Pengaruh Pengawas Menelan Obat terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi (Communication) 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi

Menurut Setiawati yang dikutip Panjaitan, 2013. Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Proses komunika si yang menggunakan stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut menggunakan simbol-simbol disebut komunikasi non-verbal

Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media) adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikan dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo, 2003).


(2)

Teori perubahan perilaku menurut Rogers (1995): a. Awareness (kesadaran)

Yakni individu menyadari adanya stimulus yang datang terlebih dahulu b. Interest (perhatian/tertarik)

Individu mulai tertarik dengan adanya stimulus yang masuk c. Evaluation (menilai)

Individu mulai menimbang-nimbang baik dan buruknya apabila mengikuti stimulus tersebut

d. Trial (mencoba)

Individu mulai mencoba perilaku baru e. Adoption (menerima)

Individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.1.2. Unsur-unsur Komunikasi

Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan


(3)

oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media), adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikan dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo, 2003).

2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi

2.1.3.1. Komunikasi Interpersonal/Tatap Muka (Face to face) 2.1.3.1.1. Pengertian

Komunikasi interpersonal melibatkan paling sedikit dua orang yang mempunyai sifat, nilai-nilai, pendapat, sikap, pikiran dan perilaku yang khas dan berbeda-beda. Selain itu, komunikasi interpersonal juga menuntut adanya tindakan saling memberi dan menerima diantara pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dengan kata lain pelaku komunikasi saling bertukar informasi, pikiran, gagasan dan sebagainya (Rakhmat,2002)

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya.(Rakhmat, 2002).

Pada pengobatan TB Paru juga diperlukan pengawas menelan obat, agar pengawasan menelan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan komunikasi interpersonal pengawas menelan obat dengan penderita TB Paru, karena tanpa


(4)

komuniaksi yang baik diantara keduanya maka interaksi tidak akan berjalan dengan optimal.

2.1.3.1.2. Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal

Menurut Devito bahwa faktor-faktor efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :

1. Keterbukaan (Openness)

Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut.

Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan.Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.

Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly, 1974). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan


(5)

pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik anda dan anda bertanggung jawab atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunakan kata Saya (kata ganti orang pertama tunggal).

2. Empati (Empathy)

Empati adalah sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama.Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang.Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.

3. Sikap Mendukung (Supportiveness)

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap


(6)

mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

4. Sikap Positif (Positiveness)

Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri.Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.

5. Kesetaraan (Equality)

Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan,ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk


(7)

menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

2.1.4. Efektivitas Komunikasi

Komunikasi sebenarnya bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi juga seni bergaul agar kita dapat berkomunikasi efektif. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi dalam mana makna yang distimulasikan serupa atau sama dengan yang dimaksudkan komunikator. Pendeknya komunikasi efektif adalah makna bersama. Komunikasi yang efektif memberikan keuntungan dalam mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan. Siapa pun anda dan apa pun pekerjaan anda, anda tidak bisa tidak harus melakukan komunikasi.

Kriteria komunikasi yang efektif secara sederhana, bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Sebenarnya, ini hanya salah satu ukuran bagi efektivitas komunikasi. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.

Keefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator. Etos adalah nilai diri seseorang yang merupakan paduan dari kognisi, afeksi dan konasi. Kognisi adalah proses memahami. Afeksi adalah perasaan yang ditimbulkan oleh perangsang dari luar. Konasi adalah aspek psikologis yang berkaitan dengan upaya atau perjuangan (Rakhmat, 2002).


(8)

Ciri-ciri efektif-tidaknya komunikasi ditunjukan oleh dampak kognitif, dampak afektif, dan dampak behavioral yaitu :

a. Dampak kognitif adalah dampak yang timbul pada diri komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya.

b. Dampak afektif adalah dampak yang lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Disini tujuan komunikator bukan hanya sekedar agar komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya yang dapat menimbulkan perasaan tertentu, misalnya persaan iba, terharu, bahagia dan sebagainya.

c. Dampak behavioral adalah dampak yang paling tinggi kadarnya, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.

