ANALISIS MITIGASI RISIKO AUDIT awal

ANALISIS MITIGASI RISIKO AUDIT
KASUS SUMBER WARAS DAN KREDIBILITAS BPK YANG DIPERTARUHKAN

Mutia Auliyah (15919060)
E-mail : mutiabima345@gmail.com
Universitas Islam Indonesia

Sejak menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan perihal pembelian lahan Sumber Waras pada
pertengahan tahun lalu, BPK masih menanti kepastian soal kesimpulannya yang
menyebutkan adanya kerugian dalam pembelian lahan tersebut. Sejumlah pegiat antikorupsi,
merilis catatan atas audit BPK ini. Berdasarkan data dan fakta yang dipaparkan, tim penulis
yang dikepalai oleh mantan auditor BPKP Leonardus Joko Eko Nugroho menilai hasil audit
BPK keliru. Kekeliruan audit BPK yang pertama, ada pada penetapan alamat pembelian
lahan. BPK merujuk pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Jalan Tomang Utara, yakni Rp 7
juta per meter persegi. Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta merujuk Jalan Kyai Tapa dengan
NJOP pada tahun pembelian 2014 sebesar Rp 20,7 juta per meter persegi. Lokasi RS Sumber
Waras berada di Jalan Kyai Tapa sesuai dengan dokumen yang dikeluarkan BPN dan Dirjen
Pajak. Argumentasi BPK bahwa lokasi Sumber Waras di Jalan Tomang Utara adalah salah
alamat dan terlalu mengada-ada.
Kekeliruan berikutnya ada pada perhitungan BPK terkait kerugian. BPK menyebut adanya
kerugian sebesar Rp 191 miliar dalam pembelian lahan Sumber Waras. Angka tersebut

berasal dari selisih penawaran lahan ke PT Ciputra Karya Utama (PT CKU) pada tahun 2013
dengan harga yang dibayar pemerintah pada tahun 2014. Sumber Waras menawarkan lahan
tersebut kepada PT CKU seharga Rp 15,5 juta per meter persegi dengan total Rp 564 miliar
untuk luas 36.441 meter persegi. Selanjutnya, pada 7 Desember tahun 2014, Pemprov DKI
melakukan ikatan kontrak dengan NJOP yang berlaku saat itu sebesar Rp 20.755 juta per
meter persegi. Total uang yang dibayarkan Pemprov DKI untuk membeli lahan itu sebesar Rp
755 miliar. Selisih harga penawaran PT CKU pada tahun 2013 dengan harga yang dibayarkan
Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2014 sebesar Rp 191 miliar, angka yang disebut sebagai
kerugian. Angka tersebut dinilai tidak valid karena sudah jelas NJOP-nya pada dua waktu
yang berbeda.

Kekeliriuan yang ketiga, BPK tidak mengindahkan aturan terkait pembelian lahan yang
berlaku. Temuan BPK terkait prosedur pengadaan seperti penunjukan lokasi, studi kelayakan,
kajian teknis, dan penetapan lokasi, yang dianggap menabrak aturan, dapat dimentahkan
melalui Pasal 121 Perpres Nomor 40 Tahun 2014. Pasal ini berbunyi, "Demi efisiensi dan
efektivitas pengadaan tanah di bawah lima hektare dapat dilakukan pembelian langsung
antara instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah atau dengan cara
lain yang disepakati kedua belah pihak."
Lahan Sumber Waras seluas 3,6 hektare seharusnya dapat dibeli tanpa pusing-pusing
meributkan appraisal, penawaran pihak lain, dan penentuan NJOP. Terakhir, BPK dinilai

