagian besar
penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah dan
tingkat pendidikan rendah. Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit
Tuberkulosis memerlukan jangka waktu yang lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan

demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur/tidak selesai, akan
mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TBC terhadap Obat AntiTuberkulosis (OAT), sehingga untuk pengobatannya penderita harus mengeluarkan
biaya yang tinggi/mahal serta dalam jangka waktu yang relatife lama.
Penanggulangan penyakit TB Paru perlu ditangani dengan cara yang lebih baik agar
tidak lagi menjadi masalah di Indonesia, terutama dari segi manajemen pengobatan
seperti pengawasan keteraturan berobat (Depkes RI, 2002).
Salah satu dari komponen DOTS adalah panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
pengawas menelan obat (PMO). Penderita TB Paru yang teratur melakukan
pengobatan disamping karena adanya kesadaran dari penderita untuk lepas dari
penyakitnya juga didukung oleh karena adanya peran dari keluarga sebagai pengawas
menelan obat yang selalu mengontrol pengobatan penderita TB Paru.

Universitas Sumatera Utara

Anggota keluarga sebagai pengawas menelan obat cukup efektif dan efisien
dalam memaksimalkan peran dan fungsi PMO karena tidak mengedepankan reward
berupa materi sebagai imbalan jasa tetapi dimotivasi oleh kedekatan keluarga yang
disadari oleh pengabdian yang tulus, ikhlas, sabar, dan tanggung jawab sebagai
implementasi nilai keyakinan (PPTI,2010).

Hasil penelitian Nasution (2013) memperlihatkan ada hubungan antara
dukungan sosial keluarga (dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan
instrumental, dan dukungan emosional) sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO)
dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Kecamatan Medan Teladan Kota
Medan. Kemudian hasil analisis uji regresi logisik berganda juga memperlihatkan ada
pengaruh antara dukungan informasional dan dukungan penilaian yang memiliki
pengaruh (p < 0,05) terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Kecamatan
Medan Teladan Kota Medan dengan variabel dominannya adalah dukungan
informasional.
Selain itu hasil penelitian Panjaitan (2013) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan komunikasi interpersonal (keterbukaan, sikap mendukung dan sikap positif)
petugas kesehatan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru, tidak terdapat
hubungan komunikasi interpersonal (empati dan kesetaraan) petugas kesehatan
dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru dan variabel yang paling dominan
berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit
Kabupaten Deli Serdang adalah variabel sikap positif.

Universitas Sumatera Utara

Artinya disamping faktor petugas medis, pasien, obatnya dan teknik serta cara

pengobatan, maka peran pengawasan dalam hal ini keluarga sangat penting untuk
membantu kelancaran pasien dalam menjalani terapinya. Bagaimanapun pentingnya
pengobatan, faktor keluarga sebagai pengawas akan lebih efisien dan efektif jika
dibandingkan pengawasan yang sangat terbatas oleh petugas medis ataupun kader
dilingkungannya.
Selain itu strategi komunikasi juga dipergunakan Kemenkes untuk
meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB
melalui pelatihan. Sehingga dapat menciptakan dukungan dan persepsi positif dari
masyarakat terhadap TB, pengawasan menelan obat bagi pasien TB, perilaku
pencegahan penularan TB juga kampanye STOP TB.
Kepatuhan minumobat TB di Indonesia terbukti masih belum maksimal.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2011, terlihat masih adanya
penderita TB yang masih belum patuh untuk minum obat atau drop out. Program
DOTS yang memiliki target, yaitu menyembuhkan 85% penderita TB di Indonesia
ternyata masih belum tercapai secara maksimal. Data surveilans memberikan hasil
bahwa telah terjadi resistensi bakteri terhadap OAT pada penderita TB untuk satu
jenis OAT (DR-TB, Drug Resistant-TB) sebesar 12,6% dan untuk lebih dari 2 jenis
OAT (MDR-TB,Multi Drug Resistant- TB) sebesar 2,2%. Hal ini nyata menunjukkan
adanya ketidakpatuhan minum obat TB di Indonesia (Ditjen P2M, 2011).
Data dari the third report of the WHO/IUATLD Global Project on Anti