Tanda-tanda komunikasi efektif menimbulkan lima hal : 1. Pengertian/Pemahaman

Seorang komunikator dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikannya.

2. Kesenangan

Komunikasi semacam ini biasa disebut komunikasi fatik atau mempertahankan hubungan insani. Dan komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat, akrab dan menyenangkan.

3. Mempengaruhi sikap

Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan pesan menimbulkan efek pada komunikan. Persuasif didefinisikan sebagai “proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan


(9)

dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri”. Dalam berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain, dan berusaha agar orang lain memahami ucapan kita.

4. Memperbaiki hubungan/ hubungan sosial yang baik

Sudah menjadi keyakinan umum bahwa bila seseorang dapat memilih kata yang tepat, mempersiapkannya jauh sebelumnya, dan mengemukakannya dengan tepat pula maka hasilnya adalah komunikasi yang sempurna. Dan dapat dipastikan hubungan sosial yang baik akan timbul.

5. Tindakan

Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dihendaki. Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil lebih dulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap, atau menumbuhkan hubungan yang baik (Rahmat, 2002).

2.2. Pengawas Menelan Obat 2.2.1. Pengertian

Pengawas Menelan Obat adalah orang yang bertugas mengawasi secara langsung terhadap penderita tuberculosis paru pada saat minum obat setiap harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek (Kemenkes, 2011)


(10)

PMO adalah seseorang yang membantu pasien TB untuk menjalani pengobatan dengan cara mengingatkan dan mengawasi untuk Menelan obat dan memberi dorongan moril agar pasien TB tidak berputus asa (PPTI, 2010)

2.2.2. Tujuan

Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997), tujuan diadakannya pengawas menelan obat pada penderita TB Paru adalah :

a. untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang telah disepakati pada awal pengobatan

b. untuk menghindari penderita dari putus berobat sebelum waktunya

c. mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan kekebalan terha dap OAT 2.2.3. Persyaratan PMO

Seorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela, bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita (Depkes RI, 2000). 2.2.4. Siapa yang Bisa jadi PMO

Semua orang bisa menjadi PMO, yang penting mau dan disetujui oleh pasien TB. Sebaiknya dipilih anggota keluarga terdekat atau kader kesehatan yang telah dilatih, atau petugas kesehatan yang bertempat tinggal tidak jauh dari pasien dan disegani oleh pasien TB (PPTI,2010)


(11)

2.2.5. Tugas PMO

Menurut Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (2010) Tugas PMO sangat penting untuk menjamin keteraturan pengobatan pasien TB, yaitu : a. Mengawasi dan memberi dorongan serta memastikan pasien TB menelan obat

sesuai aturan sampai sembuh.

b. Mengingatkan pasien TB untuk memeriksakan ulang dahak pada waktu yang ditentukan untuk mengetahui perkembangan pengobatan.

c. Memberikan penyuluhan tentang TB dan menyarankan anggota keluarga pasien TB untuk memeriksakan diri bila ada yang dicurigai sakit TB.

d. Memperhatikan atau mengawasi bila ada gejala efek samping obat, segera minta penjelasan atau penanganan selanjutnya kepada petugas kesehatan dan jangan menghentikan minum obat tanpa persetujuan petugas.

2.2.6. Informasi Penting yang Perlu Dipahami PMO ( Kemenkes,2011) 1) TB disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan 2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya 4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)

5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan ( Fasyankes)


(12)

2.3. Kepatuhan 2.3.1. Pengertian

Kepatuhan atau ketaatan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Smet, 1997). Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan (Niven,2002). Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2000)

Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan Droup Out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes RI,2000)

2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kepatuhan

Menurut Smet (1994), factor-faktor yang memengaruhi kepatuhan adalah : a. Faktor Komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan

b. Pengetahuan

Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibiotic. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis


(13)

c. Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi : jumlah tenaga kesehatan, gedung serba guna untuk penyuluhan dan lain-lain.