memberikan rekomendasi yang tidak konsisten terkait pembelian lahan ini. Dalam audit yang
dikeluarkan pada 17 Juni 2015, BPK dinilai menyajikan laporan yang membingungkan. Leo
yang merupakan mantan auditor BPK menilai seharusnya jika ada temuan, auditor harus
memberikan pengantar terlebih dahulu berupa pendapat terkait kondisi pada saat mengaudit,
kemudian menentukan kriterianya, selanjutnya menerangkan akibat dan sebab temuan
tersebut, baru terakhir rekomendasi dengan penjabaran setiap temuannya. Dalam laporannya
BPK hanya memberikan tiga rekomendasi, yaitu memulihkan kerugian negara yang
ditimbulkan, meminta pertanggungjawaban Yayasan Sumber Waras, dan membatalkan
pembelian. Leo menilai seluruh rekomendasi ini tidak dapat realistis karena salah alamat dan
berpotensi merugikan negara. Leo menduga, ketidak profesionalan BPK ini dilatarbelakangi
unsur politis. Sebagai mantan auditor BPK, Leo tahu bahwa di tubuh BPK banyak pegawai
dan tenaga berlatar belakang partai politik.

ANALISIS :
Resiko audit yang terjadi pada kasus di atas, ketika hasil audit yang dilakukan oleh BPK atas
pembelian lahan Sumber Waras mengalami kekeliruan. Ada 3 hal kekeliruan audit yang
dilakukan oleh BPK :
1.

Pada penetapan alamat pembelian lahan. BPK merujuk pada Nilai Jual Objek Pajak

(NJOP) Jalan Tomang Utara, yakni Rp 7 juta per meter persegi. Sementara itu, Pemprov
DKI Jakarta merujuk Jalan Kyai Tapa dengan NJOP pada tahun pembelian 2014 sebesar
Rp 20,7 juta per meter persegi. Lokasi RS Sumber Waras berada di Jalan Kyai Tapa
sesuai dengan dokumen yang dikeluarkan BPN dan Dirjen Pajak. Argumentasi BPK

bahwa lokasi Sumber Waras di Jalan Tomang Utara adalah salah alamat dan terlalu
mengada-ada.
2.

Pada perhitungan BPK terkait kerugian. BPK menyebut adanya kerugian dalam
pembelian lahan Sumber Waras. Hal tersebut berasal dari selisih penawaran lahan ke
PT Ciputra Karya Utama (PT CKU) pada tahun 2013 dengan harga yang dibayar
pemerintah pada tahun 2014. Sumber Waras menawarkan lahan tersebut kepada PT CKU
seharga Rp 15,5 juta per meter persegi dengan total Rp 564 miliar untuk luas 36.441
meter persegi. Namun Pemprov DKI melakukan ikatan kontrak dengan NJOP yang
berlaku saat itu sebesar Rp 20.755 juta per meter persegi. Total uang yang dibayarkan
Pemprov DKI untuk membeli lahan itu sebesar Rp 755 miliar. Selisih harga penawaran
PT CKU pada tahun 2013 dengan harga yang dibayarkan Pemprov DKI Jakarta pada
tahun 2014 sebesar Rp 191 miliar, angka yang disebut sebagai kerugian. Angka tersebut
dinilai tidak valid karena sudah jelas NJOP-nya pada dua waktu yang berbeda.


3.

BPK tidak mengindahkan aturan terkait pembelian lahan yang berlaku. Temuan BPK
terkait prosedur pengadaan seperti penunjukan lokasi, studi kelayakan, kajian teknis, dan
penetapan lokasi, yang dianggap menabrak aturan.

Seharusnya Lahan Sumber Waras yang luasnya sebesar 3,6 hektare dapat dibeli tanpa pusingpusing meributkan appraisal, penawaran pihak lain, dan penentuan NJOP. Akan tetapi BPK
dinilai memberikan rekomendasi yang tidak konsisten terkait pembelian lahan tersebut dan
menyajikan laporan yang membingungkan. Mennurut Indonesia Corruption Watch (ICW),
menilai BPK kurang cermat dalam melakukan audit pembelian lahan RS Sumber Waras oleh
Pemprov DKI Jakarta, dikarenakan pembelian lahan Sumber Waras oleh Pemprov DKI
Jakarta sesuai dengan UU Pasal 121 Perpres Nomor 40 Tahun 2014. Pasal ini berbunyi,
"Demi efisiensi dan efektivitas pengadaan tanah di bawah lima hektare dapat dilakukan
pembelian langsung antara instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas
tanah atau dengan cara lain yang disepakati kedua belah pihak."