Tuberculosis Drug Resistance Survellance pada 75 area dari 13 negara tahun 1999-

Universitas Sumatera Utara

2002, menunjukkan MDR-TB berkisar antara 6,5% sampai 14% pada kasus baru
(resisten primer) dan 30% sampai 60% pada kasus yang pernah diobati
(resistensekunder). Di Indonesia, RS. Persahabatan Jakarta (data dari WHO tahun
2003), melaporkan angka MDR-TB sebesar 4,3% pada kasus baru dan 34,44%pada
kasus yang pernah diobati.
Dinas KesehatanProvinsi Sumatera Utara juga melaporkan bahwa tingkat
kepatuhan minum obat di wilayah kerjanya juga belum mencapai 100%. Pada tahun
2011, kesembuhan penderita memang telah mencapai target nasional. Namun, tingkat
kepatuhan minum obatnya belum mencapai 85%. Hal ini terbukti mulai
ditemukannya resistensi kuman TB terhadap satu jenis OAT, terutama yang terjadi di
Kota Medan.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013, penderita
TB Paru yang melakukan pengobatan ulang untuk triwulan 1 (Januari-Maret) kategori
penderita TB yang kambuh 16 orang dan gagal 1 orang, triwulan 2 ( April-Juni) 19
orang yang kambuh, triwulan 3 (Juli-September) 13 orang dengan kategori kambuh
dan defaulter 1 orang, triwulan 4 (Oktober-Desember) terdapat 12 orang pederita TB

Paru yang kambuh.
Berdasarkan hasil survey awal di Puskesmas Glugur Darat bahwasanya
penderita TB Paru pada tahun 2012 berjumlah 99 orang dan tahun 2013 berjumlah 70
orang dengan rincian sebagai berikut pada triwulan 1 (Januari-Maret) 18 orang,
triwulan 2 (April-Juni) 11 orang, triwulan 3 (Juli-September) 19 orang dan triwulan 4
(Oktober-Desember) 22 orang ( 2 orang penderita dengan kategori anak ), diantara

Universitas Sumatera Utara

penderita TB Paru tersebut terdapat 4 orang yang tidak patuh minum obat dan 1 orang
yang tidak pernah datang kembali untuk mengambil obat ke puskesmas (drop out).
Hasil wawancara peneliti dengan petugas TB Paru bahwasanya penderita maupun
PMO tidak perduli mengenai manfaat dari OAT, sehingga penderita maupun PMO
tidak mengambil obat ke Puskesmas. Agar pengawasan menelan obat berjalan efektif
maka diperlukan komunikasi yang baik antara penderita dengan pengawas menelan
obat, karena tanpa komunikasi yang baik , interaksi antara PMO dengan penderita
tuberkulosis tidak mungkin terjadi. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai
pengaruh pengawas menelan obat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru
di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014.


1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di ketahui bahwa permasalahan
dalam penelitian ini adalah belum di ketahuinya pengaruh pengawas menelan obat
terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota
Medan tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh pengawas menelan obat (Komunikasi, Siapa PMO,
Pengetahuan) terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas
Glugur Darat Kota Medan tahun 2014.

Universitas Sumatera Utara

1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pengawas menelan obat
(Komunikasi, Siapa PMO, Pengetahuan) terhadap kepatuhan minum obat penderita
TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan tahun 2014

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kota Medan dalam menentukan

kebijakan untuk penanggulangan TB Paru
1.5.2. Sebagai bahan masukkan bagi instansi dan stakeholder terkait dalam
meningkatkan penyuluhan KIE terutama dalam kepatuhan minum obat pada
penderita

TB Paru juga sebagai referensi dalam menyusun program

pengendalian TB paru
1.5.3. Sebagai bahan masukan bagi penderita TB Paru terkait dalam pelaksanaan
pengobatan TB Paru untuk tetap patuh dalam minum OAT sesuai dosis dan
waktu yang telah dianjurkan.
1.5.4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan
referensi untuk penelitian selanjutnya

Universitas Sumatera Utara