Sementara itu menurut Given dalam Wihartini (2010), bahwa factor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah :

a. Faktor Penderita atau Individu

1) Sikap atau motivasi individu ingin sembuh

Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap factor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam control penyakitnya 2) Keyakinan

Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan control penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya


(14)

b. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya

c. Dukungan Sosial

Dukungan social dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan factor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.

d. Dukungan Petugas Kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan factor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien mengahadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat memengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.


(15)

2.4. Tuberkulosis Paru 2.4.1. Pengertian

Tuberkulosis biasanya disingkat menjadi TB atau TBC adalah penyakit menular disebabkan oleh bakteri tuberculosis (Mycobacterium Tuberculosis). Umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (PPTI,2010)

Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.( Kemenkes,2011)

Tuberkulosis Paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Penderita dengan TB Paru dan TB Ekstra Paru diklasifikasikan debagai TB paru. (Kemenkes, 2011)

2.4.2. Sejarah

Pada penggalian di Mesir telah ditemukan kerangka-kerangka dengan kelainan-kelainan menyerupai akibat penyakit tuberculosis, dan ternyata kerangka-kerangka tersebut telah berumur antara 600-3700 tahun sebelum masehi. Di Eropa juga ditemukan suatu kerangka Neolithis 1800 tahun sebelum masehi disekitar


(16)

Heidelberg yang menunjukkan adanya bekas-bekas tuberculosis vertebrata. Begitu pula di Amerika ditemukan kerangka-kerangka dengan bekas penyakit tuberculosis pada periode precolumbia. Penggalian bentuk-bentuk tertentu dibeberapa tempat menguatkan dugaan adanya penyakit tuberculosis pada waktu itu, misalnya ditemukan kerangka dengan Bungkuk Pott (Pottse Gibbus) pada tulang belakang. Disamping penemuan-penemuan tersebut, banyak tulisan tentang penyakit ini. Tulisan yang penting berasal dari Yunani dan Romawi, Hipokrates (abad ke V sebelum masehi). Hipokrates menamakan penyakit tersebut sebagai Phthisis yang berasal dari kata phthiein (menjadi kurus). Hippokrates saat itu menggambarkan penyakit tersebut dengan panas tinggi, batuk darah, penurunan berat badan, kelemahan tubuh serta buang-buang air. (Hudoyo,2008)

Perawatan pasien dengan tuberculosis di lukiskan dengan tuberculosis oleh Galenus pada saat itu antara lain dengan cara istirahat, mencuci diri, diit atau perjalanan dengan kapal laut. Selain perjalanan jauh melalui laut juga pergi ke daerah pegunungan, yang akhirnya menimbulkan gagasan pertama tentang pendirian Sanatorium 1840 ( di Reudi) dan di Jerman 1860 (di Brehmer). Pada abad ke XVI ‘ Laennec (1781-1826) masih mempertahankan pendapatannya bahwa tuberculosis adalah penyakit keturunan. Villemin (1827-1892) kemudian mengadakan percobaan untuk membuktikan bahwa penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular,walaupun saat itu belum menemukan kuman tuberkulosis sebagai organisme penyebab penyakit ini.(Hudoyo,2008)


(17)

Pada tanggal 24 Maret tahun 1882 adalah hari yang sangat bersejarah. Pada saat itulah Robert Koch mengumumkan di Berlin bahwa ia telah menemukan penyebab penyakit tubekulosis. Mulai saat itulah kemudian penelitian-penelitian dan percobaan dilakukan untuk menemukan obat pelawan tuberkulosis. Koch sendiri pada tahun 1890 melakukan percobaan dengan menggunakan kuman tuberkulosis yang telah mati –“Old Tuberculine”. Kemudian pada tahun 1907 Old Tuberculine dipakai bukan sebagai obat tapi sebagai larutan penguji oleh Von Pirquit. Pengobatan waktu itu (periode permulaan abad ke XX) berupa “collapse therapy” antara lain “intrapleural pneumothorax” atau tindakan pembedahan dengan cara memperkecil rongga dada (thoracoplasty). Cara-cara ini berlaku sampai ditemukan antibiotika pertama terhadap tuberculosis oleh Waksman pada tahun 1944. Dalam sejarah tuberculosis, maka tinta emas patut dituliskan untuk nama Wilhelm Rontgen yang pada tahun 1895 telah menemukan sinar x, serta Calmette dan Guerin pada tahun 1921 dengan vaksin BCG nya.(Hudoyo,2008)

Di Indonesia tuberculosis ternyata mempunyai sejarahnya sendiri yang patut disimak. Catatan paling tua dari penyakit ini didapatkan pada salah satu relief di Candi Borobudur yang menggambarkan sang Budha dan seorang yang sakit, digambarkan bentuk orang sakit pada umumnya pada waktu itu. Bila relief ini diperhatikan, kita tidak dapat memungkiri suatu gambar dari seorang yang sakit : kurus, iga menonjol, bahu terangkat, pipi cekung, semuanya menggambarkan bentuk suatu kasus tuberculosis. Dengan kata lain, pada waktu (tahun 750 sesudah masehi) orang sudah mengenal penyakit ini diantara mereka (Hudoyo A, 2008)


(18)

2.4.3. Epidemiologi

Di Amerika Serikat prevalensi dari penyakit tuberculosis turun dengan mengesankan semenjak tahun 1900. Di awal abad ini lebih 80 % penduduk terinfeksi sebelum berumur 20 tahun. Dalam suatu penelitian dengan autopsy di tahun 1946 dijumpai tuberkulosis sebanyak 80% dari mereka yang berumur diatas 50 ta hun. Pada tahun 1972 hanya 2 sampai 5 % dari anak-anak muda yang memberi reaksi tuberculin positif sedang pada usia diatas 50 tahun dijumpai sekitar 25 %. Penurunan insiden nyata terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Hal ini berbeda dengan negara sedang berkembang, seperti Indonesia dengan penderita TB terbanyak pada usia angkatan kerja atau dewasa muda. ( Hudoyo, 2008)

Pada tahun 1959 insiden di Amerika Serikat sebesar 53 per 100.000 penduduk, kemudian turun menjadi 24 pada tahun 1966 dan turun lagi menjadi 14 pada tahun 1974. Sedangkan angka kematian di Amerika Serikat tercatat 200 orang dalam 100.000 orang pada tahun 1906, pada tahun 1966 turun menjadi 3,8 dan pada tahun 1976 menjadi hanya 1,5 per 100.000 penduduk

Gambaran penyakit TB di Indonesia, ditunjukkan oleh hasil survey prevalensi yang diadakan di Yogyakarta dan Malang sekitar tahun 1961-1965 dengan bantuan WHO dan Unicef, gambaran data-data epidemiologi saat itu adalah sbb :

1. Prevalensi BTA positif adalah 0,6 % (dengan biakan)

2. Prevalensi kelainan paru dengan pemeriksaan sinar tembus 3,6 % 3. Angka kejadian penularan tahunan diperhitungkan sebesar 5 % 4. Breakdown rate sebesar 5 %


(19)

5. Insidensi sumber penularan 0,10-0,15 % menurut perkiraan WHO

6. Angka kematian akibat penyakit TBC di Jakarta 36,8/100.000 penduduk pada tahun 1967

Dari survey di Jakarta tahun 1962 dan hasil Run-test jumlah penderita TB di beberapa daerah Nampak bahwa golongan masyarakat berpenghasilan rendah merupakan sasaran kuman-kuman TB.

Jumlah penderita TB di Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah india dan China. Laporan dari WHO tahun 2000, jumlah penderita TB di India sebanyak 1,85 juta jiwa, di China 1,36 juta jiwa dan di Indonesia 0,59 juta jiwa. Dengan angka prevalensi masing-masing untuk India 184/100.000 penduduk, di China 102/100.000 penduduk dan di Indonesia 280/100.000 penduduk.(Hudoyo,2008)

2.4.4. Penyebab Penyakit Tuberkulosis

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri jenis Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Dokter Robert Koch. bakteri ini sangat kecil, untuk melihat bakteri ini perlu dilihat dengan mikroskop. Bakteri ini dapat ditemukan dalam dahak atau sputum seseorang yang sedang sakit TB. Bakteri ini bersifat tahan terhadap larutan asam atau bahkan lebih terkenal dengan nama Basil Tahan Asam (BTA). Jadi untuk pemeriksaan dahak pasien yang diduga sakit TB, pemeriksaan dahak yang diminta ke laboratorium dinamakan ‘Pemeriksaan Sputum BTA’. Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3x berturut-turut untuk menghindari factor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 x positif, maka sudah dapat dipastikan orang tersebut sakit TB Paru.(Hudoyo,2008).


(20)

2.4.5. Klasifikasi TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 bagian yaitu ; (1) TBC paru BTA positif (sangat menular) yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3

pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan TBC aktif; (2) TBC paru BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih meragukan.

Jumlah bakteri yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif. Foto rontgen dada menunjukkan hasil positif .

2.4.6. Cara Penularan dan Risiko Penularan 2.4.6.1. Cara Penularan

1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.


(21)

4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

6. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

7. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

8. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.

9. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. 10. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB

11. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.

12. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).


(22)

13. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.

2.4.6.2. Risiko Penularan

Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil bakteri TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB (Depkes RI, 2008).

Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative. menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien. TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

2.4.7. Gejala Klinis Pasien TB

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,


(23)

malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.4.8. Pengobatan TB dan Efek Samping

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Kombinasi beberapa jenis obat tersebut terdiri dari ; Rifampisin, INH, Pyrazinamid, Etambutol, Streptomisin . 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang PMO, supaya penderita meminum obatnya secara teratur setiap hari. Minum obat yang tidak teratur dan terputus putus bisa menimbulkan kekebalan


(24)

bakteri terhadap obat anti TBC sehingga bakteri tidak mati dan penyakit sulit untuk sembuh. Keadaan ini akan sangat membahayakan penderita sendiri maupun masyarakat sekitarnya.

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengobatan yaitu ; luasnya tubuh yang diserang, jenis, jumlah dan dosis obat yang cukup, teratur dalam menjalankan proses pengobatan, Istirahat yang cukup, perumahan yang sehat, makan-makanan bergizi, Iklim, faktor psikis.

Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan. Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera


(25)

melaporkannyakepada dokter. Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien tentang gejala yang dialaminya.

Efek samping saat minum obat yang perlu diketahui yaitu; kulit berwarna kuning, air seni berwarna gelap seperti minum air teh, kesemutan, mual dan muntah, hilang nafsu makan, perubahan pada penglihatan, demam yang tidak jelas, lemas dan keram perut.

Dosis obat penderita TB Paru disesuiakan dengan berat badan penderita TB Paru (Kemenkes,2011)

Tabel 2.1. Dosis Obat Penderita TB Paru

Berat Badan

Tahap Intensif TiapHariselama 56 Hari

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3 Kali Seminggu selama 16

Minggu RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2KDT

2.4.9. Memastikan Penyakit TB Paru

Untuk memastikan bahwa seseorang menderita TB paru atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan dahak sebanyak 3x selama 2 hari yang dikenal dengan istilah SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) yaitu;

1. Sewaktu (hari pertama), yaitu pemeriksaan dahak sewaktu penderita dating pertama kali;

2. Pagi (hari kedua), yaitu pemeriksaan sehabis bangun tidur kesesokan harinya. Dahak ditampung dalam pot kecil yang diberi petugas laboratorium;


(26)

3. Sewaktu (Hari kedua), yaitu pemeriksaan dahak yang dikeluarkan saat penderita datang ke laboratorium untuk diperiksa. Jika positif, orang tersebut dipastikan menderita TB Paru.

Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2007).

2.4.10.Pencegahan

Cara Pencegahan Penyakit TBC Menurut Depkes RI (2007) agar terhindar dari TB paru ada beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya :

1. Membiasakan cara hidup sehat dengan makan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup, olah raga teratur, menghindari rokok, alkhol, obat terlarang dan menghindari stress.

2. Bila batuk mulut ditutup.

3. Jangan meludah sembarang tempat 4. Lingkungan sehat.

5. Vaksinasi BCG pada bayi

2.4.11.Strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)

Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed


(27)

Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).

Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: 1) Komitmen politis


(28)

3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.

4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan tb (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :

1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan

4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5) Memberdayakan pasien dan masyarakat

6) Melaksanakan dan mengembangka

2.4.12. Strategi AKMS (Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial)

AKMS adalah suatu konsep sekaligus kerangka kerja terpadu untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan publik, perilaku dan memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan pengendalian TB. AKMS TB merupakan suatu rangkaian kegiatan advokasi, komunikasindan mobilisasi sosial yang dirancang secara sistematis dan dinamis.(Kemenkes,2011).


(29)

Langkah-langkah dalam strategi AKMS : 1. Advokasi

a. Analisa situasi

b. Memilih strategi tang tepat (advokator, pelaksana, metode dsb) c. Mengembangkan bahan-bahan yang perlu disajikan kepada sasaran d. Mobilisasi sumber dana

2. Komunikasi

Strategi komunikasi yang dilakukan salah satunya adalah meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB melalui pelatihan. Strategi komunikasi diharapkan dapat menciptakan dukungan dan persepsi positif dari masyarakat terhadap TB, pengawasan menelan obat bagi pasien TB, perilaku pencegahan penularan TB dan kampanye stop TB.

3. Mobilisasi Sosial

a. Memberikan pelatihan/orientasi kepada kelompok pelopor (kelompok yang paling mudah menerima isu yang sedang diadvokasi

b. Mengkonsolidasikan mereka yang telah mengikuti pelatihan/orientasi menjadi kelompok-kelompok pendukung/kader

c. Mengembangkan jaringan informasi diantara anggota koalisi agar selalu mengetahui dan merasa terlibat dengan isu yang diadvokasikan

d. Melaksanakan kegiatan yang bersifat masal dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota koalisi

e. Mendayagunakan media massa untuk mengekspose kegiatan koalisi dan sebagai jaringan informasi


(30)

f. Mendayagunakan berbagai media massa untuk membangun kebersamaan dalam mengatasi masalah//isu (masalah bersama). Hal ini cukup efektif bila dilakukan dengan menggunakan TV, filler/spot, radio spot, billboard dan spanduk

2.5. Kerangka Pikir

Masukan Proses Luaran Hasil Dampak

Gambar 2.1. Kerangka Pikir dan Strategi AKMS

2.6. Landasan Teori

Mengacu dari tinjauan teori tentang faktot-faktor risiko penyebab penyakit dan teori dari Achmadi (2005) tentang paradigma kesehatan lingkungan dengan teori simpulnya, terjadinya penyakit TB Paru pada manusia dimulai dari bibit penyakit yang berasal sumbernya ( simpul 1) yaitu penderita TB Paru BTA positif, selanjutnya media penularannya melalui transmisi udara ( simpul 2) yang dipengaruhi oleh factor risiko lingkungan, bakteri Mycobacterium tuberculosis akan masuk kedalam tubuh

 Masalah tuberkulosis dan Promosi Kesehatan  Tenaga Penyuluh  Buku Pedoman  Media Promosi

 Sumber dana (APBN, APBD dan BLN) S T R A T E G I ADVOK ASI KOMUNI KASI MOBILIS ASI SOSIAL Adanya dukungan berbagai pihak dalam penerapan strategi DOTS Adanya opini public yang mendukung penerapan strategi DOTS Adanya peningkatan kegiatan penanggulangan tuberkulosis Masyarakat mampu dan mandiri dalam penang gulangan tuberkulosis  Angka Kesembu han  Angka cakupan penemuan Tuberkulo sis tidak Menjadi Masalah Kesehatan


(31)

manusia (simpul3) yang rentan akhirnya dapat menyebabkan penyakit TB Paru BTA (+). Dan mengacu dari smet (1994) dan Given dalam Wihartini (2010) tentang factor -faktor yang memengaruhi kepatuhan adalah factor komunikasi, pengetahuan, fasilitas kesehatan, sikap, keyakinan, dukungan keluarga, dukungan social dan dukungan petugas kesehatan

Keberhasilan pengobatan tuberkulosis dapat dilihat dari kepatuhan penderita TB Paru untuk minum Obat secara teratur, Penderita TB Paru yang teratur melakukan pengobatan disamping karena adanya kesadaran dari penderita untuk lepas dari penyakitnya juga didukung oleh karena adanya peran dari keluarga sebagai pengawas menelan obat (PMO) yang selalu mengontrol pengobatan penderita TB Paru

Berdasarkan landasan teori diatas maka kerangka teori pada penelitian ini adalah :

Gambar 2.2. Kerangka Teori Penelitian

Sumber Transmisi Manusia Dampak

Penderita TB Paru BTA (+)

Faktor Risiko Lingkungan - Kepadatan hunian - Pencahayaan - Suhu - Kelembaban - Jenis lantai - Jenis dinding

Karakteristik Individu : - Umur - Jenis kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Perilaku - Keyakinan - Pengetahuan - Status gizi

- Kebiasaan merokok - Imunisasi

- Penyakit lain, seperti : HIV, DM

Penderita TB Paru BTA (+)

- Faktor komunikasi - Pengetahuan - Fasilitas kesehatan - Dukungan keluarga - Dukungan social

- Dukungan petugas kesehatan

Kepatuhan minum obat


(32)

2.7. Kerangka Konsep

Kerangka konsep atau kerangka fikir sebagai pedoman mempermudah melakukan penelitian. Adapun kerangka konsep yang dibuat adalah sebagai berikut : Variabel Independent Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Pengawas Menelan Obat (PMO)

1. Komunikasi : - Keterbukaan - Empati

- Sikap mendukung - Sikap positif - kesetaraan 2. Siapa PMO 3. Pengetahuan

Kepatuhan minum obat :

1. Patuh 2. Tidak patuh


(1)

Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).

Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: 1) Komitmen politis


(2)

3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.

4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan tb (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :

1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan

4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5) Memberdayakan pasien dan masyarakat

6) Melaksanakan dan mengembangka

2.4.12. Strategi AKMS (Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial)

AKMS adalah suatu konsep sekaligus kerangka kerja terpadu untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan publik, perilaku dan memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan pengendalian TB. AKMS TB merupakan suatu rangkaian kegiatan advokasi, komunikasindan mobilisasi sosial yang dirancang secara sistematis dan dinamis.(Kemenkes,2011).


(3)

Langkah-langkah dalam strategi AKMS : 1. Advokasi

a. Analisa situasi

b. Memilih strategi tang tepat (advokator, pelaksana, metode dsb) c. Mengembangkan bahan-bahan yang perlu disajikan kepada sasaran d. Mobilisasi sumber dana

2. Komunikasi

Strategi komunikasi yang dilakukan salah satunya adalah meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB melalui pelatihan. Strategi komunikasi diharapkan dapat menciptakan dukungan dan persepsi positif dari masyarakat terhadap TB, pengawasan menelan obat bagi pasien TB, perilaku pencegahan penularan TB dan kampanye stop TB.

3. Mobilisasi Sosial

a. Memberikan pelatihan/orientasi kepada kelompok pelopor (kelompok yang paling mudah menerima isu yang sedang diadvokasi

b. Mengkonsolidasikan mereka yang telah mengikuti pelatihan/orientasi menjadi kelompok-kelompok pendukung/kader

c. Mengembangkan jaringan informasi diantara anggota koalisi agar selalu mengetahui dan merasa terlibat dengan isu yang diadvokasikan

d. Melaksanakan kegiatan yang bersifat masal dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota koalisi

e. Mendayagunakan media massa untuk mengekspose kegiatan koalisi dan sebagai jaringan informasi


(4)

f. Mendayagunakan berbagai media massa untuk membangun kebersamaan dalam mengatasi masalah//isu (masalah bersama). Hal ini cukup efektif bila dilakukan dengan menggunakan TV, filler/spot, radio spot, billboard dan spanduk

2.5. Kerangka Pikir

Masukan Proses Luaran Hasil Dampak

Gambar 2.1. Kerangka Pikir dan Strategi AKMS

2.6. Landasan Teori

Mengacu dari tinjauan teori tentang faktot-faktor risiko penyebab penyakit dan teori dari Achmadi (2005) tentang paradigma kesehatan lingkungan dengan teori simpulnya, terjadinya penyakit TB Paru pada manusia dimulai dari bibit penyakit yang berasal sumbernya ( simpul 1) yaitu penderita TB Paru BTA positif, selanjutnya media penularannya melalui transmisi udara ( simpul 2) yang dipengaruhi oleh factor risiko lingkungan, bakteri Mycobacterium tuberculosis akan masuk kedalam tubuh

 Masalah tuberkulosis dan Promosi Kesehatan  Tenaga Penyuluh  Buku Pedoman  Media Promosi

 Sumber dana (APBN, APBD dan BLN) S T R A T E G I ADVOK ASI KOMUNI KASI MOBILIS ASI SOSIAL Adanya dukungan berbagai pihak dalam penerapan strategi DOTS Adanya opini public yang mendukung penerapan strategi DOTS Adanya peningkatan kegiatan penanggulangan tuberkulosis Masyarakat mampu dan mandiri dalam penang gulangan tuberkulosis  Angka Kesembu han  Angka cakupan penemuan Tuberkulo sis tidak Menjadi Masalah Kesehatan


(5)

manusia (simpul3) yang rentan akhirnya dapat menyebabkan penyakit TB Paru BTA (+). Dan mengacu dari smet (1994) dan Given dalam Wihartini (2010) tentang factor -faktor yang memengaruhi kepatuhan adalah factor komunikasi, pengetahuan, fasilitas kesehatan, sikap, keyakinan, dukungan keluarga, dukungan social dan dukungan petugas kesehatan

Keberhasilan pengobatan tuberkulosis dapat dilihat dari kepatuhan penderita TB Paru untuk minum Obat secara teratur, Penderita TB Paru yang teratur melakukan pengobatan disamping karena adanya kesadaran dari penderita untuk lepas dari penyakitnya juga didukung oleh karena adanya peran dari keluarga sebagai pengawas menelan obat (PMO) yang selalu mengontrol pengobatan penderita TB Paru

Berdasarkan landasan teori diatas maka kerangka teori pada penelitian ini adalah :

Sumber Transmisi Manusia Dampak

Penderita TB Paru BTA (+)

Faktor Risiko Lingkungan - Kepadatan hunian - Pencahayaan - Suhu - Kelembaban - Jenis lantai - Jenis dinding

Karakteristik Individu : - Umur - Jenis kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Perilaku - Keyakinan - Pengetahuan - Status gizi

- Kebiasaan merokok - Imunisasi

- Penyakit lain, seperti : HIV, DM

Penderita TB Paru BTA (+)

- Faktor komunikasi - Pengetahuan - Fasilitas kesehatan - Dukungan keluarga - Dukungan social

- Dukungan petugas kesehatan

Kepatuhan minum obat


(6)

2.7. Kerangka Konsep

Kerangka konsep atau kerangka fikir sebagai pedoman mempermudah melakukan penelitian. Adapun kerangka konsep yang dibuat adalah sebagai berikut : Variabel Independent Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Pengawas Menelan Obat (PMO)

1. Komunikasi : - Keterbukaan - Empati

- Sikap mendukung - Sikap positif - kesetaraan 2. Siapa PMO 3. Pengetahuan

Kepatuhan minum obat :

1. Patuh 2. Tidak patuh